Kalau yg bikin infografis #lawanhoaxRUUCiptaker udah resmi dari akun DPR RI gini, rasanya geregetan juga. Mau coba bahas ah dari pandangan ((masyarakat sipil)):
Disclaimer: ketentuan yg saya bahas adalah menggunakan draft final-paripurna, karena UU resminya belum keluar ya.
1. Uang pesangon memang masih ada, tapi yg dipermasalahkan adalah ketentuan perubahan Pasal 156 ayat (2) yg menyebutkan uang pesangon diberikan PALING BANYAK dsb..., jelas berubah 180 derajat dari ketentuan UUK yg mengatur uang pesangon PALING SEDIKIT.
Implikasinya apa? Ya berarti pengusaha boleh memberikan uang pesangon di bawah ketentuan UU Cipta Kerja, karena ketentuannya mengatur batas maksimal, tidak seperti UUK yg mengatur batas minimal.
2. UMR betul masih ada. UUK Pasal 88C menyebutkan gubernur wajib menetapkan UMP, dan dapat menetapkan UMK. Yg hilang adalah Upah Minimum Sektoral. Masalah juga ada di Pasal 88C ayat (3) yg menyebutkan: Upah minimum ditetapkan berdasarkan “kondisi ekonomi & ketenagakerjaan.”
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 89 (2) UUK (dalam UU Ciptaker pasal ini dihapus) yg mengatur Upah Minimum diarahkan kepada pencapaian KEBUTUHAN HIDUP LAYAK. Terasa bedanya kan...
3. Penetapan upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil, memang tetap sama dengan yang ada di UUK. Saya belum bisa menemukan pasal di UU Ciptaker yg mengatur upah per jam, mungkin ada teman2 yg bisa membantu menunjukkan?
4. Ini betul. Di UU Ciptaker (versi Paripurna) ketentuan mengenai cuti (atau pengecualian no-work-no-pay) di Pasal 93 UUK TIDAK JADI DIUBAH. Kenapa isu ini muncul? Karena di draft RUU Ciptaker versi bulan Februari, ketentuan Pasal 93 ini berencana diubah. Tapi berarti tidak jadi.
5. Saya kurang paham maksud dari “hoax” di nomor 5 ini apa. Masalah terkait outsourcing di UU Ciptaker menurut saya adalah menghapuskan pembatasan jenis pekerjaan yg boleh di-outsourcing-kan. Karena UU Ciptaker menghapus Pasal 65, dan mengubah Pasal 66 UUK.
Implikasinya apa? Kemungkinan pekerja dengan kontrak outsourcing akan bertambah karena pembatasan jenis pekerjaan yg boleh dioutsourcing tidak lagi ada.
6. Betul. Status karyawan tetap (PKWTT) memang masih ada. Tapi yg jadi masalah di UU Ciptaker adalah pembatasan waktu maksimal PKWT dihapuskan (lihat perubahan Pasal 59 UUK di UU Ciptaker).
Pasal 59 (4) UUK mengatur PKWT maksimal 2 tahun + diperpanjang 1 tahun. Ketentuan ini hilang di UU Ciptaker.
Pasal 59 (2) b UUK mengatur pekerjaan yg boleh PKWT adalah yg diperkirakan waktu penyelesaiannya paling lama 3 tahun. Di UUK berubah menjadi “waktu tidak terlalu lama”.
Implikasinya apa? Ya kemungkinan PKWT akan makin banyak dan makin panjang waktunya. Ini yang dikhawatirkan oleh banyak pihak karena posisi pekerja dengan PKWT tentu lebih rentan dibanding pekerja tetap.
7. Soal PHK sepihak, dari draft RUU Ciptaker versi Paripurna, saya sepakat bahwa ada kemungkinan PHK Sepihak. Tapi, dari yg dikutip oleh akun DPR tsb kok bunyi Pasal 151 berbeda dengan yg di draft paripurna, jadi saya belum berani komentar.
8. Ini betul. Sepanjang pembacaan saya, UU Ciptaker tidak mengubah ketentuan mengenai jaminan sosial, justru menambahkan “jaminan kehilangan pekerjaan” (meskipun pengaturnya masih sangat tidak jelas menurut saya).
9. Penjelasannya sama dengan di poin nomor 6. Yang dipermasalahkan adalah ketentuan mengenai pekerja kontrak yg batasan waktunya jadi tidak ada lagi.
10. Ini betul. TKA tidak bebas masuk, tetap ada ketentuannya yakni pengesahan rencana penggunaan TKA. Hanya ada pengecualian ketentuan ini di Pasal 42 (3) bagi jenis2 pekerjaan tertentu.
11. Sepanjang pembacaan saya, di Pasal 154A (1) ttg alasan-alasan PHK, memang tidak ada yg berkorelasi dengan kegiatan protes oleh buruh. Jadi yang mau protes, ayo lah, mumpung masih boleh!
Mungkin segitu saja pandangan dari saya. Aturan-aturan di atas masih ada yg bisa berubah karena “digantung” di peraturan pelaksana. Maka yuk kita perlu kawal juga pembuatan Peraturan Pemerintahnya biar nggak semakin merugikan pekerja.
Disclaimer lagi: saya bukan lawyer, hanya dosen hukum ketenagakerjaan yg suka diskusi masalah2 naker. Kalau ada teman-teman yg berbeda pandangan, ya nggak papa, memang aturannya multi tafsir kok, draft valid-nya yg mana aja nggak jelas, makanya saya #TolakOmnibusLaw 🤭
Akhirnya menemukan logic dibalik kekhawatiran upah perjam. Jadi saya koreksi: ketentuan UUK tidak mengatur penentuan upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Saya bilang ketentuan upah tetap sama, karena saya mengingat PP 78/2015 ttg Pengupahan (lihat Pasal 12).
Bedanya, di PP Pengupahan, upah satuan waktu dibatasi hitungan harian, mingguan, dan bulanan (Pasal 13 (1)). Ketentuan baru di UU Ciptaker belum membatasi ini, dan masih menggantung ketentuan lebih lanjut di PP. Mungkin karena itu muncul kekhawatiran ttg upah perjam.
Sedikit tambahan soal poin nomor 3 tentang upah perjam:
Satu-satunya kabar “baik” dari kluster ketenagakerjaan adalah Pasal 93 yg diubah di versi Februari, di versi Paripurna ini nggak jadi diubah. Kayaknya tukeran sama Pasal 156 yg jadi ambyar.
Oh satu lagi, Pasal 151 (1) kembali ada dengan memuat frasa “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/buruh dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.” Ayat ini awalnya hilang di versi Februari.
Maap karena tidak mau terlalu sedih dan frustasi maka mau share hal agak baik-baiknya dulu (meskipun sedikit).