Dulu, kita pernah abai terhadap hal sepele seperti toleran terhadap tip (uang rokok) saat membuat KTP atau surat keterangan apapun di instansi. Hasilnya budaya korup menjadi milik kita.
Dulu, kita juga menganggap sepele tentang bagaimana penetrasi sikap intoleran di sekolah dan hari ini hampir seluruh sekolah negeri di Indonesia justru digunakan sebagai tempat penyemaian bagi bibit itu.
Dulu, kita juga toleran dengan hal sepele seperti saat pemilihan Ketua RT, RW, OSIS hingga Ketua Senat Mahasiswa harus terkait agama dengan sang calon, kini segala hal harus dibuat dan selalu dikaitkan dengan agama.
Demikianlah kita berkembang dan tumbuh menjadi besar karena dimulai dari hal-hal kecil dan peristiwa sederhana.
Tak ada kesia-siaan atas kecilnya kebaikan kita tumpuk, demikian pula tak ada kesia-siaan menolak hal kecil yang tak baik demi besar kita kelak.
Cabut semua bibit dan benih intoleransi yang telah terlanjur tumbuh baik di sekolah, tempat kita bekerja, lingkungan rumah kita sebelum dia tumbuh apalagi berbuah. Laporkan!
Terlihat sepele, namun bukankah demikian konsep tentang pencegahan?
Kita diajak berperan sesuai dengan kapasitas kita dalam masyarakat. Tak selalu harus peran besar, justru dalam peran kecil kita adalah sel dari kebaikan itu sendiri.
Itu tentang bersama kita membuat bingkai yang lebih besar bagi kebersamaan kita sebagai satu Indonesia.
Demi Indonesia yang lebih baik, Kenapa Tidak?
.
.
.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
BERITA DUKA | datang dari AL kita. Salah satu kapal selam yang dimilikinya dikabarkan hilang atau terputus kontak. Kapal ini sedang dalam misi latihan di utara pulau Bali dan salah satunya adalah uji coba penembakan torpedo.
Seperti dilansir Reuters, Rabu (21/4/2021), kapal selam itu tidak melapor kembali usai latihan.
Kapal selam berukuran panjang 60 meter dan lebar 6 meter ini didukung oleh mesin diesel elektrik yang terdiri dari 4 mesin dan 1 shaft menghasilkan 4.600 shp dan dapat melesat dengan kecepatan hingga 21,5 knot.
Ismail Marzuki dalam lagunya menyematkan kalimat "Halus wanita bak sutra dewangga, senyummu meruntuhkan mahkota".
Dewangga adalah senirupa tekstil. Bisa berupa rajutan dapat pula dalam bentuk lukisan di atas kain tersebut.
Sutra dewangga berbicara tentang keelokan seni diatas halus sebuah kain sutra yang konon terkenal sangat lembut. Ada dua perkara ingin ditegaskan dalam sekaligus pada kalimat lagu Ismail Marzuki.
Keelokan dan kehalusan itu terkadang, bahkan sangat sering mampu meruntuhkan sebuah kekuasaan. Bukan dengan seribu atau selaksa pasukan menara gading itu runtuh, hanya dari senyum seorang perempuan.
KETIKA NIKEL | telah berubah wajah menjadi baterai dan baterai menjadi mobil listrik dan kemudian kita menjadi tuan rumah atas prestasi seperti itu, Malaysia pasti bukan lawan kita.
KETIKA CPO | kita menjadi 100% green gassoline (pertamax cs) green diesel (solar), 100% LPG, dan 100% green avtur, dan produk itu diterima luas oleh pasar, Singapore akan melirik kita dengan pandang mata iri.
KETIKA INDONESIA | menjadi bagian penting atas rantai pasok dunia dalam industri berteknologi tinggi atas akibat pandai rakyatnya dalam mengolah berlimpahnya sumber daya alam, bukan Malaysia bukan Singapore hormat, tapi masyarakat dunia.
Sebesar apakah Bukit Algoritma akan menjadi hingga majalah Tempo edisi terbaru, BAHKAN PADA EDISI 50 TAHUN USIANYA, sengaja dan secara khusus memampang bukit itu pada cover depan pada terbitan terbarunya?
Atau, nama Budiman Sudjatmiko Kah menjadi bidikannya?
Hmmm…. pasti bukan perkara kecil apalagi sepele bila sekelas Tempo harus mengungkitnya. Apalagi dijadikan sampul. Ini terlihat seperti ada unsur sengaja dibuat belok ke arah politik.
Padahal sampai detik ini peristiwa tersebut masih terasa lebih kuat gaung investasinya dibanding unsur politis. Masih terkait dgn kita mencari tau siapa dibalik investor yg nekad nyeburin duit 18 triliunnya pada proyek yg juga masih lebih banyak menyimpan tanya dibanding jawab.
Ibuku sangat cantik dengan kebayanya. Pun ibu dan ayah saudaraku dengan baju bodo, baju kurung, ulee balang, aesan gede, pangsi, king bibinge, cele dan ratusan nama pakaian adat kekayaan budaya kita. Mereka terlihat cantik dan ganteng.
Adakah neraka pasti dituju karena ibu dan ayah saudara kita cantik dan ganteng dengan pakaian tradisi kebanggan leluhur? Sepertinya hanya mereka yang mabok yang mendalilkan hal seperti itu.
Agama tidak berbaju. Pun surga tak bersyarat pakaian. Paijo Jawa yang Islam, Tarigan Batak yang Kristen, Gde si Bali yang Hindu hingga Euis yang Sunda Wiwitan tak berebut surga melalui baju.
Dalam hal kerukunan sebagai sesama anak bangsa, harus kita akui bahwa kita tinggal kelas. Ga pernah naik kelas dan terus masih duduk dibangku yang sama sejak puluhan tahun lalu dan kita pun masih tampak tak malu.
Terlalu banyak perkara kita ungkit. Terlalu sibuk cara kita mencari sisi berbeda diantara kita dibanding dengan kesamaan kita dalam satu bangsa misalnya.
Ketika Presiden menggaungkan nikel sebagai unggulan bangsa ini, komunis sebagai cap PKI pd wajah negeri tirai bambu itu mereka sematkan.