My Authors
Read all threads
Menkeu Sri Mulyani mengeluhkan: "Anggaran pendidikan Indonesia itu habis buat menggaji guru-guru yang nggak kompeten."

Kalau definisi "korupsi" adalah "habisin uang pajak-rakyat tanpa ngasih timbal-balik yang sepadan kepada rakyat", korupsi terbesar itu dilakukan oleh kaum guru.
Kenapa skor PISA murid Indonesia rendah? Salah satunya, karena gurunya bukanlah orang-orang yang kompeten dalam mengajar.

Salah satu ukuran-formal kualitas guru adalah hasil tes UKG. Berapa nilai rata-rata guru Indonesia? Cuma ~50 dari 100. Emang yang kayak gitu layak jadi guru?
70% guru Indonesia tidak kompeten. Nggak jelas kemampuannya apa. Nggak jelas kenapa belum dipecat.

Anggaran Pendidikan Indonesia itu 20%. Tahun 2020, nilainya 500 T. Secara umum, anggaran ini dibelanjakan 2/3 lewat pemda dan 1/3 lewat pemerintah pusat. Kenapa gagal mencerdaskan?
Betul. Dari kacamata Foucauldian, ini masalahnya. Konsep "tidak ada hukuman atau pemecatan bagi guru abal" menjadi pendorong.

Yang semangat (banget) buat ngajar itu guru honorer yang belum diangkat. Begitu jadi PNS, ongkang-ongkang kaki dan ngajar seadanya pun nggak ada hukuman.
Aliran sosiologi Foucauldian melihat bahwa elemen yang akan mendorong kesuksesan masyarakat adalah sistem "hukuman dan pengawasan" yang tepat untuk seluruh individu. "Panopticism".

Untuk Pegawai Negeri Sipil, "pengawasan dan hukuman" ini ditiadakan. Tidak ada konsep "pemecatan".
Ada dua golongan ASN: (1) PNS alias "pegawai tetap", dan (2) PPPK alias "pegawai kontrak" atau "honorer".

Di Indonesia, sebagian besar 90's baby (We pump up the jam!) pernah ngerasain yang namanya "disuruh jadi PNS". Menjadi PNS adalah cita-cita boomer Indonesia di Jawa-Sumatra.
Wk. Kalau Presiden nggak kompeten itu beda lagi masalahnya. Pilpres di Indonesia itu cuma panggung buat persaingan populer-populeran, bukan kompeten-kompetenan.

Lagipula, rakyat itu tidak memilih presiden. Rakyat pilih parpol—atau kubu; parpol-lah yang memilihkan wajah presiden.
Seorang PNS itu—dalam praktiknya—tidak bisa dan tidak boleh dipecat atas alasan "kualitas rendah". Ini sebuah konsep dasar yang penting untuk memahami fenomena di Indonesia.

Kalau ada guru PNS yang abal-abal, tidak ada yang boleh memecat beliau—baik Kepsek, Bupati, maupun Tuhan.
Coba lihat tajuk berita tahun lalu. "Aturan Terbaru, PNS Bisa Dipecat". Artinya 'kan, selama ini, ASN yang tidak produktif dibiarkan saja, dan tetap digaji—termasuk guru.

Walaupun ada PP 2019 yang memungkinkan pemecatan PNS, budaya "PNS biasa gabut" itu sudah ada sejak 50 tahun.
Betul. Ini konteks sejarahnya. Tahun '50-an Soekarno itu presiden gagal. Ekonomi hancur lebur di tangan dia. Harto mengkudeta Karno dan mengobral SDA Indonesia.

Biar nggak kena counter-kudeta, Harto mengiming-imingi PNS dengan jaminan-tidak-dipecat, asal pro-Golkar dan anti-PKI.
Jadi memang budaya Orba membentuk mental PNS supaya menomor-sekiankan kualitas, dan mengutamakan "loyalitas kepada negara".

Di zaman Orba, PNS—termasuk guru—tidak perlu kompeten. Yang penting "patuh" dan "tidak mempertanyakan kekuasaan". Budaya ini masih terbawa sampai sekarang.
Setelah puluhan tahun menjadi beban negara dan pemborosan anggaran, rendahnya kompetensi guru Indonesia ini baru dirombak lewat adanya Uji Kompetensi Guru.

UKG dimulai tahun 2012, waktu Mendikbudnya adalah Mohammad Nuh—mantan rektor ITS. Hasil tesnya? Amburadul. Guru abal semua.
Oke—nggak "semua". Tentu saja ada para guru berstatus-PNS yang benar-benar kompeten dan menjadi guru demi mencerdaskan.

Cuma, para guru kompeten ini hanya berkumpul di "sekolah favorit", dan jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang guru-abal yang jadi guru demi keamanan-finansial.
Waktu gue SMA, gue pernah [tanpa sengaja] bikin guru Matematika nangis di depan kelas, ketika dia ngajar lalu gue ngedebat dan ngoreksi penjelasannya.

Nah, fenomena ini coba dipahami. Pelan-pelan. ADA GURU MATEMATIKA NGGAK NGERTI MATEMATIKA TERUS NANGIS WAKTU DIKOREKSI MURIDNYA.
Mari, warganet yang pas sekolah (SD-SMP-SMA) pernah diajar sama guru yang nggak kompeten [atau malah ngajarin hal yang nggak nyambung], quote-RT dengan pengalaman pribadi kamu.

Ceritakan, dari kacamata kamu, rasanya hidup di salah satu negara dengan pendidikan terburuk di dunia.
Fenomena membludaknya guru abal ini membuat para murid gagal memahami materi pelajaran—bosan dan kebingungan. Bimbel swastalah yang justru lebih kompeten.

Di sekolah, murid cuma datang, isi presensi, pulang. Dan akhirnya, di ujian sekolah, mereka "terpaksa" menyontek demi lulus.
Pendidikan Indonesia bobrok bukan karena "kurang guru", tapi karena "guru abal".

Inilah kenapa berbagai lembaga dan produk pengajaran swasta laku keras, baik yang "fisik" seperti Pr*m*g*m* maupun yang digital seperti @zeniuseducation, sebuah Aplikasi Belajar Terbaik Untuk Semua.
Untuk sistem saat ini, akan jauh lebih baik jika ada wadah bagi siswa untuk menilai guru—secara anonim, biar nggak didendamin.

Oh iya, terima kasih buat Bu Rita. You're truly a teacher, both in knowledge and wisdom, both in character and teaching. Saya berutang seumur hidup, Bu.
Oh iya, bagi yang bingung apa hubungan "korupsi" dan "Orde Baru", kemungkinan kalian belum lahir ketika Orba.

Silakan baca tret ini, tentang kekuasaan-mutlak keluarga Soeharto. Soeharto adalah Kepala Negara dengan jumlah korupsi paling besar, sepanjang sejarah peradaban manusia.
Jadi, masih mengira "menggaji guru" akan membuat Indonesia cerdas?

Pendidikan Indonesia adalah sebuah skandal korupsi raksasa senilai 500 Triliun per tahun. Kehadiran dan kesuksesan lembaga-pembelajaran swasta membuktikan bahwa sebagian besar guru-PNS di Indonesia tidak-berguna.
Solusinya bukan di gaji, tapi QC. Pengendalian kualitas terus-menerus dari murid sebagai konsumen pengajaran.

Biarkan murid-murid memberikan voting anonim kepada kinerja guru. Berikan sanksi ke guru yang nilai-evaluasinya rendah, atau hadiah kepada yang nilai-evaluasinya tinggi.
Kalau mau membuat produk berkualitas, dengarkan masukan dari konsumen. Caranya, penilaian-langsung dari murid untuk kualitas pengajaran guru.

Kalau perlu, pajang peringkat guru secara terbuka. Walau bukan hukuman-resmi, setidaknya ada sanksi sosial bagi guru yang tidak kompeten.
Ya, memang susah mencari cara penilaian se-objektif mungkin. Semua metode penilaian punya biasnya masing-masing.

Karena itu, idealnya, berbagai bias yang saling-menyanggah dan saling-bertentangan dipertemukan supaya bisa saling menyeimbangkan—dan mendekati objektivitas sempurna.
Kalau tujuannya adalah murni demi pemasukan, menjadi guru itu pilihan bodoh.

Coba cek penghasilan tukang sayur yang dorong-dorong gerobak. 5–10 juta, bersih, per bulan. Coba cek penghasilan tukang bubur. Waktu nungguin bubur mateng pagi-pagi, dia sambil main PS4 di TV layar 24".
Tuntutan ke sistem pendidikan sederhana kok: Eliminasi guru yang tidak kompeten—dan tidak menunjukkan usaha memperbaiki diri—dari peredaran.

Terapkan "checks and balances" dengan mempertimbangkan murid sebagai konsumen, agar guru mendapat tekanan yang sehat—demi mutu pengajaran.
Mahasiswa yang dianggap "nggak kompeten belajar" aja kena DO kok; kenapa guru yang dianggap "nggak kompeten mengajar" dibiarin terus-terusan mengganggu proses belajar—dan jadi beban anggaran?

Ketimbang diajar sama guru-nggak-kompeten, mendingan belajar sendiri atau kelompok lah.
Begini, poin utama dari tret ini adalah membahas (1) kenapa bimbel swasta laku-keras, (2) kenapa banyak keluhan dari murid tentang guru yang ngawur dan abal dalam mengajar.

Solusi yang diajukan bukan "menaikkan gaji honorer", tapi "menggantikan PNS-abal dengan honorer-kompeten".
Poinnya adalah: Seorang guru bimbel bisa diberhentikan jika ada guru-lain yang lebih baik. Jika dia adalah yang terbaik, wewenang-mengajar tetap ada.

Sementara, seorang guru PNS tidak bisa diberhentikan walaupun ada guru lain—yang lebih baik—yang sebenarnya bisa menggantikannya.
Ada fenomena, realita-sosial bahwa seorang PNS—termasuk guru sekolah negeri—tidak bisa dan tidak boleh diberhentikan walaupun kualitasnya dan kinerjanya abysmal e.g. mengajarkan Bumi-datar dan memberi nilai semaunya.

Budaya "PNS tidak boleh dipecat" itu reruntuhan dari era Orba.
Sistem kepegawaian-guru Indonesia saat ini tidak performance-based, melainkan loyality-based. Sistem loyality-based ini bagus untuk memastikan stabilitas politik negara, jadi cocok jika diterapkan di Angkatan Bersenjata.

Cuma, ketika diterapkan di sektor pendidikan, ini masalah.
Di era Orba, bisa dibilang, PNS itu kader partai Golkar dan "anak buah" Soeharto. PNS adalah mata-mata pemerintah untuk memastikan tidak ada bibit-bibit pemberontakan.

Zaman Orde Baru mewajibkan PNS memilih Golkar. Kalau nolak, harus siap dimutasi ke pelosok atau bahkan dipecat.
Sebagai bentuk balas-jasa dari pemerintah Orba kepada para PNS—termasuk guru—yang sudah "setia" dan "patuh kepada Negara", pemerintah Orba membuat peraturan dan mekanisme yang menjamin:
(1) gaji seumur-hidup,
(2) jaminan tidak-akan dipecat,
(3) kelonggaran atas rendahnya kinerja.
Cuma, di masa ini, menjadikan sektor pendidikan sebagai alat untuk pelanggengan-kekuasaan partai Golkar 'kan tidak relevan. Pak Harto udah meninggal. PKI nggak ada lagi.

Jadi, perlu ada pengkajian ulang tentang "pemantauan kinerja dan kebolehan-memecat PNS di sektor pendidikan".
Guru-honorer yang kompeten itu banyak, dan mengantre menunggu pengangkatan menjadi guru-tetap dengan wewenang mengajar yang lebih tinggi.

Cuma sandungannya ya guru-guru "lama" yang, secara sistem, tidak boleh diberhentikan. Para guru-lama ini semena-mena karena yakin-karir-aman.
Jadi, kembali ke twit yang awal banget: Masalahnya bukan soal banyak-banyakan duit. RG itu perusahaan yang, jika dirupiahkan, bernilai sekitar Rp 7 triliun total.

Sementara, Kemendikbud itu sebuah "perusahaan" negara yang, tiap-tahunnya, diberi uang-pajak sekitar Rp 500 triliun.
Dengan perbedaan "valuasi" dan anggaran itu, mana yang lebih efektif dalam mengajar? RG atau Kemendikbud?

Mana yang lebih membantu anak-anak Indonesia memperluas dan memperdalam wawasan? Sistem keguruan-PNS atau sistem pengajaran-digital seperti Zenius? Silakan lho dibandingkan.
Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh.

Keep Current with Copy Ninja #WearMask #WashHands

Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

Twitter may remove this content at anytime, convert it as a PDF, save and print for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video

1) Follow Thread Reader App on Twitter so you can easily mention us!

2) Go to a Twitter thread (series of Tweets by the same owner) and mention us with a keyword "unroll" @threadreaderapp unroll

You can practice here first or read more on our help page!

Follow Us on Twitter!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3.00/month or $30.00/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!