Kami turut berduka untuk seluruh korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 sekaligus berduka atas gagapnya jurnalisme di banyak media Indonesia yang tak kian membaik dalam meliput bencana.
Memang ada dua cara meliput peristiwa mendadak, seperti kecelakaan ini.
Pertama, liputan yang fokus dengan informasi-informasi dasar mengenai kecelakaan itu sendiri. Dari hal-hal berkaitan dengan penyebab kecelakaan sampai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pengambil kebijakan dalam merespon sebuah peristiwa.
Kedua, liputan bergaya human interest. Liputan ini lebih mengandalkan penggambaran orang secara emosional daripada data-data keras. Contohnya seperti liputan The Guardian ini.
Peliputan The Guardian ini memang tidak memberi tahu terlalu banyak informasi faktual tentang kecelakaan JT 610. Namun ia menjalankan peranan yang lain: ia memberi wajah pada peristiwa sejarah.
Liputan semacam ini berguna untuk mendekatkan peristiwa kepada publik karena jauh lebih mudah bagi manusia untuk merasa terhubung dengan kisah emosional, dibandingkan data dan angka.
Masalahnya, konsep peliputan “human interest” di Indonesia justru tidak humanis.
Banyak media nasional masih menggunakan konsep human interest yang kasar dan sensasionalistik.
Tanpa sensitivitas trauma, beberapa media mencoba menggali cerita-cerita personal, dan dalam beberapa hal sumber yang sama sekali tidak berkaitan dengan korban.
Hasilnya, konsep human interest di sini hanya melayani insting paling dasar dari manusia: hasrat mengintip. Seperti mengobrak-abrik media sosial korban, narasi-narasi firasat, bukan tidak mungkin bakal muncul narasi “pramugari cantik” untuk melayani keinginan pembaca laki-laki.
Dalam human interest jenis ini, yang dihadirkan adalah suara-suara yang dianggap media ingin didengar oleh pembacanya. Yang dirugikan bukan hanya pembaca yang tidak belajar apa-apa, tetapi juga korban yang dihilangkan suaranya.
Paling absurd nanti kalau udah mulai mewawancarai selebriti dan paranormal, atau kombinasi keduanya; selebriti tapi paranormal atau paranormal yang jadi selebriti.
Ketika lebih fokus pada aspek dramatisasi dengan kemasan bombastis, peliputan yang lebih bermutu jadi jarang tersorot.
Padahal, jatuhnya pesawat sudah terjadi berulangkali di Indonesia, dan kita nyaris tak belajar apa-apa dari setiap kejadian.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
KESALAHAN MEDIA KETIKA MENULIS BERITA KEKERASAN SEKSUAL
== A THREAD ==
1. Menggiring pembaca untuk menghakimi penyintas, misal dalam kasus artis sebagai pekerja seks.
2. Menggiring pembaca untuk memaklumi/menganggap wajar perbuatan pelaku, misal menggunakan diksi “pelaku khilaf”, “tidak kuat menahan nafsu”, “terpaksa nekat”, “sudah lama tidak berhubungan intim”, dll.
Kami turut berduka atas musibah yang menimpa penumpang Lion Air #JT610. Tapi kami juga dibuat geram oleh sejumlah media yang lagi-lagi membuat berita yang kacau. Sebelum makin ngawur, kami ingin menyerukan beberapa hal, agar kita tidak lagi menuang minyak dalam kobaran api.
Beberapa media sudah mulai membicarakan soal firasat, membedah akun media sosial korban #JT610, dan hal-hal yang bersifat dramatis untuk memikat perhatian publik. Padahal publik perlu informasi yang lebih penting dari itu.
Kami juga menghimbau agar media tidak ngawur ketika menunjuk narasumber. Kami tidak ingin lagi ada paranormal yang diberi panggung di layar kaca. Selengkapnya, kita bisa membaca tulisan Ahmad Arif ini kembali. remotivi.or.id/amatan/32/Jurn…
Halo kawan-kawan. Sudah lama kami nggak kultwit nih. Mulai hari ini kami akan merencanakan kultwit lebih rutin. Semoga aja kultwit kami kayak mengkudu: berfaedah. :p
Nah, temanya kali ini adalah mengenai netralitas vs independensi. Pantengin terus kultwitnya, ya. (1/15)
Sering kan kita dengar ungkapan “Ah, media ini nggak netral” atau “Wartawan harus netral”? Netralitas kemudian dijadikan standar ideal bagi kerja-kerja jurnalistik. Wartawan dan media yang bermutu adalah yang netral. Buat kami, pemahaman ini keliru. (2/15)
Wartawan & media tdk hrs netral, mereka hrs berpihak. Namun, keberpihakannya itu hrs diambil scr independen. Artinya, keberpihakannya terhadap suatu isu diambil bkn krn permintaan pemilik media, ancaman dr penguasa, atau iming2 uang (pemasangan/pembatalan iklan, misalnya). (3/15)