Perlu berpikir panjang soal masa depan mobilitas di kota pasca pandemi. Memang korelasi lemah antara penyediaan transportasi publik dgn kemacetan. Namun kebijakan pembatasan kend bermotor bisa menaikkan okupansi transportasi publik.
Yang bermasalah adalah persepsi yg terbangun di masa pandemi, transportasi publik dianggap berresiko - walau sampai hari ini belum ditemukan cluster akibat transportasi publik.
Pembatasan penggunaan kend pribadi pasti akan mendapat tantangan casual yg ringan dgn bawa isu pandemi.
Utk mengurangi kemacetan: Pembatasan penggunaan kend bermotor itu kebijakan yg dpt terimplementasi dlm jangka pendek. Kemungkinan berhasilnya pun situasional. Lain dgn kebijakan terkait ketataruangan. Lbh fundamental, namun lebih panjang prosesnya.
Keduanya bisa melengkapi.
Harusnya sih menulis lagi untuk mengaitkan dilema tersebut pasca pandemi. Tapi kudu bertapa untuk mencari keseimbangan yg tepat. 😅
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ya jika kerjaannya sbg Project Manager NCICD ya akan jualan bahwa obat paling manjur adalah bikin pompa sebesar2nya, bikin tanggul setinggi2nya, lebarkan sungai dan beton, alirin secepat2nya ke laut.
Maksud hati mencari tulisan lama soal banjir yg dimuat di media. Eh malah nemu nyinyiran orang yg pakai argumen Project Manager NCICD 🤣.
Yang tak pernah dijawab oleh Project Manager NCICD: 1. Pompanya mau sebesar apa utk menarik air 13 di wilayah dgn topografi spt Jakarta? 2. Dlm skemanya, mana soal penghentian land subsidence - pdhal ktnya perlu NCICD krn subsidence? 3. Kalau temboknya gagal gmn (dan udah pas)?
Melihat perdebatan bbrp hari ini di linimasa nya kang @Outstandjing itu menarik. Ada diskusi (atau ngotot2an kadang hina2an ke si akang) soal tinggal bersama orang tua.
Tapi sbtlnya kebanyakan alasan itu rerata kontekstual dan personal, kadang dipengaruhi budaya.
Saya yg usia 20-30 thn an tegas banget gak mau tinggal bareng ortu.
Tapi ketika satu persatu mertua meninggalkan kami, dan melihat kondisi sekarang pandemi dan orang tua. Skrg saya mempertimbangkan utk bagi waktu lbh byk tinggal bersama ortu. Bagi waktu Cirebon-Jakarta.
Dan naga2nya 99% yakin bakal bagi waktu Cirebon-Jakarta - sambil misu2 kenapa bikin kereta cepatnya bkn yg jurusan Jakarta-Surabaya sih!
Toh bisa remote di bbrp hari.
Tp sekali lagi ya ini keputusan personal banget. Gak bisa sama dgn misal yg keluarganya kurang harmonis.
Kasus Detroit di bawah tidak sama dengan konteks yang ditanyakan oleh @Outstandjing sama sekali. Bahkan gak nyambung.
Paska mortgage crisis 2008, byk orang yg rumahnya disita. Namun utang pajaknya tetap berjalan. Stlh Detroit mulai bangkit (pasca bangkrut 2013), ...
Banyak orang beli rumah (pertama), krn murah banget. Tp tyt utang pajaknya jd tanggungan pembeli baru.
Michigan (saat Detroit bangkrut) sudah perintahkan utk “get your act together”, alias itung yg bener tuh. Tp gak dilakukan.
Jadi ya gak nyambung ama yg ditny @Outstandjing
Kalau soal “dibeli2” developer, itu sdh kejadian dari sejak 2010an, sblm Detroit nyatakan bangkrut. Downton Detroit diborong ama Dan Gilbert, yg pny Quicken Loans. Dan dikembangkan ulang 2013 keatas.
Midtown Detroit dikembangkan ama nonprofit, ketolong ama Wayne State Uni.
Desain RUSUNAWA di Taipei yang dibangun oleh Pemkot Taipei.
Dan omaygo, lokasinya itu bukan di tempat jin buang anak, melainkan cuma sekian stops dari Taipei Main Station.