Mohon pelajari kalau menulis teks "rahimahullah". Untuk siapa rahimahullah ditujukan dan ditulis. Mohon pelajari juga kapan menulis :husnul khotimah". Banyak yang salah kaprah soal dua teks tersebut.
Jangan ingin terlihat islami tapi tak paham substansi.
- islami bukan Islami
- umat Islam bukan umat muslim
Kalau penulisan husnul khotimah atau khusnul khotimah, insya Allah atau insha Allah, ini persoalan transliterasi. Kalau mengikuti transliterasi Arab - Indonesia, penulisan wassalam harusnya wasalam. Bikin pusing.
Wartawan harusnya menguasai pedoman transliterasi Arab ke Indonesia. Selain penguasaan transliterasi, wartawan juga harus punya wawasan yang luas.
Berita yang kita baca, itu sudah melewati proses editing oleh editor bahasa (redaktur bahasa). Tulisan aslinya bisa kacau balau.
Ada yang mengaku penulis tapi hal dasar saja tak dikuasai seperti soal konjungsi (kata penghubung). Kalau wartawan salah masih dimaklumi. Karena hakikatnya, wartawan bukan penulis tapi tukang nulis, carik. Nah ada penulis yang sekaligus wartawan. Pasti berbeda ruh tulisannya.
"Aaah nulis di medsos gak usah pakai ejaan bahasa Indonesia. Gak usah diatur-atur."
Oke sepakat karena hakikatnya penulisan di medsos itu tradisi lisan yang dituliskan. Tapi logika bahasa harus dipatuhi.
Penulisan "umat muslim." Ini kan contoh yang salah dari logika bahasa.
Penulisan yang salah.
"Aku mencintai mu." Logika bahasa dan rasa berbahasa harus berjalan dalam konteks ini.
Kalau mencintai seseorang, jasad dan batinnya harus menyatu. Maka kata ganti "mu" harus ditulis disatukan, dirangkai, "mencintaimu". Harus dirangkai lahir dan batinnya.
Coba bayangkan jika "aku mencintai mu", diucapkan. Yang terdengar adalah "aku mencinTAI mu" (Ahok). Bahasa itu persoalan logika dan rasa, rasa berbahasa. Ejaan bisa saja salah tapi logika bahasa dan rasa berbahasa, harus benar.
Contoh.
"Megatuti diperkosa Juki di kamar mandi".
Kenapa konjungsi "di" harus dirangkai dengan kata "perkosa"? Logikanya, orang kalau memerkosa pasti ada penyatuan dua kelamin. Tidak mungkin terpisah. Gak mungkin pas kejadian, yang memerkosa di Solo, yang diperkosa di Jakarta.
Contoh lain.
"Maswo ditelanjangi tujuh nenek di Pasar Bengkok, Kota Tangerang".
Imbuhan "di - i" dalam kata "telanjang" harus dirangkai, disatukan. Gak mungkin kan tujuh nenek menelanjangi Maswo dari jarak jauh. Pasti pegang baju Maswo, nempel. Ini logika dan rasa bahasa.
Sebagian ulama membedakan antara al-hamdu dan as-syukru. Lebih jauh lagi ada perbedaan antara syukuur dan syakuur. Ini kajian bahasa dan punya pengaruh ke makna. Syukurin itu berangkat dari syukuran. Ada pergeseran makna.
Logika bahasa dan rasa bahasa saling berkelindan.
Al-hamdu, pujian yang diucapkan dengan atau tanpa kenikmatan. As-syukru diucapkan setelah mendapatkan kenikmatan.
Syukuur, mensyukuri kenikmatan yang bersifat kebahagiaan sementara syakuur, mensyukuri selain mendapat kebahagiaan, juga mensyukuri yang bersifat penderitaan.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Sahabat, tak boleh memaksakan kehendak harus menulis HRS dengan IBHRS. Yang menulis HRS harus diapresiasi juga. Bentuk penghormatan terhadap keturunan Rasulullah.
HRS itu Imam Besar bagi sebagian umat Islam Indonesia bukan umat Islam Indonesia secara keseluruhan.
Kalau kita menangis berkali-kali ketika mengingat HRS, Habib Lutfhi, habaib yang lain, terus tak menangis ketika mengingat Nabi Muhammad SAW, berarti ada yang salah dalam proses keberagamaan kita.
Habaib itu klan Nabi. Mengingat sumber habaib, Nabi Muhammad SAW, harus lebih.
Cek diri kita.
Lima kali waktu sholat, berapa kali kita menangis ketika masuk bacaan sholawat? Loh penghayatan orang kan berbeda-beda? Justru di sini letaknya. Sholat itu harus menyertakan dua unsur; lahir dan batin. Jika hanya lahir, tak sah sholatnya. Pun sebaliknya.
1. Keliling ke rumah anak-anak yatim, rehat sejenak, mau Jumatan. Menemukan anak-anak yatim baru di RW yang berbeda. Ada tiga RW.
Setiap beri santunan titipan sahabat twitter, saya selalu mendengar curhat ibunya.
2. Alhamdulillah masih bisa bantu anak-anak yatim. Minimal dalam sebulan santunan Rp600 ribu - Rp700 ribu, diberi per pekan. Ada kisaran 50-anak yatim di sekitar rumah. Ditambah, daerah lain, total 80-anak yatim. Kalau satu rumah, dua anak, berarti sebulan bisa dapat Rp1.200.000.
Retorika @prabowo ketika diwawancarai @corbuzier, luar biasa. Banyak yang puji PS sebagai sosok nasionalis sejati. "Demi merah putih," ujar Prabowo. Benarkah?
Enam orang dibantai, KPK diobrak-abrik, habaib dipenjara, rakyat dizalimi, kok PS mingkem? Merah putih atau merah duit?
Cermati pernyataan @prabowo di awal wawancara dengan @corbuzier, dia sudah bicara dengan pengurus partainya. Ingat, pengurus partai bukan pendukung PS pas Pilpes 2019. Pengurus partai hanya segelintir orang, pendukung PS itu puluhan juta orang. Seharusnya sejak awal PS terbuka.
Salah kaprah orang yang sok bijak dengan menguar "politik itu sekadarnya, perkawanan selamanya". Politik tidak sekadarnya. Politik banyak kadarnya. Banyak orang dizalimi akibat mendukung @prabowo sampai sekarang! Sementara PS berjalan bersama dengan Big Bos Penzalim. Nalarmu?
Di HMI ada Latihan Kader I - III. Kalau yang sudah ikut LKIII, secara ideologi, secara akidah, susah digoyah. Tapi ini berlaku bagi yang istiqomah. Tak sedikit, yang sudah kelar LK III, luntur idealismenya.
Syarat ikut LK III (Advance Training) tak mudah. Screeningnya ketat.
Nah dia @aniesbaswedan salah satu kader HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). HMI MPO, sejarahnya, memisahkan diri dari PB HMI DIPO (sebutan Dipo dari kader HMI MPO, Diponegoro, markas HMI, 1986) terkait pemaksaan asas tunggal Pancasila bagi HMI dan ormas lain.
Sering tersenyum ke para selebtwit, yang mendadak jadi aktivis. Tersenyum karena terbaca polanya, sebagian tak memahami pola gerakan ide.
Gerakan di linimasa itu gerakan ide melalui tulisan. Tentu ada kaidah dalam menguar teks. Gak sembarangan.