My Authors
Read all threads
Pas kelas 3 SMA, gue peringkat 1 try-out Ujian Nasional se-Kabupaten Nganjuk.

Habis try-out, guru SMA ngumpulin anak-anak skor-tinggi buat jadi "sumber contekan satu sekolah" pas hari-H UN, terus bagi-bagi tugas sesuai spesialisasi—gue dapet yang Bahasa Inggris sama Matematika.
Gimana mekanisme nyontek-massalnya? Intinya, pas hari-H gue [dan beberapa Chosen Children yang lain—sesuai mata pelajaran] ngerjain dengan cepat dan fokus, lalu jawabannya dikasih ke teman sekelas yang udah ditugasin buat bawa ponsel.

Yang bawa ponsel ngirim SMS ke kelas lain.
Jadi, dalam praktiknya, di berbagai sekolah negeri, murid-murid yang skornya tinggi "nggak bisa nggak nyontekin".

Apalagi murid-murid yang masuk kontingen Olimpiade Sains Nasional—mereka hampir pasti dipepet guru sama anak-anak OSIS buat "mengamankan nilai teman-teman satu SMA".
Apakah gue terbebani diminta nyontekin? Malah, sama sekali enggak.

Nah, ini poin twistednya: Waktu itu, gue beneran yakin bahwa "nyontekin supaya yang lain lulus" itu adalah sebuah tanggung jawab sekaligus kehormatan. Semacam "wealth redistribution", cuma dalam konteks akademis.
Poin twisted lainnya: (1) Buat yang ngasih contekan massal, ada traktiran, bingkisan, dan tentunya sanjungan. (2) Buat anak pinter yang menolak menjadi "sumber contekan", ada semacam sindiran(?) "sok alim" walaupun nggak sampai diejek atau dihujat.

Pusing!?1??11??1!!?!!1?1?1?
Waktu itu gue dapat pencucian otak dari guru, "Kita harus jaga nama baik sekolah. Tingkat kelulusan di UN ini harus 100%. Nah, kamu itu anak Olimpiade, jangan egois sama nilai. /Ojo pintere dipek dhewe./"

Was it right? Was it wrong? I didn't know any better. But it was the norm.
Ah, menariknya, sebelum hari-H nyontek massal UN ini, ada semacam salam-salaman dan doa bersama seluruh guru-murid se-SMA demi lancarnya UN.
Oiya, waktu itu di SMA gue, kursi sama meja pengawasnya dikasih taburan tanah kuburan, biar pengawasnya ngantuk.

Waktu itu beberapa pengawas UN-nya beneran izin tidur pas ngawas. Efek mistis? LOL. Kayaknya pengawasnya ngeliat taburan tanah terus play along aja pura-pura ngantuk.
Apakah waktu itu gue sakit hati "capek-capek belajar tapi harus ngasih contekan"? Enggak. Marah? Enggak. Kecewa? Enggak.

Soalnya, waktu itu, buat gue, nilai UN bukan aspek penting. Yang penting itu "kuliah di mana". Hamdallah, setelah UN gue keterima Sekolah Tinggi Elmu Ikonomi.
Memanglah, "Ujian Nasional sebagai syarat lulus" itu salah satu kebijakan bermasalah pendidikan Indonesia.

Nggak diterapin, nggak ada standardisasi dan keseragaman kompetensi skala-nasional. Diterapin, kenyataannya ya bismillah-nyontek-massal demi nama baik sekolah. Hadeh Indon.
Oh, ada tambahan konteks sosioekonomi buat fenomena nyontek-massal ini.

Dalam kasus SMP dan SMA pedesaan atau kabupaten, anak-anaknya nggak punya ambisi tinggi, baik karena "capek belajar" maupun "nggak mampu secara ekonomi". Yang lulus SMA lebih milih langsung kerja atau usaha.
Nah, yang cenderung "ikutan mengonsumsi hasil contekan secara pasif" adalah murid-murid yang "tidak ambisius" itu.

Di konteks kuliah, ini mirip dengan fenomena, "Bikin skripsi itu yang abal-abal aja lah—yang penting lulus, dapat gelar, kerja. Belajar sungguhan itu ya pas kerja."
Sementara, murid-murid yang "ambisius" i.e. yang punya target masuk ITB, UI, UGM, atau kampus First-Tier lain ya nggak "menyontek secara pasif". Dia beneran belajar.

Kalaupun di hari-H dia nyontek, itu cuma membandingkan jawaban "resmi" dan jawaban yang dia hitung/ingat sendiri.
Murid-murid yang relatif-ambis ini bikin kelompok-kelompok belajarnya sendiri. Biasanya, bareng anak Olimpiade.

Mereka sama-sama paham bahwa UN itu cuma tes yang sifatnya formalitas. Tes yang "asli" ya SNMPTN—tes masuk kuliah. Jadi, belajarnya SNMPTN-oriented, bukan UN-oriented.
Yang "nyontek secara pasif" itu yang nggak punya ambisi kuliah. Umumnya, meliputi yang lanjut ngelola sawah warisan, mau langsung nikah jadi ibu-rumah-tangga, mau ngambil bootcamp BLK, buka usaha sendiri di daerah.

Yang berniat masuk kampus bagus ya belajarnya tetap gila-gilaan.
Para guru, yang berusaha menyeimbangkan paham deontologi/justice dan praktik utilitarian/result, juga secara umum memberikan instruksi hari-H:

"Kalian itu jangan mikir nyontek-sejak-awal. Jawab sebisanya. Kalau sudah tinggal 30 menit dan mentok baru boleh 'mencocokkan jawaban'."
Ingat ya, bagi sekolah tujuan UN bukan sekadar "pemahaman materi akademis" itu sendiri, tapi juga kebersamaan dan kemampuan ninjutsu para murid.

"The real aim is not to test the knowledge, but to see one's information gathering skills using camouflaging and concealment methods."
"Tidak ada pembenaran [mencontek] dari segi apa pun"? Ah, sebuah premis yang menarik untuk dibahas.

Mari membahas "perilaku dan budaya menyontek saat ujian-penentu-kelulusan" dari sisi psikososial dan moralitas—karena persepsi benar-salahnya sesuatu adalah ranah moral dan etika.
Moralitas berasal dari "herd behaviour" hewan—perilaku kelompok sejak zaman dinosaurus. Pengambilan keputusan dilakukan secara kelompok, bukan individu.

Di spesies Homo sapiens, "moralitas" ini ya tujuannya satu: intra-group survival. Memastikan "keberlangsungan hidup kelompok".
Nilai-nilai di "moralitas" ini punya spektrum. Bayangkan sebuah garis sumbu-X dengan ujung kiri dan kanan. Di ujung-kiri, ada idealisme. Di ujung kanan, ada pragmatisme.

Moralitas di ujung kiri yang idealis disebut "deontologis". Ujung kanan yang pragmatis disebut "utilitarian".
"Deontologisme" ini punya nama lain: "Justice". Kepatuhan-mutlak kepada aturan. Benar-salah adalah hitam-putih. Orang yang menganutnya disebut "Lawful".

Seperti alasan Akainu membunuh Ace, karena Akainu menganggap, "Semua bajak laut jahat. Semua bajak laut adalah musuh bersama."
Aliran moral Deontologisme berasal dari kebutuhan sebuah kelompok-hewan untuk melakukan "quality control" terhadap para anggotanya. Memastikan tidak ada anggota kelompok yang curang.

Dalam aliran ini, definisi benar-salah adalah patuh-tidaknya seseorang terhadap aturan kelompok.
Aliran moral Utilitarian berasal dari kebutuhan kelompok-hewan untuk "berhasil", baik dalam bertahan hidup, mengusir predator, reproduksi, maupun mencari makan.

Definisi benar-salah sebuah tindakan ditentukan dari berhasil-tidaknya tindakan itu dalam memenuhi kebutuhan kelompok.
Dalam Utilitarian, the ends justify the means—cara apa pun dibenarkan asal hasilnya sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan kelompok.

Kenapa Itachi membantai seluruh anggota Klan Uchiha [kecuali Sasuke]? Demi mencegah destabilisasi Konoha dan mencegah terjadinya Perang Ninja IV.
Dalam konteks Ujian Nasional, konsekuensi bagi seorang individu yang tidak mencapai nilai-lulus-minimum adalah: tidak lulus. Sederhana? Tidak.

Satu-orang-tidak-lulus ini punya efek domino. Ada kemungkinan dia mengurung diri, nggak mau sekolah lagi. Yang lemah mental, bunuh diri.
Kalau kamu beraliran Deontologi garis-keras, kamu akan menanggapi kasus mengurung-diri atau bunuh-diri itu dengan pendapat,

"Ya nggak apa-apa. Kalaupun dia mengurung diri memang sepantasnya dia malu. Kalau dia bunuh-diri, artinya dia lemah mental. Orang lemah tidak layak hidup."
Di tahun-tahun saat Ujian Nasional dijadikan sebagai satu-satunya penentu-kelulusan, UN itu bukan soal pintar atau bodoh—bukan soal paham atau tidak.

Ujian Nasional menjadi tentang "survival". Yang dipertaruhkan adalah "umur satu tahun". Bagi umur SMA, ini pertaruhan yang besar.
Sebenarnya, di bidang pendidikan, bisa aja kita, sebagai satu kesatuan "masyarakat Indonesia", secara ketat menerapkan "quality control" atau "pemilihan siapa yang layak melanjutkan jenjang pendidikan".

Cuma, kalau logika Deontologi ini ditarik lebih luas, kesimpulannya macabre.
Dalam logika Deontologi, bagaimana kalau ada orang yang cacat genetik e.g. kanker, talasemia, down syndrome? Biarin aja mati. Jangan dibantuin.

Toh mereka "bawa gen jelek". Kalau dibantuin dan mereka sampai punya keturunan, jumlah orang-orang bergenetika-jelek akan makin banyak.
Cuma 'kan, dari sisi Utilitarianisme-Populasi, moralitas ada untuk "intragroup survival". Prinsipnya ya "semua anggota layak, boleh, dan harus hidup".

Yang hampir-mati diselamatkan. Yang hampir-kalah dipermudah. Yang lebih kuat/kaya/cerdas menolong yang lebih lemah/miskin/bodoh.
Dari sisi Utilitarianisme-Populasi, tujuan akhirnya adalah "semua anggota bisa survive".

Dalam konteks akademika, dengan definisi "berhasil" adalah "melanjutkan jenjang pendidikan atau mendapat ijazah dan tidak ada depresi", ya artinya "apa pun demi kelulusan dan mental health".
Sebenernya, bisa aja kalau mau pakai prinsip Deontologi-Kualitas: "Biarlah semua orang bertahan hidup sendiri-sendiri. Yang mati biarlah mati—terseleksi dengan sendirinya."

Cuma 'kan ini akan (1) menimbulkan kesenjangan dan (2) meningkatkan potensi konflik. Jadinya "nggak akur".
Penerapan Deontologi garis-keras yang menyebabkan "tidak akur" ini, jika terjadi dalam skala-besar dan jangka-panjang, akan meningkatkan risiko sengketa dalam kelompok.

Intinya: Kesenjangan menciptakan konflik. Contoh sederhananya ya "anak orang-biasa iri hati sama anak-sultan".
Jadi, apakah "nyontekin untuk Ujian Nasional yang menentukan-kelulusan" itu benar atau salah? Ya tergantung definisi kamu tentang benar dan salah.

Cuma 'kan "harmoni sempurna" susah tercapai. Dalam praktiknya, "jumlah suara"-lah yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah.
Intinya ya, walaupun waktu itu hati kecilku berkata "tidak" untuk mencontek, pada akhirnya ya gue kalah voting sama teman-teman yang menginginkan "kesetaraan nilai" dan "kelulusan bersama".

Iya, ini buruknya demokrasi. Ujung-ujungnya "mob rules", banyak-banyakan suara. Wkwkwkwk.
Konteks: Gue masuk STEI ITB. Nilai UN nggak ngaruh. Makanya gue bodo amat pas diminta ngasih contekan—karena gue nggak rugi apa pun kalaupun anak lain nilai UN-nya bagus.

Buat orang-orang yang rugi kalau nilai UN siswa lain tinggi, gue paham kok kalau kalian nggak mau nyontekin.
Ringkasnya, dalam mengambil keputusan, aliran Deontologis punya pola pikir, "Harus X walaupun Y!" sementara aliran Utilitarian punya pola pikir, "Asalkan A, boleh B."

Mana yang benar? Ya nggak tau. Tergantung Jalan Ninja yang diimani dan diterapkan oleh kamu [dan kelompok kamu].
Intinya, untuk setiap pilihan—baik yang diambil secara individu maupun yang diambil secara kelompok, akan ada konsekuensi.

Asalkan kamu [dan kelompok kamu] bersedia menerima berbagai kemungkinan konsekuensinya, adalah hak kamu untuk mengambil pilihan yang mana pun. C'est la vie.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Auto Memory

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!