Suatu hari Abu Dzar Al Ghiffari sedang bersama pelayannya di daerah Rabadzah, perkampungan sekitar Madinah, menceritakan kepada perawi Al Ma’rur bin Suwaid akan suatu momen ketika Nabi tidak berkenan dengan perilakunya.
Abu Dzar adalah salah satu orang yang masuk Islam pada masa awal kenabian. Kisah seputar kesantunan dan kebijaksanaannya sudah banyak tercatat dalam kitab hadis dan biografi. Meski demikian mulia pribadi Abu Dzar, ia pun pernah berbuat salah.
“Aku pernah menghina seseorang dengan menyindir asal-usul keturunan dari ibunya,” ujar Abu Dzar, yang bernama asli Jundub bin Junadah ini.
“Aku berkata: ‘Hei kamu, anaknya orang hitam!’” Abu Dzar mengatakan kalimat ini kepada seorang berkulit hitam, yang disebut-sebut sebagian ulama adalah sahabat Bilal bin Rabah.
Dalam kitab Irsyadus Sari karya Imam al-Qasthalani, ujaran rasis tersebut konon terucap akibat perasaan jumawa Abu Dzar dari suku yang lebih terpandang.
Saat Nabi mengetahui hal itu, beliau segera menegur Abu Dzar.
“Benarkah kau baru saja menghina pria itu, dengan mengejek pribadi ibunya dengan menyebut anak orang hitam? Ketahuilah wahai Abu Dzar, perbuatanmu seperti perilaku orang-orang Jahiliyah yang tercela.”
Ditegur Nabi, Abu Dzar merasa sangat menyesal. Nabi melanjutkan nasehat beliau kepada Abu Dzar,
“Pembantu-pembantu kalian itu juga saudara kalian.” Para ulama menyebutkan persaudaraan tersebut termasuk dalam iman dan kemanusiaan. “Allah telah menjadikan mereka sebagai tanggungan kalian.
Siapapun yang menjadikan saudaranya sebagai budak atau tanggungannya, maka tuannya harus memberi makanan sama seperti yang ia makan, pakaian sebagaimana yang ia pakai, serta tidak membebani mereka dengan pekerjaan yang bikin mereka payah.”
Nabi menegaskan di akhir nasehatnya, “Kalau di antara kalian ada yang membebani mereka dengan kerja yang sangat berat, maka bantulah mereka.”
“Ini penting saya sampaikan. Orang saleh pun tidak boleh menganggap dan menuduh orang maksiat akan senantiasa salah, jika sama-sama umatnya Nabi Muhammad.”
Gus Baha bercerita kisah populer di kalangan sufi. Suatu masa ada orang saleh yang kakinya terinjak orang yang dikenal sebagai ahli maksiat. Terbawa jengkel, sang orang saleh berkata, “Demi Allah, Dia tidak akan mengampunimu!”
Perkataan orang saleh yang mencatut nama Allah patut disayangkan. “Andaikan dia misuh (berkata kotor) itu mungkin lebih baik karena itu urusan dia sendiri, hehehe.” gurau Gus Baha’. “Masalahnya dia bawa-bawa nama Allah, menyatakan Dia tidak akan mengampuni sang ahli maksiat.”
Al-idrak yang dimiliki manusia diterima secara bertahap, Al-Ghazali mengatakan ada empat tahap yang akan dilalui oleh manusia dalam memperoleh pengetahuannya.
Pertama: Pengetahuan Indrawi
Manusia memperoleh pengetahuan melaui indranya. Mula-mula memperoleh pengetahuan melalui indra raba (haassah al-lams). Dengan indra raba ini, ia akan mengetahui panas, dingin, basah, kering, kasar dan halus.
Kedua: Kemampuan Membedakan (at-Tamyiiz)
Manusia diberikan kemampuan membedakan (at-tamyiz). Dengan kemampuan at-tamyiz dapat membedakan yang dirasakan seperti panas atau dingin, apa yang dilihat adalah api atau es.
Agama Islam menganjurkan untuk bergerak dan berkarya (bekerja) selama hayat masih di kandung badan. Nabi memberikan peringatan agar kita berusaha ketika waktu luang.
Waktu kosong bisa jadi ladang subur bagi setan untuk menanamkan kemungkaran. Bekerja adalah jalan lain untuk membendung kejahatan. Orang yang bekerja keras hakikatnya sedang merintis jalan kemuliaan dan meghindari kemungkaran.
Menurut Ibnu Atsir, bekerja adalah termasuk bagian dari sunah para nabi. Nabi Zakaria as. berprofesi tukang kayu. Nabi Daud as. membuat baju besi dan menjualnya sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum bunga bank.
Pertama, sebagian ulama, seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya’rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, menyatakan bunga bank hukumnya haram, karena termasuk riba.
Ini merupakan pendapat forum ulama Islam, meliputi: Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Majma’ Fiqh Rabithah al-‘Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Adapun dalil diharamkannya riba adalah firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 275.
Kedua, sebagian ulama lainnya, seperti syaikh Ali Jum’ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, menegaskan bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk riba.
Tanggal 13 hari minggu lalu, admin dan beberapa temen mulai ngaji Sirah Nabi untuk yang kesekian kalinya dengan salah satu orang yang kami hormati karena ilmu agamanya lebih luas dan mendalam, beliau sekelas teman kami juga semasa mondok dulu.
beberapa kesimpulan ngaji kemarin;
Kami sadar, mengaji kami bukan untuk menggugurkan kewajiban sebagai umat yang harus mengenal Nabinya, tapi karena kami harus mengenal seseorang yang mencintai kami sebelum kami dilahirkan; kami harus mengenal sosok pecinta yang luhur itu, Nabi Muhammad SAW.
Ngaji sirah berarti ngaji cinta, ngaji tentang betapa Nabi mencintai umatnya; Nabi mencintai orang yang beriman pada kenabiannya dan Nabi juga menyayangi orang yang mengingkari kenabiannya.