Bagian 2
(Cerita Dari Mereka)
Sebuah Utas
(A Thread)
@IDN_Horor @bacahoror @bagihorror @ceritaht @horrornesia @horrorthread
#bacaanhoror #threadhoror #bacahoror
Bismillahirohmanirrohim.
Setiap harinya ia selalu terlihat kelelahan, berbeda pada saat minggu-minggu awal menjabat sebagai ketua Osis.
"Nak Risal?" Guru itu membangunkan sang ketua Osis dengan cara menepuk-nepuk bahu anak itu.
"Ini sudah jam 3, kamu tidak pulang?" tanya Bu Santi.
Bu Santi mengangguk
Dalam hati Risal memaki Idham yang tega meninggalkannya sendirian tanpa membangunkannya. "Sialan tuh anak, wakil ketua enggak ada ahlak!"
"Belum, ini sedang kerja tugasnya pembina Osis kamu, Pak Eko yang belum pulang-pulang juga dari pelatihan di Jawa."
"Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Tidak usah, kamu pulang saja, istirahat."
Deg ... jantung Risal berdentum tiba-tiba, akibat mendengar tebakan Bu Santi.
"Ibu sudah tau?"
"Ibu pernah melihat atau merasakan apa?"
"Tapi Ibu merasakan sesak, dingin, atau pengap secara tiba-tiba di gedung ini, tidak?"
"Astagfirullah," ucap Risal dan Bu Santi bersamaan ketika kotak pulpen jatuh secara tiba-tiba tanpa ada yang menyenggol.
"Tenang, Sal." Bu Santi terlihat panik duluan.
"Kamu belum, sholat Ashar, kan? Gih, sana sholat dulu, Ibu juga mau beberes untuk pulang."
Risal berjalan menuju mushollah, perasaannya masih bergejolak, belum tenang. Badannya terasa menggigil sejak di ruangan tadi.
"Eh, harusnya Mamang yang tanya seperti itu, gimana sih. Mamang kan tinggal di sekolah. Oke, Mamang balik tanya, Dek Risal belum pulang?"
"Oh pantesan Mamang jarang lihat Risal sekarang. Jadi orang sibuk ya, hehe. Dek Risal mau kemana?"
"Oh iya, kalau begitu Mamang mau perbaiki pompa air di WC belakang. Oh iya, satu lagi, kalau kamu pulang, jangan lupa mandi, ya!"
Mang Uyut tahu betul, bahwa ada yang menempel di tubuh Risal saat itu.
Perasaannya terasa sejuk dan khusyuk selama shalat.
"Assalamualaikum warohmatullah." Salam mengakhiri sholat Risal.
Air matanya mencucur tak terbendung. Sedih itu bukan dari dalam dirinya. Ada rasa yang menyerang hatinya secara tiba-tiba.
Sedih, tapi entah karena apa.
Seperti kumpulan kalimat orang yang sedang curhat.
"... ketika orang tuaku melarang ...."
"... bukankah aku sudah membanggakan mereka dengan terpilih sebagai siswa yang berprestasi? .... "
"... kenapa mereka tidak pernah menghargai usahaku di sekolah? ...."
Kata-kata tersusun di kepala Risal dengan runtut, ia serasa mendengar orang lain sedang bercerita, ia menangkap seluruh kesedihan orang itu.
"... apa karena mereka tidak berpendidikan, lantas mereka membunuh harapan pendidikan anaknya sendiri? ...."
Risal masih sesenggukan, bahkan ia belum berwirid dan merapalkan doanya.
Ada yang menusuk relung hatinya yang paling dalam, rasa tak di hargai, hina, sakit hati melebur menjadi satu, membuat buliran air mata tak kunjung kering dari matanya.
Risal semakin menutup erat matanya untuk melihat gambar-gambar itu. Penasaran yang semakin membuat ia sedih.
"Jangan ...!" Risal berteriak seakan ia ingin mencegah seseorang untuk melakukan sesuatu.
Anak remaja yang ia lihat di gambar yang timbul di kepalanya tanpa sebab muncul secara nyata di hadapannya.