kalong Profile picture
Feb 20, 2021 226 tweets >60 min read Read on X
A THREAD

"SI MANIS GUNUNG CIKURAY"

@bacahorror #bacahoror
#bacahorror
#threadhorror
HALO.
Malam ini saya akan membagikan lagi cerita dari mbak Nesia. Gamblangnya saya menyalin lagi cerita ini dari Facebook yang sudah di ijinkan oleh mbak @NesiaFitri tentunya. Oiya bagi kalian yang ada Facebook jangan lupa gabung ke grup PENA HITAM.
Link nya di sini ya m.facebook.com/groups/1602042…
Tapi sebelumnya bagi kalian yang belum membaca thread saya yang lain, bisa baca dulu sembari menunggu rampung.


Gak usah berlama-lama, langsung saja masuk ke cerita.

Jangan lupa RT dan LIKE ya lur.
Perkenalkan.... Namaku.... Ah panggil saja aku Nene, seperti teman-teman ku biasa memanggil ku. Kali ini aku akan mencoba menceritakan pengalamanku saat mendaki Cikuray bersama teman-temanku pada 6-8 Febuary 2015 lalu.
Sejujurnya, selain tangisan si cantik dan senyuman manis Bapak bersepedah ontel, ingatan ku tentang pendakian itu sudah samar-samar, namun karena mendapat bantuan dari Mas Okky dan Mas Pey, teman ku yang juga mendaki bersama saat itu, maka akan ku coba menceritakannya.
O ya.... Beberapa nama akan kusamarkan karena beberapa alasan.

***
Tanpa terasa malam semakin larut, sedang aku masih asik duduk didepan Leppy yang selalu setia menemaniku menjelajah dunia digital dengan informasi tanpa batasnya. Gunung Papandayan. Informasi itulah yang saat itu kucari.
#simanisgunungcikuray
Sebuah kebiasaan lama yang diajarkan oleh almarhumah kakak pertamaku yg senang sekali naik gunung dan climbing, serta di amini oleh Alm. papa ku. Jadi tiap kali aku ingin naik gunung atau sekedar jalan-jalan, aku pasti selalu mencari informasi tentang tempat yg akan aku datangi.
‘Tuinkkk Teonkk’ bunyi pesan masuk di Hp ku. “Ndutt.... Kayanya kita ngak jadi ke Papandayan deh” Isi pesan yang ada diaplikasi pesanku. ‘Whattttttt..... Batallll??? Sia-sia dong semua’ batin ku saat membaca isi pesan dari temanku itu.
“Jiahhhh cape dehhh.... Kenapa ngak jadi?” balasku setengah kesal karena merasa semuanya akan sia-sia. Informasi yg kucari disela-sela waktu luangku, uang tabunganku yg habis untuk beli perlengkapan naik gunung, serta usahaku untuk merayu ibuku agar mengizinkanku pergi ke Garut.
"Kata Deni Papandayan lagi ditutup, besok deh dijelasin”.
Ahhh mengesalkan sekali.... Padahal aku sudah sangat berharap untuk bisa hiking lagi setelah sekian lama tak menjejakkan kakiku ku di Gunung. Padahal ingin sekali kulihat lagi mentari yang keluar dengan malu-malu di balik lautan awan.
Padahal hatiku sudah merota untuk melepaskan kerinduan bernyanyi bersama bintang didepan api unggun yang memberikan kehangatan. Dan padahal lagi, tinggal 3 hari semua inginku itu dapat terwujud.
Ku tutup leppyku dengan kesal dan beranjak tidur agar cepat kudapati jawaban kenapa pendakian ini tiba-tiba dibatalkan.
“Woiii kenapa dibatalin??” tanyaku pada Anam tanpa basa-basi saat aku tiba dikosannya. Anam dan Pey ngekos disatu rumah namun beda kamar. Karena kosan mereka letaknya strategis, jadi biasa dijadikan basecamp oleh teman-temanku.
“Papandayan ditutup karena ada relokasi pedagang” katanya.
“Mmmmm...2.3jt gue melayang percuma donk buat beli peralatan kemaren Mas” keluhku.
“Tenang sih Mbak Ney... Kita tetep pergi kok” Jawabnya singkat. “Ntar aja jelasinnya... Tunggu yang lain... Males gua jelasin berkali-kali” lanjutnya.
Pertanyaan dan jawaban yang sama selalu terlontar setiap kali teman ku datang. “Kita ngak jadi ke Papandayan, jadinya ke Cikuray” kata Anam setelah semua sudah kumpul. “Cikuray??” Tanyaku serempak dengan Ricat dan Jessy.
“Iyaaa... Cikuray... Tinggal nyebrang doank... Sama-sama di Garut” jawabnya enteng.
“Tapi Mas... Ah gila kali... Gue dah lama kaga hking masa tau-tau Cikuray” Jawabku setengah tak percaya.
Acara pendakian kali ini merupakan pendakian pertama untuk Pey, Ricat, Jessy dan Okky. Walaupun bukan pendakianku yang pertama, namun terakhir kali aku menjejakkan kaki ku ke gunung adalah tahun 2005 alias 10 tahun yang lalu.
Dan tiba-tiba sekarang, setelah semua tulang sudah susah di ajak untuk kompromi, aku disuruh untuk hiking ke gunung yang bikin dengkul pendaki berpengalaman sekali pun pengen nangis??? Ahh rasanya ingin sekali ku batalkan saja pendakian ini.
Namun karena teman-temanku yang lain sudah kepalang tanggung ambil cuti kerja dan sebagian juga sudah menghabiskan tabungan ditoko perlengkapan camping sepertiku, akhirnya kami putuskan untuk tetep pergi.
Ditengah hiruk pikuk rutinitas harianku, tak sempat lagi kucari informasi tentang Cikuray. Satu-satunya hal yang kuingat dari temanku yang pernah mendaki Cikuray adalah jangan ngecamp di puncak bayangan.
Sampai akhirnya hari yang dinantikan tiba juga. Aku, Anam, Pey, Ricat, Jessy, dan Okky berangkat dari kosan dan janjian dengan Deni di terminal bus UKI. Deni mengajak 3 orang temannya, Andri yang akan jadi guide kita, serta Paras dan Willan.
Selesai basa basi dengan ke 3 temen nya Deni, sebelum bus berangkat, aku, Anam, Ricat dan Jessy menyempatkan diri untuk mengisi perut terlebih dahulu.
Sambil mengisi perut, aku dan Jessy sempat membicarakan sikap Willan dan Paras yang aku anggap kurang ramah. Namun kami lebih memilih mengabaikannya dan berfikir karena baru kenal.
Setelah mengisi perut dan membeli cemilan, kami langsung memasukkan barang ke bus dan menunggu sebentar didalam bus sebelum akhirnya bus itu melaju menuju Garut.
Ban bus yang berbenturan dengan lubang aspal, membuat kepala Andri yang duduk didekat jendela menyundul kaca dan menyadarkannya dari tidurnya.
Aku kira hanya aku saja yang memingsankan diri selama perjalanan, ternyata semuanya pada ketiduran “Woiii bangun.... bangunnnnn” Kata Andri setengah terkejut. “Kita dah kelewatan.... Pombensin udah lewat” lanjut nya. Satu persatu kita semua bangun dan buru-buru turun dari bus.
Untung tidak terlalu jauh kelewatnya.
Hawa dingin Garut menyambut kami yang berjalan sempoyongan karena nyawa belum kumpul semua tapi sudah dipaksa jalan. Penerangan jalan yang sangat minim menemani langkah kami menuju pombensin yang entah apa namanya ku tak tahu.
“Mas apaan nih” Tanya Okky ke Anam setelah kakinya menginjak kantong kresek.
Anam memperhatikannya sebentar “T*i itu Mas Okky”.
“Ehhhh... Bukan ahhh Mas” Kata okky sambil menggesek-gesekan kakinya ke aspal. Dilihatnya lagi bungkusan kresek itu “T*i bukan sih ini Mas???”
“Iyaaaa Mas Okky itu t*i” Jawab Anam lagi. Okky yang masih ngak percaya kalo isi kresek hitam yang diinjaknya itu isi nya pup,
akhirnya berjongkok untuk memastikannya “Ehhh iyaa beneran t*i Mas” Katanya. Otomatis kita semua ketawa ngeliat kelakuannya.
“Begini dah kalo nyawanya belom kumpul semua... Udah dibilang t*i masih ngak percaya” Timpal Ricat yang masih ketawa ngakak.
“Pake dikosrek-kosrek lagi pake kaki” Ujar Pey yang tak kalah ngakak.
Setibanya diwarung depan pombensin, kami menghangatkan diri dengan kopi dan teh manis sambil sibuk sendiri-sendiri. Andri dan Deni mencari supir mobil kol, yang entah memang sudah dipesan sebelumnya atau memang sudah langganan Andri.
Anam dan Okky berniat mengejar waktu Sholat Isya yang masih tersisa. Aku, Jessy, Pey dan Ricat ngobrol. Sedang Willan dan Paras, ahhhh entah apa yang mereka lakukan, aku tak memperhatikan.
“Hayoo... Itu supirnya udah ada” kata Deni. “Ntar dulu Mas... Mas Anam sama Mas Okky lagi sholat dulu” kata Pey. “Kita taro barang dulu aja di bak” timpal Andri.
Tak berselang lama, kami dengar suara ketawa Okky dan Anam. “Kan tadi udah kita intip ya Mas... Masa masih salah” Sayup-sayup suara Okky terdengar mendekat.
“Iya ya... Ahhh emang kita aja kali mas yang ngaco” Jawab Anam saat tiba ditempat kita nunggu.
“Kenapa sih?” tanyaku.
“Ini loch Mbak... Musolah nya dikunci, jadi kira mo sholat nya diluarnya gitu...Mas Anam undah ngintip ke dalem biar tau kiblatnya kemana...
Tapi tau-tau dibilangin bapak-bapak kalo salah kiblat” jelas Okky.
“Iya Mbak... Effek kecapean kali... Harusnya ksana malah jd ksana” jawab Anam sambil memperagakan arah dgn tangannya.
"Ya udah hayo naik biar cpt sampe dibase kita” potong Deni yg sudah nangkring di atas pick-up.
Kami pun segera bergegas untuk naik, aku berinisiatif untuk bertanya ke Paras dan Willan “Kalian duduk didepan aja, biar ngak keanginan”. “Ngak usah, dibelakang aja” jawab Willan dengan nada yang ngak enak didengar sambil melengos -
ke arah Paras seolah menegaskan ke Paras untuk duduk dibelakang. ‘Sial nih bocah’ Aku ngebatin.
Jessy dan Anam kompak ngelirik ke arah ku, sepertinya mereka tau kalo aku kesel. “Ya udah bu...Kita didepan aja...Enak malah kaga kedinginan” kata Jessy dgn nada menyindir mereka sambil ngebuka pintu dan duduk didepan. Dan sengaja kututup keras utk menandakan ketidak-sukaanku.
“Kesel lu yak bu?” Tanya Jessy disaat mobil sudah mulai berjalan.
“Ya iyalahh... Dikira dia ngomong sama yang seumuran dia kali.... Bocah sekarang kenapa pada songong-songong yak??” jawabku yang masih agak sewot. Bukan ingin dianggap sok tua atau bagaimana.
Namun umurku dan mereka berdua terpaut hampir 10 tahun, ditambah lagi kita baru ketemu hari itu dan akan bersama-sama selama beberapa hari kedepan, setidaknya ya tunjukkanlah kesopanan dan keramah-tamahan yang dapat membuat susana menjadi lebih nyaman.
“Tadi diterminal juga gue rada kesel sama yang rada agak gemuk tuh” celetuk Jessy. Aku dan dia ngobrol sepanjang perjalanan, ketawa-ketiwi melupakan kekesalan yang ada dihati sampai akhirnya kami sampai disebuah rumah yang dibilang Bacecamp oleh Deni dan Andri.
Di rumah itu kami disambut oleh suami istri yang sudah berumur, yg sampai saat ini (walaupun aku merindukan mereka) aku tak tahu siapa nama mereka. Kami memanggil mereka Emak dan Abah. Setelah menaruh barang-barang kami, aku, Jessy, Richat dan Pey mengikuti Emak ke warung, -
sedang yang lain sibuk sendiri.

Rumah yang dijadikan base ini tidak terlalu besar, tapi rapih dan tertata dengan apik. Ada warung kecil untuk menyantap gorengan dan ada langgar kecil dalam satu halaman yang sama, jadi para pendaki tak perlu repot untuk mencari tempat lain.
Aku dan Jessy membawa gorengan yang kami goreng di warung Emak ke teras rumah untuk disantap bersama, sedang Ricat dan Pey membawa minuman.
“Wihhh enak nehhh” kata Anam yang sedang berjalan bersama Okky
“Kalian dari mana?” tanyaku.
“Abis sholat subuh Mbak” jawab Anam.
“Kerennnnn loh Mbak” timpal Okky
“Kita sholat bertiga tapi yang ngaminin banyak” lanjut nya dengan sumringah seperti orang yang baru dapat pacar.
“Maksudnya? tanya Pey diiringi muka bingung kami yang memiliki pertanyaan yang sama.
“Pokoknya keren dahhh.... Nanti aja jelasinnya” jawab Anam sambil mesam-mesem.
Tanpa terasa matahari sudah terbit, dan kami pun bersiap melakukan pendakian. Sebelum pendakian dimulai, tak lupa kami berdoa mohon perlindungan dari Yang Kuasa serta pamit pada Emak dan Abah.
“Emak... Kami pamit naik dulu ya, nanti setelah turun kami kesini lagi Mak” kataku,
“Iya Neng... Ati-Ati nyak, Jangan lupa berdoa dijalan ya, biar lancar sampai turun lagi”. Setelah cium tangan kami pun beranjak meninggalkan rumah Emak dan Abah.
Kira-kira pukul 8:00 atau 8:30 pagi saat kami memulai perjalanan. Kami jalan perlahan sembari berbincang dan menikmati pemandangan, tak lupa bertegur sapa dengan para petani yang lalu lalang dijalur yang sama dengan kami.
Sekitar sejam sudah kami berjalan, tapi kami masih di perkebunan warga, maklumlah, jalur yang nanjak terus membuat paru-paru para penghisap si Super kembang kempis.
Karena disini tidak seramai perkebunan yang dibawah jadi kami berniat beristirahat sebentar disini, namun sayup-sayup aku mendengar suara perempuan menangis dari kejauhan.
Tanpa berniat mencari sumber suara, kusenggol Anam dengan memberikan isyarat lanjut dan sepertinya dia paham maksud ku, “Kita jalan lagi nyok, berenti nya diatasan lagi aja” kata nya.
“Eh ada yg nangis ya?” kata Willan tiba-tiba.
“Angin kali...dah buruan lanjut” Kata Ricat berusaha mengalihkan
“Ngak ahh... Suaranya dari sebelah kanan... Eh kiri dehh” katanya sambil celingah-clingung mencari sumber suara.
“Bawel loe, dah buruan jalan” saut Ricat setengah kesel.
‘Yaelahhhh nih bocah... Alamat dah ini mah’ batin ku dengan firasat yang sudah tak enak. Padahal sebelum berangkat, Anam sudah bilang untuk tidak ngomong apa-apa kalau melihat atau mendengar sesuatu, bahkan Okky sempet bercanda
“Ntar saya bisikin ke Mas Anam”, “Ke Mbak Ney aja Mas Okky” timpal Pey dan di iyakan Ricat.
Ricat, Jessy, Anam, Pey dan Okky tahu kalo aku peka dengan hal-hal seperti itu, bahkan terlalu peka. Entah itu sebuah berkah atau sebuah ‘masalah’ aku juga tak tau. Yang jelas, beberapa dari mereka sudah menekan kan pada ku utk tutup mulut kalau aku melihat -
‘Orang dengan pakaian aneh’ atau mendengar apapun. Firsat tak enak ku pun akhirnya menjadi kenyataan.
Setelah Willan mencari sumber suara itu, hal yg tidak menyenangkan pun terjadi pada ku. Memang dia tak langsung menunjukan diri pada ku, tapi dia mengikutiku sepanjang jalan. Terkadang sambil nangis.
Terkadang sambil berbicara dengan riang nya seperti orang yang sedang berbicara dengan teman nya. Terkadang memberikan gambaran tentang hidupnya pada ku seperti sebuah slide film yang terputus-putus.
Fokus ku benar-benar teralihkan silih berganti karena Si Cantik ini “Istirahat dulu donk” pintaku pada teman-temanku. Aku benar-benar kelelahan. Baik fisik dan mental.
Ku ambil air minumku dan menengguknya seperti orang tak minum seharian. Saat minum mata ku tertuju ke Jessy yg sedang asik makan coklat. Ku tutup botol air ku sambil memperhatikan Jessy, lalu kusenggol Anam yg berdiri disebelah ku -
sambil mengisyaratkan untuk lihat kearah Jessy yang duduk tidak jauh didepanku.
Anam yang paham dengan isyaratku memperhatikan Jessy sebentar lalu bilang “Jess, bagi donk coklat nya”. “Nihhhh” jawab Jessy singkat sembari memberikan sepotong coklat buat Anam dan juga memberikan sepotong padaku sambil tersenyum.
Anam menoleh pada ku sambil menggeleng kepala, menandakan dia ragu dengan apa yang dilihatnya pada Jessy. “Cah lanang” Kataku sepelan mungkin agar yang lain tak mendengar sembari tangan ku memberi isyarat kalau anak kecil itu setinggi pinggulku -
“Ngak mungkin ah Mbak Ney” kata Anam sambil berbisik.
Aku cuma mengangkat bahu sambil makan coklat yang diberikan Jessy dan duduk disebelah nya. Ntah mungkin karena masih penasaran atau bagaimana, Anam mencoba meminta coklat lagi ke Jessy “Anam mau lagiii?” tanya Jessy dengan gaya bicara seperti anak kecil -
sembari memotek coklat yang dipegangnya, lalu menyuapinkan nya ke Anam.
Anam yang kaget langsung melihat ke arahku sambil cengar cengir. Saat akan melanjutkan perjalan, Anam yang berdiri dibelangku bertanya padaku. “Kapan?? dari mana? Kok aku ngak engeh ya?”, “Dari kayu yang dia pegang” Jawabku singkat karena -
takut terdengar Okky dan Pey yang berjalan didepanku.
Tanjakan demi tanjakan kami lalu, perjalanan ini terasa lama sekali. Entah hanya aku yang merasa lama atau memang karena jarak post 1(sekarang jadi post 2) yang memang sangat jauh dari starting point kami.
Yang jelas, kami baru sampai post sekitar jam 11.30 siang (Cikuray via Bayongbong waktu itu belum ada post pantau. Perubahan post ini kemungkinan besar terjadi setelah ada pendaki yang hilang beberapa bulan setelah pendakian kami.)
Di post ini kami bertemu dengan para pendaki lain yang sudah tiba lebih dulu. Setelah menegur para pemuda dari group itu, aku duduk di luar gubuk post. Selain karena didalam terlalu penuh orang, aku pun terlalu lelah karena Si Cantik yang menemani perjalananku. -
Walaupun dari jarak yang agak jauh.

Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan perjalanan. Medan yang semakin aduhai pun kami lewati. Dan seperti sebelum nya, fokus ku pada trek pedakian ini silih berganti.
“Mbak Jess... Tunggu” teriak Ricat yang membuat ku tersadar dari slide yang sedang diberikan si cantik. Ku liat Ricat yang ada didepanku sedang berusaha menyusul Jessy yang setengah berlari di tanjakan. Ricat tak tahu menahu tentang anak kecil yang bersama Jesy, -
namun dia sangat yakin ada yang tidak beres dengan kekasih hatinya itu.

Jessy bertubuh kurus dan kecil, dia bisa mengangkat carrier 60L dengan isi full aja sudah amazing sekali, apalagi ditambah dia baru beberapa hari sembuh dari patah kaki.
Jadi melihat Jessy bisa setengah berlari ditanjakan, membuat Ricat semakin yakin ada yang tidak beres dengan Jessy, namun dia tak berani menguntarakan apapun, hanya bisa berusaha mengimbangi langkah Jessy walaupun ngos-ngosan.
“Ayo Ky... Aku pegangin” Kata Jessy pada Okky. Saat itu kami melewati trek yang bagian tanah nya berjarak cukup tinggi, sehingga harus setengah memanjat sembari ditarik dari oleh mereka yang sudah naik duluan.
“Udah minggir hun, kaya kuat aja megangin Mas Okky” celetuk Ricat melihat Jessy aneh.
“Aku kuat kok” sanggah Jessy
“Udah aku aja” sembari menggeser Jessy kesamping dan membungkukan badan untuk menarik tangan Okky.
“Auuuuuu” teriak Okky kesakitan. Tanah yang dijadikan pijakan oleh Okky blurukan menyebabkan dia tergelincir dan cedera pada pergelangan kakinya. Itu kalo dilihat pakai mata telanjang.
“Ngak apa-apa Mas?” tanya Anam
“Ngak Mas, cuma kayanya tadi kaki saya ketekuk, jadi agak sakit”
“Bisa naik ngak Mas? Tak gendong sini” lanjut Anam.
“Wes bentar, ta coba lagi naik sendiri” kata Okky sambil memutar-mutar engsel kakinya.
“Ayo Bang Ricat, coba lagi” kata Okky ke Ricat
“Hayo” jawab ricat bersiap-siap menarik Okky.
Okky sedang mengambil ancang-ancang untuk naik, ku lihat anak kecil itu ingin menarik lagi kaki Okky
“Mas Okky” panggil ku sebelum Okky naik sambil melotot dan menggeleng pelan ke arah anak kecil itu.
“Kenapa Mbak??” tanya nya sambil menengok
“Ngak jadi” jawabku. Setelah Okky naik, aku pun naik dan terakhir Anam. Kami duduk sebentar untuk ngeliat keadaan kaki Okky. Setelah memastikan semua nya aman, kami pun melanjutkan perjalan.
Semakin mendekati post 2 (sekarang post 3 sepertinya) semakin hilang fokusku. Kepalaku semakin berat, ditambah lagi slide Si cantik yang semakin membuatku tambah ingin nangis.
Okky, Anam dn bahkan Pey yang saat itu tak berani melihat mukaku sampai menyanyikan hampir 1 jilid lagu-lagu kemerdekaan agar aku ttp semangat. Mulai dari Satu Nusa Satu Bangsa sampai Indonesia Raya mereka nyanyikan dgn lantang bak paduan suara saat 17 Agustusan di Istana Negara.
Namun sayangnya, aku sudah tak sanggup lagi. Akhirnya kami memutuskan untuk membuat tenda darurat di post 2.
Setelah tenda dibikin dispace yang mepet. Diiringi hujan yang mulai turun, para laki-laki membuat perapian untuk memasak, sedang aku dan para perempuan menghangatkan diri didalam tenda.
Saat menunggu mereka memasak, aku sempat tertidur dan bermimpi.
Didalam mimpiku itu, aku sedang duduk dibangku didalam sebuah gubuk yang bentuknya hampir mirip dengan gubuk yang ada di pos 1.
Saat sedang duduk dan memandang entah kemana, tiba-tiba ada sepasang suami istri -yang sepertinya umurnya sudah lebih tua dari Emak dan Abah yang dibase- yang datang menghampiriku.

Beliau berdua mengucap salam dan bertanya sedang apa aku disini.
Aku katakan kalau aku sedang melakukan pendakian dengan teman-temanku. Dalam mimpiku itu, kami tertawa dan membicarakan banyak hal, namun tak banyak yang dapat kuingat setelah aku bangun. Kalimat yang dapat ku ingat dari pembicaraan itu hanya pesan dari mereka berdua.
Pesan kakek
" Lakukan seperti apa yang sudah diniatkan, jangan pernah berbelok-belok. Kecuali jika niat mu buruk, lebih baik diurungkan".
Pesan nenek
"Semakin keatas semakin banyak halangan. Lanjutkan jika kamu kuat. Berhenti dan berdoalah jika merasa berat. Insyallah neng dan teman-teman dilindungi".
Jessy membangunkanku dan membawakan minuman hangat untukku, “Jess gua minta coklat donk” kataku yang melihat dia asik makan coklat.

“Dah abis bu... Tinggal ini." Sambil cengar cengir dan menunjukan sepotong coklat yang sedang digigtnya.
“Kue coklat pey dah kalo ngak”

“Abis juga bu”

“Etttdahh... Abis semua??”

"Hehhehe iya bu" kata Jessy sambil senyam-senyum
“Laper apa begimane lu? Di tas gua ada sekotak lagi.... Tolong yak ambilin” kataku setengah ketawa setengah terperangah juga.
Sebelum berangkat Aku beli coklat D**E 2 kotak yang isi 3 batang, dan coklat S****r Q***n yang CB 3 batang. Jessy dan Ricat sendiri bawa coklat SQ 3 batang. Pey bawa kue coklat sisa kue ultahnya 1 kotak makan dan entah berapa batang coklat SQ biasa yang dia bawa.
Belum lagi coklat B**B*ng yang dibawa Okky dan Anam.

Jessy masuk lagi sambil membawa coklatku, tapi dengan muka agak cemberut “Nape lu Jess?” tanyaku. Dia menjelaskan dengan singkat dan setengah berbisik tentang kejadian diluar,
namun belum selesai dia bercerita, Paras masuk dengan membawa indomie dan disusul Willan.

Sepertinya hujan diluar tenda semakin deras, beberapa kali rintikan-rintikannya berhasil memasuki tenda.
Jessy meminta Ricat untuk menambal bagian-bagian yang bocor dengan lakban yang kami bawa. Jessy menunjuk dari dalam, sedang Ricat melakbannya dari luar.
Satu persatu bagian-bagian ditambal oleh Ricat, sampai akhirnya Jessy menunjuk satu bagian yang ada dibelakang tenda. Dari dalam tenda aku bisa melihat bayangan Ricat yang sedang berjalan untuk menambal bagian itu, tapi tiba-tiba dia seperti setengah berlari dan
melemparkan lakban kedalam tenda “Tambel dari dalem aja hun.” ujar dia pada Jessy. Jessy yang terlihat sedikit kaget melihat ke arah ku dan tak lama tersenyum sambil membuka gulungan lakban itu.
Sambil menunggu hujan redah dan menunggu kondisi badanku lebih baik, kami merundingkan untuk tetap naik atau turun. Aku yang merasa tidak enak pada mereka, berkata pada mereka jika mereka ingin melanjutkan perjalanan untuk muncak, lanjutkan saja.
Aku akan menunggu mereka disini. Tak masalah bagiku untuk menunggu sendiri disini. Walaupun sebenarnya tak sendirian.
Namun gagasanku langsung ditentang oleh Ricat Anam dan Pey. Ricat dan Jessy lebih memilih turun. Sedang Willan dan Paras tetap ingin melanjutkan perjalanan “Kita bisa barengan sama rombngan yang tadi naik” kata Willan.
Memang benar, beberapa waktu yg lalu ada rombongan pendaki yg kebetulan naik dan turun lewat jalur ini. Jika mengejar rombongan pendaki yg baru saja naik, pasti akan kekejar, namun seperti nya Deni ragu-ragu untk mengikuti rombongan itu karena akhirnya dia jg memilih untuk turun.
“Emang berapa lama lagi Den buat sampai ke pos berikutnya?” tanyaku pada Deni yang ingin keluar tenda

“Kata Andri paling lama setengah jam Mbak” jawabnya sambil keluar tenda.
“Kalo kalian masih mau lanjut ya ngak apa, gue disini aja sendiri” kataku pada Jessy, Willan dan Paras yang ada didalam tenda.
“Tau gini mah tadi aja jalan duluan sama pendaki yang naik barusan” kata Willan sambil melihat keluar tenda tanpa tahu Jessy sedang menatapnya dengan rasa tidak percaya dan kesal.

“Anak-anak udah setuju turun bu... Yang mau naek biarin aja naik sendiri” celetuknya kesal.
Paras yang mungkin merasakan aura kekesalan yang menguasai tenda, memilih untuk keluar tenda tanpa mengucapkan apa-apa (Seingatku). Dan tak lama Willan pun mengikutinya keluar.

“Kalo mau naik ya terserah sih, cuma gue ngak nanggung kalo ada apa-apa diatas” Kataku pada Jessy
“Mang napa bu?"

“Ngak apa... Tapi kalo mau pada turun ya lebih bagus” ucapku pada Jessy
“Empe nyuruh turun bu? Dari tadi dia kaya marah” kaget juga mendengar Jessy berbicara seperti itu, ingin rasanya kutanya saat itu juga dari mana dia tau kalau Kakek-kakek satu ini sedang dalam kodisi bad mood? Namun ku urungkan niatku untuk bertanya dan hanya mengangguk saja.
Bingung ya soal Empe? Empe ini panggilanku untuk salah satu kakek yang menemaniku sejak aku lahir. Jadi menurut mereka yang mengerti tentang ilmu-ilmu spiritual, ada dua sosok yang menjagaku sejak aku kecil.
Namun kebanyakkan orang hanya mampu melihat sosok yang aku panggil si mbah. Sedang sosok si empe ini, hanya terlihat seperti siluet lampu neon saja.
Dan sepanjang ingatanku, hanya abang angkatku dan Devin ponakanku yang bisa melihat sosok Empe ini dengan sempurna.
Tenda telah dirapihkan. Kami semua memilih untuk turun. Saat hendak turun, Jessy terlihat sedang sedikit berargumen dengan Willan perihal kayu yang dijadikan tongkat. Ricat coba menenangkan Jessy, Jessy yang sudah kepalang kesal,
langsung mengambil kayu yang dia pakai saat naik tadi dari Willan dengan sedikit menariknya dan langsung berjalan menghampiriku. “Ayo bu kita jalan” ucapnya dengan raut wajah yang masih kesal. Aku mengikutinya disusul Anam, Pey dan yang lainnya.
Kami melewati lagi trek yang kami lalui saat naik tadi, tapi entah mengapa aku merasa perjalanan turun ini jauh lebih cepat dibandingkan saat kami naik tadi. Bahkan seingatku, kami tidak istirahat sama sekali.
Kami berangkat dari pos 2 sekitar pukul 15:00 dan sampai di pos 1 sekitar pukul 16:00. Dalam perjalanan turun ini pun, si Cantik masih mengikutiku, bedanya kali ini dia hanya diam.
Dipos 1 kami kembali bertemu dengan pendaki yang melewati kami di pos 2. Mereka sedang asik ngobrol sambil menyeruput minuman hangat. Setelah para pria bertegur sapa, kami pun menjalankan aktifitas masing-masing.
Hanya saja kami sedikit terusik dengan cara bicara 2 orang dari kelompok mereka. Sepanjang obrolan mereka, kerap kali aku dengar nama-nama binatang atau kata-kata kasar keluar dari kedua orang itu.
Bukan bermaksud menguping, tapi ya mereka sendiri berbicara dengan suara yang cukup keras, yang membuat siapapun yang ada di pos kecil itu pasti bisa mendengar omongan mereka.
“Mbak Ney, nih kompas nya rusak” kata Anam tiba-tiba

“Rusak gimana??? Orang kompas baru dipake kok” Jawabku bingung.

“Mas Anam salah kiblat lagi Mbak... Tadi pas sholat diteriakin sama bapak-bapak... kayanya si petani” celetuk Okky
“Lahh kok bisa?? Terus gimana??” tanyaku.

“Iya ini gara-gara kompas... karena udah tanggung ya dilanjutin shoatnya” ujar Anam.

“Emang harusnya kiblatnya kemana?” tanyaku dan dijawab Okky dengan menggerakan tangannya menunjukkan arah kiblatnya
“Lahhh ini bener... Ahhh Mas Anam aja kali yang ngak ngerti pake nya....” kataku setelah mengecheck arah Barat dikompas sudah sesuai dengan arah yg ditunjuk Okky dengan tangannya.

“Lahhhh tadi arah Barat nya ngak kesitu... Kearah sana” sanggah Anam sambil menunjuk arah Selatan.
“Tapi ya udahlah.... Ada yang minta disholatin mungkin” lanjutnya tak acuh. Sekilas kulihat lirikan mata Anam tepat mengarah ke tempat dimana si manis berdiri. Entah memang kebetulan, entah memang dia melihat si manis. Cuma dia yang bisa jawab.
Sudah lumayan lama kami dipos 1. Sepertinya hampir semua perbekalan makanan yang kami bawa kami habiskan saat itu agar tas kami lebih ringan. Rasanya hanya tinggal tersisa beberapa renceng kopi saja ditas kami.
Saat hendak membereskan perlengkapan kami untuk melanjutkan perjalanan, Okky berkata “Turunnya nanggung kalo sekarang.... Ntar aja abis magrib”,

“Ngak kemaleman ntar?” kata Pey.
“Ngaklah... Lagian kan headlamp nya jadi bisa kepakai... Sayang kan udah beli” jawab Okky sambil nyengir.

“Iya juga sih...” timpal Ricat sambil tertawa.
Setelah sholat magrib, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Istirahat yang cukup dan perbekalan yang sudah ludes masuk kedalam perut, membuat kondisi kami kembali fit seperti awal lagi.
Sinar-sinar dari headlamp yang kami gunakan menyinari perjalanan turun kami. Karena hujan tadi siang, kondisi jalan sedikit agak licin, beberapa kali aku harus merelakan belakang celanaku berciuman dengan tanah.
Daripada aku terpeleset, mendingan aku berseluncur memelesetkan diri sekalian. Ngak kotor ngak belajar ye kan?

Kami berjalan cukup lama, sampai tiba disebuah turunan lain, yang saat pertama kulihat hanyalah akar yang menjalar.
Namun ketika kulihat lagi, bukanlah akar. Melainkan kaki-kaki yang menjulur dari ‘mereka’ yang sedang duduk selonjoran sambil bersadar di tanah yang atas nya ditumbuhi alang-alang.
Ada yang sedang berbincang, ada yang sedang kipas-kipas, ada yang hanya duduk sambil memandang entah kemana. Jika dilihat dari pakaian dan gaya nya, mereka persis seperti petani yang sedang istirahat setelah bekerja diladang seharian.
Ku kucek-kucek mataku dengan harapan bahwa aku salah lihat. Kuliat lagi... ‘mereka’ masih ada disitu. Kutengok teman-temanku yang sedang bersiap untuk bergiliran menuruni turunan itu, namun mereka terlihat biasa saja.
Hanya jessy yang kulihat agak sedikit ngeri. Tapi aku masih berfikir mungkin ngeri karena licinnya medan, walaupun kuperhatikan langkah nya tepat melangkahi bagian-bagian dimana kaki-kaki itu terjulur.
Lubang yang cukup dalam yang berada ditengah-tengah membuat kami trek terpotong dengan jarak yang lumayan susah untuk dilompati, sehingga kami harus berpegangan pada sesuatu dan berjalan menyamping untuk melewatinya.
Satu persatu dari kami mengikuti Andri secara bergantian sampai tersisa Willan, Aku dan Anam dibelakang.
Willan pun mengikuti gerakan Andri, hanya sayangnya dia pegang dahan yang berbeda dengan yang dipegang Andri dan yang lainnya. Dan itu bukan hanya dahan, melainkan lengan salah satu yang sedang duduk disitu.
Ketika Willan hendak melangkah dengan berpegangan pada itu, entah karena apa tapi tiba-tiba saja dia jatuh. Membuatku sedikit tercekat kaget namun kutahan teriakkanku.

Andri dan Deni membantu Willan berdiri, sedang dahan putus yang dipegang Willan, dibuangnya begitu saja.
Aku diam terperangah melihat nya “ayo Mbak, giliran Mbak” Anam menyadarkanku.
'aduhh.... permisi... cucu numpang lewat mbah’ ucapku dalam hati.

Aku berpegangan pada dahan yang beneran kulihat dahan. Namun tetap saja harus melewati dia, jadi kucoba melihat kebawah, agar mataku tidak bertemu pandang dengan dia.
“Matiin headlamp nya... Babi... Ngerapet ngerapet” teriak Andre tiba-tba setelah sekitar setangah jam kami berjalan. Sontak kami pun semua berjajar merapatkan diri dan setengah bersandar pada undakan tanah yang ada disebelah kanan kami.
Dari kejauhan ada sesuatu yang menyerupai mata berwarna merah. Saat semakin dekat, Andre dengan setengah berbisik meminta kami mengeluarkan pisau atau garpu yang kami bawa. Ditengah kepanikan itu, tiba-tiba handphone Ricat berbunyi.
“Aduhhh siapa ini yang telpon” ucap Ricat dengan panik, bahkan saking paniknya dia sampai lupa cara mematikan hp nya sediri. Alhasil, hanya dibekap spekernya sampai telp itu mati sendiri.
Dengan terburu-buru dia mengeluarkan peralatan makan lipatnya, namun bukannya pisau atau garpu, malah sendok yang dikeluarkannya.

Setelah dirasa cukup kondusif, kami pun kembali melanjutkan perjalan. Kami berjalan sambil menahan tawa karena ulah Ricat tadi.
Turunan demi turunan kami lewati, beberapa kali persimpangan pun kami lewati. Walaupun rasanya simpangan itu sama bentuknya, tapi tak terlalu kupikirkan, karena aku yakin Andri pasti lebih paham.
Andri sebagai guide kami perlahan tapi pasti merasa kelelahan dan merasa kalau ranselnya semakin berat, akhirnya disebuah persimpangan, yang bentuknya hampir mirip saat kami melihat mata tadi, Andri meminta untuk berhenti sebentar.
Di Bagian yg tanahnya agak lebar, Andri terlentang dgn menggunakan carier sebagai penumpu punggungnya. Kulihat dia berbicara dgn Ricat dan Deni, namun aku tak mendengar apa yg dibicarakan mereka. Sedang yg lain bersandar pd tanah yg seperti dinding dengan alang-alang diatasnya.
Jalur ini masih merupakan jalur turunan. Jalan setapak. Disebelah kanan adalah tanah padat seperti dinding setinggi 1 meteran dengan alang-alang yang tumbuh diatasnya. Sedangkan sebelah kiri, bisa dikatakan jurang jika menurut kalian itu jurang,
namun yang jelas jarak antara tempat kami berdiri sampai ketanah dibawah kami sekitar 10 sampai 15 meter. Dan sepertinya itu bekas lahan pertanian yang dipakai warga, karena banyak sayuran mati berserakan dibawahnya. Agak turun sedikit dari tempat kami bersandar,
yang menjadi tempat Andri duduk, merupakan pertigaan buntu. Tanah yang agak lebar disebelah kiri dan jalan setapak kearah kanan yang mengarah ke sebuah bagunan bekas gubuk dengan tenda warna biru.
“Bentar yak... Jalan gua kayanya disilang-silang” Kata Andre.

Kami yang mendengar hanya bisa menunggu Andre sambil bersandar. Sekalian istirahat. Kudengar Okky, Anam dan Pey berbicara, namun aku tak memperhatikan apa yang dibicarakan oleh mereka.
Dibagian yang agak bawah, kulihat Ricat yang sedang menarik tas Jessy dan setengah menariknya untuk berdiri tepat ditengah pertigaan, tempat dimana sekarang Andri sedang berdiri. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak tahu.
Sambil menunggu, aku melihat sekelilingku. Kukira si cantik ini sudah tak mengikutiku, karena tak lagi kudengar tangisan atau rengekkannya. Ternyata dia sedang berjongkok diatas kami.
Kubuang pandanganku kearah lain, kulihat Andri, Ricat dan Jessy yang berdiri bersebelahan. Didepan mereka ada 2 orang ibu-ibu berpakaian petani. Yg satu agak muda, sdg menggendong seorang anak disebelah kirinya. Yg satu lagi sedang memegang bakul dgn gemblokan kain yg terikan -
dibelakangnya.

Dari tempatku melihat, mereka seperti sedang berbicara dengan kedua ibu ini 'Ohhh dia nanya jalan kali’ batinku. Terbukti selang beberapa detik Andri memberikan instruksi “Hayooo jalan”, ibu-ibu itu pun seperti hendak berjalan kearah kami.
‘Itu ibu-ibu pada lewat mana ya? Rasaan gw kaga miringin badan’ batin ku.

Seperti yang aku gambarkan sebelum nya, jalan ini jalan setapak yang sebelah kirinya jurang atau lubang dalam, jadi jika dua orang lewat dari arah yang berlawanan, pasti harus saling memiringkan badan.
Sedang aku tak merasa pernah memiringkan badanku. Dan pertigaaan itu, pertigaan buntu. Jadi tak mungkin juga kedua ibu itu kesana. Ahh sudahlah... aku tak ingin ambil pusing lagi. Kukembalikan fokusku kejalan setapak agar dapat mengimbangi langkah teman-temanku.
Sepertinya Andri sudah mendapatkan kembali fokusnya, karena perjalanan kami menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Bahkan sampai ada jarak yang lumayan jauh antara kami.

“Tunggu.... tunggu” teriak Deni dibelakang ku.
“Berenti dulu.... Ngerapet... Ngerapet... Tunggu yang lain” ujar Andri. Dibagian depan ada Andri, Jessy, Ricat, Willan, Paras, dan aku. Dibelakan agak jauh dari tempatku berdiri, ada Anam, Okky, Pey dan Deni.

“Kenapa Den” tanya Pey.

“Headlampnya mati, gua kaga keliatan jalan”
“Coba liat” ujar pey memberikan senter pada Deni dan membuka tempat battre headlamp Deni, mencoba mengganti battrenya.
Saat Pey sedang mencoba mengganti battre, Okky menunggu mereka dengan jarak beberapa langkah didepan. Okky mendengar sebuah suara. Suara itu terdengar seperti suara nafas yang berat, tak hanya sekali didengarnya. Bulu kudu Okky meremang dan membuatnya ingin buru-buru pergi.
"Den... senterin dong” Pey tak sengaja menjatuhkan battrenya. Pey membungkuk untuk mencarinya. Namun saat kepalanya tepat diantara kedua kakinya, dilihatnya kuntilanak sedang terbang sambil menyeringai kearah mereka,
seolah-olah sedang mengejar mereka “Hayoo lanjut buruannnnnnn” Pey setengah mendesak untuk langsung beranjak dari situ.
Disaat yang bersamaan dengan kejadian itu, aku yang sedang menunggu mereka, melihat-lihat kesekelilingku. Pandanganku berhenti saat sinar headlampku melihat ada seorang bapak-bapak. Bapak itu menggunakan baju kemeja putih yang dikancingkan sampai kekerah,
rambutnya yang berwarna hitam dan abu-abu itu disisir rapih kebelakang, dan dia memegang sepedah ontel disebelah kanannya. Dia tersenyum padaku, dan aku pun tersenyum padanya.
“Mas... Kita Alfatihaan yuk” ujar Okky pada Anam mengalihkan perhatiannku. Tak lama Andre meminta kami untuk melanjutkan perjalanan lagi.
Sambil berjalan, pikiranku terus saja melayang ke bapak yang baru saja kutemui ‘bapak-bapak dikebon kopi, bawa sepedah ontel, ngak bawa senter? Keren jugaa’ batinku. Entah itu beneran bapak-bapak atau itu sama seperti ‘mereka’ yang duduk di turunan sebelumnya.
Ah sudahlah. Tak kupusingkan lagi. Toh sudah lewat ini kebun kopi yang lebih mirip hutan itu. Dan sudah terlihat perumahan penduduk.
“Weee Hunnnn” ucap Ricat kaget karena Jessy tiba-tiba saja menjadi lemas. Kulihat Jessy sudah membuang tongkatnya.
Dia membuangnya ditempat dimana dia mengambilnya. Kulihat sekitarnya, tak jauh dari tempat itu, ada beberapa makam. Sepertinya makam keluarga milik penduduk setempat.
Jessy dipapah Ricat selama sisa perjalanan itu, yang untung nya sudah tidak jauh lagi.
Jam 10 lebih sedikit kami sampai ditempat Emak dan Abah lagi. Emak dan Abah yang melihat kondisi Jessy, meminta kami untuk membawa Jessy kebagian dalam warung. Yang baru kami tau, ternyata Disitulah Emak dan Abah biasa tidur.
Abah menggelar tiker dan menaruh bantal agar Jessy bisa tidur, Emak mengambilkan selimut untuk menyelimuti Jessy. Ricat memijat kaki Jessy sambil menanyakan kondisi pujaan hatinya itu.
Tiba-tiba aku teringat sapu tangan yang selama ini ku bawa. Sapu tangan itu, sapu tangan yang diberikan oleh abang angkatku. Sapu tangan hitam dengan bordiran namaku dan berbordirkan berbagai Asmaul Husna.
Sapu tangan yang selalu kubawa setiap kali aku berpergian jauh. Ku ambil sapu tangan itu, dan menaruhnya dibawa bantal Jessy. “Jaga-jaga aja, takut ada yang lain yang kececer” ucapku pada Jessy.
Jessy tersenyum sambil menunjuk ke arahku, “Udah pergi” kataku. Sepertinya Jessy melihat saat Si Manis ini memelukku dan tiba-tiba menghilang, tapi aku tak yakin. Sementara Ricat sedang berbicara dengan Emak, Abah melihat ku dengan senyum yang tak ku pahami dan beranjak keluar.
Saat itu baru ku tanya ke Jessy. Dia juga melihat si Manis sepanjang jalan, tapi tak bisa mendekat padaku. Menurut Jessy, ada beberapa kali dia mencoba untuk masuk, namun dihalangin Empe. Itulah sebabnya mukaku selalu berubah tiba-tiba menjadi merah.
Jessy sendiri ternyata tidak melihat si Empe, dia hanya tau kalau itu si empe, berdasarkan beberapa kejadian yang pernah kami alami. Jadi dia hanya mengamati muka ku dan gaya bicaraku. Cuma saat dia bilang si cantik memelukku saja, sudah cukup meninggalkan pertanyaan dikepalaku
‘Kenapa jadi peka begini ini anak’.

Kami menceritakan tentang pendakian kami pada Abah. Sampai akhirnya malam pun semakin larut, satu persatu teman-temanku akhirnya beristirahat. Emak pun pamit untuk tidur.
Ricat masih menemani Jessy. Dan aku, masih asik ngobrol dengan abah. Abah bilang pada ku “Rombongan kalian disayang sama yang diatas... Jarang ada pendaki yang bisa liat..... (sejenis macan tapi bermata 3, saya lupa Abah menyebutnya apa)”.
Jadi ternyata, mata merah yang kami kira itu babi hutan ternyata bukanlah babi hutan. Dan anehnya hanya beberapa orang dari kami yang melihat kalau matanya itu ada tiga, yang lain melihatnya tetap dua.

“Memang itu apa bah?” tanyaku
“Disini, itu dipercaya sebagai leluhur yang ada diatas gunung dan ngak semua orang bisa ngeliat itu... berarti kalian disayang sama mereka.... Cuma ada 1 yg mereka ngak suka” Jelasnya.

“Siapa bah?” tanyaku. Namun Abah tak mau menjawab pertanyaanku.
Beliau malah mengalihkan pertanyaanku.

“Berapa banyak salam yang kamu ucapin?” tanya nya

“Maksudnya bah?” tanyaku tak mengerti.
“Kamu pas nyampe disini permisinya sama siapa aja? Ngucap salamnya kesiapa aja selain ke prabu?” tanyanya. Jujur aja, aku sedikit terkejut Abah bertanya seperti itu, darimana dia tau?
“Prabu Siliwangi, Kian Santang, Pangeran Papak dan Wali Allah lainnya yang ada di garut bah” Memang saat tiba di garut, saat berjalan ke pombensin, aku menyempatkan diri untuk mengucapkan salam dan mengirimkan Alfatiha untuk mereka, seperti yang selalu diajarkan oleh Alm. Papa.
“Kenapa bisa sampai mikir kesana?”

“Diajarkan papa saya bah... Papa dulu pernah bilang, setiap wilayah pasti ada yang menjaga nya. Jadi hal yang pertama harus dikulonuwunin ya yang jaga wilayah... Maka nya sekarang jadi kebiasaan bah”
“Pantes disayang” kata abah sambil ketawa lepas. Obrolan kami terhenti saat Emak memanggil Abah untuk istirahat. Akhirnya akupun kembali ketempat teman-temanku tidur.
Mentari sudah hampir sampai di tempat teratas saat kubuka mata ini. 10:45 pagi. Ingin rasanya kupejamkan mata ini lagi, hanya saja aku malu pada kokok ayam nya Abah yg sedang asik mematuki tanah dihalaman. Akhirnya kupaksakan utk duduk, kulihat teman²ku sudah pada asik diwarung.
Dengan mata masih merem melek ku hampiri mereka “Nenggg... kopi na hiji” ujar ku pada Jessy yang sedang membantu Emak menggoreng tempe dan sudah terlihat lebih baik.
“Minum aer dulu sonooo... langsung ngopi” kata Jessy. Aku hanya menjulurkan tangan ku sambil meringkuk di bangku depan pintu warung.

“Hunnnn ambilin dulu itu air putih” ujar Ricat.
“Emang nehhh Mas Anam bukannya diambilin aer dulu itu” oper Ricat ke Anam. Tapi akhirnya Pey yang memberikan botol air padaku. Sayang kan temen-temenku padaku hahahaha.
Kopi dan gorengan sudah siap disantap. Dan barang-barang pun sudah kami rapihkan. Kami sudah siap untuk pulang ke Jakarta. Saat yang lain sibuk foto-foto, Aku, Jessy, Ricat, Paras ada di warung masih asik ngobrol dengan Emak.
Emak bilang pada kami kalau jarang sekali Abah mau ngobrol dengan rombongan pendaki. Apalagi sampai ketawa ngakak dan bergadang seperti semalam. Emak pun bilang kalau rombongan kami disayang, hanya saja ada satu yang tidak disukai oleh ‘mereka’ yang diatas.
Ketika kami tanya siapa orang nya, emak langsung menunjuk salah satu dari teman kami. Tak perlulah kusebutkan siapa. Cukup kami yang tahu, dan cukup dengan kata ‘untunglah bukan gue’ didalam hati.
Kulihat Abah jalan mendekat ke arah warung, “ngopi ta bah?” tanyaku.
“Teh manis anget aja neng” ujar abah. Kulirik Jessy “Neng, teh manis nya aya ente??” sambil cengar cengir. Jessy melayangkan tinju seolah ingin memukulku, tapi dibikinkannya juga teh manis untuk Abah.
“Bah... memangnya diatas ada kuburan ya bah?” tanyaku pada Abah.

“Iya ada neng” jawab Abah.

“Ohhh pantesan...”.

“Emang kenapa bu?” tanya Jessy.
“Semalem Mas Anam ngelindur.... Ya saya bangunin... Takut ada apa-apa... Ngak lama Mas Anam saya bangunin, si Willan juga ngelindur tapi tangannya kaya orang maen pencak silat...”

“Mas Anam mang sama Willan kenapa bu?”
“Si Mas Anam ngimpi diatas ada 5 kuburan berjejer, terus dia baca doa kaya orang lagi ziarah aja.... Kalo si Willan kaga tau dah... Cuma gua bangunin doank... Males nanya-nanya” Lanjutku dan diakhiri dengan cengiran kuda.
“Iya diatas ada kuburan neng... tapi misah-misah... Ngak berjajar 5.... di deket pos berapa itu ada makam suami istri... Di post lainnya sama dipuncak juga ada” lanjut Abah.
‘Apa jangan-jangan itu kakek nenek yang ada di ngimpi gua ya’ batinku saat Abah bilang ada makam suami istri di atas sana. Ahhh tapi ya sudahlah... Yang perlu ku ingat hanya pesan dari mereka saja.
Pesan yang diberikan dalam canda dan tawa singkat dimimpiku. Tentang siapa dan apa mereka tak jadi masalah untukku.
"Ahh sama itu bah... Emang diatas ada air terjun bah?" Tanyaku lagi. Namun kali ini Abah hanya tersenyum saja dan berjalan menjauh dari warung tanpa menjawab pertanyaanku.

"Air terjun apaan bu?" tanya Jessy saat kami berpandangan, bingung dengan arti senyum Abah.
"Di salah satu slide yang dikasih liat itu cewek ada air terjun nya." Kataku yang hanya bisa memandang keluar halaman.
Akhirnya pick-up up yang menjemput kami untuk keterminal pun datang. Tiba waktunya kami untuk pulang ke Jakarta berpamitan dengan Abah dan Emak. Ahhh betapa besar rasa terimakasihku pada Emak dan Abah atas semua keramahan dan perhatian mereka selama kami disini.
Beberapa hari kemudian setelah pulang, kami kumpul kembali di tempat Anam dan Pey. Disitu salah seorang temanku, yg tidak ikut pendakian juga datang.
Okky menunjukkan sebuah foto padaku “Ini bukan yg Mbak Ney liat?”, “I..iya Mas” Aku agak sedikit terkejut Okky bisa punya foto itu
Kami pun menceritakan kembali cerita kejadian itu. Suara menangis yang kami semua dengar kecuali Okky, Slide-slide yang ditunjukan si manis, termasuk kepanikan Ricat saat Hpnya tiba-tiba nyalah.
Saat Andri bilang kalau jalurnya kaya disilang-silang, disitu aku melihat Ricat menarik tas Jessy, ternyata kata Ricat dia liat anak kecil yang sedang menarik-narik tongkat Jessy untuk mengikutinya.
Diwaktu yang bersamaan, pey bertemu dengan 2 orang pendaki yang nyasar (posisi dia waktu itu memang yang paling belakang), Saat ingin diajak untuk turun bareng, pendaki itu diam saja dan terus jalan.
Sedangkan dua orang ibu-ibu itu, yg melihat bukan cuma aku, hanya saja versi penglihatan kami berbeda. Aku dan Okky melihatnya seperti ibu-ibu petani seperti yg kami lihat saat berangkat, Jessy melihatnya salah satu dari ibu-ibu itu berwajah berantakkan,
sedang Anam hanya melihat siluet.
Lalu yg pada trek berakar, yg kulihat seperti petani yg sedang istirahat, Jessy hanya melihat potongan kaki dan tangan, sedang Anam hanya melihat kilatan-kilatan saja. Sedangkan kenapa Ricat tiba-tiba melempar lakban saat nambal tenda,
itu karena dia melihat 2 pohon yang ada disitu berubah jadi gapura.
Kami menceritakan semua kejadian dari awal sampai akhir, termasuk tentang sapu tangan yang kutaruh dibawah bantal Jessy. “Kenapa ya bisa sampe kaya gitu” tanya Anam.

“Ya semua itu gara-gara ada yang bawa jimat” kata temenku itu.
“Maksudnya gimana mas?” tanya anam lagi

“Yaa... Itu Mbak Ney bawa apa?” tanyanya padaku.

“Sapu tangan” Jawabku bingung

“Lah iya... Itu Sapu tangan nya jimatnya” ujarnya membuat ku tak percaya.
“Hahhhh??? Ngak salah Mas?? Saya ngak pernah anggap itu sebagai jimat loh... Cuma sapu tangan biasa”

“Lah itukan Mbak Ney yang beranggapan.... Tapi kan berbeda dengan mereka yang halus” ujar temanku itu.
Teman-temaku yang lain masih bercerita tentang kejadian di Cikuray, tapi aku malah jadi kepikiran dengan ucapan temanku itu. Jujurnya, malah agak tersinggung karena nya. Bukan gimana-gimana, ya mungkin memang untuk sebagaian orang itu terlihat seperti jimat.
Tapi aku sendiri tidak pernah menganggapnya sebagai jimat, aku hanya menganggap itu hanya sebuah sapu tangan yang bersulamkan namaku dan yang berhiaskan Asmaul Husna disudut-sudutnya.
Lagipula, jika dikatakan ‘kesialan’ ini atau ‘mereka’ tidak suka karena sapu tangan yang aku bawa, apakah mungkin mereka akan bercanda denganku dimimpiku dan si bapak bersepedah ontel itu akan tersenyum manis padaku? Dan lagipula lagi,
sejak kapan Asmaul Husna dapat membawa ‘kesialan’ seperti ini? Ahhh sudahlah... Kuserahkan pada kalian saja para pembaca.

-END-
Terimakasih untuk semua teman-teman semua.. Yang sudah mendaki bersama saya dan yang sudah membaca cerita ku ini....

Terimakasih juga untuk Emak dan Abah... Semoaga kalian senantiasa dalam lindunganNya
Sekian cerita dari mbak @NesiaFitri .
Jumpa lagi di cerita seram lainnya.

Saya kalong, undur diri.

NEXT STORY
"PESUGIHAN SATE GAGAK"

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Apr 25
Sebuah kisah tentang ISTRI yang melakukan pernikahan gaib dengan IBLIS demi KETURUNAN !!!

A Thread Horror
"SANG PENGANTIN IBLIS"

#bacahorror @asupanhororrr @IDN_Horor @bacahorror #pengantiniblis Image
September 1999

"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."

Malam itu, suara langkah Kinanti terdengar mantap ketika menapaki jalanan tanah kering. Wajahnya terlihat datar, matanya menyorot penuh keberanian.
Ia terus saja berjalan menyusuri jalanan, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah rumah tak berpenghuni.

Hening dan gelap suasana di dalam rumah itu, membuat kesan seram begitu terasa. Namun hal itu tak membuat tekadnya goyah.
Read 53 tweets
Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(