20 November 1946
“Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin2 kita di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomasi. Dan saya bukan kompromis....”
#NKRI
#BhinnekaTunggalIka
#Merdeka
#SemangatPuputan
Demikian isi surat balasan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, komandan pasukan Ciung Wanara, atas ajakan kompromi dari pimpinan Belanda.
18 November 1946.
Malam hari
Penyerbuan tangsi polisi Netherlands Indies Civil Admnistration (NICA) --pemerintahan sipil Hindia Belanda-- di Kota Tabanan.
19 November 1946.
Pagi hari
Para pemuda gerilyawan berkumpul di Banjar Ole, Desa Marga, Tabanan.
Pukul 16.00
Pertunjukan kesenian Janger yang didatangkan dari Banjar Tunjuk. Penduduk dan para pemuda gerilyawan menikmati pertunjukan yang disertai demonstrasi permainan pencak silat.
Semua anggota pasukan & para perwira berkumpul di tempat Ngurah Rai. Selesai memberi perintah, Ngurah Rai mengajak seluruh pasukan bersembahyang di Pura Dalem Basa.
Pukul 19.30
Pasukan Ciung Wanara meninggalkan Banjar Ole menuju Kelaci. Di sini mereka beristirahat.
Pukul 06.00
Jalan raya Desa Marga menuju Desa Tunjuk dilalui truk2 serdadu NICA. Di Desa Marga, NICA meneror warga, disuruh keluar rumah dan berkumpul di Pasar Marga. Warga ditanya tempat para gerilyawan bersembunyi. Tapi, tak ada yang mau membuka mulut.
Letkol Ngurah Rai memerintahkan semua pasukan mengalih ke arah utara. Di tengah-tengah sawah yang sedang ditumbuhi jagung muda dan ketela rambat berumur kurang lebih dua bulan, mereka mempersiapkan steling. Ada sekitar 94 orang anggota induk pasukan yang bergabung.
Pukul 09.00
Bunyi tembakan pistol pertama dari Letkol Ngurah Rai meletus sbg pertanda dimulainya tembakan kepada musuh.
Pukul 11.30
Belanda mengirimkan bantuan pesawat udara untuk memastikan letak steling pasukan laskar Ciung Wanara.
Pukul 14.30
Pertempuran sengit masih terjadi. Belanda yang sudah mengetahui lokasi pertahanan pasukan Ciung Wanara semakin menambah kekuatan.
Sore hari, suara tembakan dari para pemuda laskar Ciung Wanara tak terdengar lagi. Hampir semua pemuda gerilyawan itu gugur. Hanya beberapa yang masih hidup.
Tapi itulah caranya membela dharma. Toh, setiap orang akan mati, hanya beda waktu. Kematian hanyalah utk badan. Jiwa abadi. Jiwa akan menemukan badan lain utk melanjutkan pendakian tangga2 kesadaran.
Dan bagi para ksatria spt I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya, atau Abimanyu, mati di medan tempur membela Dharma adalah cara kembali yg paling indah.
SELAMAT MEMPERINGATI PUPUTAN MARGARANA
🙏🙏🙏