Kalau definisi "korupsi" adalah "habisin uang pajak-rakyat tanpa ngasih timbal-balik yang sepadan kepada rakyat", korupsi terbesar itu dilakukan oleh kaum guru.
Yang semangat (banget) buat ngajar itu guru honorer yang belum diangkat. Begitu jadi PNS, ongkang-ongkang kaki dan ngajar seadanya pun nggak ada hukuman.
Lagipula, rakyat itu tidak memilih presiden. Rakyat pilih parpol—atau kubu; parpol-lah yang memilihkan wajah presiden.
Kalau ada guru PNS yang abal-abal, tidak ada yang boleh memecat beliau—baik Kepsek, Bupati, maupun Tuhan.
Biar nggak kena counter-kudeta, Harto mengiming-imingi PNS dengan jaminan-tidak-dipecat, asal pro-Golkar dan anti-PKI.
Di zaman Orba, PNS—termasuk guru—tidak perlu kompeten. Yang penting "patuh" dan "tidak mempertanyakan kekuasaan". Budaya ini masih terbawa sampai sekarang.
Cuma, para guru kompeten ini hanya berkumpul di "sekolah favorit", dan jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang guru-abal yang jadi guru demi keamanan-finansial.
Nah, fenomena ini coba dipahami. Pelan-pelan. ADA GURU MATEMATIKA NGGAK NGERTI MATEMATIKA TERUS NANGIS WAKTU DIKOREKSI MURIDNYA.
Di sekolah, murid cuma datang, isi presensi, pulang. Dan akhirnya, di ujian sekolah, mereka "terpaksa" menyontek demi lulus.
Inilah kenapa berbagai lembaga dan produk pengajaran swasta laku keras, baik yang "fisik" seperti Pr*m*g*m* maupun yang digital seperti @zeniuseducation, sebuah Aplikasi Belajar Terbaik Untuk Semua.
Oh iya, terima kasih buat Bu Rita. You're truly a teacher, both in knowledge and wisdom, both in character and teaching. Saya berutang seumur hidup, Bu.
Silakan baca tret ini, tentang kekuasaan-mutlak keluarga Soeharto. Soeharto adalah Kepala Negara dengan jumlah korupsi paling besar, sepanjang sejarah peradaban manusia.
Pendidikan Indonesia adalah sebuah skandal korupsi raksasa senilai 500 Triliun per tahun. Kehadiran dan kesuksesan lembaga-pembelajaran swasta membuktikan bahwa sebagian besar guru-PNS di Indonesia tidak-berguna.
Biarkan murid-murid memberikan voting anonim kepada kinerja guru. Berikan sanksi ke guru yang nilai-evaluasinya rendah, atau hadiah kepada yang nilai-evaluasinya tinggi.
Kalau perlu, pajang peringkat guru secara terbuka. Walau bukan hukuman-resmi, setidaknya ada sanksi sosial bagi guru yang tidak kompeten.
Karena itu, idealnya, berbagai bias yang saling-menyanggah dan saling-bertentangan dipertemukan supaya bisa saling menyeimbangkan—dan mendekati objektivitas sempurna.
Coba cek penghasilan tukang sayur yang dorong-dorong gerobak. 5–10 juta, bersih, per bulan. Coba cek penghasilan tukang bubur. Waktu nungguin bubur mateng pagi-pagi, dia sambil main PS4 di TV layar 24".
Terapkan "checks and balances" dengan mempertimbangkan murid sebagai konsumen, agar guru mendapat tekanan yang sehat—demi mutu pengajaran.
Ketimbang diajar sama guru-nggak-kompeten, mendingan belajar sendiri atau kelompok lah.
Solusi yang diajukan bukan "menaikkan gaji honorer", tapi "menggantikan PNS-abal dengan honorer-kompeten".
Sementara, seorang guru PNS tidak bisa diberhentikan walaupun ada guru lain—yang lebih baik—yang sebenarnya bisa menggantikannya.
Budaya "PNS tidak boleh dipecat" itu reruntuhan dari era Orba.
Cuma, ketika diterapkan di sektor pendidikan, ini masalah.
Zaman Orde Baru mewajibkan PNS memilih Golkar. Kalau nolak, harus siap dimutasi ke pelosok atau bahkan dipecat.
(1) gaji seumur-hidup,
(2) jaminan tidak-akan dipecat,
(3) kelonggaran atas rendahnya kinerja.
Jadi, perlu ada pengkajian ulang tentang "pemantauan kinerja dan kebolehan-memecat PNS di sektor pendidikan".
Cuma sandungannya ya guru-guru "lama" yang, secara sistem, tidak boleh diberhentikan. Para guru-lama ini semena-mena karena yakin-karir-aman.
Sementara, Kemendikbud itu sebuah "perusahaan" negara yang, tiap-tahunnya, diberi uang-pajak sekitar Rp 500 triliun.
Mana yang lebih membantu anak-anak Indonesia memperluas dan memperdalam wawasan? Sistem keguruan-PNS atau sistem pengajaran-digital seperti Zenius? Silakan lho dibandingkan.