Semua berawal dari Wirjo yang senang miras, main perempuan, dan judi. Gara-gara itu ia menebas dengan celurit dan parang siapa saja yang ditemuinya di jalan. Salah satu tragedi yang seharusnya tidak perlu ada. Masyarakat Banyuwangi masih mengingatnya sampai sekarang.
14 April 1987, Wirjo untuk kali kesekian cekcok dengan istrinya, Indirah. Penyebabnya tidak jauh, yakni uang. Pria yang terkenal temperamental ini kemudian mengamuk. Indirah dipukuli, malahan akan dibunuh sebelum ia berhasil menyelamatkan diri ke rumah orang tuanya.
Namun, rupa-rupanya otak Wirjo sudah gelap.
Esok paginya Wirjo mengasah celurit dan parang di halaman belakang rumahnya di Desa Banjarsari. Tidak jauh di depan mata, Renny (anak angkatnya) dan temannya, Arbaiyah yang sama berumur 4 tahun sedang bermain.
Selesai mengasah, dia datangi kedua bocah itu, lantas tanpa wasweswos, senjatanya melayang. Awalnya ia mengincar Renny, tetapi bocah itu bisa mengeles. Gilirannya Arbaiyah, dan ia tertebas di leher hingga hampir putus. Seketika tewas.
Renny karuan ngeri, tetapi untungnya masih dapat melarikan diri. Dia lalu lari ke sawah, bertemu ibunya, dan segera mengadukan perbuatan Wirjo. Karuan pula wanita itu panik. Ia berlari ke jalan seraya berteriak minta pertolongan warga. Orang-orang segera berdatangan.
Bukannya mengejar mereka, Wirjo malah nyelonong masuk ke rumah di sebelahnya yang ditinggali Maskur (80) bersama istrinya. Saat itu istrinya sedang di dapur, lalu Wirjo sekonyong datang, dan, cresss, wanita itu kena tebas dan langsung terkapar. Maskur berusaha menolong istrinya, tetapi malah menyusul ajal lantaran Wirjo pun menyabitnya tanpa pandang bulu.
Amuk Wirjo belum padam. Setelah mendapat tiga mangsa ia keluar dan berusaha membabat siapa saja yang ditemuinya. Banyak juga yang berhasil menghindar, namun mereka bertunggang langgang karena ketakutan.
Dengan semestinya kejadian itu diketahui orang banyak. Perburuan tidak terelakkan. Masyarakat mendatangi tempat kejadian, tetapi percuma saja, Wirjo sudah lenyap entah ke mana.
Pencarian pun dilanjutkan. Sialnya, alih-alih Wirjo ketangkap, warga malah menemui korban tewas lainnya. Para korban ini tentunya harus diurus juga, apalagi banyak yang meninggal.
Semakin terik kegilaan Wirjo kian menjadi. Dia pun lihai berkelit dari kejaran massa. Adalah Taman (75), Suwendah (73), juga Istianah (15), siswa SMP Kosgoro, di antara warga yang tak luput dari kebiadaban Wirjo, tak peduli tua atau belia. Metodenya mirip serupa, ditebas bagian leher. Ada yang nyaris putus maupun menganga.
Lebih gilanya, Wirjo susah betul ditangkap. Masyarakat tentu saja dikungkung ketakutan. Bahkan hari itu sekolah langsung diliburkan. Para siswa berhamburan pulang, masyarakat umum pun tidak sedikit yang memilih berlindung di rumah. Pokoknya, pintu dan jendela harus ditutup serapat mungkin, sebab tidak akan ada rasa sampai Wirjo bisa diringkus.
Seorang anggota keamanan rakyat (Kamra) sempat menemukan Wirjo. Namun, saat berusaha melumpuhkan dengan berduel, ia malah kena sabetan parang sampai putus jari. Realistis sajalah, daripada bergabung dengan maut lebih baik menyingkir. Sehingga anggota Kamra itu memilih lari untuk minta bantuan polisi.
Dan polisi datang juga meski terlambat.
Akan tetapi peristiwa ini sudah terlanjur menyebar luas. Sekarang bukan cuma warga Banjarsari yang dibikin merinding, melainkan wilayah tetangga, antara lain Kemiren dan Concrong, malah kemudian seantero Banyuwangi.
Banyuwangi memang luas, tetapi saat itu dikabarkan Wirjo punya pegangan ilmu gaib tak tertandingi. Jadi, tidak jarang yang percaya kalau ia mampu menghilang dan muncul di tempat lain dalam sekejap. Dan masyarakat Banyuwangi memiliki sejarah panjang tentang itu.
Tidak pelak, sekolah-sekolah di Banyuwangi hari itu diliburkan. Jalanan sepi, pasar dan warung mendadak banyak yang tutup. Gara-gara main, miras, dan madon.
Walau langit sudah gelap, perburuan tidak lantas berhenti, karena Wirjo masih berkeliaran. Para warga dengan dukungan aparatur disebar ke sejumlah titik. Kala itu hanya mengandalkan obor, sentir, dan senter sebagai alat penerangan.
Sebagian penduduk menjaga ketat lingkungannya, bergadang dengan kesiagaan penuh, kalau-kalau setan itu datang. Tidak juga ketemu, pencarian pun diperluas sampai makin jauh dari desa setempat. Sementara di wilayah lain berlangsung pula operasi serupa. Akan tetapi Wirjo tidak kunjung tertangkap.
Hingga esoknya lelaki itu ditemukan tewas bunuh diri di sebuah tebing di atas Sungai Siwuran.
Wirjo melilitkan lehernya dengan gesper yang dikaitkan pada akar pohon. Entah apa yang mendorongnya untuk mengakhiri hidup. Tanpa tunda-tunda, seorang aparat membidikkan senjatanya. Dor! Gesper terputus, pembunuh meresahkan itu jatuh ke tepi sungai.
Kabar kematian Wirjo menjadi akhir rasa takut yang menghantui masyarakat sejak sehari sebelumnya. Meskipun hal ini mungkin disayangkan, sebab ia tidak akan dibebani pertanggungjawaban hukum. Selain itu ada juga yang percaya kalau teror belum berakhir. Katanya, arwah Wirjo masih bisa gentayangan dan mencari korban selanjutnya oleh sebab ia sungguh berilmu hitam.
Konon, pria lulusan SMP ini menyimpan ilmu gaib, dan perbuatan sadisnya tidak lepas dari pengaruh ilmu tersebut yang tidak sanggup ia kendalikan. Juga ada yang berpendapat bahwa peristiwa itu terkait politik, karena terjadi pada masa kampanye.
Akan tetapi, istrinya sendiri mengatakan, Wirjo kerap mengungkit warisan yang dianggapnya dibagi tidak adil, sementara gaya hidupnya sangat buruk. Sebelumnya ia pun dapat dikatakan berkecukupan, terutama setelah dapat warisan. Namun, ia jatuh miskin lagi. Oleh karena itu amat mungkin ia melakukan itu karena stres.
Secara keseluruhan korban pembunuhan Wirjo berjumlah 32 orang. 18 orang meninggal di tempat, 2 lainnya di rumah sakit. Sementara 12 orang mengalami luka berat dan ringan. Peristiwa ini juga tak luput dari sorotan internasional. Sejumlah media di negara tetangga Asean mengangkat tragedi ini di halaman depan. Petani gila mengamuk, 18 orang tewas, demikian tajuk New Straits Times edisi 17 April 1987.
Sumber: Majalah Tempo, Kompas, dan lainnya.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Bapakku punya pusaka, bukan aji-aji, hanya semacam benda yang katanya diwariskan secara turun temurun. Bentuk pusaka itu yang sesungguhnya tidak jelas,
karena aku belum pernah melihat isinya. Pokoknya bulat, dalamnya konon dililit serat-serat kayu, lalu dililit kain, luarnya dibungkus tas kulit. Memang kecil.
Salah satu pembunuh berseri terkejam dalam setengah abad terakhir ini tidak membiarkan legendanya menguap bersamaan dengan kematiannya. Jeffrey Dahmer meninggalkan cerita horor di sejumlah hunian yang pernah ia tempati.
Kembali ke tahun 1978. Sebuah rumah-hutan 700 meter persegi di Bath Road, Ohio. Di sekitarnya adalah bentangan pepohonan setinggi menara, juga jalanan sepi. Rumah itu sendiri menempati lahan seluas 1900 meter persegi.
Jeffrey Dahmer telah tinggal di sana selama 10 tahun, baru lulus SMA beberapa waktu lalu, tetapi ia kesepian di rumah. Orang tuanya bercerai. Ayahnya kerap pergi menemui gandengan baru. Segala hal jadi semakin sukar ia pahami.
Pada saat itu dapat dikatakan Marissa telah hidup sendiri, kalau bukan namanya bercerai. Memang ia belum talak secara hukum, tetapi rumah tangganya tidak bisa lagi diharapkan bertahan lebih lama.
Saya selalu suka Reddit. Bikin geleng-geleng ceritanya. Mana true story lagi. Saya post terjemahan bebasnya yang lebih singkat. Kalo rame nanti bisa dibikin utas bulanan.
Oke, mulai.
1. Menginap di hotel
Aku berkendara sembilan jam menemui orang tuaku untuk menjemput putriku yang dititipkan pada mereka. Kami bersepakat jumpa di satu hotel.
Setelah bertemu aku menawarinya menginap dan kuharap mereka mau. Namun ayahku berkata ia akan pulang saja. Jadi, aku hanya menginap bersama putriku. Segera check in lalu pergi ke kamar yang ditentukan.
Selagi fajar masih berselimut kabut, Amara memilih berangkat sepagi itu juga. Asep akan mengantarnya pulang agar ia bisa berkemas secukupnya. Jadwal penerbangan pertama ke Padang pukul delapan.
Tetapi Amara memesan tiket untuk keberangkatan pukul sepuluh. Dia juga telah mengabari amak eteknya mengenai rencana kepulangannya. Dan Yuni memberitahu bagaimana keadaan di sana.
Tiga orang itu ialah Hamdan, Amara, dan Atun, dengan pertimbangan sebegitu rupa sepakat berjaga malam itu sampai Gayatri kembali. Adapun Asep telah kembali ke kamarnya, tetapi ia akan selalu siap datang bila dibutuhkan sewaktu-waktu.
Kehadiran orang lain lumayan ampuh mengusir cemas. Mereka dapat bertukar cerita satu sama lain sehingga jalannya waktu jadi tidak terlalu menyiksa. Shizuka telah ditempatkan satu kamar dengan Amelia supaya lebih mudah dipantau.