My Authors
Read all threads
HATI-HATI, UTANG KITA SUDAH MELAMPAUI BATAS AMAN! (a thread).
Sy sungguh tak habis pikir mendengar pernyataan Menteri Keuangan @KemenkeuRI Sri Mulyani yg menarasikan peluncuran global bond, atau surat utang global, beberapa hari lalu, dgn nada penuh kebanggaan.
Seolah itu sebuah prestasi. Utang memang bukan aib. Namun, semakin besar utang pemerintah, para pejabat publik seharusnya memperbesar rasa malu, bukannya menebar kebanggaan.
Utang senilai US$4,3 miliar atau Rp68,8 triliun (kurs Rp16 ribu) berdenominasi dolar Amerika Serikat yg baru saja diterbitkan Pemerintah merupakan rekor ‘sovereign bond’ terbesar dlm sejarah Republik Indonesia.
‘Sovereign bond’ adalah obligasi, atau surat utang, yg diterbitkan pemerintah suatu negara dalam denominasi mata uang asing.
Kenyataan bahwa Indonesia menjadi negara pertama yg menerbitkan sovereign bond di tengah pandemi Covid-19, sama sekali tdk menunjukkan kehebatan. Malah sebaliknya, menunjukkan betapa ringkihnya perekonomian kita.
Begitu rapuhnya ekonomi kita, sehingga meskipun krisis baru saja dimulai, kita sudah membutuhkan suntikan utang dalam jumlah besar. Sekali lagi, tak sepatutnya hal semacam itu diceritakan sbg sebuah kebanggaan, apalagi prestasi.
Sebelum menghadapi pandemi, merujuk kepada APBN 2020, Pemerintah membutuhkan utang baru setidaknya Rp351,9 triliun untuk menutup defisit. Pada saat bersamaan, Pemerintah juga harus melunasi utang jatuh tempo sebesar Rp389,98 triliun.
Artinya, pada tahun ini Pemerintah membutuhkan utang sebesar Rp741,84 triliun untuk kebutuhan pembiyaan (financing need). Itu adalah perhitungan sebelum adanya pandemi.
Sebagian besar kebutuhan pembiayaan tsb akan dipenuhi dgn penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), alias surat utang. Bentuknya berupa SUN (Surat Utang Negara) maupun SBSN (Surat Berharga Syariah Negara, atau sukuk). Denominasinya bisa Rupiah, ataupun valuta asing (USD, Yen, Euro)
Dalam catatan sy, sepanjang Kuartal I 2020, realisasi penerbitan SBN mencapai Rp243,83 triliun, alias sekitar 33,15 persen dari target penerbitan SBN tahun ini. Tapi, sekali lagi, itu adlh angka-angka sebelum memperhitungkan efek krisis Covid-19.
Di Kuartal II ini, melalui Pandemic Bond, Pemerintah menargetkan bisa memperoleh Rp449,9 triliun. Artinya, jumlah utang kita akan terus membengkak. Dengan memperhitungkan nilai tukar Rupiah dan inflasi, diperkirakan pada akhir 2020 jumlah utang kita bisa mencapai Rp6.157 triliun.
Kalau kita bisa mengendalikan inflasi di bawah 5 persen, tahun ini PDB (Produk Domestik Bruto) diperkirakan akan berada di kisaran Rp16.300 triliun. Dengan demikian, rasio utang Pemerintah terhadap PDB di akhir tahun akan berada di kisaran 36 persen hingga 38 persen.
Sebagai catatan, itu masih belum memakai skenario terburuk. Jika menggunakan skenario terburuk, rasionya bisa lebih besar lagi.
Jadi, peningkatan jumlah utang sama sekali bukanlah prestasi. Selain itu, jangan bohongi rakyat seolah-olah rasio utang kita masih aman. Pemerintah selalu berdalih rasio utang kita terhadap PDB tetap aman, krn masih di bawah 60 persen.
Masalahnya adalah: benarkah 60 persen itu masih sahih dijadikan patokan batas aman bagi perekonomian kita?
Sy membaca, menurut ekonom senior @RamliRizal, batas aman yg tepat saat ini adlh 22 persen PDB, bukan 60 persen sebagaimana yg digunakan oleh UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Sebab, rasio aman yg digunakan dlm UU Keuangan Negara sebenarnya mengacu kpd dua kali rasio pajak negara-negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development).
Karena rasio pajak negara-negara OECD rata-rata 30 persen, maka ditetapkanlah rasio utang yg aman tadi sebesar 60 persen.
Jadi, kalau kita mengacu pada rasio pajak selama pemerintahan Presiden @jokowi, yg dalam lima tahun terakhir hanya limit 11 persen, maka batas aman utang kita seharusnya adalah 22 persen PDB.
Artinya, kita saat ini sebenarnya sudah melanggar batas aman. Sebab, per Februari lalu, utang pemerintah sudah mencapai Rp4.948,2 triliun, atau setara dgn 30,82 persen PDB. Rasio ini bahkan jauh di atas rasio utang sebelum krisis 1997/1998.
Sbg catatan, pada 1996, rasio utang kita hanya 24 persen. Pada masanya, angka ini juga pernah dianggap aman. Padahal, saat krisis mulai terjadi, tahun 1997, akibat inflasi dan jatuhnya nilai tukar, rasionya melonjak menjadi 38 persen.
Tahun 1998, rasionya melonjak kembali menjadi 57,7 persen. Antara periode 1999 hingga 2003, rasionya naik lagi menjadi lebih dari 60 persen, masing-masing 85,4 persen (1999), 88,7 persen (2000), 77,2 persen (2001), 67,2 persen (2002), dan 61,1 persen (2003).
Di akhir periode pemerintahan Presiden Megawati, rasio utang kita ada di angka 56,5 persen (2004). Selama sepuluh tahun periode kepemimpinan Presiden @SBYudhoyono, rasio utang kita berhasil diturunkan hingga tinggal 24,7 persen (2014).
Sayangnya, selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden @jokowi, rasio utang kita kembali meningkat hingga di atas 30 persen.
Di sisi lain, meski jumlah utang terus meningkat, namun laju kenaikan pendapatan kita jauh tertinggal. Artinya, laju penambahan utang lebih cepat dari kenaikan pendapatan.
Sbg pembanding, rata-rata rasio pajak (tax ratio) selama 10 tahun pemerintahan Presiden @SBYudhoyono adlh 14,86 persen. Namun, selama lima tahun pertama pemerintahan Presiden @jokowi, rasio pajak kita rata-rata hanya limit 11 persen.
Itu sebabnya, rasio utang Pemerintah thdp pendapatan negarapun jadi meningkat, dari sebelumnya “hanya” 168,25 persen di akhir periode Presiden @SBYudhoyono (2014), menjadi 244,15 persen di akhir periode pertama Presiden @jokowi (2019).
Artinya, jumlah utang kita di akhir tahun 2019 sudah 2,5 kali lebih besar daripada pendapatan. Dengan analisis tadi, klaim jumlah utang kita saat ini masih dlm batas aman bisa membahayakan.
Sepanjang lima tahun lalu, Pemerintah tak hati-hati dalam mengelola keuangan negara, sehingga kita kian terjerumus pada jurang defisit.
Sy khawatir, krisis kesehatan akibat Corona ini akan dijadikan dalih oleh Pemerintah untuk mengeruk utang sebesar-besarnya untuk menutupi compang-campingnya keuangan negara, jadi bukan untuk mengatasi krisis yg sedang dihadapi rakyat itu sendiri. Ini baru satu kekhawatiran.
Kekhawatiran sy yg lain adlh pemerintah tdk sanggup membuat terobosan untuk mengatasi krisis yg tengah berlangsung.
Padahal, menghadapi krisis yg tdk biasa ini, pemerintah seharusnya berusaha membuat banyak terobosan, dan bukannya terjebak pada solusi konvensional dgn terus-menerus memperbesar utang.
Kalaupun misalnya harus berutang, pemerintah seharusnya mencari opsi lain, selain berutang ke pasar melalui penerbitan surat utang. Sebab, dalam kondisi seperti sekarang ini, surat utang kita tidak ada harganya.
Kita harus memberi ‘yield’, atau imbal hasil yg tinggi, agar obligasi kita dibeli investor. Masalahnya, yield yg tinggi itu jelas tidak ekonomis, dan sangat membebani keuangan kita.
Pekan lalu Moody’s Investors Service sudah memperingatkan potensi naiknya beban bunga utang Indonesia. Naiknya yield SUN yg disertai dgn pelemahan kurs rupiah, menurut mereka, akan kian melambungkan beban bunga utang pemerintah ke depan.
Lantas, apa solusinya? Pertama, sebelum membuka opsi penambahan utang, pemerintah seharusnya merasionalisasi anggaran negara terlebih dahulu. Belanja dan pengeluaran yg tidak perlu, tidak mendesak, harus segera dialihkan untuk mengatasi krisis.
Anggaran untuk pemindahan ibukota harus distop termasuk sarana pendukungnya. Pembangunan infrastruktur, misalnya, kecuali dalam bidang kesehatan dan pendidikan, seharusnya dihentikan dulu, dan dialihkan anggarannya.
Kedua, kalaupun terpaksa hrs berutang, kita bisa mencari opsi utang ‘government to government’ saja, dmn dgn bekal hub bilateral yg baik, kita mungkin bs mendapatkan pinjaman dgn bunga yg lebih rendah n tdk membebani. Carilah opsi pinjaman yg lebih murah dri penerbitan obligasi.
Intinya, pemerintah seharusnya kreatif mencari solusi, dan bukannya terjebak pada solusi tunggal yg mahal dan membebani masa depan. Termasuk membebani seluruh rakyat Indonesia baik kini maupun mendatang.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Fadli Zon

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!