Ruwaibidhah adalah orang yang fasik lagi hina, pendosa, dan jahil. Namun, dengan lancang mereka memposisikan diri untuk membicarakan masalah umat.
Allahu Akbar! Apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits ini benar-benar terjadi. Ruwaibidhah bermunculan berbicara tentang urusan umat.
Betapa banyak manusia dungu dan jahil dalam urusan agama dengan lancang berbicara dan berfatwa di tengah halayak.
Bisa dibayangkan betapa besar kerusakan yang menimpa umat manusia ketika orang seperti mereka membicarakan urusan yang bukan kapasitasnya.
Dengan entengnya Ruwaibidhah berbicara tentang agama tanpa ilmu, Dengan seenaknya mereka bicara urusan darah kaum muslimin.
Dengan serampangan mereka berbicara jihad. Muncullah berbagai kerusakan yang kita saksikan saat ini seperti fenomena : takfirul hukkam wal muslimin (pengkafiran terhadap penguasa dan kaum muslimin) dan pemikiran lainnya.
Dengan fatwa-fatwa yang tidak bertanggung jawab, Ruwaibidhah mengafirkan para penguasa dan masyarakatnya. Dengan dalih jihad mereka membunuh orang kafir yang tidak boleh dibunuh, bahkan orang muslim pun tidak luput menjadi korban kejahatan mereka.
Jgn menengok terlalu jauh, saksikanlah apa yg terjadi di negeri ini saat kampanye reformasi digelar. Kekacauan terjadi di seluruh penjuru negeri.
Tokoh2 pengusung reformasi bukanlah ulama, bukan pula orang2 yg mengerti maslahat dan mafsadah sebagaimana diajarkan dlm agama ini.
Mereka sebagian besarnya adalah para politikus, dan orang yang gila kekuasaan.
Bukan agama yang diperjuangkan, melainkan dunia. Mereka adalah Ruwaibidhah.
Akibatnya, kejelekan terbuka sedemikian lebar. Saat ini, semua kesesatan bisa berkembang bebas meracuni anak-anak bangsa : liberalisme, komunisme, radikalisme, dan terorisme. Pemberontakan, hujatan kepada penguasa, sesuatu yg sudah sangat akrab di telinga kita.
Demikian tragis nasib negeri ini, ketika Ruwaibidhah berbicara.
Tidak diragukan—wallahu a’lam—bahwa Ruwaibidhah termasuk golongan ashaghir yang disebutkan dalam hadits Abu Umayyah al-Jumahi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ;
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla tidak akan mencabut ilmu dari umat manusia dengan sekali cabut. Akan tetapi, Dia akan mencabut dengan mematikan para ulama (ahlinya).
Sampai apabila Dia tidak menyisakan seorang alim, umat manusia akan menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai pimpinan-pimpinan mereka. Mereka ditanya (oleh umatnya) lantas menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata ;
“Manusia senantiasa dalam kebaikan, selama yang menjadi ulama (panutan) mereka adalah masyayikh (orang-orang yang tua, baik dalam hal ilmu maupun usia), bukan orang-orang yang masih muda.
Sebab, orang yg telah berumur, telah hilang darinya sifat kekasaran, main2, dan ketergesa-gesaan.
Orang yg tua juga penuh dgn pengalaman dlm urusannya. Karena itu, ilmunya tdk tercampur dengan syubhat, tidak pula hawa nafsu menyimpangkannya, tdk pula mudah dijerumuskan setan.
Adapun kaum muda, seringkali hal-hal tersebut menimpanya—yang kaum tua selamat darinya. Apabila hal itu terjadi, kemudian ia berfatwa, sungguh dia akan binasa dan membinasakan.”
Dahulu, salaf kita bersedih ketika melihat orang jahil berbicara memberi fatwa.
Lantas apa pendapat Anda jika mereka menyaksikan rusaknya zaman kita ini? Semua orang bebas berbicara, bahkan berfatwa. Sebebas-bebasnya, tanpa batas.
Ibnu Abdil Barr al-Andalusi rahimahullah meriwayatkan dalam 📚 Jami Bayani Ilmi fa Fadhluhi melalui jalan Abdullah bin Wahb,
dari al-Imam Malik, beliau berkata ;
Seorang mengabarkan kepadaku: Suatu saat aku masuk menemui Rabi’ah bin Abdur Rahman. Ketika itu beliau sedang menangis. Aku pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Rabi’ah bertambah tangisnya. Aku bertanya kembali, “Apakah ada musibah yang menimpamu?”
Rabi’ah menjawab, “Tidak, (bukan karena itu aku menangis). Akan tetapi, saat ini orang yang tidak berilmu dimintai fatwa, dan muncullah perkara besar dalam Islam.
Sungguh, sebagian dari mereka yang berfatwa (tanpa ilmu itu) lebih pantas untuk dipenjara daripada para pencuri!”
Saudaraku, mari kita kuatkan semangat mendidik diri kita dan generasi kita dengan ilmu al-Kitab dan as-Sunnah.
Tuntutlah ilmu al-Kitab dan as-Sunnah sebelum ilmu dicabut dengan wafatnya para ulama.
Bekali generasi kita untuk menghadapi tahun2 yang memilukan dgn al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman salaf umat ini. Tidak ada benteng yg kokoh kecuali dgn berpegang teguh dgn keduanya.
Allahul musta’an.
Diringkas dari tulisan al-Ustadz Muhammad Rijal, Lc
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sunnah Taqririyah adalah ; Diamnya Rasulullah ﷺ , tidak mengingkari atau melarang suatu perkara yg dilakukan oleh shohabat. Apakah perkataan atau perbuatan, baik dilakukan dihadapan Rasulullah ﷺ atau tdk, namun beritanya sampai kepada beliau.
Perbuatan yang dilakukan para
Sahabat Rasulullah ﷺ dan didiamkan tidak dilarang atau diingkari oleh Rasulullah, maka perbuatan para Sahabat Rasulullah tersebut menjadi
SUNNAH.
Bukankah menghina Rasulullah ﷺ tdk seperti menghina manusia lainnya. Menghina beliau sama saja dgn menghina Allah sebagai Dzat yg mengutusnya, berarti jga menghina Islam yg dengannya dia diutus. Jika demikian, sekali lagi.
Apakah sahabat akan berdiam diri dari penghinaan itu ?
Coba antum baca tafsir Ibnu Katsir tentang surah At_Taubah ayat 12 tentang hukuman bagi penghina Nabi ﷺ !
Persatuan dan persaudaraan yang Allah ta’ala inginkan adalah bersatu dan bersaudara di atas kebenaran, bukan kebathilan. Maka memperingatkan umat dari syirik dan bid’ah hakikatnya adalah mengembalikan umat kepada persaudaraan yang hakiki dan persatuan yang sesuai syari’at.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” [Ali Imron: 103]
Perintah bersatu dan larangan berpecah belah dalam ayat ini, adalah perintah bersatu dengan tali Allah, yaitu Al-Qur’an, bukan dengan ajaran yang menyelisihi Al-Qur’an, yaitu syirik dan bid’ah.
Adapun dalil sam’i, Allah subhanahu wa ta’ala menyifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang Maha Esa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ;