Sejak pertama kali diundangkan pada 2008, pasal pidana di UU ITE sudah dianggap bermasalah. Setelah digemparkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang Ibu yang dipidana karena mengirimkan kritik kepada pelayanan sebuah rumah sakit, UU ITE terus memakan korban.
Pada 2016, setelah rangkaian kasus dan uji materil di MK, UU ITE direvisi. Revisi itu ternyata tidak menghentikan daya rusak pasal-pasal pidana karet yang ada di UU ITE, beberapa kasus besar pun menyeruak ke publik.
Musuh besar kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang online kali ini tidak hanya Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, melainkan ada “tamu” baru, yaitu Delik “kesusilaan” dalam pasal 27 ayat (1) UU ITE dan delik “ujaran kebencian” dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Pengaturan yang masih sangat karet jadi alasan.
Korban pun berjatuhan, Baiq Nuril, perempuan korban pelecehan seksual yang akhirnya menerima Amnesi pertama dari Presiden Jokowi adalah tamparan keras pada problem rumusan dan praktik penggunaan pasal-pasal pidana di UU ITE.
Terakhir, perdebatan mencuat ketika Jerinx, seorang musisi yang mengkritik persoalan rapid test pada sebuah organisasi yang kredibel, justru dijawab dengan pidana.
Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai Feb 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang mencapai 88% (676 perkara).
Laporan terakhir @safenetvoice menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.
Sektor perlindungan konsumen, anti korupsi, pro demokrasi, penyelamatan lingkungan, dan kebebasan informasi menjadi sasaran utama.
Maka, bahaya laten pembungkaman terpapar jelas dalam pasal-pasal pidana UU ITE. Dalam kacamata ini, semua bisa kena, hari ini mereka, besok bisa jadi kita. #cabutpasalkaretUUITE#SemuaBisaKena
Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu CND (the UN Commission on Narcotic Drugs) menyelenggarakan pemungutan suara atau voting terhadap beberapa rekomendasi WHO terkait perubahan sistem penggolongan (scheduling) narkotika khususnya untuk ganja dan turunannya.
Salah satu rekomendasi yang disetujui oleh mayoritas anggota yaitu dihapuskannya cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS sedunia. Hari ini diperingati pertama kali pada 1 Desember 1988 dengan tujuan memberikan pengetahuan pada publik bahwa HIV-AIDS adalah isu bersama, tidak hanya isu yang selalu dikaitkan dengan kelompok yang dipinggrikan dalam masyarakat.
HIV-AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat, sesuai dengan apa yang sudah dikomitmenkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.