Habis try-out, guru SMA ngumpulin anak-anak skor-tinggi buat jadi "sumber contekan satu sekolah" pas hari-H UN, terus bagi-bagi tugas sesuai spesialisasi—gue dapet yang Bahasa Inggris sama Matematika.
Yang bawa ponsel ngirim SMS ke kelas lain.
Apalagi murid-murid yang masuk kontingen Olimpiade Sains Nasional—mereka hampir pasti dipepet guru sama anak-anak OSIS buat "mengamankan nilai teman-teman satu SMA".
Nah, ini poin twistednya: Waktu itu, gue beneran yakin bahwa "nyontekin supaya yang lain lulus" itu adalah sebuah tanggung jawab sekaligus kehormatan. Semacam "wealth redistribution", cuma dalam konteks akademis.
Pusing!?1??11??1!!?!!1?1?1?
Was it right? Was it wrong? I didn't know any better. But it was the norm.
Waktu itu beberapa pengawas UN-nya beneran izin tidur pas ngawas. Efek mistis? LOL. Kayaknya pengawasnya ngeliat taburan tanah terus play along aja pura-pura ngantuk.
Soalnya, waktu itu, buat gue, nilai UN bukan aspek penting. Yang penting itu "kuliah di mana". Hamdallah, setelah UN gue keterima Sekolah Tinggi Elmu Ikonomi.
Nggak diterapin, nggak ada standardisasi dan keseragaman kompetensi skala-nasional. Diterapin, kenyataannya ya bismillah-nyontek-massal demi nama baik sekolah. Hadeh Indon.
Dalam kasus SMP dan SMA pedesaan atau kabupaten, anak-anaknya nggak punya ambisi tinggi, baik karena "capek belajar" maupun "nggak mampu secara ekonomi". Yang lulus SMA lebih milih langsung kerja atau usaha.
Di konteks kuliah, ini mirip dengan fenomena, "Bikin skripsi itu yang abal-abal aja lah—yang penting lulus, dapat gelar, kerja. Belajar sungguhan itu ya pas kerja."
Kalaupun di hari-H dia nyontek, itu cuma membandingkan jawaban "resmi" dan jawaban yang dia hitung/ingat sendiri.
Mereka sama-sama paham bahwa UN itu cuma tes yang sifatnya formalitas. Tes yang "asli" ya SNMPTN—tes masuk kuliah. Jadi, belajarnya SNMPTN-oriented, bukan UN-oriented.
Yang berniat masuk kampus bagus ya belajarnya tetap gila-gilaan.
"Kalian itu jangan mikir nyontek-sejak-awal. Jawab sebisanya. Kalau sudah tinggal 30 menit dan mentok baru boleh 'mencocokkan jawaban'."
"The real aim is not to test the knowledge, but to see one's information gathering skills using camouflaging and concealment methods."
Mari membahas "perilaku dan budaya menyontek saat ujian-penentu-kelulusan" dari sisi psikososial dan moralitas—karena persepsi benar-salahnya sesuatu adalah ranah moral dan etika.
Di spesies Homo sapiens, "moralitas" ini ya tujuannya satu: intra-group survival. Memastikan "keberlangsungan hidup kelompok".
Moralitas di ujung kiri yang idealis disebut "deontologis". Ujung kanan yang pragmatis disebut "utilitarian".
Seperti alasan Akainu membunuh Ace, karena Akainu menganggap, "Semua bajak laut jahat. Semua bajak laut adalah musuh bersama."
Dalam aliran ini, definisi benar-salah adalah patuh-tidaknya seseorang terhadap aturan kelompok.
Definisi benar-salah sebuah tindakan ditentukan dari berhasil-tidaknya tindakan itu dalam memenuhi kebutuhan kelompok.
Kenapa Itachi membantai seluruh anggota Klan Uchiha [kecuali Sasuke]? Demi mencegah destabilisasi Konoha dan mencegah terjadinya Perang Ninja IV.
Satu-orang-tidak-lulus ini punya efek domino. Ada kemungkinan dia mengurung diri, nggak mau sekolah lagi. Yang lemah mental, bunuh diri.
"Ya nggak apa-apa. Kalaupun dia mengurung diri memang sepantasnya dia malu. Kalau dia bunuh-diri, artinya dia lemah mental. Orang lemah tidak layak hidup."
Ujian Nasional menjadi tentang "survival". Yang dipertaruhkan adalah "umur satu tahun". Bagi umur SMA, ini pertaruhan yang besar.
Cuma, kalau logika Deontologi ini ditarik lebih luas, kesimpulannya macabre.
Toh mereka "bawa gen jelek". Kalau dibantuin dan mereka sampai punya keturunan, jumlah orang-orang bergenetika-jelek akan makin banyak.
Yang hampir-mati diselamatkan. Yang hampir-kalah dipermudah. Yang lebih kuat/kaya/cerdas menolong yang lebih lemah/miskin/bodoh.
Dalam konteks akademika, dengan definisi "berhasil" adalah "melanjutkan jenjang pendidikan atau mendapat ijazah dan tidak ada depresi", ya artinya "apa pun demi kelulusan dan mental health".
Cuma 'kan ini akan (1) menimbulkan kesenjangan dan (2) meningkatkan potensi konflik. Jadinya "nggak akur".
Intinya: Kesenjangan menciptakan konflik. Contoh sederhananya ya "anak orang-biasa iri hati sama anak-sultan".
Cuma 'kan "harmoni sempurna" susah tercapai. Dalam praktiknya, "jumlah suara"-lah yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah.
Iya, ini buruknya demokrasi. Ujung-ujungnya "mob rules", banyak-banyakan suara. Wkwkwkwk.
Buat orang-orang yang rugi kalau nilai UN siswa lain tinggi, gue paham kok kalau kalian nggak mau nyontekin.
Mana yang benar? Ya nggak tau. Tergantung Jalan Ninja yang diimani dan diterapkan oleh kamu [dan kelompok kamu].
Asalkan kamu [dan kelompok kamu] bersedia menerima berbagai kemungkinan konsekuensinya, adalah hak kamu untuk mengambil pilihan yang mana pun. C'est la vie.