kalong Profile picture
Apr 15, 2021 539 tweets >60 min read Read on X
A THREAD HORROR

"KAFANI AKU"

#bacahorror #bacahoror @bacahorror #threadhorror Image
Halo...
Kembali lagi dengan kalong.
Kali ini saya akan membagikan kisah dari Mas Iphend Alzikra @IAlzikra yang ditulis oleh mbak Wien selaku authornya. Tentunya sudah mendapatkan ijin dari mereka untuk saya bagikan lagi.
Kisah nyata yang di alami oleh Mas Iphend alzikra sendiri saat beliau masih muda dulu, walaupun sekarang juga tetep masih muda 😁🙏.

Seperti apa kisahnya?
Jangan lupa RT dan LIKE biar rame.
Follow juga boleh.
Dan jangan lupa mampir dan follow Grup FB PENA HITAM. Link nya ini 👇
m.facebook.com/groups/1602042…
KAFANI AKU
Real Story

Author. : Wiens
Narasumber : Iphend Alzikra

Dunia hitam tentu erat dengan hal mistis juga ghaib, kisah ini mengangkat tentang dunia perdukunan yang mengedepankan ilmu sesat. Unsur kematian tanpa pengampunan dan landasan taubat.
Dan akhirnya, hingga sampai ajal menjemput, bumi masih mendera sang mayat.
2004 tepat aku duduk di bangku kelas dua SMU di Klaten Jawa Tengah. Liburan sekolahku kali ini aku pergunakan untuk pulang ke kota kelahiranku di Magelang, yang masih dalam lingkup kehidupan di lereng gunung Merbabu.
Niat hatiku pulang selama dua minggu liburan akhir semester 2 ini agar bisa melakukan pendakian seperti biasanya jika liburan datang.
Namun kepulangan kali ini ternyata mendapat sebuah kisah yang sangat tragis, melekat erat dalam ingatan sampai saat ini, yaitu pembantaian seorang dukun cabul yang terjadi di desaku.

****
"Dadi awak mu arep muleh Magelang le, gak bantu bapak, ibu, ngurus catering?" ('Jadi kamu mau pulang Magelang nak, tidak bantu bapak, ibu, ngurus catering?') tanya pak Waluyo, orang tua angkatku.
"Njih bileh Bapak angsal kulo mantuk rumiyen." ('Iya bila bapak memperbolehkan saya pulang dulu') jawabku dengan harapan diijinkan.

"Yo wes liburan sikek ae, adek mu nek gelem yo diajak, ben silaturahmi keluarga kono!"
('Ya sudah liburan dulu saja, adik mu kalau mau ya diajak, biar silaturahmi dengan keluarga sana') suruh pak Waluyo.
"Njih pak, matur suwun!"
('Iya pak, terimakasih') balasku.

Jadi aku, Alzikra semasa SMA tinggal di kota Klaten karena diangkat anak oleh salah satu murid mbah Kyai, dari SD sampai lulus SLTP. Aku ikut menimba ilmu, mondok juga sekolah di salah satu pesantren dekat rumah.
Pak Waluyo ini sering menghadiri pengajian rutin setiap malam jumat yang diadakan oleh mbah Kyai.
Aku anak yatim, yang hidup dari belas kasihan orang. Ketidak mampuan ibu sebagai orang tua tunggal, harus menitipkan anak-anak nya di madrasah, karena beliau bekerja diluar kota. Almarhum abah sudah berpulang ketika aku masih berusia enam bulan.
Mbah kyai menitipkan amanah pada pak Waluyo untuk membantuku melanjutkan sekolah sampai tamat SMA. Bukan karena tidak mampunya pesantren, tapi agar aku lebih mengenal dunia yang sama sekali tidak aku tahu.
Selama ini aktivitasku hanya sebatas madrasah, pondok, dan liburan pulang, setiap hari Sabtu sampai Senin pagi, pulang ke pondok lagi.
Jadi, setiap kepulanganku hari sabtu, aku selalu mengikuti jejak langkah abang tertuaku menanjaki beberapa gunung, masuk hutan sebagai pengisi waktu. Hidupku memang tidak seberuntung anak pada umumnya,
tetapi Tuhan menghadiahkan diri ini dengan bisa tumbuh di tengah keluarga yang sangat hebat. Hal itu sudah menjadi syukur yang tanpa terucap dan juga terbayarkan.

****
Malam itu aku berkemas memasukkan beberapa baju ke dalam tas agar besok bisa pulang, bertemu nenek, juga mas Pur. Andai mbak Ita bisa pulang dari pondok, pasti bisa melepaskan rindu dengannya.
Tiba-tiba
Ketukan pintu kamar terdengar, panggilan Farida anak gadis satu-satunya orang tua angkatku memanggil dari luar.
"Mas, dipanggil bapak!" katanya.

"Iyo dek, sebentar," jawabku.

Lalu aku keluar menghampiri pak Waluyo yang tengah duduk menunggu diruang tamu.

"Le, lungguh kene!" ('Nak, duduk sini') suruh pak Waluyo.
"Njih pak," kataku lalu duduk di hadapan beliau.

"Iki sangu mu karo Ida, pesen bapak ora usah munggah gunung yo, ewangi simbah wae ning tegal, ojo malah kluyuran."
('Ini uang saku mu sama Ida, pesan bapak tidak usah naik gunung ya, bantu nenek saja ke sawah, jangan pada pergi') nasehat beliau terdengar.

"Njih pak." ('Iya pak') jawab ku.
Ya..., walau pun sebenarnya keinginan hatiku, liburan kali ini memang ingin menanjak, alias muncak gunung walau hanya yang paling dekat. Ingin kembali memeluk alam yang sudah sangat aku rindukan.
Tapi amanah seorang wali tetap lah menjadi wasilah tanpa terbantahkan, meski pun beliau hanya wali angkatku, tetapi doa serta kasih sayangnya sangat terasa sebagai orang tua sendiri. Apa lagi selama ini hanya memiliki Farida putri semata wayangnya.
Aku dengan Farida juga sudah seperti adik kakak, meski baru satu tahun tinggal bersama, kami juga satu sekolah, dan umur kami juga sama meski lebih muda dia beberapa bulan, hingga menjadi adik buatku.
Farida ini selain cerdas, ibadah rajin, kepekaan kebatinan nya juga pernah aku jabarkan di kisah -

"KLARAS SABRANG LELAYU"

(namun kisah itu tidak dapat dilanjut karena terlalu berbahaya).
Singkat cerita, pagi itu setelah berpamitan dengan bapak juga ibu, kami berdua berangkat naik bus menuju Jogja, lalu disambung bus jurusan Magelang. Perjalanan tidak lama hanya lima jam pun sampai, yang bikin lama karena kami harus singgah dulu di kota,
selain memutari pasar Rejo Winangun, Pecinan, kami juga singgah di alun-alun kota melihat patung pahlawan Pangeran Diponegoro. Saat hari hampir sore baru kami naik angkutan umum sampai ke rumah.
Sambutan bahagia dari sang nenek sangat terasa tanpa terbantahkan, ketika cucu nya pulang. Bu lik, beserta keluarga nya juga menyambut dengan rasa syukur tanpa terkata. Apa lagi melihat Farida yang kali ini ikut pulang.
Seperti kehadiran Ratu bagi mereka, karena jasa orang tua Farida terhadap keluarga dan terutama untuk diri ini pribadi.

"Bapak kalian ibu sami sehat nduk? Alhamdulillah kerso tuwi simbah!"
('Bapak juga ibu semua sehat nak? Alhamdulillah mau melihat simbah') ucap nenek bahagia.
"Alhamdulillah mbah sedoyo sae, sehat. Simbah kados pundi pawartosipun?"
('Alhamdulillah nek semua baik, sehat. Nenek bagai mana kabarnya?') tanya Farida.

"Nggih simbah sehat, alhamdulillah."
(Iya nenek sehat, alhamdulillah) jawab beliau memberi tau kabar dirinya.

---------
Desa kami walau letaknya dekat dengan jalan raya, jurusan Magelang ke Salatiga, kalau sudah mendekati magrib lalu lalang kendaraan sudah bisa mulai dihitung dengan jari, apa lagi setelah malam, suasana terasa sepi, adem, dan tenang.
Jauh berbeda dengan di Klaten, yang seakan memang tidak ada henti dari keramaian.
Setelah duduk ngobrol dengan keluarga, sebelum menjelang waktu magrib datang, aku bergegas mandi. Kemudian bersiap-siap untuk pergi ke masjid desa bersama nenek, juga Ida. Masku masih belum pulang, katanya sedang membawa tamu melakukan pendakian ke Ungaran.
Bikin iri sih, tetapi pulang ku kali ini tidak mengantongi restu untuk mendaki.

Malam harinya kami lewati waktu ngobrol bercengkrama bersama, mendengarkan pituah kesepuhan dari nenek, sambil menemani beliau menganyam tikar.
Hingga semua masuk kamar masing-masing untuk beranjak tidur. Dan subuh kembali membangunkan kami, siap menjalani hari.

Joging pagi yang selalu jadi rutinitas setiap pagi selalu aku lakukan, untuk menjaga stamina diri.
Karena olah raga yang gampang dilakukan hanya itu, kalau tidak sempat pagi diganti sore hari. Saat melakukan aktivitas itu, aku melihat dua julangan gunung tinggi menghias alam, Merapi dengan asap yang membubung ke langit, Merbabu dengan gagah berdiri di sebelahnya.
Saat jogig aku bertemu dgn Ari, sahabat masa kecilku. Alhasil aku malah menghentikan jogigku dan memilih mengobrol dengannya.

"Kapan bali bro?" (''Kapan pulang bro') tanya Ari, sahabat kecil ku.

"Eh bro, wingi sore teko ngomah."
('Ehh bro, kemarin sore tiba di rumah') jawabku
"Kabare lak yo sehat to?" ('Kabar nya sehatkan') tanyanya, sambil menyodorkan rokok ke arah ku.

"Sehat, bagas waras, sekolah mu piye?"
('Sehat, selalu sehat, sekolah kamu bagai mana') tanya ku pada nya.
"Yo biasa wae, sekolah tetep kayo biyosone" ('Ya biasa saja, sekolah tetap seperti biasanya") jawabnya.
Kami berdua duduk di atas jembatan menikmati rokok, sambil ngobrol dgn keseruan masing-masing, menceritakan berbagai pengalaman. Aku memang merokok sedari kecil, hal ini sangat tidak bagus dan jangan dicontoh.
Nakal merokok ini dimulai setelah sunat kelas tiga SD sampai saat ini.
(Jangan ditiru)
Tak terasa waktu bergerak dan pagi menghilang. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, aku beranjak pulang.

Dalam obrolan tadi ada kisah yang menarik perhatianku. Ari sempat menceritakan soal beberapa bulan lalu ada pengakuan orang.
Kabarnya di desa sebelah geger. Ada peristiwa tragis, yaitu sebuah pengakuan wanita tengah hamil disetubuhi oleh seorang dukun.

*****
Hawa nafsu dan keangkaramurkaan yang paling berbahaya adalah yang berasal dari dalam diri pribadi seseorang. Karena hal tersulit yang dilakukan oleh manusia itu sendiri yaitu, melawan ego dirinya sendiri.
Setelah mendengar cerita dari Ari, muncul pertanyaan yg mengusikku. Masih ada jaman sekarang orang percaya adanya dukun, orang pinter yg bisa ngobatin penyakit? Kenapa masih pd keblinger dengan semua itu! Sementara di puskesmas desa kan buka setiap hari untuk melayani masyarakat.
Hari sudah menjelang siang, aku masih duduk dgn Ida yg tengah membantu nenek menyerut pelepah lidi kelapa, untuk membuat sapu. Sesaat aku hanya bengong saat teringat cerita itu, kok bisa ya dukun menghamili pasiennya sendiri. Kalo hal itu benar terjadi tentu bisa dipidanakan.
"Mikir opo le?"
('mikir apa nang') tanya nenek.

"Bade tanglet mbah, nopo leres wonten dukun ting mriki?"
(Mau tanya nek, apa benar ada dukun disini) tanya ku dengan sang nenek.
"La arep opo le? Percoyo kok karo dukun."
('La mau apa nak? Percaya kok sama dukun')
Ucap nenek dengan tetap fokus menyerut lidi.

"Namung tanglet mbah!"
('Hanya tanya saja nek')
Jawab ku merasa tidak enak hati.
Walau keluarga kami hidup dengan kata sederhana saja, namun soal sakit, kami lebih mempercayakan berobat ke puskesmas atau pak mantri (dokter desa), ketimbang mempercayai yang namanya orang pintar atau dukun.
Mendengar perkataan simbah tentang dukun, membuat wajah Farida terlihat sedikit kecut, karena Pak Waluyo sendiri juga merupakan orang yang membuka praktek spiritual, namun dengan ranah yang berbeda, karena berpedoman dengan iman.
Melihat hal itu aku hanya diam, lalu beranjak pamit untuk pergi ke sawah, walau tidak mengerjakan apa-apa di sana, hanya mencari angin, dan berharap ada hal seru yang dapat aku lakukan. Kemudian aku meninggalkan Farida dengan nenek berdua di rumah.
Setelah berpamitan, aku mengambil golok untuk dibawa, dan berangkat menuju sawah.
Tampak sebagian sawah sudah gundul karena saat ini sudah memasuki musim panen padi, jadi hanya tumpukan jerami yang membentang dipetakan persawahan, di jemur oleh para pemilik. Elang hitam yang terbang berputar-putar menghias angkasa,
membawa ingatanku pada masa kecil jika di sini kami semua suka bermain layang-layang saat pulang liburan dari pesantren.
"Kapan mantuk gus?"
(Kapan pulang gus)
Tanya bu de Monah tetangga nenek yang kebetulan melewati jalan ditepian sawah.

"Kolo wingi sonten Bude!"
(Saat sore kemarin bude) jawab ku dengan menyalami beliau.
"Mangkeh pinarak Gus!"
(Nanti mampir gus) katanya dengan ramah.

"Injih Bude, matur suwun!"
(Iya bude, terimakasih) jawabku, membalas keramahan beliau.
Kenapa warga sini memanggil saya, juga abangku dengan panggilan 'Gus', karena kami masih ada keturunan yang dituakan di perkampungan ini. Dahulu, dimana saat itu semua penduduk sini masih belum mengenal yang nama nya agama,
pertama kali orang yang memasukan agama disini adalah kakek buyut dari almarhum abah. Beliau cikal bakal Muslim pertama disini yaitu Mbah Mojo Geni, nama beliau dikenal warga. Dan kisah mbah Mojo ini sudah saya tuliskan dalam kisah SEGORO GENI.

--------------------------------
Saat aku duduk di gubuk pondok di tepian sawah, sambil makan pepaya yang kebetulan masak menggelantung di pohon.
Mas Supri datang hendak mencari rumput, namun Ia memilih menghampiriku karena melihat ku duduk seorang diri.
"Weh nglaras mas Al?"
(Wah santai mas Al) tanyanya.

"Maem gandul mas, hehe.."
(Makan pepaya mas, hehe)
Jawabku memberi tahu juga menawarinya.
Kami akhirnya ngobrol dan ngerokok bareng sambil memakan pepaya. Anehnya dari obrolan kami, aku baru tau kalau ternyata tetanggaku ini, sudah lama menunggu aku pulang, dan kebetulan saat ini bertemu.
Ternyata dia punya maksud untuk meminta doa atau amalan. Ia ingin memikat seorang gadis yang sudah lama dia suka namun tidak berani untuk mengutarakan rasa itu.
Untuk cerita mbah MOJO GENI bisa kalian baca di sini ya.

"Nek menawi wonten dongo, nopo jopo montro ingkang ampuh, kulo disukani mas. Kan kalih sedulur piyambak!"
(Kalau seandainya ada doa, atau ajian mantra yang sakti, saya dikasih mas. Kan dengan saudara sendiri) ucapnya menyampaikan maksud.
"Lah mas, kan wonten dukun sakti to mriki, mosok nyuwun kalian kulo. Mboten gadah nopo-nopo kulo mas!"
(Loh mas, kan ada dukun sakti disini, masak minta nya dengan saya, tidak punya apa-apa saya ini mas) jawab ku dengan menahan tawa karena permintaan yang tidak aku mengerti.
"Lah nek nyuwun kalih dukun lak benten jalur e mas, mboten sah, niku ilmu ireng!"
(Loh kalau minta dengan dukun kan beda jalurnya mas, tidak sah, itu ilmu hitam)
Mendengar itu hampir tersedak aku menahan tawa yang ternyata sudah tidak bisa dibendung lagi. Keluarlah tawa ini dengan mulut yang aku tutup dengan tangan, takut pepaya didalam mulut ini nyembur kemukanya.
"Mas, lek sampean ancenne tresno temenan kalian mbake niku, mbenjing sonten budal kalih kulo ampun ajrit ditampik."
(Mas, kalau kamu memang suka beneran dengan mbaknya itu, besok sore pergi dengan saya jangan takut ditolak) ucap ku untuk membangkitkan rasa percaya dirinya tumbuh
Menurutku, manusia tidak akan pernah tau rasa orang lain tanpa ditanya, dan manusia tidak akan pernah terlihat niat tulusnya tanpa ditunjukan. Untuk itu hal seperti ini hanya membutuhkan mental saja, tanpa perlu doa, atau mantra dalam menaklukan hati.
Kembali berserah pada sang penentu, jika berani menumbuhkan rasa, maka utarakan dengan ketulusan, dan kembalikan semua hal kepada Tuhan semata.
Setelah merasa yakin dengan apa yang aku katakan akhirnya dia berpamitan melanjutkan kegiatannya, dengan bermodal hati yang lebih tenang, memiliki sedikit keyakinan untuk besok diterima cintanya oleh gadis itu.
Sementara aku juga tidak tau apa yang bakal terjadi, apa diterima atau ditolak! Hanya bisa mendoakan niat baik mas Supri.
Akhirnya aku bisa menyimpulkan jika ternyata sebagian pemuda disini masih percaya akan klenik, mantra, atau hal magis untuk meluluhkan hati seseorang. Sama hal nya mempercayai dukun. Dasar ilmu yang dilihat hanya sebatas ilmu hitam juga putih,
sementara belum paham ilmu inti sejati sebagai manusia.

-------------------------------
Adzan dhuhur berkumandang dari jauh, aku turun ke sumber air dibawah, dimana hutan bambu rindang itu memiliki sumber air. Dulu aku pernah beberapa kali mandi juga mencari ikan disini.
Sesampainya di pancuran yang terbuat dari bambu itu, aku mengambil wudhu, saat mau beranjak lagi balik ke gubuk tidak sengaja mataku melihat jika ada nya sesaji di atas mata air ini.
Aku hanya membiarkannya saja karena menurutku ada dua makna, sesaji untuk bisa dimaknai dalam hal positif juga negatif. Mungkin manusia lain yang tidak paham hanya akan menunjuk jika tindakan itu salah karena percaya dan meminta pada setan,
sesat, juga tahayul memberi sesembahan pada astral, itu jika dipandang dengan pemahaman ilmu yang kurang dan cenderung negatif menilai.
Jika dipandang dengan hal bijak dan ilmu positif, manusia memberikan sesaji itu sebagai ungkapan rasa syukurnya karena karunia yang didapat, hingga dia bisa berbagi apa yang dimiliki dengan mahluk lain.
Binatang misalnya, dengan adanya sesaji itu, binatang di sekitar akan menemukan makanan yang manusia berikan, menjadi keberkahan untuk keseimbangan lain.
(Semua kembali pada sudut pandang masing-masing, dan niat orang juga masing-masing, kita tidak bisa menunjuk apa pun hal itu salah tanpa mengetahui dasar semua itu)
Sehabis ibadah, aku beraktivitas memanjat pohon kelapa, menurunkan beberapa kelapa yang sudah tua, membawa pulang ke rumah, agar bisa jadi bahan bawaan dan jadi rantai makanan untuk kami. Semua ini adalah keberkahan Nya.
Sekecil apa pun jangan luput dari rasa syukur, Tuhan selalu memberikan rizki tanpa harus menyusahkan umatnya.
Saat aku sampai rumah, rumah tampak sudah sepi tidak ada orang, entah kemana perginya nenek dengan Farida. Saat aku makan siang, tiba-tiba terlihat warga beramai-ramai membicarakan sesuatu dengan keras namun tidak bisa aku pahami.
Mereka semua melewati sisi samping rumah yang kebetulan disitu jalan menuju lapangan besar. Aku langsung meletakkan piring yang masih penuh dengan nasi, keluar rumah dan bertanya dengan rombongan orang-orang dengan wajah beringas itu.
"Pak.. pak... wonten nopo njih?"
(Pak... pak... ada apa ya) tanyaku.

"Dukun cabul lagi diajar wargo!"
(Dukun cabul sedang dihajar masa)
Jawab salah satu dari mereka.
Mendengar itu aku ikut dengan rombongan warga, penasaran melihat apa yang sebenarnya terjadi. Memastikan dengan mata kepala ini, agar lebih jelas, dan tau duduk perkaranya.
Sesampainya di lapangan, orang sudah berkumpul riuh, sangat ramai, mereka berteriak penuh emosi, dan umpatan kebencian. Aku menerobos kerumunan orang-orang yang tengah menyaksikan hal brutal itu.
Terlihat olehku, seorang laki-laki tengah dihajar secara membabi buta oleh warga dan para pemuda desa, tubuh itu diikat disalah satu tiang gawang yang ada dipinggir lapangan. Mukanya berlumuran darah, baju sobek compang-camping. Aku mendekat agar tau siapa dukun ini.
Ternyata dia adalah Pak Panjalu (warga dari desa sebelah yang memiliki istri orang sekampung dengan kami).
Aku melihat orang-orang terus menghantamkan berbagai benda yang mereka pegang; kayu, batu, besi, juga bata merah. Apapun yang orang-orang itu temukan digunakan untuk senjata. Namun yang kusimpulkan dari peristiwa yang kulihat bahwa Pak Jalu bukan sembarangan orang,
luka akibat benda-benda yang merobek daging juga kulitnya, seketika menutup kembali setelah darah keluar menetes.
Tatapan itu penuh kebencian dan menandai semua orang yang menyiksanya. Hanya senyum sinis yang menghias menyungging mengejek mereka semua. Merah darahnya keluar bukan berarti raga nya terluka. Tatap mataku beradu pandang dengan Pak Jalu,
hanya tatapan itu memberi isyarat pada ku agar jangan ikut mengotori diri seperti warga lainnya.

Warga yang menyaksikan itu ada yang merasa iba, ada juga yang jengkel karena kelakuan yang pak Jalu buat. Teriakan tidak berhenti sampai hari beranjak sore,
dan warga yang kesetanan itu pun lambat laun mulai lelah menghajar dukun sakti ini. Sampai semua berhenti dengan sendiri-sendiri, lalu teriakan lelaki setengah tua itu terdengar.
"Yen aku ora mati dino iki, kowe kabeh sing bakal mati!"
(Kalau aku tidak mati hari ini, kalian semua yang akan mati) ucapnya dengan amarah.
Mendengar ancaman itu kembali para pemuda tersulut emosi dan menghadiahkan bogeman-bogeman sesuka mereka semua. Terus di layangkan emosi mereka semua, sepuas dan selelah mereka. Namun tetap saja manusia itu hanya tersenyum dengan luka yang kembali pulih dan menutup normal.

****
Selalu pandang, di atas langit masih ada langit. Sesumbar akan kesombongan karena sakti itu hanya kebodohan yang jika dituruti dan mempercayai bisikan penunggu ilmu akan membuat kita lupa jika masih ada Tuhan yang Maha atas segala Maha.
Maap semalam ketiduran, lagi kurang fit 🙏.
Lanjut tipis tipis.
Semakin lama, hingar-bingar amukan masa semakin menjadi, mereka kembali tersulut amarah ketika mendengar ancaman yang terus keluar dari mulut Pak Jalu. Kemudian Pak Jalu menunjukan kesaktiannya dengan memutuskan tali yang mengikat diri nya.
Semua masa mundur ketakutan ketika melihat jika dukun ini kini terbebas dan bisa melawan siapa pun.
"Maju kabeh yen arep cumepak pati!"
(Maju semua jika ingin mendekati mati) Pak Jalu menghardik semua orang yg berada disitu.

Beberapa pemuda yg merasa tertantang pun akhirnya beramai-ramai kembali memukuli laki-laki itu, menjatuhkannya ke tanah, lalu kembali mengikat tubuhnya.
Walau sesakti apapun dia, tenaga masa tentu lebih unggul dan membuat sang dukun kewalahan.

Tiba-tiba ada seorang warga yang datang kembali membawa rantai untuk mengikat tubuh yang terus melawan itu.
Aku menghampiri nenek juga Farida yg ternyata juga ada disitu untuk mengajak mereka pulang. Semua manusia sudah diselimuti amarah mereka dengan setan-setan yang semakin bertengger dalam hati, membutakan mata kemanusiaan.
Ini bukan memberi jera, tapi lebih pada ambisi masa untuk menaklukan dukun itu, bahkan bisa menjadi keinginan mereka untuk membunuh sesama manusia.
"Ayo muleh-muleh!"
(Ayo pulang-pulang) kata ku pada Farida juga nenek.

"Oalah Jalu, kok mentolo temen urip mu!"
(Oalah jalu, kok kasihan banget hidup kamu) ucap nenek sambil berjalan pulang.
Sampai malam hari kericuhan itu tidak berakhir, penuh dengan teriakan manusia tanpa surut dengan kata-kata lancang, seakan kehidupan hanya milik mereka semua, menganggap kesalahan orang lain menjadi ketentuan untuk mereka sirna kan dari muka bumi ini.
Mereka lupa jika Tuhan sang pemilik samudra pengampunan, tanpa memilah siapa pun manusia itu!

Sehabis isya aku duduk di depan rumah ditemani oleh Farida, yang merasa aneh melihat semua ini. Beberapa kali dia menanyakan perihal penyiksaan itu.
"Mas, memang ga ada aparat kepolisian atau apa gitu yang bisa menghukum bapak itu. Drpd seharian penuh disiksa tanpa berhenti!" dia mempertanyakan keheranannya.
"Ya adalah pihak berwajib tentunya, mungkin belum disampaikan kabar ini kemereka atau entah bagaimana aku juga kurang tau Nduk." jawabku.
"Sesakti apa pun manusia jika diperlakukan demikian ujungnya mati juga!" imbuhnya dengan sedikit menatap kosong.

"Iya juga sih, tetapi sepertinya warga juga sudah kesetanan, apa lagi mendengar beberapa kali ancaman dari pak Panjalu itu!"
Jawabku.
Tidak berapa lama, terlihat ada motor yang melaju dengan kecepatan tinggi, dan menyeret manusia yang terantai itu. Kilapan aspal menyala, memercikan cahaya, karena gesekan besi rantai.
Terseret, berguling tanpa arah, manusia itu disiksa, sampai habis sebagian pakaiannya tergerus jalanan. Darah bekasnya itu menggaris di atas jalan hitam itu.
"Astagfirullah," teriak Farida.

Kami berdiri menatap dengan rasa tidak tega, melihat manusia diperlakukan seperti hewan. Gerombolan masa sudah berkerumun memegang kayu juga besi, menunggu motor itu balik membawa korban kearah mereka.
Suara geberan motor itu sangat keras terdengar memutar balik dari kejauhan kembali melaju kencang menyeret raga laki-laki itu. Sesampainya di hadapan orang-orang itu, mereka kembali memukulinya seperti ingin membunuh binatang.

"Kamu masuk saja nduk!" suruhku ke Farida.
"Iya mas!" jawabnya langsung berlalu masuk ke dalam rumah.

Peristiwa itu menjadi beban bagiku, ingin menolong tidak bisa, membiarkan juga ikut kena imbas dosa, karena mata ini menyaksikan. Niat hatiku ingin mecoba mendekat lalu berusaha sebisanya berbicara dengan mereka,
belum sampai ditempat itu, terlihat empat orang menggotong batu paving beton, menimpakan pas di kepala laki-laki yang tergeletak itu.

Prakkkkkk....
Beton itu hancur menjadi beberapa bagian, pecah juga kepala orang sakti itu.
"Mati... wes, sokor, bongko, modar....,"
Kata itu terus keluar saling mengumpat, dengan kebanggaan diri saat mereka semua dirasuki oleh setan dalam dirinya.
Tubuh itu terlihat kejang, Ia belum juga mencapai matinya mesti darah dan otak telah berhamburan. Mata nya masih melotot tanpa berkedip dengan darah yang menggelembung dari hidung, hingga cucuran darah segar keluar dari mulut.
Penyiksaan itu belum berakhir sampai datang mas Pur (abang kandungku) yang baru saja tiba dari mendaki nya.

"Astagfirullah kalian kalau mau nyiksa orang jangan seperti ini kasihan dia, cabut saja cincin dijari itu biar mati!" Mas Pur berkata dengan rasa iba nya.
"Ga usah melu-melu gus, nek wedi doso!"
(Tidak usah ikut-ikut gus, kalau takut dosa) teriak salah satu dari mereka.

"Aku ga melu-melu Kang, cuma ngertio, menungso iki bakal nuntut bales!"
(Aku tidak ikut campur kang, cuma ketahuilah manusia ini akan menuntut balas) jawab mas Pur, lalu berlalu pergi pulang ke rumah.
Tubuh tidak berdaya itu terus kejang-kejang, suaranya ngorok seperti ingin mengucapkan sesuatu namun mulut terus keluar darah yang menyumbat tenggorokannya.
Aku hanya mendekat lalu tepat dihadapannya jongkok meminta maaf sambil mencabut cincin di jari tengah sebelah kanan. Hingga suara itu terhenti, tubuh nya lemas terkulai mati, tidak bernafas lagi.
Satu persatu aku menatap mereka semua yang kini berselimut ketakutan dengan sendirinya, menandakan setan yang menyusup raga mereka sudah pergi dengan kemenangan.
Aku berdiri di atas kubangan darah bercampur otak manusia, lalu memberikan cincin itu ke salah satu pemuda yang ikut menghakimi si dukun sampai mati.

"Iki cincin sing marai sakti, cekelen, kubur jasad.e pak Jalu. Wes podo puaskan?"
(Ini cincin yang membuat nya sakti, pegang lah, kubur jasadnya pak Jalu. Sudah pada puaskan) ucapku lalu beranjak pulang setelah
menyerahkan cincin milik dukun itu.
Belum juga kaki ini sampai depan rumah, motor itu kembali menyala lalu menyeret mayat itu, entah dibawa pergi kemana, tanpa memandang jika itu mayat yang mesti selayaknya di layakkan setelah kematiannya!

****
Malam itu aku duduk sambil bercerita soal kejadian itu dengan masku, membahas semua hal, hingga mengambil sudut pandang kami berdua. Jika kesalahan itu tanggung jawab diri dengan sang pencipta tanpa ada nya manusia memberi hukuman dengan penyiksaan sampai menghilangkan nyawa.
Akan tetapi jika dipandang dari segi ilmu hak, perzinahan seperti itu hukum nya sangat berat.
"Kejadian ini tidak akan berhenti sampai disini!" kata mas Pur.

"Berlanjut ke ranah hukum maksudnya mas?" aku bertanya.

"Lebih dari itu le!" balasnya sambil menghela nafas.

"Maksudnya?" aku mulai penasaran.
Hanya senyum itu tersungging memperlihatkan jawaban misterinya, Mas Pur memang selalu begitu, menuntun diriku untuk mencari tau jawaban nya sendiri. Karena sudah sangat hafal dengan sikap dan sifat itu, aku hanya membalas senyumnya tanpa bertanya lagi.
"Manungso urip iku tanpa duweni kasucen, anamung nglakoni lakune kersoning Alloh. Ojo ugem marang howo lan nafsu mengko mundak keblinger!"
(Manusia hidup itu tanpa memiliki kesucian, hanya menjalani perjalanan atas kehendak Tuhan, jangan mengikuti hawa nafsu nanti nanti bakal celaka) ucap nenek keluar dari dapur yang di ikuti Farida membawakan dua cangkir kopi untuk kami berdua.
Beliau duduk dengan kami memberikan wejangan kehidupan, mengasah kembali keyakinan diri cucu nya! Kami bertiga hanya menyimak tuturan kebajikan itu, agar dapat mawas diri, berjalan dengan kehendak takdir yang tergaris.
"Iling-iling yo le, urip iku tinandur, lan bakal nuwi pawinih besok ing alam kono! Thukulan uga ora bakal nguwuh tanpa tirumat kang bener."
(Diingat ya nak, hidup itu menanam, dan akan memanen nanti di alam sana! Tanaman juga tidak akan berbuah tanpa dirawat dengan benar) kata beliau memberi gambaran kehidupan.
Makna dari nafas kehidupan ini adlh utk menuju hal apa yg kita terapkan, akan memberi hasil utk diri pribadi di kehidupan yg sesungguhnya. Gambaran seperti itu langsung menjadi sebuah ganjalan dihatiku, dgn mengingat peristiwa tadi, yg tanpa mempertimbangkan perbuatan keji mereka
Manusia bersalah tidak akan usai dengan menambahkan kesalahan lain, justru akan menjadi kodrat keburukan dimana anugrah sebagai insan sempurna itu hanya gelar semata.
Kembali dalam kodrat diri jika manusia tersempurnakan dengan akal sehat, agar bisa memilah kebenaran, merangkum kebaikan, mengendalikan diri dari empat unsur hawa nafsu, menekan diri agar tidak merambah dalam bujuk rayu iblis.
Itu yang menjadikan kita semua menyandang mahluk dengan karunia sempurna.
SEDULUR PAPAT, LIMO PANCER. (mengendalikan empat hawa nafsu, dengan akal sehat).
Terdengar ketukan pintu juga salam seseorang yang tengah datang bertamu. Mengabarkan kondisi mayat tadi.

"Assalamuallaikum, Kulo nuwun."
(Permisi) Mbah Muhroji, sesepuh desa datang bertamu.
"Waallaikumsalam, monggo wo mlebet"
(Membalas salam, silahkan (pak tua) masuk) jawab kami, lalu mas Pur mempersilahkan beliau masuk.
Sesepuh itu datang mengabarkan pada abang ku agar memberi tahu para pemuda juga warga untuk menguburkan jasad itu dengan layak, karena setelah diseret mayat itu hanya dilempar ke dalam liang lahat, tanpa mensucikan,
memakaikan kafan, langsung di kubur dengan kondisi mengenaskan seperti itu. Maksud mbah Muhroji kenapa menyuruh abang karena peranan abang di desa sebagai ketua pemuda!
Mendengar penjelasan itu mas Pur langsung berlari meninggalkan rumah. Tanpa berpamitan langsung meninggalkan kami semua yang masih terduduk di situ.

****
Pahami diri, agar mampu berjalan meniti hidup saat ini, juga kehidupan sejati yang akan datang!
Peristiwa memilukan itu menyebabkan munculnya babak baru di kehidupan kami.

Kematian Pak Panjalu menjadi awal dari teror arwah dukun yang meminta dikuburkan selayaknya manusia, dia menginginkan ketenangan dalam akhir penantian di alam barzah.
Namun ternyata hati manusia yang memperlakukannya secara tidak selayak ternyata belum memiliki rasa iba, sehingga belum paham untuk menggapai amanah memperlakukan jenazah selayaknya kodratnya setelah menuai ajal.
Kematian bukan akhir dari hidup, tetapi awal dari kenyataan bahwa kita akan meniti hidup yang sesungguhnya.
Sudah menjadi konkwensi bahwa kita harus mempertanggungjawabkan segalanya, menuai apa yang telah manusia tanam dalam perjalanan fana ini.
Sebesar gunung pahala akan mendapati ratusan balasan nikmat, begitu juga sebaliknya, setitik dosa juga akan mendapatkan deranya ratusan kali lipat.
Namun waktu saat ini bukan menjadi hal mudah untuk mengevaluasi apa kah kita yang beruntung lolos sebagai hamba atau hanya sampah kehidupan yang tidak akan pernah berhasil melanjutkan kembali kehidupan disisi Nya.
Dera itu membelenggu abadi jika mutlak diri menentang ketetapan yang sudah ada dalam perjanjian antara Tuhan dengan umatnya.

--------------------------------
"Kae malah arep menyang ngendi?"
(Itu malah mau kemana) nenek ku meneriaki mas Pur yang berlalu meninggalkan kami semua.

"Kulo susul riyen mbah!"
(Saya susul dulu nek) ucapku berpamitan.
Aku lalu ikut berlari mengejar kemana langkah abangku pergi dengan sangat buru-buru, entah mau kemana. Beberapa kali aku memanggilnya baru langkah itu terhenti, lalu memandang ku setelah membalikan diri kearahku.

"Arep ngendi mas?"
(Mau kemana mas) tanya ku pada mas Pur.
"Sampean tunggu ngomah ae, aku arep ngusulke ning pak carik, yen mayit iku kudu disampurnaake!"
(Kamu tunggu diruamah saja, aku mau isulkan (bertamu) ke pak kades, jika mayat itu harus disempurnakan. (dikuburkan selayaknya manusia) jawab abang ku dengan sangat buru-buru.
"Aku melu mas."
(Aku ikut mas) kata ku, ingin menemaninya.

"Wes ga usah le, pean omongi Armani wae nek mas nunggu ning dalem.e pak carik yo!"
(Sudah tidak usah le, kamu bilangin Armani saja kalau mas menunggu di rumahnya pak jades ya) suruh nya padaku.
Tanpa berlama-lama dia melanjutkan kembali langkahnya, aku menuruti perkataanya pergi ke rumah sahabat baiknya.
Seperti biasa kampungku selalu sepi ketika malam hari, ditambah dengan ada nya kejadian pembunuhan itu, semakin sunyi tanpa terlihatnya aktivitas siapa pun di luar rumah. Jam memang sudah menunjukkan waktu hampir berada dipertengahan malam,
gelap menyelimuti jalan karena memang penerangan lampu di jalan jarang ada. Lampu di depan rumah para warga juga hanya mampu menerangi halaman saja.
Saat dipersimpangan jalan menuju makam tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman, merinding datang saat hidung ini mencium bau darah yang sangat amis. Aku hanya berhenti ketika saat mendapati benturan energi ghaib seperti ini, ingin mengetahui setan apa yang akan menampakkan wujudnya!
Tidak seberapa lama tepat dari jauh bayangan manusia berjalan terpincang, terlihat sangat kesusuhan melangkah dengan berbunyi rantai yang ia seret. Gemrincing berderat terdengar.

"Pak Panjalu!" ucap ku lirih, dengan menunggu sosok itu mendekat.
Berjarak tidak seberapa jauh baru terlihat dengan jelas, tangan dan kakinya sudah sama sekali tidak berbentuk dengan tulang-tulang yang patah. Pecahnya kepala itu masih menganga terbuka, semua muka juga sekujur tubuhnya hancur dengan daging terkoyak,
memampangkan hancurnya tubuh itu. Mulutnya terbuka lebar dengan sobekan pipi akibat tulang rahang yang mencuat keluar.

Aaaaaaaaaaaaaa....
Suara itu terdengar semakin jelas, ketika jarak kami sudah berdekatan. Mulut itu masih mengeluarkan darah yang berwarna hitam pekat.

"Innalillahi wainnalilahi rojiun"
Kata itu yang terucap saat melihat kondisi pak Panjalu.
Langkahnya terhenti saat dia berdiri beberapa langkah di depanku, hanya suara ngorok yg terdengar, tanpa mengucapkan apa-apa. Beberapa langkah aku maju mendekat meski bau amis itu semakin membuatku pusing. Tetapi dengan sempoyongan dan susah payah, mayat itu pun bergerak mundur.
Seakan jarak ini sudah dia tetapkan seolah-olah supaya kami tidak bisa saling mengapai. Karena penasaran kembali aku melangkah maju, tetapi begitu lagi dia mundur.

"Pak Jalu maunya apa?" Aku bertanya agar tau maksud arwahnya mendatangiku.
Tanpa mengucap apa pun, lalu aku menoleh ke arah lain ketika sebuah panggilan terdengar. Tidak jauh dari situ kang Rofi sedang berjalan, lalu melihatku tengah berdiri di sini. Aku kembali arahkan pandangan ke pak Panjalu, namun sosok itu sudah tidak terlihat,
menghilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun. Hal itu membuat aku hanya menghela nafas dengan rasa yang tidak karuan diperlihatkan kondisi jasad itu.

"Nopo wonten mriku mas?"
(Ada apa disitu mas) tanya kang Rofi.
"Mboten nopo-nopo kang, ajeng ting griyone kang Armani!"
(Tidak apa-apa kang, mau menuju rumahnya kang Armani) jawabku.

"Ngapunten mas, kulo niki ajrit."
(Maaf mas, saya ini ketakutan)
Tiba-tiba ucapan nya terdengar memberi tahu.
"La wonten nopo kang?"
(Lah ada apa kang) tanyaku ingin tahu.

"Griyo kulo digedori tiyang mas, namung dipadosi mboten wonten sinten-sinten!"
(Rumah saya digedor orang mas, namun dicari tidak ada siapa-siapa) dia menjelaskan, dengan kepanikan.
Mendengar perbincangan kami, ada beberapa warga yang datang menghampiri, mereka menceritakan jika rumah mereka semuanya digedori oleh orang, namun ketika mereka memastikan keluar dan mencari keseluruh halaman juga pekarangan rumah tidak ada siapa pun.
Mereka juga mendengar bunyi seretan rantai terus berjalan mengelilingi rumah sambil mengedor pintu juga jendela.

Peristiwa itu dirasakan oleh semua orang yang tengah berkumpul, mereka memastikan jika mulai diteror oleh setannya dukun itu,
sementara penguburannya masih sangat baru, hanya hitungan jam yang lalu. Janji itu langsung dibayarnya tanpa menunggu lama, jika pak Jalu menuntut balas, kematiannya akan membawa kegentingan baru.
Para warga yang kini merasa ketakutan itu beramai-ramai mendatangi rumah pak lurah, meminta pendapat atas ketakutan yang mereka alami. Kini malam jadi ricuh dengan berita baru yang sangat cepat menyebar, hingga hampir semua warga megalami teror yang sama.
Tanpa harus mendatangi kang Armani, ternyata dia sudah datang kemari, berbarengan dgn Arif adiknya. Lalu aku menyampaikan apa yg disuruh oleh abang. Dia pun langsung bergegas menyusul mas Pur di rumahnya pak carik, karena di sana pasti ada hal penting yg dibahas mengenai hal ini.
Setelah semua bubar aku menuju pulang, untuk memastikan jika nenek juga Farida tidak apa-apa di rumah. Tetapi aku tetap merasa tenang karena adik angkatku itu sudah biasa soal astral, bersinggungan dengan ghaib juga tidak membuatnya gentar.
"Apa benar ini semua perbuatan pak Jalu! Jika dirinya belum merasa tenang dalam liang kuburnya!" terus pertanyaan itu berulang kali muncul dalam benak.
Ingin rasanya ditemui lagi, lalu sosok mayat itu menyampaikan maksudnya agar bisa tau keinginan yang dimaksudkan. Tetapi hati ini juga yakin jika arwah itu masih merasa belum disemayamkan dengan baik,
jadi sangat wajar jika semua ini terjadi, meminta pertanggung jawaban semua warga demi ketenangan dirinya.
"Assalamuallaikum" salam ku ketika tiba dirumah.

"Waallaikumsalam" jawaban itu terdengar dari Ida yang lalu membukakan pintu.

"Mana nenek nduk?" tanya ku pada nya.

"Simbah sare mas!"
(Nenek tidur mas) jawabnya.
Aku dan Farida duduk meminum kopi buatannya yg kini sudah dingin. Aku Menceritakan pd Farida jika warga sudah mulai merasa diteror oleh arwah dukun itu. Namun gadis di depanku ini hanya tersenyum, senyumannya menjadi jawaban bagiku jika diri nya seakan sudah mengetahui semua itu.
"Yang semua warga rasakan juga aku sendiri mendengar mas, hanya tidak menghiraukan hal itu!" katanya memberi tahu.

"Jadi tadi rumah ini juga digedor-gedor ya nduk?" aku bertanya karena penasaran.
"Iya mas, dan feeling ku juga mengatakan jika itu bukan perbuatan wajar manusia, maka nya aku biarkan saja tanpa mengintip keluar!" ujarnya.

"Ya sudah istirahatlah nduk, sudah larut!" kataku padanya.

------------------------------------
Malam ini aku hanya duduk sambil menikmati kopi juga rokok, berharap jika gangguan itu muncul, agar dapat aku hampiri mayat berjalan itu. Tetapi sampai jam tiga dini hari semua yang diharap tidak kunjung datang. Justru abangku yang kini sudah pulang ke rumah.
Menceritakan jika besok pagi semua sepakat untuk membongkar makam itu, mensucikan mayat, memakaikan kafan, dan digelar tahlilan agar kampung ini bisa tenang, warga tidak merasa mencekam melalui malamnya dalam rumah mereka sendiri.
Sampai subuh berkumandang aku masih terjaga dalam kamar, lalu nenek mengajak untuk pergi ke masjid. Belum sampai dimasjid yg tidak seberapa jauh dari rumah, seorang bapak-bapak lari ketakutan, dgn muka pucat menghampiri kami. Berteriak meminta tolong jika dirinya melihat Pak Jalu
"Mbah.. mbah.. ono Setane pak Jalu!"
(Nek.. nek.. ada setannya pak Jalu)
Ucap bapak itu yang memberi tahu kami.

"Setan opo, wani mateni uwong kok wedi setan!"
(Setan apa, berani membunuh orang kok takut setan) Nenek berkata dengan sedikit menyindirnya.
"Sumpah mbah, aku lagi wudhu ditemoni kok!"
(Sumpah nek, aku sedang wudhu dilihatin kok) kembali bapak itu menjelaskan, sambil bergidik ngeri. Lalu kembali berlari kerumahnya tidak jadi ikut berjamaah di masjid.
Jamaah memang bisa dihitung dgn jari pagi ini, tidak seperti dulu meski subuh tetap saja masih banyak warga yang beribadah. Entah lantaran mereka takut datang ke masjid karena setan itu, atau memang sudah lama tempat ibadah ini sepi! Aku yg jarang pulang tidak tau akan pastinya!
Ternyata masih saja banyak manusia yang bisa ditakuti jin atau arwah orang mati yang tidak tenang seperti ini, Entah apa yang menjadikan semua itu sebagai sebuah kengerian. Padahal menurutku semua juga akan melewati fase kematian, yang hidup akan mati untuk kembali.
Sekarang mereka takut melihat wujud yang menakutkan. Namun mengapa saat beramai-ramai menghajar secara membabi buta, mereka semua tidak merasa takut melihat bentuk yang sama, justru setelah menjadi mayat, semua menjadi ketakutan sendiri-sendiri.
Manusia banyak lucunya!
Sepulangnya beribadah di masjid aku tertidur karena memang semalaman tidak bisa tidur memikirkan semua peristiwa ini, dan juga menunggu yang tidak datang, yaitu arwah Pak Panjalu.
Jam sembilan pagi abang ku membangunkan untuk ikut datang membongkar makam sang dukun, bareng dengan warga lain nya. Ajakan itu langsung aku iyakan untuk hadir ke makam bareng dengan abang dan yang lain.

-----
Rasa ketakutan itu dimunculkan oleh yang ghaib, agar mudah mempengaruhi diri kita yang tidak memiliki landasan iman dan keberanian. Ketakutan itu adalah senjata di mana aura manusia dapat terpancar, sehingga dapat dengan mudah melihat sang ghaib.
Akhirnya setelah disepakati oleh warga untuk melayakkan mayat Pak Jalu. Warga bergerak menuju area pemakamannya. Sebelum berangkat menyusul warga, terlebih dahulu aku mandi dan mensucikan diri agar badan menjadi bersih,
karena aku berniat ingin berziarah ke makamnya abah dan juga kakek, yang berada di tempat yang sama dengan makam pak Jalu.
Sesampainya di makam, terlihat juga ada pak kyai yang sudah membawa kafan, kapas, kapur mayat, bunga, juga yang lain nya. Dua orang menggotong keranda kosong dan yang lainnya membawa dua buah drum kosong yang akan diisi air untuk mensucikan mayat.
Namun saat mereka sampai ke makam Pak Jalu, betapa terkejutnya warga menemukan sesuatu hal yang tidak terduga terjadi. Ternyata liang lahat itu sudah terbuka, dan mayat didalamnya sudah menghilang tanpa diketahui oleh penduduk di sini.
Jasad Pak Jalu sudah tidak ada didalam kuburnya, membuat gempar dan suasana menjadi mencekam. Hal itu menyebabkan warga menjadi riuh, keributan kembali terjadi diantara mereka. Seketika suasana menjadi hingar-bingar. Ketakutan secara perlahan mulai merengkuh penduduk.
Semua membatin, "kok mayat Pak Jalu bisa hilang? Mereka yang mengubur mayat dukun itu pun saling menatap bingung dan juga ketakutan.

"Kayane iki mau bengi uwis dibongkar uwong!"
(Ini tadi malam sudah dibongkar orang) ucap salah satu orang di sana.
"Wah ono maling mayit po piye kang, opo ojo-ojo pak Jalu urip maneh?"
(Wah ada pencuri mayat atau bagai mana kang, apa pak Jalu hidup lagi) orang lain juga saling kebingungan hingga memberikan asumsi masing-masing.
"Jajal di goleki sekitaran kene, sopo ngerti ono tipake!"
(Coba di cari sekitar sini, siapa tau ada bekasnya) suara pak lurah menyuruh beberapa pemuda di situ.
Lalu mereka semua berpencar mencari petunjuk di sekitar makam, siapa tau mayat itu memang dicuri orang atau hewan. Semua orang berusaha mencari dengan gamang tanpa kepastian. Dan setelah sekian lama mencari mereka semakin gelisah karena pencarian mereka tak menampakkan hasil.
Andai memang cungkup tanah itu dibongkar manusia pasti ada sisa tanah cangkulan sisa gundukan itu! Tapi ini yang ada hanya liang tanpa kerukan tanah sama sekali, begitu rapi, hingga bisa disimpulkan ini bukan ulah manusia atau pun hewan.
Setelah berjam-jam melakukan pencarian, ternyata tetap hasilnya nihil. Tak ada pertanda sama sekali di mana mayat Pak Jalu berada. Akhirnya karena sudah kelelahan, jumlah warga berkurang, satu persatu pulang kerumah mereka masing-masing.
Aku menghampiri abang ku yg tengah mengobrol dengan perangkat desa dan juga pak kyai. Mereka membahas hal ini dengan serius, dan ingin membawa peristiwa hilangnya mayat Pak Jalu keranah hukum. Akan tetapi untuk mengambil keputusan itu menjadi pertimbangan berat bagi kepala desa,
karena yang menghakimi sampai menghilangkan nyawa pak Jalu adalah penduduk desa ini. Hal itu membuat masalah semakin pelik dan juga menimbulkan kebingungan.
"Ngeten mawon pak kyai, kalian wargo sekalian niki dipun rumbung wonten balai desa. Wangsul dhuhuran langsung mawon sedoyo musyawarah wonten mriko!"
(Begini saja pak Kyai, dengan warga masyarakat semua, ini kita bahas di balai desa, sepulangnya ibadah dhuhur langsung saja semua musyawarah disana)
Ajak pak lurah kepada semua yang masih berada di situ.
"Njih pak lurah!"
(Iya pak lurah) semua menjawab memberi kesepakatan.
Semua kembali pulang dengan pertanyaan masing-masing, sepanjang perjalanan mayat pak Panjalu masih jadi pembahasan mereka. Kejadian seperti ini baru pertama kalinya aku lihat dan ikut serta menyaksikan semua alur kejadian itu, sampai hilangnya mayat dari liang lahatnya.
Sungguh sangat tidak masuk akal, untuk mencari jawaban pun terasa sangat sulit. Sampai pak kyai sendiri pun masih belum menunjukan dimana sebenarnya pak Jalu, masih menjadi misteri di desa ini.

"Mas sini!" Panggil Farida yang duduk di teras rumah.
"Apa nduk?" Tanya ku, lalu menghampiri nya.

"Tunggu nanti malam jika mendengar lolongan anjing hutan berarti itu pak dukun itu!" Katanya memberitahuku.

"Kok bisa itu Pak Jalu, anjing hutan masih banyak disini nduk, walau jarang terdengar sih kecuali malam tertentu!" jawabku.
"Iya mas tapi itu yang Ida lihat!" Imbuhnya memberi tahu.

Saat kami masih asyik membahas mayat Pak Jalu, tiba-tiba mas Pur datang berjalan dengan kepala menunduk, berkali-kali menyibakkan rambut gondrongnya.
Mengucap salam saat tiba di halaman rumah dan membuka kran air, membasuh kaki nya! Dia tidak langsung masuk, tapi malah ikut duduk bareng aku dan Farida.

"Mleset wes, petungan ku!"
(Meleset sudah, perhitungan ku) kata mas Pur.
"Mleset piye sih mas?"
(Meleset bagai mana mas) tanyaku

"Wong kene ki ora mudeng, yen pak Jalu kuwi nek mati iso nunggal, maleh dadi asu baung!"
(Orang sini itu tidak mengerti, jika pak Jalu itu kalau meninggal bisa menjelma, menjadi anjing baung (anjing siluman) penjelasan abang ku dengan serius.
"La terus wes dirembuk durung karo warga kene mas, piye solusine?"
(Lalu sudah di musyawarahkan belum dengan warga sini mas, bagai mana solusinya) jawabku.
Ditengah obrolan kami, Farida langsung pamit masuk ke dalam, karena dia juga merasa canggung dengan abangku. Namun kedua tuturan antara abang dengan adik angkatku kurasakan memang benar, jika mayat itu sekarang tengah menjelma menjadi seekor 'anjing baung'.
Itu ilmu yang selama ini diamalkan sang dukun sehingga dia menjadi sakti, dan ingin 'manunggal' yaitu setelah kematian menjadi siluman agar bisa abadi di alam fana ini!
Menurut penjabaran abang, ternyata dalam menuntut ilmu hitamnya, syarat yg harus dilakukan adalah dengan meniduri pasiennya. Tidak heran jika semua pasien wanita yg datang pada pak Jalu selalu disetubuhi utk menyempurnakan ajian asu baung itu.
Meski tentunya dengan ada persyaratan lain yang tidak abang jelaskan.

"Dik Farida loh malah ngerti, mosok pean ga roh le?"
(Dik Farida loh malah tau, masak kamu tidak tau le) tanya mas Pur.
"Lah manungso mas ono batasan lan keluwihane dewe-dewe kan!"
(Lah manusia mas ada keterbatasan dan kelebihannya masing-masing kan) jawabku.

Mendengar jawaban itu abang hanya tersenyum lalu menawari ku rokok, agar ngobrol kami berdua bisa santai!
Siang itu sehabis menjalankan ibadah, sebagian warga ada yang menghadiri rapat yang diadakan oleh pak lurah, namun ada juga yang tidak bisa hadir karena urusan masing-masing. Aku dengan teman -teman sebaya hanya duduk di depan balai desa menunggu hasil dari musyawarah itu.
Perdebatan pun terdengar dari dalam oleh pamong dan warga yang tidak ingin membantu menyelesaikan hal ini, mereka lebih cenderung menuntut agar masalah ini segera diatasi dan selesai secepat mungkin.
Sebenarnya mereka itu ketakutan dengan sendirinya, padahal masalah pelik ini ulah dari mereka. Andai semua bisa saling paham, saling kerja sama, dan merasa bertanggung jawab; masalah bisa secara pelan dicari solusinya.
Ketegangan itu makin memanas ketika seorang pemuda yang sok merasa hebat di kampung ini membentak, dia tidak setuju dengan penjelasan yang diutarakan oleh abangku.

"Sakti, Nyatane yo bongko menungsane!"
(Sakti, kenyataan nya juga mati manusia itu) teriaknya dengan merasa hebat.
"Santai wae mas Kenthung, yen sampean ora percoyo, nyatane mayite juga ora ono jluntrunge, yen sampean anggap iki dudu wong sakti sing iso nuntut bales yo iku terserah pendapat mu, awak dewe ning kene golek solusi ora malah podo gegeran mergo ngugemi argument dewe-dewe!"
(Santai saja mas kenthung, kalau km tidak percaya, kenyataannya mayat itu jg tidak ada kejelasannya, kalau km anggap bukan orang sakti yg bisa balas dendam ya itu terserah pendapat mu, kita disini mencari solusi bukan malah saling ribut krn argument masing-masing) jawab mas Pur.
"Yen wong iku pancen sakti iso maleh asu baung koyo sing mbok omongke Gus. Kok iso sampean ngerti, memange wong iku tau cerito? Tak delok awet pean teko sore wingi pancen ora seneng karo pemuda kene!"
(Kalau orang itu memang sakti bisa berubah jadi anjing siluman seperti yg kamu katakan gus. Kok bisa kamu tahu, emangnya orang itu pernah cerita? Aku melihat saat kamu tiba kemarin sore memang terlihat tidak suka dengan pemuda sini) kata Kenthung preman kampung itu, semakin emosi
"Sampun, dirembuk kanti sareh mawon mas!" (Sudah, dibahas dengan sabar saja mas) Pak Kyai menengahi perdebatan mereka.
"Mboten usah ndhalil Mbah Kyai, kersane Gus Pur bade ngendiko nopo meleh, cobi tak rungokke, soale kulo ngertos yen kolo omongan ngendikane sengak kalian kulo lan pemuda liyo nipun!"
(Tidak usah mendhalil mbah kyai, biarkan gus Pur mau bicara apa lagi, coba saya dengarkan, soalnya saya mengerti jika dari kemarin omongan nya sengak dengan saya juga pemuda yang lain) tambahnya berucap.
"Loh mas sing sengak ki sopo? Kulo namung ngilingke yen menungso iku iso nuntut bales. Tur aku juga ora melu-melu urusanne sampean lan pemuda kene, mergo bakal ono piwales!"
(Loh mas yang sengak itu siapa? Saya hanya mengingatkan jika manusia itu bisa menuntut balas. Dan aku juga tidak ikut campur urusan kamu juga pemuda sini, karena bakal ada balasan) balas abangku
Suasana menjadi tidak nyaman karena di dalam bukan berembuk mencari solusi tetapi malah terjadi keributan, preman itu malah menunjuk abang yang tidak pro atau mendukung kelakuan pemuda setempat yang sudah mengadili dukun cabul itu.
Ketegangan itu terus terjadi hingga pak kyai juga perangkat desa lain memilih untuk menunda kembali musyawarah, menghindari perseteruan yang semakin memanas.
Semua akhirnya keluar dan rapat malam itu tak memiliki hasil, aku juga melihat mas Pur dan kang Armani keluar dengan lesu, lalu gerombolan pemuda yang dipimpin oleh Kenthung juga keluar dengan muka bringas, seakan mereka tengah berbangga diri atas semua itu.
"Gus...," teriak preman itu memanggil abang.

"Opo neh mas?"
Tanya abang ku yang menghentikan langkah nya.

"Ora usah ita-itu Gus, yen perkoro iki sampai teko polisi berarti awak mu!"
(Tidak usah aneh-aneh gus, jika perkara ini sampai ke kepolisan berarti kamu) ucap laki-laki itu semakin terdengar tidak mendasar.
"Aku ora lapor, aku juga ora arep melu-melu urusan mu sak bolo mu kabeh. Wes rompung no dewe!"
(Aku tidak melapor, aku juga tidak ikut campur urusan kamu dengan teman mu semua. Sudah selesaikan sendiri) kata mas Pur dengan nada sedikit kesal.
Pernyataan itu malah membuat geram si preman yang langsung memegang kerah baju abangku. Melihat hal itu kang Armani yang di sebelahnya langsung mendorong tubuh Kenthung hingga mundur beberapa langkah.
"Kowe ki setan, omongan mu ra ono dasar, opo isih kurang ngepruki uwong sampai mati?"
(Kamu itu setan, omongan mu tidak memiliki dasar, apa masih kurang menghajar orang sampai mati?) ucap kang Armani dengan emosi melihat kelakuan preman itu.
"Kowe sopo arep melu-melu?"
(Kamu siapa mau ikut campur) balasnya dengan nada tinggi.

"Ora perlu pandang aku sopo, ngertio sopo sing mbok ancem kui mau, putu sing babat alas deso kene!"
(Tidak perlu pandang aku siapa, mengertilah siapa yang kamu ancam itu tadi, cucu pendiri desa sini) ucap kang Armani.
Kang Armani berhasil melerai pertikaian itu, akhirnya mereka kembali pulang ke rumah masing-masing. Jika dipikir-pikir, sebenarnya keributan ini terjadi karena preman itu yang menggerakkan masa untuk menghajar pak Panjalu,
dan kini dia merasa bersalah juga sangat ketakutan sampai ingin mencari-cari kambing hitam agar diri nya merasa aman tenang, juga terbebas dari hukuman.
Sebenarnya dia telah memulai masalah besar namun ingin menghilang dengan melepaskan tanggung jawab kelakuannya sendiri. Namun kini semua itu telah terlambat dan juga sudah telah terjadi.
Kini hanya menunggu apa yang akan mereka semua rasakan. Buah pembalasan atas perlakuan tanpa perikemanusiaan.

****
Manusia sejati tidak akan bersembunyi dibalik perlindungan orang lain dengan apa yang telah diperbuatnya. Hanya orang pengecut yang berteriak berani, namun malah menuding orang sebagai kambing hitam.
Siang itu akhirnya berlalu begitu saja. Perdebatan seru dan panjang tidak membuahkan hasil, karena tidak ada jalan penyelesaian yang diperoleh dari musyawarah yang di adakan oleh pak lurah. Justru yang terasa, suasana semakin bertambah kisruh dan rusuh.
Hal ini disebabkan karena sikap preman yang tetap merasa paling benar dengan pendapat dirinya sendiri bahwa ilmu kesaktian 'asu baung 'yang dimiliki sang dukun itu hanya dianggap sebuah karangan semata.
Sementara itu, jasad pak Panjalu masih entah kemana hilangnya, semua ini menjadi misteri yang menakuti sebagian banyak penduduk desa.

Sampai malam, Abangku juga belum juga terlihat pulang ke rumah semenjak siang tadi.
Mungkin dia masih membahas mengenai masalah ini, atau berada di tempat temannya. Aku juga tidak tau...

Dirumah hanya aku dengan nenek juga Farida yang sesekali membicarakan perihal mayat yang hilang.
"Wes ora usah dipikir nemen, mengko lake ketemu yen wes titi wancine."
(Sudah jangan terlalu difikirkan, nanti juga ketemu kalau sudah saatnya) kata nenek yang memberitahukan akan hal ini.
"Injih mbah, mugi-mugi mawon!"
(Iya nek, semoga saja) jawab Farida.

Tidak seberapa lama nenek lalu menyuruh ku mencari abang, karena masih cemas jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, yang dilakukan oleh preman dan anak buahnya di luar sana.
Aku pun segera keluar rumah lagi untuk mencari di mana mas Pur saat ini!

"Mas aku ikut!" adik angkat ku itu meminta.

"Ya udah ayo, sekalian cari kabar berita dari warga!" ajak ku ke dia.
Kami berdua berjalan menyusuri kampung yang sepi, walau hari masih siang beranjak sore. Tetapi pintu rumah seakan semua tertutup rapat, semua orang tanpa terlihat beraktivitas seperti biasanya. Kesunyian itu menyebabkan suasana di kampung ini terasa angker.
Padahal kejadian kematian dukun cabul itu baru terjadi kemarin. Namun dampaknya mulai terasa. Sesampainya di rumah temannya, abang pun juga tidak berada di sana, entah kemana perginya.
Lalu kami menanyakan keberadaan abang sama keluarga kang Armani tetapi mereka juga tidak mengetahui kemana mereka berdua pergi. Timbul pertanyaan di benakku, masih ada pertemuan kah dengan perangkat desa, atau mereka mencari mayat itu?"
"Kemana lah mas Pur ni!" gumamku

"Selain kesini biasa nya kemana mas Pur nya?" tanya Ida pada ku.

"Ya ga tau nduk, aku kan juga jarang dirumah." kata ku menjawab.
"Ya udah jalan saja, sambil mencari nya keliling kampung mas!"
Farida mengajak ku.

"Ya dah, ayo!"
Jangan lupa mampir dan follow grup FB PENA HITAM ya
m.facebook.com/groups/1602042…
Kami melanjutkan pencarian, sampai akhirnya saat hari sudah gelap, kami berdua berhenti tepat di depan rumah pak Jalu. Pintu dan pagar rumah itu tertutup. Dimana pergi istri nya?
Memang selama ini mereka hanya hidup berdua tanpa memiliki keturunan anak. Halaman rumah yang luas itu pun sepi, yang biasanya banyak kendaraan tamu pasien terparkir disitu.
"Ini rumah pak Jalu itu nduk, tapi ga ada orang, mungkin istrinya pulang ke kampung sebelah di tempat saudara almarhum!" kata ku memberitahu adikku.

Dia hanya mengangguk lalu tatapannya melihat kedalam bangunan rumah yang terlihat sepi itu.
Tidak seberapa lama dia menarik tangan ku, mengajak pergi menjauh dari rumah ini.
"Kenapa?" tanyaku.

"Sudah nanti saja aku ceritakan!"
Ucapnya sambil terburu-buru berjalan.
Aku mengikuti langkahnya yang seperti orang ketakutan. Dia hanya mengajak pulang ke rumah dengan sangat cepat melangkah. Hingga kami berdua sudah tiba kembali di rumah. Dan langsung masuk dan duduk diruang tamu, sambil menenangkan diri.
"Ada apaan sih?" tanya ku, yang duduk di sampingnya.

"Di rumah Pak Jalu tadi ada banyak sekali anjing yang besarnya hampir segede sapi mas, mata nya merah melihat kearah kita!" katanya memberitahukan apa yang Farida lihat.
"Masak sih! Kok aku ga melihatnya!" kataku menjawab.

"Sumpah, banyak banget, sepertinya memang anjing-anjing itu menjaga rumahnya pak Jalu!"
Imbuhnya menjelaskan dengan peluh yang banyak menetes.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya yang siluman itu jaga? Kenapa dalam hal ini Farida yang lebih peka, dibandingkan aku. Mungkin dalam peristiwa ini, dia yang diminta untuk mengungkap misteri ini.
Namun, aku juga sangat yakin dengan kemampuan adik angkatku ini, kepekaan mata batinnya memang sangat tajam dan luar biasa, mudah melihat hal-hal ganjil diluar nalar. Dia juga memang terlahir dengan keistimewaan ini, yang juga terus diasah dan dibimbing pak Waluyo sang ayah.
"Aku yakin jika mayat itu sudah menjelma jadi salah satu asu baung. Dan kemungkinan dia pulang ke rumahnya. Itu lah sebabnya mayatnya hilang dari kuburan!" aku mulai memberikan kesimpulan.
"Itu kemungkinan yang bisa saja terjadi mas, sebaiknya diberitahukan pada mas Pur, agar cepat dicari tahu kebenarannya!" katanya memberi solusi.

Hanya saja dimana perginya abang ku kini, kami berdua sudah mencarinya namun tidak juga ketemu.
Yang bisa kami lakukan kini hanya menunggu mas Pur pulang.

---------
Malam ini sekitar jam sepuluh malam, aku hanya berbaring di dalam kamar, mencoba untuk tidur namun belum juga datang rasa kantukku.

Auuuuuuuuuuu....
Lolongan asu baung terdengar jelas meski sangat jauh, hingga berkali-kali suara itu melolong panjang. Buru-buru aku bangkit lalu keluar rumah, mendengarkan baik-baik arah suara anjing siluman itu.
Aku berdiri di halaman rumah yang sepi, malam ini bertepatan dengan purnama yang berbentuk sempurna, dengan cahaya yang membentuk cincin mengelilingi.
Mataku menatap ke arah langit dengan cahaya keemasan itu. Awan melintas berlahan, terbawa angin yang menerpa diri ini juga. Sampai berkali-kali lolongan itu terdengar semakin jelas, semakin dekat.

"Mas...!"
Adik ku yang juga ikut terbangun menyusul keluar rumah.
"Nduk, ga tidur?" kata ku bertanya.

"Dia muncul mas!" jawab nya justru memberitahukan hal ghaib pada ku.
Aku hanya berjalan ke tengah jalan, lalu melihat tanah di mana kemarin dukun itu terkapar meregang nyawa. Tiba-tiba kulihat di sana ada sosok hitam sangat besar, tingginya hampir menyamai pohon yang berada di sebelah nya.
Di bawahnya ada banyak sekali anak kecil yang berlarian dengan rambut panjangnya, yang tidak jelas bocah-bocah itu berjenis apa.
Bayangan hitam itu hanya terlihat seperti ilusi yang transparan, namun jelas, dengan rambut panjang dan mata berwarna merah. Ada juga seperti asap yang menutupinya, tetapi semua itu bagai fatamorgan. Mata ini dapat menembus alam nyata meski sosok itu terlihat.
"Ini apa?" tanya ku pada Farida.

"Itu wujud hitam yang keluar dari cincin milik pak Jalu, kalau bocah-bocah itu dia tadi hanya menjilati sisa darah di sana dari kemarin sudah seperti itu!" jelas Farida.

"Pantas saja ga mati, prewangan dukun itu mahluk ini!" kataku.
"Ini baru salah satunya mas, prewangan aslinya ya ilmu didalam dirinya itu!" jawabnya.

Terdengar suara nenek memanggil kami, beliau memberikan satu ember berisi air dan gayung.
"Le, siramen tilas getih kui, woco ayat kursi karo sholawat!"
(Nak, disiram bekas darah itu, baca ayat kursi dengan sholawat) suruh nenek.
Lalu aku menyiramkan air satu ember itu tepat ditempat mahluk hitam besar itu berdiri, nenek dan Farida menunggu di depan rumah hanya mengingatkan untuk berhati-hati.
Tentu doa juga di iring oleh nenek dan adikku. Siraman air itu membuat bocah yang berlarian langsung menghilang, perlahan bayangan itu juga lenyap saat siraman air terakhir aku guyurkan.
Kemudian aku meminggirkan bekas paving yang berserakan itu, lalu aku kembali pulang ke rumah dengan di iringi lolongan anjing siluman yang melolong sangat panjang.

****
Meminta perlindungan dibalik kekuatan setan, mereka hanya akan memberikan kuasanya tanpa keabadian. Ketika masa perjanjian itu usai maka semua yang ada jika terbelenggu kedalam alam mereka dengan penyiksaan.
Suasana malam ini semakin membuat aura mistis terasa mengental. Seolah-olah, setan-setan berarakan keluar dari sarangnya. Mereka seperti mendapat panggilan dari siluman Asu Baung. Aku berjalan pulang, ingin bertemu dengan nenek juga Farida.
Namun ternyata, tepat di sebelah kiriku, aku sudah ditatap langsung oleh sosok yang berwajah mengerikan. Kuntilanak dengan bau bunga melati itu terus membarengi langkahku sembari wajahnya terus menatap ke arahku.
Aku mememutuskan untuk mengabaikannya. Hal itu merupakan keputusan terbaik yang aku lakukan. Aku mempercepat langkahku. Namun semakin aku mempercepat langkahku, wujud menakutkan itu terus bergerak mengikuti.
Persis sejajar denganku dan mukanya terus menatapku. Tatapan matanya tajam, hitam pekat tanpa berkedip. Dan hanya beberapa langkah sebelum tepat sampai di depan nenek dengan Farida yang berdiri menunggu, kuntilanak itu menghilang.
"Cepetan mas!" Farida setengah berteriak menyuruhku.

"Iya.. kenapa sih?" Jawabku dengan mempercepat langkah.

"Dibelakangmu ada anjing besar banget tadi!" dia memberitahuku.
Namun aku malah tidak merasa melihat anjing siluman itu. Untuk memastikannya, aku berhenti dan berbalik, namun sama sekali tanpa terlihat apa-apa lagi, hanya wujud wanita seram tadi yang kini sudah menghilang entah kemana.
"Ndang podo mlebu ngomah!"
(Cepat buruan pada masuk rumah) suruh nenek ku.

"Iya nek!" Jawab kami berdua, yang langsung mengikuti beliau.
Tanpa berhenti lolongan itu terus terdengar, lalu dari kejauhan terlihat dua orang tengah berjalan dengan sangat buru-buru. Ternyata mereka adalah Mas Pur dan Kang Armani pulang ke rumah.
Mereka hanya sebentar saja di rumah, mengambil sesuatu dari dalam kamarnya lalu kembali berpamitan meninggalkan rumah lagi.
Nenek hanya berpesan pada mereka berdua untuk berhati-hati, seakan nenek sudah paham apa yang akan mereka lakukan dan kemana mereka pergi.
Aku tak ketinggalan meminta ijin kepada nenek, untuk ikut pergi bersama mereka. Aku ingin tau kelanjutan peristiwa ini. Dengan restu nenek, akhirnya aku mengikuti mereka menuju rumah pak Kyai. Ternyata disana sudah ada beberapa warga yang berkumpul.
Mereka membicarakan sesuatu, yaitu tentang lolongan asu baung itu, salakan anjing siluman yang tiada henti, seperti sedang membangunkan lelembut disini.
"Yen kabeh wes podo mantep, ayo budal!"
(Kalau semua sudah siap, ayo berangkat) ajak pak Kyai.

Langkah beliau kami ikuti. Kami berjumlah kurang lebih tiga belas orang berjalan mengiringi pak kyai dan pak lurah.
Semua berjalan dengan mengumandangkan takbir dan sholawat. Suasana menjadi riuh terdengar. Warga yg mendengar rombongan ini banyak yg mengintip dari dalam rumah tanpa ikut serta dengan kami. Mungkin mereka masih berselimut ketakutan atau memilih aman dgn menjaga anak istri dirmh.
Setelah sampai di rumah Pak Panjalu, terlihat pak Kyai membaca doa lalu berbalik menghadap kearah kami, menyuruh kami semua agar memanjatkan doa terlebih dahulu.
Ketika pagar itu dibuka sosok bayangan hitam raksasa itu terlihat berdiri di belakang rumahnya, sangat besar dan tinggi, namun hanya seperti ilusi terlihat.
"Yen ono sing podo weruh, ojo wedhi, kudu tatak!"
(Jika ada yang bisa melihat, jangan takut, harus berani) kembali pemuka agama itu memberi tahu.
Setelah mendengar kesanggupan kami semua, mulai lah kami melangkah masuk ke halaman rumah itu. Angin kencang tiba-tiba meniup, sosok hitam setinggi pohon kelapa itu lalu menggeram dengan suara yang keras.
Menghardik kami semua, memperlihatkan tatapan matanya yang merah menyala tanda tidak menyukai kehadiran kami. Sosok itu menggoyangkan beberapa pohon dengan tangan besarnya untuk menakuti kami. Namun, Ia hanya mampu sebatas itu, tanpa bisa melakukan hal lebih dari itu
Sautan gonggongan anjing terdengar dari dalam rumah, menggeram, juga ada yang melolong sangat lama terdengar. Mendengar itu bulu kudukku seketika berdiri, terasa merinding. Energi itu terbentur sangat kuat bercampur hembusan kencang angin di area ini.
"Dobrak lawang.e!"
(Dobrak pintu nya) suruh pak Lurah.

Beberapa orang maju mengikuti perintah kepala desa itu, lalu mendobrak pintu itu, saat pintu terbuka lebar bau dari dalam rumah ini sangat menyengat, ada bau wangi kemenyan, dupa, juga minyak mistik.
Rumah terlihat sangat angker tanpa penerangan lampu, saat salah satu dari kami mencoba menyalakan lampu di rumah itu, bohlam itu tiba-tiba pecah dgn sendirinya. Kelebatan bayangan berbentuk anjing terlihat, hingga pasangan mata menyala itu juga terlihat dari berbagai ruangan.
Meski di dalam rumah pun, angin terasa berputar dengan kencang, menyibak tirai, juga menerbangkan beberapa benda kecil. Semua mundur menahan mual ketika bau busuk itu tercium sangat menyengat. Bau bangkai dari arah dalam sebuah kamar, dengan penjagaan bayangan anjing siluman.
Ada juga yang keluar rumah Karena merasa tidak sanggup berada didalam sini, semua terasa panas meski angin meniup, bebauan wangi sudah menjadi busuk, ditambah mata mengerikan itu terus menatap dengan tajam.
"Opo ra ono sing gowo senter yo?"
(Apa tidak ada yang membawa senter ya) tanya pak lurah.

"Mboten pak!"
(Tidak pak) jawabku.
Tidak seberapa lama, pak Kyai berdiri menatap ke arah kamar itu. Ia dengan abangku dan kang Armani berdiri kearah dapur dan ruangan lain. Mereka membacakan doa, lalu memprapat rumah ini, dengan membacakan ayat kursi di setiap sudut ruangan.
Secara perlahan, semula tadi di tengah kegelapan hanya mata itu terlihat, kini gigi tajam berwarna putih bertaring itu juga terlihat, dengan geraman yang menggetarkan.
Beberapa kali gemerincing suara rantai terdengar dari dalam kamar itu, lalu cahaya bersinar dari dalam sana memperlihatkan sosok pak Panjalu yang tengah berdiri,
dengan kondisi seperti saat dia mati, kepala terpecah, tulang yang patah mematah, pelan bergerak mendekat meski belum terlihat fisik nya secara jelas.
"Astagfirullah!" teriak beberapa orang yang menghambur keluar ketakutan.

Dimana, anjing siluman itu sekitar tujuh ekor berada di samping juga belakang sang dukun menjaganya, siap menerkam kami yang masih berada di dalam rumah ini!
Kentongan witir dibunyikan agar semua warga yang masih terjaga untuk datang kemari. Tetapi, tak satu pun ada yg terlihat menyusul, meski terus kentongan itu dibunyikan hasilnya nihil. Mereka masih diliputi dgn rasa ketakutan itu. Hal ini menjadikan suasana desa seperti desa mati.
Beberapa gertakan terdengar dari pak kyai, lalu beliau menggaris lantai itu dengan tongkat rotan di tangannya, benteng ghaib itu muncul dengan bayangan emas, membuat segerombolan anjing siluman juga jasad hidup itu tidak bisa melangkah lebih maju.
Tasbih yg ada di tangan dua pemuda di sampingnya lambat laun memancarkan cahaya. Jika kini terlihat dari kebatinan, alam ini terlihat sangat jelas. Kami seperti tidak lagi berdiri di dalam rumah, tetapi berada di dalam sebuah gua besar yg lebih terlihat bagai sarang asu baung ini
Perlahan terlihat, gemeretakan tulang belulang yang patah itu, lalu seperti menyambung dengan sendirinya. Pecahan kepalanya berlahan mengatup dan luka yang terbuka menganga itu menutup, mewujudkan kembali sang dukun seperti saat semasa masih hidup!

Auuuuuuuu....
Lolongan itu terdengar keluar dari mulut Pak Jalu, hingga tujuh siluman penjaganya memperlihatkan taringnya yang semakin mengerikan. Bau amis menjijikan itu semakin tercium busuk bercampur dengan bau bangkai yang semakin menyengat.
Bayangan hitam berkelebat mendekat lalu masuk dalam raga sang dukun itu, membuat teriakan keras lalu tajam memandang ke arah pak Kyai, juga abang dan kang Armani.
"Manungso, opo isih kurang miloro raga ku?"
(Manusia, apa masih kurang menyakiti ku) ucapnya dgn nada yg terdengar serak dan berat.

"Tumeko ku tanpo miloro, anamung nyampurnaake pati siro!"
(Kehadiran ku tidak menyakiti, tapi utk menyempurnakan kematian mu) jawab pak Kyai.
Namun, sosok itu tertawa kuat, seakan-akan seperti mengejek ucapan yang terdengar olehnya. Membalas kami dengan kesombongan yang dia perlihatkan didepan kami semua. Terdengar tantangan dan juga pengusiran kami dari tempat ini.
Kata ancaman serta umpatan amarahnya terus terdengar. Jika kini dirinya ingin menuntut balas kepada semua orang yang pernah membunuh juga menyiksanya.
Kain berwarna hijau itu sekali disebatkan oleh pak kyai itu, pusara angin langsung menghilang. Anjing-anjing siluman itu, menggeram mundur, seakan takut menyaksikan ketiga orang yang berdiri ini!
Semua itu berubah menjadi asap putih lalu masuk kedalam raga sang dukun, hingga perubahan wujudnya terlihat. Dimulai dari kepala dan wajah itu terlihat mirip dengan anjing, tangannya mengeluarkan cakar di jemari yang beruas panjang.
Lalu mulut itu sangat moncong ke depan, dengan taring dan gigi tajam berwarna putih. Raga pak Panjalu sudah setengah manusia setengah siluman. Dan mata nya saat dibuka berwarna merah menyala.

"Baung!" teriak pak Kyai.

"Allahhu Akbar!" imbuh abangku.
Saat ini, hanya menyisakan lima orang yang berada disini, berhadapan dengan siluman baung. Dinding ghaib yang dibuat oleh orang tua sakti itu, masih membatasi antara kami dengan sosok itu.
Walaupun terlihat aman untuk saat ini, kewaspadaan harus tetap ada, karena suatu waktu bisa saja pria berkepala hewan ini masih menghimpun tenaga untuk menyerang.
Lantunan ayat suci semakin jelas dilantunkan, aku dengan pak lurah yang berdiri dibelakang mereka juga ikut serta melafaskan ayat-ayat itu. Sampai busur panah dalam genggaman kang Armani (Aji Nur illahi),
tasbih di tangan mas Pur juga sudah menjadi sebuah keris dengan cahaya Nur putih, keduanya memiliki senjata dengan cahaya yang sering kusaksikan digunakan mereka saat menghadapi para lelembut.
Tongkat rotan dibungkus dengan kain warna hijau itu, seketika berubah menjadi pedang dengan lengkungan bulan sabit (Pedang Ghaib Zulfikar Rasul), sudah ada di tangan kanan pak kyai.
Mereka kini siap bertempur, hanya aku dan pak Lurah yang tidak memiliki apa pun. Kami berdua bertugas menguatkan mereka dengan terus melantunkan doa.
Dinding ilusi itu berlahan memudar, semakin tipis, hingga gelombang fatamorgana itu lenyap tanpa terlihat mata. Menandakan jika sudah tanpa pembatas antara kami semua, waktu dimana kini semua siap untuk melumpuhkan.
Manusia setengah siluman itu langsung menarik rantai yang mengikat diri nya, menyentakankannya sekali ke tanah dan merubahnya menjadi pedang besar dengan nyala api. Sosok itu menyeringai memberi isyarat peperangan. Satu melawan tiga tentu lawan yang tidak sebanding.
Arjuno Jaler mengangkat busur panah nya siap membidik kearah depan, begitu juga dengan Adipati Songgo Bumi, dengan kuda-kuda nya siap menerkam dengan Keris Nur Jagad yang ia genggam.
Hanya menunggu Kyai Rogo Sejati dengan pedang rosul ghoib nya siap, hanya tinggal meneriakan perintah maka semua akan melayangkan senjata masing-masing dengan jurus andalan mereka semua.

***
Arjuno Jaler itu sebuah ilmu kuno yang artinya Arjuna Laki-laki, bersenjatakan Nur illahi sebagai panah. Adipati Songgo Bumi ini juga gelar keilmuan trah mataram kuno, yang bersenjatakan Keris Nur illahi.
Mbah Kyai Rogo Sejati adalah Guru pembimbing mereka berdua, yang merupakan ayah kandung kang Armani, kebatinan tinggi dengan bersenjatakan pedang nabi zulfikar. Arjuno Jaler itu wujud kang Armani, dan Adipati Songgo Bumi itu wujud dari mas Pur.
Nasab mereka bisa dijelaskan karena benang ilmu yang selalu tersambung dimulai dari Mbah Mojo Geni yang merupakan murid Kyai Panggung (sunan Geseng), lalu mbah Mojo memiliki tiga murid, dimana salah satu nya adalah Kyai Mangun, ayahanda Kyai Rogo, kakek dari kang Armani.
Mas Pur, dan kang Armani digembleng langsung oleh sang ayahanda, hingga benang ilmu itu tanpa terputus oleh era kami, anak, cucu, cicit, dan keturunan selanjutnya.

****
Angkoro kang tumempram ing jagad bakal sirno kanti ilmu sejaten, ilmu ingkang hak, kerono kersoning pengeran kang anggadahi panguripan.
Kita lanjut besok lagi.
Nanti malam lanjut tipis-tipis ya
Suasana semakin mencekam. Aura mistis pun semakin terasa. Temaramnya cahaya menjadi pelengkap kengerian yang hadir di malam ini. Secara perlahan, manusia berbentuk kepala anjing itu mulai melangkah maju dengan pedang dalam genggaman tangan kanannya,
sementara tangan kirinya memperlihatkan cakar kukunya yang panjang.

Arghhhhhh.....!!!
Geraman pertanda dimulainya peperangan terdengar mengelegar. Ia menyabetkan pedangnya ke arah pak Kyai, namun sabetan pedang yang melemparkan api itu dengan mudah ditepis oleh pak Kyai.
Hembusan aura api, bercampur angin yang sangat kencang menerpa kami, terasa sangat panas. Adipati langsung melompat dan berusaha menikamkan keris bercahaya putih itu, tetapi kegesitan pak Panjalu juga tidak bisa dianggap remeh.
Dengan kelihaiannya, secepat kilat dia mundur beberapa depa dan kemudian tiba-tiba telah berdiri di atas sebuah batu besar, posisinya lebih tinggi di antara kami
"Aji nur Jagad tumampi kersoning pengeran, hu'Allah."

Kemudian melesatlah anak panah itu tanpa bisa ditepis olehnya. Hujaman panah itu, tepat mengenai dada kirinya, hingga dengan mudahnya membuat sosok itu tersungkur dan jatuh.
Apakah hanya semudah ini wujud menyeramkan itu dapat dikalahkan? Ternyata tidak, hujaman panah mematikan itu hanya membuat satu ekor siluman anjing yang terkapar mati, lalu jasadnya secara perlahan melebur menjadi abu dan terbang tertiup angin.
Namun, raga sejatinya masih utuh dengan enam nyawa lagi dari prewangan aji asu baung itu! Perlahan, Ia bangkit kembali dan mengacungkan senjatanya, seolah-olah memberitahu kepada kami, jika pertempuran ini belum berakhir.
Tantangan itu masih dilayangkannya sebagai bentuk keberaniannya.

"LA FATAILAA ALII WALAA SAIFAA ILA ZULFIQAR"

Terdengar ucapan dari Kyai Rogo Sejati, disebatkannya pedang itu hingga mampu membuat tanah terbelah, menggugurkan dinding bebatuan di sekeliling siluman itu,
hingga membuatnya terperosok masuk ke dalam tanah dan Ia tertimbun bebatuan. Hal itu menyebabkan guncangan yang dahsyat. Kami merasa seperti ada gempa di area ini.

"Pegangan, Pak!" teriak ku pada pak lurah yang ikut terjengkang jatuh.
"Ga papa, Mas, ga papa!" jawabnya dengan kembali berdiri.

Tanah yang masih bergerak hebat semakin menghimpit dan menimbun sosok itu sampai tak terlihat lagi. Melihat hal itu, kami merasa sangat lega.
Kami semua serempak mengucapkan kata syukur. Namun ternyata kelegaan kami tidak berlangsung lama. Ketenangan goa yang kami rasakan tiba-tiba menghilang, seiring dengan suara gemuruh yang muncul.
Ternyata gemuruh itu berasal dari gundukan puing bebatuan itu terlihat kembali bergerak dan bergetar dengan hebatnya!
"Pak lurah, kalian, Gus, Al, mang tutup paningal!"
(Pak lurah dengan gus Al, silahkan pejamkan mata) terdengar suara pak Kyai menyuruh kami berdua memejamkan mata.
Sekilas sebelum mataku benar-benar terpejam, aku melihat dari dalam gundukan batu itu secara perlahan sosok siluman itu sedikit demi sedikit mengeluarkan cakarnya, laku kepalanya pun secara perlahan juga mulai terlihat.
Saat langkah pak Kyai berdiri tepat di hadapanku, baru aku sepenuhnya menutup kedua mataku. Semua terasa gelap dan sepi, hanya terpaan angin yg terasa menghembus dan menerpa wajahku, dan ketika aku membuka mata, ternyata kami berdua sudah berdiri di dalam rumah milik pak Panjalu
Namun mereka bertiga dan sosok itu sama sekali tidak terlihat. Masih berada didalam alam astral, melanjutkan kembali pertarungan mereka, tanpa kami bisa menyaksikannya.

"Mas, ditunggu di luar saja gabung dengan warga yang lain!" ajak pak lurah padaku.
"Iya Pak, mari!" aku menyahuti ajakan beliau.

Di luar rumah masih ada beberapa orang yang menunggu dengan posisi tetap berkerumun sembari menggobrolkan kejadian di dalam. Mereka menghampiri dan mendekati kami berdua yang berjalan keluar halaman rumah.
Pertanyaan warga langsung membombardir kami, mempertanyakan kejadian di dalam. Pak lurah mulai menjelaskan kronologis peristiwa yang terjadi di dalam rumah. Setelah itu, kami semua menjauh dari rumah Pak Panjalu, di tengah jalan yang tidak seberapa jauh letaknya,
dan tetap melihat ke dalam rumah angker itu sembari menunggu hasil pertempuran yang sedang berlangsung.
Malam perlahan berlalu, dan tak terasa sudah memasuki waktu subuh. Kami akhirnya pergi meninggalkan tempat itu, kembali ke rumah masing-masing. Meninggalkan mereka yang masih dengan misterinya,
entah seberapa lama mereka keluar lagi, bahkan keadaannya bakal seperti apa, kami semua juga tidak tau. Hanya panjatan doa yang bisa kami berikan untuk keselamatan Pak Kyai dan kedua muridnya!

****
Tiga hari berlalu tanpa ada kabar dari ketiganya. Mereka belum kembali pulang dengan hasil kemenangan seperti harapan kami, masyarakat di kampung ini.
Justru kecemasan itu kini menyelimuti kami yang berada di rumah, Kami menghawatirkan keselamatan mereka yang berada di dalam alam lain, dan sedang melakukan pertempuran dengan siluman asu baung sakti itu.
Panjatan doa selalu kami lantunkan tanpa pernah berhenti di lima waktu dalam sujud. Mengharap perlindungan Dzat pencipta jagad dan berserta isi nya, karena kami yakin bahwa sebuah pengharapan hanya dimohonkan ke hadirat Nya saja.
Kami pun merengkuh keyakinan, bahwa jika ini menjadi kehendak, pasti sudah tertulis sebelumnya.

"Mas, makan dulu!" kata Farida siang ini.

"Iya nduk, nanti saja." jawab ku dengan masih bersila dalam kamar.
Pintu kamar terdengar ditutupnya. Aku melanjutkan aktivitasku, bermunajat dengan berdzhikir. Meski pun hanya ini yang bisa aku perbuat, berupaya menghadirkan pelindung dari luar dimensi.
Aku berharap energi murni yang terkirim melalui sumber positif, akan diterima oleh pemilik sumber yang sama.
Dalam hening, aku melihat gambaran jika pertempuran itu masih berlangsung, kilatan-kilatan cahaya berbagai kedigdayaan berterbangan bagai pilar yang benderang dalam gelap. Gemuruh itu terdengar dalam pendengaran ini, retaknya bebatuan juga pasir-pasir yang terus menggugur.
Berulang kali terdengar bunyi ledakan saat cahaya itu saling beradu.

Nampak singa besar dengan berambutkan api juga terlihat bertengger di salah satu batu. Dengan mata menyala, sosok itu berdiri menyaksikan semua yang terjadi dihadapannya.
Ia merupakan sebuah qodham yang berasal dari dalam diriku. Tanpa membantu hanya sesekali mengaum keras!

"Le... le..." nenek memanggil dari luar kamar.
Aku membuka mata, meninggalkan pertempuran yang terjadi di dalam sana. Kemudian aku bangkit dari dudukku, melipat sajadah, dan mengalungkan kembali tasbih hitam ke leherku. Lalu aku bergegas menghampiri nenek, yang sudah berdiri menunggu di depan kamar.
"Sampean ki ngopo le? Kok kemerlop seko njero kamar katon seko njobo!"
(Kamu itu ngapain nak? Kok cahaya dari dalam kamar terlihat dari luar) tanya nenek ku.
"Namung mujadahan mbah!"
(Hanya bermunajat nek) jawab ku menenangkan beliau.

"Ora usah melu-melu urusan.e sing tuwo, cukup ndongakke wae seko kene. Mugo-mugo kabeh pinaringan Slamet!"
(Tidak usah ikut-ikutan urusan orang dewasa, cukup mendoakan saja dari sini. Semoga semua diberikan kesehatan) imbuh nenek, yang lalu duduk di kursi ruang tamu dan di situ sudah ada Farida yang menunggu kami.
Aku mengikuti langkah beliau duduk berdampingan, sambil menunggu nenek berbicara, aku memperhatikan nenek yang tengah mengusapkan gambir ke daun sirih itu, sampai digulung nya lalu mengunyah.

Kemudian beliau memberikan gambaran dalam kehidupan dengan pandangan ilmu Tuhan.
"Lelampah tanpo dunung ngelmu iku bakal kejluntrung peteng ati lan paningal. Ojo dadi pangugem yen bongso alus kui kang weweneh pitulung. Kui mau kleru!"
(Mengamalkan ajaran tanpa berbekal ilmu itu hanya akan menjerumuskan gelapnya hati dan penglihatan. Jangan jadi pedoman jika bangsa jin itu yang memberikan pertolongan. Semua itu salah) nenek memberikan nasehat perihal mengenai ilmu hitam dukun itu.
Aku dan Farida fokus menyimak wejangan dari nenek dan mengambil inti dari wejangan itu.

"Ojo miloro rogo amergo luput anggone lelaku."
(Jangan menyakiti raga karena salah saat mencari ilmu) imbuh beliau.

"Mbah bade tanglet!"
(Nek mau bertanya) kata adik angkat ku itu.
"Nggih nduk."
(Iya nak) nenek mempersilahkan.

"Nopo mboten wonten ingkang saget pitulung kalian manungso bileh lepat anggenipun mlampah dumados ngelmu puniko mbah?"
(Apa tidak ada yg bisa memberi pertolongan dgn manusia jika salah dlm mencari suatu ilmu itu mbah) tanya Farida
"Ngelmu sejati ning elmu iku, peparing gusti kang moho kuosa nduk. Bilih luput anggon.e nggegayuh, kang biso paring pitulung amung awek.e dewe tanpo prantoro kaliyo-liyane!"
(Ilmu sejatinya ilmu itu, pemberian Tuhan yang maha kuasa nak. Jika salah ketika mencapai suatu tujuan (berguru, menuntut ilmu), yang bisa menolong hanya dirinya sendiri tanpa perantara siapa pun juga) kata nenek memberikan penjelasan
"Dados mekaten njih mbah!"
(Jadi seperti itu ya nek) Farida menjawab dengan kepala manggut-manggut pertanda dia memahami perkataan nenek.

"Mulo sinau iku kudu nganggo ati kang ikhlas, duweni tujuan amung marang kasejaten, kumanti landasaning krono lillahi!"
(Makanya belajar mencari ilmu itu harus memakai hati yang ikhlas, memiliki tujuan hanya untuk kesejatian, dengan landasan kepada Allah swt semata) kata penutupan dari beliau sebelum kembali masuk kedalam kamar nya.
Kini hanya kami berdua dalam kebisuan masing-masing menelaah semua kata kesepuhan itu, mendalami makna, juga menggali inti sebuah pembelajaran perihal mencari ilmu. Adab tentu wajib disertakan, dan utamanya tujuan adalah hanya mencari ilmu keEsaan Tuhan.
Kemudian gadis muda disebelah ku ini bangkit dan berpamitan untuk ke dapur menyiapkan makan siangku.

****
Patuh, hormat, taat, dan memaknai amanah sang guru adalah adab sebagai seorang murid.

Ilmu dapat diturunkan jika sang pemilik ilmu ridho juga ikhlas sepenuh hati membimbing.

Untuk itu, sambungan benang ilmu tidak akan pernah terputus sampai tujuh fase kehidupan.
Siang itu, dengan luapan perasaan yang tidak menentu, aku hanya duduk berdiam diri, masih menunggu keajaiban sembari terus melantunkan doa. Tanpa henti aku terus bermunajat, memohon agar segala sesuatu yang sedang diperjuangkan segera menuai titik akhir.
Berharap Kyai beserta muridnya dapat kembali dengan selamat.

Tak terasa waktu terus berjalan. Siang berganti malam. Hari pun telah berganti, namun semua pertanyaan masih menjadi misteri, bagaimana akhir kisah ini?
Empat malam sudah Kyai dan juga kedua muridnya belum kembali. Hal ini menimbulkan keresahan tersendiri untuk kami, masyarakat kampung. Hanya ada satu orang yang mampu untuk tetap tenang, yaitu nenek.
Ya ... nenekku, yang dengan keyakinannya bahwa jika Allah maka akan berpihak pada kebenaran serta memberikan perlindungan dan jalan untuk pulang. Meski tidak tau kapan waktu itu akan tiba.

------------------------
"Kamanungsan kang anggadahi iman anamung sumeleh marang Gusti pengeran, tanpa kejobo liyo lan liyanne!"
(Manusia yang memiliki iman hanya berserah kepada Tuhan, tanpa ada nya lain dan yang lainnya lagi)
Kata-kata itu beliau ucapkan setelah Ia pulang dari masjid. Dan malam ini adalah malam keempat namun belum ada kabar apapun. Meskipun samar, terlihat sebuah siratan kesedihan yang tertahan dalam hati nenek.
Menunggu cucunya tanpa ada kepastian, tentu menjadikan luka tersendiri bagi orang yang sudah sangat tua itu. Meluruskan yg selayaknya
diluruskan, membenarkan yg mesti dibenarkan. Merupakan tujuan mulia untuk mencapai sebuah kelayakan bagi manusia yg salah meniti jalan kehidupan.
Kepedulian tanpa ukuran dan tanpa batas, sudah selayaknya dilakukan untuk mengambil peran sebagai sesama manusia, dan menjadi pedoman kewajiban demi ketentraman semua penduduk.

"Tuhan semua ini untuk apa?"
tanyaku dalam hati.
Masih dalam diam dalam lamunan, tidak lama terdengar suara salam dari luar dengan mengetuk pintu rumah.

"Assalamuallaikum."

"Waallaikumsalam, monggo!"
jawab ku, sambil membuka pintu.
Bapak angkatku tiba-tiba dtng malam ini, tnp memberi kabar terlebih dahulu. Sepertinya pak Waluyo sudah terpanggil secara batin, dan sudah bisa ditebak, walau beliau jauh, namun Ia sudah tau semua peristiwa disini melalui telepati yg dibacanya dgn perantara jiwa ketujuh putrinya
Yaitu Farida.

"Loh bapak, kalian sinten pak tindak mriki, monggo pinarak!"
(Loh bapak, dengan siapa pak datang kemari, silahkan masuk)
Aku menyambut pak Waluyo.
"Bapak dewe le, endhi adikmu?"
(Bapak sendirian nak, mana adik kamu) tanya beliau, dengan masuk kedalam dan duduk di ruang tamu.

"Sekedap pak, kulo timbali, nduk Ida nembe istirahat!"
(Sebentar pak, saya panggil, dek Ida sedang tidur) jawab ku dengan memberi tahu.
"Wes ora usah le, sampean wae lungguh kene karo bapak. Ono wigati sing arep bapak kandhani marang sliramu!"
(Sudah tidak usah nak, kamu saja duduk sini dengan bapak, ada kepentingan yang ingin bapak sampaikan pada kamu) kata pak Waluyo dengan tatapan serius.
Aku duduk menghadap kearah orang tua angkatku ini, menunggu Ia memulai pembicaraan. Bisa kutebak, tentu saja ini pasti menyangkut dunia spiritual, kebatinan yang memiliki hubungan dengan kasus yang tengah terjadi saat ini!
"Dadi pean kudu jogo adik mu kanti ati-ati le, amergo ajian asu baung iku ngarah jiwo murni kang tinuju marang Ida!"
(Jadi kamu harus jaga adik mu dgn hati-hati nak, karena ajian asu baung itu mencari jiwa suci yg ditujukan ke Ida) jelas ayah Farida dgn sedikit kecemasan.
"Loh kok saget Farida pak, ingkang dipun incer kalian lelembut puniko?"
(Loh kok bisa Farida pak, yang di incar oleh Setan itu) tanyaku dengan heran.
"Amargo adik mu duweni darah suci katurun soko titisan kanjeng ratu, iku kang dadi kasekten pukasan ajian asu baung, bilih biso nyampurnaake soko getih kang di duwenni adik mu!"
(Karena adik mu memiliki darah suci keturunan dari titisan Kanjeng Ratu (nyai roro kidul), itu yang menjadi kesaktian Pamungkas ajian siluman anjing, jika bisa mencapai kesempurnaan dari darah yang dimiliki adik kamu)
Kembali penjelasan pak Waluyo.
Aku sangat terkejut mendengar semua penjelasan itu. Aku masih tidak percaya jika semua ini ternyata ada kaitan dengan Farida. Sekarang aku baru paham jika ternyata kelahiran adik angkatku itu masih memiliki penitisan ratu pantai selatan.
Pantas saja selama ini dia dapat melihat semua ini dengan gamblang. Dan seperti sebuah sinyal, jika kedatangannya ke sini sudah menjadi utusan untuk mengakhiri kegentingan ini.
Pak Waluyo memberikan penjelasan panjang lebar, jika ternyata ajian siluman itu di dapat pak Panjalu dari hasil menuntut dari pantai selatan. Asu baung adalah wujud keabadian sebuah ajian kesaktian, dan manusia menganut ilmu itu akan menjadi kebal, sakti mandraguna.
Jika mengalami kematian, maka
raganya akan berubah menjadi siluman anjing dan mengabdi di istana laut selatan.

Semua penjelasan pak Waluyo, memberikan wawasan baru bagiku tentang pengetahuan asal muasal sebuah ilmu hitam dan ilmu kesaktian yang memiliki bermacam persyaratan.
Ternyata ilmu ini akan sangat sempurna jika sang pemilik ajian ini dapat meminum darah dari seorang gadis yg masih memiliki darah titisan.

Obrolan kami yg panjang dan lebar sampai membangunkan Farida. Kemudian dia keluar kamar lalu menyalami bapaknya dan ikut duduk dengan kami.
"Kok bapak ndalu sanget, wonten wigati nopo pak?"
(Kok bapak malam banget, ada masalah apa pak) Farida bertanya dengan nada kecemasannya.

"Ora ono opo-opo nduk, bapak namung ngungak slirane kalian kangmas mu Al wae, kabeh podo sehat to?"
(Tidak ada apa-apa nak, bapak hanya menjenguk kamu juga kakak mu Al saja, semua pada sehat kan)
Kata pak Waluyo menyembunyikan tujuan beliau datang kemari.
Sebelum Farida keluar tadi, pak Waluyo sudah memberikan sebuah keris kecil dengan ukiran naga kepadaku. Benda itu beliau titipkan sebagai senjata perlindungan untuk menjaga adikku jika suatu saat nanti kami bertemu atau sempat bertempur dengan siluman itu.
Meskipun hati kecilku awalnya menolak, karena aku pribadi sangat tidak suka dgn namanya ajimat atau pun brng keramat seperti ini. Namun kini hanya aku tawasulkan bahwa ini hanya perantara sebuah benda dgn qhodam di dalam nya, penolong akan semua kehidupan hanya Dzat semesta alam.
Tiba-tiba, terdengar titir kentongan memanggil semua penduduk. Bunyi yang menjadi pertanda jika ada kegentingan yang tengah terjadi di malam ini. Kami semua berhamburan keluar rumah menuju sumber suara kentongan itu!
"Pak wonten nopo niki?"
(Pak ada apa ini) tanya ku pada salah satu warga disitu.

"Kulo ugi mboten ngertos gus, monggo sareng tindak mriko!"
(Saya juga tidak tau gus, mari barengan saja kesana) jawab warga itu.
Aku mempercepat langkah ketika kulihat kerumunan orang di simpang jalan menuju pemakaman itu. Terlihat orang-orang itu mengelilingi sesuatu di tengah-tengah mereka, apa pun itu ingin rasanya segera sampai ke sana, dan melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi!
Sampainya di kerumunan itu aku langsung menerobos masuk kerumunan warga.

Terlihat kang Armani yang masih duduk memangku pak Kyai yang terpingsan, dengan darah keluar dari sudut bibir juga hidung beliau, menandakan luka dalam tengah di terima oleh pak Kyai.
Sementara sang anak masih terlihat kepayahan dengan nafasnya yang masih ngos-ngosan, ia tampak berusaha memulihkan tenaga.

Suasana begitu hening, sampai tidak beberapa lama terdengar dalam tangis suara kang Armani mengucap ....
"Innalillahi wa'innailaihiroji'un."

Terlihat tangannya dengan gemetar menutupkan mata ayahandanya yang berpulang menuju kepulangan ke rahmat tullah. Semua warga masih tertegun menyaksikan itu, belum ada yang berani mendekati jasad itu.
"Monggo dipun angkat mawon!"
(Mari di angkat saja) pinta ku pada seluruh warga.

Lalu mereka semua menyambut tubuh pak Kyai, dan aku memapah kang Armani yg di bantu oleh Arif adiknya. Kami semua langsung membawa pulang ke rumah mendiang, agar segara disucikan, lalu mengafaninya
Beberapa warga juga sudah bertugas menggali makam malam itu juga. Terlihat kang Armani pun ikut memandikan almarhum dengan tatap kesedihannya. Tidak luput dari bu Nyai, dan kedua adiknya yang sangat dirundung kedukaan terduduk dalam tangis.
Aku ikut mengguyurkan air bunga itu, menggotong tubuh yang sudah mulai kaku itu, meletakan ke sebuah meja yang sudah terdapat kain kafan, kapur barus, juga kapas di sana.
Mbah Muhroji selaku sesepuh desa langsung membungkus jasad itu, diikat membentuk pocong, lalu kami semua mengangkat menaruh di keranda, menutup dengan kain hijau bertuliskan kalimah syahadat.
Setelah mendapatkan ijin dari kang Armani, keranda itu digotong menuju masjid, untuk di sholatkan.
Sholat ghaib selesai tepat pukul tiga dini hari jasad itu disemayamkan. Semua prosesi itu diarahkan langsung oleh anak tertua Almarhum.
Dan hingga sebelum subuh semua warga sudah menyelesaikan pemakaman pak Kyai.

Sebuah kematian telah tejadi. Sebagai bentuk perjuangan mulia, yang hanya ingin menolong manusia agar dapat ketenangan dalam alam baka.
Namun justru takdir ini menjadi perjalanan akhir beliau. Beliau selalu memanusiakan manusia, maka jamah menyambutnya sebagai suhada illahi. Semua prosesi pemakaman beliau dimudahkan Tuhan, semua proses sangat cepat hingga tanah menutup jasad beliau.
Sehabis sembahyang subuh aku menuju rumah duka, membacakan tahlil juga yasin dengan seluruh warga. Sebelum semuanya kembali pulang, pagi itu aku hanya duduk di samping rumah mendiang, melihat warga yang mulai sibuk mempersiapkan makanan juga tempat untuk para pelayat.
Ingin rasanya menanyakan perihal abang ku, kenapa tidak ikut pulang dengan kang Armani, apa dia baik-baik saja, atau sebaliknya?

Tiba-tiba, pundakkuu ditepuk oleh kang Armani yang lalu duduk di sebelahku.
"Sehabis ini aku mau nyusul mas mu, dia masih di sana. Aku hanya pulang nganter bapak!" katanya memberitahuku.

"Kang, biar aku saja. Tuntun saja aku, disini tentu keluarga masih sangat membutuhkan pean, Kang!"
Kataku, membalas perkataannya.
"Ini kehendak, ini harus segera diselesaikan. Bapak sudah waktunya kembali, hanya tinggal kita yang masih hidup melanjutkan perjuangan beliau. Menegakkan Amal ma'ruf nahi munkar!"
Imbuh kang Armani.

"Iya kang, kapan kita berangkat?"
tanyaku kembali.
"Nanti aku kabari Gus, kamu pulang dulu, minta restu pada mbah Pairah, hanya itu yang bisa menjadi penuntun!"

Aku pulang ke rumah, menyampaikan apa yang akan kami berdua lakukan, untuk kembali ke dalam dimensi astral menyelesaikan yang belum selesai,
membawa kembali pulang yang semestinya dibawa pulang. Dan hanya Restu dari nenek yang mesti aku bawa, doa itu yang akan melindungi di mana kaki ini akan berdiri nanti.

---------------
Kemulyaan hanya di sandang oleh para manusia yang mementingkan kemanusiaan. Mati secara Shahid julukan bagi para suhada Tuhan untuk mereka yang berperang menegakkan kebenaran.
Malam lur
Malam ini tamat.

Siapkan kopi sama perangkat lainnya.
Camilan lebaran juga, kasian kalo gak habis.
RT & LIKE dulu biar rame.
Sesampainya aku di rumah, belum lagi langkah kakiku menginjak pelataran, kulihat dari kejauhan, abangku berjalan dari arah jalan yang berlawanan. Langkahnya gontai, tertunduk lesu sembari melihat jalan tanah yang bertata bebatuan.
Ia seperti terlihat seperti memiliki beban dan kedukaan yang sangat berat.

Aku dapat merasakan sebuah kehilangan yang mendalam tengah dialaminya, yaitu berpulangnya sang guru. Hal itu wajar terjadi, karena sedari kecil mas Pur dan kang Armani menekuni pendidikan keagamaan dan-
kebatinan dibawah asuhan pak kyai. Pak kyai sendiri selain menjadi guru, merupakan pengganti sosok ayah untuk abangku, ilmu serta bimbingannya lah yang menghantarkan jati diri abangku sampai detik ini.
Maka tak heran, jika kepergian pak kyai memberikan pukulan telak bagi jiwa dan batin Mas Pur.
"Mas..!" sapaku padanya.

"Ya Le... ayo mlebu ngomah!"
(Ya le, ayo masuk rumah)

Kepulangan Mas Pur disambut gembira oleh nenek, rasa syukur dan rona kebahagiaan yang dirasakan beliau terpancar sangat jelas.
Setelah mas Pur menyalami nenek dan pak Waluyo, kami semua duduk mendengarkan apa yang telah mas Pur lewati di dalam sana selama berhari-hari. Mas Pur bercerita bahwa ternyata pertarungan itu sampai sekarang belum usai.
Disaat Kang Armani mengantarkan ayahnya yang terluka parah, mas Pur gagal melanjutkan pertarungan. Hal itu disebabkan karena siluman anjing itu menghilang, setelah nyawa yang menjadi pelindung raga pak Panjalu hanya tersisa satu.
Sementara enam siluman asu baung penjaga raga Pak Panjalu sudah berhasil mereka musnahkan.
"Tadi kang Armani berencana untuk menyusul ke sana denganku, Mas." ujarku setelah mendengar ceritanya.

"Aku pulang karena sosok itu menghilang, kita harus waspada karena jelmaan siluman itu pasti akan menuntut balas pada warga sini."
Sejenak kami tersentak mendengar kata-kata Mas Pur. Bisa kami bayangkan dampak peristiwa ini ke warga, Ketakutan dan suasana yang mencekam pasti lebih mengental. Ketidaknyamanan pun pasti semakin menyelimuti kehidupan warga di desa kami.
"Jadi selanjutnya bagaimana mas?"
tanyaku pada Mas Pur

"Sebentar lagi aku ke rumah pak Bayan, agar beliau segera mengumumkan kepada warga, supaya mereka lebih waspada."
Setelah Mas Pur berusaha untuk menenangkan dirinya dengan minum kopi dan menghisap sebatang rokok. Ia beranjak ke rumah kepala desa, memberitahukan jika sosok siluman itu masih belum mati.
Mas Pur meminta berita ini segera disiarkan agar seluruh penduduk lebih waspada. Karena yang ditakutkan jika dedemit itu kembali dan meneror warga kampung ini.

Tidak beberapa lama kemudian, terdengar pemberitahuan perihal peristiwa tersebut dari masjid.
Warga diminta untuk lebih waspada, karena jika setan dukun sakti itu masih berkeliaran, bisa saja sewaktu-waktu Ia akan kembali meneror kampung ini.
Setelah mendengar pengumuman itu tampak warga riuh berlarian menuju rumah kepala desa, mereka ingin mencari tahu secara lebih jelas mengenai peristiwa tersebut.

"Wes pean ning ngomah wae, ojo cemawe, ben kui dadi urusanne kakang mu yo Le!"
(Sudah kamu di rumah saja, jangan ikut campur, biar itu menjadi urusannya abang mu ya nak) ujar nenek kepadaku.

"Enggih, Mbah!"
(Iya nenek)

Sebenarnya aku sangat penasaran dan ingin sekali tau perkembangan pembicaraan seluruh warga desa.
Akan tetapi, bagiku menuruti perkataan nenek adalah suatu keharusan, karena aku tau beliau sebenarnya saat ini merasa cemas akan kondisi Mas Pur. Jadi, aku tidak ingin menambah beban pikiran beliau yang sudah sangat tua.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diiinginkan, kepala desa dan warga berembuk mengambil langkah-langkah yang diambil untuk berjaga-jaga. Dalam kegentingan malam ini, beberapa warga berjaga-jaga dengan melakukan ronda.
Beberapa kepala keluarga yang berani dan mempunyai nyali, sudah ditunjuk oleh kepala desa agar membentuk kelompok-kelompok penjagaan, serta mereka diminta untuk membuat titik-titik untuk penjagaan tersebut agar ketika ada teror lagi bisa langsung ditangani, atau segera dilaporkan
Sementara yang lain berjaga-jaga, kami menyerukan kalimah tahlil di rumah mendiang pak Kyai. Duka masih menyelimuti keluarga dan warga yang ditinggalkan. Kami luruh dalam khimad, ratap dalam khusuk, menghantarkan doa kepada Sang Illahi,
sekaligus untuk mengenang jasa, kesantunan, keilmuan, dan kebaikan beliau yang penuh pamor kewibawaan.

Selesai acara tahlil, terlihat dua sahabat itu duduk disebuah sudut ruangan, saling menguatkan, dan kembali membahas peperangan yang belum berakhir.
Ada ketegangan yang muncul di raut wajah Mas Pur dan Kang Armani. Mereka tampak menahan kobaran amarah, sebuah gelagat perpaduan antara kesedihan juga emosi yang hanya bisa tertahan.
Aku dapat membaca itu, selain keduanya merasa kehilangan dan mereka juga ingin segera menyelesaikan semua ini. Kami yang ada di situ hanya berani melihat tanpa ada yang berani ikut campur urusan mereka.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah getaran kuat dari dalam batin, seperti sebuah panggilan. Tapi entah apakah itu? Aku juga tidak dapat menyimpulkannya. Lalu kemudian, mas Pur dan kang Armani bangkit dari duduknya, mereka melihat ke arah luar,
kilatan Cahaya terlihat membelah gelap malam dan gelegar dahsyat juga terdengar, bagai portal ghaib sudah terbuka.

"Zikra, mantuk le, jagain simbah!"
(Zikra, pulang nak, jagain nenek)
kata mas Pur yang menyuruhku pulang.
"Enggih mas!"
(Iya mas) jawabku sambil bergegas pulang.

Baru beberapa langkah meninggalkan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara yang membuat merinding.

Aummmmmm ...!
Auman panjang asu baung itu terdengar dari kejauhan. Mendengar auman itu dadaku tiba-tiba terasa panas terbakar, degup jantung terpacu tidak beraturan. Bukannya aku merasa ketakutan,
tetapi lebih ke rasa seperti ada dorongan energi yang sangat luar biasa keluar dari dalam raga dan berbenturan dengan aura murni diri dari dalam diriku.

"Apa lagi ini!" gumamku, menahan kekuatan yang terasa luar biasa.
Setelah berusaha sedikit menenangkan diri, aku kembali meneruskan perjalananku untuk pulang. Menjaga orang yang berada di rumah, seperti yang diinginkan oleh abangku, karena kini setan siluman anjing liar itu sudah datang, siap menuntut balas, atau hanya sekedar meneror warga.
Yang jelas hal ini tidak bisa lagi diabaikan, tabuh peperangan akan segera kembali menggenderang.

Selama perjalananku kembali ke rumah, terdengar berulang kali siluman itu melolong. Aumannya membahana memecah kesunyian malam yang terasa mencekam,
membuat dada ini terasa semakin panas. Sesampainya di rumah, aku bergabung dengan nenek, Pak Waluyo dan Farida yang seperti sudah menantikan kepulangan kami. Aku pun menceritakan apa yang tengah aku alami. Aku sendiri merasa bingung dan bertanya-tanya,
ada hubungan apa diriku dengan siluman itu? Farida dan nenek hanya diam saat mendengar ceritaku. Mereka juga tampak bingung karena mereka tidak mengerti yang terjadi padaku. Namun, berbeda dengan pak Waluyo yang tersenyum sembari menatapku,
seakan Ia paham dengan keadaan yang kualami.

Melihat senyum pak Waluyo membuatku tiba-tiba teringat dengan keris yang diberikannya padaku. Benda ini! Apa keris kecil yang diberikan bapak angkatku sebagai pegangan, yang membuat benturan kekuatan itu muncul?
"Aku juga merasakan hal yang sama mas, seperti ditarik saat mendengar lolongan itu!" kata Farida memberitahuku.

"Kenapa kamu jadi sangat peka dengan sosok itu, Nduk?" tanyaku pada Farida
"Karena ajian itu berhubungan dengan adikmu Le, makanya dia jadi peka dapat melihat dan merasakan kehadiran siluman itu." pak Waluyo menjelaskan lebih lanjut.

"Berhubungan bagaimana Pak?" tanya Farida.
"Jadi kamu itu terlahir dengan titisan darah empu dari pemilik ilmu tersebut, Nduk. Dan kesempurnaan dari ilmu itu akan tercapai jika dapat meminum darah yang manjing dalam tubuhmu!"
Kami terkesima mendengar penjelasan pak Waluyo. Namun, Farida terlihat hanya mengangguk tanda paham, tanpa ada aura ketakutan atau kecemasan yang muncul diraut wajahnya.
Jelas terlihat jiwa raganya sudah Ia persiapkan menghadapi semua ini dan Farida tampak seperti sudah jauh lebih paham tentang situasi ini.

-------------------------------
Ketika malam semakin larut dan semua orang terbuai dalam mimpi, aku hanya bisa terbaring tanpa bisa memejamkan mata.

"Mas ... mas Al...! suara Farida tiba-tiba memanggilku

"Ya Nduk, kenapa?" tanyaku sambil berjalan memghampirinya.
"Siluman itu dekat disini mas!"

"Dimana wujud itu, Nduk?" aku menjadi semakin penasaran.

"Dia berdiri tepat dimana nyawa terakhirnya tercabut, Mas!"
Mendengar perkataan Farida, aku dan dia memutuskan untuk langsung memastikan hal itu. Kami berjalan keluar rumah dan menuju kearah lapangan, yang merupakan tempat dukun itu mati. Sesampainya di sana, kami melihat sosok pak Panjalu berdiri dengan kondisi yang sama persis seperti-
dulu, tulang-tulang yang bengkok patah, kepala terpecah, rantai yang masih melilit tubuh itu. Tatapnya mengarah tajam kepada kami berdua yang berada tidak seberapa jauh darinya.
"Opo karepmu, Pak, iseh kurang ngowo gegeran ugo ngerenggut nyowo manungso?"
(Apa mau mu pak, masih kurang membawa keributan juga sampai merenggut nyawa manusia) tanya Farida dengan penuh keberanian.
"Kafani ... kafani ... kafani ...!"
kata-kata itu berulang kali terdengar dari suara beratnya.

"Njalukmu dikafani, tinggalno rogo manungso iku, mula bakal tak kafani!"
(Pinta mu dikafani, tinggalkan raga manusia itu, maka akan aku kafani) sambung Farida kembali.
"Kafani aku ...!" suara itu kini semakin jelas terdengar.

Tiba-tiba secara perlahan, matanya berubah menyala seperti mata anjing, dan mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi tajam dengan taring runcingnya! Eramannya menggema, menandakan situasi sudah tidak lagi aman.
Suatu saat ia bisa saja berubah wujud dan menyerang kami berdua. Melihat itu bukannya takut, justru Farida malah maju di depanku, seakan siap menghadapinya dan menjadi pelindung untuk diriku.
"Siap, Mas?" tanya gadis di depanku ini.

"Siap, Nduk!" jawab ku sigap, walau pun masih belum tau maksudnya.
Tiba-tiba terdengar kemerut gigi dari sosok yang berada di hadapan kami. Lalu hanya sekedip mata, wujud itu berubah menjadi siluman bertubuh manusia, berkepala anjing hutan. Itu adalah wujud yang pernah aku lihat sebelumnya, saat berada di dalam goa alam ghaib.

****
Jiwa yang sudah menyatu dengan iblis, adalah jiwa yang penuh dengan keangakaraan, karena terkadang upaya untuk menyelamatkannya justru membuat manusia yang menolongnya terseret menuju kematian!
Kami berdua, kini berhadapan langsung dengan sosok yang telah berubah menjadi sosok setengah manusia dan setengah hewan, yaitu sosok manusia berkepala anjing liar.
Dari sorot mata dan geramannya terlihat keganasan luar biasa, siap mencabik-cabik gadis yg berada di depanku dengan cakarnya yang berkuku panjang dan tajam. Jika dia ingin melompat dan menerkam, tentu hal itu sangat mudah baginya karena jarak antara kami hanya beberapa meter saja
Secara perlahan, bayangan hitam besar tiba-tiba mulai muncul dan memperlihatkan wujud raksasa hitam yang dipenuhi bulu. Genderowo ini merupakan perewangan sang dukun yang bersarang dari cincin yang dikenakannya semasa hidup dan menjadi kesaktian tersendiri buat Pak Panjalu.
"Mulai baca takbir mas!" suruh Farida.

Aku lalu mengikuti seruan adik angkatku itu, menggemakan lantunan takbir, mengEsakan asma Illahi.

Wusshh ... !!

Tidak beberapa lama, tanpa hitungan detik, seketika kini kami sudah berada di dalam gua sarang lelembut.
Mataku belum bisa jelas melihat isi gua, karena sinar putih yang sangat menyilaukan memancar tepat dihadapanku.

Secara perlahan, kemudian sinar itu meredup dan masuk kedalam tubuh Farida.
Setelah cahaya menghilang aku bisa melihat Farida kini terlihat berbeda dengan balutan kemben dan jarik berwarna coklat. Sabuk gelang, juga busur, serta sarung anak panahnya semua terlihat berkilau keemasan.
Bagai Srikandi jika dalam tokoh pewayangan, namun ini wujud manjingnya sang titisan.

Arghhhhh ...!
Geraman itu kembali terdengar, sebelum akhirnya siluman asu baung melompat, menyambarkan cakar tajamnya. Dengan piawai tubuhku digeser mundur oleh gadis yang kini bergelar 'Dewi Wuluh Baruno Jagad Praweswari'. Beberapa gerakan setelah mengamankan diriku,
Farida mencabut anak panahnya dan membidikkan tepat melesat kearah siluman itu.

Lesatan panah itu seperti cahaya.
Lalu terdengar ledakan yg sangat dahsyat, ketika anak panah itu mengenai dinding gua, membuat lugur (longsor), dan mengakibatkanbebatuan menghambur berserakan!
"Nduk...!" aku mencoba memperingatkan bahwa sosok itu mampu berkelit menghindar.

"Cabut kujang keris itu, Kang Mas!" suruhnya padaku.
Aku mengeluarkan apa yang dia maksud, benda yang tengah berada di tangan kananku tiba-tiba bergetar dengan sendirinya. Cahaya memancar dari benda tersebut. Gadis itu menunjuk benda itu dengan telunjuknya dan secara perlahan benda itu naik ke udara bergerak terbang mengitarinya.
Seperti dia gerakan, pusaka itu mengerlip bagai kunang-kunang yang mengitari raga Farida.
Kemudian cahaya yang memancar dari benda itu kembali masuk ke dalam tubuhnya, membuat dirinya mampu menatap tajam di antara angin yang menghembus kencang, memutari seluruh tempat ini.
Sungguh perpaduan yang menjadi kekuatan tanpa tanding dengan pamor kedigdayaan aji barang yang melebur dengan sumber diri.

"Allahu Akbar"!

Hanya lafas itu keluar dari mulutku, ketika menjadi saksi sebuah penglihatan yang tidak biasa.
Takjub dan kagum, itu yang kurasakan saat menyadari jika Farida adalah titisan Dewi.

"Jayabarut ingsun jumeneng dzat'tullah umadeg tengahing jagad, sakabehing mungsuh sakubeng ing cakrawala kang padha durhaka, krungu petak gelap sakethi, padha bedhah kupinge, pecah endhase".
Mendengar rapalan itu, bumi yang terpijak serasa gempa dan bergemuruh. Suasana menjadi hingar bingar, terdengar suara ribut yang berasal dari putaran angin. Tidak beberapa lama sosok di depan kami, terlihat menutup kedua telinga runcingnya itu dan menggeram kesakitan.
"Aaaaaaa ... aaaakkkkkkk ...!"

Tampak bayangan hitam besar itu keluar dari dalam tubuh itu, lalu bersimpuh, beberapa kali terlihat sujud kesakitan, genderuwo yang menjadi pelindung diri sang dukun terbakar.

Wussshh ... !!
Gemuruh itu kembali datang lebih dahsyat ketika dua ruh terlihat masuk bergabung di pertempuran ini. Tiba-tiba saja, Kang Armani dan Mas Pur tiba dan berdiri tepat di sebelahku. Mereka tampak gagah dengan kesigapan dan kesiapan sebagai wujud mereka dengan linuwih masing-masing.
"Ojo cumawe, iki dumadi urusan ku!"
(Jangan ikut campur, ini menjadi urusanku) ucap Dewi Wuluh Baruno Jagad Prameswari.

Kami secara bersamaan melihat ke arah kesatria wanita itu. Hanya diam tanpa menyuarakan apa pun, menandakan persetujuan.
"Kang dumadi samubarang kasekten, Nur jagad Arjuno jaler, brojo sekti Adipati Songgo Bumi jumeneng manunggal manjing marang ingsun!"

Semua kekuatan yang ada dalam diri kedua laki-laki di sampingku langsung terhimpun menjadi cahaya yang perlahan terbang.
Seperti ditarik oleh kekuatan cahaya yang berasal dari anak panah, akhirnya menjadi satu dengan cahaya yang berwujud anak panah yang siap di bidikan oleh Farida. Ketika kelipan itu menjadi satu, itu menandakan memusatnya kanuragan mereka.
Kemudian panah itu langsung dilepaskan dan mengenai siluman anjing yang membuatnya terlempar dan berguling beberapa meter, menghantam batu besar dengan anak panah menancap di dadanya.

Duarrrrr ...!
Kembali suara gelegar sekeras halilintar terdengar, cahaya itu memecah, menghancurkan siluman asu baung itu. Bersamaan dengan hancurnya asu baung, tiba-tiba raga Pak Panjalu terjatuh ke tanah tanpa bergerak sama sekali.
Mayat itu kini telah kehilangan semua kesaktiannya, hanya raga busuk dengan kondisi memprihatinkan.

"Pati kerona pengeran, wangsul ing kersoning pengeran!"
(Mati kehendak Tuhan, kembali karena kehendak Tuhan) kata itu terucap menjadi pengakhiran musnahnya ajian asu baung,
dan kembalinya raga sang dukun. Kami menghembuskan nafas lega, dan menucapan lantunan ucapan syukur.

Sunggingan senyum titisan Dewi itu mengakhiri semuanya, sampai kemudia alam kembali normal. Kini kami semua tepat berdiri di tempat pak Panjalu meninggal,
dan mayat itu juga tertelungkup berada di tempat semula.

****
Akhirnya mayat pak Panjalu sudah dikuburkan dengan selayaknya, terbungkus kafan seperti manusia pada umumnya. Disholatkan juga disucikan.
Namun kehendak kembali diri sejatinya itu hanya kehendak sang pencipta. Semua manusia harus mempertanggungjawabkan kesalahan juga dosa masing-masing, yang perlu diambil hikmah dari peristiwa ini, jika mengembalikan kematian seseorang itu memiliki tata cara juga sarana.
Dia yang sudah mati, semoga diberikan ketenangan. Dan untuk yang membuat kematian itu semoga diberikan pengampunan.

Kesalahan yang diganjar dengan perbuatan yang salah juga, hanya akan memperkeruh keadaan dan memperdalam kesalahan itu sendiri.
Semuanya sudah seharusnya kembali ke Tuhan sang penegak kesalahan umat Nya, kita hanya cukup selalu berbenah, memohon perlindungan, dan pengampunan.

Hari ketujuh dari peristiwa ini telah usai, kehidupan dengan bayang kengerian telah berakhir, menyisakan ngilu yang membayang.
Meninggalkan kesedihan dalam dua kematian yang berbeda. Menjadikan gambaran bahwa kebatilan itu hanya akan menuai kesengsaraan, dan mendapat ganjaran tanpa pengampunan.
Kepala preman juga meningal setelah dua tahun merantau, dan terdengat kabar jika dia mati secara tragis dibunuh oleh orang.

Terkadang sambungan takdir itu tidak terduga, namun kehendak Tuhan itu nyata adanya, dan itu yang selalu dinamakan karma.

****
Demikian sekelumit kisah tentang suatu peristiwa, semoga kita bisa mengambil hikmah dari kisah ini.

Alhamdulilah jika menuai manfaat, dan kesampingkan hal negatif yang terkandung didalamnya.
Saya Wiens dan narasumber Iphend Alzikra bersamaTeam Pena Hitam mengucapkan terimakasih untuk semua pembaca .

Minal Aidzin Wal'faidzin mohon maaf lahir dan batin. Sampai jumpa lagi dikisah selanjutnya.

TAMAT
Sebelum saya tutup thread ini. Saya akan sedikit membagikan informasi aja, kalau cerita selanjutnya akan sedikit lebih serem. Tentang santet & tumbal. Menghabiskan 12 keturunan.

"SANTET PRING SEDAPUR"
KISAH NYATA

"SANTET PRING SEDAPUR" Image
Kisah ini tergolong ilmu yang ganas dalam dunia perdukunan, sebuah mantra dengan tujuan membunuh korban secara tuntas. Dimana jika manusia menggunakan rapalan mantra ilmu hitam ini, maka korban yang dituju akan mati sampai dua belas keturunan.
Ilmu yang ada sejak jaman dahulu kala, turun dari sebuah empu sakti dimasa itu, yang menciptakan ajian Bambu Serumpun.

----------------------------

NANTIKAN CERITANYA,

JANGAN LUPA RT & LIKE ❤

SELAMAT MALAM.

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets
Jan 26
-LUAS, MURAH TAPI JADI TUMBAL!!-

a thread

Sebuah kisah tentang seorang mahasiswa yang mendapatkan kos-kosan murah dan luas, tapi di balik semua itu, nyawanya terancam (akan) di jadikan tumbal pesugihan ibu kos.

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor @bacahorror
Kiriman dari seseorang. Image
Sebut saja namanya mbak Tia. Jadi mbak tia ini punya pengalaman serem ketika ngkeos. Katanya dia hampir jadi tumbal pesugihannya ibu kos.

Dari sini yang akan bercerita mbak Tia.
Read 37 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(