w a h . Profile picture
Sep 23, 2020 117 tweets 17 min read Read on X
Jarang-jarang saya baru posting di jam malam gini ya ? hahaha

Malam ini saya ingin membagikan kisah yang belum lama saya baca juga, sangat menarik untuk dibaca dan mengandung banyak pelajaran di dalamnya.
Bagaimana nih? masih ada semangat buat baca jam segini?

Kalau masih silahkan merapat, like dan RT sebanyak-banyaknya.

Tinggalkan apa saja yg ingin ditinggalkan, yg penting jangan tinggalkan perasaan anda karena bukan tanggung jawab saya hehehe
Sambil nunggu sebagian orang kumpul, saya izin makan malam dulu ya lur 😬
Saya mulai ya, seperti biasa "alon-alon waton kelakon" (pelan-pelan tapi pasti/ perlahan tapi pasti)

Bismillahirrahmanirrahim.....

Petik makna dan pelajaran yg bisa diambil dari cerita ini
Pengalaman ini memang sudah lama berlalu. Kalau tak salah ingat, kejadian yang akan saya ceritakan ini terjadi tahun 2002, bulan dan tanggalnya saya sudah tak ingat lagi. Tapi yang jelas, kejadian tersebut beberapa hari setelah hari raya Idhul Adha.
Saya memiliki 2 orang teman, yg pertama bernama Rahmad tapi lebih sering dipanggil dgn sapa'an "Kampret", asal Karanganyar, Jawa Tengah. Dan yg kedua Surono, pemuda yg berasal dari Tegal Dowo, Rembang. Pertemanan kami berawal dari sebuah pekerjaan di Malinau, Kalimantan Utara
Hampir setengah tahun, suka duka kami lewati bersama. Kebetulan kami bertiga tinggal satu mes, sebagaimana para perantau pada umumnya, rasa senasib sepenanggungan membuat kami sudah selayaknya saudara.
Karena kontrak saya dan Surono habis, kami berkesempatan pulang kampung. Meski sebenarnya ada tawaran untuk kembali terbuka lebar. Namun kami sepakat untuk tidak balik lagi.

Selang dua atau tiga minggu kemudian, Kampret pun menyusul pulang karena selesai juga kontraknya
Karena sudah janji sebelumnya, ketika pulang Kampret akan mampir dulu di rumah saya, Tuban. Setelah sehari di rumah saya, kemudian saya diajak ke rumahnya di Klaseman, Karanganyar, sedianya setelah dua atau tiga hari di rumahnya kami berencana ke rumah Surono di Gunem, Rembang.
Dengan berboncengan motor dari Solo, saya dan Kampret menyusuri jalanan lengang bertepikan hutan menuju Tegal Dowo, saya dan Kampret sama sekali tak paham daerah itu. Sama-sama baru sekali, mungkin kalau dari Tuban, saya agak paham.
Jangan tanya kenapa tidak pakai internet? kan ada google map? Kala itu, belum usum kisanak....

Kalau pun toh kami pakai hp, hasil dari kami merantau itupun Nokia 3315, yang kalau getar sudah seperti lindu (gempa)
Memasuki hutan itu, terasa aneh buatku, dan nampak temaram karena tingginya pohon-pohon jati berukuran lima pelukan orang dewasa, ditambahan jalan aspal yg asal jadi selebar badan truk, berkelok-kelok menghindari  bukit-bukit padas mengular, khas hutan jati.
Tak ada rumah hampir sepanjang 5km yang kami lalui. Saya teringat waktu masih kecil diajak bapak ke Randublatung via Blora, 20 km hutan jati perawan, rumah yang saya temui hanya rumah panggung khas Polisi Hutan, yang lain sama sekali tidak ada.
Keadaan yang saya lewati hampir sama persis, untunglah saya dan Kampret sudah sempat mampir makan bakso di pertigaan stasiun Jepon. Jadi kami tidak terlalu kelaparan, walau perut sudah keluarkan status siaga merah.
kok nggak sampai-sampai ya?” keluh Kampret padaku, merasakan penat di pantat sejak pagi dari Solo menuju lokasi.

“Sebentar lagi juga sampai,” hiburku.

“Jangan-jangan petunjuknya Surono salah!” serunya agak dongkol.
"Nggaklah! Lha ini bener to arahe ke sini” jawabku

Kampret nampak tidak puas dengan jawabku, tapi dia tidak membantah

“Lul, kamu ngrasa gak, keadaan terasa makin mistis, sejak kita masuk belok dari pertigaan pos Polisi Hutan tadi,” ujarnya memecah kesunyian.
"Perasaanku rasanya nggak karuan sejak masuk melintasi portal tadi.” ucap kampret

“Maksudmu, pertigaan yang ada palang pemeriksaan dan ada polisi tidurnya itu?” tanyaku

“Betul” sahutnya
"Memang kayaknya di kasih palang supaya truk yang nggak ijin nggak boleh masuk" kataku beralasan agar tidak terpancing perasaan mistis, meski saya sendiri juga merasakan hal seperti itu.
Coba Lul, kamu nalar saja, masak 10 km nggak ada rumah sama sekali, hutan terus, pohon jatinya besar-besar nggak lazim ada di Jawa, kok kayak di Malinau wae, setahuku paling satu dua yang besar-besar, tapi ini banyak yang besar-besar" komentar Kampret penasaran
Tapi saya nggak mau mengiyakan Kampret meski akal saya merasakan ketidaknalarannya.

“Lha ya wajar to, kita masuk hutan lindung, hutan larangan, sehingga hutannya pasti perawan, lha nggak pernah dijamah orang --
--jangan berpikiran aneh-anehlah yang penting sampai!” sergahku mengusir pikiran aneh dari benakku.

Kata hutan larangan malah menggelitik pikiranku, jangan-jangan hutan larangan itu maksudnya orang tidak boleh ke situ,
karena tempat itu sudah dihuni sebangsa jin dan makhluk halus untuk tetap hidup damai seiring dengan perluasan lahan huni dan lahan usaha manusia seperti pertanian dan lain-lain, mengingat itu saya malah jadi bergidik,

“Nggaklah! Pergi! Pergi!” batinku mengusir ketakutanku.
"kayaknya kita sudah masuk areal perkampungan, lha kuwo lihat dah ada ladang dan sawah!” seru kampret menunjukan ke kejauhan.

Memang terasa kami sudah keluar hutan, pohon-pohon tidak lagi banyak, bahkan di sisi yang lain saya sudah melihat hamparan persawahan yang subur
Selang berapa waktu kami sudah memasuki perkampungan. Matahari memang sudah turun mendekati peraduannya, hari  telah mendekati petang. Beberapa penduduk menyempatkan keluar rumah menyalakan “uplik” untuk penerangan luar.
Rumah-rumah yang ada sangat sederhana profil rumah pedesaan, rumah “gebyok”, rumah papan untuk rumah utama dan gapitan “gelam”, kulit jati, untuk bagian belakang. Tampak teratur, rapi dan bersih. Saya mendekati seorang bapak yang kebetulan melintas.
"Selamat sore pak, maaf ke Gunem masih jauh tidak?” tanyaku

Bapak itu  kelihatan bingung.

“Maaf, Kisanak, saya tidak tahu, saya tidak pernah meninggalkan kampung ini, tanya saja sama Ki Ageng, maaf saya duluan ya, rumah Ki Ageng itu yang paling besar, yang ada pendapanya"
sambil tunjuk arah dengan jempolnya khas orang Jawa.

Sebutan Ki Ageng membuat saya dan Kampret penasaran.

“Kayaknya desa ini terisolir ya, sampai sebutannya  masih menggunakan istilah lama seperti jaman Kasultanan Jawa jaman dulu" komentar Kampret.
"Ya mungkin mereka masih terikat tradisi kayak suku Badui di Banten, atau mirip orang Samin di Klapaduwur,” imbuhku.

Segera saya geret Kampret menuju ke pendapa Ki Ageng yang tidak terlalu jauh dari jalan tempat kami bertanya
“Kulanuwun, kulanuwun!” seruku dalam bahasa Jawa yang artinya permisi

“Mangga Kisanak!” bersama itu muncul seorang tua gagah dari dalam rumah sambil tersenyum.

“Njanur gunung, tumben ada tamu dari kota, sudi mampir ke rumah saya. Mangga lenggah(duduk)” katanya.
Terima kasih Ki,” sahut kami berdua

“Ada apa malam-malam ke sini Kisanak?” tanyanya

“Begini Ki, kami dari Solo mau ke Tegal Dowo, Gunem. Menurut petunjuk teman kami, kami sudah benar jalurnya tapi kok nggak sampai-sampai, mungkin Ki Ageng bisa menunjukan jalan kepada kami?”
jawabku menjelaskan sekaligus bertanya.

Kemudian Ki Ageng menjawab "Kisanak, sebetulnya Tegal Dowo sudah dekat, tapi ini sudah malam, Kisanak berdua masih harus melewati satu bagian hutan lagi, saya kuatir Kisanak tersesat, terus malah tidak bisa sampai ke tujuan"
"Tapi Ki, kami malam ini harus sampai, sudah kadung janji dengan teman kami” kataku

“Ya Ki, kami harus sampai malam ini" imbuh Kampret

“Wah saya nggak yakin kalau malam ini bisa sampai kalau diteruskan, --
--hutan ini masih perawan, yang lewat saja harus ijin perhutani, Kisanak lihat to, pohon-pohonnya besar, saya yang sudah tinggal lama di sini, menyarankan Kisanak untuk tinggal menginap di sini, terlalu berbahaya, masih banyak juga binatang liar yang berkeliaran di malam hari --
--menginap saja di sini Kisanak, di sini terbuka untuk Kisanak berdua” kata Ki Ageng mendesak kami berdua untuk tinggal menginap disini

Dalam keadaan bimbang kami berdua berembug, tinggal atau tidak. Akhirnya kami mengambil kesepakatan untuk tinggal,saya lebih senang lanjut saja
tapi Kampret sudah kecapaian selama perjalanan, ia beralasan toh besok akan sampai juga ke Tegal Dowo, pagi-pagi, kalau perlu, sudah harus berangkat.

“Bagaimana Kisanak, jadi menginap?” tanya Ki Ageng.
Maaf Ki, akhirnya kami terpaksa merepotkan barang semalam, kalau boleh malam ini kami menginap” jawab Kampret.

“Baik kalau begitu kita makan dulu ya Kisanak, belum makan malam to?” ajak Ki Ageng sambil tersenyum.

Jawabku malu-malu, “Belum Ki.”
"Makan sederhana ya Kisanak, Kita makan singkong rebus ya, maklum petani punyanya ya cuma hasil bumi” jawab Ki Ageng ringan.

“Nggak apa-apa Ki kami malah senang sederhana dari ladang sendiri, tidak perlu beli” aku menimpali.
“Sebentar ya Kisanak, Nyi!, nyi! tolong sediakan singkong rebus yang tapi kita rebus! Tamu kita perlu untuk makan malam" seru Ki Ageng kepada istrinya.

“Ya Ki, ini sudah saya siapkan" terdengar suara merdu dan bening dari dalam rumah.
Keluarlah perempuan paruh baya, masih tampak guratan ke cantikan dalam dirinya, dari warna kulitnya ya langsat itu, saya hampir yakin Nyi Ageng dari kalangan ningrat. Nyi Ageng tersenyum melihat kami.
"Ini hasil kebun samping itu Kisanak, semua alami, tidak pakai pupuk-pupuk buatan pabrik kok. Silakan dinikmati Kisanak mumpung masih hangat" ucap Ki Ageng menawarkan singkong rebusnya
"Nyaman ya Ki suasana di sini aman, tentram, damai, yang ada hanya suara jengkerik”ujarku sambil merasakan hangatnya singkong rebus dan secangkir kopi hangat

“Ya beginilah Kisanak kalau tinggal di desa ini sejuk, karena bulan purnama, cerah, tenang dan angin semilir menyejukkan"
jawab Ki Ageng.

“Tapi kok nggak ada ya Ki, yang keluar rumah, jagongan, atau sekedar ngobrol, juga nggak ada suara radio atau tv?” tanyaku menyelidik.

Memang saya rasakan dari tadi kok rasanya sepi-sepi saja,
tidak seperti layaknya dukuh modern, anak berlari-larian atau sekedar jalan, bahkan nonton tv tidak ada, ini agak membingungkan.

“Di sini tidak ada tv, radio atau hiburan yang lain Kisanak, paling wayang. Itupun yang nanggap orang lain--
--kalau hari biasa ya begini ini, sunyi, sepi, mamring,” Ki Ageng menanggapi pertanyaanku.

“Dari tadi saya juga nggak lihat ada listrik ya Ki? setahuku hampir 80 persen jawa sudah ada aliran listrik, tapi di sini kok nggak ada ya" tanyaku
"Memang begitulah masyarakat kami Kisanak" Ki Ageng menjelaskan.

“Kami memiliki aturan dan budaya sendiri yang wajib di taati kalau mau selamat" imbuhnya

Kata “selamat” membuatku agak bergidik, sepertinya kampung ini punya rahasia sendiri, aturan sendiri yang harus ditaati.
Kampung ini ada ketentuan, kalau tengah malam seluruh kampung harus gelap gulita, semua lampu harus mati, dan tidak boleh ada tamu, makanya tadi Kisanak, penduduk kampung menyarankan untuk menghubungi saya,
karena kalau terpaksa, hanya saya yang boleh memutuskan tamu boleh datang atau tidak, berhubung Kisanak tersesat dan sudah malam justru saya yang minta Kisanak tinggal sebab di luar kampung ini, saya tidak bisa menjamin keselamatan Kisanak,” ungkapnya penuh misteri.
"Karena Kisanak bukan penduduk asli dari sini, Kisanak saya beri tempat khusus, sebab juga kalau Kisanak berada bersama kami keselamatan Kisanak tidak dapat saya jamin" tambahnya semakin misterius.
Saya dan Kampret makin bertambah takut. Batinku "Tadi kalau nggak mampir lebih baik, tapi kalau tersesat ya tidak tahu lagi, selamat atau tidak"

“Oleh karena itu, Kisanak nanti tinggal di atas sana,” Ki Ageng menunjuk ke atas.
Saya dan Kampret kaget setengah mati, karena kami akan tinggal di puncak joglo pendapa, atau orang jawa sering menyebut “penuwun”.

 “Jangan kuatir ya, nanti Kisanak saya sediakan tangga, di atas juga sudah bersih sudah ada kasur--
--tadi mata batin saya sudah merasakan bakal ada tamu, jadi saya sudah bersihkan,” katanya menepis kekuatiran saya.

“Apapun yang terjadi di bawah sini, jangan takut, kuatir dan jangan berteriak atau menangis, diam saja, dan saran saya yang terakhir ; --
nanti waktu mau tidur tolong tangganya ditarik saja ke atas dan tutup lubang pintu masuk"

“Ada apa to Ki Ageng kok kayaknya misterius gitu?” tanyaku

“Nggak apa-apa, pokoknya tenang dan lihat sendiri, Kisanak bisa lihat dari sela-sela papan di atas,
Kisanak juga bisa lihat luar lewat sela-sela genting penuwun itu. Pokoknya ini sangat istmewa untuk Kisanak berdua dan bisa dijadikan pengalaman hidup, yang penting ikuti nasehat saya,
saya sebagai kepala dusun mengijinkan Kisanak berdua melihat keistimewaan kampung kami, paham?” tegas Ki Ageng penuh penekanan
Paham Ki, kami akan lakukan nasehat Ki Ageng,” jawab kami berdua.

“Nah, ini sudah waktunya naik ke kamar atas, lampu akan segera saya matikan, ingat apapun yang terjadi jangan takut rekam baik-baik jadikan suatu pengalaman berharga” imbuh Ki Ageng
segera Ki Ageng mengambil tangga bambu dan mempersilakan kami naik ke penuwun. Ki Ageng membantu membawakan “uplik” untuk penerangan kami sementara.

“Nanti kalau saya mematikan lampu pendapa uplik ini dimatikan ya” ucap Ki Ageng
Bagi yg tidak tau uplik, nih saya kasih tau Image
"Nanti kalau saya mematikan lampu pendapa uplik ini dimatikan ya”.

Ki Ageng telah turun, tangga juga saya tarik, Kampret menutup papan kayu tempat kami masuk tadi. Beberapa waktu, saya lihat beberapa orang keluar rumah, mereka mulai mematikan “uplik”, demikian juga Ki Ageng
"Pret, matikan upliknya!” bisikku

Kampet beringsut mendekati uplik lalu meniupnya.

Gelap gulita, tapi mataku mulai terbiasa, ditambah lagi ada sinar rembulan menembus di sela-sela genting penuwun.
Aku mulai terbiasa melihat pendapa dari pantulan sinar rembulan yang purnama itu, aku baru tahu kalau malam ini adalah purnama penuh.

Dari kejuhan saya dengar gendingan mengalun dengan merdu seolah-olah ada orang punya gawe atau punya hajatan.
Syahdu, menyentuh, mengingatkan saya pada mendiang kakekku yang setiap malam menyalakan radio mendengarkan wayang.

Rasa-rasanya ada yg berdiri tapi bukan keadailan. Ternyata bulu kuduku meremang, berdiri merinding.
Sepertinya jiwaku merasakan sebuah fenomena lain yang tidak lazim, ada hawa mistis yang merebak seiring dengan angin malam yang menusuk khas hawa hutan jati yang masih perawan, beriring bau bunga jati yang mulai berjatuhan diterpa angin malam, sangat khas dan tak terlupakan
Demikian juga dgn perasaan Kampret, dia lebih lagi. Bercampur aduk antara takut, kuatir, merinding dan tertekan. Ia merasakan bahwa dirinya serasa di alam lain yg penuh misteri.

Setiap kali ia menarik nafas, terasa bergemuruh di telingaku, seakan turut merasakan gejolak batinnya
Dalam kilasan bulan purnama yang kian sempuran terangnya, menunjukan bahwa waktu hampir tengah malam. Saya lihat Ki Ageng keluar rumah bersama Nyi Ageng, meski agak remang temaram, saya melihat jelas dalam sorotan cahaya rembulan.
Saya lihat juga para penduduk kampung mulai keluar rumah bersama istri dan anak-anak mereka. Mereka berkumpul di tanah lapang yang tak jauh dari pendapa.

Gending Jawa berkumandang makin jelas meski tak jelas dari mana asalnya,
sanubariku terasa teriris seiring dengan alunan rebab yang mengalun kian meninggi. Terdengar lolongan anjing ajag atau anjing liar, bersahut-sahutan menambah alunan mistik, terasa mendera siapapun yang mungkin mendengarnya,
saya kira Kampret merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan, memang sedari naik ke penuwun ia terdiam seribu bahasa.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, kabut tipis mulai melingkupi lapangan tempat Ki Ageng dan penduduk berkumpul,
atas pimpinan Ki Ageng semua orang duduk bersimpuh menundukan kepala. Dengan pelan tapi pasti terjadi perubahan pada gerak tubuh mereka termasuk Ki Ageng, saya tidak dapat melihat jadi apa mereka dalam perubahan itu.

Terasa semua sarafku menegang karena takut sekaligus takjub,
Kampret yang ikut memperhatikan mulai pelan-pelan menempel di sebelah saya, terasa tubuhnya penuh keringat dingin. Meski saya takut perubahan itu, tetapi proses itu tetap saya perhatikan dengan seksama, kabut tipis itu mulai bergerak dari saf ke saf,
dari depan ke belakang meliuk dan melingkupi semua orang. Mata hatiku seakan dibukakan  atas semua fenomena itu.

Ya Allah.......
Ya Allah, mereka semua jadi celeng!” seruku dalam hati Image
Mereka berubah wujud menjadi babi hutan, yang terdepan, tentu Ki Ageng berubah menjadi celeng yang hampir sebesar sapi, penduduk desa berubah masih pada ukuran celeng pada umumnya.
Ratusan celeng itu mulai berkeliaran di sekitar kampung, kemudian mereka bergerak dalam keberapa kelompok menuju ke lain-lain tempat, mungkin mereka mencari makan atau apalah di dalam hutan. Saya menggigil gemetar melihat ke anehan itu.
Pret! Kamu lihat tadi kan?” tanyaku dengan gemetar, ku seka peluhku yang yang mulai sebesar butiran jagung.

“Ya, Aku mau pingsan rasanya” ujar kampret

“Tahan aja Pret, jangan pingsan dulu, ini sudah tengah malam paling jam 4 pagi sudah normal" hiburku
Tiba-tiba satu rombongan celeng, mendekat ke pendapa, “Grok. Grok, grok “ bersahut-sahutan seolah memberi komando, saya mulai resah suara itu kelihatan amarah, kepala yang bersiung itu mendengus ke sana kemari, mungkin mereka mencium bau manusia yang mengancam jiwa mereka.
Nampaknya ada beberapa celeng yang tahu kami di penuwun. Mereka mulai menabrak berulang ulang hendak merobohkan empat pilar joglo tempat kami bersembunyi, joglo terasa bergetar hebat, kami mulai panik, tapi kami mencoba untuk terus berdiam diri.
"kalau kita mati di sini bagaimana ya? Matilah aku!” seru Kampret menahan tangis.

“Pasrah aja Pret, baca ayat apa saja yang kamu ingat, mohon pertolongan Gusti Allah,” nasehatku dengan suara bergetar juga menahan takut, saya sebetulnya juga takut
rasanya menyesakkan dada seiring pendapa yang terus bergoyang kian hebat. Dalam keadaan kritis itu, muncullah Ki Ageng yang sudah menjelma menjadi celeng raksasa, ia menabrak semua celeng yang brutal tadi.
Tak tertandingi kiprah Ki Ageng, semua kocar-kacir dibuatnya, dan tak ada satupun yang berani mendekat, apalagi melawan. Mereka tunduk kepada Ki Ageng, mereka segera berlalu dengan suara parau dan tertunduk pilu.
Nampak dari tubuh Ki Ageng keluar asap tipis yang berbau harum bunga melati berpadu dengan cendana, asap itu terus naik menembus atap papan tempat saya dan Kampret bersembunyi dengan ketakutan, asap itu menghipnotis kami, saya melihat pendapa itu tak lagi sebuah rumah joglo,
tetapi sebuah pohon besar menyerupai beringin dan saya berada di puncak yang tertopang ranting-ranting, saya mulai takut dan berteriak sekenanya juga Kampret berteriak ketakutan, dalam ketakutan itu saya limbung tak sadar diri, saya sudah tak tahu lagi nasib Kampret,
saya sudah tak tahu lagi nasib Kampret, yang ada cuma gelap, gelap dan gelap, dan makin bertambah pekat. Saya merasa dikejar-kejar celeng besar, saya berlari, terus berlari, sampailah di tepi jurang lalu saya berteriak sekuat-kuatnya,
“Tolong! Tolong! tolong!” teriakku

Celeng itu tak peduli, saya diterjangnya sampai masuk ke jurang. Saya menggapai semua yang ada di sekitarku,

dan akhirnya..
Gubrak...... glodak....

“Mas! Mas! Mas!” seseorang menggoyang-goyang tubuhku, hidungku membaui minyak kayu putih, saya agak pening, “Mas, sadar! sadar! sadar!”
Saya membuka mataku mencoba menguasai keadaan, selain minyak wangi, saya mencium aroma menyan madu, saya lihat di sudut ruang ada kepulan asap api arang yang membubung meninggi.
Saya mencoba duduk, seorang lelaki yang sudah ubanan yang tak taksir berusia 70 tahunan dengan iket wulung di kepalanya mendekatiku.

 “Nak, minum dulu air putih ini, agar cepat pulih kesadarannya, mbah jamin 30 menit lagi pasti segar lagi.”
Tiga puluh menit kemudian, benar juga, saya sudah segar. Saya lihat ada beberapa Polisi Hutan yang mendampingiku.

“Sudah segar mas?” tanyanya sopan.

“Ya begitulah pak, sudah, tapi perasaan saya masih kacau, maaf ya pak, teman saya ada dimana?” tanyaku kuatir.
"Ndakpapa mas,dia seperti mas juga, dia agak shock rupanya. Tapi 30 menit lagi pasti pulih, apa lagi Mbah Narto sudah turun tangan" kata Polhut itu

Saya baru tahu, rupanya lelaki tua tadi bernama Mbah Narto, dari perkataan Polisi tadi berkesan kalau Mbah Narto seorang paranormal
"Sini sudah hafal mas, kalau ada begituan Mbah Narto itu pakarnya,” Polisi itu menambahkan.

“Begituan apa to Pak maksudnya?” tanyaku pada Pak Polisi.

“Nanti saja mas, biar dijelaskan sama Mbah Narto saja, beliau yang lebih tahu" pungkasnya.
Setelah makan pagi dan minum teh yang disediakan oleh Polisi Hutan, yang tentu menu seadanya, maklum kami ternyata sudah berada di rumah jaga Polisi Hutan. Rumah jaga itu berupa rumah panggung, tempat aparat ini menyiapkan diri patroli atau pelepas lelah saat mereka pulang patrol
"Mari duduk sini nak, ngobrol-ngobrol sama mbah" Mbah Narto mempersilakan kami duduk di pojok teras sambil menikmati udara pagi hari.

“Sebenarnya kalian berdua, dari mana dan mau kemana, kok sampai nyasar kemari" tanya Mbah Narto kalem.
Kampret yang sejak tadi diam mulai angkat bicara, ”Kami berdua dari Solo mbah, hendak ke rumah teman kami di Tegal Dowo. Tetapi setelah belok pos jaga yang berpalang ke arah Sumber, rasanya kok nggak sampai-sampai, sebenarnya kami agak curiga,
perasaan kami sudah tidak nyaman, tapi berhubung sudah gelap kami menginap di rumah Ki Ageng” ujar kampret

“Oh begitu“ kata Mbah Narto manggut manggut sambil tersenyum, nampak lelaki tua ini tidak heran, kemudian ini menambahkan
"Sebenarnya hutan setelah pos jaga itu, memang hutan lindung atau masyarat mengatakan hutan larangan, tidak ada seorang pun yang berani lewat di atas pukul lima, Polisi Hutan selepas jam 5 sore lebih banyak ngepos di sini.”
Beliau menghela nafas meneruskan,

”Dini hari menjelang pagi sekitar pukul 3 pagi, seorang anggota pos yang piket jaga mendengar jeritan dan ketakutan dari dalam hutan. Dia yakin jeritan itu pasti manusia walau lamat-lamat terdengar
dia lalu membangunkan komandan peleton, komandan memerintah 2 orang untuk menjemput mbah, yah rumah mbah memang tak jauh dari tempat ini, paling 500 meter, secara spiritual mbah hapal daerah sini.”
Beliau terdiam sejenak lalu menyerutup seteguk kopi, lanjutnya, ”Pak komandan tidak mau ambil resiko, karena hal yang sama pernah terjadi sekian tahun silam, semua personil bersiaga dan merambah hutan, menerobos jalur, kami tahu kemana harus mencari,
jadi tak butuh waktu lama, cuma yang ditakutkan adalah gerombolan celeng yang berjumlah cukup banyak.”
  
“Tapi mbah tahu, kalau lokasi itu adalah kerajaan siluman celeng,” kata Mbah Narto bergetar.
"Lewat Kontak batin, mbah minta Ki Ageng penguasa kerajaan siluman supaya bisa mengendalikan anak-anaknya, Ki Ageng juga minta jaminan, tak boleh satupun anak buahnya ada yang terluka, karena mereka hanya mendengar perintah Ki Ageng
celeng itu tetap celeng ketika menjadi celeng, nalurinya juga celeng, oleh karena itu hanya kontak dengan Ki Ageng maka celeng-celeng itu bisa dikendalikan, celeng-celeng itu sesungguhnya makhluk halus yang pada waktu tertentu menjadi celeng untuk bisa menembus dunia manusia.
Hanya Ki Ageng yang seratus persen nalarnya manusia, meski tubuhnya celeng pada waktu tertentu atau kalau ia mau menemui manusia" jelas Mbah Narto
"Kami menemukan kalian tersangkut di pohon beringin, kami temukan, kalian berteriak, mengigau, meronta-ronta ketakutan terus pingsan, untunglah polhut kita ini membawa berbagai kelengkapan selain senjata untuk berjaga-jaga, kami berhasil membawa kalian
tapi maaf nak, motornya baru nanti siang kita upayakan untuk dibawa ke sini, mbah minta kalian ikut ya, jangan takut mbah nanti akan ikut menyertai" ujar Mbah Narto.
Siang itu, tampak serombongan kecil bergerak menyusuri jalan setapak menembus hutan, saya dan Kampret sebetulnya was-was, tapi sebagaimana janji Mbah Narto, saya yakin, kalau lelaki tua ini mampu mengatasi segala kemungkinan yang bakal terjadi.
Kami tiba di suatu tempat agak lapang di tengah rimbunan pepohonan, ada satu pohon yang menakjubkan di lapangan kecil  seluas 2 kali lapangan voli. Menurut taksiranku sebesar 8 pelukan orang dewasa, dan di pojok lapangan itu terparkir manis sepeda motor GL Max kesayangan Kampret
Kampret geleng-geleng kepala, “Bagaimana aku bisa naik motor sampai ke sini, jalan rata saja tidak ada?” katanya heran sekaligus bingung.

Ia segera bergerak mendekati motor, tetapi segera dicegah oleh Mbah Narto.
"Tunggu dulu nak!” seru Mbah Narto tegas melarang,

“Kita mohon ijin dulu dengan Ki Ageng, percaya tidak percaya, daerah ini adalah kekuasaannya.”

“Mbah mohon bapak-bapak tunggu di sini dulu!” katanya pada Polisi Hutan,

“Mbah dengan anak berdua ini akan mohon ijin dulu.”
Mbah Narto memberi kode kepada kami berdua untuk mengikutinya, pada jarak 5 meter dari pohon besar, kami segera berhenti langsung duduk bersila. Mbah Narto menyilangkan tangannya di dada sedekap, sambil komat-kamit,
tiba-tiba entah dari mana, tampak bayang-bayang Ki Ageng berdiri di bawah pohon itu.

“Anakku berdua, aku mengijinkan kalian mengambil motor itu, tapi ingat, jangan merusak apapun di daerah kekuasaanku" kata Ki Ageng berbisik di telingaku seiring dengan terpaan angin sepoi-sepoi
"Ingatlah bahwa pengalaman itu sangat berarti dan mengandung pengertian, meski kamu dan aku berbeda alam, tapi masing-masing perlu tempat untuk hidup, katakan kepada semua orang bahwa aku dan kaumku tidak mau diusik, kamu berdua menjadi dutaku untuk menjaganya,
agar kaumku dan manusia dapat hidup dengan nyaman dan damai di tempat masing-masing, camkan itu.” Perlahan bayangan itu hilang lenyap, seiring dengan menghilangnya kabut tipis di bawah pohon itu.
Kami terpaksa memikul bergantian membawa motor ke pos Polisi Hutan, meski lelah tapi pelajaran yang di dapat amatlah besar. Saya berjanji secara pribadi, berkomitmen untuk ikut terlibat dalam melestarikan hutan, bukan semata-mata karena pengalaman mistik itu,
tetapi juga karena kesadaran pentingnya hutan sebagai paru-paru dunia dan lingkungan hidup.

Masih terdengar di telinga ku suara Ki Ageng,

“Camkan, camkan, camkan!” seiring langkah kami meninggalkan tempat itu.

Saya berdoa mohon petunjuk Yang Kuasa,
kiranya pengalaman itu berarti bagiku untuk membangun hidup ku di kemudian hari, bagaimanapun semua makhluk mempunyai tempat untuk hidup dengan damai. Semoga!

--TAMAT--
Bagi yg belum baca, next ke thread saya yg lain di bawah ini 👇🏻

Suwun....

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with w a h .

w a h . Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @wahyuariyantn_

Nov 9, 2023
"RUMAH PENGANTAR KEMATIAN"

Part 3 - Kematian Pertama

Dia terduduk ketakutan sambil menangis di depan kamarnya, ia mencoba menutupi wajahnya dengan lutut dan kedua tangannya. Dalam takutnya, ia terus berkata "Aku tidak mau Mati"

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
Selamat malam! Setelah 3 minggu, akhirnya saya bisa kembali menulis lagi 😁 Mohon maaf ya
Untuk part-part sebelumnya bisa lebih dulu dibaca di sini.

Part 1
Read 97 tweets
Oct 19, 2023
"RUMAH PENGANTAR KEMATIAN"

Part 2 - Bayangan Di Dalam Kegelapan

Sesuatu bersembunyi diantara gelap malam itu. Meski samar, semakin lama bayangan sosok itu semakin tinggi dengan buntalan ikatan di ujung kepalanya

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht Image
Update pelan-pelan, karena sedang dalam perjalanan. Jika yg ingin langsung baca tanpa jeda, part 2 dan 3 sudah tersedia di platform sebelah ya

Part 2 : karyakarsa.com/wahyuariyantn/…
Part 3 - Kematian Pertama : karyakarsa.com/wahyuariyantn/…
Read 83 tweets
Oct 12, 2023
"RUMAH PENGANTAR KEMATIAN"

Diantara gelap, dia mencari mangsa, menghabisi satu-persatu penghuni di sana, seolah kematian sudah melekat kepada siapa saja yang memilih tinggal.

- a thread

@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht @P_C_HORROR #bacahorror Image
“Hallo, Mas Wahyu! Aku ada cerita, yang mungkin bisa untuk diceritakan. Cerita kelam, yang mungkin akan terus teringat entah sampai kapan, karena saat itu aku hampir mati” Ucap seseorang pria yang aku kenal melalui seorang kawan.
Saya menyebut pria ini dengan nama “Santo” . Usianya sekarang baru menginjak kepala tiga, dan saat kejadian kelam ini terjadi, Santo masih berusia 21 tahun dan sedang menjalani semester akhirnya sebagai seorang mahasiswa.
Read 61 tweets
Sep 2, 2023
"NANDUR NYAWA"

Part 2 - Mulai Terlihat

Sosok dibalik tanah ini mulai memperlihatkan eksistensinya. Tubuhnya setinggi langit-langit rumah, wajahnya mengerikan dengan empat taring yang tumbuh di dua rahang mulutnya.

@bacahorror @IDN_Horor @P_C_HORROR @Penikmathorror Image
Ini merupakan lanjutan dari cerita Nandur Nyawa di part pertama
Untuk part pertama, silakan bisa dibaca disini ya
Read 14 tweets
Aug 26, 2023
"NANDUR NYAWA"

Apa jadinya jika tanah subur yang kamu ketahui selama ini ternyata rahasianya adalah nyawa manusia yang ditanam di dalam tanahnya?

@bacahorror @IDN_Horor @P_C_HORROR @Penikmathorror #threadhorror #ceritahorror Image
“Akhirnya sampai juga.” ucap pama Sanjaya.

“Paman Sapto, Na. Panggil saja pamanku dengan itu.”

“Di mana tempat tinggal, Paman? Kami sudah kedinginan.” Tanya Sanjaya.
“Di sana, tapi, rumah yang akan kalian tempati nanti tidak di rumah paman. Tempat untuk kalian sudah disediakan oleh juragan.” Tutur paman Sapto sebelum menuntun sepeda untanya mengarahkan Sanjaya dan Kelana.
Read 9 tweets
Jun 15, 2023
"BELENGGU SUKMA"

Mereka ada dimana-mana, mengintai hampir setiap malam. Pengabdian KKN yg diperkirakan lancar, ternyata malah akan merenggut nyawa mereka satu-persatu setelah kutukan desa tempatnya KKN kembali muncul setelah puluhan tahun menghilang

@bacahorror @IDN_Horor Image
Detik demi detik berputar, tanpa terasa satu persatu dari mereka datang lalu memperkenalkan dirinya masing-masing. Pertemuan itu, akan mereka gunakan untuk membahas susunan tugas serta program bersama yang akan mereka bawa saat terjun di desa.
Namun, sudah tiga puluh menit berlalu sejak orang terakhir datang, ada satu orang yang belum juga terlihat wujudnya. Dia adalah Maya. Bahkan, sejak komunikasi melalui grup whatsapp, Maya pun belum sama sekali merespon.
Read 99 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(