Kalau bisa tidak keluar dari rumah, kalau pekerjaan bisa dilakukan dari rumah, tetaplah tinggal di rumah. Minimalkan interaksi dengan orang selain yang tinggal bersama kita.
Kalau harus keluar dari rumah, untuk bekerja: kenakan masker, melindungi kita dan orang lain dari droplet; hindari kerumunan, terlebih di ruang tertutup; jaga jarak.
Kalau ingin keluar rumah untuk hal-hal yang tidak terlalu penting, pertimbangkan ulang. Perlu refreshing dari rasa terkungkung di rumah/kosan? Cari tempat terbuka yang tidak banyak orang. Sendiri lebih baik.
Kalau kita merasa tidak bisa hidup tenang tanpa bertatap muka dengan teman-teman kita, coba lakukan secara virtual. Kalau tidak bisa, ciptakan safety bubble kita sendiri.
Misalnya kita tinggal sendiri. Tidak ada interaksi dengan orang lain. Bisa dibilang kemungkinan tertular/menulari sangat kecil. Teman kita juga demikian. Meski tinggal di dua tempat yang berbeda, kita masih berada di bubble yang cukup aman—meski risiko masih ada.
Kejujuran dan kepercayaan sangat penting di sini. Kalau teman kita ternyata masih nongkrong dengan A, B, dan C, sementara ketiganya sering ketemu orang lain lagi, ya risikonya besar.
Balik lagi, kalau tidak perlu, jangan. Kalau bisa ada alternatif yang lebih aman, pakai. Kalau terpaksa, pastikan kita selalu waspada dan patuh pada protokol kesehatan.
Tanggung jawab kita adalah menahan laju persebaran virus sampai proses vaksinasi sudah menjangkau lebih dari 50% populasi. Supaya apa? Supaya siapa pun yang tertular dan sakit bisa ditangani dengan baik oleh RS, yang tidak kewalahan.
Ya, kesendirian dan keterkungkungan memang bisa memicu keresahan, kegelisahan, bahkan sampai depresi. Kita bisa kok, menemukan alternatif yang aman, kalau kita mau.
Barusan baca berita dari Amerika. Awal Agustus ada pernikahan dengan 65 hadirin. Awal September, 176 positif Covid dan 7 orang meninggal. Yang meninggal bahkan nggak menghadiri acara itu.
Aku nggak bisa bayangin, sih, kalau demi "nggak stress" aku hang out/nongkrong di tempat ramai, dan bulan depannya Dadong yang jualan tipat di warung depan meninggal karena ketularan aku.
Aku yang have fun, orang lain yang dikafan.
Aku yang "fuck it", orang lain yang sakit.
Aku yang "can't wait to see you!", orang lain yang masuk ICU.
Aku yang nggak bisa nahan nafsu kotor, orang lain yang pakai ventilator.
I don't want to be that person.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Seorang teman pria pernah bercerita, dia digrepe-grepe sama seorang gay di gym. Temanku bilang ke orang itu, "Mas, saya straight. Grepe lagi saya tonjok."
Ini bukan homophobia. Ini pembelaan diri atas pelecehan seksual.
Temanku kemudian berkata, "Memang, ya, gay itu bahaya, suka gangguin yang straight."
Ini profiling, menggeneralisir. Bibit homophobia.
"Lah," selaku, "Aku gay tapi nggak pernah grepein kamu."
"Ya kan cuma kamu aja. Kamu kan beda."
Ini bukti lebih lanjut dari profiling, ada kegagalan penyimpulan karena sampelnya tak memadai.
Dulu, sebagai seorang Katolik, aku sangat-sangat fanatik pada simbol-simbol keagamaan. Suatu hari, aku tersinggung karena seorang Haji, teman pamanku, memberiku oleh-oleh berupa kalung rosario.
Aneh kan ya? Kalau fanatik terhadap simbol, harusnya malah senang dapat rosario. Tapi karena yang memberikannya bukan orang Katolik, aku tersinggung. Ya, fanatisme memang nggak pakai akal.