Halo kawan-kawan. Sudah lama kami nggak kultwit nih. Mulai hari ini kami akan merencanakan kultwit lebih rutin. Semoga aja kultwit kami kayak mengkudu: berfaedah. :p
Nah, temanya kali ini adalah mengenai netralitas vs independensi. Pantengin terus kultwitnya, ya. (1/15)
Nah, temanya kali ini adalah mengenai netralitas vs independensi. Pantengin terus kultwitnya, ya. (1/15)
Sering kan kita dengar ungkapan “Ah, media ini nggak netral” atau “Wartawan harus netral”? Netralitas kemudian dijadikan standar ideal bagi kerja-kerja jurnalistik. Wartawan dan media yang bermutu adalah yang netral. Buat kami, pemahaman ini keliru. (2/15)
Wartawan & media tdk hrs netral, mereka hrs berpihak. Namun, keberpihakannya itu hrs diambil scr independen. Artinya, keberpihakannya terhadap suatu isu diambil bkn krn permintaan pemilik media, ancaman dr penguasa, atau iming2 uang (pemasangan/pembatalan iklan, misalnya). (3/15)
Maksudnya, keberpihakannya diambil secara mandiri setelah memiliki dan menganalisis semua data yang diperlukan. Untuk keberpihakan sebuah media, sikap diputuskan dalam rapat redaksi yang bebas dari intervensi. (4/15)
Wartawan tiap harinya bergumul dengan data, baik yang didapatkan dari observasi, penelusuran dokumen, wawancara, dan lain-lain. Justru kedekatannya dengan data itulah yang memungkinkan wartawan menyatakan keberpihakannya terhadap suatu masalah. (5/15)
Kenapa wartawan tidak boleh netral? Karena netralitas tidak membantu mereka yang lemah berhadapan dengan kekuasaan yang lalim. (6/15)
Misal dalam kasus seorang nenek dipenjara karena memetik 3 biji kakao di perkebunan milik sebuah perusahaan. Tentu pemidanaan kasus semacam ini adalah ketidakadilan yang telanjang. Wartawan harus berpihak pada mereka yang mengalami ketidakadilan. (7/15)
Bagaimana caranya keberpihakan wartawan ditunjukkan? Dengan menyediakan ruang yang memadai bagi si nenek untuk menceritakan kronologi versinya, misalnya. Bukan kemudian malah puas dengan hanya mengutip komentar resmi dari kepolisian. (8/15)
Kalau gitu, wartawan juga boleh dong berpihak pada salah satu politikus atau partai politik tertentu? Tentu saja. Tapi ada syarat-syaratnya. (9/15)
Pertama, keberpihakan yang bersifat opini, diperbolehkan untuk ditampilkan di kolom editorial. Ini adalah ruang untuk menunjukkan sikap resmi sebuah media. Editorial Jakarta Post @jakpost pada Pemilu 2014 yang mendukung Jokowi adalah contoh yang baik megenai ini. (10/15)
Keterusterangan sebuah media dalam sikap politiknya adalah bentuk transparansi kerja jurnalistik. Ini lebih baik dari media yang seolah netral tapi dalam praktiknya melakukan keberpihakan—apalagi dilakukan dengan cara yang kotor. (11/15)
Kedua, meski berpihak, reportasenya harus ditempuh melalui metode jurnalistik yang objektif. Jadi, objektivitas ada pada metode. Metodelah yang membantu wartawan mejadi adil dalam menuliskan sebuah berita. (12/15)
Apa saja metode itu? Salah duanya adalah cover both sides (semua pihak diwawancarai secara proporsional) dan disiplin verifikasi (skeptis terhadap data dan selalu memeriksa akurasinya). (13/15)
Untuk lebih jelas soal ini, buku “The Element of Journalism” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah referensi paling baik mengenai topik ini. Tulisan berikut adalah ulasan atasnya: bit.ly/2oibWzi. (14/15)
Sebagai kalimat pamungkas, kami ingin sampaikan ini: independensi wartawan harus menghancurkan mitos tentang netralitas. Sekian kultwit kali ini. Semoga seperti mengkudu: berfaedah. :) (15/15)
