MENGAPA GUS DUR TIDAK MEMBERANTAS MEREKA?
GUS DUR: YANG MEMBERANTAS KURAWA ADALAH PANDAWA
Oleh: Shuniyya Ruhama
Murid Mbah Wali Gus Dur
Ketika tindakan intoleran semakin merajalela dan seakan negara bungkam, ada sebuah misteri yang mengusik hati.
Bukankah mereka ini mulai eksis pasca reformasi dan Mbah Wali Gus Dur pernah menjadi Presiden di masa itu?
Bahkan setelah tidak menjadi Presiden sekalipun, jika beliau berkenan, maka bukan sebuah perkara sulit untuk memberantas kelompok ini.
Pada sebuah kesempatan, penulis menanyakan hal ini kepada beliau. Jawaban beliau tidak dalam narasi simpel seperti biasanya, namun dalam cerita wayang.
" Pada suatu ketika, di saat bala kurawa yang dipimpin oleh Duryudana berada pada puncak kedzolimannya, maka Prabu Kresna tidak tahan lagi.
Ia marah besar. Ia tidak mampu menahan amarahnya sehingga madeg kadewatan menjadi Braholo siap menghancurbinasakan Duryudana beserta Balakurawanya.
Kahyangan pun kalang kabut. Batara Guru tidak mampu menghentikan amarah Prabu Kresna.
Jika dibiarkan, skenario kehidupan akan mengalami kegoncangan. Maka beliau segera sowan kepada Ki Lurah Semar.
Setelah Ki Lurah mendengarkan curahan gundah gulana dari Batara Guru, iapun langsung bergegas menemui Prabu Kresna yang sudah menjadi Braholo.
Beliau menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Prabu Kresna bukanlah sesuatu yang bijak. Sebab telah tertulis dalam kepastian bahwa para Kurawa akan dikalahkan oleh Pandawa, bukan oleh Braholo.
Braholo pun tersadar dan kembali menjadi Prabu Kresna yang tenang, dan melihat kepastian skenario di Padang Kurusetra, bahwa memang benar yang menghabisi Kurawa beserta seluruh pendukung setianya adalah Pandawa"
Demikianlah jawaban Mbah Wali Gus Dur dengan cerita wayang sebagai pengibaratan. Cerita ini sudah pernah penulis sampaikan kepada Ibu Nyai Alissa Wahid pada tahun 2012,
Siapakah yang dimaksud sebagai Pandawa dalam cerita Mbah Wali Gus Dur itu?
Mari kita simak setiap babak dari drama yang sepertinya sudah akan segera dimulai...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Waktu itu, menjelang akhir tahun 2000, saya masih mondok di Ponorogo. Salah satu bacaan saya Majalah Sabili. Tahu sendiri kan, majalah ini menduduki urutan puncak majalah "Islami" paling populer di zaman itu.
Saya biasanya baca majalah ini di kios buku kondang di Ponorogo, juga dipinjami salah satu guru saya.
Ketika bapak saya berkunjung pada suatu waktu, beliau tanya, darimana tumpukan majalah Sabili. Saya jawab, dipinjami salah satu ustadz. Beliau hanya diam.
Jarak dua bulan, bapak saya datang lagi dari Jember. Naik bis sebagaimana kesukaaannya. Kali ini membawa tumpukan Majalah AULA, yang dikelola PWNU Jawa Timur. Kebetulan sejak tahun 1980-an, bapak saya langganan majalah ini, selain TEMPO.
Suatu hari dalam sebuah perjalanan pulang dari Yogyakarta, dengan kereta api, seorang teman seperjalanan bertanya tentang cara-cara berdakwah belakangan ini. Bagaimana menurutmu?
Aku bilang : "Jika engkau menemui, melihat atau mendengar seseorang yang menyampaikan pandangan, pendapatnya atau kehendaknya dengan cara indoktrinatif, menggurui, menyalahkan orang lain, emosional, nadanya sering meninggi, meledak-ledak, dan serius banget,
atau bercanda yang tak lucu bahkan terkesan mengejek, maka ketahuilah bahwa itu indikasi, kira-kira, bahwa dia seorang "intoleran", atau berbakat menjadi "intoleran" atau simpatisan atau pengagum paham "intoleran" untuk tidak mengatakan seorang "radikalis".
saya tetep agak nggak ridho dengan anggapan bahwa massa yg itu seolah membuat organisasi islam moderat jadi inferior. lalu dianalisis sangar-sangar seolah muslim moderat sudah nggak punya power.
bagaimana pun, NU dan Muhammadiyah punya jejaring sosial yang mapan: ribuan sekolah&kampus, ribuan pesantren, Rumah Sakit, klinik, koperasi, lembaga ziswaf yg berdampak.
mak-mak aktipis organisasi fatayat NU di daerah-daerah tuh banyak yang nggak rela pas mau naik jadi muslimat.
selain nggak rela mengganti freshcare dengan minyak kayu putih, persoalannya adalah aset koperasi yg mereka bangun selama jadi pengurus di fatayat juga jumlahnya ga tanggung-tanggung. (eh hahaha)
pillkada daerah itu salah satu champion penentunya ya mak fatayat-muslimat idolaqu.
Kiai-kiai NU Yang Ternyata Tidak Bisa “Nyunnah” dan “Syar'i”
Bagi warga NU (Nahdliyyin), para kiai NUsantara merupakan teladan yang bisa dijadikan contoh. Namun tahukah anda, bahwa kiai-kiai NU ternyata tidak bisa “Syar'i”.
Mereka beribadah pakainya sarung, bajunya batik, peci hitam, kadang peci putih, bahkan blangkon. Mbokyao pakai gamis dan sorban ala Nabi SAW biar bisa Nyunnah dan lebih syar'i.
Mereka (para kiai) memang kadangkala memakai jubah, namun hanya dilakukan hanya dalam hal-hal bersifat ibadah, di dalam masjid atau acara-acara tertentu. Tapi jika bepergian, para kyai NUsantara tetap saja menggunakan pakaian yang umum dipakai,
Salah satu Walisongo yang menarik untuk dicermati lebih serius ialah Raden Umar Sa’id, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Muria.
Menurut Agus Sunyoto (2011: 201), Sunan Muria agak berbeda dengan para wali penyebar Islam generasi awal yang riwayat hidupnya cukup banyak ditulis dalam beragam historiografi Islam-Jawa baik dari aspek asal-usul nasab maupun sepak terjang perjuangannya.
Riwayat mengenai asal-usul nasab Sunan Muria serta kisah hidupnya lebih banyak didasarkan pada cerita-cerita tutur dan legenda yang berkembang secara turun-temurun di tengah masyarakat sekitar lereng Gunung Muria. Setidaknya ada dua versi terkait asal-usul nasab Sunan Muria.
Islam itu agama yang inklusif, agama yang menerima berbagai khazanah dan peradaban luar dengan tangan terbuka. Bahkan Islam menjadi agama garda depan dalam menyerap ilmu dan peradaban asing.
Islam menjadi agama yang paling terbuka menerima peradaban asing yang membawa kemajuan, dan sesuai dengan semangat Islam.
Pada abad ke-8 hingga abad ke-13 masehi misalnya. Di tengah Eropa dirundung kegelapan, kaum muslim menyerap berbagai literatur ilmu dan khazanah berharga dari Yunani.
Abad berikutnya, Eropa baru menyerap peradaban Yunani dari buku-buku filosof muslim.