My Authors
Read all threads
Surat Terbuka untuk Presiden @jokowi : MENUNDA LOCKDOWN, MEMPERBANYAK KORBAN.
Kepada YTH Presiden RI Pak @jokowi, hari ini, tepat dua bulan lalu, atau 23 Januari 2020, pemerintah Cina resmi mengisolasi (lockdown) Kota Wuhan yg terletak di Provinsi Hubei.
Keputusan untuk mengunci kota itu dilakukan untuk mengontrol sekaligus membatasi penyebaran virus Corona (Covid-19).
Kasus Covid-19, kita tahu, memang pertama kali muncul dari kota tersebut. Sesudah Wuhan, Cina kemudian secara berturut-turut juga mengunci 15 kota besar lainnya.
Karena kesigapan tsb, per hari ini, sy membaca Wuhan sudah lima hari berturut-turut bebas dari kasus baru Covid-19. Kota itu mulai kembali hidup dan bangkit.
Di tingkat nasional, Komisi Kesehatan Nasional Cina juga menyatakan kini sudah tak ada lagi kasus Covid-19 baru yg berasal dari dalam negeri. Dari empat puluhan kasus baru, semuanya berasal dari para penumpang yang datang dari luar negeri.
Tentu saja semua itu pencapaian luar biasa. Tak heran jika pemerintah Cina mengekspresikannya sbg sebentuk kemenangan. Apalagi, meski merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia, Cina berhasil menekan rasio kematian akibat Covid-19 di bawah rata-rata global.
Hingga hari Minggu kemarin, 22 Maret 2020, misalnya, total jumlah kasus Corona yg dikonfirmasi pemerintah Cina mencapai 81.093 kasus, dengan jumlah korban meninggal 3.270 orang. Artinya, tingkat kematian kasus Covid-19 di Cina sebesar 4 persen.
Menyimak angka-angka itu, terus terang saya agak miris. Bandingkanlah angka-angka itu dengan jumlah kasus di Indonesia hari ini, yg mencapai 579, dengan jumlah orang meninggal 49.
Tanpa bermaksud mengecilkan, meski secara jumlah angka tadi masih tergolong kecil, namun angka rasio kematian kasus Covid-19 di Indonesia ternyata mencapai sekitar 9 persen, tertinggi di dunia.
Angka ini bukan hanya lebih dari dua kali lipat rasio kematian di Cina, namun juga lebih dari dua kali lipat rasio kematian Covid-19 di tingkat global.
Sebagai catatan, hingga hari Minggu kemarin, jumlah kasus positif Covid-19 di seluruh dunia mencapai 318.228 orang dengan jumlah korban meninggal 13.671. Artinya, rasio kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia ada di angka 4,29 persen.
Rasio kematian akibat Covid-19 di Indonesia juga lebih buruk dari Italia. Padahal, saat ini Italia merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar di dunia, bahkan melebihi Cina.
Jumlah korban meninggal di Italia per hari ini mencapai 5.476 orang, jauh di atas Cina yakni 3.270 orang. Dengan jumlah orang terinfeksi mencapai 59.138 orang, rasio kematian akibat Covid-19 di Italia mencapai 9,25 persen.
Menurut sy, ada dua sebab kenapa rasio angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia lebih tinggi dari angka rata-rata dunia. Pertama, kita tak berhasil mendeteksi seluruh orang yg secara riil telah terpapar Covid-19, sehingga angkanya jadi ekstrem.
Jika kita menggunakan rasio kematian rata-rata scra global, yaitu 4,29 persen, maka dgn jumlah kematian 49 orang, maka seharusnya jumlah orang terinfeksi yg terdata berada di kisaran lebih dari 1.100 orang. Atau, lebih dri dua kali lipat data jumlah terinfeksi yg kita pegang skg.
Kedua, seandainya rasio kematian 9,3 persen tadi adalah riil, berarti tingkat penangan kasus Covid-19 di Indonesia sejauh ini merupakan yang paling buruk di dunia.
Pak @jokowi, dengan rasio kematian lebih dari dua kali lipat rasio global, seharusnya kita segera mengambil sikap lebih gesit dan presisi.
Jika kita masih bertahan dgn pola koordinasi yg telah diterapkan selama seminggu terakhir, bukan tak mungkin kita akan mengalami situasi yang lebih buruk dari Italia dalam beberapa minggu ke depan.
Sebagaimana yg banyak kita ketahui, salah satu sebab kenapa Italia kini mengalami kondisi lebih buruk dari Cina adalah karena pada mulanya mereka terlalu menganggap remeh wabah Covid-19.
Mereka terlambat melakukan lockdown, sehingga pada akhirnya virus menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah melebihi kapasitas perawatan yang bisa disediakan.
Saya khawatir kita sedang mengulangi kesalahan Italia. Sebagai catatan, saat kebijakan lockdown diberlakukan di Wuhan, jumlah orang yg terjangkit Covid-19 tercatat baru mencapai 495 orang.
Bandingkanlah angka itu dgn jumlah orang terinfeksi di Indonesia yg saat ini telah mencapai 579 orang. Apalagi, dari 579 kasus tadi, sedikitnya 304 di antaranya berada di Jakarta. Ini adalah titik kritis untuk segera memulai sebuah kebijakan drastis.
Sayangnya, kebijakan drastis itu saya lihat tak segera muncul. Saya paham ada banyak sekali pro dan kontra terkait kebijakan lockdown, khususnya untuk Jakarta, yg kini menjadi episentrum wabah di tanah air.
Mereka yg kontra umumnya berargumen kebijakan lockdown akan mempercepat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, mengingat Jakarta adalah urat nadi perekonomian kita.
Sebagai pembanding, mereka yg kontra biasanya menyebut Hongkong dan Shanghai yg juga tidak di-lockdown oleh pemerintah Cina. Begitu juga dengan Singapura, yg berhasil menekan penularan Covid-19 tanpa lockdown.
Namun, membandingkan diri dengan kasus Singapura, Hongkong dan Shanghai saya kira tidaklah sepadan, tidak “apple to apple” dalam menilai kebijakan lockdown.
Singapura, misalnya, memang tak perlu melakukan lockdown karena mereka bisa mengontrol sepenuhnya semua pintu masuk ke negaranya yang jumlahnya memang tak banyak.
Terbukti, meski termasuk negara ASEAN pertama yang terpapar Corona, sejauh ini jumlah korban meninggal di negara kota tersebut hanya 2 orang. Itupun, salah satunya pasien dari Indonesia.
Juga, jangan bandingkan wacana mengenai lockdown Jakarta dgn Hongkong dan Shanghai. Kedua kota itu tidak di-lockdown oleh pemerintah Cina bukan krn posisinya sbg pusat bisnis dan perekonomian, namun karena memang kedua kota itu bukan episentrum wabah Corona.
Di sisi lain, kita sama-sama melihat, pemerintah Cina sejak awal sangat tegas segera me-lockdown Wuhan, kota yg menjadi episentrum wabah.
Artinya, dalam menyusun pertimbangan mengenai lockdown Jakarta, maka kasus Singapura, Shanghai dan Hongkong bukanlah pembanding yang tepat. Kasus lockdown kota Manila, atau New York, mungkin bisa dijadikan pembanding.
Sy sepenuhnya memahami, dalam wacana lockdown kota Jakarta, dilema terbesar kita adalah Jakarta bukan hanya urat nadi bagi perekonomian dan politik nasional, tapi kini telah menjadi episentrum wabah Covid-19.
Di satu sisi, kebijakan lockdown dikhawatirkan akan memukul rakyat kecil yg menyandarkan pendapatannya pada kerja-kerja harian. Namun di sisi lain, jika tak dibuat kebijakan tegas seperti lockdown, dikhawatirkan kita tak akan bisa membatasi penyebaran virus ini ke depannya.
Namun, apapun pilihan kebijakan yg akan diambil Pemerintah, menurut saya ada satu hal yang ke depan akan sulit disangkal: dalam tiga hingga enam bulan ke depan, kedua krisis yang tengah kita alami saat ini, yaitu krisis Covid-19 dan krisis ekonomi,
pada akhirnya akan sampai di titik yang sama, dari manapun dimulainya. Dengan kata lain, mulai dari manapun, pada akhirnya kita akan sampai di titik yang sama.
Jadi, Pak @jokowi, Bapak akan mengatasi krisis ini mulai dari mana?
Bagi sy, jika demikian situasinya, kita seharusnya tak menunggu sampai jatuh korban dalam jumlah yg ekstrem baru kemudian melakukan lockdown. Ekses ekonomi, bagaimanapun jauh lebih kasat mata, sehingga lebih mudah dikontrol, daripada ekses penyebaran virus.
Kita yakin pandemi ini akan berakhir, dan Insya Allah akan berakhir. Tapi berapa lama, serta berapa besar korbannya, sangat tergantung kepada keputusan Bapak @jokowi hari ini, sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ketua Gugus Tugas Covid-19 adalah orang yg andal, sy kenal beliau sejak pangkat Mayor. Tapi bagaimanapun ia hanyalah pelaksana kebijakan. Begitu juga para kepala daerah, provinsi atau kabupaten/kota, mereka punya keterbatasan kewenangan.
Jadi, Pak @jokowi jangan buang-buang waktu menunda lockdown karena nanti akan lebih banyak korban jatuh.
Gunakan anggaran bantuan sosial dan anggaran lain untuk membantu mereka yg terdampak, seperti pekerja harian, tukang ojek, sopir taksi, buruh, tani, pedagang kecil, dan seterusnya.
Siapkan jaring pengaman sosial dengan mengalihkan belanja proyek-proyek pembangunan fisik yg tidak mendesak dan bisa ditunda.
Surat terbuka ini saya sampaikan karena saya yakin kita sama-sama menyayangi rakyat dan negara ini. Pemilihan Presiden sudah lewat, dan Pemilu yg akan datang masih lama.
Seharusnya tak ada urusan kontestasi politik dalam menangani krisis Covid-19. Kalau sy mengkritisi kebijakan penanganan Covid-19, itu semata-mata dalam rangka tugas pengawasan, agar berbagai kebijakan tsb tepat dan cepat.
Sekali lagi, saran saya: lockdown sementara! Terima kasih.

Salam Indonesia Raya!
Dr. Fadli Zon, M. Sc
Anggota @DPR_RI, Wakil Ketua Umum DPP @Gerindra.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Enjoying this thread?

Keep Current with Fadli Zon

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just three indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!