(Makanan surga) itukah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum.
Surah As-Saffat (37:62)
إِنَّا جَعَلْنَاهَا فِتْنَةً لِلظَّالِمِينَ
Sesungguhnya Kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orang-orang yang zalim.
Surah As-Saffat (37:63)
إِنَّهَا شَجَرَةٌ تَخْرُجُ فِي أَصْلِ الْجَحِيمِ
Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dari dasar neraka yang menyala.
Surah As-Saffat (37:64)
طَلْعُهَا كَأَنَّهُ رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ
mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan.
Surah As-Saffat (37:65)
Surat Ash-shaffat ayat 62-65 menjelaskan tentang makanan orang di neraka berupa buah zaqqum.
Abu Jahal mengatakan bahwa pohon zaqqum itu tentunya seperti kurma Yatsrib yang dapat kamu santap.
Kemudian, Allah swt menghina Abu Jahal dalam Surat Ad-Dukhan ayat 43 - 49
إِنَّ شَجَرَتَ الزَّقُّومِ
Sesungguhnya pohon zaqqum itu
Surah Ad-Dukhan (44:43)
طَعَامُ الْأَثِيمِ
makanan orang yang banyak berdosa
Surah Ad-Dukhan (44:44)
كَالْمُهْلِ يَغْلِي فِي الْبُطُونِ
(Ia)sebagai kotoran minyak yang mendidih di dalam perut
Surah Ad-Dukhan (44:45)
كَغَلْيِ الْحَمِيمِ
seperti mendidihnya air yang amat panas.
Surah Ad-Dukhan (44:46)
خُذُوهُ فَاعْتِلُوهُ إِلَىٰ سَوَاءِ الْجَحِيمِ
Peganglah dia kemudian seretlah dia ke tengah-tengah neraka.
Kemudian tuangkanlah di atas kepalanya siksaan (dari) air yg amat panas
Surah Ad-Dukhan (44:48)
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia
Surah Ad-Dukhan (44:49)
Abdullah bin Ummi Maktum
Seorang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum bertanya:
“Ada seseorang bernama Muhammad yang membawa ajaran baru?" Temannya mengiyakan.
"Ajaran yang mengajak meyembah Tuhan Yang Mahatinggi?" tanya Abdullah bin Ummi Maktum lagi.
“Benar"
“Tuhan itu tidak bisa diraba seperti berhala?"
“Betul, Abdullah bin Ummi Maktum. Begitulah yang diajarkannya."
Abdullah bin Ummi Maktum termenung sambil menggosok gosok ujung jemari tangannya
“Tuhan yang tidak bisa diraba?" Pikir Abdullah bin Ummi Maktum
“padahal ujung jariku ini sudah mengenal betul berhala-berhala. Aku bahkan bisa membedakan Latta dan Uzza dengan memegang hidung mereka
Seandainya aku bisa bertemu sendiri dengan Muhammad!"
Dipenuhi rasa ingin tahu yang besar, Abdullah bin Ummi Maktum menemui Rasulullah. Sayang sekali, saat itu Rasulullah sedang menyampaikan ayat-ayat Al Qur'an kepada Walid bin Mughirah.
Ia adalah seorang pembesar Quraisy yang sangat diharapkan keislamanannya.
Akan tetapi, Abdullah bin Ummi Maktum tidak mengetahui kehadiran Walid, karena buta, dia terus mendesak, mendesak dan mendesak Rasulullah agar saat itu juga menerangkan tentang Islam kepadanya.
Karena tidak tahan didesak terus, sedangkan beliau sedang mendakwahi seorang tokoh penting, Rasulullah membuang wajah beliau.
Saat itu, firman Allah turun untuk menegur beliau,
(QS 'Abasa, 80 ayat 1-6)
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling
Surah 'Abasa (80:1)
أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ
karena telah datang seorang buta kepadanya
Surah 'Abasa (80:2)
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),
Surah 'Abasa (80:3)
أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ
atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Surah 'Abasa (80:4)
أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَىٰ
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
Surah 'Abasa (80:5)
فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّىٰ
maka kamu melayaninya.
Surah 'Abasa (80:6)
Demikianlah, Allah sangat menjaga utusan-Nya dari kesalahan, bahkan untuk kesalahan sekecil itu. Apalagi Rasulullah adalah orang yang sangat halus perasaanya sehingga jika akan merugikan orang miskin atau orang lemah, beliau merasa takut.
Karena Dengki
Kebanyakan para pembesar Quraisy tidak mau mengikuti Nabi bukan karena lebih yakin dengan berhala, melainkan lebih karena dengki, mengapa Muhammad diangkat menjadi Nabi, bukan mereka?
Walid bin Mughirah berkata, “Wahyu didatangkan kepada Muhammad bukan kepadaku, padahal aku kepala dan pemimpin Quraisy, juga tidak kepada Abu Mas'ud Amr bin Umair Ats Tsaqafi sebagai pemimpin Tsaqif. Kami adalah pembesar-pembesar dua kota."
Hisyam bin Amr
Hisyam bin Amr berjalan bolak-balik di depan rumahnya sambil menggerutu, “Tiga tahun sudah Bani Hasyim diasingkan! Padahal, mereka masih bersaudara dengan suku-suku Quraisy yang lain. Ada yang sebagai sepupu, ipar, paman, bibi.
Kalau saja tidak ada aku dan beberapa orang lain yang suka menyelundupkan makanan dengan diam-diam, Bani Hasyim tentu sudah kelaparan! Sudah saatnya aku harus berbuat sesuatu!"
Dengan tekad demikian, Hisyam bin Amr pergi menemui sahabatnya, Zuhair bin Umayyah. Zuhair adalah anggota bani Makhzum, tapi bibinya adalah Atikah binti Abdul Muthalib dari Bani Hasyim.
“Zuhair," tegur Hisyam,
“Aku heran engkau masih bisa tenang menikmati makanan, pakaian, dan lainnya, padahal engkau tahu keluarga ibumu dikurung sedemikian rupa hingga tidak boleh berhubungan dengan orang lain, tidak boleh berjual beli, tidak boleh saling menikahkan!
Aku bersumpah kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibuku, keluarga Abdul Hakam bin Hisyam, lalu diajak untuk mengasingkan mereka, tentu aku tolak mentah-mentah!"
Zuhair terperangah,
“Sebetulnya sudah lama sekali persoalan ini meresahkan hatiku," kata Zuhair kemudian.
“Jadi apa lagi yang engkau tunggu?" tanya Hisyam.
Keduanya pun sepakat untuk bersama-sama membatalkan piagam kejam itu. Namun, itu tidak cukup. Mereka harus mendapat dukungan juga dari yang lain.
Kemudian, secara rahasia malam itu juga mereka menemui Mut'im bin Adi dari Bani Naufal, Abu Al Bakhtary bin Hisyam, dan Zam'a bin Aswad dari Bani Asad. Kelima orang itu membulatkan tekad untuk membatalkan piagam yang telah tiga tahun dipasang di dinding Ka'bah.
Merobek Piagam
Esok hari, Zuhair mengelingi Ka'bah tujuh kali seraya berseru “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak2 makan dan berpakaian, padahal Bani Hasyim binasa, tdk bisa membeli atau menjual sesuatu pun! Demi Allah saya tdk akan duduk sebelum piagam yg kejam ini dirobek!"
Ketika itu, Abu Jahal berada tidak jauh dari tempat Zuhair, dengan cepat, datang menghampiri sambil berteriak:
“Engkau pendusta! Demi Allah, piagam itu tidak boleh dirobek!”
“Jika Zuhair engkau sebut pendusta, engkau jauh lebih pendusta!" balas Zam'a bin Aswad
“Sebenarnya dulupun saat piagam itu ditulis, kami tidak rela!"
“Zam'a benar!" dukung Abu Al Bakhtary,
“dulu kami tdk rela terhadap penulisan piagam itu dan kami pun tidak ikut menetapkannya!”
“Zam'a dan Abu Al Bakhtary benar!" sahut Mut'im bin Adi,
“dan siapa yang berkata selain itu dialah sang pendusta”
“Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari piagam itu dan apa yang tertulis di dalamnya!"
Mata Abu Jahal berkilat-kilat dan bahunya gemetar menahan marah.
“Kalian pasti sudah bersekongkol tadi malam!" tuduhnya.
“Kalian diam-diam berkumpul ditempat tersembunyi dan memutuskan untuk mengingkari piagam bersama ini!"
Perang mulut hampir memuncak ketika Abu Thalib yang ketika dari tadi diam di pojok, berjalan mendatangi mereka. Sikapnya yang tenang membuat orang-orang yang sedang bertengkar terdiam.
Mereka memandang Abu Thalib dan menanti yang akan dikatakan pemimpin Bani Hasyim itu.
“Semalam Muhammad menyampaikan sebuah pesan kepadaku mengenai piagam itu,” demikian kata Abu Thalib.
Rayap yang Diutus Allah*
“Muhammad menyampaikan kepadaku bahwa Allah telah mengutus rayap untuk memusnahkan piagam itu" lanjut Abu Thalib dengan tenang.
Orang-orang itu saling pandang dengan rasa heran bercampur takjub. Benarkah kabar ini?
Abu Thalib cepat berkata lagi:
“Jika kemenakan ku itu berbohong, kita biarkan apa yang ada di antara kalian dan dia. Biarlah kami menanggung pengasingan selamanya. Namun jika Muhammad benar, kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami."
Tampak sekali Abu Thalib sangat yakin dgn perkataannya sehingga bersedia menanggung boikot sampai mati jika perkataan Rasulullah tdk benar
Semua orang terdiam Mereka terharu sekaligus mengagumi rasa saling percaya dan kesetiaan yg demikian tinggi antara Abu Thalib dan Rasulullah
“Baiklah, engkau adil," kata mereka
“kami terima perkataanmu tadi, Abu Thalib."
Berbondong-bondong, mereka pergi ke Ka'bah dan menemui bahwa yang dikatakan Rasulullah memang benar.
Rayap telah memakan isi piagam itu, kecuali sebagian kecil yang bertuliskan “Bismika allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah)”
Demikianlah, akhirnya piagam itu dibatalkan. Rasulullah dan keluarganya kini bisa kembali berada di tengah-tengah masyarakat seperti semula.
Apakah kini Rasulullah dan para pengikutnya bisa bernafas lebih lega? Apalagi adanya kekuasaan Allah melalui rayap, mungkinkah hati orang-orang musyrik berubah? Ternyata sama sekali tdk! Justru kekufuran mrk semakin menjadi-jadi Mereka itu seperti yg tercantum dalam firman Allah:
“Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: (Ini adalah) sihir yang terus menerus.”
Surah Al-Qamar (54:2)
Bulan-Bulan Suci
Ada empat bulan suci dalam setahun ketika Rasulullah dan kaum Muslimin dibebaskan dari pemboikotan. Bulan-bulan suci itu adalah bulan pertama, Muharram (saat diharamkannya kekerasan), lalu bulan ketujuh,
Rajab (yang dihormati)
kemudian bulan kesebelas,
Dzulqa'dah (bulan damai), dan terakhir bulan kedua belas Dzuhijjah (bulan haji).
Bulan-bulan suci (Muharram, Rajab Dzulqa'dah, Dzulhijjah) itulah dimanfaatkan Rasulullah untuk semakin giat berdakwah selama pemboikotan.
Ketegaran Tiada Banding
Suatu ketika, di tengah jalan, Rasulullah berpapasan dengan Umayyah bin Khalaf. Umayyah bin Khalaf adalah seorang pemuda berperangai buruk. Ia suka bermusuhan dan tidak punya rasa takut kepada siapa pun.
Sekali pun Umar bin Khatthab dan Hamzah bin Abdul Muthalib telah bergabung dengan pasukan kaum Muslimin. Umayyah menganggap enteng enteng saja. Dia bahkan telah sesumbar akan membunuh Rasulullah dengan tangannya sendiri.
Oleh karena itu, ketika berpapasan dengan Rasulullah, Umayyah langsung menggertak sambil menunjuk kuda yang dituntunnya, “Aku beri makan kuda ini, tidak lain adalah untuk membunuhmu!"
Rasulullah menatap Umayyah dengan tajam sambil membalas cepat, “Tidak, justru akulah yang akan membunuhmu dengan izin Allah."
Kini Rasulullah tidak segan lagi menjawab setiap ejekan dan ancaman orang-orang Quraisy. Beliau semakin gencar dan tekun berdakwah tanpa memperdulikan resikonya lagi. Keberanian Rasulullah ini meruntuhkan wibawa musuh-musuh beliau yang selama ini selalu membangga-banggakan diri.
Masyarakat kecil perlahan mulai terpengaruh dengan keberanian Rasulullah ini. Mereka merasa, jika bergabung dengan kaum Muslimin, mereka tidak akan diejek dan disakiti semena-mena lagi. Kekukuhan hati Rasulullah dalam menghadapi bahaya merambah ke hati orang orang yang tertindas.
Suatu hari, seorang pria asing menjerit, “Wahai orang-orang Quraisy! Adakah orang yang bersedia menolong diriku? Hakku dirampas oleh Amr bin Hisyam (Abu Jahal)! Aku adalah pendatang dan telah dilakukan sewenang-wenang!"
Siapa orang Quraisy yang berani menantang keganasan Abu Jahal untuk menolong laki-laki malang ini?
Keberanian Rasulullah
Memang tidak ada yang berani! Tidak seorang pun! Namun, mereka menyarankan kepada laki-laki asing itu,
“Carilah Muhammad dan minta tolong kepadanya."
Walau menyarankan begitu, hampir semua orang yakin, Rasulullah akan mampu melakukannya. Semua tahu bahwa Abu Jahal adalah musuh Rasulullah yang paling jahat dan beringas.
“Ada apa, Saudara? Apa yang bisa kubantu?" Demikian sapa Rasulullah ketika orang asing itu datang.
“Tuan, aku adalah orang asing di sini. Amr bin Hisyam tidak mau membayar unta yang dibeli dariku!"
Rasulullah mengajak lelaki itu ke rumah Abu Jahal. Melihat mereka, orang-orang tertawa gaduh. Mereka yakin Muhammad tidak akan punya cukup keberanian untuk menghadapi Abu Jahal.
Muhammad pasti akan mengecewakan laki laki asing itu. Mereka bersiap-siap melontarkan ejekan paling menyakitkan untuk meruntuhkan wibawa Rasulullah di hadapan para pengikutnya.
Ketika Rasulullah dan orang asing itu tiba di rumah Abu Jahal, ia sedang berada ditengah tengah budak dan para penunggang kudanya. Tiba-tiba pintu diketuk dengan keras. Wajah Abu Jahal memerah menahan marah
“Siapa yang berani mengetuk pintuku sekeras itu? Tidak tahu dia kalau aku sedang bersama bawahanku! Dengan mudah, mereka bisa kusuruh melumatkan orang itu!"
Abu Jahal membuka pintu dan terkejut melihat Rasulullah di depannya. Saat itu wajah Rasulullah tampak sangat penuh percaya diri. Hati beliau sudah bulat untuk membela orang yang teraniaya ini.
Abu Jahal tidak berkata sepatah kata pun. Ia masuk ke rumah dan keluar lagi untuk membayar pembelian unta laki-laki asing itu.
Orang asing itu sangat berterimakasih kepada Rasulullah. Ia segera pergi dan bercerita kepada orang-orang di sekitar Ka'bah. Mau tidak mau, keberanian Rasulullah ini menimbulkan rasa kagum di hati mereka.
Mereka yang tadi sudah siap mengejek pun membubarkan diri dengan perasaan bercampur aduk, kesal, geram, tetapi sekaligus hormat dan kagum.
Laki-laki dari Suku Ghifar
Kabar tentang ajaran Islam sudah mulai menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arabia. Suatu hari, datanglah seorang laki-laki berwajah ramah dan bijaksana. Abu Thalib melihatnya, lalu menegur, “Sepertinya Anda laki-laki asing?"
“Betul, namaku Abu Dzar dari suku Ghifar."
Sebelum datang sendiri, Abu Dzar mengutus seorang saudaranya untuk mencari tahu tentang Rasulullah. Sesudah melihat apa yang dilakukan Rasulullah, saudara Abu Dzar melaporkan
“Demi Allah, aku telah melihat orang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan."
Karena belum puas dengan berita itu, Abu Dzar pun datang ke Mekah. Ali bin Abu Thalib mengajak Abu Dzar bermalam di rumahnya. Esok harinya, Ali bertanya kepada Abu Dzar:
“Jika Anda tidak berkeberatan bercerita, apa yang mendorong Anda datang ke negeri ini?"
“Kalau Anda berjanji untuk merahasiakannya, aku akan menceritakannya."
Ali mengangguk.
Kemudian, Abu Dzar berkata;
“Di kampungku, kami mendengar tentang seseorang yang bernama Muhammad. Orang mengatakan bahwa ia membawa ajaran baru. Aku ingin menemuinya. Namun, aku tahu pemerintah Quraisy akan menindak setiap orang asing yang sengaja menemuinya."
“Ikuti saya,” bisik Ali bin Abu Thalib, masuklah ke tempat saya masuk. Jika saya melihat orang yang saya khawatirkan akan mengganggu keselamatan Tuan, saya akan merapat ke tembok dan Tuan silahkan berjalan terus."
Malam itu juga, Abu Dzar bertemu Rasulullah.
Dan “Hatiku sangat pedih melihat orang-orang kaya yang congkak, budak budak yang sengsara, kaum perempuan yang tertindas, kaum miskin yang tidak mampu berbuat apa-apa. Apa yang Islam tawarkan untuk mengatasi semua ini?" tanya Abu Dzar
Rasulullah menjawab semua pertanyaan itu sampai Abu Dzar merasa sangat puas. Saat itu juga, Abu Dzar menyatakan keimanannya dengan semangat menggelora.
Ketika Abu Dzar berpamitan, Rasulullah berpesan:
“Wahai Abu Dzar, kembalilah ke masyarakatmu. Kabarkanlah kepada mereka ajaran Islam, dan rahasiakanlah pertemuan kita ini dari penduduk Mekah karena aku khawatir mereka akan mengganggu keselamatanmu."
Abu Dzar malah pergi ke Ka'bah dan berseru-seru mengajak orang masuk Islam.
Anjuran bersabar kepada Abu Dzar
Suatu hari, Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar:
“Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk mereka pribadi?"
Jawab Abu Dzar:
“Demi yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, akan aku tebas mereka dengan pedangku!"
Sabda Rasulullah;
“Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu? Yaitu bersabarlah sampai kamu menemuiku."
Bersambung besok, insya Allah 🙏🏿
Sallu ala Nabi🌹
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Walau keadaan semakin berat, Rasulullah tetap berjuang dengan gigih. Namun demikian, semakin gigih pula suku-suku pengembara Arab menolak beliau.
Pada saat penuh perjuangan itulah, Rasulullah menikah dengan Aisyah, putri Abu Bakar. Pernikahan itu bertujuan mempererat tali persaudaraan dengan para pendukung Islam yang setia. Tali persaudaraan yang erat itu sangat penting pada saat-saat sulit seperti itu
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah merupakan penghargaan setingi-tingginya bagi Abu Bakar, ayah Aisyah sekaligus sahabat Rasulullah. Pernikahan ini merupakan suatu bentuk kemenangan dalam persaudaraan yang penuh cinta kasih antara Abu Bakar dan Rasulullah
Beberapa bulan setelah piagam dihapus. Rasulullah kembali mengalami ujian besar, kali ini bukan penyiksaan dari pihak lawan, melainkan berupa kehilangan orang yang beliau cintai.
Karena sudah lanjut usia dan menderita kehidupan berat di pengasingan selama tiga tahun, Abu Thalib jatuh sakit. Saat itu usianya sudah delapan puluh tahun.
Mengetahui Abu Thalib sakit keras, orang-orang Quraisy khawatir akan terjadi perang antara kaum Quraisy dan Rasulullah beserta para pengikutnya. Apalagi dipihak Rasulullah ada Hamzah dan Umar yang terkenal garang dan keras.
Saat itu, yang menjadi juru bicara kaum Muslimin adalah sepupu Rasulullah yang amat tampan, Ja'far bin Abu Thalib.
“Paduka Raja," Ucap Ja'far penuh hormat,
“ketika itu, kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkai pun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan tetangga pun kami tidak baik, yang kuat menindas yang lemah.
Demikian keadaan kami sampai Tuhan mengutus seorang utusan-Nya dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal-usulnya. Dia jujur, dapat dipercaya, dan bersih pula.
Pesan Habib Ali Al-Jufri Tentang Boikot Dan Penghinaan Atas Nabi
Kairo, 12 Rabiul Awwal 1442/29 Oktober 2020
Boikot Sejati, Saya akan memberi tahu Anda apa yang perlu kami boikot. Kita perlu memboikot karakter buruk, pornografi, tren fesyen, ideologi palsu,
penghormatan terhadap apapun selain Sang Pencipta dan ketidakpedulian yang kita derita. Ada hati dan jiwa yang haus akan cahaya Nabi Muhammad saw, tapi kita gagal menyebarkannya. Siapa pun dapat berteriak dan berteriak dan membuat suara - "mereka memukul kita, mari kita balas!"
Siapapun bisa melakukan ini tapi bisakah kamu tetap teguh di jalan Muhammad? Mampukah Anda menyalurkan cinta dan kesetiaan itu kepada Nabi ﷺ untuk mengimplementasikan ajarannya di rumah Anda?
Umar melanjutkan langkahnya menuju Darul Arqam.
“Sudah jelas, Muhammad-lah yang menyebabkan semua kesengsaraan ini! Aku harus membunuhnya agar Mekah kembali damai dan tenang. Mengenai Hamzah, aku akan bertarung dengannya.
Aku yang mati atau Hamzah yang mati, itu tidak terlalu membuatku risau."
Tiba-tiba, lamunannya buyar ketika Nu'aim bin Abdullah menegurnya, “Hendak kemana, wahai putra Khattab?"
“Aku akan menemui Muhammad! Dia yang menukar agama nenek moyang kita. Dia yang memecah belah masyarakat Quraisy. Dia memiliki banyak angan-angan bodoh. Dia yang mencaci tuhan-tuhan kita. Untuk semua kesalahannya itu, aku akan menebas lehernya!"
Waktu terus berjalan. Kegigihan dakwah Rasulullah ﷺ mulai berbuah, sedikit demi sedikit, para pemeluk Islam mulai bertambah. Rumah Rasulullah yang kecil itu mulai terasa sempit.
“Ya Rasulullah, alangkah baiknya jika kita memindahkan tempat pertemuan ke rumahku” usul Arqam “Rumahku cukup luas untuk menampung jumlah kita yg sudah puluhan orang. Lagi pula, letaknya ada di puncak bukit. Orang-orang jahat tidak mudah mencapai tempat itu untuk mengganggu kita”
Rasulullah pun setuju Oleh krn itu, pertemuan setiap malam pun pindah ke rumah Arqam. Sebagian pemeluk Islam waktu itu adalah orang-orang lemah: para budak, buruh, org miskin, perempuan-perempuan fakir, serta org tertindas. Sisanya adalah golongan org terpelajar dan pedagang kaya