Tidak ada azan magrib hari itu,
sebab seluruhnya pergi mengejar pencuri laknat yang lancang mencemari rumah suci dengan perbuatannya yang keji.
Pencuri sialan!
Dia harus ditangkap dan diadili!
Rombongan massa itu
saling sahut-menyahut, menumpahkan sumpah serapah, sesekali salah satu di antara
mereka meneriakkan takbir.
Mereka makin dekat.
Semerbak melati dibawa angin
dari arah rerimbunan pepohonan di halaman rumah angker.
Rumah bau melati.
Konon sering ada penampakan
wanita yang melayang-layang mengitari
rumah. Ia terbang sambil tertawa cekikian.
Namun,
kali ini siapa yang peduli bau melati?
Siapa yang peduli penampakan hantu wanita? Orang beramai-ramai.
Bahkan di dalam rombongan itu ada Pak Haji, mana mungkin wanita itu berani menampakkan diri?
Bau melati makin kental.
Kian menusuk hidung. Wangi sekaligus mendatangkan ketenangan yang mengerikan. Tak berapa lama kemudian orang-orang telah sampai di halaman rumah.
"Allahhu akbar!"
Pak Haji mengucap takbir.
Pandangannya menatap tajam
ke awang-awang. Sementara warga
yang lainya senyap. Beberapa gemetaran,
ada juga yang mulutnya sampai menganga.
Perempuan itu muncul, melambung-lambung di antara dua pepohonan rimbun.
"Mengapa tak ke masjid?
Mengapa tak mengumandangkan azan? Bangsaku sudah bersiap menutup telinga, beberapa sudah bersembunyi di tempat pembuangan yang kedap dan bau," sergah wanita yang wajahnya tertutup rambut panjang.
"Kami mau menangkap pencuri kotak amal!" jawab Pak Haji sedikit gemetar.
"Tidak bisa!
Dia mencari perlindungan di rumah kami!
Wajib bagi kami untuk melindunginya!"
"Setan terkutuk! Sudah terkutuk, sukanya membela bandit yang kelakuannya terkutuk!"
"Kamu lebih terkutuk!
Kalian semua terkutuk!"
Lecutan kata itu diiringi tawa cekikikan.
**Bau melati bertebaran.
"Biar aku bacakan kamu ayat-ayat Allaah! Lekas-lekaslah terbakar dan enyah kamu ke neraka!"
Pak Haji membaca ayat kursi.
Warga berdzikir bersama-sama.
Dengung suara dzikir terdengar bagai segerombolan lebah.
Tak lekas terbakar,
wanita itu malah menirukan
bacaan ayat kursi secara fasih.
"Bagaimana bisa
ayat suci itu menghiasi lisanmu,
bahkan tiap hari kamu membaca berjus-jus quran, tapi tak satu pun yang terselip di hati?"
Ucap wanita yang kini
duduk di atas dahan pohon beringin.
"Apa maksudmu, setan busuk?"
"Aku tahu siapa si pencuri kotak amal. Dia cuma anak-anak. Dia yatim. Kini bertambah jadi piatu.
Simboknya baru saja
meninggal seminggu yg lalu.
Tanah kuburannya masih basah lalu
kini kalian mau menghabisinya?
Bagaimana bisa penderitaan anak ini luput dari jangkauan kalian?"
Semua terdiam. Pak Haji makin jengkel.
"Tapi, bukan berarti dia boleh mencuri!"
"Kamu mengumumkan kas masjid yang puluhan juta itu melalui pengeras suara. Sementara anak ini kelaparan. Hidupnya kini sebatang kara! Lalu ke mana saja kas yang puluhan juta itu? Mengapa yang kalian pentingkan hanya pembangunan masjid saja?"
"Kalau masjidnya bagus dan nyaman, ibadah jadi tenang." Pak Haji masih membela diri meski nada bicaranya makin melunak.
"Masjid kalian makin megah, makin nyaman, tapi, Allah yang kalian sembah itu kelaparan, kehausan, sedang kalian tak mau menggubrisnya."
"Kurang ajar! Beraninya kamu merendahkan Allah. Mana mungkin Allah lapar dan kehausan!" Pak Haji kembali menaikkan suara. Telunjuknya mengacung ke atas, tasbihnya terlihat melilit di pergelangan tangan.
"Dalam setiap jiwa yang kelaparan dan kehausan, Allah begitu dekat. Apa kalian tak pernah mengasah hati nurani?" Wanita itu kembali cekikikan.
Perkataan terakhir wanita itu membuat hati Pak Haji melunak secara kaffah.
Dahulu, di pondok pesantren, ia kerap mendengar hadits qudsi tersebut. Mengapa kini ia malah melupakannya?
Tertunduk Pak Haji dalam-dalam. Betapa menyesalnya ia kini.
Bau melati semakin tidak wajar. Makin membuat pusing dan mual.
Beberapa yang tidak kuat menghirup aroma kental itu akhirnya lemas dan pingsan. Pak Haji pingsan paling akhir.
***
"Pak, bangun! Sudah Mahrib. Ayo ke masjid." Bu Haji membangunkan suaminya yang tertidur selepas Ashar.
Buru-buru Pak Haji ke masjid dan mengecek kotak amal. Masih pada tempatnya. Pucat muka pria sepuh itu karena mimpi yang terus berkelebat di benaknya
Usai magrib, Pak Haji dan beberapa jamaah membongkar kotak amal. Dari hasil yang didapat, sebagian dialokasikan untuk pembangunan, sebagian untuk kesejahteraan umat.
Esok hari, pak haji buru-buru membeli sembako dengan uang kotak amal, ditambah uang pribadinya.
Ia mendatangi rumah anak yatim yang ada di dalam mimpi.
Tersuruk-suruk langkah Pak Haji membopong sekarung beras dan menenteng bingkisan. Beberapa warga menawarinya bantuan untuk membawakan karung beras, tapi Pak Haji menolak.
"Ini adalah kelalaianku! Aku membiarkan anak yatim itu kelaparan. Aku sendiri yang harus memikulnya!"
Sesampai di depan gubuk tua dan reyot di pinggir sungai, buru-buru Pak Haji dan warga dengan bangga membuka pintu gubuk yang hampir roboh itu,
dan... apa yg mereka saksikan,...
Yatim piatu itu telah terbujur kaku
di atas sajadah lusuh, sambil memegangi perutnya. Di hadapannya ada Al Qur'an kecil yg
masih terbuka pada surat Al Mukmin ayat 47.
😭😭😭
Innaa lillaahi wa innailaihi rooji'uuun ...
*Allah berada di tengah-tengah orang yang hatinya hancur*
1 Keluarga tak mau direlokasi, walau sdh disediakan tanah & material rumah, dgn alasan dpt wangsit tuk menjaga desanya yg tenggelam akibat abrasi.
Sang kepala keluarga namanya Rukani (55), istri bernama Pasijah (50), serta 2 anaknya tetap bertahan di desa Bedono, Sayung, Demak.
"Diparingi tanah teng cedak ratan, Ken mbangun pun disediani pasir, semen, bata, artane sejuta. Tapi kula boten purin." Ungkap Pasijah.
Sang istri mengaku sdh dpt wangsit agar tetap berada di puing2 rumahnya dan menjaga desanya, meski kini sejauh mata memandang hanya pohon bakau
Utk menyambung hidup, mereka membuat persemaian bibit mangrove/bakau. Bibit yg sdh siap tanam biasanya dipesan oleh dinas kelautan, para pemerhati lingkungan, maupun warga pesisir dari berbagai tempat di Jateng. Tiap bibit dihargai Rp500-1000.