PERANG SAUDARA DALAM ISLAM

Suatu hari, putri Rasulullah SAW, Fatimah ra, mengadu kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib ra. Fatimah mengadu tangannya luka-luka akibat terlalu sering membikin adonan roti dari gandum.
Ali berkata:
"Ayahmu telah datang dengan membawa beberapa tawanan, pergilah temui ayahmu dan mintalah seorang dari mereka untuk menjadi pembantumu."
Fatimah pun menemui ayahnya. Namun, ia tak berani menyampaikan maksudnya. Lalu, Ali datang menemui Rasul dan menyampaikan maksudnya. Tetapi, Rasulullah SAW tak mengabulkan permintaan orang yg paling dicintainya itu meski beliau tahu bahwa keluarga putrinya memang serbakekurangan
Nabi SAW kemudian menemui putri dan suaminya. Rasulullah bersabda: "Maukah aku ajarkan kepada kamu berdua sesuatu yang baik dari apa yang kalian minta? Jika hendak tidur, bacalah Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar sebanyak 33 kali.
Sesungguhnya hal itu lebih baik dari seorang pelayan."

Ali bin Abi Thalib ra selalu melaksanakan nasihat Rasulullah SAW itu. Ia pernah mengatakan, "Demi Allah, aku tidak pernah meninggalkannya sejak beliau mengajarkannya kepadaku."
Salah seorang sahabat yang bertanya, "Hatta pada malam peristiwa Siffin?"

Ali menjawab, "Ya, benar, Hatta pada malam peristiwa Siffin." (HR Bukhari Muslim).
Kisah dalam hadis yg diriwayatkan Bukhari-Muslim itu menyebut nama "peristiwa Siffin". Ibnu Katsir dalam Bidayah Wan Nihayah (Yang Pertama dan yang Terahir)
Menceritakan, Siffin adalah nama sebuah daerah di tenggara Kota Raqqah, Suriah-sekitar 15 kilometer di tepian Sungai Eufrat
Dari arah barat dan timur, Siffin berada di antara Raqqah dan Palas. Saat ini, Siffin berada di tenggara desa Ekrsye (hanya berjarak 500 meter). Di wilayah itulah pernah terjadi sebuah peristiwa bersejarah dalam peradaban Islam. Peristiwa itu dikenal sebagai "Perang Siffin".
Perang Siffin terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib ra dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah.

Perang saudara itu terjadi pada 1 Shafar tahun 37 H/ 26-28 Juli 657 M. Perang saudara pertama dalam sejarah peradaban Islam itu terjadi pada zaman fitnah besar.
Orang-orang dari penduduk Mesir terhasut bujukan Abdullah Ibnu Saba’ (munafik lagi fasiq keturunan Yahudi) untuk berserkongkol menggulingkan Utsman bin ‘Affan ra dari kekhilafahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah.
Wafatnya Utsman bin Affan ra menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin, sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah dalam sabdanya :
“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat”
Perang saudara itu terjadi akibat ulah dan provokasi dari pengikut Abdullah bin Saba. Adalah dendam lama pengikut Abdullah bin Saba' terhadap Muawiyah yang memantik pertempuran itu.
Abdullah bin Saba menurut sebuah versi adalah seorang Rabbi Yahudi yang masuk Islam pada masa Khalifah Utsman bin Affan dan kemudian melakukan makar.
Kelompok Abdullah bin Saba berupaya menebar fitnah untuk menjatuhkan citra pejabat negara. Upaya itu dilakukan agar rakyat membenci pejabat yang ditunjuk Khalifah Utsman. Amru bin Ash, gubernur Mesir, menjadi sasaran pertama.
Fitnah yang ditebarkan Abdullah bin Saba dan pengikutnya berhasil menjatuhkan sang gubernur.

Setelah berhasil mendongkel gubernur Mesir, kelompok itu lalu mengajak pendukungnya di Syam, Kufah, dan Bashrah untuk menggulingkan gubernur mereka.
Gubernur Kufah, Said bin Ash, berhasil digulingkan. Namun, mereka gagal mendongkel Muawiyah dari kursi Gubernur Syam-yang telah berkuasa sejak era Khalifah Umar.
Posisi Muawiyah sebagai gubernur memang terbilang cukup kuat alias tak bisa didongkel oleh gerakan kelompok Sabaiyah. Dalam Tarikh At-Thabari ditulis, Khalifah Utsman telah mengingatkan Muawiyah akan adanya upaya makar itu.
Utsman berkata, "Telah keluar kepadamu sekelompok penduduk Kufah untuk membuat fitnah, hadapilah mereka. Jika mereka berbuat baik-baik, terimalah. Akan tetapi, jika mereka melemahkanmu, kembalikan ke Kufah."
Kelompok itu sempat datang menemui Muawiyah, kelompok Sabaiyah meminta agar Muawiyah melepas jabatannya. Namun, ia menolaknya. Kelompok itu lalu dikeluarkan dari Syam. Setelah wafatnya Utsman, kelompok ini yang pertama-tama membaiat Ali bin Abi Thalib.
Penyebab meruncingnya hubungan Ali dan Muawiyah adalah adanya para "provokator" dalam barisan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang ingin memerangi Muawiyah.
Sebenarnya, tak ada perselisihan antara Ali dan Muawiyah. Yang ada perselisihan antara pengikut Abdullah bin Saba' dan Muawiyah. Terlebih, Muawiyah mendesak dilakukannya hukuman hadd kepada kelompok itu atas terbunuhnya Utsman.
Perselisihan terjadi setelah Ali memutuskan untuk mengganti Muawiyah dari jabatan Gubernur Syam. Posisinya diganti oleh Sahl bin Hunaif. Pengganti yang telah ditunjuk tersebut bersama rombongan berangkat ke Syam.
Sesampai di wilayah Tabuk, sejumlah pasukan Muawiyah menemui rombongan itu dan meminta mereka kembali.

Ali lalu mengirim surat kepada Muawaiyah, namun surat itu tidak dibalas hingga tiga bulan setelah wafatnya Utsman.
Lalu, Muawiyah mengutus Qubishah Al Abasi menghadap Khalifah Ali dan menyatakan alasan penduduk Syam tidak melakukan baiat. Mereka meminta agar pelaku pembunuhan Utsman diadili.
Kaum Sabayah lalu mencoba memprovokasi dan bahkan memerintahkan agar utusan Muawiyah dibunuh. Dalam Tarikh At-Thabari disebutkan, Bani Mudhar mencegah mereka yang hendak membunuh Qubishah.
Utusan Khalifah Ali pun keluar dari Syam karena penduduk provinsi itu menolak memberi baiat, kecuali pelaku pembunuhan Khalifah Utsman dihukum. Kelompok Sabaiyah pun semakin terancam karena merekalah yang berdiri di balik peristiwa tragis itu.
Lalu, mereka mendesak Amirul Mukminin untuk memerangi Muawiyah. "Maka, para tokoh yang secara langsung terlibat pembunuhan Utsman yang berada di sekitar Ali bin Abi Thalib, memberi saran agar beliau memecat Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Syam,"
demikian tertulis dalam Al Bidayah wa An Nihayah.

Awalnya, Imam Ali tak pernah berniat untuk perang. Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wa An Nihayah menyebutkan, khalifah mengirim utusan ke Damaskus untuk membawa pesan kepada penduduk Syam
Bahwa beliau telah berdiri di atas rakyat Irak untuk mengetahui ketaatan penduduk Syam terhadap Muawiyah.

Mendengar kabar itu, Muawiyah naik mimbar masjid dan mengatakan kepada jamaah, "Sesungguhnya Ali telah berdiri di penduduk Irak untuk kalian.
Apa pendapat kalian?"
Para jamaah tidak berkata-kata, hingga seorang ada yang mengatakan, "Anda yang berpikir, kami yang melaksanakan."

Akhirnya, Muawiyah memerintahkan agar mereka bersiap-siap membentuk pasukan menjadi tiga bagian.
Setelah itu, kembalilah utusan menuju Khalifah Ali lalu mengabarkan apa yg terjadi di Syam. Ali akhirnya naik mimbar & mengatakan kepada jamaah: "Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian, apa pendapat kalian?"
Semua hadirin terheran dan berbicara satu sama lain.
Khalifah Ali akhirnya turun dari mimbar dengan mengatakan, "la haula wa la quwwata ila billah (tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah)"

Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Siffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing.
Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan dengan mengharap pertempuran bisa terhindar.

Dalam Al Bidayah wa An Nihayah, disebutkan Abu Muslim Al Khaulani beserta beberapa orang mendatangi Muawiyah dan bertanya:
"Apakah engkau melawan Ali?" Muawiyah menjawab: "Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui kalau ia (Ali) lebih baik dariku, lebih utama, dan lebih berhak dalam masalah ini (kekhalifahan) daripada aku."
"Akan tetapi, bukanlah kalian mengetahui bahwa Utsman terbunuh dengan keadaan terzalimi, sedangkan saya adalah sepupunya yang berhak meminta keadilan. Katakan kepadanya agar ia menyerahkan pembunuhnya, maka saya menyerahkan persoalan ini kepadanya."
Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra sebagai wali Utsman secara "syariat" berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah ta’ala,
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yg diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.
Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
(Qs aI isra’ 33)
Mu’awiyah memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda. Ijtihad Mu’awiyah berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib ra. Oleh sebab itu, beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman bin Affan diserahkan untuk ditegakkan qishash.
Ketika itu, Mu’awiyah adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin Affan. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah dan penduduk Syam.
Ibnu Katsir berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali , beberapa shahabat seperti Thalhah, Zubair, dan para pemuka shahabat mengunjungi Ali. Mereka meminta Ali segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas darah Utsman.
Namun, Ali menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan qishash.) karena pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan memiliki bala bantuan sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu.
Ibnu Katsir menyebutkan, perang Siffin melibatkan 120 ribu orang pasukan Kufah dan yang terbunuh mencapai 40 ribu. Sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang. Dalam pertempuran itu, pasukan Muawiyah nyaris kalah.
Dalam posisi terdesak, penasihat Muawiyah Amru bin Ash memerintahkan pasukannya agar menancapkan Alquran di tombak mereka dan menyerukan gencatan senjata atas nama Alquran.
Atas desakan ini, Khalifah Ali akhirnya menghentikan serangan dan kedua belah pihak memilih berdamai.
Muawiyyah bin Abu Sufyan: Khalifah Pertama Dinasti Umayyah

Sistem pemerintahannya mirip-mirip pola yang diterapkan Kerajaan Bizantium. Sebelum wafat pada 680, dalam usia 83 tahun, ia bahkan berwasiat agar tampuk kepemimpinan kerajaan diserahkan kepada anaknya, Yazid.
Namanya dikenal sebagai orang pertama yang mendirikan sistem kerajaan dalam pemerintahan Islam. Ia membangun Dinasti Umayyah setelah “kemenangan” dari Ali. Muawiyyah lahir di Makkah pada 597 dari pasangan Abu Sufyan bin Harb dari bani Umayyah
dan Hindun binti Utbah yang juga keturunan bani Umayyah. Sang ibu semula menikah dengan Faka bin Mughira keturunan bani Quraisy. Tapi, pernikahannya tak langgeng, sehingga perempuan itu menikah kembali dengan Abu Sufyan.
Muawiyyah tidak terhitung sebagai kelompok pengikut pertama Nabi Muhammad. Ia baru masuk Islam setelah penaklukan Makkah pada 623. Kala itu usianya sekitar 25 tahun, ia masuk Islam berbarengan dengan Islamnya sang ayah, Abu Sufyan,
yang semula menjadi mata-mata warga Makkah yang menentang Nabi. Setelah dewasa, Muawiyyah tumbuh sebagai sosok yang berbadan tinggi besar dan gagah.

Di masa Rasulullah masih hidup, Muawiyyah dikabarkan pernah menjadi salah seorang penyatat wahyu.
Sepeninggal Rasulullah, ia dipercaya oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai Gubernur Syam. Posisi itu terus dipegangnya sampai masa kekhalifahan Sayyidina Ali. Namun, sebagai gubernur, ada satu cacat yang mewarnai pribadi Muawiyyah: senang bermewah-mewah.
Terkisah, kabar tentang gaya hidup Muawiyyah itu sampai ke telinga Khalifah Umar yang terkenal keras dan amat sederhana. Maka, pada suatu ketika, Umar pun singgah ke Syam untuk membuktikannya.
Begitu menyaksikan sendiri cara hidup Muawiyyah, sang Khalifah pun menegurnya dengan cukup keras.

Namun, teguran itu dijawab Muawiyyah dengan alasan yang masuk akal. Menurut dia, kini ia tengah berada di kawasan yang penuh dengan mata-mata musuh Islam.
Karena itu, ia merasa harus menunjukkan kemuliaan penguasa Islam yang berarti juga kemuliaan Islam dan seluruh muslim. Dengan begitu, musuh-musuh Islam akan gentar. Muawiyyah juga memberi catatan, bila Khalifah menginginkan, ia akan menghentikan gaya hidup seperti itu.
Mendengar jawaban itu, Khalifah Umar tidak melarang dan tidak pula menganjurkan Muawiyyah melanjutkan caranya itu. Umar hanya mengingatkan risikonya harus ditanggung sendiri. Bila niat itu benar, itu adalah pendapat Muawiyyah sendiri.
Tapi, jika itu batil, cara itu merupakan tipu daya Muawiyyah sendiri. “Aku tidak menyuruhmu dan tidak pula melarangmu,” ujar Umar ketika itu.

Muawiyyah tercatat sebagai salah seorang pahlawan perang muslim. Sebagai Gubernur Syam,
misalnya, ia menjadi ujung tombak untuk menghadapi serangan Romawi dan mengepung Konstantinopel. Serangan Romawi berhasil dipatahkan dan bahkan Muawiyyah dapat meluaskan wilayah hingga ke Laut Hitam, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil.
Pada tahun 653, Muawiiyah membangun benteng-benteng di perbatasan Konstantinopel guna menahan serbuan tentara Romawi. Ia pula, dalam serangan-serangan itu, yang berhasil membangun armada pertama angkatan laut pasukan Islam yang amat tangguh.
Hubungannya dengan Khalifah Usman bin Affan memang sangat dekat. Maka tidak mengherankan bila ia tampil sebagai orang pertama yang menuntut bela atas kematian sang Khalifah.
Muawiyyah termasuk pemimpin daerah yg paling keras menuntut kepada Sayyidina Ali untuk mengusut dan menghukum orang yg membunuh Khalifah Usman.
Pembunuhan Usman itu sendiri boleh dibilang sebagai semacam persekongkolan kelompok-kelompok yg tidak suka pada kebijakan sang Khalifah.
Ada yang tidak suka karena kebijakannya mengangkat kerabat dan keluarganya untuk menduduki posisi tinggi. Ada juga yang tidak puas karena Usman memecat sejumlah pejabat yang dinilai sebagai administrator yang piawai.
Pembunuhan itu sendiri berlangsung pada 655 M, setelah sebelas tahun Usman memegang tampuk kepemimpinan umat Islam.

Pembunuhan Usman itu menandai semakin terpecahnya umat Islam kala itu ke dalam dua kubu: kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu Muawiyyah.
Seperti diketahui, sebagian besar umat kala itu sepakat mengangkat Ali sebagai pengganti Usman. Tapi, kenyataan ini ditampik oleh Muawiyyah. Ia secara terang-terangan menyatakan penolakannya untuk mengakui Ali sebelum pembunuh Khalifah Usman dihukum.
Ali sendiri saat menerima tampuk kepemimpinan mewarisi kondisi umat yang cukup parah. Terutama sekali ancaman perpecahan yang kian meruncing di masa kepemimpinan Usman. Ia bermaksud menyatukan dulu umat sebelum mengusut dan menghukum pembunuh Usman.
Itu sebabnya, ia meminta semua pemimpin di daerah untuk mengakui kepemimpinannya, termasuk Muawiyyah.

Sikap Khalifah Ali itu ditanggapi beragam. Intinya, ada yg mendukung dan ada yg menentang. Di mata para penentangnya, Ali dianggap membela si pembunuh yg nyata-nyata musuh umat.
Maka, selain Muawiyyah, tampil tiga pemimpin lain yang menyatakan melawan Ali. Mereka adalah Aisyah, Zubair, dan Thalhah.
Pasukan Ali dengan mudah menekuk perlawanan ketiga pemimpin tersebut. Yang terberat adalah menghadapi pasukan Muawiyyah.
Ali sendiri ikut turun ke medan perang menyerbu Syam. Sementara Muawiyyah yang terkenal licin berhasil menarik politisi ulung Amru bin Ash yang menjabat Gubernur Mesir untuk mendukungnya. Muawiyyah kemudian menyatakan mendirikan kekhalifahan tandingan.
Pertempuan kedua kubu itu tak terhindarkan. Perang Shifin meletus di kawasan hulu Sungai Eufrat yang kini dikenal sebagai perbatasan Irak dan Suriah. Dalam pertempuran itu, sebenarnya Muawiyyah sudah terdesak.
Dengan siasat licik yang diajukan Amru untuk memecah kekuatan Ali, Muawiyyah mengajak Ali berunding di bawah lindungan Kitab Al-Qur’an.

Siasat itu memang jitu. Kubu Ali terpecah: sebagian menilai ajakan itu patut dihormati dan sebagian lagi menganggap itu tipu-daya Muawiyyah.
Sementara, Ali yang lebih mengutamakan upaya persatuan umat, lebih memilih mengikuti ajakan berunding. Dalam perundingan itu, Ali diwakili oleh Abu Musa al-Anshari, sedangkan Muawiyyah diwakili Amru bin Ash. Keduanya sepakat untuk melengserkan Ali dan juga Muawiyyah.
Tapi, ternyata Amru mengingkari kesepakatan itu.
Perpecahan umat itu kemudian melahirkan kelompok radikal yang dipimpin Hurkus, komandan pasukan Ali. Hurkus memandang Ali dan Muawiyyah telah melanggar hukum Tuhan.
Karena itu, ia bersama pengikutnya menyatakan keluar dari barisan Ali dan tidak memihak barisan Muawiyyah. Karena itu, kelompok garis keras itu kemudian dijuluki kaum Khawarij, dengan semboyannya yang terkenal: “la hukma ilallah atau tiada hukum melainkan hukum Allah.”
Untuk menegakkan keyakinannya, kelompok Khawarij merencanakan pembunuhan terhadap tiga pemimpin: Ali, Muawiyyah, dan Amru. Tapi, hanya pembunuhan Ali yang berhasil dilaksanakan. Sayyidina Ali wafat di tangan Abdurrahman ibn Muljam pengikut Khwarij pada tahun 40 H.
Sedangkan Muawiyyah dan Amru bin Ash lolos dari upaya pembunuhan itu. Pada saat itu, Muawiyyah sudah memindahkan pemerintahannya ke Damaskus. Lolos dari upaya pembunuhan, dan terbunuhnya Ali, memuluskan jalan Muawiyyah untuk lebih mengokohkan kekuasaan.
Pada masa itulah berakhirnya model pemerintahan kekhalifahan yang dicontohkan Rasulullah lalu dilanjutkan oleh Khulafa Urrasyidun. Muawiyyah menyanangkan berdirinya Dinasti Bani Umayyah dan dialah raja pertamanya.
Sejalan dengan itu, di kubu Muawiyyah itu berkembang pula paham teologi yang melanggengkan kekuasaannya. Inti ajarannya, umat harus pasrah pada nasib dan tunduk kepada pemimpin, karena semua itu adalah ketetapan Allah.
Kaum yang berkepentingan untuk mempertahankan status quo itu lalu dijuluki sebagai kaum Jabariyah.
(Ibnu Abdul Bar)
Tahkim Pascaperang Siffin

Perang saudara antara kubu Muawiyah dan Ali akhirnya mereda. Kedua belah pihak akhirnya bertemu di meja perundingan melalui Tahkim,
yakni penunjukan dua pihak yang berselisih terhadap seseorang yang adil dengan tujuan agar memberi keputusan terhadap dua pihak tersebut.

Kedua pihak yang terlibat pertempuran Shiffin, yakni Ali dan Muawiyah telah sepakat memilih Abu Musa Al Asy'ari untuk menjadi penengah.
Ibnu Hibban dalam At Tsiqat mengungkapkan, tahkim itu berisi keputusan bahwa Ali bin Abi Thalib ditetapkan membawahi wilayah Irak dan penduduknya.

Sedangkan Muawiyah ditetapkan membawahi wilayah Syam beserta para penduduknya.
Sesuai kesepakatan tidak ada penggunaan senjata dan hal ini berlaku dalam satu tahun. Jika sudah melewati masanya, kedua belah pihak bisa menolaknya, atau bisa memperpanjang.
Tahkim itu sama sekali tak mengharuskan Muawaiyah membaiat Ali. Dan Khalifah Ali pun tdk memiliki keharusan untuk menghukum pembunuh Utsman. Hasil tahkim itu membuat sebagian kubu Ali protes dan bahkan murka. Mereka menyatakan diri keluar dari Ali dan membentuk kelompok Khawarij
Gerakan Khawarij pun berencana untuk membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Ash. Dari ketiga orang yang diincar Khawarij itu, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh. Khalifah Ali wafat pada malam ke-17 bulan Ramadhan tahun 40 H.
khalifah Ali bin Abi Thalib ra.

Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kehadiran Nabi Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega ia bercurah hati kepada Rasulullah.
Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.
Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, ia kemudian bertekad kuat untuk tak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Ia ingin, saat dirinya harus mati kelak, anak-anaknya tak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya,
Abi Thalib. Tak cuma dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini, saat paman yang selama ini melindunginya, tak mampu beliau lindungi.

Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah.
Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, ia telah menyatakan dukungannya.

Abi Thalib berkata:
“Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), karena ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".
Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Ia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.
Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan beliau menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku di dunia dan di akhirat..”
Ali, adalah pribadi yang istimewa. Ia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, ia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja.
Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan maupun melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya.
Setiap hari ia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya",
begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.
Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tak berarti tak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang kemudian menjadi rujukan.
Khalifah Umar bahkan pernah berkata: "Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"

Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy
yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika kemudian ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani sahabtnya Sayyidina Abu Bakar seorang.
Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya.
Dalam perang itu ia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.
Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya terhadap apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat.
Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tak pernah lagi diucapkan Rasulullah..
“Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul... jika Engkau tak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."

Dalam berbagai sirah, disebutkan bahwa musuh kemudian melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya,
padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.
Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat karena dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan.
Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi Rasulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana.

Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.
Perang Uhud meski pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah sang singa padang pasir.
Kedukaan yang tak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam.
Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar terhadap kemenangan dan perkembangan Islam.
Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.
Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah cuma ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud.
Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Perwujudan seluruh iman sedang berhadapan dengan perwujudan seluruh kekufuran”.
Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan.
Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.
Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah.
Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, meski seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu.
Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Ia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya.
Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir.

Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu.
Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalah kota ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari ahli pedang menjadi ahli kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya.
hingga kemudian ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.

Bersambung🙏🏿🌹

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Sayid Machmoed BSA

Sayid Machmoed BSA Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @sayidmachmoed

24 Jun
Bagian Terakhir

Bantahan atas argumen-argumen penyebab perang jamal:

Peristiwa ifk adalah rekayasa kaum munafiqun. Meski Ali berpendapat, “Ya Rasulullah, apa yang perlu dikhawatirkan? Masih banyak perempuan lain”
Saat Rasul menanyakan pendapat Ali, tidak ada satu riwayatpun yang memperlihatkan Aisyah dendam karenanya. Aisyah adalah tipe orang yang senang berterus terang sehingga bila ia tidak suka akan pendapat Ali, ia pasti akan langsung membantahnya dan bukan menyimpannya sebagai dendam
Allah dan RasulNya mengakui dan memilih Aisyah sebagai wanita yang memiliki keutamaan lebih dari wanita mukmin lainnya. Sehingga tidak mungkin Aisyah memiliki hati yang buruk lagi rusak (dendam, iri, dsb).
Peristiwa ‘ifk telah berakhir dengan turunnya QS. An Nur.
Read 69 tweets
23 Jun
Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra

Sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah lebih dulu hijrah.
Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat,
yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir quraisy.

Bagi Fatimah, sosok Rasulullah, ayahnya adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika
Read 74 tweets
21 Jun
Islam telah menjadi agama dengan pertumbuhan tercepat di Jepang.
Statistik 2010 menunjukkan bahwa jumlah Muslim di Jepang mencapai 110 ribu. Namun, pada akhir tahun 2020 jumlahnya mencapai hampir 330.000

Nabi saw bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ليَبْلُغن هذا الأمر ما بلغ اللَّيل والنَّهار، ولا يترك الله بيت مَدَرٍ ولا وَبَرٍ إلَّا أدخله اللهُ هذا الدِّين، بِعِزِّ عَزِيزٍ أو بِذُلِّ ذَليلٍ، عِزًّا يُعِزُّ الله به الإسلام، وذُلًّا يُذِلُّ الله به الكفر ))
"Sungguh perkara (agama) ini akan sampai ke seluruh dunia sebagaimana sampainya malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumah pun baik di kota maupun di desa kecuali Allah akan memasukkan agama ini dengan kemuliaan yang dimuliakan atau kehinaan yang dihinakan.
Read 4 tweets
17 Jun
Kisah Sayyidah Shafiyyah binti Huyai bin Akhthab

Shafiyyah binti Huyay adalah salah satu Ummul Mukminin, istri Rasulullah ﷺ yang berasal dari keturunan Yahudi, bagi sebagian pecinta tarikh Sayyidah Shafiyyah terdengar asing.
Sejarah mencatat beliau lahir sebelas tahun sebelum hijriah atau dua tahun setelah kenabian Rasulullah ﷺ. Ibunya bernama Barrah binti Samaual dari Bani Quraizhah, sedangkan ayahnya Huyay bin Akhtab, seorang pimpinan Yahudi terpandang dari kalangan Bani Nadhir.
Bani Nadhir, salah satu suku Bani Israel yg bermukim disekitar Madinah.
Sejak masih muda, Shafiyah sudah gemar akan ilmu pengetahuan.
Read 40 tweets
14 Jun
Jahilnya Pembuat Meme Fiqih Sunnah

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' 1/225 berkata :

و مراد الفقهاء بقولهم ؛ سؤر الحيوان طاهر أو نجس ؛ لعابه و رطوبة فمه

"Yang dimaksud ahli fiqih dengan kata SU'RUL HAYAWAN itu suci ataupun najis, adalah air liur dan kebasahan mulutnya".
Adapun سؤر /su’rur yang di maknain oleh orang jahil seperti di meme tsb sebagai kotoran/ kencing, yang artinya kita boleh meminum dan berwudhu dengan kencing onta, kuda, dan sebagainya,
Padahal kata سؤر/su’rur yamg di maksud adalah sisa makanan atau minuman, artinya air yang terjilat kambing, sapi, dan ayam tidak najis dan masih bisa dipakai untuk bersuci.

Jadi bukan kotoran ataupun kencing.
Read 4 tweets
14 Jun
KISAH NABI UZAIR عليه السلام TERTIDUR 100 TAHUN

Diceritakan bahwa seorang Nabi dari kalangan bani Israil bernama Uzair as berjalan
menyusuri sebuah perkampungan dengan mengendarai seekor kudanya.
Setelah jauh berjalan, tiba-tiba dia tersesat ke suatu perkampungan yang rata
dengan tanah setelah dihancurkan oleh sekelompok tentara.
Di perkampungan itu, dia melihat kehancuran yang luar biasa, bangkai manusia dan hewan berserakan di mana-mana serta tulang-belulang manusia bertebaran di semua tempat.
Read 26 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Too expensive? Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal Become our Patreon

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(