Satu ketika Rasulullah Saw. bertemu dengan orang yang dikenal sebagai pelaku maksiat. Rasulullah menangis sambil mendoakan orang tersebut agar dapat berhenti dari kegemaran berbuat maksiat.
Para sahabat lantas bertanya, "Mengapa engkau menangis untuknya, wahai Rasul? Bukankah dia itu orang yang jauh dari Allah. Tak pantas engkau menangis untuknya."
Rasulullah menjawab, "Sungguh aku diutus untuk menyelamatkan manusia, bukan untuk mencelakakannya."
Lain hari Rasulullah melihat seorang sahabat yang marah dan mencaci-maki penggemar maksiat. Rasul lantas mengingatkan sahabat tersebut, "Jangan kau jadi penolong setan untuk menjerumuskan saudaramu ke kubang maksiat yang lebih dalam."
Sikap kasar terhadap orang lain yang berbuat dosa, pada hakikatnya justru menjadi amunisi setan dalam menjerumuskan orang tersebut dalam dosa yang lebih besar.
Ketahuilah, pintu husnul khatimah tidak pernah terkunci untuk para pelaku maksiat, selama tidak ada kesombongan dan kemunafikan di dalam jiwanya.
Pintu suul khatimah pun masih mungkin menjadi jalan bagi orang-orang yang taat, jika ada kesombongan dan kemunafikan dalam jiwanya.
يا الله بها يا الله بها يا الله بحسن الخاتمة...
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Ma’ruf Al-Karkhi adalah seorang sufi besar. Namanya layak sisejajarkan dengan Abdul Qadir Jailani, Mansur al-Halaj atau Junaid al-Bagdadi. Dalam tasawuf, Ma’ruf dikenal sebagai sufi yang mengembangkan mazhab cinta.
Suatu hari, seorang muridnya datang dan bercerita, “Tuan,
aku berbicara dengan orang lain tentang diri Tuan.
Orang Yahudi berkata, Tuan itu kepunyaan mereka. Orang
Kristen menganggap Tuan salah satu santo mereka. Orang
muslim memandang Tuan sebagai imam Islam."
Ma’ruf menjawab, "Itu yang mereka katakan di sini, di Bagdad.
Ketika aku hidup di Yerusalem, orang Yahudi menamakan aku
Kristen; orang Kristen menyebut aku muslim, dan orang muslim bilang aku Yahudi."
Sungguh, yang belakangan itu lebih baik bagimu daripada yang duluan!
Dahulu kala, ada satu kota yang dipimpin oleh raja. Penduduk kota ini sepakat memilih rajanya satu tahun sekali. Masa jabatan sang raja hanya satu tahun saja.
Setiap tahun, raja harus diganti. Raja yang tugasnya telah selesai, langsung dikirim ke sebuah pulau. Raja akan dinaikkan ke sebuah perahu mewah dengan pakaian yang mewah dan dilepas dengan upacara yang mewah.
Inilah momen sangat menyedihkan bagi para raja yg purna tugas. Hingga giliran tiba, mereka memilih pemuda untuk menjadi raja. Raja muda ini langsung bekerja. Kerja pertama yg ia lakukan adalah melakukan kunjungan—bersama para menteri—ke pulau tempat penampungan para mantan raja.
Karena lelah, tukang jahit itu tertidur lelap di kursi kerjanya. Ia mengigau dan meracau:
“Yang benar menurut kamu, belum tentu benar menurut orang lain. Yang baik menurut kamu, belum tentu baik menurut orang lain.
Yang sesat menurut kamu, belum tentu sesat menurut orang lain. Yang pantas menurut kamu, belum tentu pantas menurut orang lain…”
Temannya yang berada di samping lantas membangunkan:
“Hey, bangun!”
Ia terbangun dengan wajah tegang dan berkeringat.
“Kamu ini mimpi apa sampai meracau seperti itu?” tanya temannya.
Dalam kitab adz-Dzakhiirah, Imam Qurafi menjelaskan bahwa kaidah seluruh hukum terbagi menjadi dua: tujuan (maqshad) dan instrumen (wasiilah). Hukum setiap instrumen sama dengan hukum tujuannya.
Contoh: hukum shalat Jumat adalah wajib (maqshad). Maka, hukum berjalan (instrumen) menuju tempat shalat Jumat adalah wajib juga. Hukum mencuri adalah haram. Maka, berjalan ke tempat pencurian hukumnya juga haram.
Begitu pula dengan hukum lainnya: sunnah, makruh, dan mubah. Yang menarik, dalam hal instrumen, Imam Qurafi (tentu imam-imam lainnya juga demikian) pun membagi dua. Ada instrumen dekat (wasiilah qariibah) dan ada instrumen jauh (wasiilah ba’iidah).
Dulu, ketika di pesantren, para guru dan kiai mengajarkan agar kami sabar dan rendah hati dalam menuntut ilmu. Ada banyak perangkat ilmu yang harus dipelajari sebelum menghadapi Al-Quran dan Hadis.
Apa maksudnya? Bukankan kita harus setiap hari baca Al-Quran? Kalau sekadar membaca, tentu bisa kapan saja dan harus sesering mungkin karena itu merupakan ladang pahala (al-muta’abbad bi tilawatihi).
Untuk membaca dan mengambil kesimpulan-kesimpulan dari Al-Quran dan Hadis, kami dituntut untuk belajar berbagai disiplin ilmu: Nahwu, Shorof, Balaghah, Ushul Fiqh, Ulumul Quran, Ulumut Tafsir, Hadis, Ulumul Hadis, Asbabun Nuzul, Tarikh Tasyri’, Sejarah Islam, dlsb.
Dulu, yang disebut ulama adalah manusia dua fungsi. Ia seorang ilmuwan sekaligus juru dakwah. Selain menyampaikan dakwah dengan lisan, mereka juga banyak melahirkan karya tulis ilmiah.
Mereka aktif mengadakan penelitian dan kajian terhadap berbagai masalah. Dalam karya-karya mereka kita dapat menemukan kearifan dan berbagai cara pandang.
Mereka adalah manusia-manusia yang tak pernah berhenti belajar dan mengajar.
Kini, orang yang disebut ulama hanya mereka yang terlalu aktif berdakwah, menjajakan paham tertentu yang dianggap paling benar. Tak sempat lagi mereka menengok pandangan lain yang berbeda. Kearifan? Hampir tidak ada.