Jf89 Profile picture
Nov 3, 2019 217 tweets 27 min read
Bismillahirrahmanirrahim

Seluruh tokoh dan tempat disamarkan. Gw mohon banget untuk yg "ngeh" untuk tidak membocorkan demi kebaikan bersama. Hatur Nuhun.

TIDAK ADA KAITAN dg yg akan keluar ya.

Dan jangan lupa berdoa karena mereka hadir dalam cerita.

Kamu jangan nakal ya..
PROLOGUE
Perjumpaan Ge dengan keluarga Jansen saat meninggalnya Mbah telah membuka tabir Setiap melewati jalanan di kotanya. Para penghuni bangunan tua menampakkan diri kepadanya. Entah itu suara, sosok, maulun bau yg muncul tidak seharusnya.
Namun, dibalik itu semua terdapat sebuah pertikaian di masa lalu. Bukan, ini bukan tentang mereka yg memiliki raga. Ini tentang mereka yg halus.

(Silahkan membaca utas WARISAN KELAM MASA LALU ya biar lebih jelas hehe)
Malam itu, gerimis mengguyur jalanan kota itu manakala Ge, Rika, dan Ahmad menikmati perjalanan pulang dari sebuah café sekedar untuk berkumpul bersama teman2 yg lain. Ahmad ikut dengan Ge dan Rina karena memang arah rumahnya sejalan dengan mereka.
Jam menunjukkan pukul 9 malam ketika mereka mendekati sebuah bangunan tua yg terkenal angker di kota tersebut. Ahmad, yg duduk di belakang tiba-tiba nyeletuk
"Tah didieu yeuh nu rek dijadikeun wismis (wisata mistis) ku si Adi" (Nah di sini nih yg mau dijadiin wismis sama si Adi).
Tanpa diberitahu pun sebenarnya Ge dan Rika sudah paham itu, terutama selepas kejadian yg terkait dengan rumah Mbah. Tempat tersebut memang salah satu legenda urban yg terkenal di kota itu. Mereka tidak menanggapi Ahmad karena khawatir terjadi hal yg tidak dinginkan. Namun,..
Ahmad melanjutkan celotehnya
"Ceunah baheula aya budak anu teu kahaja kamasak ku indungna, jadi sok aya bau k*****g mun peuting" (katanya dulu ada anak kecil yg ga sengaja kemasak sama ibunya, jadi kalo malem suka ada bau k*****g).
"*njir!" umpat ge lirih.
"Kalo ikut berabe nih" kesah Ge dalam hati.

Ge dan Rika mencoba mengalihkan pembicaraan, berharap apa yg mereka takutkan tidak terjadi.
Tapi, beberapa saat kemudian Ge mulai merasakan kehadirannya, apa yg ditakutkannya. Ia melirik ke belakang lewat kaca tengah hanya untuk melihat seorang anak bermuka hancur duduk disebelah Ahmad, memperhatikannya itu dengan seksama.
"Jangan ganggu dia!" Bisik batin Ge langsung kepada anak itu.

Seketika anak itu terdiam meski tetap dalam mobil.
Ge melihat Rika yg tertunduk, ia menyadari pula adanya penumpang tak diundang di mobil mereka. Ge memberi kode untuk tidak memberitahu Ahmad. Mereka melanjutkan obrolan mereka yg semakin hambar.
"Kunaon maraneh cararicing kitu?" (Kenapa sh kalian kok diem2 aja?) Ahmad mulai heran dengan gelagat Ge dan Rika.

"Teu nanaon Mad, woles weh hehe" (ga papa Mad, woles aja hehehe) Ge mulai mencairkan suasana kaku.
Namun, apa yg terjadi jauh dari apa yg terucap. Bocah itu mulai duduk diantara Ge dan Rika, memandang mereka seperti penasaran. Semakin di tidak acuhkan, semakin ia mengganggu dengan wajah yg menyeramkan dan bau menyengat. "Bangke!!"
Ge berusaha tidak menghiraukan bocah itu, dan memilih mengobrol dengan Ahmad untuk mencairkan suasana. Seolah marah tidak dipedulikan, bocah itu mendekati Rika yg mulai gemetaran, takut mulai merasuk.
Kali ini ia mulai lebih frontal, membuka lebar mulutnya yg terbentang dari telinga ke telinga, membelakkan mata hingga hampir tercopot, dan mulai meraba-raba tangan dan kaki Rika dengan tangganya yg penuh luka bakar.
Rika memejamkan mata, namun kemudian bocah itu mulai bersuara..
"Kakak kenapa sh? Kok merem gitu hihihi"

Rika tidak mengacuhkannya. Ia mulai membaca doa2.

Tidak takut, bocah itu kini mulai meraba kepala Rika sambil tertawa cekikikan.
Semakin lama kelakukan bocah itu semakin menjadi. Bau daging hangus terbakar dan bau busuk anak itu semakin mengganggu. Tubuhnya mulai terasa kaku ketika sesuatu dalam tubuhnya memberontak.
"Atuhlah!!" Setengah berteriak Rika mengatakannya.

"Eh, kunaon Ka?" (Eh, kenapa Ka?) Ahmad terkejut, sementara Ge mulai jengkel dengan bocah itu. "Teu nanaon Mad, ngan reuwas we aya nu utah tadi" (ga papa Ja, cuma kaget tadi ada yg muntah tadi). "oalah, haseum" timpal Ahmad
Teriakan itu membuat bocah itu tersentak. Ia kembali ke kursi kosong sebelah Ahmad. Namun, ia masih tertawa senang melihat reaksi mereka.
Ge tidak berkomentar sepatah kata pun dan itu membuat Ahmad heran. Ia telah mengenal Ge jauh sebelum Ge mengenal Rika. Ge memang pendiam dan hubungannya dengan Rika pun akan tampak ganjil bagi banyak orang, namun tidak biasanya sependiam ini.
Seolah paham dengan situasi yg aneh mengganjal ini, Ge mulai ikut menimpali perkataan Rika singkat "mabokna teu elit euy.

Meskipun ia berkata demikian, namun sekilas ia menoleh ke arah kursi kosong dengan tatapan tajam.

"Mau dibakar kamu hah?!"
Bocah itu diam tak bergeming, duduk di sebelah Ahmad. Ia memperhatikan tiga orang tersebut bercerita. Bercerita tentang hal2 yg tidak berkaitan dengan dirinya. Sesekali, Ge memandang bocah itu dari kaca tengah
"Biarlah, daripada mengganggu seperti tadi" batin Ge. Ia sadar bahwa ia sebenarnya tidak mungkin mengusir bocah itu sekarang. Sudah tentu Ahmad akan tahu. Terberkatilah Ahmad yg tidak menyadari bocah disampingnya.
Kadang Ge ingin menutup kemampuan untuk merasakan mereka seperti orang lain. Namun seorang yg ia tuakan meyakinkannya bahwa ada hikmah dibalik setiap peristiwa, ada tanggung jawab dibalik setiap amanah. Bismillah, Ge melanjutkan perjalanan.
Rute mereka malam itu membelah kota dari tengah ke selatan, melewati berbagai bangunan tua. Tidak terhitung banyaknya mereka yg menampakkan diri di halaman2 gedung dan rumah, di pohon2 samping jalan, dan bahkan yg melayang di udara.
Ge hanya berharap perjalanan ini cepat berakhir dan tidak ada penumpang gelap lainnya malam ini. "Awas kamu kalau berani mengajak mereka!" Ia memberi peringatan kepada bocah yg terdiam di belakang.
Beberapa kali Ge dan Rika coba mengusir bocah itu secara halus, namun ia tetap tidak bergeming. Syukurlah, sisa perjalanan sampai depan gang ke rumah Ahmad dilalui dengan tenang.
Sebelum berpamitan, Ahmad bertanya satu hal yg mengagetkan "Tadi aya milunya?" (Tadi ada yg ikut ya?). Pertanyaan Ahmad mengagetkan Ge dan Rika, ternyata ia sadar dengan gelagat mereka.
"Mun maraneh tiba2 cicing, pasti aya nanaon, siga si Angkasa" (kalau kalian mendadak diam pasti ada apa2, seperti si Angkasa). "Tenang, aman da teu milu ka maneh" (tenang, aman kok tidak ikutin kamu) balas Ge. "Aman kitu mah, ati2 we nya" ujar Ahmad lega sekaligus khawatir.
Perlahan mobil tersebut berputar dan menuju jalan bebas hambatan, rute tersebut menuju daerah tempat rumah Ge dan Rika berada. Tidak ada sepatah kata pun terucap dari bibir keduanya. Bocah itu perlahan mulai bergerak.
"aku sepi di belakang sendiri, gabung sama kalian ya.." celoteh bocah itu..
Wajahnya tetap hancur, badannya pun tampak tampak terbakar dengan bau yang menyengat. Ia bergantian memperhatikan Ge dan Rika. Kemudian ia memegang tangan Rika untuk duduk bersama di kursi penunpang. Rika sudah tidak tahan dan mulai berteriak "HYAAAAA!!".
Ge sontak terperanjat dan mulai memegang tangan Rika seraya membaca doa menyalurkan prananya. Bocah itu kepanasan namun berpindah ke sebelah kiri Rika yg tidak teraih oleh Ge. "Iiih kakak jahat"
Bocah itu melakukan hal yang sama terhadap Rika. Ge kemudian meminta Rika untuk menjulurkan tangan kiri dan kanannya agar Ge dapat memegangnya bersamaan. Bocah itu pindah ke kepala Rika..
TIIIIIIT!!!

Klakson mobil dari kiri itu mengagetkan Ge yg sedang berkonsetrasi menghalau bocah itu. Mobilnya yg berjalan oleng hampir saja disambar oleh mobil lain dari kiri. "Astagfirullah" Ge terperanjat.
Sementara itu, perhatian Ge yg teralih membuat makhluk itu mulai merasuki Rika. Rika kini menjadi pucat pasi dengan nafas yg berat. Ge tahu, bocah itu tidak akan bisa merasuki Rika, namun hal yg lebih gila akan datang sebagai gantinya.
Ge mengalah, ia tidak bisa mengemudi sambil mengusir paksa bocah itu. Nyawa mereka taruhannya, terlalu konyol untuk terlepas karena gegabah. "Baiklah, berhenti dan duduk di tengah!" perintah Ge kepada bocah itu
"apa maumu?" Tanya Ge
"Ingin ikut jalan2" balas bocah itu dengan santainya.
"Sebentar aja ya, dan bentuknya jangan seperti itu!"

Perlahan bentuk bocah itu menjadi lebih baik dan tertawa riang.
"Maafin teman kami ya kalo udah ganggu kamu"
Rika yg kali ini lebih tenang berbicara dengan bocah itu.

"Iya2 dimaafin" kata bocah itu.

"Trus kamu harus pulang dong?" timpal Ge
"Anterin tapi" balas bocah itu.
"Kamu ini, udh diijinin ikut masih minta lebih!!" Ge tidak bisa menahan amaranya. Sebagai balasan, bocah itu mengcekram lengan Ge sampai membuatnya terasa berat sekali. Ge melawan dengan prana dan doa. Bocah itu sekali lagi berpindah kepada Rika.
Ge menghelas nafas panjang. Ia sadar ia tidak mungkin mengusir bocah itu tanpa perhenti terlebih dahulu. Meneruskan perjalanan dengan kondisi seperti ini hanya akan mengundang bala. Lain kali mungkin bukan lagi klakson, namun langsung hantaman terhadap mobil mereka
Saat itu entah darimana Ge berpikir satu tempat untuk mereka berhenti sejenak. Ia tidak yakin, namun ia penasaran terhadap pikiran yg tetiba datang itu. Batas kota.
Di batasan kota, mobil Ge menepi di rerumputan sebelah kiri jalan tol. Membuka kaca jendela mobil sembari menyalakan rokok. "Yang, pintu sama kaca kamu juga dibuka ya" perintah Ge kepada Rika.
"Emang dia mau keluar? Tuh udh pindah kebelakang lagi" Rika ragu apakah rencana Ge akan berhasil atau tidak. Ia sudah terlalu lelah dengan ini. "Dicoba dulu aja" tegas Ge, ia terfokus pada bocah itu
Ia membuka pintu belakang mobilnya dan menatap tajam bocah itu. Bocah itu coba menakuti Ge dengan membuka lebar mulutnya sampai ke telinga dan membelakkan matanya hingga terlepas. Ge diam, tetap meilhatnya tajam
Tidak berhasil menakuti Ge, ia mulai beralih ke Rika. Namun sebelum berhasil ia sudah dihalau terlebih dahulu oleh Ge. Ia kini terpojok dan ketakutan. Ia coba memelas.
"Pergi kamu sekarang juga sebelum tidak bisa pulang sama sekali, ini bukan wilayahmu !" bentak Ge.

"Atawa milu tapi ku aing duruk" (atau ikut tapi gw bakar) bentak Ge lebih keras lagi. Bocah itu perlahan kembali kebentuk asalnya dan mengangguk.
"Iya, aku pergi kak, tapi nanti ketemu lagi kok" jawab bocah lemah itu sambil keluar dari mobil dan menjauh. Ge tidak membalas bocah itu.
Ge dan Rika bersyukur bocah itu akhirnya pergi. Sebenarnya Ge heran, mengapa hal tersebut berhasil, sejujurnya ia ragu dengan ide itu. Rika yg terbengong keheranan bertanya mengapa hal tersebut bisa berhasil. Ge hanya menjawab entahlah dengan muka yg lega.
Sisa perjalanan dilalui dengan tenang okeh mereka berdua. Sebelum meninggalkan rumah Rika, Ge sempat melihat kembali kebelakang, khawatir bocah itu masih disana. Namun syukurlah, hari ini ia akan mengendarai mobil seorang diri.
Malam itu berakhir tanpa teror bagi Ge dan juga Rika. Namun mereka merasa ada yg mengganjal, mengapa bocah itu daoat diusir semudah itu di batas kota? Ya, batas kota adalah satu hal yg tidak terjelaskan malam itu.

Mungkin nanti, disaat yang lebih mencekam.
Maaf typo *daoat itu dapat.
Tabir perseteruan baru akan tersingkap...
Meskipun seharusnya Ge merasa lega karena ia tidak lagi diteror oleh bocah itu, namun rasa penasaran itu selalu mengusiknya. Entah sudah berapa kali ia bertanya kepada orang2 yg paham hal tersebut dan kembali tanpa jawaban yg memuaskan.
Mengapa bocah itu seolah pergi dengan sendirinya di batas kota? Sebuah pertanyaan yg berkembang menjadi obsesi Ge. Disaat yg sama, hubunganya dan Rika merenggang dan obsesi itu hanya memperburuk hal tersebut.
Jurang perbedaan pandangan terasa begitu lebar manakala ruang untuk persamaan terkikis kesibukan masing2. Dengan waktu pernikahan mereka semakin dekat, perdebatan diantara mereka justru semakin sering dan sengit. Satu hal yg kemudian juga dirasakan oleh teman2 mereka.
Entah berapa lama hal tersebut berlangsung, hingga satu saat..
Hari itu adalah sabtu yg cerah. Ge sibuk dengan pekerjaannya ketika notifikasi HP berbunyi, sebuah pesan dari Tama. "Ge, jadi pan ke peuting? Tong poho ajak Rika" (Ge, jadikan nanti malam? Jangan lupa ajak Rika). Ia hampir lupa malam itu ia ada janji berkumpul dengan teman2nya.
Tama, sang inisiator terkenal penjelajah tempat nongkrong di seantero kota, apalagi yg banyak perempuan cantiknya. Sebuah ironi bagi seorang bujang lapuk sepertinya. Kali ini selain Ge dan Rika, ia juga mengajak Ahmad dan Adi.
Meskipun sebetulnya enggan, Ge tetap akan datang. Entah mengapa, Tama selalu bisa mengajak Ge bahkan sejak kuliah dulu. Selain itu, ia ingin memberi kesan bahwa ia dan Rika baik2 saja dan sedikit berharap bahwa acara malam ini dapat mencairkan hubungan kaku diantara ia dan Rika.
Sore itu, Ge menjemput Rika di rumahnya. Hubungan mereka tampak baik2 saja. Mereka sepakat untuk meredam ruang perbedaan setidaknya untuk malam ini. Dalam perjalanan Rika membuka obrolan "tempatnya dimana emang?". "Paniisan katanya, aku jg ga tahu dimana, nanti ketemuan dulu".
"Paniisan?" Batin Rika.
Ia tahu tempat itu, terletak di daerah pegunungan dan cukup sering dikunjungi untuk sekedar mengobrol menikmati pemandangan kota dari atas. Menarik dikunjungi meskipun ia sedikit takut. Rasa takut yg tidak bisa dijelaskan nalar.
Mereka bertemu di mesjid yg sama dimana Rika menjemput Ge waktu itu. Tama bersama Adi dan Ahmad akan pergi dengan mobil Tama sementara Ge dan Rika akan mengikuti dari belakang. Selepas maghrib mereka berangkat.
Ditengah perjalanan, mobil Tama melambat dan kemudian berhenti. Ge kemudian menepikan mobilnya dan bertanya apa yg terjadi. "Teuing Ge, mobil urang asa beurat. Ti heula weh, milukeun maps" (Ga tau Ge, mobil gw kerasa berat. Duluan aja, ikutin gugle maps).
Ge mengiyakan sambil meledek mungkin mobil Tama berat karena matic. Namun, sebenarnya ia merasakan ada yg tidak beres. Di mobil, Rika bertanya tentang Tama. Ge hanya menjawab mobil Tama berat karena bukan manual. Samar, Rika pun merasakan keganjilan.
Jalan ke tempat itu menanjak dan berkelok2. Meski demikian, jalan sempit itu penuh oleh kendaraan malam itu. Mereka yg mencari tempat untuk menikmati hidangan dan pemandangan di malam minggu. Termasuk mereka yg dari luar kota dan mereka yg tidak tampak.
Semakin menanjak dan terus naik keatas. Jalanan mulai terlinat lebih sepi. Ge mulai kesal dan seolah tidak mempercayai aplikasi navigasi di HPnya. "Masih jauh tempatnya?" tanya Ge. "Harusnya sh bentar lagi, dekat perbatasan" jawab Rika
"Perbatasan?" Kata itu kembali terngiang dalam pikiran Ge seolah memberi peringatan. Sementara Rika lebih banyak diam, bukan karena masalah antara ia dan Ge, namun karena hawa mereka terasa semakin kencang.
"*njing si Tama" bisik Ge perlahan. Ia membuka jendela mobil untuk merokok hanya untuk melihat keramaian yg mereka yg halus di lembah. "Udah lah, ga perlu marah2 gitu" seru Rika yg kesal karen Ge malah membuka jendela dan membiarkan hawa mereka lebih terasa.
Ge tidak menanggapi keluhan Rika. Rasa kesal, takut, marah, dan penasarannya bercampur baur. Perlahan ia mulai melihat tempat tujuan di kejauhan. Tempat tersebut dipenuhi kendaraan dan menghadap lembah.
Semakin dekat semakin Ge menyadari bahwa tempat tersebut bukan sebuah tempat nongkrong biasa, tempat itu merupakan sebuah petilasan..
Ge tidak pernah tahu di daerah itu terdapat sebuah petilasan. Jelas bukan sembarang petilasan, hawa tempat itu sangat kuat dan tidak bisa dibandingkan dengan tempat lain. Sekilas ia sudah melihat para penunggu petilasan tersebut, mereka tidak bisa ditemukan disembarang tempat.
Setelah parkir, Ge terdiam dalam mobilnya, ia fokus untuk berdoa memohon izin dan keselamatan. Rika pun seperti terpaku di tempat duduknya, tidak bergerak sama sekali. Ge membuka mata, namun tatapannya mengandung sedikit kekhawatiran.
Tidak lama Tama, Ahmad dan Adi datang. Mereka langsung keluar mobil sambil asyik mengobrolkan sesuatu. Mereka mendekati mobil Ge dan mengetuk kaca jendela. Ketukan mereka membuyarkan lamunan Ge dan Rika. Perlahan mereka membuka pintu.
"Naha teu langsung asup wae Ge?" (Kenapa ga langsung masuk aja Ge?) Tanya Tama. "Nungguan maneh lah, pan nu apal maneh" (nunggu lo lah, kan yg apal lo) balas Ge. "Urang ge can pernah kadieu Ge" (gw juga belum pernah kesini Ge).
"Heh?" Ge keheranan.
"Hayu asup" ajak Tama tanpa memperdulikan keheranan Ge.
"Tempatnya asyik buat nyepi yg gini man" komentar Adi. "Sakieu rame, ulah rek nyepi wae Di, hese jodo" (segini rame, jangan mau nyepi terus Di, susah jodo) canda Ahmad.
"Assalammualaikum. Sampurasun. Neda dihapunten ka sadayana sim abdi neda widi lebet" (Assalammuakaikum Sampurasun. Mohon maaf semuanya, saya izin masuk) bisik Ge lirih. Salam Ge hanya dengan tatapan tajam dari mereka.
Rika mengangkukkan kepala seperti meminta izin. Tidak biasanya dalam beberapa waktu terakhir, Rika memegang tangan Ge erat. Rasa takut itu mulai dirasakannya kuat.
Sambil berjalan masuk Adi bercerita bahwa mobil Tama kembali bermasalah di tengah jalan. Ia hanya berasumsi bahwa mobil itu jarang dirawat mesinnya, satu hal yg langsung dibantah Tama. Tama di lain sisi seperti memikirkan hal lain.
Mereka berjalan masuk dan disambut gapura bambu yg dilanjutkan jalan setapak menuju lereng dimana kursi dan meja pengujung berada. Jalan setapak menurun itu hanya cukup untuk dilalui dua orang dewasa bersamaan.
Dengan pandu seorang pegawai kedai, mereka menyusuri jalan setapak tersebut. Tama didepan dan Ge paling belakang. Selama perjalanan turun Ge dengan seksama memperhatikan tempat tersebut. Tempat tersebut sangat penuh dengan para pengunjung dan juga mereka yg halus.
Dibeberapa titik, berjaga mereka yg tampak seperti hulubalang kerajaan kuno. Mereka memperhatikan para pengunjung yg melintas. Semakin ke bawah semakin banyak pengunjung dan mereka yg halus, semakin kuat pula hawanya. Kepala Ge terasa berat sementara Rika berjalan terhuyung.
Sampailah mereka ditempat yg belum terisi, sebuah bangku dan meja kayu. Sebelum mencapai tempat tersebut, mereka harus melalui para pengujung yg duduk di atas tikar dan juga mereka berpakaian seperti orang zaman dulu. Ge mulai kesulitan membedakan mana yg kasar dan mana yg halus.
Akhirnya mereka sampai di tempat duduk mereka. Pelayan kedai langsung memberikan daftar menu kepada mereka. Entahlah, Ge tidak berminat sama sekali untuk memesan makanan atau minuman saat teman2 dan tunangannya sibuk memilih menu.
Ge akhirnya memesan kopi hitam tanpa gula dengan harapan minuman itu akan menghilangkan berat dikepalanya. Sebenarnya ada kekhawatiran dihatinya. Sejak mereka masuk, seolah ada tatapan tidak suka terhadap mereka. Semoga tidak terjadi apa2 harapnya.
Mereka harus menunggu lama untuk pesanan datang karena penuhnya kedai. Ge mulai menyadari bahwa lembah tersebut sangat ramai. Sesekali terlihat cahaya merah menyala-nyala didasar lembah. Namun apa yg membuat Ge terperangah adalah sebuah pohon besar tidak jauh dari area kedai.
Sambil merokok, Ge memperhatikan seksama pohon itu. Siapapun yg berada disana pastinya tidak sembarangan. Pohon tersebut dijaga ketat oleh para hulubalang, beberapa raksasa dan makhluk2 lainnya. Di sekeliling mereka ramai oleh orang2 berpakaian lawas berwajah pucat bahkan rata.
Ge tidak berani menerawang lebih jauh, semakin ia memikirkan pohon tersebut semakin terasa berat badan dan kepalanya. Leher dan punggungnya mulai terasa kaku. Pertanda bahwa ia sebaiknya jangan macam2 dengan siapapun yg berada di pohon itu.
Rika mencengkram lengan Ge erat seolah merasakan hal yg sama. Sementara ketiga teman mereka tampak tidak terpengaruh sama sekali. "Anterin aku ke kamar mandi" bisik Rika. Ge menganggukkan kepala, ia merasa mendapatkan kesempatan untuk menikmati udara segar.
Baru beberapa langkah berjalan, Tama berteriak "urang ikut!". Setengah berlari ia mengejar Ge dan Rika. Ge dan Rika keheranan melihat gelagat Tama. "Rek meuli rokok, beak euy" (mau beli rokok, habis nh) Tama memberi alasan. Mereka berjalan cepat meninggalkan Adi dan Ahmad.
Sesampainya di atas, Rika menuju kamar mandi di bangunan utama sementara Ge dan Tama keluar mencari warung. Mereka berdua enggan mengeluarkan uang lebih untuk rokok yg juga dijual di kedai itu. Selain ada alasan lain yg membuat Tama menyusul Ge dan Rika.
Ge dan Tama mengobrol di luar, dekat tempat parkir. "*njing, loba nyaho dijero" (*njing, banyak tahu di dalam) hardik Ge kepada Tama. "Leuheung mun jiga bungkus atawa miss k mah, Ieu lain g*blog!" (Mending kalau bungkus atau miss k, ini bukan g*blog!).
"hampura lur, urang pan teu nyaho aya nu kitu" (maafin bro, gw kan ga tahu banyak yg seperti itu) Tama meminta maaf. "Enya sih, ceuk indung urang ulah kadieu, bisi aya nanaon" (iya sih, kata ibu jangan kesini, takut ada apa2). Lanjut Tama. "Ah g*blog maneh" balas Ge
Ge paham benar bila Ibunya Tama melarang berarti beliau sudah tahu tempat seperti apa ini. Seseorang dengan trah keraton tidak akan sembarangan melarang anaknya bila bukan sesuatu yg serius.
"Matakna urang ngajak maneh Ge, pan maneh boga getih eta oge" (Makanya gw ngajak lo, kan punya darah itu juga) Tama sekali lagi coba merayu.

"Nu ieu mah beda.." (yg ini beda)
Entah telah berapa kali Tama mengajaknya ke suatu tempat yg banyak dihuni yg halus. Namun kali ini ia tidak yakin akan baik2 saja. Mereka berbeda, dan ini kali pertama bertemu mereka yg seperti itu
Mata Ge menerawang ke angkasa sementara Tama yg merasa tidak enak memilih diam.

Tidak lama Rika menyusul keluar, ia mengelus perutnya dan terlihat pucat. Ia seketika heran melihat Ge dan Tama yg tampak asik dengan rokok masing2.
"Kamu kenapa yang, kok pucet gitu" kali ini Ge benar2 khawatir dengan Rika. "Ga papa, cuma ga enak perut" balas Rika singkat, namun tatapannya hendak memberitahu hal lain. "Nanti aja" bisiknya.
"Hampura teh, teu nyangka loba nu kituna" (Maafin teh, ga nyangka banyak yg gitunya) Tama meminta maaf. Penggunaan kata "teh" menunjukkan bahwa Tama benar2 menyesal. Dia yg termuda diantara semua.
"Ah biasana oge kitu Tam, santai we" balas Rika, ia enggan berdebat. "Emang aya naon wae sih?" (Memang ada apa saja sih?) Tama masih penasaran. "Loba we pokona" (pokoknya banyak aja) pungkas Ge.
Merasa bersalah, Tama memutuskan untuk mentraktir teman2nya hari ini. Ia juga mengajak mereka untuk segera pergi mencari tempat lain segera setelah makanan dan minuman mereka habis. Ge dan Rika setuju, namun mereka sekarang harus memastikan bahwa Ahmad dan Adi baik2 saja
Mereka bertiga berjalan kembali ke meja mereka di bawah. Sambil berjalan Rika berbisik kepwda Ge "ada nenek2 aneh wangi melati di kamar mandi, matanya item semua,.. dia bilang sesuatu ke aku..". "Bilang apa?"
"Si eneng geulis pisan, teu aheng mun seueur dipikaresep, tos keuna kiceup" (kamu cantik sekali neng, tidak heran banyak disukai, sudah kena tatapannya)

Ge seketika terperanjat.
"Kamu ga lagi dapet kan?" Ge tetiba bertanya
"Enggak, kenapa gitu?"
"Ga papa"

Perasaan Ge sedikit lega, setidaknya masalah malam itu tidak akan bertambah.
Namun, baru beberapa langkah mereka jejakkan di jalan setapak, listrim di kedai tersebut padam.

Mereka bertiga seperti halnya pengunjung yg lain tercekat dalam gelap. Seolah kembalinya mereka kedalam disambutan oleh para penghuni.
Samar dikejauhan terdengar alunan musik tradisional. Bukan sembarang musik, musik pengiring tarian jiwa.
Ge memegang tangan Rika dan Tama sekaligus. Meminta mereka untuk istighfar dan fokus kepada yg Maha Tunggal memohon pertolongan.
Ditengah panik kedua temannya, Ge menutup mata, membaca kitab suci dalam jiwa dan berbisik "Kula neda widi lebet deuih, sangkan kreta sadya buana ku Hyang Ngersakeun tea, Gusti Allah SWT"
Tidak lama, lampu kembali menyala, seorang pelayan memohon maaf kepada mereka dan pengunjung lain untuk ketidaknyamanan itu. Mereka bertiga kembali berjalan, melewati para pengunjung yg tampak masih kebingungan.
"Nista dan maja telah terjadi, semoga utama tidak menyusul" batin Ge, meski ia tidak tahu apalagi yg bisa membuat penghuni tempat ini tertarik kepada mereka.
Sampailah mereka bertiga ke meja mereka. Ahmad dan Adi langsung menanyakan dari mana saja mereka "Hampura, meuli rokokna tadi rada jauh" (maaf ya, tadi beli rokoknya agak jauhan). Alasan konyol, namun bisa membuat mereka berdua percaya.
Sementara Ahmad dan Adi menyelesaikan makanan dan minuman mereka dengan santai, Rika, dan Tama menghabiskan dengan terburu-buru.

Ge yg hanya memesan kopi hanya melihat ke arah pohon itu, kali ini ia mulai mengerti dan mulai berani.
"Kunaon sih buru2 teuing" (kenapa sih buru2 banget?) Adi keheranan melihat Tama dan Rika terburu2 menghabiskan makanan mereja.

"Hayu urang caps keudeung deui, keur aya si Rama, bisi nungguan "(ayo kita cabut sebentar lagi, lagi ada Rama, takut dia nunggu) Tama coba berkilah.
Eh ai sugan ngan ka dieu wungkul" (eh dikirain kesini aja) timpal Ahmad.

"Emang geus janjian?"
"Tadi urang WA"

Rama, teman mereka semua yg tinggal dan bekerja di pulau lain. Kebetulan ia sedang datang hari itu, saat yg tepat untuk segera mengajak mereka pergi dari tempat itu.
Ahmad dan Adi pun menjadi ikut terburu2 menghabiskan makanan dan minuman mereka. Sudah lama mereka tidak bertemu Rama yg merantau sejak beres kuliah beberapa tahun lalu.

Ge tersenyum, masih ada kesempatan untuk selamat.
Semakin lama mereka berada disitu semakin terancam jiwa mereka. Tembang tadi adalah pemikat sukma yg dimainkan secara gaib, siapa yg dikehendaki akan mendapatkan ketenangan, namun siapa yg tidak, akan tersesat.
Namun, senyuman Ge hanya bertahan sejenak. Listrik kembali padam. Kali ini listrik langsung menyala untuk kemudian padam kembali. Hal tersebut terjadi beberapa kali sampai kembali padam cukup lama. Alunan tembang itu terdengar dekat, seperti berasal dari sekitar pohon itu
Samar, Ge dapat melihat kerumunan orang sedang menari mengikuti tembang itu. Perlahan ia merasa tubuhnya mendekati kerumunan tersebut..
Tetiba mata Ge terpejam, hingga listrik kembali menyala pun ia masih terpejam. Ahmad dan Adi heran mengapa ia bisa tertidur tiba2 sementara Rika dan Tama panik.

Mereka mencoba membangunkan Ge namun tanpa hasil.
Sebelum Tama memukul punggung Ge dan ia terbangun. Bukan mengucap istighfar seperti yg dikatakan Tama, tapi ia malah mengucap syukur. Aneh..
Ge yg baru terbangun, melihat makanan dan minuman yg mereka pesan telah banyak yg habis. Ia segera mengajak mereka untuk pergi.

Wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran.

Merasa mulai tidak enak, mereka semua setuju untuk segera pergi dari kedai tersebut.
Selama perjalanan menuju tempat parkir, Ge berulang kali ditanya mengapa ia bisa tiba2 tertidur. Dan berkali2 pula Ge menjawab tidak apa2.

Sebelum berangkat, Ge menghadap ke arah pohon itu yg kini terhalang bangunan utama. Ia terlihat seperti memberikan salam.
Perjalanan turun dilalui dengan aman tanpa ada gangguan yg tak kasat mata. Hanya saja Ge menjadi lebih banyak diam selama perjalanan. Ia hanya menjawab Rika seperlunya, ia seperti memikirkan hal lain. Satu hal yg tidak ingin ia bagi dengan siapapun.
Sementara itu, di mobil lainnya, Ahmad, Tama, dan Adi asik memperbincangkan Rama yg akan mereka temui. Sesekali Tama melihat kaca tengah untuk memastikan mobil Ge yg berada dibelakang baik2 saja.
Namun Ge mengambil jalan yg berbeda dengan Tama untuk menuju kedai mie tempat mereka akan bertemu Rama. Khawatir, Tama menelepon Rika menanyakan mengapa melalui jalan yg berbeda.
"Teuing Tam, Ge ti tadi cicing wae" (ga tahu tam, dari tadi Ge diam aja).
Setelah menutup telepon Tama, Rika bertanya tegas kepada Ge. Rasa khawatirnya menjadi jengkel karena merasa tidak dipercaya oleh tunangannya sendiri.

"Aku tanya ke kamu Ge, kamu kenapa?"
"Apa aku mau nikah sama batu apa?! Ngomong aja ga bisa"
Sekilas Ge menengok kepada Rika dengan tatapan tajam. Perlahan ia mulai bicara "jangan sampai terjadi utama bila tidak ingin melihat prahara".

"Udahlah, ngomong pake bahasa biasa aja, ga perlu sok misterius!" Balas Rika. Ge diam.
Ge tidak menanggapinya. Matanya fokus pada jalanan didepannya. Sesekali ia melihat ke belakang seolah ada yg mengikuti meskipun ia sebenarnya tahu, tidak ada satupun yg mengikuti mereka.

Jalan yg Ge ambil malam ini tidak lazim, ia memilih rute memutar menghindari kota.
Jengah, Rika membentak "Kamu maunya apa?! Jalannya muter gini, tau bakal macet!" Ge memberi isyarat kepada Rika untuk diam seolah takut terjadi sesuatu bila ia membuka mulut. "UDAH, AKU TURUN DISINI".
Ge menghela nafas dan mulai mengarahkan mobilnya ke arah kota. Pelan, ia mulai berkata lirih "apapun yg terjadi setelah ini, diluar kemampuanku, berdoalah semoga tidak ada yg numpang malam ini".
Perlahan Ge mulai menjelaskan lebih jauh tentang sikapnya "bauku mudah terendus karena darah yg tidak bisa kutolak saat aku dibawa mereka tadi".

"Tapi aku harus mengikuti mereka atau kamu dan Tama yg pergi".

"Maksudnya?" Rika membelalak keheranan.
"Yg mengundang tadi itu Ratu, namun hulubalang yg silap juga mengetahui tentang kita". Sekali lagi ucapan Ge membuat Rika keheranan, ini bukan Ge yg ia kenal sejak 7 tahun lalu.
"Terus kalau kamu yg diincer mereka sekarang, apa hubungannya sama aku, Tama? Kenapa harus jalan muter?". Ge baru akan menjawab saat tiba tiba terdengar

BRUAAGH!!
Suara tersebut dari dalam kabin, namun tidak ada apa2 disana. Tiba2 lengan kanan Rika terasa panas. Bocah yg pergi di batas kota datang kembali...

"TOLOONG!"
Ge tidak kaget sama sekali melihat bocah itu datang. Wajahnya tampak pasrah seolah itulah takdir yg tidak bisa ia hindari.

Sebaliknya Rika berteriak sejadi2nya melihat makhluk yg berada di antara ia dan Ge tersebut. "PERGI KAMU MAKHKUK LANAT!!!"
Bocah itu tidak bergeming. Wajahnya memang buruk rupa, namun kali ini ia benar2 terlihat memelas.

"Mereka mengejarku. Bukan bukan, mereka mengejar kami"
"Siapa yg mau mengejar makhluk jelek kayak kamu?" Rika membalas dengan sengit.
"Mereka dari petilasan" sahut Ge singkat.
"Dengar bocah, aku ga bisa maksa kamu pergi sekarang. Tapi tolong jangan ganggu. NGERTI?!"

bocah itu diam ditengah, benar2 tidak mengganggu, tidak seperti dulu.

"Bodoh, kamu asal mendekat, sekarang kamu jadi incaran mereka"
"Mereka gila kak, mereka ingin mencelakai aku dan teman2ku." Balas bocah itu.

"Dan sekarang maksa buat nolong kamu?" Sahut Ge.

Bocah itu sekali lagi diam.

"Dengar, didepan keluar dari mobil, ada banyak temanmu disana, aku tahu dan jangan membantah" jelas Ge
Tempat yg dimaksud adalah daerah kedai mie yg dituju Ge. Sebuah kompleks lawas yg telah ada sejak awal masa kemerdekaan.

"Kami berhenti disini, kamu harus pergi SEKARANG!!" hardik Ge.

Bocah itu menurut, dan perlahan menghilang.
Ge dan Rika tiba di kedai mie itu. Sebenarnya Ge enggan untuk singgah. Ia ingin secepatnya lari. Namun bila ia melakukan itu, jiwa Tama terancam saat perseteruan itu terjadi. Dan pasti akan terjadi.

Nista, maja, dan utama telah berwujud.
Ge dan Rika turun dari mobil, menuju kedai tersebut. Wajah mereka terlihat sangat pucat dan tegang.

"Hei Ge, kumaha damang?" (Hei Ge, gimana sehat?" Rama menyapa Ge.
Ge hanya mengiyakan bahwa ia baik2 saja dan tersenyum lemas.
Obrolan mereka yg seharusnya menarik ,berlangsung hambar. Hanya Rama, Ahmad, dan Adi yg terlibat seru dalam obrolan. Ge dan Rika lebih banyak diam sementara Tama hanya sesekali menanggapi.

Gelagat Ge dan Rika benar2 membuat Tama khawatir. Ia tahu, sesuatu telah terjadi.
Ge tenggelam dalam pikirannya sendiri, apa yg harus ia lakukan selanjutnya. Berharap bahwa prahara yg terjadi cukup melibatkan mereka saja tanpa perlu melibatkan dirinya, tunangannya, dan temannya.

"Makhluk yg paling mulia, tanggung jawab yg paling besar" bisik batinnya.
Ia meneguk double shots espresso sekaligus, seolah memaksa tubuh lelahnya untuk terus terjaga. Hal tersebut membuat Rama menyadari pula ada yg tidak beres. Ia bertanya namun hanya dijawab senyuman.
Rika perlahan mulai membaur dalam obrolan, apapun yg Ge pikirkan ia mulai tidak peduli. Biarlah bila ia ingin menyimpan sendiri.
Berbeda dengan Tama, ia bertanya ada apa kepada Ge. Sekali lagi Ge diam. Tidak nyaman, Ge mengatakan ada sesuatu yg tertinggal di mobil. Tama tahu, itu hanya alasan untuk menjauh. Ia mengejarnya.

"Kunaon sih maneh?" (Kenapa sih lo?)
Merasa tidak bisa menghindar lagi akhirnya Ge menyerah. Ia menyalakan sebatang rokok dan mulai bercerita.

"Nu di tempat eta nuturkeun urang, nyaho nu urang omongkeun" (yg ditempat itu ngikutin gw, tahu apa yg gw bilang).
"Masalahna, aya jurig Walanda tadi di jalan ojol ngadeukeutan. Si eta jeung sabangsana jadi inceran ayeuna" (masalahnya, tadi ada hantu Belanda tiba2 mendekat, sekarang dia dan sejenisnya yg jadi inceran).

"Terus hubungana jeung maneh naon?" (Tru, hubungannya dengan lo apa?)
"Getih karuhun" (darah leluhur) jawab Ge singkat.

"Urang aya ditengah2, mun manehna minta tumbal, urang kudu milih saha" (gw ada ditengah2, kalau mereka minta tumbal, gw harus milih)
"Urang geus ngomong ka maneh, kabeh resiko ditanggung sorangannya. Lamun urang teu bisa ngabantuan deui" (gw udh ngomong ya, semua resiko ditanggung sendiri. Kalau gw ga bisa ngebantu lagi.)
Selepas Ge mengatakan itu suasana sekitar kedai tetiba berubah. Udara mendadak panas sekali padahal saat itu hampir tengah malam. Tama dan Ge menjadi sangat merinding, seolah ada banyak yg halus. Dan hampir seluruh pengunjung kedai merasakan itu...
Mereka melihat ke halaman kedai namun tidak ada apa2. Namun tidak bagi Ge..

Dihalaman itu, bahkan hingga jalan didepan kedai berderet mereka dengan berbagai bentuk. Entah berapa banyak.. serempak mereka berkata

"TOOOLOONG!"
"*NJING, daratang diya" (*NJING, pada datang mereka) umpat Ge
"Saha Ge?" (Siapa Ge?) Tama keheranan.

"Nu ti luhur. Geuwat asup. Bisi ngincer maneh oge" (yg dari atas, cepet masuk, takut lo diincer juga).
"Hah?Naha?" (Hah? Kenapa?).
"ASUP GANJANG G*BLOG!!!" (cepet masuk g*blog!!) Ge tidak menjawab namun berteriak dengan panik
Ge menatap mereka lekat. Berwajah pucat, hancur, rata, anak kecil maupun dewasa, dan entah bagaimana bentuknya.

Seolah semuanya berkumpul di tempat itu, meminta tolong kepadanya dari ancaman sesuatu yg mereka takuti.
Penghuni petilasan.

Ya penghuni petilasan itu mungkin telah ada ditempat itu jauh sebelum kota ini ada. Jauh sebelum penghuni kota ini tiba dari berbagai penjuru.

Ge tahu benar, perseteruan telah dimulai.
Sambil panik berlari masuk, Tama samar melihat mereka. Ia ketakutan setengah mati. Namun, ia lebih khawatir melihat Ge. Sementara Rika tertunduk, ia tidak mampu melihat kehalaman. Kedai itu mendadak hening.
Perlahan Ge berjalan mendekati mereka.
Baginya tidak ada jalan lain.

Baru beberapa langkah ia berjalan, angin bertiup kencang. Belum reda angin itu, terdengar petir menyambar, dekat sekali dari kedai tersebut. Suasana mendadak gaduh meski pengunjung kedai terdiam.
Tama berteriak memanggil Ge. Namun, ia terus berjalan menuju kerumunan itu.

Tidak ada satupun dari mereka yg berani menyentuh Ge. Mereka hanya menatapnya penuh harap. Sampai di ujung kerumunan, Ge melihat bocah itu terduduk lesu, menunjuk sesuatu diujung jalan.
"Bocah.. bocah, kamu memang selalu merepotkan"
Diujung jalan berdiri mereka, yg ditakuti penghuni halus kota ini.

Sesosok tinggi besar berwarna merah dengan taring menggantung hingga tanah, kakek2 peyot bertubuh kecil, sampai mereka yg berpakaian hulubalang dengan mata besar dan gigi2 runcing.
Namun disana tidak ada Sang Ratu...
"BEDEBAH LAKNAT, KHIANAT SARIYA!!"

Teriak Ge, muak sekaligus sedih dengan apa yg ada dihadapannya. Mereka yg berkhianat dari kastanya, mereka yg berkhianat pada ratunya, mereka yg dahulu bersama leluhurnya.
Seketika badan dan kepalanya terasa berat. Terhuyung ia duduk di trotoar. Seorang kakek buruk rupa itu mendekat perlahan, ia tertawa terkekeh.

"Geus cu, puhun mulah dilancan" (sudah cu, leluhur jangan dilawan).
Ge merapal doa disalurkan lewat prana untuk balik melawan.

Kakek itu mundur sejengkal namun pasukan dibelakangnya maju menerjang. Menahan Ge di sebuah pohon.

Sesosok kepala menggantung dengan lidah terjulur menjilati Ge yg terpojok. Bau anyir makhluk itu membuatnya mual
Perlahan kakek itu mendekat sambil terkekeh

"Kula hanteu lancan ka para puhun" (aku tidak melawan leluhur) Ge terbata2.
"Kula ngemutkeun ka nu silap" (aku mengingatkan yg silap) lanjutnya
"CEUK SIYA KAMI SALAH HAH?!"
Kakek itu murka menujukkan giginya yg hitam dan lidahnya yg panjang. Bola matanya melompat keluar.

Ge merasa tercekik.
Silap ku buana, lali kana kasta, carek Ratu dilancan" (khilaf oleh dunia, lupa pada kasta, titah Ratu dilawa ) bisik Ge.

"Menta jadi budak oray siya" (minta jadi budak ular kamu ya)

Seketika terdengar alunan tembang gaib itu sekali lagi. Kali ini Ge tidak bisa melawan.
Dan semua menjadi gelap.
Di kedai, hujan turun dengan lebatnya disertai angin kencang.

Para pengunjung tidak terkecuali teman2 dan tunangan Ge terjebak di kedai tersebut. Semua berdoa, semua berharap dalam takut dan kalut. Beberapa mulai menggeram tidak jelas.
Beberapa gelas mulai terjatuh tanpa tersentuh. Sebuah asbak tiba2 melayang menghantam tembok. Beberapa perempuan menangis histeris sementara beberapa lainnya tertawa terbahak.

Pertanda bahwa kini tubuh mereka mulai diincar sebagai tempat berlindung.
Rika yg sedari tadi terus berdzikir dan berdoa berteriak kaget ketika seorang wanita tanpa mata dan lidah meratap dihadapannya sebelum kemudian ditarik menjauh oleh seorang berpakaian pangsi dengan lidah terjulur ke tanah.

Malam ini terlalu gila!
Ge berjalan mengikuti lorong gelap, menuju arah dari suara tembang itu. Sesampainya diujung, ia bertemu dengan Ratu. Ia berjalan mendekati Ge dan memukulnya keras.

"Wani siya carek puhun dilacan!" (berani kamu melawan leluhur!).
Baru akan Ge menjawab, seluruh badannya kaku.

Perlahan perempuan bertubuh ular mendekat. Wajahnya cantik sekali. Namun ketika ia tersenyum, tampaklah mulutnya yg menganga dari telinga kiri ke kanan. Dengan deretan gigi runcing dan lidah terbelah layaknya ular.
Terbata2, Ge coba untuk berkata "Kula ngemutan paduka Ratu kana ka hilap, ka na keta nu Ngersakeun" (aku hanya mengingatkan paduka Ratu akan kesalahan, akan kehendak yg Maha Berkehendak).

Sang Ratu terdiam...
Ge pasrah bila jiwanya harus menjadi budak ular iblis itu selamanya. Ia telah mengatakan apa yg harus ia katakan.

Ksatria tidak pernah diperbolehkan menindas yg lemah.
Sementara Sang Ratu terdiam, perempuan itu tersenyum dan terus menjilatinya.

"Si kasep.. si kasep"

Ge melawan, ia pasrah bila jadi budak namun tidak sudi beranak iblis. Perlahan ia mengucap kalimat Tauhid.
Seketika perempuan ular itu menggigitnya dengan keras. Ia berteriak kesakitan. Namun, perlahan tubuhnya bergerak sendiri mengikuti perempuan itu...
Tiba2, munculah seorang kakek tua dengan pakaian putih dan bertongkat kayu. Ia mengucap salam kepada Sang Ratu.

"Geus, sadulur mulah prang) (sudah, seketurunan jangan berperang).

Ratu itu mendengar seksama.
Diya turunan ngaing" (dia turunan saya)
"Tangtos Ratu wruh paksana" (tentunya Ratu tahu maksudnya). Kakek itu berbicara dengan tenang.

Ratu menimbang arti ucapan kakek tadi.
"Kumaha siya bae" (terserah kamu saja)

"Mung yeah budak, mulah ngalacan deuih"(tapi anak ini, jangan melawan lagi).
Kakek tua itu tersenyum
"Mwal ari ngalacan pedah ku salah" (tidak akan kalau melawan karena salah sih)

Ratu mengangguk.

Perempuan ular itu melepaskan Ge. Perlahan ular itu pergi menjauh. Ratu kemudian berkata
"hampura cu. Jig, siya indit" (maafkan cu, sekarang pergilah kamu).
Dengan dibantu kakek itu, Ge berjalan kembali.

Sampai pada satu titik, kakek itu berkata "heup, dugi didieuh, ti dieuh balik dimaneh. Sing sabar kana bala" (cukup sampai disini. Dari sini kamu bisa pulang sendiri. Sabarlah dalam menghadapi kesulitan).
"Ke, dina mangsana sakabeh bakal kabuka" (nanti, pada saatnya semua akan terbuka) pesan dari kakek itu sebelum perlahan menghilang.
Perlaha kesadaran Ge kembali pada raganya. Hujan telah berhenti meninggalkan udara dingin dan keheningan. Tidak ada siapapun disana. Hanya ada Ge yg menggigil kedinginan dan kebingungan dimana dirinya berada.
Perlahan ia mulai mengingat jalan dikotanya itu.

Dengan tubuh yg masih terasa nyeri ia paksakan untuk berjalan kembali ke kedai. Jalan itu sangat berantakan, seperti telah dilanda badai. Namun, ia tidak melihat satu pun mereka yg halus disana. Syukurlah
Ia kembali ke kedai itu hanya untuk melihat kedai itu telah sepi meninggalkan hanya tunangannya dan teman2nya disana.

Mereka berhamburan menyambut Ge, menawarinya minum dan lain sebagainya. Namun ada yg aneh, Rika diam.
Ge berterima kasih kepada mereka semua atas segalanya.

"Hatur nuhun pisannya, hampura jadi ngarerepot" (terima kasih banyak ya, maafin jadi buat repot).

"Santai we Ge, kita kan dulur" serempak mereka menjawab.
Ge memutuskan untuk segera pulang bersama Rika dan menolak tawaran untuk diantar dari teman2nya. "Tenang, urang geus teu nanaon da" (tenang gw udh ga papa kok).

Mereka tahu, bila Ge berkata demikian, mereka tidak bisa berbuat apa2.
Namun selain itu, ada satu hal yg harus dituntaskan bersama Rika. Ya, hanya berdua.

Atau setidaknya seharusnya demikian..
Ge dan Rika terdiam sepi dalam perjalanan pulang mereka. Ge kemudian berkata

"Bocah, ngapain kamu masih disitu?"
Perlahan bocah itu mulai keluar dari balik tubuh Rika. Ge baru saja hendak mengusir bocah itu sebelum ia menyadari ada yg ganjil. Bocah itu lebih menyeramkan dari biasanya.

Badannya terbakar habis dan tampak layu seperti saripatinya telah habis diserap sesuatu.
Ge membanting bocah itu ke bangku belakang. Menatap Rika tajam. Ia menerawang mata tunangannya sedalam-dalamnya.

Tetiba ia menghentikan mobilnya. Menekan jarinya ke titik antara alis Rika dan menariknya ke atas. Seketika, keluarlah mereka, tiga hulubalang gaib dari petilasan..
"Menta dipodaran maraneh!!" (Minta dibunuh kalian!!) Murka Ge.

Ia menjulurkan kedua tangannya dan menyalurkan sisa energinya dan mendorong tiga hulubalang itu menjauh.

Dengan sekali hentakan ketiganya terpental..
Belum puas, kesadaran Ge keluar dan mengejar mereka dan menyiksanya dengan rasa pedih dan terbakar hingga ketiganya terduduk.

"Sina sang Ratu nu ngahukum sia kabeh. Ingkah!!" (biar sang ratu yang menghukum kalian semua, pergi!!).
Perlahan mereka menghilang. Dikejauhan ia melihat bocah itu berjalan gontai menjauh.

Sudah cukup prahara malam ini..
Di samping mobil, Rika muntah sejadi-jadinya. Cairan keruh bercampur rambut terus ia keluarkan dari mulutnya.

Ge menolong Rika melalui itu. Memberinya sisa energinya dan memberinya minum.

Tidak lama, Rika tenang kembali namun ia tetap membisu..
Akhirnya, mereka sampai di rumah Rika. Adik lelaki Rika yg membuka pintu. Namun, sebelum melangkah masuk Rika memberi isyarat kepada Ge, ada yg ingin ia katakan.
"Sudah cukup sampai disini. Aku tidak bisa bersama orang yg terus membawa bala namun tidak mampu melindungi apa yg seharusnya"

Ge tercekat, ia telah bersiap ribuan kali untuk ini. Namun hal tersebut tetap menyakitkan.
Ge menarik nafas panjang. Mengambil rokoknya yg tersisa satu lalu menghisapnya. Malam ini sudah cukup terkutuk, ia tidak mau berdebat lebih panjang.

"Baik aku pamit sekarang. Namun tolong kendalikan ego dan pemikatmu itu sebelum meminta prahara lebih banyak"
Rika coba memanggilnya namun ia tetap berlalu dengan mobilnya. Menerabas kosongnya jalanan ditengah dinginnya malam.

Hari esok, ah mungkin bagi mereka yg masih punya waktu untuk bernyawa.
Selama tujuh hari tujuh malam Ge tidak lebih seperti seonggok daging. Energinya habis terkuras. Badannya dipenuhi luka memar sementara bisul mulai tumbuh diwajahnya.

Sorot matanya hilang dan mimpinya selalu sama. Menari diiringi tembang jiwa yg menggiringnya ke lorong yg gelap.
Sementara Rika tidak jauh lebih baik. Perutnya seperti dirajam. Apapun yg masuk akan segera dikeluarkan. Ia selalu menggigil meski telah berselimut tebal dengan baju berlapis.

Tembang itu menyeretnya masuk lebih dalam.
Hingga pada malam ke tujuh, mereka bermimpi sama. Didatangi oleh kakek berjubah putih itu. Ia hanya memberi pesan misterius sebagai jawaban pertanyaan dan penderitaan mereka

"Cikahuripan"
EPILOGUE

Kota ini terpisah oleh wilayah mereka yg menghuni kota dan menghuni gunung sebagai keniscayaan atas perjanjian leluhur terdahulu. Namun nafsu telah membutakan mata dan hati dari insan bernama manusia untuk menyeret mereka masuk dalam perseteruan..
Dendam dibalas dendam, nestapa dibalas nestapa. Terciptalah samsara yg tidak berujung. Sungguh pun pada akhirnya siapa yg melanggar sumpah terlebih dahulu menjadi tidak penting ketika penderitaan tercipta sebagai balasan.
Mereka yg berlebihan terpenjara nafsu yg kemudian mengikat mereka yg halus dalam hubungan terlarang demi kepentingan sesaat. Ilmu karang.

Hanya mereka yg tahu kekuatan sejati yg pada akhirnya akan selamat dari samsara.

...PAMUNGKAS...
CATATAN AKHIR

Seperti biasa, setelah cerita ditutup gw mw jelasin beberapa hal. Semoga bila ada yg penasaran bisa terjwab ya..

1. Cerita ini dari kisah nyata yg di improv.

2. Dua bangunan yg gw ceritain disini beneran ada. Yg satu kayaknya lg di renov. Kalo satu lg masih buka
3. Beberapa kosakata yg dipakai adalah Bahasa Sundan Buhun, sumbernya ya dari naskah2 kuno hehe.
Jujur, untuk ngebuat utas ini jauh lebih berat daripada buat utas sebelumnya.

Berat karena yg pertama mereka yg datang juga levelnya beda dan banyak pula.

Kedua, gw harus banyak baca lagi buku2 budaya Sunda plus naskah2 kunonya untuk referensi bahasa dan isinya.
Ribet emang, tapi ya request dari si empunya.

Beberapa hal selain yg sudah disebutkan seperti Ratu, tembang, dan kutukan terpaksa disamarkan karena satu dan lain hal.

Untuk kenapa Tama, Rika, dan Ge yg jadi incaran jawabannya karena keturunan.
Untuk tiga tokoh ini, mungkin nanti diceritakan lebih jauh di bagian ketiga (terakhir) sekalian cerita tentang makna cikahuripan dan yg berada diatas ratu. Tapi ya, mungkin nanti kapan2 hehe.
Akhir kata gw minta maaf untuk semua kesalahan dan kekurangan utas ini. Semoga ada manfaat untuk kita semua
Alhamdulillah

Sakapeung dipanjangan, sakapeung dipondokan
Neda dihapunten lampah sareng kecap kanu dicaritakeun sareng nu maca.
Mugi aya guna manfaat, sangkan kreta di buana.

Wassalammualikum

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Jf89

Jf89 Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @jakejf89

Nov 25, 2019
SETELAH PESTA

Kali ini gw akan bercerita tentang sebuah Pentas Seni (Pensi) yang membawa petaka setelahnya. Cerita ini berangkat dari kejadian nyata lebih dari 10 tahun yang lalu. Nama dan tempat disamarkan.

@bacahorror @ceritaht
#bacahorror #threadhorror Image
Karena kejadiannya sudah lama, jadi gw perlu waktu untuk mengingat kembali kejadian itu, mencari info tambahan ke narasumber lain tentang detail kejadian ini dan juga latar umum tempat dan waktu.
Gw minta maaf kalau utas ini diupdate perlahan, minggu ini kebetulan gw sedang banyak pekerjaan..

Seperti biasa jangan lupa baca doa sebelum membaca. Mereka mungkin ikut hadir juga..
Read 436 tweets
Oct 27, 2019
WARISAN KELAM MASA LALU

Bismillahirrahmnirrahim

Semoga kalian diberikan ketenangan.
Terima kasih atas pelajaran yg kalian berikan

@bacahorror, @ceritaht, #bacahorror, #ceritaht
***PROLOGUE***

Masa awal kemerdekaan Indonesia tidak disambut suka cita oleh seluruh penduduk Nusantara. Warga sipil dari Belanda justru mengalami terror yang luar biasa sebagai balasan atas apa yg dilakukan nenek moyang mereka.
Penjarahan, perampasan, penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan merupakan hal yg lumrah terjadi masa itu oleh mereka, para pejuang radikal. Entah berapa puluh ribu korban baik dari orang Belanda maupun mereka yang dianggap anti republik
Read 150 tweets
Oct 24, 2019
Mereka yang Hadir dalam Cerita
@bacahorror #bacahorror #threadhorror @ceritaht

Mohon maaf sebelumnya bila berantakan, maklum, ini utas pertama saya. Mohon maaf juga utas ini juga tidak berisi cerita horor seperti kebanyakan. Hanya paparan personal tentang apa yang terjadi saat cerita2 horor dibacakan.
Sepertinya penulis yang perlu minta izin pemilik cerita, baik yang tampak atau tidak sepertinya sudah jadi kewajiban sebelum cerita dimulai.

Saya yakin banyak dari kita sudah paham betul tentang hal itu.
Read 15 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(