Adapun dalil sam’i, Allah subhanahu wa ta’ala menyifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang Maha Esa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ;
“Sesungguhnya azab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Mahamulia. Mahakuasa berbuat apa yg dikehendaki-Nya.” (al-Buruj: 12—16)
“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Mahatinggi. Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya).
Yang Menentukan takdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk. Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Dia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (al-A’la: 1—5)
Adapun dalil ‘aqli, sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati. Jadi, ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan, tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, tetapi termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh zat yang disifati tersebut.
Segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat….”
📚 al-Qawa’idul Mutsla, hlm. 10—11
Menetapkan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluk bukanlah bentuk kesyirikan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata ;
“Menetapkan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala tidak termasuk meniadakan kesucian Allah subhanahu wa ta’ala, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya.”
Bahkan, hal ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Adapun yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan.
Sebab, sebelum meniadakan sifat-sifat Allahsubhanahu wa ta’ala tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allahsubhanahu wa ta’ala dengan sifat makhluk-Nya.
Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang sempurna itu, sungguh mereka telah menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Sebab, tidak mungkin sesuatu itu ada tanpa mempunyai sifat sama sekali.
Oleh karena itu, Ibnul-Qayyim rahimahullahdalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya)
📚 at-Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. 79—81
Atas dasar ini, mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sunnah Taqririyah adalah ; Diamnya Rasulullah ﷺ , tidak mengingkari atau melarang suatu perkara yg dilakukan oleh shohabat. Apakah perkataan atau perbuatan, baik dilakukan dihadapan Rasulullah ﷺ atau tdk, namun beritanya sampai kepada beliau.
Perbuatan yang dilakukan para
Sahabat Rasulullah ﷺ dan didiamkan tidak dilarang atau diingkari oleh Rasulullah, maka perbuatan para Sahabat Rasulullah tersebut menjadi
SUNNAH.
Ruwaibidhah adalah orang yang fasik lagi hina, pendosa, dan jahil. Namun, dengan lancang mereka memposisikan diri untuk membicarakan masalah umat.
Allahu Akbar! Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits ini benar-benar terjadi. Ruwaibidhah bermunculan berbicara tentang urusan umat.
Betapa banyak manusia dungu dan jahil dalam urusan agama dengan lancang berbicara dan berfatwa di tengah halayak.
Bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang menimpa umat manusia ketika orang seperti mereka membicarakan urusan yang bukan kapasitasnya.
Dengan entengnya Ruwaibidhah berbicara tentang agama tanpa ilmu, Dengan seenaknya mereka bicara urusan darah kaum muslimin.
Bukankah menghina Rasulullah ﷺ tdk seperti menghina manusia lainnya. Menghina beliau sama saja dgn menghina Allah sebagai Dzat yg mengutusnya, berarti jga menghina Islam yg dengannya dia diutus. Jika demikian, sekali lagi.
Apakah sahabat akan berdiam diri dari penghinaan itu ?
Coba antum baca tafsir Ibnu Katsir tentang surah At_Taubah ayat 12 tentang hukuman bagi penghina Nabi ﷺ !
Persatuan dan persaudaraan yang Allah ta’ala inginkan adalah bersatu dan bersaudara di atas kebenaran, bukan kebathilan. Maka memperingatkan umat dari syirik dan bid’ah hakikatnya adalah mengembalikan umat kepada persaudaraan yang hakiki dan persatuan yang sesuai syari’at.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” [Ali Imron: 103]
Perintah bersatu dan larangan berpecah belah dalam ayat ini, adalah perintah bersatu dengan tali Allah, yaitu Al-Qur’an, bukan dengan ajaran yang menyelisihi Al-Qur’an, yaitu syirik dan bid’ah.