Menilik Sosok Tan Malaka, Sang Pahlawan Yang Terlupakan (1897-1949).
[Sebuah Utas]
Tan Malaka lahir di Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897.
Tan Malaka bernama asli Sutan Ibrahim, ia mendapatkan nama gelar semi bangsawan yang didapat dari garis turunan ibunya menjadi Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Ayahnya bernama Rasad Caniago dan ibunya Sinah Simabur.
Semasa kecil, Tan Malaka hidup dalam lingkungan agama yang kuat di kampungnya. Ia bahkan senang mempelejari agama, ilmu beladiri, dan bermain sepakbola.
Foto: Tan Malaka sedang bersama tim sepak bolanya.
Pada tahun 1908, saat usia 21 tahun Tan Malaka didaftarkan ke Kweekschool (Sekolah Guru Negara) di kota kelahirannya. Ia tumbuh menjadi anak yang cerdas dan selalu juara di kelasnya.
Lima tahun kemudian, pada bulan Oktober 1913, memasuki usia 26 tahun, Tan Malaka meninggalkan desanya menuju Belanda untuk belajar di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah).
Selama kuliah di Belanda, ia mengalami perubahan drastis dalam pola pikirnya. Pengetahuannya tentang dunia luar, khususnya soal revolusi melekat di pikirannya.
Sejak saat itu, Tan Malaka mulai serius mempelajari paham sosialisme dan komuninisme dengan membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Di sini ia juga bertemu langsung dengan tokoh tokoh sosialis demokratis.
Setelah lulus pada tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Ia langsung ke kampung halamannya dan mendapatkan tawaran untuk mengajar anak-anak kuli petani di perkebunan teh, Deli, Sumatera Utara.
Selain sebagai guru, ia juga aktif membuat pamplet perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Tan Malaka tak rela bangsa pribumi diperlakuan tak adil oleh kaum elit. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di media Sumatera Pos.
Untuk memperjuangkan nasib petani, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri.
Namun, baru setahun ia mengundurkan diri dan memilih membuka sekolah Rakyat di Semarang atas bantuan seorang Tokoh Syarikat Islam (SI).
Di sini Tan Malaka juga bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya, seperti K.H Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto.
Di tengah kesibukannya mengajar,Tan Malaka juga menulis artikel dan buku. Misalnya buku berjudul Komunisme di Jawa (1922), Kuli Kontrak (1923), Naar Republiek (1925), juga Madilog (materalisme, dialektika, logika) antara tahun 1942-1943.
Pada tahun 1922, Tan Malaka ditangkap karena diduga terlibat aksi mogok besa-besaran buruh dan diasingkan ke Belanda.
Setelah dua puluh tahun menjalani pengasingan, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1942, bersamaan dengan kedatangan penjajah Jepang ke Indonesia.
Tan Malaka tak tinggal diam melihat bangsanya dijajah kembali. Ia melakukan perlawanan politik secara gerilya.
Ia menemui Soekarno dua kali dan menyampaikan konsep strategi revolusioner melawan penajajah. Ia sendiri terus berjuang meyakinkan rakyat dan elit sehingga Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka manjadi pelopor aktivis sayap kiri sosialis. Ia sering dituduh melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang baru, ia pun dipenjarakan pada tahun 1946.
Dua tahun kemudian ia bebas setelah terjadi pemberontakan PKI di Madiun.
Melihat kondisi pemerintah baru yang belum stabil, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.
Setelah itu, Tan Malaka menuju Kediri untuk mengumpulkan sisa-sisa pemberontak PKI untuk membentuk pasukan Gerilya Pembela Proklamasi.
Pada tahun 1949, Tan Malaka dan anak buahnya ditangkap dan ditembak di Kediri. Ia meninggal pada usia 52 tahun
Selama puluhan tahun, tempat makamnya tak diketahui keberadaannya. Pada 2007, seorang peneliti Belanda Herry Poeze, menemukannya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Tan Malaka dilahiran di Suliki, Sumatra Barat pada tanggal 02 Juni 1897 dengan nama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka.
Anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur ini merupakan tamatan Kweekschool Bukit Tinggi pada umur 16 tahun di tahun 1913, dan dilanjutkan ke Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda.