Prolog :
Ada yang janggal di kampung ini. Penduduknya hanya beberapa orang saja. Itupun rata-rata berusia sudah tua. Wajah mereka sangat muram dengan pakaian yang lusuh.
Tubuh mereka kurus dan pucat, seperti orang yang terkena penyakit.
Tatapan mereka kosong tanpa pengharapan, seolah-olah ajal siap menjemput mereka kapan saja.
Istriku mencengkram erat pergelangan tanganku. Kami bergegas menuju tempat yang kami tuju.
Rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu, rupanya banyak yang kosong tanpa penghuni. Seperti sengaja ditinggalkan dalam keadaan terburu-buru. Banyak yang sudah lapuk tertutup tanaman merambat.
Sebagian lagi sudah rata dengan tanah, tertutup rerumputan dan belukar.
Hanya ada anjing liar dengan tubuh kurus kering penuh lalat yang menghuni rumah-rumah tersebut.
Dan yang lebih aneh lagi, tidak terlihat satupun anak kecil di kampung ini.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
"Ritual Pesugihan Sate Gagak di Makam Massal Korban Kerusuhan"
Sebuah kisah dari seorang kawan yang kini mendekam di penjara.
@IDN_Horor @bacahorror @P_C_HORROR
#bacahoror #threadhoror #ceritaserem #malamjumat
-Bismillah, kita mulai...
30 menit menuju pukul 12 malam, kami berlima harap-harap cemas. Sejak magrib, kami memang berkumpul di sini, di komplek kuburan massal korban peristiwa berdarah belasan tahun silam.
Semakin malam, udara terasa semakin dingin, sementara suara serangga, burung hantu dan hewan-hewan malam semakin riuh. Pohon-pohon yang mengelilingi kumpulan nisan tanpa nama ini bergoyang pelan tertiup angin, membuat suasana malam ini terasa semakin meresahkan.
Pak Wardoyo tersungkur bersimbah darah. Pinggangnya robek dengan luka mengangga. Ia menjerit kesakitan lalu terguling ke sungai. Ternyata Galih telah datang dengan sebuah mandau. Ia mengibas mandau ke sana kemari membuat yang lain gelabakan.
“Dibyo, lari!!!”
Galih menarik lenganku, kami berdua lantas berlompatan di atas batu, meninggalkan mereka yang terbengong di belakang. Sesampainya di pinggir sungai, kami berdua berlari sekencangnya hingga keringat membasahi tubuh.
Sontak kami menjadi kaget mendengar apa yang diucapkan oleh Retno. Terlebih lagi bu Lastri dan Pak Wardoyo, mereka benar-benar kebingungan. Mereka bersikeras bahwa baru pertama kali ke Kalimantan dan selama ini tak tahu keberadaan Retno dimana.
Semua menjadi jelas tatkala Retno menceritakan apa yang telah terjadi sebenarnya. Kala itu baru seketar enam bulan Retno berada di pedalaman Kalimantan dan bekerja di sebuah Bank milik pemda.
Bilah mandau melesat di samping, menggores pelipis dan membelah kuping kananku jadi dua.
Aku menjerit sejadinya hingga suaraku serak. Rasa perih terasa menjalar ke seluruh badan. Hampir saja aku terkena serangan jantung demi melihat darah membasahi pipi, leher, dan baju.
Rupanya pak Wardoyo berhasil menarik lenganku, sepersekian detik sebelum mandau melibas kepala dan mengeluarkan isinya.
Mandau hanya menghujam tanah persis di samping kepala, mengiris kuping jadi dua. Berhasil berdiri, aku gelabakan menjauh sambil memegang kuping yang terbelah.