1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS sedunia. Hari ini diperingati pertama kali pada 1 Desember 1988 dengan tujuan memberikan pengetahuan pada publik bahwa HIV-AIDS adalah isu bersama, tidak hanya isu yang selalu dikaitkan dengan kelompok yang dipinggrikan dalam masyarakat.
HIV-AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat, sesuai dengan apa yang sudah dikomitmenkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
Per 2018 di Indonesia hanya 51% ODHIV mengetahui status HIV nya, dan hanya 17% memperoleh akses layaanan, hanya 15% Ibu hamil dengan HIV mengakses layanan untuk pencegahan transmisi HIV ke anak
Berdasarkan data UNAIDS ini hanya 11,37% laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun menyadari cara yang tepat untuk mencegah transmisi HIV. Pengetahuan tentang penanggulangan HIV dapat dikatakan belum maksimal.
Dalam kebijakan penanggulangan HIV Indonesia, telah dikomitmenkan bahwa prinsip yang dijalankan antara lain menghormati harkat dan martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender; salah satunya dengan melibatkan peran aktif populasi kunci HIV.
Kebijakan penanggulangan akan berhasil jika merangkul kelompok populasi kunci tersebut, bukan menstigma, mendiskriminasi ataupun mengkriminalisasi kelomopok tersebut.
Namun sayangnya, stigma, diskriminasi, hingga upaya kriminalisasi terhadap populasi kunci atapun pada perbuatan berkaitan dengan perilaku beresiko transmisi HIV-AIDS masih terus dilakukan.
Di tingkat nasional narasi perang terhadap narkotika yg juga mengkirminalisasi semua bentuk penggunaan narkotika masih digaungkan. Belum ada semangat utuh dari Pemerintah dan DPR untuk tdk mengkriminalasi pengguna narkotika, misalnya dalam diskursus revisi UU Narkotika.
Dalam tataran kebijakan pidana pun, kriminalisasi perbuatan seks konsensual dalam ruang privat diwacanakan, akan mempidana pekerja, pelanggan pekerja seks, gay, waria, yang merupakan kelompok kunci dalam penanggulangan HIV.
Kebijakan overkriminalisasi membuat kelompok rentan pengguna narkotika baik perempuan, kelompok miskin dikirim ke penjara, yang menyebabkan jumlah populasi kunci HIV terus bertambah, di tengah praktik pemenjaraan yang sarat pelanggaran HAM.
Dalam tataran lokal, kebijakan daerah yang diskrimnatif pada kelompok LGBT, Pekerja Seks, Waria terus bertumbuh. Tak jarang, ide kriminalisasi LGBT, Pekerja Seks, Waria dan populasi kunci HIV dijadikan komoditas politik.
ICJR berpendapat, untuk menjamin efektifnya penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia, yang paling utama yang harus dilakukan adalah menghilangkan stigma dan diskriminasi bagi populasi kunci HIV.
Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menghapus ataupun mencegah usulan kebijakan yang bersifat diskriminatif pada populasi kunci HIV-AIDS.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sejak pertama kali diundangkan pada 2008, pasal pidana di UU ITE sudah dianggap bermasalah. Setelah digemparkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang Ibu yang dipidana karena mengirimkan kritik kepada pelayanan sebuah rumah sakit, UU ITE terus memakan korban.
Pada 2016, setelah rangkaian kasus dan uji materil di MK, UU ITE direvisi. Revisi itu ternyata tidak menghentikan daya rusak pasal-pasal pidana karet yang ada di UU ITE, beberapa kasus besar pun menyeruak ke publik.
Musuh besar kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online kali ini tidak hanya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, melainkan ada “tamu” baru, yaitu Delik “kesusilaan” dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE dan delik “ujaran kebencian” dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) menyelenggarakan pemungutan suara atau voting terhadap beberapa rekomendasi WHO terkait perubahan sistem penggolongan (scheduling) narkotika khususnya untuk ganja dan turunannya.
Salah satu rekomendasi yang disetujui oleh mayoritas anggota yaitu dihapuskannya cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.