Persatuan dan persaudaraan yang Allah ta’ala inginkan adalah bersatu dan bersaudara di atas kebenaran, bukan kebathilan. Maka memperingatkan umat dari syirik dan bid’ah hakikatnya adalah mengembalikan umat kepada persaudaraan yang hakiki dan persatuan yang sesuai syari’at.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” [Ali Imron: 103]
Perintah bersatu dan larangan berpecah belah dalam ayat ini, adalah perintah bersatu dengan tali Allah, yaitu Al-Qur’an, bukan dengan ajaran yang menyelisihi Al-Qur’an, yaitu syirik dan bid’ah.
Sehingga yang menyebabkan perpecahan umat Islam justru karena munculnya berbagai bid’ah dalam agama dan mengikuti hawa nafsu, sebagaimana peringatan Allah Ta’ala:
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan (memecah belah) kamu dari jalan-Nya.
Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” [Al-An’am: 153]
Al-Imam Mujahid rahimahullah menjelaskan maksud as-subul (jalan-jalan yang memecah belah umat) adalah, “Bid’ah-bid’ah dan syahwat-syahwat.”
Maka yang dimaksud persatuan bukan asal ngumpul, tetapi persatuan di atas kebenaran.
Andaikan kebanyakan manusia bersatu, tidak saling memusuhi, tidak saling benci, tidak saling mencela, namun mereka di atas kebatilan maka itu bukan dinamakan persatuan.
Walaupun seorang diri, tapi sesuai dengan kebenaran, inilah yang dianggap persatuan menurut Islam.
Sahabat yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Sesungguhnya mayoritas manusia menyelisihi al-jama’ah (persatuan), dan persatuan itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau seorang diri.”
Demikianlah keadaan kita hari ini, yang mengajak umat kepada persatuan hakiki dianggap memecah belah dan memperuncing permusuhan.
Sebaliknya, yang mengajak kepada syirik dan bid’ah yang merupakan sebab perpecahan dan permusuhan kaum muslimin dianggap sebagai dakwah yg benar.
Marilah kita belajar untuk lapang dada dalam menerima nasihat dan bahkan berterima kasih kepada orang yang menasihati, bukankah kebenaran itu harus dikatakan dan diterima meskipun pahit ?!
Sekali lagi, kalau Anda diam dan saya pun diam, maka bagaimana saudara semu'min mengetahui penyimpangan2 yg dilakukan !?
Wallahul Musta’an.
Ustadz Sofyan Khalid bin Idham Ruray.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sunnah Taqririyah adalah ; Diamnya Rasulullah ﷺ , tidak mengingkari atau melarang suatu perkara yg dilakukan oleh shohabat. Apakah perkataan atau perbuatan, baik dilakukan dihadapan Rasulullah ﷺ atau tdk, namun beritanya sampai kepada beliau.
Perbuatan yang dilakukan para
Sahabat Rasulullah ﷺ dan didiamkan tidak dilarang atau diingkari oleh Rasulullah, maka perbuatan para Sahabat Rasulullah tersebut menjadi
SUNNAH.
Ruwaibidhah adalah orang yang fasik lagi hina, pendosa, dan jahil. Namun, dengan lancang mereka memposisikan diri untuk membicarakan masalah umat.
Allahu Akbar! Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits ini benar-benar terjadi. Ruwaibidhah bermunculan berbicara tentang urusan umat.
Betapa banyak manusia dungu dan jahil dalam urusan agama dengan lancang berbicara dan berfatwa di tengah halayak.
Bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang menimpa umat manusia ketika orang seperti mereka membicarakan urusan yang bukan kapasitasnya.
Dengan entengnya Ruwaibidhah berbicara tentang agama tanpa ilmu, Dengan seenaknya mereka bicara urusan darah kaum muslimin.
Bukankah menghina Rasulullah ﷺ tdk seperti menghina manusia lainnya. Menghina beliau sama saja dgn menghina Allah sebagai Dzat yg mengutusnya, berarti jga menghina Islam yg dengannya dia diutus. Jika demikian, sekali lagi.
Apakah sahabat akan berdiam diri dari penghinaan itu ?
Coba antum baca tafsir Ibnu Katsir tentang surah At_Taubah ayat 12 tentang hukuman bagi penghina Nabi ﷺ !
Adapun dalil sam’i, Allah subhanahu wa ta’ala menyifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang Maha Esa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ;