Karena lelah, tukang jahit itu tertidur lelap di kursi kerjanya. Ia mengigau dan meracau:
“Yang benar menurut kamu, belum tentu benar menurut orang lain. Yang baik menurut kamu, belum tentu baik menurut orang lain.
Yang sesat menurut kamu, belum tentu sesat menurut orang lain. Yang pantas menurut kamu, belum tentu pantas menurut orang lain…”
Temannya yang berada di samping lantas membangunkan:
“Hey, bangun!”
Ia terbangun dengan wajah tegang dan berkeringat.
“Kamu ini mimpi apa sampai meracau seperti itu?” tanya temannya.
Ia ceritakan, “Aku mimpi aneh. Selama ini kita mengukur dan memotong kain agar sesuai dengan tubuh pemesan. Dalam mimpi tadi, aku malah memotong-motong tubuh pemesan agar sesuai dengan ukuran pakaian!”
Selamat siang...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Dalam kitab adz-Dzakhiirah, Imam Qurafi menjelaskan bahwa kaidah seluruh hukum terbagi menjadi dua: tujuan (maqshad) dan instrumen (wasiilah). Hukum setiap instrumen sama dengan hukum tujuannya.
Contoh: hukum shalat Jumat adalah wajib (maqshad). Maka, hukum berjalan (instrumen) menuju tempat shalat Jumat adalah wajib juga. Hukum mencuri adalah haram. Maka, berjalan ke tempat pencurian hukumnya juga haram.
Begitu pula dengan hukum lainnya: sunnah, makruh, dan mubah. Yang menarik, dalam hal instrumen, Imam Qurafi (tentu imam-imam lainnya juga demikian) pun membagi dua. Ada instrumen dekat (wasiilah qariibah) dan ada instrumen jauh (wasiilah ba’iidah).
Dulu, ketika di pesantren, para guru dan kiai mengajarkan agar kami sabar dan rendah hati dalam menuntut ilmu. Ada banyak perangkat ilmu yang harus dipelajari sebelum menghadapi Al-Quran dan Hadis.
Apa maksudnya? Bukankan kita harus setiap hari baca Al-Quran? Kalau sekadar membaca, tentu bisa kapan saja dan harus sesering mungkin karena itu merupakan ladang pahala (al-muta’abbad bi tilawatihi).
Untuk membaca dan mengambil kesimpulan-kesimpulan dari Al-Quran dan Hadis, kami dituntut untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Nahwu, Shorof, Balaghah, Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ulumut Tafsir, Hadis, Ulumul Hadis, Asbabun Nuzul, Tarikh Tasyri’, Sejarah Islam, dlsb.
Dulu, yang disebut ulama adalah manusia dua fungsi. Ia seorang ilmuwan sekaligus juru dakwah. Selain menyampaikan dakwah dengan lisan, mereka juga banyak melahirkan karya tulis ilmiah.
Mereka aktif mengadakan penelitian dan kajian terhadap berbagai masalah. Dalam karya-karya mereka kita dapat menemukan kearifan dan berbagai cara pandang.
Mereka adalah manusia-manusia yang tak pernah berhenti belajar dan mengajar.
Kini, orang yang disebut ulama hanya mereka yang terlalu aktif berdakwah, menjajakan paham tertentu yang dianggap paling benar. Tak sempat lagi mereka menengok pandangan lain yang berbeda. Kearifan? Hampir tidak ada.
Tanya: bolehkah beragama tanpa madzhab? Jawab: tidak boleh. Memang ada orang yang beragama terkesan tidak bermadzhab, tapi sejatinya mereka bermadzhab.
Hanya saja mereka tidak mampu menjelaskan ke-bermadzhaban-nya karena tidak pernah ngaji (belajar) secara serius soal rincian ilmiah cara beragama.
Mereka shalat pakai madzhab, puasa pakai madzhab, haji pakai madzhab, dst. Ketika ditanya ikut madzhab siapa, mereka tidak bisa menjawab.
Terorisme (bom bunuh diri) lahir karena adanya ideologi kematian. Dalam sejarah Islam, ideologi kematian ini sudah ada pada seorang pemrotes Nabi bernama Dzul Khuwaisirah At-Tamimi, Abdrurrahman ibn Muljam, fatwa Ilyasik Ibn Taimiyah, dan...
buku-buku jihad Sayyid Qutb, Mawdudi, Abdus Salam Farag, Said Hawwa, Abdullah Azzam, Muhammad al-Maqdisi, Abu Abdullah al-Muhajir, dan para tokoh salafi jihadi lain.
Ideologi kematian ini adalah manivestasi dari cita-cita politik, bukan cinta-cita Islam. Ideologi ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bahkan, ideologi kematian ini justru sangat merugikan Islam.
Artinya: “Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah dirobohkanlah biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. Al-Hajj: 40).
Ayat ini menarik, karena menegaskan bahwa tempat-tempat ibadah orang Yahudi, Kristen dan Islam ditegaskan sebagai tempat di mana nama Allah disebutkan atau dizikirkan. Inklusif sekali.