Dan secara syara’ adalah menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai niat tertentu sepanjang siang hari yang bisa menerima ibadah puasa dari orang muslim yang berakal dan suci dari haidl dan nifas.
Jika seorang yang berpuasa melakukan makan dalam keadaan lupa atau tidak mengetahui hukumnya, maka puasanya tidak batal jika ia adalah orang yang baru masuk Islam atau hidup jauh dari ulama’.
Jika tidak demikian, maka puasanya batal.
(وَ) الثَّالِثُ (الْجِمَاعُ) عَامِدًا
Fardlu ke tiga adalah menahan dari melakukan jima’ dengan sengaja.
وَ أَمَّا الْجِمَاعُ نَاسِيًا فَكَالْأَكْلِ نَاسِيًا
Adapun melakukan jima’ dalam keadaan lupa, maka hukumnya sama seperti makan dalam keadaan lupa pula.
(وَ) الرَّابِعُ (تَعَمُّدُ الْقَيْئِ) فَلَوْ غَلَبَهُ الْقَيْئُ لَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ.
Fardlu ke empat adalah menahan dari muntah dengan sengaja. Jika ia terpaksa muntah, maka puasanya tidak batal.
Yang pertama dan kedua adalah sesuatu yang masuk dengan sengaja ke dalam lubang badan yang terbuka atau tidak terbuka seperti masuk ke dalam kepala dari luka yang tembus ke otak.
Huqnah adalah obat yang disuntikkan ke badan orang yang sakit melalui qubul atau dubur yang diungkapkan di dalam matan dengan bahasa “sabilaini (dua jalan)”.
(وَ) الرَّابِعُ (الْقَيْئُ عَمْدًا) فَإِنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ لَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ كَمَا سَبَقَ
Yang ke empat adalah muntah dengan sengaja. Jika tidak sengaja, maka puasanya tidak batal seperti yang telah dijelaskan tadi.
(وَ) الْخَامِسُ (الْوَطْءُ عَمْدًا فِي الْفَرْجِ)
Yg ke lima adalah wathi’ dengan sengaja di bagian farji.
Baik keluar sperma tersebut diharamkan spt mengeluarkan sperma dgn tangannya sendiri, atau tdk diharamkan spt mengeluarkan sperma dgn tangan istri atau budak perempuannya.
Dengan bahasa “sebab bersentuhan kulit”, mushannif mengecualikan keluarnya sperma sebab mimpi basah, maka secara pasti hal itu tidak bisa membatalkan puasa.
Yang ke tujuh hingga akhir yang ke sepuluh adalah haidl, nifas, gila dan murtad.
فَمَنْ طَرَأَ شَيْئٌ مِنْهَا فِيْ أَثْنَاءِ الصَّوْمِ أَبْطَلَهُ .
Maka barang siapa mengalami hal tersebut di tengah-tengah pelaksanaan puasa, maka hal tersebut membatalkan puasanya.
Sampai di sini dulu, insya Allah akan dilanjutkan dengan bab-bab selanjutnya yang berkaitan dengan puasa.
Bismillah kita lanjutkan.
Kesunahan-Kesunahan Puasa
(وَيُسْتَحَبُّ فِي الصَّوْمِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ)
Di dalam puasa ada tiga perkara yang disunnahkan.
أَحَدُهَا (تَعْجِيْلُ الْفِطْرِ) إِنْ تَحَقَّقَ الصَّائِمُ غُرُوْبَ الشَّمْسِ
Salah satunya adalah segera berbuka jika orang yang berpuasa tersebut telah meyaqini terbenamnya matahari (Maghrib).
فَإِنْ شَكَّ فَلَا يُعَجِّلُ الْفِطْرَ
Jika ia masih ragu-ragu, maka tidak diperkenankan segera berbuka.
وَيُسَنُّ أَنْ يُفْطِرَ عَلَى تَمْرٍ وَإِلاَّ فَمَاءٍ
Disunnahkan untuk berbuka dengan kurma kering. Jika tidak maka dengan air.
(وَ) الثَّانِيْ (تَأْخِيْرُ السَّحُورِ) مَالَمْ يَقَعْ فِيْ شَكٍّ فَلَا يُؤَخِّرُ
Yang ke dua adalah mengakhirkan sahur selama tidak sampai mengalami keraguan "masuknya waktu Shubuh". Jika tidak demikian, maka hendaknya tidak mengakhirkan sahur.
وَيَحْصُلُ السَّحُوْرُ بِقَلِيْلِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ
Kesunahan sahur sudah bisa hasil dengan makan dan minum sedikit.
(وَ) الثَّالِثُ (تَرْكُ الْهَجْرِ) أَيِ الْفُحْشِ (مِنَ الْكَلَامِ) الْفَاحِشِ
Yang ke tiga adalah tidak berkata kotor.
فَيَصُوْنُ الصَّائِمُ لِسَانَهُ عَنِ الْكَذِبِ وَالْغِيْبَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ كَالشَّتْمِ
Maka orang yang berpuasa hendaknya menjaga lisannya dari berkata bohong, menggunjing orang lain dan sesamanya seperti mencela orang lain.
وَإِنْ شَتَمَهُ أَحَدٌ فَلْيَقُلْ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا إِنِّيْ صَائِمٌ
Jika ada seseorang yang mencaci dirinya, maka hendaknya ia berkata dua atau tiga kali, “sesungguhnya aku sedang berpuasa.
Adakalanya mengucapkan dengan lisan seperti yang dijelaskan Imam An-Nawawi di dalam kitab al-Adzkar.
أَوْ بِقَلْبِهِ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيِّ عَنِ الْأَئِمَّةِ وَاقْتَصَرَ عَلَيْهِ.
Atau dengan hati sebagaimana yang dinuqil oleh imam ar-Rafi’i dari beberapa Imam, dan hanya mengucapkan di dalam hati.
Mushannif memberi isyarah pada sebagian contoh² sebab ini dengan perkataan beliau, “kecuali jika kebiasannya melakukan puasa bertepatan dengan hari tersebut”.
كَمَنْ عَادَتُهُ صِيَامُ يَوْمٍ وَإِفْطَارُ يَوْمٍ فَوَافَقَ صَوْمُهُ يَوْمَ الشَّكِّ وَلَهُ صِيَامُ يَوْمِ الشَّكِّ أَيْضًا عَنْ قَضَاءٍ وَنَذْرٍ
Seperti org yg memiliki kebiasaan puasa satu hari dan tidak puasa satu hari, kemudian giliran puasanya bertepatan dengan hari Syak.
Seseorang juga diperkenankan melakukan puasa di hari Syak sebagai pelunasan puasa qadla’ dan puasa nadzar.
Hari Syak adalah hari tanggal tiga puluh Sya’ban ketika hilal tidak terlihat di malam hari sebelumnya padahal langit dalam keadaan terang, sedangkan orang-orang membicarakan bahwa hilal telah terlihat namun tidak ada orang adil yang diketahui telah melihatnyanya,
atau yang bersaksi telah melihatnya adalah anak-anak kecil, budak atau orang-orang fasiq.
Bersambung.
Orang Yang Melakukan Jima’ di Siang Hari Bulan Ramadlan.
Barang siapa melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadlan dalam keadaan sengaja melakukannya di bagian farji, dan dia adalah orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan telah niat melakukan puasa di malam harinya serta dia dianggap berdosa melakukan jima’ tersebut karena berpuasa,
maka wajib baginya untuk mengqadla’ puasanya dan membayar kafarat.
Jika ia tidak menemukan budak, maka wajib melakukan puasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu melakukan puasa dua bulan, maka wajib memberi maka enam puluh orang miskin atau faqir.
(لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ) أَيْ مِمَّا يُجْزِئُ فِيْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ
Masing-masing mendapatkan satu mud, maksudnya dari jenis bahan makanan yang bisa mencukupi di dalam zakat fitrah.
فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْجَمِيْعِ اسْتَقَرَّتِ الْكَفَارَةُ فِيْ ذِمَّتِهِ فَإِذَا قَدَرَ بَعْدَ ذَلِكَ عَلَى خَصْلَةٍ مِنْ خِصَالِ الْكَفَارَةِ فَعَلَهَا
Jika ia tidak mampu melakukan semuanya, maka kafarat tersebut tetap menjadi tanggungannya.
Ketika setelah itu ia mampu melakukan salah satunya, maka wajib baginya untuk melakukannya.
Barang siapa meninggal dunia dan masih memiliki hutang puasa Ramadlan yang ia tinggalkan sebab udzur seperti orang yang membatalkan puasa sebab sakit dan belum sempat mengqadla’-nya semisal sakitnya terus berlanjut hingga ia meninggal dunia,
maka tidak ada tanggungan dosa baginya di dalam puasa yang ia tinggalkan ini, dan tidak perlu ditebus dengan fidyah.
Jika hutang puasa tersebut bukan karena udzur dan ia meninggal dunia sebelum sempat mengqadla’-nya, maka wajib memberikan makanan sebagai ganti dari hutang puasanya. Maksudnya bagi seorang wali wajib mengeluarkan untuk mayat dari harta peninggalannya.
Setiap hari yang telah ditinggalkan diganti dengan satu mud bahan makanan.
Apa yang telah disebutkan oleh mushannif adalah qaul Jadid.
وَالْقَدِيْمُ لَايَتَعَيَّنُ الْإِطعَامُ بَلْ يَجُوْزُ لِلْوَلِيِّ أَيْضًا أَنْ يَصُوْمَ عَنْهُ بَلْ يُسَنُّ لَهُ ذَلِكَ كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ
Sedangkan menurut qaul Qadim, tidak harus memberi bahan makanan,
bahkan bagi wali juga diperkenankan untuk melakukan puasa sebagai pengganti dari orang yang meninggal, bahkan hal itu disunnahkan bagi seorang wali sebagaimana keterangan di dalam kitah Syarh al Muhadzdzab.
وَصَوَّبَ فِي الرَّوْضَةِ الْجَزْمَ بِالْقَدِيْمِ
Dan di dalam kitab ar Raudlah, Imam an-Nawawi membenarkan kemantapan dengan pendapat qaul Qadim.
Selanjutnya Lansia dan Orang Sakit Yang Tidak Ada Harapan Sembuh.
Orang laki-laki tua, wanita lansia, dan orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh,
ketika masing-masing dari ketiganya tidak mampu untuk berpuasa, maka diperkenankan untuk tidak berpuasa dan memberi bahan makanan sebanyak satu mud sebagai ganti dari setiap harinya.
Bagi wanita hamil dan yang menyusui, jika keduanya khawatir terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri sebab berpuasa seperti bahaya yang dialami oleh orang sakit, maka diperkenankan untuk tidak berpuasa dan wajib bagi mereka berdua untuk mengqadlanya.
Jika keduanya khawatir pada anaknya, maksudnya khawatir keguguran bagi wanita hamil dan sedikitnya air susu bagi ibu menyusui, maka keduanya diperkenankan tidak berpuasa dan wajib bagi keduanya untuk mengqadla sebab membatalkan puasa dan juga membayar kafarat.
وَالْكَفَارَةُ أَنْ يُخْرَجَ (عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ وَهُوَ) كَمَا سَبَقَ (رِطْلٌ وَثُلُثٌ بِالْعِرَاقِيِّ) وَيُعَبَّرُ عَنْهُ بِالْبَغْدَادِيِّ
Kafaratnya adalah setiap harinya wajib mengeluarkan satu mud.
Satu mud, seperti yang telah dijelaskan, adalah satu rithl lebih sepertiga rithl negara Iraq. Dan diungkapkan dengan negara Baghdad.
Orang Sakit dan Musafir
(وَالْمَرِيْضُ وَالْمُسَافِرُ سَفَرًا طَوِيْلًا) مُبَاحًا إِنْ تَضَرَّرَا بِالصَّوْمِ (يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ)
Orang yang sakit dan bepergian jauh yang hukumnya mubah,
jika ia merasa berat untuk berpuasa, maka bagi keduanya diperkenankan untuk tidak berpuasa dan wajib mengqadlanya.
وَلِلْمَرِيْضِ إِنْ كَانَ مَرَضُهُ مُطْبِقًا تَرْكُ النِّيَةِ مِنَ اللَّيْلِ
Bagi orang sakit, jika sakitnya terus menerus, maka baginya diperkenankan untuk tidak niat berpuasa di malam hari.
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُطْبِقًا كَمَا لَوْ كَانَ يَحُمَّ وَقْتًا دُوْنَ وَقْتٍ وَكَانَ وَقْتُ الشُّرُوْعِ فِي الصَّوْمِ مَحْمُوْمًا فَلَهُ تَرْكُ النِّيَةِ
Dan jika sakitnya tidak terus menerus, seperti demam dalam satu waktu dan tidak di waktu yang lain,
namun di waktu memasuki pelaksanaan puasa (menginjak pagi hari) demamnya kambuh, maka baginya diperkenankan untuk tidak niat berpuasa -di malam hari-.
وَإِلَّا فَعَلَيْهِ النِّيَةُ لَيْلًا فَإِنْ عَادَتِ الْحُمَى وَاحْتَاجَ لِلْفِطْرِ أَفْطَرَ
Jika tidak demikian, maka wajib baginya untuk niat di malam hari. Kemudian jika demamnya kambuh dan ia butuh untuk membatalkan puasa, maka diperkenankan untuk membatalkan puasanya.
Puasa Sunnah
وَسَكَتَ الْمُصَنِّفُ عَنْ صَوْمِ التَّطَوُّعِ وَهُوَ مَذْكُوْرٌ فِي الْمُطَوَّلَاتِ
Mushannif tidak menjelaskan tentang puasa sunnah. Dan puasa sunnah disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas pembahasannya.
وَمِنْهُ صَوْمُ عَرَفَةَ وَعَاشُوْرَاءَ وَتَاسُوْعَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيْضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ .
Di antaranya adalah puasa Arafah, Asyura’, Tasu’a’, Ayyamul Bidl -tanggal 13, 14, 15-, dan puasa enam hari di bulan Syawal.
(Sumber :
Kitab Fathul Qarib Halaman, 218-128)
Demikianlah nuqilan saya dari kitab Fathul Qarib, semoga bisa menjadi bekal pengetahuan utk menjalankan puasa. Semoga manfaat untuk kita semua, dan segala amal baik diterima oleh Allah SWT.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Atas nama Pribadi dan Keluarga Besar Pondok Pesantren MIFTAHUL-HUDA Langkaplancar, Pangandaran menyampaikan:
Turut berduka yang mendalam atas wafatnya Ulama panutan, ABUYA KH. UCI TURTUSI 😭 Lahu Al-Fatihah 🤲
ﺃﻋﻈﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺟﺮﻛﻢ ﻭ ﺃﺣﺴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰﺍﻛﻢ .
إنا لله وإنا إليه راجعون
البقاء لله ولا نقول إلا ما يرضى ربنا وإنا بفراقه لمحزونون.
وقد ورد أن اللعنة إذا خرجت من العبد تصعد نحوالسماء فتغلق دونها أبوابها ثم تنزل إلى الأرض فتغلق دونها أبوابها ثم تجيء الى الملعون فإن وجدت فيه مساغا وإلارجعت على قائلها.
Artinya: “Ketahuilah bahwa suatu laknat, bila telah keluar dari mulut seseorang, akan naik ke arah langit, maka ditutuplah pintu-pintu langit di hadapannya sehingga ia turun kembali ke bumi dan dijumpainya pintu-pintu bumi pun tertutup baginya,
lalu ia menuju ke arah orang yang dilaknat jika ia memang patut menerimany , atau jika tidak, laknat itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa kutukan atau laknat memiliki dua kemungkinan.
Ibnu Hajar mengutip pendapat Ibn Hubairah terkait Khawarij, yaitu pendahulu kelompok takfiri yang kerap menggunakan kekerasan dan menghalalkan darah sesama umat Islam:
Dikatakan:
Sungguh memerangi Khawarij lebih utama ketimbang memerangi orang-orang musyrik(non muslim). Hikmahnya adalah bahwa dalam memerangi Khawarij terpelihara "modal pokok Islam" (yaitu Agama yang bernama "KESELAMATAN DAN PERDAMAIAN).
"HUKUM ITU MILIK ALLAH, WAHAI ALI, BKN MILIKMU & PARA SAHABATMU"
Teriakan itu menggema saat Abdurrahman bin Muljam Al Muradi menebas Kepala Sahabat Nabi, Khalifah Amirul Mu'minin Ali bin Abi Thalib.
Hari Jumat Waktu Subuh 17 Ramadhan, Duka menyelimuti Hati Kaum Muslimin.
Nyawa Sahabat Nabi yang telah dijamin oleh Rasululah SAW menjadi Penghuni Surga itu Hilang di Tangan Seorang Saudara Sesama Muslim.
Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh atas Nama Hukum Allah, dan Demi Surga yang entah kelak akan menjadi Milik Siapa.
Tidak berhenti sampai disana, saat melakukan Aksinya, Abdurrahman Ibnu Muljam juga tidak berhenti Merapal Surat Al Baqarah ayat 207.