A THREAD
#threadhoror
#threadgunung
#gunungungaran
#semarang
Dari dulu pengen banget nulis cerita ini. Sempat bingung karena banyak bagian yang lupa, tapi inti ceritanya tidak akan terlupakan. Dan maaf, saya menggunakan nama samaran ya. Gunung Ungaran, tahun 2005
"Mbril, ayo kapan kita diajak naik gunung", ungkap Sari

GUMBRIL namaku.

Aku kuliah disalah satu PTN di Semarang. Dari SMP, aku sudah senang berkegiatan di alam dan kemudian berlanjut sampai dengan kuliah. Aku sedikit maskulin,
mungkin karena mayoritas temanku berjenis kelamin laki², kecuali teman kos.
Melihat kegiatanku, teman² kos minta diajak naik gunung. Karena mereka belum ada yang pernah naik gunung, maka aku putuskan mengajak mereka ke gunung Ungaran,
Pikirku, gunung Ungaran (2.050 MDPL) tidaklah terlalu tinggi dan tepat untuk pemula. Pada saat itu kami masih semester 2, sehingga sedang senang²nya saling mengenal dan "dolan" bareng.
Kami berdelapan perempuan dan ditambah lima teman laki², sehingga jumlah 13 orang. Ganjil? Iya memang, karena aku yakin nanti kami akan dapat teman naik ketika di Promasan (camp lereng g. Ungaran).
Sebelum berangkat, aku sudah wanti² bahwa yang sedang
"berhalangan" jangan ikut. Tapi mereka bertujuh meyakinkanku kalau mereka semua "bersih".
Pagi menjelang siang, kami sepakati berangkat. Kami naik bis mini untuk sampai ke pasar Bandungan.
Sesampai di pasar, kami melengkapi logistik yang kurang. Pada tahun 2005, untuk sampai di camp Mawar (camp pertama), pendaki masih harus jalan kaki dari pasar, dengan jarak tempuh kurang lebih 2 jam. Cukup menguras tenaga untuk yang belum pernah mendaki.
di tengah perjalanan, seingatku sampai di sebuah SD, DIKA kakinya kram. Dengan tubuhnya yang tinggi besar bongsor tidak mungkin untuk dipapah sampai ke atas. Akhirnya tas dan sepatu terpaksa aku yang bawa. Dan jadilah aku kura², depan belakang gendong tas.
berjalan pelan² akhirnya sampailah kita di camp mawar. Seingatku perjalanan dari bawah ke atas memakan waktu 4 jam. Iya, kami sampai di camp mawar pas dengan adzan ashar. Karena takut kemalaman sampai di camp promasan, kami putuskan tidak ada istirahat
di camp mawar. Kami tetap lanjutkan perjalanan untuk sampai di camp promasan, yang jarak tempuh normal kurang lebih 2 jam. Dan lagi² di tengah perjalanan, kaki Dika kram lagi. Aku kasihan dengan teman² yang lain karena harus menunggu, jadi aku putuskan
membagi dua kelompok. Kebetulan yang pernah mendaki g. Ungaran cuma tiga orang; aku, Dodo, dan Rizal.
Berdelapan termasuk Dodo dan Rizal, aku minta untuk jalan dulu ke Promasan. Dan rombonganku tersisa 5 orang, cuma Dika laki² di rombonganku.
dengan langkah seperti siput, rombongan kami berjalan pelan. Keanehanpun mulai kurasakan. Banyak jalan asing yang belum pernah aku lalui, padahal hampir tiap bulan bahkan minggu aku ke gunung Ungaran. Semua hanya bisa ku batin, dan berharap akan baik² saja
"Sejak kapan ada aliran air di tengah jalan", gumamku
"Kenapa Mbril? Salah jalan?", tanya Imel
" Ndak kok, Mel. Pelan yang penting sampai ya", jawabku mengalihkan perhatian

Aliran air di tengah jalan seperti selokan kuhitung tiga kali kami lewati,
sampai akhirnya terdengar adzan maghrib. Dan kami sampai di bekas jalur air track pendakian lama yang sudah tertutup dan bertumpuk batu. Aku sadar, seharusnya tidak berhenti di sini karena area ini terkenal angker. Karena apesnya, di sini kaki Dika kumat lagi
aku cuma bisa tengak tengok berharap tidak ada yang mengganggu. Kami keluarkan headlamp dan senter masing². Bersiap jalan menanjak lagi.

"Yuk, habis tanjakan ini ada gubuk bisa buat istirahat, nanti tak bikinkan mie", bujukku pada Dika.
Karena aku yakin
sebenarnya dia mampu untuk berjalan lagi. Aku memang sedikit memaksanya dengan ku papah dan digandeng teman yang lain. Karena aku melihat ada sesosok tinggi besar berbadan hijau dan bermata merah tepat dibebatuan belakang kami.
"Mampus kan!", gumamku lagi
"Apa sih Mbril, dari tadi uring²an", tanya Sari
"Kamu kok gelisah banget, kenapa sih?", sahut Dewi
"Aku pengen ngopi, yoooo...yuk cepat sampai gubuk, biar bisa istirahat juga", jawabku
Terlihat cahaya senter dari kejauhan. Ternyata ada pendaki lain di gubuk. Empat orang pendaki perempuan dari Bekasi. Kami ngobrol² sembari istirahat, dan ternyata mereka pendaki profesional karena hampir menyelesaikan pendakian gunung di pulau Jawa.
Dan ini pendakian mereka yang kedua kali di gunung Ungaran. Aku merasa sedikit lega karena dapat teman perjalanan yang sudah pernah mendaki. Sedikit aku ceritakan keanehan yang terjadi waktu diperjalanan tadi. Kami putuskan untuk berjalan bersama sampai di
Promasan. Tapi ternyata perjalanan kamipun tidak semudah dan semulus yang aku pikirkan. Keanehan kembali terjadi. Seharusnya kami hanya melewati pertigaan besar sekali sampai dengan pos kolam renang, tapi ternyata kami lewati sampai tiga kali.
Sedikit panik, bagi kami. Tapi jangan sampai teman² ku yang lain tau kalau ternyata kami sudah diputar²kan oleh "sesuatu".
Akhirnya kami sampai di pos kolam renang, tapi kami tidak beristirahat, kami tetap lanjutkan perjalanan.
Sampailah kami di batas kebun kopi dan "seharusnya" kebun teh promasan, semua tertutup kabut bahkan senterpun tidak bisa tembus. Lagi² kami panik.

"Gila, ada apaan ya dari tadi kok kita dibeginikan", ungkap pendaki bekasi 1
"Bener² ga beres nih, apa mungkin ada yang datang bulan?", tanya pendaki 2 ke aku
"Ga ada, sebelum berangkat udah kutanya satu², mereka bersih", jawabku
"Dulu tuh pernah kejadian begini, tapi bukan gue yang ngalamin, katanya harus buang CD alias celana dalam"
,ungkap pendaki 1
"CD yang dipake?", tanyaku
"Nah, kagak mungkin kan kita lepas² disini", ungkap pendaki 3
"Buang yang masih baru, kali aja berhasil", sahut pendaki 2

Salah satu pendaki mengambil CD yang belum terpakai, dan melemparnya tepat di dalam kabut.
Dan luar biasa, seketika itu kabut hilang, kebun teh...jalan...dan lampu camp promasan terlihat.

"Allahu akbar, gusti...kok bisa ya", aku benar² heran dan ingin tidak percaya, tapi itu benar² nyata terjadi.
"Kak, kita langsung naik ya", pamit teman² pendaki dari Bekasi.
Mereka berempat memutuskan langsung summit.

Kami berlima melanjutkan perjalanan ke camp Promasan.
Dan disinilah makhluk hijau tadi muncul lagi, mengikuti perjalanan kami sampai di gerbang.
"Oalah Mbril, kamu berhenti dimana aja kok jam segini baru sampai?", Dodo menanyakan dengan nada kekhawatiran. Maklum, kami sampai di camp promasan jam 11 malam.
"Aku sama pak Min rencana mau nyusul nyariin kalian, lah HP ga bisa dihubungi semua", ungkap Dodo
Pak Min pemilik basecamp yang kami tempati. Dan akupun sudah kenal akrab dengan beliau, walaupun kalau sendiri aku lebih sering tidur di rumah Biyung (perempuan legendaris gunung Ungaran).
"Ada apa Mbril?", tanya pak Min sambil menyodorkan segelas kopi
Aku ceritakan semua yang kami alami di perjalanan.
"Berarti gini aja, biar ga ganjil, nanti kita naik bareng rombongan sebelah. Rencana mereka mau naik jam 2an", Rizal mengungkapkan keinginannya untuk naik bersama rombongan dari Kendal, agar teman² merasakan
sunrise di atas dan agar bisa saling menjaga karena mereka sudah pernah berkali² ke g.Ungaran.
Tapi aku menolak, dengan alasan tidak akan mampu teman² karena belum istirahat dengan cukup. Terlihat wajah kecewa Rizal, tapi dia paham setelah melihat teman² yang
sudah tertidur lelap tanpa memakan mie yang sudah dia buatkan.

Kami semua sengaja bangun agak siang, apalagi yang rombonganku. Mereka benar² masih terlihat lelah. Kami bersiap² untuk naik ke puncak, dengan membawa perlengkapan dan logistik yang tidak
terlalu banyak. Selebihnya kami tinggalkan di basecamp. Jam 8 pagi kami start dari basecamp menuju jalan utama menuju puncak g. Ungaran.
"Loh, mau kemana Do?", tanyaku, karena Dodo dan Rizal mengambil jalan yang lurus. Seharusnya puncak ambil jalan ke kanan.
"Lewat sini aja, jalur lama", jawab Rizal sambil terus berjalan
"Wah jangan Zal, aku ga tau jalurnya, ingetku waktu diksar aj lewat situ, aku ga paham lah", sambil aku mengajak teman² untuk berjalan kekanan
"Dah deh percaya kita aja, lebih enak lewat sini",
,ungkap Dodo
Dengan berat hati, aku ikuti mereka. Aku cuma tidak ingin berdebat dan akhirnya menyita waktu.
Kami memasuki kebun kopi, belum jauh kami berjalan, ada pohon besar menghalangi jalan dan tepat di tengah ada sarang tawon besar.
Sarang tawon hutan, yang besarnya seibu jariku.
"Do, ga usah dilanjut lah", pintaku
"Aman Mbril, yang penting lewatnya pelan²",
"Percaya aja, santai",
"Aku ga mau ambil resiko, Do. Takut kalau ada yang kena sengat", pintaku lagi untuk mengajak mereka
balik kanan dan lewat jalur pendakian normal.
"Dah ayo tak cobane ya", sembari Rizal melewati celah pohon itu.
"Nah kan, aman. Pokoknya nurut aja", sahut Dodo mengikuti Rizal.
Kamipun satu persatu mengikuti mereka. Namun apes bagi teman kami, Rudi. Dia yang
terakhir lewat dan terkena sengat tepat diubun². Dia hanya bisa berteriak dan memegang kepalanya. Yang kami takutkan pada saat itu, ada lebah lain yang mengejar, tapi ternyata tidak terlihat satupun lebah lain.
Sengat lebahnya besar, sebesar isi ulang pensil
jaman dulu.
Wajah Rudi pucat dan matanya merah. Meringis kesakitan dan menangis. Aku paham pasti sakit sekali, apalagi tepat diubun².
Kebetulan aku memang membawa bawang putih, salah satu survival kit ku. Aku tumbuk dan taruh di bekas luka sengatan.
Kemudian aku balut dengan slayer.
"Zal, kita balik aja ya?", pintaku. Karena tidak mungkin memaksakan naik dengan kondisi yang seperti ini.
"Gpp, Mbril. Aku bisa kok lanjut", Rudi masih meringis sakit tapi berusaha berdiri dan melanjutkan perjalanan. Aku tau dia serba tidak enak dengan teman² kalau seandainya harus gagal muncak gara² dia, terlebih lagi Dika yang kemarin kram saja berani naik
Akupun berjalan di belakang sambil sesekali ngecek kondisi Rudi. Pengecut sekali aku pada saat itu, tidak berani mengambil keputusan dan tetap melanjutkan perjalanan.
Kami mulai keluar dari kebun kopi dan masuk area hutan. Ada yang janggal,
belahan kayu pakis seolah ditata rapi melintang di tanah. Indah, sempat terpikir nanti kalau turun kubawa pulang.
Selepas melewati kayu itu, perasaan semakin aneh, ada hawa yang berbeda, menjadi lebih teduh lembab dan dingin.
tapi lagi² aku tidak berani menceritakan apa yang kurasa. Dan benar saja, kami seperti masuk ke dunia lain, namun kami belum menyadarinya.
"Ini lewat mana?", tanyaku ketika ada pertigaan
"sebentar aku cek", Dodo bergegas naik tapi nihil tidak ada jalan
"Maksudnya gimana nih, kalian bilang hafal rutenya", ku keluarkan bilah golok tebas dan cek jalan yang ke kanan. Untuk urusan perlengkapan memang aku lebih komplit, karena hanya aku yang sudah pernah ikut pelatihan pecinta alam dan diksar.
Yang kulihat memang ada jalan, ada bekas perapian bahkan sampah bungkus mie dll. Tapi jalan itu tertutup akar dan rumput yang sudah meninggi. Ku tebas semua tanaman yang menghalangi, dan tidak lupa kuberi tanda tebas di pohon agar kalau kami tersesat ada
tanda yang ditinggalkan.
Pertigaan seperti itu tidak kami temui sekali, bahkan hampir disepanjang perjalanan. Dan selalu saja aku yang membuka jalan. Sampai akhirnya, terdengar suara musik.
Jaman dulu banyak pendaki yang sengaja membawa radio ketika naik
dengan ditambah ciri khas klonengan sapi.
"Bossss.....!!!", teriak Rizal memanggil pendaki itu. Mereka terdengar dari hutan sebelah yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan kami, tapi dibatasi oleh jurang.
"Bosss, jalurnya lewat mana ya? Kyknya kita tersesat",
terdengar jawaban yang cukup jelas dari pendaki itu, "lurus, bos"
Kami pun mengikuti anjuran dari dia, sembari mengikuti arah suara musik darinya. Sampai dengan kami sampai di batas vegetasi, kanan kiri edelweiss mekar sempurna. Terlihat rona bahagia teman²,
seolah hilang lelah dan cape. Aku baru sadar, ternyata kami sama sekali belum istirahat makan sedari kejadian tawon. Dan tidak ada yang mengeluh lapar. Entahlah...
Kami ikuti lanjut rute, kanan kiri kami jurang, hanya ada satu jalan itu. Ternyata buntu,
ujung jalan hanya sebuah tebing vertikal yang sangat tinggi. Sudah kucoba mencari jalan lain, tapi nihil. Kami bingung, kami panik. Ditambah gerimis mulai datang. Kami semua memakai ponco/jas hutan karena takut hujan semakin deras.
Aku putuskan mengajak
mereka semua kembali ke batas vegetasi dan hutan.
"bossss....!!!", Rizal berteriak mencoba memanggil pendaki tadi, diikuti kami semua mencoba ikut berteriak.
"Kok bablas cuma ada batu² sama tebing ya, bos....wooyyy bossss!", teriakku
terdengar jawaban yang di luar nalar kami, jawaban yang membuat kami semakin panik.
"Apaaaa...batu²...hihihihiii", suara melengking perempuan dengan tawa yang menyeramkan seperti di film² horror. Dan kami semua mendengarkan, suara itu seolah menggema dan
sangat dekat. Seketika kami terdiam semua. Ada yang merapal doa, ada yang saling berpegangan erat. Karena kami sadar itu bukan suara manusia. Jalan sudah mulai berdempet²an,
wajah mulai muram dan sedih. Aku ajak mereka turun pelan² dan kembali ke Promasan. Tapi jalan yang kami lalui berubah, yang belum pernah kami temui waktu naik tadi.
Ada pertigaan, ke kiri pohon besar tumbang menutup jalan, ke kanan kontur jalannya menanjak.
Aku, Dodo, dan Rizal memutuskan untuk ambil yang kiri, karena tidak mungkin kami naik lagi. Di bawah pohon tumbang itu ada celah lebar bisa dilalui. Setelah ku cek, ada bekas longsoran yang curam. Aku coba injak dan padatkan agar bisa di lalui.
Lagi² terlintas dalam pikiran, kalau ini salah, aku tersesat, kami tersesat.
Disepakati kami bertiga turun dulu dan mencari jalan, lagi² kami dihadapkan pada pertigaan. Dan untuk kesekian kalinya, aku yang menemukan jalan, aku yang membuka jalan.
Semua aku tebas agar bisa kami lalui. Satu persatu teman mulai turun. Sampai akhirnya aku menemukan kotoran hewan yang sangat besar, sebesar dua kali lipat tangkupan tanganku. Setelah ku amati sangat mirip kotoran ular, masih hangat waktu ku sentuh.
Karena aku punya teman yang memelihara ular sanca, kotoran itu sangat mirip tapi lebih besar dan menurutku sangat besar.

Kulihat sekeliling, dan tidak jauh dari situ ada pohon besar dengan celah berlobang yang sangat besar, bahkan aku bisa masuk kesitu
dengan posisi berdiri.
Aku dikuasai panik dan emosi. Kupanggil Dodo dan Rizal. Ku jambak rambut Dodo, ku tarik kepalanya kudekatkan agar bisa melihat dengan jelas kotoran tadi. Aku mulai mengabsen kebun binatang dan omongan kasar lainnya. Aku benar² emosi.
"Asu! Bajingan! Liat ini! Matamu liat ini", kutarik kepala Dodo. "Pegang!"
"Mbril, kok kayak tai ular ya", jawab Dodo dengan panik. "Masih hangat, Mbril! Masih baru"
"Bangsat kamu semua! Gara² kalian ngeyel minta naik! Cepat! Mundur semua...balik!", teriakku
Aku pada saat itu benar² tidak bisa mengontrol emosi.
Kami satu persatu melewati celah pohon. Aku cari jalan lain, tapi jalan yang kami lewati ketika naik tidak ada, hanya ada pertigaan ini. Jalan dari kami turun batas vegetasi, jalan longsoran, dan
jalan menanjak. Tanda yang aku tinggalkan di setiap pohon ketika naikpun tidak ada. Kami semua panik, terlebih aku yang mengajak mereka naik gunung. Aku hanya berusaha bisa berpikir jernih.
Aku arahkan teman² ke jalan yang menanjak, karena jalan itu satu²nya
yang belum kami lalui. Setelah itu jalan semakin landai dan menurun. Seolah ada harapan bahwa ini pasti jalan yang benar walaupun bukan jalan ini yang dilalui ketika kami naik. Kemudian sampailah kami pada area lapang dikelilingi pohon tinggi dan besar².
Hawa disitu aneh, memang teduh tapi membuat merinding karena dingin dan entahlah rasa yang sulit untuk diungkapkan. Aku minta teman² untuk istirahat sebentar, sedangkan aku, Dodo, dan Rizal kembali mencari jalan. Karena banyak percabangan jalan di antara
pohon² itu. Kami bertiga berkeliling tapi kembali lagi nihil, jalan yang diikuti selalu buntu dan tertutup tanaman yang merambat, menghalangi pandangan karena benar² rapat. Kami kembali bergabung dengan teman² yang lain.
Aku ceritakan ke teman² bahwa tidak terlihat ada jalan, padahal sudah berkeliling. Aku minta bantuan semua untuk ikut berkeliling tapi minimal harus berdua dan jangan berjalan terlalu jauh.
Dan aku nekad sendirian. Aku yang buat peraturan aku sendiri yang langgar. Aku mengarah pada percabangan yang belum dilalui teman². Aku tebas tanaman² rambat itu, dan ternyata berduri. Belum terlalu jauh aku melangkah, aku merasa takut karena semakin
masuk semakin gelap, padahal pada saat itu masih jam 1 siang. Ketika aku berbalik arah, kaki kiriku terperosok masuk kerimbunan tanaman berduri itu. Aku coba untuk melangkah tapi seolah ada yang menarikku untuk masuk. Kakiku terasa sakit sekali. Aku panik
aku takut sekali. Aku berteriak, tapi ada yang menekan leherku sehingga aku tidak bisa bersuara.
,"Ya Allah Ya Rabbi...Allahuakbar", aku terus menerus berusaha untuk ucapkan itu. Sampai akhirnya aku bisa membuka mulut dan suaraku keluar. Aku langsung
berteriak sekencang²nya. "Toloooong...tolong...tolong!!!!!!", sembari berusaha untuk menarik kakiku. Tak berapa lama teman² datang dan ajaib sekali kakiku lepas dengan sendirinya. "Astaghfirullah!!!", sambil melihat kakiku dan semua datar....tidak ada lubang,
tanaman² itu bisa kuinjak, lalu aku terperosok kemana tadi.
Aku dipapah dan kembali ke area tadi. Aku ceritakan semua ke teman² dan aku cek kakiku, ternyata ada bekas luka² halus seperti terkena duri. Berarti tadi benar² nyata, lalu kenapa terlepas begitu
saja dan tidak ada bekas lilitan ketika teman² datang. Entahlah...
Kami putuskan untuk berdoa bersama, kami membuat lingkaran. Ada yang saling berpelukan, karena kami sudah pasrah, entah bisa pulang atau tidak. Dan ketika itu muncul banyak sosok seperti
bayangan² hitam tinggi besar tepat diantara pohon. Dua sosok seperti melihatku dengan matanya yang merah. Aku menangis. Seorang Gumbril menangis. Aku dipeluk Sari dan Imel, mataku ditutup oleh mereka. Aku ditenangkan. Semua terbalik sekarang, seperti aku yang
sekarang dijaga oleh teman². Kami terus berdoa sembari menggoyang²kan HP berharap ada sinyal walaupun hanya segaris. Aku mencium bau harum sekali, bahkan beberapa teman² juga menciumnya. Bau harum yang sampai sekarang masih kucari kalau melihat bunga atau ke
waktu ke toko parfum. Entah bau dari bunga apa, tidak ketemu sampai sekarang. Aku suka baunya, benar² harum. Dan tiba² ada yang mendengar musik, ada mendengar adzan, pendengaran yang berbeda². Aku? Tidak mendengar apa².
Lalu aku putuskan untuk mengikuti
asal suara adzan. Saat itu Sari memimpin karena dia salah satu yang mendengar adzan. Aku berjalan masih sambil didekap oleh Imel. Karena aku merasa sosok² itu ingin menarikku.
Tiba² ada jalan, padahal tadi kami beramai² mencari selalu buntu
tidak ada lagi rimbunan tanaman rambat. Duh Gusti, luar biasa yang kami lalui hari ini.
Sampai akhirnya, aku melihat potongan kayu pakis itu. Kayu pakis yang sama ketika aku naik, kayu pakis yang awalnya ingin aku bawa pulang ketika turun gunung.
Tapi tentunya aku urungkan niat itu. Karena aku cuma ingin pulang bersama teman² dengan selamat dan sehat. Setelah melewati kayu itu, hawa berubah menjadi lebih terang dan tidak dingin lagi. Sadar, ini sudah jalan yang benar. Kami lewati jalan ketika Rudi
kuobati, kami lewati celah pohon roboh itu. Tapi, sarang tawon menghilang. Tidak ada sarang tawon itu lagi. Sampai akhirnya kami keluar dari kebun kopi, terlihat hamparan kebun teh dan desa Promasan dari jauh. Kami menangis, kami sujud syukur
Aku langsung terlentang di atas rumput, kupandangi langit yang cerah. "Duh Gusti, matur nuwun...matur nuwun sanget!"

"Mbril, sebenernya aku masih halangan", ucap Wati disampingku. Seketika aku kaget, "Astaghfirullah!"
"Aku juga Mbril, udah selesai sih tapi belum junub", sahut Imel
Dan ternyata ada 4 orang yang belum suci. Aku sedikit kecewa, tapi tidak bisa marah. Yang penting kita semua selamat.
Kulihat jam tanganku, jam 5 sore. Selama itukah perjalanan kami tadi. Luar biasa, seharusnya waktu yang cukup untuk naik dan turun G. Ungaran.
Kami lanjutkan perjalanan menuju camp Promasan.
Sesampai di camp, "puncak cerah ya? Sampai atas jam berapa?", tanya pak Min.
"Hmmm...nanti aja lah ceritanya, pak", sambil kuletakkan tas dan perlengkapan. Aku rebahan menghilangkan cape fisik dan pikir.

" Mbril, temenin kebelakang yuk", pinta Sari
Pemandian dan toilet umum di camp posisinya harus turun ke bawah, kurang lebih 100 m dari rumah pak Min. Bentuknya pun saling membelakangi. Karena yang depan pintunya rusak semua, maka kami pilih yang belakang. Saat itu, pintu tertutup dan kami yakin ada
orang di dalam, ditambah dengan suara air seperti orang mandi. Kami tunggu di samping pintu.
Suara air berhenti. Tapi kenapa lama sekali tidak keluar². Sari pun mengetuk pintu nya, tidak ada sahutan.
Aku dorong pintunya pelan² dan ternyata kosong. Tidak ada orang. Padahal kami di samping pintu, jalan keluar masuk hanya satu. Lalu tadi "siapa" yang di dalam kamar mandi. Kami berdua langsung lari ke atas, balik ke camp.
"Ya Allah, Mbril. Hari ini kok
gini banget sih, horor!", keluh Sari dengan nafas yang tersengal² dan pas sekali berkumandang adzan maghrib. Kami putuskan bersih² di pancuran samping Musholla.
Sampai di rumah pak Min, aku lihat pak Min sedang mendengarkan cerita dari teman².
Sambil menyiapkan makan malam, "buat pengalaman, besok lagi kalau mau naik harus dalam kondisi bersih dan jangan ganjil. Silahkan mau percaya apa tidak toh kalian baru ngalamin sendiri". Kami hanya bisa menunduk dan mengiyakan pesan pak Min.
Selepas makan malam, aku cek luka di kepala Rudi. Terpaksa dicukur sedikit rambut disekitar luka sengat yang masih merah lalu dioles minyak oleh pak Min, entah minyak apa tapi baunya berempah seperti cengkeh.
Lalu aku tidur, rasanya ngantuk dan cape.
Terbangun, aku liat jam 11 malam. Teman² sudah terlelap semua. Tiba² gelap seperti mati lampu. Dan ketika terang lagi, aku seperti melihat dua tempat. Ketika kututup mata sebelah kiri aku ada di rumah pak Min, tapi ketika aku tutup mata sebelah kanan,
aku ada di tempat ketika kami dikelilingi rimbunan tanaman rambat, dan di situ aku bersama sosok² hitam bermata merah. Aku menangis dan teriak sejadi²nya sambil menutup dan menekan mata kiriku. Seisi rumah terbangun, bahkan banyak orang yang tidak ku kenal
ikut mendekat. Mungkin mereka pendaki lain dan warga setempat. "Bawa kerumah mbah Buyut, ayo cepat diangkat", perintah pak Min. Dengan masih menangis aku diangkat dan di bawa kerumah mbah Buyut juru kunci G. Ungaran.
Wajahku dibasuh dengan dengan air oleh mbah Buyut. "Habis ngapain kamu di atas? Kamu ngrusak tempat tinggal!", dengan nada sedikit tinggi mbah Buyut masih mengusap kepalaku dan dibasuhnya dengan air. Aku masih menangis, pandangan itu sedikit memudar.
Beliau merapal doa dan memegang segelas air bening, aku diminta untuk selalu beristighfar. Lalu aku meminum segelas air itu, keringat bercucuran, badanku lemas sekali. Alhamdulillah pandangan itu hilang, penglihatanku kembali normal.
"Jangan asal tebas tanaman. Di atas sana tanaman, pohon, batu itu rumah bangsa jin. Kalau mau bertindak minta ijin dulu, bismillah. Ndak boleh sembarangan. Ini air sebotol dibawa pulang, campur air lagi buat mandi. Pulang dari Ungaran langsung mandi,
teman²mu dikasih tau semua. Harus diingat!", kami semua pulang kerumah pak Min. Berusaha tidur tapi mata tidak kunjung terpejam, terakhir kulihat jam 3 pagi.

Bangun tidur. Dodo dan Rizal seperti sengaja menunggu aku bangun. "Mbril, kita berdua mimpi aneh",
wajah Dodo terlihat pucat. "Mimpi apa? Aku juga mimpi ga enak. Seolah² aku ngikutin perempuan sampe ketebing yang kita tersesat itu", aku menceritakan mimpi yang kualami. "Astaghfirullah! Kok sama Mbril, kita mimpi itu juga.
Apa perlu kerumah mbah Buyut lagi?", ungkap Rizal.
"Aku takut keganggu sampe rumah, Mbril", sahut Dodo
Setelah sarapan mereka berdua kerumah mbah Buyut, dan mendapat air doa juga.

Packing selesai, kami pulang membersamai warga yang mau ke kota.
Alhamdulillah perjalanan pulang lancar dan kami selamat sampai dengan kos.
Pesan mbah Buyut langsung kami laksanakan. Menjaga agar tidak ada efek gaib sampai ke kos atau mengganggu kehidupan kami.
Setelah kejadian di G. Ungaran, aku masih berkegiatan seperti biasa. Masih naik turun gunung, masih keluar masuk hutan, masih tetap sama. Tapi bagi teman² yang lain, mungkin itu pengalaman pertama dan terakhir kali, karena belum ada yang naik gunung lagi.
Pengalaman itu mengajarkan kami agar lebih berhati² dalam bertindak. Khusus untuk diriku sendiri, jadi lebih menghargai adat dan kepercayaan setempat. Bahwa yang gaib itu benar ada, sesuatu yang tidak akan kita percaya kalau belum pernah mengalaminya sendiri.
Serta belajar mengontrol emosi dan menguasai panik, karena dua hal itu membuat kita tidak bisa berpikir jernih ketika menghadapi kondisi terdesak. Dan yang paling penting adalah tidak EGOIS, jangan memaksakan diri maupun orang lain untuk melakukan hal yang
sebenarnya tidak sanggup dilakukan.
Ketika kita tersesat, gunakan metode STOP (stop, thinking, observation, and planning). DAN JANGAN LUPA BERDOA.

Salam tangguh salam kemanusiaan, salam lestari. RAHAYU.

------------END------------------

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with NYONG ARUM

NYONG ARUM Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!