Ittiba' Profile picture
31 Dec 20, 74 tweets, 9 min read
Thread :

Apakah Diperbolehkan Mengambil Gaji Dari Mengajar Ilmu Agama?
Jawaban :

Alhamdulillah.

Pertama:

Asal dalam ibadah, seorang muslim tidak boleh mengambil gaji sebagai pengganti apa yang dia lakukan. Siapa yang berkeinginan ketaatannya untuk (mendapatkan) dunia. Maka dia tidak mendapatkan pahala di sisi Allah sebagaimana Firman Ta’ala:
( مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) هود/ 15 ، 16
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
..kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.”

📖 QS. Hud: 15-16.
Kedua:

Kalau ibadah itu manfaatnya untuk orang lain dimana orang selain pelakukanya dapat mengambil manfaat seperti ruqyah dengan Qur’an atau mengajarkannya. Atau mengajarkan hadits, maka dia diperbolehkan mengambil upah atasnya menurut jumhur ulama.
Berbeda dengan ulama dahulu dari Hanafiyah. Sebagai ganti apa yang didapatkan manfaat dari orang lain dengan ruqyah atau pengajaran.

Telah ada dalam sunah nabawi apa yang menguatkan pendapat jumhur.
فعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ نَفَراً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلاً لَدِيغًا ؟
فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ [أي : مجموعة من الغنم]، فَبَرَأَ ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ ، وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ؟
حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ) رواه البخاري ( 5405 ) .
“Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa sekelompok dari para shahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam melewati perkampungan yang terkena sengatan. Maka salah seorang penduduk perkampungan menawarkan seraya mengatakan, “Apa ada diantara kamu semua orang yang meruqyah.
Sesungguhnya ada seseorang terkena sengatan di perkampungan? Maka ada salah seorang diantara mereka pergi dan dibacakan Fatihatul Kitab (dengan imbalan) sejumlah kambing dan sembuh. Maka beliau sambil membawa kambing kembali ke teman-temannya.
Sementara mereka tidak menyukainya. Seraya mengatakan, “Apakah kamu mengambil upah dari kitabullah? Sampai mereka di Madinah. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, mengambil upah dari Kitabullah. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya yang paling berhak anda mengambil upah itu dari kitabullah.”

📚 Bukhari, 5405
Dikeluarkan oleh Bukhori, (2156) dan Muslim, (2201) dari hadits Abu Said Al-Khudri. Nawawi rahimahullah membuat bab dlm penjelasan Muslim seraya mengatakan, “Bab Jawaz Akhdil Ujroh Alar Ruqyah Bil Quran Wal Adzkar (Bab diperbolehkan mengambil upah atas Ruqyah dgn Quran dan Zikir)
Nawawi rahimahullah mengatakan dalam menjelaskan hadits, “Ini jelas diperbolehkan mengambil upah atas ruqyah dengan Al-Fatihah dan zikir. Dan itu halal tidak makruh di dalamnya. Bagitu juga upah dalam mengajarkan Qur’an.
Dan ini mazhab Syafi’I, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan ulama salaf lainnya dan ulama setelahnya.

📚 Syarh Nawawi, (14/188)
Para ulama Lajnah Daimah Lil Ifta’ mengatakan, “Anda diperbolehkan mengambil upah dari pengajaran Qur’an. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam menikahkan seseorang dengan wanita dengan mengajarkannya kepadanya apa yang dia punya dari Qur’an. Dan hal itu sebagai maharnya.
Dan shabat yg mengambil upah atas kesembuhan orang kafir sakit disebabkan ruqyah kepadanya dengan Fatihatul Kitab. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda akan hal itu, “Sesungguhnya yang paling berhak untuk anda ambil upahnya adalah Kitab Allah.”

📚 HR. Bukhori/Muslim.
Sesungguhnya yang dilarang adalah mengambil upah atas bacaan Qur’an itu sendiri dan meminta orang dengan bacaannya.” Selesai

Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrozaq Afifi, Syekh Abdullah Godyha, Syekh Abdullah Qa’ud.

Fatawa Lajnah Daimah, (15/96).
Ketiga:

Sementara apa yang dibuat dalil teman anda dari ayat (Qur’an). Tidak dapat diterima karena makna ayat berbeda dengan apa yang dibuat dalil bagi orang yang melarang menerima upah atas pengajaran Qur’an dan Hadits dan ilmu agama lainnya.
Kita tidak mengingkari bahwa sebagian ahli ilmu melarang mengambil upah atas pengajaran Qur’an dan ilmu agama berdalil dengan ayat ini dan semisalnya. Akan tetapi kita tidak dapat menerima dalil itu, penjelasannya adalah:
1. Sementara firman Ta’ala:

( وءامنوا بما أنزلتُ مصدقا لما معكم ولا تكونوا أول كافر به ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا وإياي فاتقون ) البقرة/ 41
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya,
dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”

📖 Al-Baqarah: 41
Harga disini adalah meminta keredoan orang umum, bukan mengambil upah atas pengajarannya.

Tohir bin Asyura rahimahullah mengatakan ;

“Firman-Nya ‘Untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.

📖 QS. Al-Baqarah: 79.
Itu seperti Firman-Nya, “dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.”

📖 QS. Al-Baqarah: 41.
Maksud tsaman (harga) disini adalah meminta keredoan orang awam. Agar mereka merubah hukum-hukum agama agar sesuai dengan hawa nafsunya. Atau mengambil ilmu untuk dirinya padahal mereka tidak tahu. Sehingga mereka membuat kitab picisan dari kisah-kisah,
informasi ringan untuk dilontarkan di perkumpulan. Karena ilmu mereka belum sampai kepada ilmu yang benar. Dimana mereka dahulu sudah rakus di depan dan kepemimpinan bohong. Menghiasanya dengan kebohongan.
Dan mereka mengumpulan tema-tema dan buain kosong tidak tetap dalam kapasitas ilmu yang benar. Kemudian mereka sebarkan dan disandarkan kepada Allah dan agama-Nnya. Ini kebiasaan orang jahil yang mengharapkan kepemimpinan yang tidak pada kapasitasnya.
Agar nampak seperti para ulama menurut pandangan orang awam dan orang yang tidak dapat membedakan antara lemak dan gemuk. Selesai.

📚 Tahrir wat Tanwir, (1/577).
Qurtubi rahimahullah mengatakan ;

“Para ulama berbeda pendapat terkait mengambil upah dalam pengajaran Al-Qur’an dan Ilmu karena ayat ini dan yang semaknanya. Ada yang melarang hal itu, Zuhri, dan ashabur rokyi (Hanafiyah),
mereka mengatakan, “Tidak diperbolehkan mengambil upah atas pengajaran Qur’an karena mengajarkannya termasuk salah satu kewajiban yang membutuhkan niatan mendekatkan diri (kepada Allah) dan keikhlasan. Maka jangan mengambil upah darinya seperti shalat dan puasa.
Dimana Allah telah berfirman,

“Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.”

📖 QS. Al-Baqarah: 41.
Dan yang memperbolehkan mengambil upah atas pengajaran Qur’an adalah Malik, Syafi’I, Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan para ulama berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas hadits ruqyah
, “Sesungguhnya yang lebih berhak anda semua ambil upah adalah Kitabullah.” HR. Bukhori. Dan ini nash yang dapat mengangkat perbedaan. Seyogyanya dipakainya.

Sementara apa yang dijadikan dalil orang yang berbeda dengan mengqiyaskan dengan shalat, dan puasa itu salah.
Karena berhadapan dengan nash. Kemudian diantara keduanya banyak perbedaan. Yaitu bahwa shalat dan puasa itu ibadah khusus bagi pelaku sementara pengajaran Qur’an itu ibadah bermanfaat untuk selain pengajar.
Maka diperbolehkan upah karena berusaha mentranfer seperti pengajaran tulisan Qur’an.

Sementara jawaban dari ayat, maksudnya adalah Bani Isroil, sementara syariat kaum sebelum kita apakah ia syariat utk kita? Ada perbedaan di dalamnya. Dan Abu Hanifah tdk berpendapat dengannya.
Jawaban kedua, bahwa ayat bagi orang yang ditunjuk dalam pengajaran, dan tidak mau sampai mengambil upah. Sementara kalau tidak ditunjuk, maka dia diperbolehkan mengambil upah. Dengan dalil sunah akan hal itu.
Terkadang telah ditunjuk atasnya Cuma dia tidak mempunyai apa-apa untuk menafkahi diri dan keluarganya, maka tidak wajib baginya pengajaran. Sehingga dia berpaling dengan memproduksi dan keterampilannya.
Sehingga Imam diwajibkan menunjuk untuk menunaikan agama dan membantunya. Kalau tidak, maka umat Islam (yg menanggungnya). Karena Siddiq radhiallahu anhu ketika menjadi Khalifah, beliau tdk mempunyai sesuatu untuk keluarganya, sehingga beliau membawa baju dan keluar ke pasar.
Sehingga dikatakan kepadanya akan hal itu, dan beliau menjawab, “Dan dari mana saya dapat menginfaki untuk keluargaku? Sehingga mereka mengembalikan dan mereka rela untuk kebutuhannya.
Sementara hadits (maksudnya melarang akan hal itu) tidak ada sesuatu yg selaras. Dan tidak ada yg sah sedikitpun menurut ahli ilmu dgn naql dan syariat dalam menakdnya.

Dalam bab tidak ada hadits yang mewajibkan diamalkan dari sisi naql.”

📚 ‘Tafsir Qurtubi, (1/335, 336).
2.  sementara ayat

( اتبعوا من لا يسألكم أجراً وهم مهتدون ) يس/ 21

“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Yasin: 21
Dan ayat semisalnya, sebagian ulama telah berdalil dengannya larangan mengambil upah terhadap pengajaran Qur’an dan ilmu agama. Dan ini sifatnya para utusan dan para  pengikutnya. Dan perselisihan terjadi dengan berdalil dengannya.
Hal itu dengan maksudnya bagi orang yang ditunjuk untuk menyampaikan dakawah dan mengajarkan ilmu bukan kepada orang yang tidak ditunjuk akan hal itu. Kemungkinan maksud ayat dan semisalnya adalah makruh mengambil upah atas pengajaran itu bagi orang yang tidak membutuhkan.
Itu yang menjadi pendapat Syekh Muhammad Amin Syinqithi rahimahullah. Beliau mengetengahkan beberapa ayat yang semakna dengan ayat ini kemudian beliau mengatakan, “Agar menyampaikan semaksimal mungkin ilmu yang dimilikinya.
Dapat diambil pelajaran dari ayat nan mulia ini, bahwa seharusnya pengikut para rasul dari kalangan para ulama dan lainnya menunaikan semaksimal mungkin ilmu yang dimilikinya secara gratis. Tanpa mengambil upah dari hal itu.
Dan selayaknya tidak mengambil upah atas pengajaran Kitabullah  juga pengajaran Aqidah, halal dan haram.”

📚 Adhwaul Bayan, (2/179).
Kemudian beliau mengatakan, “Yang nampak bagiku –wallahu a’lam- bahwa seseorang kalau dia tidak membutuhkan keperluan primer. Yang lebih utama agar tidak mengambil pengganti (upah) atas pengajaran Qur’an, Aqidah serta halal dan haram. Berdasarkan dalil tadi.
Kalau ada kebutuhan, maka mengambil upah sesuai dengan kadar kebutuhan pokoknya dari baitul mal muslimin. Karena yang nampak bahwa pengambilan dari baitul mal dari sisi membantu untuk menunaikan taklim bukan dari sisi upah.
Yang lebih utama, Allah cukupkan baginya agar menahan diri tidak mengambil apapun pengganti mengajar Qur’an, aqidah serta halal dan haram.

📚 ‘Adhwaul Bayan, (2/182).
Ini pilihan Syekh Syinqity rahimahullah dan sebelumnya juga pilihan syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau ditanya tentang seseorang menolak mengajarkan ilmu agama kecuali dengan upah, apakah hal itu diperbolehkan?
Maka beliau menjawab ;

”Alhamdulillah, kalau pengajaran Qur’an dan ilmu tanpa upah itu amalan yang lebih utama dan paling dicintai oleh Allah. Dan ini yg diketahui secara pasti dalam agama Islam, dan tidak seorangpun yang tersembunyi bagi orang yang menyebarkan Al-Quran, Hadits
..dan fikih di negara Islam. Baik Para shahabat, para tabiin dan tabiut tabiin dan para ulama terkenal lainnya dalam umat ini. Dimana mereka mengajarkannya tanpa upah. Dan asalnya di kalangan mereka tidak ada yang mengampil upah. Karena para ulama itu pewaris para nabi.
Dan para nabi tdk mewariskan dinar dan dirham. Akan ttpi mereka mewariskan ilmu. Siapa yg mengambilnya, maka sungguh dia telah mendapatkan bagian yg banyak. Para Nabi salawatullah alaihim, sesungguhnya mereka mengajarkan ilmu tanpa upah. Sebagaimana perkataan Nuh alaihis salam:
وما أسألكم عليه من أجر أن أجرى إلا على رب العالمين)                         

“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.”

📖 QS. As-Syauro’: 109
Begitu juga Hud, Sholeh, Syuaib, Luth dan lainnya. Bagitu juga sabda Penutup para Rasul.

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُتَكَلِّفِينَ
Dan Firman-Nya:

(قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلاً) .

“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang2 yang mengada-adakan.”

📖 QS. Shod: 86
Mengajarkan Quran, hadits fikih dan lainnya tanpa upah tidak ada perselisihan para ulama hal itu termasuk amalan sholeh. Bahkan itu termasuk fardhu kifayah sebagaimana sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam hadits shohih
‘Hendaknya menyampaikan dariku meski hanya satu ayat. Dan sabdanya ‘Agar orang yg hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Yg menjadi perselisihan para ulama adalah diperbolehkannya menyewa untuk mengajarkan Quran, Hadits dan fikih menjadi dua pendapat terkenal.
Salah satunya adalah mazhab Abu Hanifah dan lainnya tdk diperbolehkan menyewa untuk itu.

Kedua, dan itu pendapat Syafii bahwa hal itu diperbolehkan.

Ada pendapat ketiga dlm mazhab Ahmad, diperbolehkan klu ada kebutuhan bkn yg kaya. Sebagaimana firman Ta’ala terkait wali yatim:
(وَمَنْ كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ) .

“Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut."

📖 QS. An-Nisaa’: 6

Dibolehkan memberikan mereka dari dana umat islam utk pengajaran sebagaimana diberikan kepada imam, tukang azan dan para qodi. Hal itu diperbolehkan disertai ada kebutuhan.
Apakah diperbolehkan mencari rizki padahal dia kaya? Ada dua pendapat ulama.

Cara pengambilan (dalil) para ulama tidak diperbolehkan menyewa manfaat ini bahwa amalan ini khusus pelakunya termasuk orang yang dekat dengan pengajaran Quran, hadits, fikih, imam dan azan.
Tidak boleh dilakukan oleh orang kafir. Tidak dilakukan kecuali orang islam. Berbeda dengan manfaat yang bisa dilakukan orang islam maupun kafir seperi tukang bangunan, penjahit, penenun dan semisal itu. Kalau melakukan amalan dengan upah, maka tidak menjadi ibadah kepada Allah.
Maka tetap berhak mendapatkan pengganti, karena kerjanya. Dan suatu pekerjaan kalau dilakukan dengan pengganti, maka tidak menjadi ibadah seperti perusahaan yang kerja dengan upah. Siapa yang mengatakan tidak diperbolehkan menyewa seperti amalan ini dia
berkata bahwa tidak diperbolehkan terjadi pada selain ibadah kepada Allah sebagaimana tidak diperbolehkan pelaksanaan shalat, puasa dan bacaan selain dari sisi ibadah kepada Allah. Dan menyewanya mengeluarkan dari hal itu.
Siapa yang memperbolehkan hal itu mengatakan, “Itu adalah manfaat yang sampai kepada orang yang menyewa diperbolehkan mengambil upah untuknya seperti manfaat lainnya.

Siapa yang membedakan antara orang yang membutuhkan dan lainnya itu yang lebih dekat mengatakan,
“Kalau orang yang membutuhkan, kalau dia melakukannya memungkinkan niatan amalannya untuk Allah dan mengambil upah membantu untuk beribadah. Karena bekerja untuk keluarga termasuk wajib juga. Sehingga dia dapat menunaikan kewajibannya dengan ini.
Berbeda dengan orang kaya, karena dia tidak membutuhkannya. Kalau tidak ada yang melakukan kecuali dirinya, maka hal itu menjadi kewajiban ain (individu) baginya. Wallahu a’lam.

📚 Majmu Fatawa , (30/204).
Dari sini, mungkin kita katakan bahwa disana tidak ada dalil Kitab dan sunah menegaskan akan pengharaman mengambil upah atas ibadah yang manfaatnya bisa untuk orang lain selain pelakunya. Sementara ayat,sebagaimana yang kita lihat, ia bukan nash (tegas) dalam hukum.
Dan pengambilan dalilnya juga ada pertentangan. Sementara hadits, itu lemah dari sisi sanadnya. Memungkinkan untuk memastikan hal itu dengan melihat seperti apa yang kami ketengahkan dari tafsir Qurtubi.
Perlu diperhatikan yang lebih utama bagi orang yang Allah cukupkan untuknya agar membersihkan dari mengambil sedikit dari kesenangan dunia sebagai pengganti apa yang dia usahakan dari nikmat yang Allah berikan dari ilmu agama.

🌹 Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafidzahullah

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Ittiba'

Ittiba' Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @_Ittiba

1 Jan
Tanggalkan sikap ashabiyyah dan fanatik buta, kemudian tanyakan pada hatimu :

Adakah yg Melebihi Kekejaman Al Hajjaj Dalam Hal Kepemimpinan ?

Mari membaca !
Dalam Sunan At Tirmidzi disebutkan riwayat, Hisyam bin Hassan berkata:

“Mereka menghitung jumlah manusia yg dibunuh oleh Al Hajjaj secara zhalim, maka jumlahnya mencapai sebanyak 120.000 orang manusia.”

📚 Sunan At Tirmidzi, no. 2220

📚 Tahdzib At Tahdzib.
Al Ashma’i rahimahullah berkata:

“Di suatu pagi, Sulaiman bin ‘Abdul Malik membebaskan 81,000 orang tawanan, setelah kematiannya Al Hajjaj, penjara2 diperiksa lalu mereka dapati ada 33,000 orang yg belum dilaksanakan pemutusan hukum dan tidak juga penyaliban.”
Read 50 tweets
1 Jan
Ketika Nusron Wahid berkata :

"Ayat konstitusi di atas ayat Al-Qur'an."

Semua kita marah, sebab kita meyakini bahwa, tidak ada ayat dan aturan yg lebih mulai selain kemuliaan dan aturan Al-Qur'an serta as Sunnah.
Tetapi ketika kami mengingatkan bahwa :

"As-Sunnah dan Ijma pun melarang kita untuk mencela dan mengkritik Umara secara terbuka, menyampaikan keburukan2nya di atas mimbar, sekalipun dia zhalim, sebagaimana banyak ayat dan hadits menjelaskannya."
Mereka menjawabnya dgn syubhat :

"Ini negara demokrasi, akh. Yg dipake ayat2 konstitusi, dan ayat2 konstitusi membolehkannya sebab kita bukan negara syari'at yg memakai pendalilan ayat2 Al-Qur'an serta hadits Nabi."
Read 4 tweets
31 Dec 20
Mungkin ini yg menjadi sisi pendalilannya :

“Sesungguhnya Ruqyah, Tamimah dan Tiwalah adalah  syirik.”

📚HR. Ahmad dan Abu Dawud
Ruqyah dibolehkan asal penggunaannya bersih dari hal2 syirik, karena Rasulullah telah memberikan keringanan dalam hal ruqyah ini utk mengobati ‘ain atau sengatan kalajengking.
Sebagaimana dinukil dari Fathul Majid, Imam As Suyuthi berkata ;

“Ruqyah itu dibolehkan jika memenuhi tiga syarat:

1. Bacaan ruqyah dengan menggunakan ayat Al Qur’an atau nama dan sifat Allah.

2. Menggunakan bahasa Arab atau kalimat yang mempunyai makna.
Read 8 tweets
31 Dec 20
Ketika Nusron Wahid berkata :

"Ayat konstitusi di atas ayat Al-Qur'an."

Semua kita marah, sebab kita meyakini bahwa, tidak ada ayat dan aturan yg lebih mulai selain kemuliaan dan aturan Al-Qur'an serta as Sunnah.
Tetapi ketika kami mengingatkan bahwa :

"As-Sunnah dan Ijma pun melarang kita untuk mencela dan mengkritik Umara secara terbuka, menyampaikan keburukan2nya di atas mimbar, sekalipun dia zhalim, sebagaimana banyak ayat dan hadits menjelaskannya."
Jawaban syubhat :

"Ini negara demokrasi, akh. Yg dipake ayat2 konstitusi, dan ayat2 konstitusi membolehkannya sebab kita bukan negara syari'at yg memakai pendalilan ayat2 Al-Qur'an serta hadits Nabi."
Read 4 tweets
31 Dec 20
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al-Albani dan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menyatakan : Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani di dalam Al-Austah dan rijalnya Tsiqat (Majma’uz Zawa’id : 10/230-231).
Namun ada baiknya juga disertakan penjelasannya :

1. Jika yang dimaksud dengan berkawan adalah dengan mendukung kezhaliman penguasa muslim, maka itu adalah hal yang diharamkan dengan kesepakatan kita semua.
2. Namun jika yang dimaksud dengan berkawan adalah menyampaikan nasehat kepada mereka secara sembunyi tanpa terang-terangan dan mengumbar aib, dan tidak mendukung kezaliman mereka.
Maka itulah yang diperintahkan oleh Nabi kita Muhammad shallallāhu ‘alahi wa sallam
Read 9 tweets
30 Dec 20
Berbagi Faidah :

Mengenali Hadits Palsu

"Barangsiapa yg tidak mengatakan bahwa Ali adalah sebaik-baik manusia, maka sesungguhnya dia telah kafir."

Derajat : Hadits Palsu
Penjelasan :

✔ Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Kathib dari Ali, kemudian beliau mengatakan hadits ini ; Maudhu', karena dalam sanadnya ada rawi yg bernama : Muhammad bin Katsir Al Kuffiy. Dia adalah seorang perawi yg tertuduh memalsukan hadits ini.
✔ Diriwayat lain yg diriwayatkan oleh Al Hakim dari Ibnu Mas'ud dari Nabi dari Jibril, sesungguhnya dia berkata : "Wahai Muhammad, Ali adalah sebaik-baik manusia. Barangsiapa yg enggan mengatakan demikian, maka sesungguhnya dia telah kafir.
Read 4 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!