kalong Profile picture
Mar 17, 2021 656 tweets >60 min read Read on X
A THREAD

TEREKAN "KEDUNG JANIN"

#bacahorror #bacahoror #threadhorror @bacahorror Image
Assalamu'alaikum
Selamat malam.

Cerita selanjutnya yang akan saya bagikan dengan judul TEREKAN "KEDUNG JANIN" di tulis oleh, mas Masrulloh Faqih (Fb). Yang tentunya sudah mendapatkan ijin dari beliau untuk saya bagikan.

Bagaimana ceritanya?
Jangan lupa RT dan like.
TEREKAN "KEDUNG JANIN"
#NYATA

"Karepe Bapakmu ki apik, Nduk. Iku yo kanggo keslametane awakmu sak keluarga."(Keinginan Bapakmu itu baik, Nduk. Itu juga buat keselamatan dirimu dan keluarga.)
Mbok Ngah, dengan suara lembut, mencoba memberi pengertian pada Warni. Anak perempuannya yang baru saja membeli sebuah rumah, bersama Rahmad, suaminya.
Meski tersirat kekecewaan, ia masih berusaha tenang menghadapi watak keras Warni, yang menolak untuk membuat syukuran atas rumah baru dan sekaligus kehamilan pertamanya, setelah 4 tahun menikah.
"Ojo kolot nemen, Mak. Iki wes jaman modern. Wes gak ono acara-acara ngunu iku. Aku tetep wegah gawe Syukuran."(Jangan kuno banget, Mak. Ini sudah jaman modern. Sudah gak ada acara-acara seperti itu. Aku tetap gak mau Syukuran.)
Warni masih tetap ngotot untuk tidak membuat acara apapun. Meski berkali-kali Mbok Ngah, merayu dengan suara lembut meyakinkan, mengingatkan, akan adat ketimuran yang masih terjaga kuat dalam keluarganya. Tapi Warni, bersikukuh pada pendiriannya.
"Sepincuk sego gurih, opo sego campur kulupan ae, mbok paringke tonggo-tonggo anyarmu gak opo-opo, War. Karangane awakmu iki urep manggon ono Deso."(Sepincuk nasi gurih, apa nasi campur kulupan saja, kamu berikan tetangga-tetangga barumu gak apa-apa, War. -
- Karena kamu itu hidup bertempat di Desa.)

Kali ini, Pak Kasdi. Suami Mbok Ngah juga bapak Warni, ikut andil dan bicara. Ia baru saja muncul dari belakang bersama Rahmad, suami Warni.
Namun, lagi-lagi ucapannya pun tak mampu menggoyahkan tameng baja kengeyelan Warni. Ia masih terus berpegang pada prinsip dan keyakinannya, bahwa logika dan nyata adalah segalanya.
Warni tak percaya dengan ritual apapun. Entah dari adat istiadat, tradisi, maupun dari ke Agamaan. Terlebih, jika menyangkut hal-hal berbau mistis, ghaib, Warni sangat-sangat mengingkari.
Hal itu terjadi semenjak Warni menempuh pendidikan tinggi dari sebuah Universitas tak begitu besar di sebuah kota. Walau tak semua, atau mungkin hanya beberapa saja Alumni dari Univ tersebut, beranggapan sama dengan Warni. Tapi banyak yang menduga,
jika Warni sedikit banyak terdoktrin oleh pergaulannya selama kuliah di Kampus itu.
Mbok Ngah dan Pak Kasdi yang menyadari dengan perubahan tabiat Warni, sempat berharap setelah menikah anak perempuan sulungnya itu bisa berubah seperti dulu, patuh serta tau sopan santun. Tapi sayang, kini Warni malah terkesan lebih sadis dan keras kepala.
Bahkan terhadap Rahmad suaminya sendiri, sikapnya tak jauh beda.

Sore itu, berdebatan alot antara Warni dan kedua orang tuanya, berakhir kemenangan untuk Warni. Pak Kasdi dan Mbok Ngah menyerah. Mereka tak kuasa mendengar ucapan-ucapan kasar Warni.
Hingga akhirnya memilih untuk mengalah dan pulang dengan kekecewaan mendalam.

"Dek, apa gak sebaiknya sekali ini kita ikuti saran Bapak dan Ibu?" ucap Rahmad setelah kepergian mertuanya.

"Halah, Mas. Kok kamu malah ikut-ikutan," jawab Warni ketus.
"Bukan begitu, Dek. Tadi Aku sempat ngecek tanah dan rumah ini sampai belakang. Dan Bapak mengatakan kalau pekarangan belakang paling ujung, ngeres." Rahmad kembali menjelaskan. Berharap Warni bisa berubah pikiran.
Tapi, bukan sebuah jawaban mengenakan hati di terimanya. Melainkan ejekan dan ledekan sengit yang keluar dari mulut Warni.

"Yang ngeres tu pikiran halumu dan Bapak, Mas. Aku tetap tidak akan mengadakan acara apapun. Buang-buang duit aja."
Lagi-lagi Rahmad hanya bisa terdiam. Mengalah adalah satu-satunya cara baginya menghindari keributan dengan Warni. Sebab sudah empat tahun dirinya berumah tangga, tak sekali pun bisa menentang jika Warni sudah bersikap batu.
Dan akhirnya, sejak detik itu, hari itu, di mulainya kehidupan baru Rahmad bersama Warni dalam kemandirian atau di rumah sendiri. Menjadi titik awal sebuah tragedi memilukan juga menakutkan bagi seluruh warga kampung, khususnya tetangga-tetangga terdekat Warni.

***
Hari demi hari di lalui Rahmad dan Warni seperti biasa, normal layaknya orang lain. Meski dalam beberapa hal, khususnya cara bermasyarakat, keduanya sering menjadi gunjingan warga, terutama sikap Warni.
Namun bagi Warni sendiri, bukanlah satu perkara penting untuk mengganggu aktivitasnya.

Kehidupannya memang lebih mapan di banding tetangga-tetangga terdekatnya, membuat matanya semakin memandang sebelah, kepada mereka-mereka yang tak menyukainya.
Memasuki bulan ke dua, bertepatan dengan usia kandungannya yang ke enam, Warni mengajukan cuti dari tempatnya bekerja. Menghabiskan waktu hanya di dalam dan sekitaran rumah tanpa mau bersosialisasi.
Warni sendiri sangat menyayangi janin dalam rahimnya. Semua yang ia inginkan seperti umumnya wanita hamil untuk menyenangkan calon bayi, selalu terpenuhi. Tapi satu hal Warni lupakan, jika dirinya hidup dalam lingkup sebuah kampung.
Di mana, adat istiadat dan pantangan, khususnya wanita hamil masih di jaga erat.
Seperti halnya sore itu. Entah terdorong oleh apa, tiba-tiba saja Warni punya keinginan untuk berjalan-jalan ke belakang rumah. Mengabaikan waktu surup yang di pantang umumnya warga, tapi tidak baginya.
Tak ada apapun saat ia sampai di pekarangan belakang. Hanya hamparan lahan kosong miliknya, berbatasan langsung dengan rumpunan bambu-rambu bergerumbul milik warga sekitar.
Nyanyian lirih dari bibir Warni mengiringi langkahnya, mengitari sungai kecil sebagai ambang batas, sekaligus di gunakan jalan air dari dapur dan sumur tempatnya juga tetangga kanan kiri.
Suara serangga kecil menjadi teman bagi Warni saat itu. Sebelum satu sosok lelaki tua bercaping khas petani, datang dari pekarangan sisi kanan menghampiri dirinya.
Ada kesan heran dari raut wajah lelaki tua itu. Ketika melihat Warni berjalan sedirian di waktu petang dengan kondisi perut membuncit. Apalagi, tempat yang tengah Warni kitari, adalah sebuah tempat di yakini paling wingit di antara tempat-tempat sebelahnya.
"Kok wani men, Nduk. Awakmu mlaku mrene surup-surup? po meneh lagek mbobot ngono."(Kok berani sekali, Nduk. Kamu berjalan ke sini di waktu petang? apalagi sedang hamil.)

Tak ada sahutan. Warni hanya terdiam, menatap sinis lelaki tua yang ada di hadapannya.
"Pekaranganmu iki ora keno go sembrono. Akeh barang aluse seng manggon ndok kunu awet jaman biyen."(Pekaranganmu ini gak bisa untuk sembarangan. Banyak barang halus yang menempati di situ dari jaman dulu.) sambung lelaki tua itu, masih berusaha memberi penjelasan pada Warni.
"Barang alus opo, Mbah? wong gak ono opo-opo ngene kok. Takhayyul iku, Mbah." (Barang halus apa, Mbah. Orang gak ada apa-apa gini kok. Takhayyul itu, Mbah.)
Terperanjat lelaki tua itu mendengar ucapan Warni. Tak menduga bila wanita cantik di depannya begitu entang berucap, tak mempercayai dengan hal-hal Ghaib.
"Ojo tok sepelekne, Nduk. iso dadi memolo. Lelembut kui ono, masio ra iso di delok nek ora pas kebeneran opo nganggo moto njero." (Jangan kamu remehkan, Nduk. Bisa jadi malapetaka. Lelembut itu ada, walau tak bisa di lihat jika tidak pas kebetulan atau memakai mata bathin.)
Lelaki tua itu, masih berusaha sabar. Mengingatkan kembali dengan suara pelan.

Sayang, tanggapan Warni tidak berubah. Ia tetap mencibir dan tak percaya tentang semua ucapan Mbah Sarji, lelaki yang di sepuhkan kampung Waru, tempat Warni tinggal.
Beberapa saat kemudian, Warni berlalu dengan gumaman tak jelas. Melangkah pelan namun tak melewati jalan awal ia masuk. Ada siratan aneh dari pancaran mata Mbah Sarji, melihat Warni memilih melompati sungai kecil dari pada melalui jembatan papan pendek yang pertama di lewatinya.
"Astaga! kemendel tenan. Ra nduwe adab! pantangan opo wae wani nglanggar,"(Astaga! terlalu berani benar. Tak punya adab! larangan apapun berani melanggar,) gumam Mbah Sarji sambil mengelus dadanya.
Hari semakin petang. Semribit angin mulai terasa dingin menerpa kulit hitam Mbah Sarji. Ia masih berdiri terpaku, menatap punggung Warni, yang tak lama menghilang di balik tembok dapur.
Antara sengaja dan tidak, tetiba saja mata Mbah Sarji mengarah pada lahan kosong di depannya. Terlihat wajar, terang tanpa tumbuhan apapun. Tapi justru karena itu, sedikit demi sedikit membuat bulu-bulu halusnya meremang.
Tak mau berlama-lama dengan keadaan dan hawa semakin tak enak, Mbah Sarji buru-buru berjalan mendekati Cangkul yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Sepintas Mbah Sarji melirik ke arah lahan kosong milik Warni. Ingin memastikan pendengaranya, yang tiba-tiba tersusupi suara lirih tengah bernyanyi. Mendendangkan sebuah lagu khas, sering ia dengar untuk menenangkan tangisan anak-anak.
Namun, mata Mbah Sarji tak menangkap sosok apapun, siapapun. Padahal suara itu, nyanyian itu, masih jelas terdengar mendayu telinganya.
"Mugo-mugo koe sak bayimu slamet, Nduk," (Moga-moga kamu dan bayimu selamat, Nduk,) ucap Mbah Sarji lirih seraya melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
"Lembur kamu, Mas?" tanya Warni, melihat Rahmad yang baru pulang dan berdiri di depan pintu kamar.

Aneh. Biasanya Rahmad akan langsung menyahut ucapan Warni. Tapi kali ini, Rahmad hanya terdiam di depan pintu tak menjawab. Seperti ada sesuatu yang menahan langkah dan lidahnya.
"Mas!"
Lagi, kali ini lebih keras dan ketus suara Warni. Membuat Rahmad sebentar tersadar dan tergagap.
"I_iya, Dek. Lembur," sahut Rahmad terbata.

Meski kaki Rahmad akhirnya mengayun masuk ke dalam kamar, tapi dari wajahnya masih menyiratkan sesuatu yang berbeda.
Apalagi, ketika dirinya begitu dekat dengan Warni, rautnya semakin menggurat rasa heran dan menahan satu keganjilan.
"Dek, kamu pakai parfum apa, to?" tanya Rahmad, penasaran dengan bau wangi nan lembut tercium semerbak sedari awal ia masuk.

"Parfum? Aku gak pakai parfum apa-apa. Memangnya, Mas, mencium bau apa?" jawab Warni dan berganti melempar pertanyaan.
"Ohh, Mas kira...." Rahmad menghentikan ucapannya. Ia tersadar jika sampai di teruskan bakal menjadi sebuah perdebatan. Sebab, bau wangi yang tercium oleh hidungnya, adalah bau wangi bunga Kamboja.
"Halah, kamu ini Mas. Paling berhalu lagi," sahut Warni dengan expresi mencibir, seolah tau yang ada di pikiran suaminya.
Rahmad yang tengah membereskan tas kerjanya, mengacuhkan ucapan Warni. Ia tak mau tubuh lelahnya bertambah beban dengan sebuah pertengkaran. Walau dalam hati ia masih memikirkan wangi bunga Kamboja, yang semakin tajam tercium.
Sebentar, jam 23.00 saya lanjut
Lama dan terus saja bau itu mengganggu penciuman Rahmad. Sampai akhirnya menghilang ketika ia membaringkan tubuh dan beristirahat.

Satu hal yang menjadi kebiasaan Rahmad. Ia selalu terbangun ketika malam merangkak dini hari.
Seperti juga malam itu, Rahmad terjaga dari indahnya buaian mimpi.
Sebentar Rahmad mengumpulkan kesadarannya. Kemudian melirik ke arah Warni yang masih pulas terpejam di sampingnya. Lalu mengalihkan pandangan pada jam dinding bulat tertempel di atas pintu kamarnya.
Pukul satu lebih Rahmad melihat waktu saat itu. Tak beda jauh dengan waktu-waktu saat ia terbangun di malam sebelumnya. Namun entah mengapa, malam itu ia seperti enggan turun dari ranjang. Seolah ada sesuatu yang menahan tubuhnya beranjak dari kamar.
Tapi demi hajad yang tak tertahankan lagi, Rahmad terpaksa bangkit dan melangkah menuju kamar mandi.
Sunyi dan hening, di rasa Rahmad saat itu. Hanya suara serangga kecil dari luar dan gebyuran air di tumpahkannya dari gayung, mewarnai akhir hajad rutinnya. Tapi setelahnya, di saat dirinya akan kembali ke kamar, satu kejanggalan ia temukan.
Rahmad terkejut, kaget, dan tertegun. Tersisip rasa curiga melihat pintu dapur yang menghubungkan langsung dengan pekarangan belakang terbuka lebar. Matanya spontan mengedar ke sekeliling dapur dan ruang makan. Mencari-cari satu sangkaan yang membersit dalam benak, -
- jika seseorang telah masuk rumahnya tanpa ijin.
Akan tetapi, setelah beberapa saat Rahmad mencari dan tak menemukan tanda-tanda apapun, ia melangkah mendekati pintu berniat menutupnya kembali. Namun, baru saja tangannya menyentuh hendak menarik gagang kayu yang menempel sebagai handle,
sapuan angin dingin berbau wangi Kamboja menerpa tubuh dan wajahnya.
Seketika Rahmad terperanjat, merinding, mengingat bau wangi itu sedari sore sudah mengganjal pikirannya. Cepat tangan Rahmad menarik gagang dalam genggaman dengan kuat. Mencoba menutup kembali dan menghindari tiupan angin yang membawa wangi kembang Kamboja.
Tapi sayang, sekuat tenaga ia keluarkan, berusaha dan mencoba berkali-kali, daun pintu itu tak sedikit pun bergeser maju. Seperti tertahan sesuatu yang berat di belakangnya.
Rahmad terdiam sebentar, bingung dan mulai tersusupi rasa takut oleh kenyataan tak masuk akal di depannya. Sesaat berpikir, Rahmad pun berjalan keluar untuk melihat apa yang sudah menahan pintu tertutup.
Lagi-lagi, Rahmad di buat tercengang. Mendapati di belakang pintu, kosong. Tak menemukan apapun, tak ada apapun yang mengganjal atau menahannya. Bahkan tak lama, daun pintu bergoyang pelan, menandakan jika pintu itu ringan tanpa beban.
Tercenung Rahmad, seolah tak percaya dengan semua kejadian yang baru saja ia alami. Batinnya berkecamuk antara takut dan heran. Namun tak lama, rasa herannya, rasa bingungnya, terjawab oleh satu suara lembut di ujung belakang pekarangan.
Suara lirih tengah bernyayi dari sesosok wanita berbaju putih, berambut sepinggang, berayun mengikuti irama nyanyiannya. Meski terlihat sedikit samar, tapi sosok yang berdiri membelakangi, sanggup membuat tubuh Rahmad seketika dingin.
Perlahan sosok berbau wangi bunga kamboja menggerakkan tubuhnya. Berbalik dan menghadap tepat ke arah Rahmad. Memperjelas mata Rahmad akan sosok itu, walau dari jarak beberapa meter.
Tubuh Rahmad seakan mati rasa. Setelah pandangannya terbantu cahaya lampu dari sudut dapur, dengan jelas ... sangat jelas sekali, melihat sosok wanita itu bernyanyi sembari menimang sesosok bayi dalam dekapannya.
Bukan sosok wanita itu, juga bukan wangi kembang Kamboja, yang membuat detak jantung Rahmad tak beraturan. Melainkan bayi dalam timangannya masih berlendir dan berlumur darah, seperti baru saja terlahir.
Sadar akan sosok di hadapannya bukanlah manusia, Rahmad buru-buru melangkah masuk dengan penuh ketakutan. Tak memikirkan lagi pintu dapur yang masih terbuka. Membiarkan tubuhnya basah berkeringat tanpa mengelap.
Sebab saat itu yg ia ingin, yang ia mau, kedua telinganya, matanya, hidungnya, tidak lagi mendengar sajak menidurkan seorang anak. Melihat sosok wanita menimang bayi masih berlendir merah, serta menghilangkan aroma wangi kembang kamboja, atau jg di kenalnya sbg kembang kuburan.
Sembari menunggu, bisa baca cerita yg lain juga.
"Mas, bangun." Sedikit keras suara Warni pagi itu, membangunkan Rahmad. Pasalnya, Warni melihat satu hal tak biasa dari diri suaminya. Masih meringkuk saat mentari sudah menampakkan sinarnya.
Sebentar Rahmad membuka matanya. Terdiam memulihkan kesadaran sebelum beranjak bangkit dari ranjang bertilam kain lembut bercorak bunga dengan warna hijau mendominasi.
"Mas, kamu semalam yang membuka pintu dapur, Ya?" tanya Warni kembali, setelah melihat Rahmad bangkit dan duduk di tepian ranjang. Namun, Rahmad hanya terbengong. Seperti Sedang mengingat sesuatu.
"Mas! Di tanya kok malah bengong." Lagi-lagi suara Warni meninggi, melihat Rahmad diam mengacuhkan ucapannya.

"Bukan, Dek. Tapi...." Ragu Rahmad, untuk meneruskan kalimatnya. Tak yakin Warni bisa menerima penjelasannya.
"Tapi kenapa?" sambar Warni spontan, mendengar ucapan suaminya terputus.
Rahmad masih terdiam beberapa saat. Menimbang-nimbang segala konsekwensi bila ia menceritakan semua kejadian di alaminya semalam. Di tatapnya wajah Warni sebentar, seolah ingin meyakinkan dirinya bila sang istri yang kini duduk di sampingnya, -
- mau mendengar dan percaya dengan semua ceritanya.
"Anu, Dek. Omongan bapak bener. Pekarangan belakang rumah kita memang ngeres," jawab Rahmad.

"Maksud, Mas?" kejar Warni, menciutkan wajahnya.

"Semalam Mas mengalami sendiri, benar-benar melihat kalau di belakang rumah kita ada...."
"Setannya, demitnya...." Warni yang awal terlihat antusias seketika menyahut cepat cerita Rahmad. Tapi dari ucapannya, Rahmad tau jika istrinya mencibir tak percaya.
"Sudah, Mas. Sekarang mandi, sarapan, berangkat kerja. Biar urat halumu bisa kendor dan pikiranmu bisa jernih." Sambung Warni seraya bangkit, menyunggingkan senyum sinis.
"Tapi, Dek. Mas serius!" Rahmad masih mencoba meyakinkan Warni. Namun , lagi-lagi suara tawa yang di dapatnya. Membuatnya hanya bisa menarik nafas panjang atas ketidak percayaan dan ejekan- ejekan istrinya.
Rahmad akhirnya bangkit dan berlalu kebelakang. Menyudahi obrolannya dan meninggalkan Warni yang masih terpingkal. Menyisakan kejengkelan, rasa dongkol tak terungkap dan hanya mengendap dalam batinnya.
Selesai membersihkan tubuh serta memindahkan sepiring nasi goreng ke dalam perutnya, Rahmad berangkat menjalankan kewajibannya sebagai Khalifah dalam rumah tangga. Melupakan sejenak rasa takut, was-was, dan emosi yang tertahan.
Sementara Warni, seperti hari-hari biasa. Ia hanya menghabiskan waktunya di dalam rumah. Mengabaikan tetangga kanan kiri yang berkumpul sembari mengawasi anak-anak mereka, tengah bermain riang.
Tak ada niatan sedikitpun dalam diri Warni untuk sekedar basa-basi atau membaur guna saling mengenal. Meski terkadang bergelanyut rasa bosan, tetap saja Warni enggan untuk melenturkan kekakuan pikirannya.
Seperti hari itu, saat waktu mulai meninggalkan siang menyambut sore, Warni terlilit rasa bosan. Beberapa jam ia merebahkan tubuhnya di kasur empuk, membuat urat dan ototnya menengang. Memaksanya untuk bangkit dan beranjak ke luar kamar.
Tak ada tempat pasti di tuju warni. Ia hanya melangkah pelan menuju belakang. Melirik serta menatapi isi ruang makan dan dapur, yang letaknya berdampingan dengan kamar mandi di lengkapi sebuah sumur berbantu Sanyo.
Warni terus melangkah, dan baru berhenti beberapa jengkal dari pintu dapur. Mendekat ke arah sisi kiri, menatapi sebuah karung terikat tiga tali putih memocong. Rasa penasaran seketika menyelinap dalam benak Warni. Sebab ia merasa tak meletekan atau sebagai pemilik karung itu.
Perlahan tangan Warni meraih ujung tali dan melepasnya satu persatu. Ia sedikit kaget. kemudian berujung menjadi rasa penasaran, mendapati karung yang sudah terbuka berisi tumpukan kain-kain putih.
Cukup lama Warni mengamati sambil memeriksa kain yang dirinya tau sebagai pakaian komplit seorang bayi. Dalam hati, Warni bertanya-tanya tentang pemilik atau orang yang mungkin memberikan kain terlihat bekas pakai itu. Ia terus berpikir, -
- mengingat-ngingat selama dirinya menempati rumah dan sehari-harinya maupun tamu yang datang. Namun, sampai beberapa saat lamanya, Warni tetap tak menemukan jawabannya.
Sempat terbersit dalam benak Warni untuk menutup dan mengikat serta membiarkan karung berisi pakaian bayi itu. Tapi, setelah mempertimbangkan sejenak, Warni memilih untuk menyeret karung itu dan mengeluarkan dari dapur.
Hari semakin beranjak sore. Paparan sinar terik dari kegarangan penguasa siang mulai meredup, membuat suasana terasa sejuk halaman belakang rumah Warni. Namun itu tak cukup mengeringkan keringat Warni yang deras keluar, -
- manakala dengan susah payah dan nafas terengah dirinya berusaha menyeret karung hingga ke ujung pekarangan belakang.
Warni terduduk selepas ia sampai di sudut batas, bertanda rumpunan bambu. Mengatur nafasnya yang masih memburu, sebelum tangannya mengeluarkan seluruh isi dalam karung.
Tampak tumpukan kain-kain putih sebagian telah lengket berserak. Mengeluarkan bau apek khas kain lama tak terpakai. Hingga sesaat kemudian, bau apek itu berganti dengan bau minyak menyengat. Berasal dari sebotol cairan bening yang di tumpahkan Warni.
Tak menunggu lama, Warni segera menyalakan pemantik guna membakar tumpukan kain-kain itu.
Seketika asap hitam membumbung tinggi. Kobaran api semakin membesar dan terus membesar, merambah seluruh kain yang berserak hingga menyisakan abu hitam, menandakan habisnya seluruh kain terbakar.
Kelegaan sekilas terpancar dari wajah Warni. Setelah memastikan semuanya telah menjadi abu. Namun, baru saja tubuh dan kakinya berbalik akan melangkah, satu bentakan keras mengejutkannya.
"Wedok ayu ra pokro! Wani ngobong barang koyo ngunu!"(Perempuan cantik tidak beradab! Berani membakar barang seperti itu!)

Terjingkat Warni mendengar suara tua di belakangnya. Membuatnya memalingkan wajah dan mendapati Mbah Sarji sudah berada di tempat itu.
"Nopo, Mbah. Kok bengok-bengok nesu. Opo urusanmu?"(Kenapa, Mbah. Kok teriak-teriak marah. Apa urusanmu?)
Tak kalah sengit, Warni menyahuti ucapan keras Mbah Sarji.
" Kewanen! Opo koe Ra tau di warah unggah-ungguh? Sembrono banget! mbakar barang ngunu iku nang panggonane Kedung terekan! Ciloko tenan koe, Nduk!"
(Lancang! Apa kamu tak pernah di ajar tata Krama? Sembrono sekali! membakar barang seperti itu di tempat mengubur janin! Celaka benar kamu, Nduk!)
Kembali Mbah Sarji masih dengan suara keras, mengeluarkan amarahnya. Tetap saja tak membuat keadaan di tempat itu berubah. Sebab Warni yang juga tak terima, semakin nyalang bersuara.
Pertengkaran masih terus berlangsung antara Mbah Sarji dan Warni di tempat itu. Hingga mengundang perhatian beberapa tetangga yang mendengar suara nyaring Warni. Keramaian dan ketegangan di pekarangan sedikit mereda saat tiba-tiba Rahmad, -
- yang baru saja pulang mendekat dan membujuk Warni untuk meninggalkan tempat itu. Tapi bukannya menuruti, lagi-lagi, umpatan dan kata-kata keras, kembali meluncur dari bibir tipisnya.
Dari sekian banyak kalimat terucap dari mulut Warni, satu yang membuat Mbah Sarji dan Rahmad tercengang. Sebab, ucapan Warni kali ini bukan sebuah kalimat umpatan, melainkan sebuah tantangan.
"Nek memang panggonan iki ngeres, angker, enek demite, setanne. Ayo, kon metu saiki! Tak pengen weroh aku wujudte koyo opo! Ayo buktekne Saiki!"
(Kalau memang tempat ini angker, ada dedemitnya, setannya. Ayo, suruh keluar sekarang! Saya ingin tau wujudnya seperti apa! Ayo buktikan sekarang!) Teriak Warni dengan wajah merah padam.
Mbah Sarji, kali ini hanya mampu terdiam. Wajahnya yang masih merah, menyiratkan arti sebuah ketakutan, mendengar kenekatan Warni menantang sesuatu tak kasap mata. Mungkin bagi masyarakat di kampung itu akan berpikir seribu kali, -
- untuk berani mengucapkan kata-kata umpatan tak pantas di tempat itu. Apalagi dengan kalimat tantangan, bisa di pastikan tak akan ada yang berani. Mengingat sejarah kelam tempat itu saja, sudah membuat mereka merinding ketakutan.
Tapi tidak bagi Warni. Meski sudah pernah dirinya ingatkan, nyatanya tak membuat Warni sadar atau lebih menghormati.
Hari semakin merambah petang. Membuat Mbah Sarji yang menyadari dan sudah berubah expresi wajahnya, memilih segera beranjak dari tempat itu. Meninggalkan Warni yang masih tersulut emosi bersama Rahmad.
"Ayo, Dek. Sudah petang." ajak Rahmad, selepas kepergian Mbah Sarji dan beberapa tetangga, menyadarkannya jika saat itu hanya tinggal dirinya dan Warni yang masih berada di pekarangan belakang rumahnya.
"Nanti dulu, Mas. Aku mau tau, pingin lihat, katanya tempat ini ada penunggunya dan kalau mulai gelap akan muncul. Aku ingin buktikan, kalau kamu serta semua yang percaya dengan setan itu orang-orang bod*h." Bantah Warni, masih dengan suara tinggi.
"Dek, bukan masalah percaya atau tidak. Tapi Surup begini tak baik untuk kandunganmu," sahut Rahmad, dengan wajah mulai menyirat kecemasan.
"Halah, itu juga mitos Mas. Lagian, kenapa jg Mbah itu marah-marah, sampai membentak aku. Padahal hanya kain-kain bekas yang ku bakar. Itu pun bukan milik dia. Kok dia ikut terbakar. Pakai acara bawa-bawa setan dan kutukan segala," jawab Warni, masih dgn suara luap kejengkelan.
Rahmad membisu. Wajahnya seketika memucat. Setelah Warni baru saja menyelesaikan ucapannya. Tapi, bukan itu yang membuat Rahmad tiba-tiba terselimuti ketakutan.
Melainkan dari sepasang mata menyorot tajam ke arahnya dan Warni, milik sesosok wanita berwajah hancur dengan kulit mengelupas, meneteskan lendir-lendir berwarna merah kehitaman, berdiri tepat di bawah rumpunan bambu mentelung mengarah ke pekarangannya.
"Ayo, Dek. Kita pulang!"

Rahmad yang sudah ketakutan, tanpa menunggu jawaban langsung mencengkram lengan Warni serta membawanya melangkah meninggalkan tempat itu. Meski masih mencoba bertahan dan memberontak, namun kali ini Warni sedikit mengalah, mengikuti langkah Rahmad.
"Mas! Mas Rahmad kenapa?" tanya Warni saat hampir sampai di pintu belakang, menyadari wajah suaminya pucat menegang.
Rahmad terdiam. Sebentar kemudian melepaskan cengkraman tangannya, setelah memastikan sosok wanita bergaun putih berwajah gosong mengelupas tak lagi terlihat matanya.

"Sudah, ayo masuk. Kita bicara di dalam saja." Ajak Rahmad melangkah lebih dulu membukakan pintu.
Warni yang masih di landa kesal dan berwajah cemberut, menuruti ajakan Rahmad tanpa bicara lagi. Tapi sesampainya di kamar, lagi-lagi, ocehan pedas Warni kembali meluncur deras.
"Mana? Gak ada kan, demit, hantu apalagi syetan yang katanya menakutkan!" ucap Warni sengit.
"Dek, kalau pun kamu tak percaya dengan hal seperti itu, gak apa-apa. Cuma, Mas minta kamu hormati orang tua dan hormati apa yang menjadi larangan di kampung ini." jawab Rahmad pelan.
Berharap istrinya bisa mengerti dan menyadari kesalahannya.
"Hormat? Sama Mbah tua tadi? Hah ... ! Asal Mas tau, ya. Saya akan menghormati dia, kalau dia sendiri menghormati dan gak mencampuri urusan orang lain," sahut Warni dengan ketus.
"Dan, satu lagi. Aku gak suka kamu ikut-ikuttan percaya dengan omongannya tentang penghuni di pekarangan rumah kita. Itu hanya bualan saja. Buktinya tadi gak ada apa-apa." sambung Warni kali ini dengan tatapan tajam ke arah Rahmad.
"Terserah kamu, Dek. Tapi saya percaya, yakin. Sebab saya sudah melihatnya sendiri. Bahkan, tadi pun melihatnya lagi. Dan ... Dia sepertinya marah dengan perbuatanmu."
Sejenak suasana terasa sunyi. Warni yang mendengar ucapan Rahmad, terlihat diam memandang wajah suaminya dengan tatapan sekilas serius. Tapi tak lama, senyum tawa Warni meledak di barengi gelengan kepala. Menganggap ucapan Rahmad, seolah hanya guyonan untuknya.
"Mas ... Mas. Rupanya kamu sudah kemakan omongan Mbah tua tadi. Coba deh, kalau tu syetan gak terima, marah karena saya bakar-bakar di tempat itu, suruh kesini," ucap Warni dengan sunggingan senyum mencibir.
"Keterlaluan kamu, Dek." sahut Rahmad seraya membalikan badan, melangkah dan meninggalkan Warni sendiri di kamar.

"Mau kemana kamu, Mas?" tanya Warni sebelum tubuh Rahmad menghilang dari pandanganya.
Rahmad terus saja melangkah tanpa menjawab lagi pertanyaan Warni. Rasa jengkelnya saat itu benar-benar memuncak. Membuatnya enggan untuk kembali ke kamar walau suara Warni masih terdengar memanggil menyuruhnya untuk kembali.
Cukup lama Rahmad terhenyak dalam sendiri di ruang tamu. Pikirannya kalut, antara malu dan takut. Tak ada lagi cara baginya untuk bisa menyadarkan atau merubah sifat Warni yang semakin menjadi-jadi. Ia hanya mampu berpasrah diri tanpa tau harus berbuat apa.
Sebab, hampir segala cara dirinya lakukan, tetap saja Warni tak kunjung merubah sikapnya.
Kesendirian Rahmad sedikit terganggu, kala suara langkah kaki mengusik rongga telinganya. Saat itu, Rahmad masih berpikir positif. Ia menyangka jika langkah kaki itu adalah langkah kaki tetangga.
Namun tak lama, firasatnya berubah, mendapati derap langkah semakin ramai seperti berlari mengitari di luar rumah.
Ketegangan seketika menyeruak dalam diri Rahmad. Ketika dengan jelas telinganya menangkap langkah-langkah itu berhenti tepat di sisi jendela sebelah kanan ruang tamu.
Rasa takut mulai menelusup dalam benak Rahmad. Tapi entah mengapa, kakinya tergerak untuk mendekati jendela kaca bertutup gorden. Mengabaikan degup jantungnya yang sudah tak beraturan.
Sedikit demi sedikit kain gorden berwarna kuning penutup jendela mulai tersingkap tangan Rahmad. Kilatan cahaya lampu yang tergantung di sudut depan menambah jelas penglihatan mata Rahmad, -
- menatapi dari dalam puluhan anak kecil berdiri berjejer di luar dengan sorot mata menembus kaca, beradu pandang dengannya.
Cepat dan kuat desiran darah di rasa Rahmad. Sebelum tangannya dengan spontan kembali menutup kain gorden, melewatkan ringisan ngeri dari bocah-bocah kecil berkepala plontos berhias dua tanduk meruncing berwarna merah darah.
Nafas Rahmad memburu kencang. Wajahnya mempias, keringat mengucur deras, mengiringi ketakutannya yang mencuat.

"Mas, tolong ... Tolong aku. Aduhhh, perutku."
Lagi-lagi tubuh Rahmad yang tengah menyandar di dinding, tergelak. Mendengar suara rintih kesakitan dari kamarnya. Sebentar Rahmad menunduk, menajamkan telinga sembari mengatur deru nafasnya. Hingga suara itu terus berulang-ulang sampai beberapa kali dan membuatnya segara yakin.
Tanpa pikir panjang, Rahmad segera mengayunkan langkahnya yang berat. Melupakan sejenak puluhan sosok kecil menyeramkan, juga rasa takut, demi memastikan keadaan Warni yang terdengar masih terus merintih.
Namun, hanya sampai depan pintu kamar kaki Rahmad mampu berpijak. Selebihnya, tubuh Rahmad dingin membeku, mendapati pemandangan tak kalah ngeri di dalam kamar. Di mana, tepat di atas ranjang tidurnya, tergolek tubuh Warni tengah mengeliat seperti menahan rasa sakit.
Tapi, bukan itu ... Bukan itu yang membuat jiwa Rahmad tergunjang. Melainkan beberapa sosok anak kecil dan sesosok wanita bergaun putih panjang berada di sebelah kanan kiri Warni.
Kengerian bukan saja di lihat Rahmad dari wujud menyeramkan mereka. Namun lebih kepada, apa yang sedang mereka lakukan.
Darah, empat sosok anak kecil penuh lendir dan sosok wanita berkulit mengelupas itu, -
- Rahmad saksikan dengan jelas tengah menjilati darah yang mengalir dari kedua kaki Warni.
"Dek!"

Tanpa sadar, bibir Rahmad berucap memanggil. Membuat sosok-sosok itu terhenti menikmati tetesan darah dari kaki Warni, dan beralih menatap dirinya dengan sorot mata nyalang bersama seringaian sinis, keluar dari sudut bibir mereka yang berlumuran darah.
Sedang Warni, masih terus merintih dan merintih menahan rasa sakit mendera perutnya.
Tanpa menyadari serta melihat empat sosok anak kecil di sisi kanan kiri bersama satu sosok wanita berwajah lembek menebar bau anyir menyengat, dengan rambut panjangnya di biarkan terjuntai hingga menyentuh lantai kamar.
"Mas! Tolong. Perutku sakit banget!" Rintih Warni, saat tau suaminya berdiri di ambang pintu.
Rahmad yang masih gemetar hanya diam. Ketakutan masih bergelanyut kuat melihat empat sosok anak kecil dan sesosok wanita yang sudah di lihatnya tiga kali, kembali mengalihkan perhatian pada tetesan darah di kaki Warni.
Beberapa saat lamanya Rahmad menyaksikan kengerian itu. Menatap lidah-lidah kecil nan panjang, menyapu lutut Istrinya. Rahmad tak kuat lagi, ia tak tahan mendengar rengek rintih kesakitan Warni, hingga akhirnya ia menguatkan diri untuk beranjak dari dalam rumahnya.
Setengah berlari Rahmad menembus gelap malam, menyusuri jalanan kampung tanpa tau tujuan pasti. Sepi, sunyi, sepanjang ia melewati rumah-rumah warga dan beberapa simpang.
Sampai di sebuah simpang tiga, di jalan paling kecil, wajah Rahmad sebentar terlihat mengulas harapan, melihat sebuah rumah sedikit di ujung jalan mengarah ke area persawahan, tampak terang dengan beberapa lelaki duduk di teras depan.
Ayunan langkahnya semakin cepat dan kencang. Tak perduli dengan rasa lelah, linu, juga nafas yang sudah tersengal, untuk bisa segera sampai di rumah sebelum dirinya tau pemiliknya.
Tiga lelaki 45an dan seorang lelaki tua seketika berdiri, terheran akan kedatangan Rahmad, berwajah pucat penuh ketakutan.
Sejenak mereka memberi kesempatan Rahmad mengatur nafas, sebelum menceritakan penyebab dirinya datang penuh kecemasan. Ketiga lelaki terlihat hanya manggut-manggut, mendengarkan seksama semua cerita Rahmad.
Tapi tidak dengan lelaki tua berkopiah lusuh yang duduk di kursi paling sudut. Wajahnya saat itu terlihat datar menanggapi cerita Rahmad. Hingga sampai di akhir titik cerita Rahmad, barulah wajah keriputnya menggurat ketegangan.
"Bojomu iku ora loro biasa. Iku mergo wes kewanen karo barang alus, seng manggon luweh ndisek nang pekaranganmu mburi."(Istrimu itu bukan sakit biasa. Itu karena sudah terlalu berani dengan mahluk tak kasap mata, yang menempati lebih dulu di halaman belakang rumahmu)
Sambung besok malam 🙏
Lanjut agak banyak nih kayaknya kalo gak luput 😂

Jangan lupa RT & like ya biar tambah rame.
Terhenyak tiga lelaki di sisi kanan kiri Rahmad, mendengar ucapan singkat dari lelaki tua yang tak lain, Mbah Sarji. Mereka tak mengira jika cerita dan permohonan Rahmad untuk meminta bantuan, berkaitan dengan tempat yang mereka tau sebagai tempat paling ngeres di kampung itu.
Rahmad sendiri langsung menundukkan wajah. Mendengar sahutan dingin Mbah Sarji. Mengingat, perlakuan dan kata-kata Warni pada Mbah Sarji sore tadi, membuatnya merasa malu.
"Wes, ayo mangkat. Tulungi bojomu. Ra perlu nyeluk Bidan po Dokter, percumah." (Sudah, ayo berangkat. Tolong istrimu. Tidak perlu manggil Bidan atau Dokter, percumah.) Ajak Mbah Sarji, seolah tau pikiran dan perasaan Rahmad.
Tiga kendaraan roda dua sedikit tua, saat itu juga melaju beriringan ke rumah Rahmad. Tak sampai lima belas menit, mereka tiba di halaman dan langsung merangsek ke dalam, menyusul Rahmad yang lebih dulu masuk. Hawa anyep langsung di rasa menyusup kulit mereka,
saat berada di ambang pintu kamar Rahmad. Di mana, di dalam kamar itu tubuh Warni tergolek diam di atas kasur. Matanya terpejam, nafasnya mendayu berirama. Tak ada rintihan, tak ada tangisan, membuat tiga lelaki yang mengikuti Mbah Sarji dan Rahmad saling pandang.
Sedang Rahmad sendiri, yang berdiri di samping ranjang, sekilas terkesiap melihat satu keanehan. Jelas-jelas tadinya ia melihat tetesan darah di kedua kaki Warni. Menjadi santapan lidah empat sosok anak kecil, serta seorang sosok wanita berwajah gosong mengelupas.
Tapi, saat itu, tiba-tiba hilang tak berbekas. Tak ada lagi tetesan darah, tak ada bau anyir menyengat, yang ada hanya tubuh Warni tertutupi selimut berbulu lembut dengan motif bunga, tak sadarkan diri.
"Sampeyan-sampeyan metuo disek. Aku tak omong-omong karo Mas Rahmad." (Kalian-kalian keluar dulu. Saya mau berbicara dengan Mas Rahmad.) Perintah Mbah Sarji tiba-tiba pada tiga lelaki yang masih di landa rasa heran.
"Ngerti, opo seng wes kedaden nang bojomu karo kandungane?" (Tau, apa yang sudah terjadi pada Istrimu dan kandungannya?) ucap Mbah Sarji, setelah kepergian tiga lelaki pengiringnya.
Sebentar Rahmad menatap Mbah Sarji penuh kesungguhan. Sebelum kembali beralih menatap Warni yang masih terpejam.

Dan tak lama, gelengan pelan kepalanya menjadi jawaban atas pernyataan Mbah Sarji.
"Geteh lan bocah-bocah cilik, seng awakmu delok mau, iku tondo bojomu wes kenek Langon," (Darah dan anak-anak kecil, yang kamu lihat tadi, itu tanda Istrimu sudah terkena Langon,) ucap Mbah Sarji, mengawali penjelasannya.
"Langon? Opo iku Mbah?" (Langon? Apa itu Mbah?) sahut Rahmad, penasaran.
"Kandungan seng kelebu roh nyasar wadahe bocah-bocah Terekan. Lan bakal njikok calon bocah seng di kandung sak durunge babaran,"
(Kandungan yang kemasukan roh nyasar ke wadah anak-anak Terekan. Dan akan mengambil calon anak yang di kandung sebelum waktu kelahiran,) jawab Mbah Sarji pelan, di sela-sela tarikan nafasnya.
Namun, sampai selesai penjelasan Mbah Sarji di titik itu, Rahmad masih terlihat bingung dan belum sepenuhnya mengerti.

"Sepurone, Mbah. Taseh bingung kulo Mbah?" ( Maaf, Mbah. Masih bingung saya Mbah?) sahut Rahmad kembali dengan siratan penuh tanda tanya.
"Terekan iku, calon bocah seng metu kepekso seko darbo peteng. Durung kelebon roh, sukmo, nanging wes duweni wadah. Lan mergo seng ngalami iku ra tanggap, di anggep barang sepele, ra di urus, akhire dadi wadale jin, roh-roh kesasar tanpo wadah, -
- mbentuk dadi koyo bocah-bocah seng awakmu delok mau."
(Terekan itu, calon anak yang keluar terpaksa dari Rahim. Belum kemasukan Roh, Sukma, namun sudah mempunyai tempat. Dan karena yang mengalami itu tidak mengerti, di anggap masalah sepele, tak di urus, akhirnya jadi sasaran tempat kasap Jin, Roh-Roh kesasar tanpa mempunyai tempat,
membentuk seperti wujud anak-anak yang kamu lihat tadi.)
Kali ini, Rahmad tertegun seperti memahami maksud penjelasan Mbah Sarji. Membuatnya kembali membayangkan puluhan sosok kecil betanduk, dan empat sosok anak kecil berlendir merah yang dirinya lihat beberapa saat lalu.
"Terus, kepripun nasib bojoku niki, Mbah?" (Terus, bagaimana nasib Istriku ini, Mbah?)

Rahmad yang mendadak teringat akan Warni, kembali bertanya. Menahan rasa cemas dengan nasib istrinya saat itu.
"Kudu di tebusi. Seng mlebu nang njero kandungane bojomu ora mek siji, nanging papat sekaligus. Mergo bojomu kewanen nantang, lan gawe salah gede ngobong barang ritualan seng biasa di kanggokne sesepuh biyen."
(Harus ada penebusan. Yang masuk ke dalam kandungannya istrimu tidak cuma satu, tapi empat sekaligus. Karena istrimu sudah berani menantang, dan membuat kesalahan besar membakar barang ritualan yang biasa di gunakan sesepuh terdahulu.)
Lagi-lagi Rahmad tertunduk. Mengingat kembali kelakuan istrinya yang sudah kelewat batas. Dan sekarang, bukan hanya Warni sendiri harus merasakan akibatnya, tapi juga bakal merepotkan banyak orang. Belum lagi rasa malu akan di tanggungnya dari kerabat, tetangga,
yang pernah di cemooh, di umpat, saat mengetahui malapetaka dan kondisi Warni akibat buah dari kesombongannya.
"Mas Rahmad, dewe saiki kudu moro nang mburi. Ben ngerti opo seng di karepake lan dadi penjalukane seng momong bocah-bocah terekan iku. Supoyo ora telat kanggo nylametke bojo lan calon anakmu."
(Mas Rahmad, kita sekarang harus datang ke belakang. Biar tau apa yang di inginkan dan jadi permintaan pengasuh anak-anak terekan itu. Supaya tidak terlambat untuk menyelamatkan istri dan calon anakmu.)
Sedikit terjingkat Rahmad mendengar ajakan Mbah Sarji. Bukan saja membuyarkan renungannya, tapi juga kalimat ajakan dari Mbah Sarji, untuk mendatangi pekarangan belakang yang memang ia sendiri percaya keangkerannya.
Tak sempat ia menjawab, Mbah Sarji sudah beranjak melangkah keluar dari dalam kamar. Berbicara sebentar dengan tiga lelaki masih setia menungguinya di depan, sebelum kembali berbalik dan melangkah menuju pekarangan belakang.
Hanya keheningan di rasa Rahmad saat mengikuti setapak demi setapak ayunan kaki di belakang Mbah Sarji. Wajahnya menyirat penuh ketegangan, membayangkan sosok wanita berwajah mengelupas yang bersemayam di tempat bakal di tujunya.
Bayangan itu semakin menari-nari di pelupuk mata Rahmad, ketika ujung sisi kiri pekarangan mulai terlihat samar. Jiwanya seketika bergejolak, tubuhnya mempias, mendapati hawa sangat dingin nan lembab,
setelah melewati beberapa langkah jembatan papan pendek sungai kecil, yang di gunakan sebagai pembuangan air dari sumur dan dapur. Padahal, Rahmad tau dan yakin betul, jika saat itu malam belum masuk waktu dini hari.
"Awakmu tunggunen kene. Ojo lungo seko kene, sak durunge aku ngadek. Siji maneh, ojo mbok gagas opo ae seng ketok nang ngarep mripatmu." ( Kamu tunggulah di sini. Jangan pergi dari sini, sebelum saya berdiri. Satu lagi, jangan kamu hiraukan apapun yang terlihat di depan matamu.")
Pesan Mbah Sarji lirih, saat menghentikan langkahnya, dan hanya tinggal berjarak beberapa depa dari rumpunan bambu.
Rahmad mengangguk, meski dirinya tak mengerti dengan apa yang akan di lakukan Mbah Sarji. Ia baru tau setelah tak lama, Mbah Sarji duduk bersila bergumam pelan melafalkan kalimat-kalimat berbahasa Jawa kuno, tepat di depan kubangan abu hitam tempat Warni membakar tumpukan -
- pakaian bayi.

Beberapa detik, beberapa menit, di lalui Rahmad dlm kungkungan rasa tercekam. Posisinya yang berdiri di belakang Mbah Sarji, sesaat bergeser menyamping, menghindari sapuan angin datang tiba-tiba, membuat abu-abu hitam bekas terbakarnya kain berterbangan memutar.
Tetapi, di saat bersamaan, Rahmad terjingkat, tercekat kuat, manakala di sisinya, di belakangnya, terdengar suara lirih nan riuh tawa layaknya anak-anak kecil bersahutan.
Belum sempat Rahmad memalingkan wajah, lagi-lagi satu hembusan angin beraroma wangi bunga Kamboja menerpanya. Membuat matanya terpejam sebentar, sebelum kembali terbuka, mendapati sesosok wanita bergaun putih panjang sudah berdiri hadapannya.
Tak ada lagi yang bisa di perbuat Rahmad saat itu. Ingin rasanya ia lari meninggalkan tempat itu, namun kakinya seolah terpaku, berat, tanpa bisa dirinya gerakan. Detik selanjutnya, Rahmad benar-benar merasakan arti dari puncak sebuah ketakutan.
Ia tak lagi merasakan desiran darah mengalir dari tubuhnya, tak lagi merasakan detak jantungnya, seolah semua lenyap, sirna, terhempas ke dalam suasana yang baru sekali ia alami dalam hidupnya.
Ketakutan Rahmad tak terjeda sedikit pun. Bahkan tanpa sadar tubuhnya sudah terduduk di belakang Mbah Sarji. Membuat matanya semakin jelas menatapi bocah-bocah kecil berkain sewek tertawa riang sambil mengitari dirnya dan Mbah Sarji.
Rahmad mencoba untuk memejamkan matanya, menghindari tatapan nyalang dari sosok wanita berkulit mengelupas dan berlendir. Namun sayang, kelopak matanya di rasa seperti anggota tubuh lainnya, kaku dan berat.
Membuatnya mau tak mau harus terus melihat kengerian dari semua mahluk yang ada di tempat itu, hingga beberapa lamanya.
"Plakk....!"

Satu kelegaan sebentar menggurat di wajah Rahmad. Ketika sebuah tamparan sedikit keras dari Mbah Sarji mendarat di keningnya. Sebab, di saat bersamaan mata Rahmad tak lagi melihat sosok mengerikan dari bocah-bocah kecil maupun wanita berkulit mengelupas.
"Wes rampung. Ayo, muleh."(Sudah selesai. Ayo pulang.)
Rahmad belum mampu menjawab, ia hanya menuruti tangan Mbah Sarji yang menarik dan memapahnya berjalan meninggalkan tempat itu. Baru, setelah sampai di dalam rumah dan menghabiskan segelas air putih pemberian Mbah Sarji, sedikit demi sedikit kesadaran Rahmad pulih sedia kala.
"Lumayan kuat mentalmu, Mas Rahmad. Iso ora pingsan di rubung barang alus koyo ngono mau,"(Lumayan kuat mentalmu, Mas Rahmad. Bisa tidak pingsan di kerumuni mahluk halus seperti itu tadi,)
ucap Mbah Sarji di sela-sela hempasan asap rokok kretek yang baru di nyalakan dan terselip di bibir coklatnya.
"Terus piye bojoku sak kandungane, Mbah?" (Terus bagaimana istri serta kandungannya, Mbah?) tanya Rahmad, tersadar akan tujuan utama dirinya mengikuti Mbah Sarji.
"Sarate rodok abot, Mas. Awakmu kudu ragat lumayan akeh, supoyo bocah terekan papat seng Nang njero kandungane bojomu gelem metu lan calon anakmu iso selamet,"
(Syaratnya sedikit berat, Mas. Kamu harus keluar biaya lumayan banyak, supaya bocah terekan yang ada di dalam kandungan istrimu mau keluar dan calon anakmu bisa selamat,) sahut Mbah Sarji, menjelaskan.
"Gak opo-opo, Mbah. Piro ae tak bayar, asal bojo lan calon anakku iso sehat, selamet," (Tidak apa-apa, Mbah. Berapa pun saya bayar, asal istri dan anakku bisa seha, selamat,) ujar Rahmad menyanggupi.
"Ora mergo bayarane, Mas. Iku ngono dudu kanggoku, tapi kanggo nukokne peralatan ritual sepitan bocah-bocah terekan seng lanang. Terus akeh seng kudu di lakoni keluargamu sak durunge iku. Awakmu sak keluarga kudu gawe syukuran nganggo coro adate kampung kene.
Mergo, omah Iki sak pekarangane biyen dudu panggonan biasa. Ora sitik seng ngrogolke bayi durung patang sasi nang omah Iki. Di buwak nang pekarangan mburi, tanpo di openi sak wajare. Mulo di jenengke Kedung Terekan."
(Tidak karena bayarannya, Mas. Itu semua bukan untuk saya, tapi untuk membelikan perlengkapan ritual upacara khitanan anak-anak terekan yang lelaki. Terus banyak yang harus di lakukan sekeluargamu sebelumnya. Kamu sekeluarga harus membuat syukuran memakai cara adat kampung sini.
Karena, rumah sekaligus tanah pekarangannya ini dulu bukan tempat biasa. Tidak sedikit yang menggugurkan kandungan sebelum berumur empat bulan di rumah ini. Di buang ke pekarangan belakang, tanpa di rawat sewajarnya. Makanya di namakan sumber janin buangan.)
Ramai pagi itu suasana di kediaman Rahmad. Dirinya yang setuju dengan semua saran Mbah Sarji, mengabari hampir seluruh keluarga besarnya dan juga mertuanya.
Isak tangis sejenak menghiasi dalam rumah. Terutama dari Mbok Ngah, melihat Warni yang belum juga sadarkan diri. Namun, itu tak lama. Karena Rahmad sendiri segera menjelaskan maksud tujuannya mengumpulkan hampir seluruh keluarga.
Tak ada penolakan dari pihak keluarga manapun, saat Rahmad mengutarakan beberapa persyaratan dari Mbah Sarji demi menyelamatkan Warni dan calon anaknya.
Bahkan beberapa dari saudaranya seketika itu bersama-sama membantu Rahmad, mencari kelengkapan syarat guna sebuah ritual pembebasan jiwa Warni.
Sedikit kesulitan saat itu mencari persyaratan tertentu yang di anggap paling vital. Namun beruntung, tak sampai sore hari semua yang di butuhkan Mbah Sarji, terpenuhi.
Keramain kembali terlihat di rumah Rahmad, setelah jeda beberapa puluh menit dari suara Adzan Isya berkumandang. Tepatnya, selepas melakukan satu kewajiban empat reka'at, bagi yang menjalakan.
Tak lama kemudian, lantunan bait-bait kalimah suci terdengar bergemuruh di dalam rumah Rahmad. yang di baca dari beberapa puluh lelaki tua dan muda, dengan dipimpin seorang lelaki setengah baya bersorban.
Tenang, meneduhkan, suasana saat itu dalam rumah Rahmad. Namun hal sebaliknya justru terjadi di dalam sebuah kamar. Di mana, di atas ranjang bertilam kain lembut, sebujur tubuh Warni masih tergolek dan terpejam.
Tak jauh dari ranjang, atau tepatnya di sisi sebelah kiri, seorang lelaki tua berkopiah lusuh tampak tengah duduk bersila menghadapap empat mangkok berisi bubur warna-warni, juga empat buah kelapa hijau yang sudah terbuka di bagian atas.
Bukan hanya itu, empat butir telur juga terlihat menghias di tengah lingkaran aneka makanan tradisional yang di susun memutar, berlaman masing-masing selembar kain putih.
Sedang di ujung ranjang, di kolong bawah selonjoran kaki Warni, teronggok cawan besar berisi darah merah kehitaman mengental, dari seekor kambing berbulu hitam yang menjadi salah satu sarana bagi Mbah Sarji.
Hawa sedikit panas di rasakan Mbah Sarji. Membuat buliran-buliran keringat keluar dari pori-pori kulit merembes hingga membasahi baju dombornya. Entah hawa itu berasal dari reaksi ritual atau karena kamar yang tertutup rapat.
Mbah Sarji masih terus berada di dalam kamar itu. Terdiam dan terpejam, meski di luar, di ruang tamu serta teras depan sudah lengang. Hanya menyisakan beberapa kerabat dekat dan seorang lelaki setengah baya bersorban, yang baru saja selesai memimpin acara doa bersama.
Beberapa detik, beberapa menit, sampai beberapa jam kemudian, akhirnya Mbah Sarji menyudahi ritual Weningnya. Beranjak keluar dengan tubuh serta wajah pucat terbasahi keringat.
Langkah sempoyongannya seketika di sambut wajah menyirat harap-harap cemas dari keluarga Warni. Terutama Rahmad, Mbok Ngah dan Pak Kasdi.
"Bagaimana Warni, Mbah?" tanya Mbok Ngah, terlihat tak sabar menunggu Mbah Sarji yang sedang mengatur deru nafasnya.
Mbah Sarji terdiam menatap Rahmad, tak lama beralih pada sosok bersorban yang di kenal orang paling di segani untuk urusan Agama, Luqman.
Satu tarikan nafas panjang mengawali cerita Mbah Sarji.
Bagaimana awal dirinya dalam melakukan madiasi ritual Wening dan berhasil mengeluarkan empat bocah terekan yang menghuni garba peteng Warni. Namun, itu semua harus di bayar satu kesepakatan sebuah pengakuan.
"Pengakuan? pengakuan seperti apa, Mbah?" tanya Luqman, yang sedari awal hanya mendengarkan. Ia merasa ada satu kejanggalan dengan kalimat, sebuah pengakuan.
"Pengakuan sebagai orang tua asuh," jawab Mbah Sarji.
Suasana seketika tersentuh keheningan, setelah semua mendengar dan tau apa maksud dari ucapan Mbah Sarji.
"Apa tak ada cara lain, Mbah? takutnya, Mbak Warni tetap tak percaya dengan semua ini," ujar Luqman, merasakan satu kekawatiran. Mengingat Warni mempunyai jalan pikiran dan keyakinan berbeda dari pada umumnya masyarakat setempat.
"Itulah yang menjadi tugas utama, Mas Rahmad. Untuk cara lain saya...." Mbah Sarji terdiam sejenak seolah berpikir untuk menyambung ucapannya. Namun tak lama, bukan kata-kata yang keluar dari bibir sepuhnya, melainkan gelengan pelan kepala sebagai satu isyarat ketidak mampuan.
"Tidak apa-apa, Mbah. Saya akan berusaha sekuat mungkin meyakinkan Warni. Mudah-mudahan setelah sadar dia bisa menyadari dan merubah kekeliruannya." Rahmad yang sudah merasa tak enak hati, akhirnya membuka suara demi meyakinkan Mbah Sarji, Luqman dan termasuk dirinya sendiri.
Malam itu, setelah semuanya tak lagi bisa mencari cara lain, akhirnya menyepakati cara yang di ambil Mbah Sarji, tak terkecuali Ust Luqman. Dirinya yang menjadi salah satu sesepuh di bidang Agama, ikut menyanggupi membantu dengan lantunan doa-doa dan ayat-ayat suci Al Quran,
selama tiga hari berturut-turut. Dengan harapan, Warni bisa segera tersadar dari semuanya.
Namun, lagi-lagi satu masalah kembali muncul, ketika pagi hari, tepatnya saat Warni sadar dari pingsannya. Ia terlihat bingung akan keadaan dirinya dan sekeliling kamarnya. Di mana, bau wangi kembang setaman pertama kali membaui hidungnya.
Menyusup dan tercium lembut, dari arah bawah ranjang.
Tubuhnya yang masih lemah, ia paksa bangkit demi memastikan isi dalam ruang kamar yang semakin terlihat janggal olehnya. Matanya mengedar, menatapi tiap-tiap sudut penuh seksama, hingga sampai pada satu titik di bawah, di samping ranjang sisi sebelah kiri,
wajah Warni menciut dan sebentar kemudian berubah merah demi melihat empat buah mangkok berisi bubur berwarna putih dan kecoklatan.
Tak hanya itu. Warni benar-benar tercenguk menahan marah, melihat semua isi ruang kamar di penuhi kelengkapan sebuah ritual yang di gunakan Mbah Sarji. Ia tersadar akan suatu perkara dan barang di sekelilingnya teramat ia ingkari kini nyata ada dalam kamarnya.
Membuat tubuhnya seketika terbangun dan segera melangkah keluar.
"Mas ... Mas Rahmad!" teriak Warni yang baru menapak di lantai luar kamar.
Seraut wajah semringah tak lama muncul dari ruang dapur, menjadikan Warni semakin terheran. Sebab wajah itu bukan milik Rahmad, melainkan wajah Mbok Ngah, ibu Warni sendiri.
"Ibu? kok, Ibu ada di sini?" tanya Warni dengan wajah menciut.
"Alkhamdulillah kamu sudah siuman, Nduk," sahut Mbok Ngah, bukan menjawab pertanyaan Warni, tapi lebih kepada mengexpresikan kebahagiaannya melihat Warni yang sudah sadar.
"Siuman? apa maksud, Ibu? dan ... dan apa sebenarnya yang terjadi, Buk?" kembali Warni bertanya penuh kebingungan. Melihat ibunya terlihat begitu bahagia pagi itu.
"Kamu dari kemaren pingsan. Makanya Ibu ada di sini sama Bapak," jawab Mbok Ngah sembari menuntun Warni duduk di ambal ruang keluarga.
Warni hanya terdiam setelah menselonjorkan kedua kakinya di ambal berbulu halus.
Namun dari raut wajahnya, ia seperti terkejut mendengar sedikit penjelasan ibunya.
Baru saja Warni ingin membuka mulut dan bertanya kembali, tiba-tiba ia di kejutkan oleh kemunculan tiga lelaki dari arah ruang tamu. Kedua bola mata Warni spontan melotot tajam, demi melihat satu sosok diantara suami dan bapaknya.
Menunjukan satu expresi ketidak senangan dan kemarahan pada sosok lelaki itu.
"Mau ngapain orang tua itu di sini?" ucap Warni sengit, di tujukan pada sosok lelaki tua di samping Pak Kasdi yang tak lain adalah Mbah Sarji.
"Warni! jaga sedikit omongnmu! beliau Mbah Sarji, yang sudah ikut andil menyelamatkanmu," sahut Pak Kasdi dengan tegas sedikit tertahan, mendengar ucapan putrinya dirasa tak sopan pada Mbah Sarji.
"Sudah, Pak. Tidak apa-apa," ucap Mbah Sarji seperti tak enak sendiri melihat suasana yang berubah canggung.
"Tolong, Mas Rahmad. Bantu saya membereskan perlengkapan yang ada di dalam kamar." Sambung Mbah Sarji meminta Rahmad yang terdiam, untuk membantunya.
"Baik Mbah," sahut Rahmad seraya melangkah masuk terlebih dulu ke dalam kamar miliknya, kemudian di susul Mbah Sarji.
Sedang Warni, ia hanya tertunduk setelah mendengar ucapan bapaknya. Dirinya hanya terdiam tak menolak atau melarang Mbah Sarji yang masuk ke dalam kamar bersama suaminya. Tapi dalam diamnya, Warni sesekali melirik dengan sorot sinis penuh kebencian.
"Nduk, sekali ini saja Ibu harap kamu mau menuruti dan mengerti. Perkara yang kamu hadapi sekarang ini bukanlah masalah sepele. Ini menyangkut keselamatanmu dan juga bayi dalam kandunganmu," ucap Mbok Ngah, -
- memecah perasaan canggung antara Warni dan Pak Kasdi yang masih sama-sama tercenung.
Tak ada sahutan, Warni masih tertunduk meski ia mendengar penuturan ibunya. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu, hingga membuatnya sama sekali tak menyahuti perkataan Mbok Ngah yang terus berucap memberi nasehat dengan lembut.
Mbok Ngah baru berhenti berkata, ketika Rahmad dan Mbah Sarji keluar dari kamar. Ikut mendengarkan sebentar pesan-pesan dari Mbah Sarji, dan melihat tangan sosok tua itu memberikan dua botol air bening kepada Rahmad sebelum akhirnya sosok Mbah Sarji berpamitan.
"Dek, ini kamu minum separuh, dan separuhnya lagi kamu usapkan pada kandunganmu." Pinta Rahmad sembari menyodorkan salah satu botol berisi air, sepeninggalan Mbah Sarji.
"Untuk apa, Mas? dan ini air apa?" jawab Warni sambil menerima botol berukuran sedang dari tangan suaminya.
"Ini air sudah di doakan oleh Pak Luqman, untuk memagari kamu dan bayi dalam kandunganmu," jawab Rahmad.
"Mas, aku ini cuma kecapekan saja. Aku gak apa-apa. Mas lihat sendiri kan, kalau aku dan kandunganku baik-baik saja. Mending Mas Rahmad panggilin Bidan atau Dokter kandungan saja deh ... dari pada harus percaya dengan yang beginian. Apa lagi sama Pak tua tadi."
Lagi-lagi, Rahmad, Mbok Ngah dan Pak Kasdi di buat tercengang dengan apa yang di ucapkan Warni. Mereka terlihat saling pandang, tak menduga jika Warni belum juga tersadar setelah pingsan begitu lama akibat perbuatannya sendiri.
"Dek, aku mohon. Sekali ini saja kamu mau mendengar dan mengesampingkan ketidak percayaanmu terhadap hal mistis atau apa pun. Ini kamu anggap saja air biasa dari seorang Ustad," ucap Rahmad pelan dan berharap Warni mau berubah pikiran.
"Mas ... Mas. Mendingan kamu antar saya ke Bidan atau Dokter sekarang. Biar sekalian tau jenis kelamin anak kita. Bukan mlh menyuruh saya buat minum dan percaya dgn akal-akalan orang-orang itu." Sedikit tersenyum kali ini Warni menyahuti ucapan Rahmad. Namun senyum sebuah cibiran
"Warni! kamu benar-benar kelewatan. Seharusnya kamu berterima kasih dengan Mbah Sarji dan Ustad Luqman. Bukan malah menyebut mereka seperti itu!" Tegas, lagi-lagi ucapan Pak Kasdi yang sudah mulai geram dengan semua ucapan dan anggapan Warni.
"Bisa saja kan, Pak. Ini akal-akalannya Mbah Sarji yang masih tak terima dengan ucapan saya tempo hari. Malah saya merasa jika saya pingsan karena kecapekan gara-gara adu mulut sama dia." Sanggah Warni juga dengan suara yang mulai meninggi.
"Cukup, Warni! tak pantas kamu berucap dan berprasangka seperti itu! pingsannya kamu itu gara-gara ulahmu sendiri yang lancang membakar barang sembarangan dan menantang penghuni alam lain di belakang rumah.
Masih untung kamu selamat! dan harusnya kamu berterima kasih pada Mbah Sarji serta Pak Luqman yang sudah menolongmu tanpa mengharap imbalan."
Kali ini Warni terdiam. Melihat api kemarahan di mata Pak Kasdi yang sebelumnya belum pernah ia lihat. Membuat suasana sejenak terasa hening, kala ke empatnya seperti terhanyut dalam pikiran masing-masing.
Tapi tak lama keheningan ruang keluarga tersudahi oleh suara lirih Mbok Ngah yang membujuk Warni. Tangan keriputnya mengusap pelan pada rambut putrinya dengan penuh kasih sayang, di sertai ucapan nasehat agar bisa di mengerti dan bisa meluluhkan hati Warni.
Sepintas Warni tampak mendengar dan seperti menerima nasehat dari Mbok Ngah. Itu terlihat saat ia bangkit dan berjalan kembali ke dalam kamar, dengan membawa dan tetap menggenggam botol berisi air putih pemberian Rahmad dari Ust Luqman yang di titipkan Mbah Sarji.
Tanpa berucap atau berkata apa-apa lagi kepada Suami maupun kedua orang tuanya.

***
Setelah perdebatan pagi itu, Warni lebih banyak mengurung diri dalam kamar. Tak menghiraukan kesibukan di dapur dari beberapa tetangga dan kerabat dekatnya serta keluarga dari suaminya, dalam menyiapkan hidangan ala kadarnya untuk acara di malam hari.
Ia bahkan mengacuhkan Mbah Sarji yang tiap malam selalu masuk di temani Rahmad ke dalam kamar guna menyusun empat mangkok berisi bubur dan empat kelapa muda hijau tertumpang masing-masing sebuah telur di atasnya selama tiga hari berturut-turut.
Tepat di hari ke empat atau setelah Mbah Sarji dan Ustad Luqman mengakhiri seluruh acara di rumah Rahmad, suasana rumah Rahmad kembali sunyi. Mbok Ngah serta Pak Kasdi juga sudah kembali pulang ke rumah mereka sendiri.
Pulang dengan membawa harapan keselamatan dan tak terulangnya kembali kejadian yang hampir merenggut nyawa putri serta calon cucu mereka selepas beberapa hari acara di gelar.
Kehidupan Warni dan Rahmad sementara waktu normal seperti sedia kala. Rahmad sendiri tak lagi merasakan hal ganjil atau sesuatu janggal dalam diri Warni.
Istri yang selalu menampik adanya hal ghaib atau apapun, setelah acara itu sekilas terlihat berubah di matanya. Membuatnya merasa tenang saat dirinya bekerja dan meninggalkan sendiri di rumah.
Namun, semua itu tak bertahan lama. Berawal dari kecurigaannya di waktu sore hari saat ia baru saja pulang bekerja, mendapati suara samar percakapan di dalam kamar. Rahmad terheran, terpaku sebentar di ruang keluarga, menajamkan pendengarannya untuk memastikan suara -
- wanita tua yang menjadi lawan bicara istrinya.

Rasa penasaran yang semakin menguat akhirnya memaksa kaki Rahmad untuk berayun mendekat dan masuk ke dalam kamar, setelah ucapan salam dari bibirnya terlebih dahulu mengawali.
Sedikit terperanjat Rahmad, melihat seorang wanita tua berambut putih rata, bertapi jarik batik putih tengah berdiri di samping istrinya sambil kedua tanganya tertumpu, mengelus perlahan perut buncit Warni.
Rahmad merasakan hal berbeda ketika tatapan matanya beradu pandang dengan sosok wanita tua yang tetiba saja menoleh. Ada kengerian dari sorot matanya yang tajam, membuat Rahmad sedikit takut dan cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
"Mas, baru pulang?" sapa Warni saat menyadari kehadiran suaminya.
"Oh, ya Mbah. Ini suami saya, Mas Rahmad," sambung Warni memperkenalkan Rahmad pada sosok wanita tua di sampingnya.
Rahmad hanya membisu dan tetap terpaku, kala sosok wanita tua itu lagi-lagi menatapnya sembari tersenyum, atau tepatnya menyeringai. Menambah semakin kuat rasa takut dalam benaknya.
"Ini Mbah Sulak, Mas. Beliau tukang urut yang biasa memijat wanita hamil di kampung ini," kembali Warni menyambung ucapanya. Dan kali ini ia memperkenalkan sosok wanita tua yang dirinya sebut sebagai Mbah Sulak.
Rahmad hanya menggangguk pelan. Bibirnya masih terasa kelu melihat seringaian terus saja menghias dari bibir Mbah Sulak. Hingga akhirnya, Rahmad yang merasakan suasana hati dan pikiran semakin tak enak, memutuskan untuk keluar kamar.
Akan tetapi, baru saja ia membalikkan badan, suara berat Mbah Sulak menghentikan kakinya melangkah. Membuatnya semakin merinding takut, manakala sosok Mbah Sulak mendekat. Bukan saja karena sosoknya yang terlihat ngeri oleh mata Rahmad saat itu,
melainkan juga bau menyengat yang menyebar dari tubuh Mbah Sulak.
Bau yang seketika mengingatkanya akan satu hal, dan biasa ia jumpai atau di pakai dalam mengurus prosesi sebuah jenazah. Yaitu, bau Kapur Barus.
"Bocahmu bagus rupane,"
Rahmad yang mendengar bisikan lirih dari Mbah Sulak seketika terjingkat. Meski tak mengerti sepenuhnya makna dari ucapan itu, namun Rahmad menangkap gelagat aneh dan ganjil dari cara Mbah Sulak berucap yang kemudian di susul kembali dengan sebuah senyum seringai menakutkan.
Tak mampu lagi berkata-kata saat itu Rahmad. Ia meneruskan langkah keluar kamar dan merebahkan tubuhnya di kursi tamu. Pikirannya melayang meraba-raba tentang siapa Mbah Sulak sebenarnya.
Sampai waktu serta suasana di luar sudah gelap, Rahmad masih terduduk sendiri dalam diam. Merasai adanya ketidaknyamanan di benak dan hati tentang kehadiran Mbah Sulak.
Berbagai macam pertanyaan berkelebat dalam kepalanya. Tentang siapa yang mengundang Mbah Sulak, di mana tempat tinggalnya dan dari mana Warni tau tentang Mbah Sulak seorang dukun pijat. Namun dari semua itu, Rahmad belum tau satupun jawaban dari rasa penasarannya.
"Mas, kok ngelamun di sini?"
Satu sapaan pelan dari belalang, tetiba saja mengagetkan dan membuyarkan lamunan Rahmad. Sebentar ia menoleh, melihat istrinya yang sudah berdiri tengah menatapnya.
"Sudah selesai, Dek?" sahut Rahmad bertanya sembari bangkit dari duduknya.
"Sudah. Lho, apa Mas Rahmad tadi gak ketemu Mbah Sulak?" jawab Warni dengan wajah datar dan balik bertanya.
Ucapan Warni kali ini lagi-lagi membuat Rahmad terkejut. Jelas bagi dirinya sedari tadi duduk di ruang tamu, tak melihat kepergian Mbah Sulak. Apalagi saat matanya melirik pintu depan masih tertutup rapat, meyakinkan dirinya jika tak ada siapapun yang lewat maupun keluar dari -
- dalam rumah.

"Dek, dari awal saya keluar kamar, ya ... cuma duduk di sini gak kemana-mana. Tapi gak melihat Mbah Sulak keluar," ucap Rahmad menjelaskan.
"Ahh, mana mungkin. Mas Rahmad pasti kecapekan dan melamun tadi. Jadi gak melihat Mbah Sulak keluar," sanggah Warni dengan pikiran logisnya.
"Enggak, Dek. Meskipun Mas melamun, pasti melihat jika Mbah Sulak keluar. Coba aja kamu pikir, Mas duduk di sini dan bila ada orang lewat mau keluar kan lewat depan sini," sahut Rahmad kembali sambil menunjuk letak duduknya yang memang tepat berada di lorong tak berdaun pintu,
berbatasan langsung antara ruang tamu dan ruang keluarga.
"Mas ... Mas benar-benar butuh istirahat. Biar pikiran halu Mas, bisa segera mencair dan hilang. Wong jelas-jelas saya tadi lihat Mbah Sulak keluar kamar dan mendengar pintu di buka.
Ini pasti Mas Rahmad sudah terlalu banyak kemakan ucapan si orang tua itu. Jadi, dikit-dikit langsung nyambung ke urusan takhayul," tegas Warni, mulai dengan suara sengit.
"Tapi, Dek. Mas benar gak lihat Mbah Sulak. Dan ini tak ada sangkut pautnya dengan Mbah Sarji," sergah Rahmad.
"Sudahlah, Mas. Capek ngomong sama kamu. Setiap apapun selalu saja di kaitkan dengan hal mistislah, setanlah, ghaiblah, gak ada yang lain saja," jawab Warni kembali dengan kesal, sambil melangkah pergi meninggalkan Rahmad, yang masih di liputi rasa kebingungan.
"Tidak! tidak mungkin Mbah Sulak keluar lewat sini. Pasti ada yang tak beres ini," ucap Rahmad dalam batin.
Tak berapa lama Rahmad pun melangkah masuk. Tapi langkah Rahmad bukanlah menyusul Warni yang sudah berada di dalam kamar, melainkan menuju kebelakang.
Sesampainya Rahmad di dapur, matanya menatap lurus ke arah pintu. Ia kembali terhenyak mendapati daun pintu menempel rapat dengan pengait besi menempel seperti biasa. Menunjukan jika pintu itu masih terkunci kuat dari dalam.
Sejenak Rahmad terdiam mengedarkan pandanganya. Menatapi tiap sudut ruangan seperti tengah mencari-cari sesuatu. Tapi tak lama, Rahmad menarik nafas panjang. Saat tak mememukan apapun yang di carinya di ruangan itu.
Rahmad akhirnya membalikan badan serta melangkah kembali ke kamar. Berharap apa yg di katakan Warni adalah benar. Namun nyatanya, harapan Rahmad kembali terbantahkan sesuatu di dalam kamar. Ia tertegun diam saat baru masuk mendapati bau kapur barus, msh tercium tajam di hidungnya
Ada keraguan menyirat di wajah Rahmad saat itu. Tapi, cepat dirinya tepis demi untuk mengistirahatkan tubuhnya dan berganti pakaian.
Lama Rahmad terdiam menatapi langit-langit kamar sambil sesekali menyesapi bau kapur barus yang sudah hampir memudar. Pikiranya masih belum bisa membuang akan hal aneh dan ganjil tentang sosok Mbah Sulak.
Ingin saat itu ia menanyakan pada Warni, tapi melihat istrinya yang sedang mengandung seperti sudah terlelap, Rahmad menahannya.
Sudah menjadi kebiasaan Warni, setelah ba'da Isya beristirahat. Terkadang rasa bosan menghinggapi diri Rahmad. Ingin rasanya ia keluar rumah dan membaur dengan warga sekitar, namun keinginannya itu selalu mendapat tentangan dari Warni.
Membuatnya harus bersabar dan mengalah, meski sering mendapat dan mendengar sindiran dari beberapa teman serta tetangganya.
Semakin lama Rahmad larut dalam ayunan keheningan di dalam rumah dan juga bau kapur barus yang sudah menghilang, membuat matanya mulai redup dalam kelegaan. Sampai akhirnya Rahmad tertidur, benar-benar tertidur dengan pulasnya.
Akan tetapi, beberapa jam kemudian lagi-lagi Rahmad terjaga. Terkejut dengan suara derit pintu depan seperti tengah di buka. Lalu tak lama di susul derap langkah kaki yang menuju ke ruang belakang. Membuat Rahmad, seketika terjingkat bangkit dari pembaringan.
Pelan dan berjinjit langkah Rahmad saat itu. Sebab dalam benaknya, membersit satu pikiran jika yang masuk adalah seseorang dengan maksud tujuan tak baik.
Setapak demi setapak langkah hati-hati Rahmad mengikuti suara menuju ruang dapur. Mencoba sedekat mungkin untuk mengetahui siapa yang telah lancang masuk ke dalam rumahnya di waktu larut.
Namun, sesampainya di pintu tak berdaun yang menghubungkan ruang keluarga dan dapur, serta hanya berbatas kain gorden, Rahmad yang mengintip dari sibakan celah kain tak menemukan apa-apa.
Rahmad terdiam membisu, sambil terus mengitari ruang dapur dengan kedua bola matanya. Tak ada apapun, semua terlihat wajar dan seperti biasa. Hingga sampai pada titik di mana dirinya teringat tentang lampu yang menyala terang, barulah Rahmad mulai tersadar akan hal janggal.
Buru-buru Rahmad mematikan lampu terang di dapur dan berniat kembali ke dalam kamar. Tapi sebelum masuk, ia masih menyempatkan diri melihat pintu depan yang jelas tadinya terdengar berderit.
Dan saat itu juga, semakin kuat keyakinannya bila yang ia dengar adalah sebuah gangguan, sebab pintu itu, dirinya lihat masih rapat tertutup tanpa bergeser sedikitpun besi kecil pengait sebagai penguncinya.
Rasa takut mulai menyergap diri Rahmad, walau ia sudah kembali berbaring di atas ranjang. Entah mengapa setelah itu matanya seperti enggan untuk kembali terpejam. Sebentar ia melirik jam dinding yang menggantung di atas pintu kamar.
Di mana jarum pendek menunjuk ke angka dua dini hari, sehiingga semakin membuat pikiran dan jiwanya tersusupi rasa takut.
Semakin lama ia terjaga dan berpikir, semakin dirasa tubuhnya dingin. Sampai akhirnya, Rahmad memaksa matanya untuk terpejam. Tapi, tak lebih dari lima tarikan nafas Rahmad memejamkan mata, lagi-lagi ia dikejutkan dengan suara bunyi sanyo di barengi gemericik -
air mengalir dari kamar mandi rumahnya.
Sempat terheran Rahmad kala itu. Selain jg merasa ketakutan, saat menerka bila itu adalah lanjutan dari gangguan tadi.
Semakin lama suara gemericik air semakin deras. Meski suara mesin sanyo sudah mati, tp kali ini berganti suara gebyuran air persis seperti orang yg tengah mandi
Rasa penasaran yang begitu kuat akhirnya mengalahkan rasa takut dalam diri Rahmad. Membuatnya bangkit dan kembali melangkah keluar kamar menuju dapur untuk kedua kalinya.
Tiba di pintu, satu keanehan sudah menyambutnya. Melihat lampu yang baru beberapa menit sudah di matikan, kini sudah kembali menyala.
Ingin Rahmad saat itu meninggalkan ruang dapur yang sudah membuat tubuhnya merinding. Tapi entah mengapa, Rahmad mendadak seperti merasakan satu kekuatan yang tak bisa ia tolak, menarik kakinya untuk menapak di lantai dapur.
Perlahan kaki Rahmad mengayun pelan menuju kamar mandi yang masih terdengar samar suara gemericik air. Namun sesampainya Rahmad di kamar mandi berkulah, wajahnya berubah pias dengan mata setengah melotot.
Melihat kulah berisi penuh air dalam kondisi tenang. Terlebih, ketika Rahmad mengalihkan pandanganya ke bawah, tepatnya di lantai, ia tak melihat setetes air pun yang membasahi.
Ketakutan Rahmad benar-benar mencuat. Jiwanya tercekat hebat saat tanpa sengaja menatap ke arah dinding dengan beberapa paku tertancap biasa dirinya gunakan untuk menggantung handuk, terlihat jelas seikat rambut putih panjang tersampir.
Tak hanya itu, dari rambut yang tergerai, terjuntai ke bawah, Rahmad menangkap aroma kapur barus teramat pekat, sampai membuat dadanya terasa sesak dan nyeri.
Rahmad cepat-cepat membalikan badan. Melangkah terburu seirama degup jantungnya yang sudah tak beraturan.
Sesampainya ia di kamar, segera menyelimuti seluruh tubuhnya.
Membiarkan keringat dingin yang membasahi tubuh dan pakaiannya. Mengabaikan suara lirih nan samar dari kamar mandi, lagi-lagi terdengar layaknya orang tengah mandi sembari bersenandung kecil.
Malam itu adalah awal dari puncak semua kejadian pilu yang merenggut harapan kebahagiaannya. Tak bisa di tolak atau pun dirinya cegah.
Di hari kedua, sama persis di waktu yang sama. Saat fajar mulai meredup, Rahmad yang baru pulang dari mencari nafkah, kembali mendapati istrinya tengah di pijat oleh sosok Mbah Sulak.
Keanehan dan kejanggalan sudah Rahmad rasakan dari tatapan dan bau kapur barus sosok tua Mbah Sulak yang sedang mengelus pelan bagian perut Warni. Rahmad hanya diam, tak mampu ia bersitatap lama,
tak sanggup dadanya menampung aroma kapur barus yang menyengat, membuatnya memilih untuk keluar dari kamar dengan iringan seringai kecil yang selalu keluar dari bibir tua Mbah Sulak bila melihat dirinya.
Tapi sore itu, Rahmad mempunyai pemikiran lain. Ia mencoba membangun keberanian guna menjawab rasa penasaran serta ingin mengetahui, siapa sosok Mbah Sulak sebenarnya.
Rahmad saat itu duduk menunggu tepat di sisi kiri pintu lorong bersekat kain gorden berenda bunga. Setelah sebelumnya sengaja menggeser letak kursi untuk tujuan memudahkan dirinya melihat jelas ke arah pintu kamar.
Semenit, dua menit, sampai puluhan menit Rahmad menunggu, akhirnya yang ia tunggu pun muncul.
Mbah Sulak, dengan tubuh sedikit membungkuk melangkah pelan keluar dari dalam kamar.
Matanya seketika menyorot tajam melihat Rahmad yang duduk dan juga tengah memandang dirinya, seperti tau bila Rahmad sengaja menunggu.
Sebentar mereka beradu pandang untuk kesekian kali. Lalu tak lama, Rahmad bangkit dan selangkah maju mendekat.
"Mari, Mbah. Saya antar pulang," ucap Rahmad, sedikit menekan rasa takut, kala mencoba menawarkan diri untuk mengantar sosok Mbah Sulak.
"Tidak usah. Saya bisa pulang sendiri," sahut Mbah Sulak dgn suara berat sedikit serak.
"Hari sudah gelap, Mbah. Biar lebih cepat, Mbah sampai di rumah," kembali Rahmad menawarkan diri. Berharap jika Mbah Sulak bersedia dirinya antar, dan menjadi jawaban atas rasa penasarannya.
Kali ini Mbah Sulak hanya diam. Mata tuanya semakin menyorot tajam, seperti ada sesuatu dirinya tak sukai dari kalimat yang di ungkapkan Rahmad.
Sebentar sosok Mbah Sulak melangkah lebih mendekat ke arah Rahmad.
Dan berhenti tepat di sisi kanan Rahmad. Membuat jantung Rahmad mendadak berdegup kencang saat merasakan hawa berbeda dari sosok tua bertapi jarik yang kini di sampingnya, selain bau kapur barus yang tajam menyebar dari tubuh berkulit penuh kerutan.
"Rumahku tak jauh dari sini. Dan cucu-cucu saya, sudah menunggu untuk menjemput. Jadi kamu tak perlu mengantar," bisik lirih Mbah Sulak, di telinga kanan Rahmad.
Antara kaget dan takut saat itu di rasa Rahmad. Meski suara Mbah Sulak pelan masuk ke dalam gendang telinganya, tapi makna dari kalimat itu, janggal dan langsung membuat merinding tubuhnya.
"Saya permisi dulu, besok saya datang lagi," ucap Mbah Sulak kembali masih lirih, sebelum senyum sinis di sudut bibir, mengawali tubuh bungkuknya berbalik dan melangkah pelan menuju pintu belakang.
Rahmad semakin terpaku. Menyaksikan kepergian Mbah Sulak lewat belakang, bukan melewati pintu depan sebagaimana umumnya seorang tamu.
Seketika rasa penasaran menggelanyuti benak Rahmad, demi keingintahuan kemana lagi arah Mbah Sulak selepas dari rumahnya.
Saat itu juga, Rahmad mengikuti langkah Mbah Sulak. Mengabaikan suara Warni yang beberapa kali memanggil namanya.
Dingin di rasa Rahmad saat baru menapak lantai ruang keluarga. Walau ia tau waktu memang telah petang sesudah beberapa menit lalu telinganya mendengar Iqomah sebagai tanda masuknya waktu Sholat Maghrib berjama'ah. Namun kali ini, rasa dingin yang menjalari sekujur tubuh,
terasa lain dari hari biasanya.
Rahmad terus saja melangkah sedikit berjinjit. Meski ada beberapa hal janggal sudah menyambut, namun tak ia perdulikan. Ia baru berhenti, terdiam kaku mematung, saat melihat Mbah Sulak sudah berada di ambang pintu belakang.
Seringai tajam sesaat menghias dari bibir Mbah Sulak kepada Rahmad, sebelum kakinya melangkah keluar.
Tepat di saat itu, satu pemandangan di luar, seketika membuat tubuh Rahmad gemetar. Jelas, sangat jelas mata Rahmad melihat beberapa sosok anak kecil berkain sewek menyambut dan menggandeng tangan Mbah Sulak.
Sosok-sosok itu terlihat riang, mengerubung dan berlarian mengelilingi tubuh Mbah Sulak, layaknya cucu yang bermanja pada neneknya.
Kini, Rahmad yakin dgn firasatnya tentang siapa sebenarnya sosok Mbah Sulak. Keyakinan itu semakin menguat dlm diri Rahmat, manakala ia memberanikan diri mendekat ke arah pintu, dan mendapati sosok Mbah Sulak di iringi puluhan anak kecil, melangkah lurus menuju ke belakang rumah.
Suasana yang gelap memendekan jarak pandang mata Rahmad. Sehingga hanya bisa melihat sampai pada tempat yang terkena sebaran cahaya lampu dari sudut kanan. Namun dari situ, Rahmad tau, Rahmad mengerti arah ke mana Mbah Sulak berjalan dan menghilang.
Dari situ juga, Rahmad mengetahui sosok Mbah Sulak yang tiba-tiba berubah wujud menjadi sosok wanita cantik, bergaun putih lusuh dengan rambut terjuntai memanjang sampai menyapu tanah. Membuat dirinya langsung bergidik ngeri penuh ketakutan.
"Mas, Kamu ngapain di situ?"

Terjingkat kaget Rahmad, mendengar suara Warni dari arah belakang. Sebentar ia menoleh, menatap istrinya yang sudah berdiri sedikit bersandar pada pintu lorong penghubung dapur dan ruang keluarga.
"Gak apa-apa, Dek," sahut Rahmad mencoba menutupi ketakutannya.
Cepat-cepat Rahmad berpaling. Sekilas matanya masih sempat melirik ke arah luar.
Di mana, sosok Mbah Sulak yang berubah menjadi sosok wanita cantik bergaun putih panjang dan puluhan anak kecil sudah menghilang. Berganti kabut-kabut tipis bertebaran menghias gelap malam, sebelum tangannya dengan keras menutup pintu dan menguncinya.
Rahmad segera beranjak dari ruang dapur. Menghampiri Warni yang memasang wajah menciut, dan langsung menarik pelan membawanya ke dalam kamar.
"Ada apa sih, Mas? kok semakin aneh saja kamu ini?" tanya Warni sesampainya di dalam kamar.
"Dek, ini benar-benar bahaya! Aku harus menemui Mbah Sarji dan Pak Luqman malam ini juga," jawab Rahmad dengan panik.
"Bahaya? bahaya kenapa, Mas? apanya yang bahaya?" tanya Warni dengan raut heran. Namun tak lama, wajah Warni kembali berubah sebelum Rahmad sempat menjawab.
"Jangan kamu bilang ini ada urusanya dengan hal takhayul, hingga kamu mau menemui orang tua itu. Tidak ...! tidak Mas. Aku tidak ijinkan kamu pergi! apalagi cuma untuk menemui orang tua dan Ustad itu!"sambung Warni tegas dan sengit.
"Dek, sekarang aku tanya. Dari mana kamu tau dan mengenal Mbah Sulak, sebagai seorang tukang pijat?" tanya Rahmad masih dalam kepanikan.
"Dia itu memang dukun pijat, Mas. Mbah Sulak itu juga warga kampung sini, yang biasa mengurusi wanita hamil sampai masa lahiran. Kemaren dia datang dan menawarkan diri buat ngurut saya, kebetulan memang saya kan sudah lama gak pijat.
Dan pijatanya tu, enak, nyaman banget. Cocok aku pokoknya sama pijitannya."
Warni menjawab dengan panjang lebar. Tapi dari jawaban itu, semakin menyiratkan kecemasan dan kekhawatiran dalam diri Rahmad.
"Tidak, Dek. Besok kalau dia dtg lagi, kamu harus menolaknya. Dia itu bukan manusia. Mbah Sulak itu sosok wanita yg Mas lihat beberapa kali di belakang rumah. Dia bukanlah manusia," sahut Rahmad menjelaskan tentang apa yg sudah benar-benar ia saksikan sendiri beberapa menit lalu.
"Mas, coba deh. Mas Rahmad sekali-kali berpikir secara logis. Jangan mudah percaya dengan hal-hal seperti itu. Apalagi berdasarkan ocehan orang tua itu," lagi-lagi sangkalan keluar dari mulut Warni, mendengar ucapan suaminya.
"Kali ini tolong kamu percaya, Dek. Mas tadi lihat sendiri, jika Mbah Sulak berubah menjadi sosok wanita yang pernah Mas lihat sebelumnya. Dan rumah Mbah Sulak itu di belakang rumah kita ini. Makanya, Mas mau nemuin Mbah Sarji dan Ustad Luqman yg tau dengan hal-hal seperti ini."
Terang Rahmad yang masih ngotot dan berusaha meyakinkan Warni.
"Terserah apa kata kamu, Mas. Aku tetap nggak percaya dengan semua itu. Aku yakin jika Mas Rahmad terlalu banyak berhalusinasi dan kemakan cerita dari orang tua itu. Mas mau anggap manusia atau bukan Mbah Sulak, itu terserah Mas Rahmad. -
Tapi aku tetap tak ijinkan Mas Rahmad keluar dan menemui orang tua maupun Ustad itu titik!"
Terdiam kali ini Rahmad, mendengar ucapan dan larangan keras nan sengit istrinya. Ia tak mampu lagi berkata, matanya hanya bisa menatap tubuh Warni yang sudah terbaring membelakangi.
Pikiran Rahmad seketika melayang penuh kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan, kala bayangan sosok Mbah Sulak, manari-nari di pelupuk mata. Seolah tengah tersenyum penuh kemenangan atas kegagalan sekian kalinya meyakinkan istrinya sendiri.
Lunglai tubuh Rahmad terduduk di tepian Ranjang. Dan tak lama, ia pun terpaksa ikut berbaring di samping Warni. Jiwanya berkecamuk, batinnya bercampur aduk antara takut, ngeri, dan cemas.
Membuat matanya enggan mengatup meski badannya yang sudah terasa dingin merasakan keletihan, setelah sehari penuh berkecimpung melaksanakan tugas dan kewajiban seorang laki-laki dalam mencari nafkah.
Selagi Rahmad hanyut dan tengah berpikir keras, satu perasaan takut kembali hadir dan menyusup kuat, saat tiba-tiba saja, hidungnya membaui satu aroma wangi yang tak asing. Hingga semakin lama, aroma wangi itu semakin menguat di dalam kamar,
membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya berdiri meremang.
Tak sampai di situ, perasaan takut dalam diri Rahmad, semakin menjadi-jadi. Ketika dirinya merasa ada sepasang mata tengah menatapi. Sepasang mata itu seolah tengah melotot dan mengawasi dengan tajam.
Rahmad terhenyak dan tercekat kuat, ketika sepasang mata dan bau wangi bunga kamboja, di rasanya begitu dekat, bahkan sangat dekat sekali, seperti berada tepat di sampingnya, bersebelahan dengan tubuh Warni yang telah terlelap berselimut.
Namun ketika ia bangkit terduduk, mengamati serta ingin memastikan, sepasang mata dan bau wangi bunga kamboja mendadak hilang. Hanya geraian rambut hitam tanpa di ikat milik istrinya yang terlihat.
Membuat dirinya tertegun sejenak, sebelum buru-buru menarik selimut, menutupkan ke seluruh tubuhnya.

***
Pagi itu, setelah mengisi perut serta mengemas keperluan kerja, Rahmad dengan wajah lesu melangkah dan menghampiri kuda besi buatan jepang yang selalu menemaninya bekerja.
Tapi pagi itu, sepertinya ada hal lain yang di lakukan Rahmad. Sebab jalan yang biasa dan seharusnya ia lalui untuk ke tempat kerja berbelok ke arah kanan, namun pagi itu Rahmad seperti sengaja berbelok ke arah kiri.
Ia terus memaju laju kendaraan roda dua warna merah miliknya. Menyusuri jalanan kampung tanpa aspal dan banyak berlubang.
Melewati puluhan rumah warga, sampai akhirnya berbelok dan berhenti di halaman sebuah rumah berdinding tembok bercat hijau, berteras lebar dan memanjang seperti sebuah pendopo.
Tak berapa lama, setelah tiga atau empat kali Rahmad mengucap salam, seorang lelaki tua dengan memakai sarung dan berkopiah lusuh, muncul menyambutnya.
Keduanya segera duduk di kursi berukir dengan sebuah meja bulat di tengah. Sepintas berbasa-basi, sampai akhirnya Rahmad mengutarakan dan memulai cerita panjang lebar, tentang kejadian demi kejadian yang dalam dua malam ia alami berkenaan munculnya sosok Mbah Sulak.
Sejenak laki-laki tua yg tak lain adalah Mbah Sarji, mendengarkan seksama dari awal cerita Rahmad dengan wajah biasa dan sesekali datar. Hingga sampai pd saat Rahmad menyebut nama Mbah Sulak, wajah Mbah Sarji seketika berubah menegang kencang, menunjukan rasa terkejut yg teramat.
"Celaka! jika benar-benar sosok Mbah Sulak muncul dan sudah menemui istrimu, Mas Rahmad!" ucap Mbah Sarji tegang.
"Maksudnya, Mbah?" tanya Rahmad mulai sedikit cemas.
"Istrimu berarti tak meminum serta menggunakan air pemberian saya dan Pak Luqman. Juga ada sesuatu telah di lakukan istrimu sampai mengundang kemunculan sosok Mbah Sulak yang sudah puluhan tahun tak terdengar kemunculannya,"
jawab Mbah Sarji sembari matanya menerawang jauh ke depan, seperti tengah memutar memori dalam ingatannya.
"Siapa Mbah Sulak, sebenarnya Mbah?" tanya Rahmad kembali, yang belum mengerti.
Sebentar Mbah Sarji terdiam. Seakan enggan menjawab pertanyaan Rahmad. Namun kemudian, satu tarikan nafas berat mengawali sebuah kalimat jawaban, yang membuat Rahmad terhenyak dalam ketakutan.
"Mbah Sulak, adalah seorang dukun ilmu hitam yang merangkap dukun bayi. Ia menjadi jujugan para wanita malam guna memasang susuk ghaib dan juga orang yang ingin menggugurkan kandungan. Ia adalah pemilik pertama rumah yang kamu tempati."
"Dulu, rumah itu adalah praktek perdukunan dan tempat aborsi. Sehingga banyak janin serta bayi yang di buang, di kubur sembarangan di pekarangan belakang rumah itu. Sampai akhirnya,
warga yang geram setelah mengetahui perbuatan Mbah Sulak, menghakimi dan mengubur hidup-hidup Mbah Sulak di tempat yang sama. Di tempat terkuburnya puluhan janin dan bayi hasil perbuatannya." Jelas kembali Mbah Sarji, dengan raut wajah yang masih menegang.
"Yang aku takutkan, anak dalam kandungan Istrimu, sebab hampir semua wanita yang tengah mengandung, bila bersentuhan dengan sosok Mbah Sulak, di pastikan kehilangan janinnya," ucap Mbah Sarji, membangkitkan rasa cemas kembali dalam diri Rahmad.
"Apa yang harus saya lakukan demi menyelamatkan Istri dan calon anak dalam kandungannya, Mbah?" sahut Rahmad dengan penuh kekhawatiran.
"Bawa Istrimu keluar dari rumah itu hari ini juga! jangan kembali sebelum tali pusar mengering dan Pancer Papat Istrimu pulang ke dalam rahim. Hanya itu satu-satunya cara supaya janin dalam kandungan Istrimu lepas dari incaran Mbah Sulak."
"Andai Istrimu tak Mbanggel, mungkin Mbah Sulak masih terkubur dalam kubangan jasad mati yang terkurung. Tapi sekarang sudah terlambat!" sambung Mbah Sarji menjelaskan.
"Apa tak ada cara lain, Mbah? mungkin dengan bantuan orang-orang tua, Ustad atau sesepuh spiritual di kampung ini, supaya bisa mengusir sosok Mbah Sulak." Ujar Rahmad di sela-sela pikirannya, yang terfokus pada saran Mbah Sarji.
"Iblis tak akan bisa musnah, Mas. Siapapun yang bersekutu dengannya, akan abadi dalam kesesatan. Hanya raganya bisa musnah, tapi sukmanya akan tersandra oleh ikatan yang telah tergadai.
Kelak di hari Kiamat, sukma dan raganya bisa kembali menyatu, guna mempertanggung jawabkan di hadapan Pengeran kang mbau rekso alam dunyo." Jelas dan terang, jawaban dari Mbah Sarji, setelah sebelumnya menggelengkan kepala pelan.
Rahmad tertegun, ia tidak menampik ucapan Mbah Sarji. Meski dirinya belum begitu tau akan hal seperti itu, tapi ia tak memungkiri satu kebenaran terkandung dari kalimat-kalimat yang di lontarkan Mbah Sarji.
Secercah harapan sesaat menyelinap dalam benak Rahmad. Tapi di balik itu, tak luput satu keresahan juga ikut menyusup. Mengingat akan sifat keras membatu istrinya, ibarat karang yang tertanam tajam dan kokoh di lautan.
Memikirkan hal itu, sedikit mengendurkan semangat Rahmad. Seakan sudah tau apa yang bakal terjadi, bila dirinya bercerita serta mengajak Warni untuk meninggalkan rumah, yang sudah di beli dari hasil jerih payah mereka berdua.
Apalagi, dengan satu alasan selama ini amat di ingkari istrinya, bakal semakin menyulitkan dirinya guna bisa mengikuti saran dari Mbah Sarji.
Hari itu, Rahmad memutuskan untuk tak bekerja. Setelah meneruskan obrolan sebentar, ia pun pamit kepada Mbah Sarji. Memacu kembali kuda besinya, menuju ke rumah orang tuanya dan beberapa keluarga dekat serta orang tua Warni.
Dengan harapan bisa menemukan solusi untuk mengatasi masalahnya.
Tak ada satupun dari seluruh keluarga dan orang tua yang menolak saran dari Mbah Sarji setelah di jabarkannya. Membuat setitik harapan menyinar dari wajah Rahmad. Namun, harapan itu seketika memudar saat waktu menginjak sore dirinya sampai di rumah.
Lagi-lagi, semua upaya serta rencana yang telah mendapat restu seluruh keluarga, terbentur dan mendapat penolakan keras dari Warni.
"Untuk apa pindah? di sana maupun di sini sama, Mas!" Ujar Warni tak setuju, setelah mendengar semua penjelasan dan ajakan Rahmad.
"Iya, Dek. Tapi ini demi kebaikan kita semua. Aku ingin calon anak kita sehat, lahir dengan selamat," timpal Rahmad berusaha meyakinkan.
"Lho, kenapa dengan calon anak kita? dia sehat Mas. Bahkan aku jauh lebih baik sekarang, setelah di urut dan minum ramuan dari Mbah Sulak," bantah Warni dengan datar.
Meski tak terkesan keras ucapan Warni, namun sanggup membuat Rahmad terhenyak. Wajahnya seketika menegang, mendengar nama Mbah Sulak dan kalimat ramuan terucap dari bibir istrinya.
"Justru itu, Dek. Aku mengajak kamu untuk sementara pindah. Dek, Mbah Sulak itu pemilik pertama rumah ini, dan dia sudah meninggal puluhan tahun silam terkubur tanpa terurus di belakang rumah," sedikit bergetar suara Rahmad, berusaha menjelaskan alasan intinya.
"Mas, kamu jangan ngaco. Dari mana kamu dapat cerita seperti itu!" tanya Warni sembari bangkit dari duduknya, seperti terkejut mendengar ucapan Rahmad.
"Mbah Sarji. Beliau sudah menceritakan semuanya. Karena itu juga, yang menjadi alasan kuatku mengajak kamu sementara pindah. Kamu tau ...? kini Mbah Sulak sedang mengincar calon anak kita." Dingin, jawaban Rahmad kali ini.
"Sulit bagiku Mas, untuk percaya dengan semua cerita dari orang tua itu. Aku sudah terlanjur nyaman berada di dalam rumah hasil keringat kita berdua. Aku yakin, kita akan baik-baik saja. Lagian, tinggal beberapa bulan lagi, masa kelahiran anak kita. -
Jadi, kamu gak usah berpikir aneh-aneh mulai sekarang," sahut Warni yang kembali duduk di samping Rahmad. Tangannya perlahan mengelus bahu Rahmad. Mencoba untuk menghibur suaminya yang terlihat kalut.
"Tapi, Dek. Ini beneran! Mas tadi juga mencari tau dari beberapa teman dan warga kampung sini tentang siapa Mbah Sulak. Dan jawaban mereka sama, jika Mbah Sulak itu sudah meninggal. Bahkan, meninggalnya itu di kubur hidup-hidup oleh warga yang kesal dengan perbuatannya.
Mbah Sulak itu dulunya memang dukun pijat tapi juga penganut ilmu hitam," ungkap Rahmad kembali masih berusaha untuk tak menyerah meyakinkan Warni.
"Lebih baik, nanti kita tanya langsung kebenaran cerita yang Mas dapat pada Mbah Sulak. Biar jelas! aku sih gak percaya. Masa ada orang sudah meninggal, kok masih bisa mijit. Nanti, Mas. Sebentar lagi Mbah Sulak datang, kita cari tau kebenaranya," -
sahut Warni, masih dengan ketidak percayaannya.
"Akan lebih baik lagi, jangan terima dan menemui dia lagi. Dek, aku benar-benar khawatir. Aku tak mau terjadi apa-apa lagi denganmu dan calon anak kita. Seperti waktu itu," ujar Rahmad sembari mendongakkan wajahnya.
Berharap Warni yang sudah menemani hidupnya beberapa tahun, luluh dan mau mengikuti nasehatnya.
"Kita lihat dulu kebenarannya, Mas. Jangan-jangan ini cuma fitnah dari orang tua sok pintar itu! juga orang-orang yang tak suka dengan kita dan Mbah Sulak. Kita tunggu sebentar lagi. Supaya semuanya bisa jelas!"
lagi-lagi, sahutan sengit, Rahmad terima dari Warni sembari bangkit dan melangkah pergi.
Rahmad hanya terdiam. Menatapi pungggung istrinya sebelum menghilang di balik kain gorden penyekat pintu penghubung. Sirat kecemasan tampak begitu kuat, menggurat pada wajahnya yang kuyu.
Sesaat setelahnya, ketika waktu merayap semakin sore, Rahmad mulai merasakan hawa lain dan suasana tak seperti biasanya. Ada perasaan aneh bergelanyut, menyusup, menguat dalam batinnya.
Apalagi, ketika matanya menyorot ke luar, melihat keredupan alam yang mulai tersembul bayang-bayang petang, seolah Rahmad rasa bagai satu tanda atau isyarat sebuah kesedihan.
Lama, lama sekali Rahmad termenung membisu di ruang tamu tanpa tau harus berbuat apa. Sampai tak menyadari bila suara panggilan, lantunan Adzan Maghrib berkumandang lantang, guna menggugah para hamba-hamba untuk segera mendatangi rumah suci,
menunaikan kewajiban sebagai mahluk tercipta, menyembah kepada yang menciptakannya secara berjama'ah.
Rahmad baru tersadar setelah suara saklar, lalu di susul gebyar nyala lampu di seluruh rumahnya. Meski dirinya tak mengetahui tangan siapa yang sudah menekan dan menghidupkannya.
Seketika Rahmad bangkit dan melangkah menuju pintu. Ia semakin sadar jika waktu telah berganti malam, melihat di luar, suasana sudah berubah gelap.
Rahmad sempat tertegun sejenak, mencoba mengingat-ngingat lamanya ia terduduk sendiri. Ia merasa seolah terhipnotis hingga tak bisa menghitung waktu. Padahal, sore itu, ia berkeinginan membawa Warni keluar, meski tak membawa pindah,
namun sekedar mengalihkan dari kedatangan Mbah Sulak.
Rahmad kembali menyandarkan punggungnya di kursi setelah menutup pintu rapat-rapat. Tapi tak lama, Rahmad kembali bangkit, saat satu jeritan melengking mengejutkannya.
Gugup dan setengah berlari Rahmad menghampiri kamar, tempat di mana jeritan itu berasal. Sampai sepersekian detik, tepatnya ketika Rahmad sudah di ambang pintu, tubuhnya mendadak terasa kaku dan dingin, sedingin tatapanya yang tertumpu ke atas ranjang.
"Mbah Sulak!"

Lirih suara gumam tercekat Rahmad, menyaksikan sosok Mbah Sulak tengah terkekeh dan duduk di atas perut istrinya. Ingin Rahmad segera menghampiri serta menolong Warni yang terlihat meringis, seperti menahan kesakitan teramat sangat.
Tapi saat itu, kaki Rahmad seolah terpaku, berat, tak mampu ia gerakan sedikitpun.
"Jangan, Mbah ... sakitt....!" Rintih Warni dengan mata melotot tertuju pada sosok Mbah Sulak.
Namun suara Warni, seolah satu rintih mengasikan bagi Mbah Sulak.
Ia terus saja tertawa ngikik sembari menghentak-hentakkan tubuhnya di atas perut buncit Warni. Membuat Rahmad yang melihat secara jelas, panik dan ketakutan.
"Mbah, tolong hentikan! jangan sakiti istri saya, Mbah. Lepaskan dia, Mbaahhh!" seru Rahmad di sela-sela kecemasan dan ketakutannya. Tapi lagi-lagi, seruan Rahmad tak di hiraukan sosok Mbah Sulak.
Bahkan tidak sedikitpun Mbah Sulak menoleh, ia malah semakin mengeraskan tawa ngikiknya, mengiringi jerit melolong dari bibir Warni.
Rahmad yang masih di rundung kepanikan, kini tersusup rasa tak tega melihat istrinya sangat tersiksa. Ia meraung dan memaksa kakinya untuk melangkah.
Namun, baru saja kaki kanannya terangkat, tiba-tiba ia merasa ada tangan-tangan yang menahannya, menarik kembali dengan kuat hingga menjejak dan menapak di lantai semula.
Sebentar Rahmad masih meraung serak. Berusaha keras dan gigih untuk bisa menolong istrinya. Tetapi kemudian, tak berapa lama, ia terdiam dalam puncak ketakutan. Saat matanya melihat ke bawah, mendapati jari-jari tangan mencengkram erat pada kedua kakinya.
Kilat kepasrahan nampak jelas dari raut wajah Rahmad. Tubuhnya serasa tak bertulang, menyadari sekeliling tempatnya berdiri, sudah di rubung sosok-sosok bocah kecil berkain sewek dengan bola mata membulat kecil berwarna putih rata.
Puluhan sosok bocah itu, terlihat riang. Tangan-tangan kecil mereka, saling berebut, memegang dan mencengkram kaki Rahmad. Seakan tau dan sengaja, menghalangi Rahmad yang berusaha menolong Warni.
Meski tangan mereka tampak kecil di mata Rahmad. Akan tetapi, ia merasa bila tangan-tangan itu begitu dingin, keras, dan kuat. Membuatnya hanya bisa terdiam pucat tak berdaya melawan cengkraman sosok-sosok bocah berbau amis, dan tak beralis.
Linangan air mata Rahmad, akhirnya meleleh di barengi rasa ngeri. Ketika tak lama kemudian, dirinya kembali mendengar lolongan menyayat dari istrinya, saat Mbah Sulak yg sudah turun dan berdiri di samping Warni, menarik paksa sesuatu dari dalam perut melalui jalan lahir istrinya.
Tawa ngikik panjang Mbah Sulak, di sambut rengekan riang puluhan sosok bocah tak berbaju dan berkepala plontos, sebentar menghias dalam kamar Rahmad. Manakala tangan tua Mbah Sulak, berhasil mengambil sebuah gumpalan sebesar kaki manusia dewasa, dari dalam perut Warni.
Bau amis bercampur arus spontan menyeruak, menyengat, berasal dari tangan Mbah Sulak yang sedang menimang-nimang gumpalan merah kehitaman dan berlumur darah.
Mbah Sulak terus menerus tertawa ngikik tiada henti. Sebelum akhirnya terdiam dan melototkan bola mata putihnya ke arah Rahmad.
Menggigil tubuh Rahmad, jiwanya terguncang hebat, saat Mbah Sulak berjalan pelan mendekatinya sambil mengacungkan gumpalan, yang dirinya tau adalah Janin, calon anak pertamanya.
"Sudah kubilang, anakmu bagus, kan?"
Semakin menggigil, gemetar, tubuh Rahmad, mendengar ucapan dan seringaian sinis dari bibir Mbah Sulak yang telah berdiri tepat di hadapannya.
Tak mampu lagi Rahmad berucap, atau menyahut. Hanya matanya yang sebentar mengerjap-ngerjap, seolah tak ingin melihat gumpalan ditangan Mbah Sulak.
Apalagi, saat wajah tua penuh keriput Mbah Sulak mendekat dan tinggal berjarak beberapa senti dari wajahnya, tubuh Rahmad seakan mati rasa. Tak lagi merasakan degup jantung dan desiran darah mengalir.
Yang ada, yang terasa olehnya saat itu, hanya sapuan dengus nafas menebar aroma amis, bercampur bau kapur barus dari sosok berbola mata putih rata, Mbah Sulak.
Lanjut besok malam.
"Anakmu sekarang aku yang merawat! sebagai ganti batalnya pengakuan, dan ingkarnya Istrimu, atas keberadaan kami di sini telah lebih dulu dari pada kalian!"
Tak kuasa lagi Rahmad menahan letupan rasa takut bercampur amarah. Mendengar kalimat Mbah Sulak, bila gumpalan yang di sodorkan tepat di wajahnya, adalah janin, calon anak dari rahim istrinya yang telah di ambil paksa meski belum sempurna.
Hanya raungan serak, saat itu terdengar dari tenggorokan Rahmad. Lirih, lemah, terkalahkan oleh riuh suara bocah-bocah berkain sewek, mengiring tawa ngikik sosok Mbah Sulak yang melangkah perlahan meninggalkan Rahmad.
Tubuh Rahmad seketika goyah, tergerak dan roboh saat kakinya gemetar tak mampu menopang lagi. Ia terduduk bersimpuh, menangis pelan, sebelum bangkit, memaksa kakinya berayun mendekati ranjang, tempat Warni terbaring.
Tangis meraung akhirnya pecah dan keras, ketika matanya mendapati kubangan darah di sela-sela dua kaki istrinya bagian atas. Tak mampu lagi Rahmad menahan kepedihan yang menggurat tajam, menusuk, dan mengobrak-abrik jiwanya.
Namun tak lama, raungan Rahmad terhenti, manakala tanganya merasakan denyut nadi dari pergelangan tangan istrinya. Satu harapan kembali muncul dalam diri Rahmad, saat tau masih ada nafas dalam diri Warni yang semula dirinya kira telah meninggal.
Tanpa berpikir panjang, Rahmad membopong tubuh lemah istrinya. Membiarkan limbahan darah menggenangi kasur bertilam kain halus, dan mengacuhkan sepasang mata menyorot sinis dari sudut kamar di sisi kiri.
Teriakan panik Rahmad seketika mengundang perhatian tetangga sekitar. Membuat beberapa lelaki yang kebetulan melihatnya membopong tubuh Warni, berdatangan dan segera membantu. Sampai akhirnya, dalam beberapa puluh menit saja, Warni bisa sampai di sebuah Puskesmas Desa.
Kekalutan masih terus menggelanyuti pikiran Rahmad, meski Warni telah berhasil di selamatkan. Merasakan deburan amarah masih begitu kuat menggelora dalam dada, kala bayang-bayang Mbah Sulak yang sudah merenggut calon anaknya, menari-nari di pelupuk mata.
Rasa sesal dan amarah Rahmad, semakin memuncak, ketika Warni di nyatakan telah keguguran, dan tak bisa lagi mengandung. Sebab akibat luka, rahimnya harus di angkat.
Malam itu juga, Rahmad menghubungi seluruh keluarga, orang tua serta mertuanya. Tak berapa lama mereka pun berdatangan, termasuk Mbok Ngah dan Pak Kasdi yang ikut menunggui Warni.
Setelah menceritakan dan bermusyawarah sekilas, Rahmad memutuskan kembali ke rumah. Berniat mengambil beberapa helai pakaian sebagai ganti, juga membersihkan darah bekas keguguran Warni yang sempat ia lihat mengotori di atas ranjang, sebelum mengering.
Entah jam berapa tepatnya saat itu Rahmad tak bisa memastikan. Tapi melihat jalanan yang mulai terlihat lengang, Rahmad menduga jika waktu saat itu mulai merangkak larut.
Sunyi dan sepi, memudahkan dan mempercepat laju kendaraan Rahmad. Hingga tak lebih empat puluh menit menempuh perjalanan, akhirnya ia pun sampai.
Perasaan carut marut yang menghias benak sedari Puskesma, seketika berubah tak nyaman, kala kakinya mengalah ke dalam. Ada satu siratan aneh dalam batinnya, mulai dari pertama masuk hingga sampai di dalam kamar.
Sejenak Rahmad terdiam di sisi ranjang. Ia terkesiap, terkejut, melihat kain tilam halus pembungkus kasur, terlihat bersih dan rapi. Tak percaya dengan penglihatannya, Rahmad mendekatkan wajah mencoba meyakinkan diri.
Akan tetapi, dari itu semua semakin melipat gandakan perasaan aneh dan rasa terkejutnya.
Jelas bagi Rahmad, saat meninggalkan kamar sewaktu membopong tubuh lemah Warni, kain kasur bersimbah darah dan lendir berbau amis dan arus. Namun kini, genangan darah dan lendir, lenyap.
Bahkan, indra penciumannya saat itu membaui wangi bunga tak asing, di tempat yang ia yakini sebagai awal dirinya melihat genangan darah.
Sedetik, dua detik, sampai beberapa tarikan nafas kemudian, Rahmad masih termenung, terduduk di samping ranjang. Menyesapi wewangian kembang yang biasa tumbuh di tanah kuburan, sebelum satu tiupan angin lembut, menyapu wajah dan leher, membuat bulu-bulu halusnya berdiri merinding
Cepat-cepat Rahmad bangkit dan mendekati lemari kayu yang berada di sudut kiri kamar bersampingan dengan jendela. Ia tersadar akan suasana serta hawa yang semakin tak nyaman bukanlah sebuah hawa biasa.
Apalagi, saat itu ia merasakan, bila dari pojok sebelah kanan kamar, sorot tajam sepasang mata, seperti sedang menatapinya dengan sinis, meski tak melihat wujud utuhnya.
Kepekaan Rahmad lagi-lagi di uji, manakala pintu lemari kayu telah terbuka, di sambut sengat bau anyir pekat, menyesakkan dadanya.
Dua langkah Rahmad tersurut mundur.
Matanya lekat menatap tumpukan pakaian yang tersusun rapi di dalam lemari bersusun tiga tingkat. Seakan tak percaya jika di dalam lemari yang setiap hari ia dan istrinya gunakan, tiba-tiba terdapat hal aneh.
Tercekat, membuat Rahmad tertegun dan berpikir keras. Antara ragu dan takut, menyadari semakin banyaknya kejanggalan yang ada di kamarnya. Tapi demi satu tujuan, Rahmad akhirnya kembali maju mendekat.
Tangannya dengan cepat segera memilih dan mengeluarkan beberapa helai pakaian Warni yang akan di bawanya sebagai ganti. Tanpa menuruti dan mengacuhkan rasa ingin tau, tentang sebab atau sumber dari bau anyir yang masih terus menyeruak.
Setelah selesai memilih beberapa saja, Rahmad menutup pintu lemari dan buru-buru melangkah keluar. Namun baru saja kakinya menginjak lantai ruang tamu, mendadak jantungnya seperti berhenti berdetak.
Wajahnya mempias putih, menahan gejolak jiwa takutnya, saat mendapati satu sosok wanita cantik bergaun putih panjang duduk bersimpuh di lantai, menyandarkan kepalanya di pangkuan sesosok wanita tua yang duduk di kursi atau tepat di atasnya.
Jelas, sangat jelas di mata Rahmad, dua sosok wanita sudah dirinya lihat beberapa kali, tersenyum kepadanya. Rahmad merasa jika dua sosok wanita yang mana salah satunya ia tau adalah sosok Mbah Sulak, sengaja menampakan diri di hadapannya.
"Mari iki, gowonen bojomu metu seko kene. Lan ojo mbalek meneh."(Setelah ini, bawa Istrimu keluar/ pindah dari tempat ini. Dan jangan kembali lagi.)
Satu ucapan pelan, dari sosok Mbah Sulak seketika menyentak Rahmad. Tubuhnya semakin tergetar, terdiam tanpa mampu menggerakan lidah dan bibir untuk menyahut.
"Iki ngunu akibate nantang Nyaiku! jek untung bojomu ora sekalian di dadekne Jamper Seselan nang panggonan seng wes adem wiwet puluhan tahun ke pungkur. Mulo tak anti-anti, ojo di baleni meneh!"
Sambung Mbah Sulak, sembari mengusap pelan rambut hitam nan panjang sosok wanita yang terpejam dan menyandarkan kepala di pangkuannya.
Sedang Rahmad masih terdiam dalam ketakutan. Ia hanya mendengarkan seraya menekan kuat-kuat gigil ketakutan dalam jiwanya. Matanya tak bisa lepas dan terus tertumpu pada dua sosok yang telah menorehkan mala petaka dalam hidupnya.
Tak berselang lama, Rahmad kembali tergelak mati rasa, seperti tidak sanggup lagi menahan gelombang rasa takut, saat sosok wanita di pangkuan Mbah Sulak perlahan mengangkat wajahnya.
Pelan namun pasti, sosok dengan raut wajah pucat pasi tanpa alis serta berbola mata putih rata, mendekati tempat Rahmad berdiri.
Berjalan mengitari sampai beberapa kali tubuh Rahmad, sebelum melangkah pergi menuju ke arah belakang, meninggalkan aroma bunga kamboja dan suara gemresek dari juntaian panjang rambutnya yang menyapu lantai.
Tak ada ucapan apapun dari sosok wanita di sebut sosok Mbah Sulak sebagai Nyai. Wajahnya pun terlihat datar ketika berjarak beberapa jengkal dari wajah Rahmad. Namun dari sorot mata putihnya, Rahmad tau bila ada kemarahan di dalamnya.
Rahmad akhirnya mampu menggerakan tubuh bekunya, setelah hal yang sama di lakukan sosok Mbah Sulak menyusul sosok wanita yang sudah berlalu lebih dulu, meninggalkan dirinya.
Sesaat Rahmad menyandarkan tubuh di tembok dinding pembatas kamar. Berusaha mengatur deru nafas dan memulihkan jiwa takutnya. Lalu tak berapa lama, langkah goyahnya mengayun keluar meninggalkan rumah penuh kengerian, yang di timbulkan ulah dari kesombongan istrinya sendiri.
"Ada apa, Nak Rahmad? Sepertinya kamu ketakutan?" ucap Pak Kasdi, melihat Rahmad yang baru tiba di Puskesmas dengan wajah pucat, menyiratkan satu ketakutan.
"Ndak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja," jawab Rahmad berusaha menutupi.
"Tidak, Nak. Bapak tau betul dengan kamu. Jadi Bapak yakin, pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan?
Apakah ... Soal Warni yang di vonis tak bisa lagi mempunyai anak?" tanya Pak Kasdi, mengejar sikap Rahmad yang di rasa tak seperti biasa.
Rahmad terdiam. Matanya menatap lurus ke arah pintu kamar tempat Warni terbaring di temani Mbok Ngah dan salah satu kerabat dekatnya.
Nafasnya masih terlihat menderu pelan, mengiringi keraguan saat ingin menceritakan semua yang baru ia alami.
Pak Kasdi sendiri hanya menatap penuh iba, pada sosok Rahmad, menantu yang ia kenal pendiam dan sangat sabar dalam segala hal. Dadanya ikut bergemuruh, melihat kilatan beban yang begitu besar dan berat dari wajah Rahmad.
Setelah beberapa kali mengalami kejadian aneh, sampai akhirnya memuncak dengan kehilangan calon buah hati yang lama ia dambakan.
Satu helaan nafas panjang tedengar dari Rahmad, sebelum wajahnya berpaling dan menatap lekat pada raut penuh kerutan milik mertuannya.
"Jujur saya terpukul dengan keadaan Warni, Pak. Tapi saat ini, bukan hanya itu yang menjadi beban bagi saya," lirih dan berserak suara Rahmad, mencoba mengawali ungkapan beban yang ia tahan.
"Beban apa lagi yang kamu rasakan, Nak. Ceritalah, supaya Bapak tau dan bisa sama-sama mencari solusinya," sahut Pak Kasdi antusias.

"Saya rasa, rumah itu akan saya jual saja, Pak. Saya dan Warni harus pindah dari tempat itu."
Sedikit terkejut Pak Kasdi mendengar ucapan Rahmad. Ia terdiam dan sebentar tertunduk, sebelum kembali menegak, kala mendengar Rahmad mulai bercerita.
Bercampur aduk saat itu pikiran Pak Kasdi yang dengan seksama mendengarkan semua kejadian tengah di ceritakan Rahmad. Perasaannya menjadi tak enak, penuh sesal dan malu setelah Rahmad mengakhiri cerita panjangnya.
Cerita petaka buah dari kecongkakan darah dagingnya sendiri, mengakibatkan bertubi-tubi bencana pada suami dan orang lain.
"Nak Rahmad, kamu yang kuat. Maafkanlah Warni, maafkan juga Bapak yang tak bisa mengendalikannya," ucap Pak Kasdi setelah Rahmad merampungkan cerita dan sama-sama terdiam.
"Tidak, Pak. Bapak tidak bersalah. Justru sayalah yang seharusnya bertanggung jawab. Sayalah yang pantas di salahkan, karena saya sendiri gagal untuk menjadi pelindung bagi Warni," sahut Rahmad seraya menggelengkan kepalanya pelan.
"Kita berdoa saja, semoga setelah ini Warni bisa menyadari kesalahan dan kekeliruan serta bisa merubah cara berpikirnya," tukas Pak Kasdi, dengan mendoakan penuh pengharapan yang di Amini Rahmad.
Percakapan dengan bumbu musyawarah antara Rahmad dan Pak Kasdi berlanjut sampai suara Tarhim terdengar dari Masjid besar yang terletak di sebelah kantor kecamatan.
Dengan keputusan Rahmad dan Warni, untuk sementar tinggal bersama Pak Kasdi dan Mbok Ngah, sebelum Rumah yang menjadi saksi kelam kehidupan Rahmad, terjual.
Akan tetapi, rupanya hal itu tak mulus berjalan. Kembali, dan lagi, rencana yang sudah membulat antara Rahmad dan Pak Kasdi tertunda dengan sikap Warni.
Berawal dari kesadaran Warni sore itu, setelah lebih dari 30 jam ia pingsan. Sesaat Warni menangis pilu penuh kesedihan, mendengar kejadian yang sudah merenggut janin dan rahimnya.
Ia terlihat teramat trauma dan seperti belum bisa menerima kenyataan. Namun di balik itu semua, satu kilatan amarah dan dendam tampak menggurat tajam dari sorot matanya.
Selama empat hari Warni di rawat dan mulai membaik. Tapi selama itu juga, ia lebih banyak terdiam dan seperti enggan berucap. Perubahan sikapnya itu, sempat di sambut positif oleh Rahmad dan kedua orang tuanya, yang sangat berharap akan perubahan sifat dan cara berpikir Warni,
setelah mengalami kejadian itu. Namun, mereka rupanya salah dalam menyikapi diamnya Warni.
Hal itu tercermin tepat di hari kelima. Ketika keadaannya semakin membaik dan di ijinkan pulang dengan menjalani berobat jalan. Saat itulah Rahmad mengutarakan keinginan yang telah di setujui Pak Kasdi dan Mbok Ngah.
Bahwa akan sementara pindah ke rumah orang tua Warni, dan berniat menjual rumah mereka sendiri yang telah menorehkan luka dan malapetaka. Namun, seperti sebelumnya, sikap kekeh batunya, kembali menolak untuk tinggal bersama dengan orang tuanya meski hanya sementara.
"Mas, itu adalah rumah hasil jerih payah kita. Itu impian kita selama ini. Aku tetap tak setuju jika rumah itu di jual!" Bantah Warni dengan memalingkan raut wajahnya ke arah jendela kamar Puskesmas, tempatnya di rawat.
"Dek, aku tak mau lagi berdebat denganmu. Sudah cukup kerasnya prinsipmu telah menghancurkan impian kita. Aku tak mau lagi hidup dalam bayang-bayang ketakutan setiap hari di rumah itu."
Tegas kali ini ucapan Rahmad. Tapi, itu belum cukup untuk menggoyahkan pancang prinsip Warni yang masih menancap kuat.
"Mas, ketakutan yang Mas Rahmad rasakan itu terlalu berlebihan. Aku tau dan percaya ini ulah Mbah Sulak. Aku percaya kalau dia wanita Iblis. Tapi, apa hanya karena dia, kita harus keluar dari rumah itu?" sahut Warni masih dengan teguh membela keyakinannya.
"Apa masih belum cukup semua yang kita alami! Apa harus menunggu saya atau kamu menjadi korban selanjutnya setelah calon anak kita yang mereka ambil? Kalau itu maumu, silahkan.
Kalau itu yang kamu kehendaki, aku tak bisa lagi memaksamu. Tapi aku juga, tak bisa menemanimu jika tetap di rumah itu." Pelan dan parau suara Rahmad. Wajahnya menunduk, seakan pasrah akan keputusan yang di ambil istrinya.
"Mas! Kamu....?" Sedikit menjerit kali ini Warni, mengetahui maksud dari ucapan Rahmad, yang seolah memberinya satu pilihan dengan tegas.
"Aku sudah capek, Dek. Dengan semua ini. Aku ingin hidup tenang tanpa bersentuhan dengan hal-hal yang tak terlihat namun membahayakan. Ingat! Bukan hanya kali ini kamu, aku, mengalami hal buruk selama tinggal di rumah itu.
Dan itu semua atas ulahmu yang tak mau percaya dengan larangan, pantangan apapun. Sekarang lihatlah, buka hatimu, lihat kenyataan sekarang!" Panjang dan lagi tegas, ucapan Rahmad. Membuat Warni seketika diam tertunduk.
Sejenak suasana sunyi dan hening. Ketika Rahmad dan juga Warni, seperti terhanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai beberapa saat kemudian, derap langkah kaki, membuat keduanya tersadar dari lamunan.
"Sudah siap, kamu Nduk?"
Satu suara dari Mbok Ngah, yang baru masuk, sedikit mencairkan suasana kaku antara Rahmad dan Warni.

"Sebentar lagi, Buk." Dengan tersenyum Rahmad menyahut, mencoba menutupi perdebatannya dengan Warni.
"Baiklah, Mas. Saya akan ikut tinggal sementara bersama di rumah Ibu. Tapi aku mohon, jangan buru-buru menjual rumah itu," ucap Warni dengan terpaksa menyerah.
Anggukan pelan dan senyum tipis menghias dari bibir Rahmad serta Mbok Ngah. Mendengar ucapan Warni yang kali ini mau menuruti kemauan Rahmad khususnya.
Namun kejanggalan kembali Rahmad rasakan dari sikap Warni, saat baru satu malam mereka menginap di rumah orang tua Warni sendiri. Mulai dari sikapnya yang semakin tempramen, marah tak jelas, hingga sering keluar sendiri di tengah malam hanya sekedar melamun.
Sikap tak jelas Warni akhirnya memuncak, tepat di hari ketiga sewaktu tinggal bersama orang tuanya. Di mana, sore itu, saat Rahmad baru saja pulang dari bekerja, ia memaksa sang suami untuk mengantarkannya ke rumah mereka yang telah tiga hari di tinggalkan.
Permintaan itu sempat mendapat penolakan tegas dari Rahmad. Ia yang sudah begitu membulat untuk menjual dan tak ingin lagi mengusik apapun, khususnya Sang Penunggu lain di rumah itu, terpaksa menuruti kemauan Warni, yang merengek dan membumbui dengan berbagai macam alasan.
Setelah berpamitan dengan Mboh Ngah, Rahmad yang masih terlihat lelah, akhirnya mengantar Warni ke rumah yang telah membuatnya merasakan kengerian.
Bayang ketakutan seketika melintas dalam benak Rahmad, ketika baru saja sampai di halaman. Memaksa memori di kepalanya, spontan memutar kembali kelebatan kejadian menakutkan, mengerikan dan memilukan.
Rahmad yang berjalan di belakang Warni, sedikit ragu untuk ikut masuk ke dalam. Rasa takut begitu menggambar jelas pada raut wajahnya, saat Warni membuka pintu, memunculkan bayangan sosok Mbah Sulak, serta sosok wanita berambut panjang, bermata putih rata.
Meski itu hanya bayangan sepintas, namun dalam hati, Rahmad merasa seperti nyata dan seolah menjadi suatu tanda isyarat.
"Mas, kenapa kamu kok seperti takut gitu?" tanya Warni, melihat wajah Rahmad menegang dan seolah enggan untuk ikut masuk.
" Entahlah, Dek. Perasaanku tetiba saja tak enak," sahut Rahmad pelan.
"Ya sudah, kalau begitu biar aku saja yang masuk," ujar Warni.
"Ya, sudah. Kamu cepat ambil pakaian dan kebutuhanmu. Aku tunggu di sini"
Warni akhirnya melangkah masuk tanpa berkata apapun lagi setelah mendengar jawaban dan perintah Rahmad, yang saat itu memilih duduk di kursi kayu teras depan. Menatapi jalanan sepi depan rumahnya, seperti biasa ia saksikan di kala waktu senja.
Beberapa menit, ratusan detik, telah berlalu. Namun belum ada tanda Warni selesai mengemasi barang-barang miliknya dan keluar. Membuat Rahmad yang menunggu, semakin merasai kegusaran yang sejak awal menghantui perasaannya.
Sebentar Rahmad bangkit, sekedar ingin membuang kegelisahan sambil menunggu, dengan menatapi langit redup dari halaman. Tapi hal itu, tak membuahkan hasil. Justru saat mengetahui langit semakin beranjak kelam, Rahmad semakin di rundung rasa tak nyaman.
Apalagi, mengingat akan hal-hal menyeramkan yang ia alami dulu, hampir kesemuanya di waktu tepat seperti saat sekarang, membuat perasaannya tak karuan.
Rahmad akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam, berniat melihat dan membantu Warni. Langkahnya sempat terhenti sejenak, saat tubuhnya baru memasuki ruang tamu.
Kala itu, Rahmad merasakan betul hawa dalam rumah yang baru di kosongkan tiga hari, terasa begitu sinung dan sedikit lembab. Namun, Rahmad tetap meneruskan melangkah masuk, menepis pikiran liar serta menekan rasa takutnya.
Gemuruh degup jantung Rahmad seakan terpacu kencang, ketika melihat kamarnya dalam keadaan kosong. Tak ada sosok istrinya, tak ada tas maupun ransel yang di bawa Warni untuk mengemas barang kebutuhanya.
Yang ada saat itu hanya bau wangi kembang Kamboja menyengat, serta keredupan dari cahaya lampu kamar.
Bingung dan panik mulai menghinggapi Rahmad, yang tak Mendapati sosok istrinya. Padahal, dalam hitungan waktu menurut pikirannya, seharusnya Warni sudah selesai mengemasi barang-barang miliknya.
Rahmad akhirnya meninggalkan kamar dan mencoba mencari Warni ke arah belakang. Melangkah penuh rasa khawatir sambil memanggil-manggil pelan.
Namun sesampainya di dapur, ruang terakhir dalam rumahnya, sosok Warni juga tak di jumpainya. Bahkan, suara panggilan yang masih terus keluar dari mulutnya, juga tak bersahut meski sudah mengeras dan lantang.
Kekhawatiran serta kecemasan Rahmad semakin mencuat, manakala sampai hari mulai gelap, namun belum juga menemukan sosok istrinya. Lama Rahmad mencari dan memeriksa di dalam rumah. memeriksa tiap-tiap ruangan yang ada, sambil terus memanggil, tapi tetap saja nihil.
Hingga akhirnya, satu bisikan kuat, mendorong dirinya untuk mencari di belakang rumah. Rasa takut yang menyelimuti jiwanya, sebentar ia abaikan, demi mencari keberadaan Warni. Setapak demi setapak kaki Rahmad menyusur pekarangan belakang rumahnya.
Cahaya membulat dari pancaran senter di tangan kanannya, sedikit membantu penglihatannya, dari suasana gelap waktu malam yang baru menyapa alam.
Kelegaan sekilas menyirat di wajah Rahmad, kala cahaya senternya, menangkap punggung satu sosok yang berdiri membelakangi. Sosok dengan juntaian rambut serta pakaian sama persis dengan milik Warni, membuatnya mempercepat langkahnya.
"Dek, kenapa kamu malah di sini. Ayo kita pulang," ucap Rahmad setelah dirinya tinggal dua meteran, dari sosok yang ia yakini sebagai sosok istrinya.
Tapi, sampai beberapa saat menunggu, Rahmad tak mendengar sahutan, bahkan sosok berpakaian sama persis istrinya, bagaikan patung, diam tak bergerak sama sekali.

"Dek, kamu kenapa?" Lagi, Rahmad mencoba menyapa, di ulang-ulang, namun hal yang sama di lakukan sosok di depannya.
Firasat tak enak seketika menyeruak dalam batin Rahmad. Keyakinannya akan sosok di depannya adalah Warni, sedikit demi sedikit luntur. Mendapati gelagat aneh dari sosok itu.
Apalagi, tak berselang lama, bau wangi Kamboja tiba-tiba saja hadir menyusup di hidungnya, saat rasa heran masih mendera.
Rahmad akhirnya nekat melangkah kesamping, demi memastikan sosok itu. Tangannya dengan spontan mengarahkan cahaya senter ke arah wajah saat dirinya tepat berada di samping kanan sosok wanita itu.
Dan betapa terkejutnya Rahmad, kala matanya dengan jelas melihat raut muka putih pasi, berhias dua cairan merah mengalir dari dua bola matanya.
"Tidak! Kamu bukan Warni!" ucap Rahmad bergetar setelah tersurut mundur dua langkah.

Selintas sosok sama persis Warni, tertunduk.
Sebelum kemudian kembali menengadah dan perlahan berpaling ke arah Rahmad, dengan tatapan mata sayu memelas, seolah penuh penyesalan, hingga menggulirkan dua lelehan darah dari dua lubang matanya.
Lanjut besok malam lagi.
Semua nyalahin warni 🤣🤣.
Ngakak baca komentarnya. 🤘
Malam ini selesai.
"Kamu bukan Istriku! Kamu bukan Warni!"
Seru Rahmad di sela-sela tekanan rasa takutnya.
Lutut dan tubuhnya semakin terasa lemah tak bertulang. Kala sosok persis istrinya, memalingkan wajah, menjulurkan tangan serta jari telunjuk yang mengarah ke tempat rerumpunan bambu.
Rahmad yang masih memiliki kesadaran, seolah tertuntun untuk mengikuti arah jari telunjuk sosok itu. Matanya perlahan menatap rerimbunan yang bergerumbul gelap. Tak ada apapun yang tertangkap bola mata Rahmad saat itu.
Namun ketika senter di tangan kanannya tergerak mengarahkan cahayanya tepat di tengah rumpunan bambu, seketika itu juga tubuh Rahmad goyah tersurut satu langkah dan jatuh terduduk.
"Warni! Apa yang kamu lakukan?" lirih suara Rahmad. Tertekan rasa takut dan ngeri, melihat sosok asli istrinya tengah tersimpuh memangku seonggok gumpalan lunak berwarna hitam kemerah-merahan yang berdenyut seolah bernyawa.
Tawa melengking sesaat kemudian terdengar dari sosok wanita yang berdiri di depan Rahmad. Mengalihkan kembali mata Rahmad untuk menatap padanya. Lagi-lagi Rahmad terkesiap tanpa expresi, manakala sosok yang awal dirinya lihat berwujud sama persis dengan istrinya,
telah berubah menjadi sosok wanita bergaun putih panjang, bermata putih rata.
"Mulih o! Bojomu wes ra iso metu seko kene gowo nyowone. Mergo bojomu wes kebacut! kewanen! arep ngerusak panggonan bocah-bocah iki."
(Pulang lah! Istrimu sudah tak bisa keluar dari sini membawa nyawanya. Karena Istrimu sudah terlanjur lancang! terlalu berani! Ingin merusak tempat tinggal anak-anak ini.)
Satu bentakan keras dari arah samping kiri, kembali menghentak jiwa Rahmad, tepat setelah tawa nyaring melengking berhenti.
Bentakan dari sesosok wanita tua berambut putih menjuntai acak-acakkan, sambil menyorotkan tatapan tajam ke arahnya. Tak hanya itu, tak berapa jauh dari sosok yang tak lain adalah Mbah Sulak, puluhan sosok bocah beragam bentuk, berdiri berjejer di belakang dan samping.
Wajah-wajah mereka menyirat kengerian. Mata mereka yang sebagian juling dengan tanda bulatan hitam serta derai lelehan mengering kemerahan di pipi, menunjukan kemarahan yang tertahan. Membuat diri Rahmad seolah tak lagi merasa, berada di alam dunia nyata.
Wajah Rahmad yang sudah bagai kapas, tertunduk. Matanya mengerjap erat, bibirnya terkatup rapat, tapi tak mampu menutup dan menahan telinganya untuk tak mendengar tawa ngikik dari sosok wanita berambut panjang menyapu tanah,
dan riuh gemuruh suara puluhan sosok bocah yang ikut mengiring langkah Mbah Sulak, mendekati sosok tersimpuh Warni.
Ingin rasanya Rahmad segera bisa meninggalkan tempat itu. Namun tubuhnya sudah terasa seperti tak teraliri darah kaku membeku. Jangankan untuk berlari, berdiri pun rasanya Rahmad tak lagi sanggup. Akan tetapi hal itu tak berlangsung lebih lama.
Sebab, berselang beberapa saat kemudian, satu pemandangan di depan, di tempat di mana sosok istrinya tersimpuh, jiwa Rahmad kembali bergejolak hebat. Tubuhnya seketika memanas, mendapati satu jeritan menyayat istrinya, kala beberapa sosok anak kecil bermata juling putih rata,
menyeret dengan paksa tubuh Warni masuk ke dalam rumpunan bambu.
"Tidak! Jangan bawa Istriku! Hentikan...." Teriak Rahmad, lirih tertahan.
Namun semua itu sia-sia, tubuh Warni terus saja terseret masuk. Meninggalkan suara ratapan memilukan, sebelum tertutup kabut tipis mengepul dari tempat hilangnya tubuh Warni bersama puluhan sosok bocah dan Mbah Sulak.
Menyisakan sosok Nyai yang kembali tertawa nyaring melengking, ketika melihat Rahmad tak berdaya.
Satu senyum sinis dan tatapan menyengit di sela tawa yang mereda, sempat Rahmad lihat dari sosok Nyai. Dan menjadi akhir penglihatannya, saat sosok Nyai menyusul masuk ke dalam rumpunan bambu.
Meninggalkan suara gemresek dari rambut panjangnya, yang bersentuhan dengan guguran dedaunan bambu kering.
Harum wangi Kamboja, yang awal menyapu wajah dan menyesak di rongga hidung Rahmad, sebentar ikut menghilang. Membuat Rahmad tak berselang lama memaksa tubuh lemahnya bangkit.
Cepat dan beriring kepanikan, saat kaki Rahmad yang masih terlihat goyah, mengayun meninggalkan tempat itu.
Tak terpikir lagi kotor di tubuh dan pakaiannya, yang tertempel debu tanah serta lembaran daun-daun kering bercampur keringat. Tak di hiraukannya lagi, air mata meleleh deras membasahi pipi.
Tak di rasakanya lagi, degup jantung ketakutan dan desiran darah mengalir. Yang ia ingin, yang ia kejar saat itu, bisa segera pergi mencari pertolongan, untuk menyelamatkan istrinya.
Kencang, kaki Rahmad mengayun setelah sampai di halaman. Ia terus dan terus berlari seraya berteriak meminta tolong. Mengundang kekagetan dan panik bercampur heran, dari beberapa orang laki-laki pernah menjadi tetangganya, yang sedang berkumpul di sebuah pos ronda.
Tak lama kerumunan puluhan lelaki dan beberapa perempuan, tampak mengerubung, mengelilingi tubuh Rahmad yang kembali tersungkur kelelahan. Wajah pucatnya, sebentar mengitari raut di sekelilingnya.
Menatapinya satu persatu Sebelum suara terbata dari tenggorokan, sedikit menjawab rasa penasaran orang-orang di sekitarnya.
Deru nafas Rahmad sedikit melonggar setelah satu gelas air putih yang di sodorkan salah seorang, ia teguk tak bersisa. Tapi tak lama, raung tangisnya pecah, saat teringat kejadian yang menimpa istrinya.
Suara memohon, memelas, dari bibir Rahmad, segera di tanggapi beberapa orang yang telah mengerti dari cerita singkat Rahmad, dengan segera berlalu mencari Mbah Sarji dan Ustad Luqman.
Selang lima belas menitan, tampak sosok Mbah Sarji dan Ustad Luqman datang beriringan. Lalu segera beranjak meninggalkan tempat itu, setelah mendengar penjelasan ringkas Rahmad.
Ketegangan terlihat memenuhi wajah-wajah mereka yang mengikuti langkah Mbah Sarji dan Ust Luqman, saat baru memasuki tanah kosong pekarangan yang membentang lumayan luas dari bangunan rumah Rahmad ke belakang.
Sejenak Mbah Sarji yang berjalan paling depan, menghentikan langkahnya saat akan melewati parit kecil berjembatan papan. Urat leher dan wajahnya terlihat tertarik mengencang, kala dua bola matanya melihat ke arah rumpunan bambu yang terlihat terang, terbantu dari paparan-
cahaya beberapa senter.
Suasana seketika hening. Mereka yang mengikuti seolah ikut terpaku oleh sikap Mbah Sarji. Meski tak melihat apapun, atau mengerti dengan apa yang tengah di rasa oleh Mbah Sarji, tapi dari gelagatnya, mereka yakin bila ada sesuatu dalam pandangan mata lelaki tua, sesepuh mereka.
"Ada apa, Mbah?" tanya Luqman lirih, yang berada di samping kanan Mbah Sarji.

"Berat! Saya rasa Istri Mas Rahmad, tak lagi tertolong," jawab Mbah Sarji tak kalah lirih. Seperti tak ingin terdengar oleh Rahmad, yang berdiri di sisi kiri dengan di apit dua lelaki tetangganya.
Luqman yang mendengar ucapan Rahmad, sejenak terkesiap. Matanya segera beralih ikut menatapi rumpunan bambu, sebelum akhirnya tertunduk dan menggeleng pelan.
"Untuk urusan ini, saya serahkan pada njenengan Mbah," ucap Luqman masih pelan dan lirih.

Tanpa menjawab lagi, Mbah Sarji akhirnya maju mendekat ke arah rumpunan bambu. Lalu tak lama, beberapa lelaki yang di tunjuk Mbah Sarji ikut menyusul termasuk Luqman.
"Tolong ambilkan bunga tiga warna, dan tujuh biji dupa Gunung Kawi, di rumahku." Perintah Mbah Sarji pada salah seorang lelaki setengah baya, yang berada paling dekat darinya.

"Baik, Mbah," jawab sang lelaki, sebelum berlalu.
"Apa masih bisa di ambil jasad itu, Mbah?" tanya Luqman berbisik, seperti telah mengetahui dengan keadaan di tempat itu.
"Saya akan usahakan. Tolong nanti Mas Luqman bantu Doa supaya bisa menurunkan dan mengembalikan jasad itu," jawab Mbah Sarji sembari menunjuk muka ke satu arah, yang kemudian di sambut anggukan kepala Luqman.
Beberapa puluh menit suasana hening penuh ketegangan berlangsung. Sedikit berubah kala lelaki yang mendapat perintah Mbah Sarji tiba dengan menenteng sebuah bungkusan.
Tak lama Mbah Sarji duduk bersila setelah menaburkan bunga di rumpunan bambu serta membakar tujuh biji dupa yang di bawa lelaki dari rumahnya.
Luqman yang mendapat isyarat Mbah Sarji, segera ikut bersila di belakang, lalu di susul empat lelaki sekaligus yang juga atas perintah Mbah Sarji.
Detik, menit, telah di lalui Rahmad serta orang-orang yang menunggu Mbah Sarji, Ustad Luqman, dan beberapa orang lainya, penuh ketegangan. Hawa anyep sangat di rasakan semua orang di tempat itu.
Debaran rasa takut, memenuhi raut mereka yang mulai terbasahi bulir-bulir bening, keluar dari pori-pori kulit masing-masing.
Apalagi, kepulan asap menebarkan bau wangi khas dari tujuh buah dupa yang terbakar, semakin membuat jantung dan dada mereka berdegup, bergemuruh tak beraturan.
Hanya Rahmad kala itu yang sudah seperti hilang rasa takut di hatinya. Wajahnya terlihat lekat menyirat kecemasan, menanti dan berharap istrinya bisa di selamatkan.
Namun, harapannya bertolak dengan kenyataan yang di terimanya beberapa waktu kemudian.
Berawal dari suara gemerasak keras dalam rumpunan bambu. Lalu tak lama, di sambut satu jeritan dari salah seorang lelaki yang berdiri paling depan, atau tepat di sisi parit kecil. Membuat suasana seketika gaduh hingga membuat Mbah Sarji, -
Luqman dan empat orang yang tengah duduk bersila, spontan berdiri.
Kegaduhan semakin ramai riuh oleh ucapan Istighfar yang lantang bersahutan dari bibir orang-orang yang mendekat dan ikut melihat ke arah parit, setelah di tunjukan oleh lelaki pertama berteriak.
"Astaghfirullah ... Astaghfirullah...." Ucap Luqman bersahutan dengan yang lain, saat ikut melihat ke dalam parit tak seberapa dalam. Di mana dia, Mbah Sarji dan semua yang ada di tempat itu, dengan bantuan seluruh cahaya senter, begitu jelas, bahkan sangat jelas melihat -
satu sosok tubuh terlentang berlumur lumpur.
Sesosok tubuh yang tak lain adalah milik Warni, langsung membuat tubuh Rahmad sebentar meronta, sebelum akhirnya roboh dalam papahan dua orang. Ia tak kuat, tak mampu melihat kenyataan istrinya terkapar tanpa nyawa dan dalam keadaan mengenaskan.
Matanya membeliak, melotot ke atas. Mulutnya ternganga lebar hingga terangkat sedikit rahangnya. Seperti merasakan ketakutan dan sakit teramat sangat, sebelum ajal datang menghampirinya.
Malam itu juga, suasana kampung geger dengan berita kematian Warni, di tempat yang oleh mereka, warga kampung sekitar, di sebut KEDUNG TEREKAN. Di mana sebutan itu tersemat lekat, sebab cerita masa lalu yang mengerikan.
Tempat yang sempat kengeriannya mereda beberapa tahun, kini kembali menjadi buah bibir setelah menelan korban atau mengambil nyawa Warni.
Namun, dari semua itu, dari segala malapetaka yang menimpa Warni sampai pada kematiannya yang tragis, tak banyak rasa simpati di tunjukan warga sekitar. Mereka lebih pd rasa takut akan tempat yang kembali atau bahkan semakin mereka anggap angker setelah kematian Warni malam itu.
Penyesalan, kesedihan, menggurat jelas di wajah Rahmad. Matanya tak lepas tertumpu pada sosok jasad istrinya, di sepanjang jalan hingga tiba di rumah Mbok Ngah dan Pak Kasdi.
Isak tangis, jerit histeris memilukan, membahana sahut menyahut di dalam rumah tembok bercat kuning milik Pak Kasdi, setelah kedatangan tubuh kasar Warni anaknya, tanpa nyawa.
Hingga sampai pada prosesi pensucian, pengkafanan, dan pelaksanaan Fardu Kifayyah, Rahmad mengikuti dengan diam. Pikirannya kosong, jiwanya terguncang, melihat kenyataan istrinya, telah terbujur berbalut kain putih berikat tali-tali kecil menguncup di atas kepala.
Berhias kapas-kapas putih di beberapa bagian tubuhnya, menebarkan wangi khusus dan khas pada jasad, menandakan satu isyarat lambaian dan salam perpisahan untuk dunia beserta isinya yang selama ini ia kejar, ia banggakan, namun tak lagi memberi arti apapun.
Apalagi, saat seonggok tubuh yg di rawatnya sewaktu bernafas, tertanam paksa di dalam tanah berukuran sempit tanpa cahaya, tak satu pun barang kebanggaan yang ia dapat, ia beli dari hasil jerih payahnya, yang menemani tidur panjangnya, di tempat gelap dalam kesendirian...

TAMAT
Mohon maaf atas segala kekurangan dalam alur maupun penulisan kata serta kalimat.

Akhir kata,

WASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.
Sekian untuk cerita dari penulis kang Masrulloh faqih (Facebook)

Dan terimakasih juga untuk kang Masrulloh faqih yang telah mengijinkan saya untuk memposting ulang ceritanya.

Saya kalong undur diri,
Nantikan cerita seram lainnya.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Apr 25
Sebuah kisah tentang ISTRI yang melakukan pernikahan gaib dengan IBLIS demi KETURUNAN !!!

A Thread Horror
"SANG PENGANTIN IBLIS"

#bacahorror @asupanhororrr @IDN_Horor @bacahorror #pengantiniblis Image
September 1999

"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."

Malam itu, suara langkah Kinanti terdengar mantap ketika menapaki jalanan tanah kering. Wajahnya terlihat datar, matanya menyorot penuh keberanian.
Ia terus saja berjalan menyusuri jalanan, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah rumah tak berpenghuni.

Hening dan gelap suasana di dalam rumah itu, membuat kesan seram begitu terasa. Namun hal itu tak membuat tekadnya goyah.
Read 53 tweets
Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(