Desa Windualit , Sebuah desa terpencil yang jauh dari sosok hiruk pikuk Perkotaan. Pemandangan indah gunung merapi selalu setia menemani pagi setiap warga di desa ini.
#ceritahorror #bacahorror @bacahorror #gendingalasmayit
Sama sekali tidak ada yang istimewa di tempat ini, bahkan desa ini masih jauh dari kesan modern. Rumah-rumah disini masih dibangun dari kayu , bahkan listrikpun baru masuk beberapa tahun yang lalu itupun hanya cukup untuk lampu-lampu rumah.
Wajar saja , untuk keluar atau masuk Desa Windualit kami harus melalui jurang sejauh ratusan meter. Kendaraan bermotor hampir mustahil mencapai desa kami. Namun warga desa ini sudah terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dari hasil bercocok tanam.
Uang? Maaf saja benda itu tidak terlalu berharga di sini.
Namaku Sekar, hanya perempuan biasa yang masih menumpang hidup dari orang tua. Keseharianku layaknya wanita desa biasa. Memasak , mencuci baju di sungai, menimba air dan kadang membantu di kebun bapak.
“Bu.. Sekar nyuci klambi ning kalen disik yo” (Bu, sekar ke kali sebentar nyuci baju ya…) Pamitku pada ibu
“Yo , ojo kesuwen..” (ya, jangan lama-lama) Jawab ibu.
Aku mengangkat cucianku segera menuju sungai .
Semua hal di desa ini terlihat biasa saja ,
selain sebuah pantangan yang harus dipatuhi oleh warga desa ini, yaitu untuk tidak memasuki satu tempat terlarang di perbatasan desa.Warga menyebut tempat itu dengan nama “Alas Mayit” (Hutan Mayat).
“ Dek sekar,mampir” ucap Bu Retno yang sedang bersih-bersih di teras rumahnya.
“Njih bu.. Tak Nyuci baju dulu “ Jawabku sekedarnya.
Warga di sini memang sangat ramah, hampir setiap berpapasan kami selalu memberi salam atau sekedar perbincangan basa-basi.
..
..
“duh… mas, piye iki?” (duh.. mas, gimana ini)
Terdengar suara wanita berbisik dari balik pepohonan , tanpa sengaja sedikit perkataanya terdengar olehku.
“arrgh.. kok iso dadi koyo ngene!” ( Kok bisa jadi begini!) terdengar suara seorang pria membalas ucapan wanita itu.
Aku mencoba menghampiri ,
namun seperti sadar akan kehadiranku mereka segera berlari meninggalkan tempat itu.
Ya sudahlah, aku juga tidak tertarik dengan urusan orang lain.
Aku menyiapkan pakaianku dan segera mencucinya di sungai ,
tak jauh dari tempatku juga terlihat beberapa ibu-ibu sudah lebih dulu sampai di tempat ini.
“ Sekar, keawanen to?” (sekar, kesiangan ya?) Tanya salah satu ibu disana.
“Njih bu , mau ibu dhawuhi nulungi masak disik” (Iya bu , ibu tadi nyuruh bantuin masak dulu) jawabku.
“Yowis, tak pamit duluan ya sekar.. “ Lanjutnya lagi
“njih bu, ngatos-atos” (iya bu , hati –hati)
Satu-persatu ibu-ibu meninggalkanku di sungai , sampai akhirnya hanya aku sendiri. Segera aku menyelesaikan cucianku dan kembali ke desa.
..
..
Sekembalinya dari sungai , desa terlihat begitu sepi. Namun samar-samar terdengar suara ramai dari balai desa.
Aku segera menghampiri ke sana , dan apa yang aku lihat benar-benar bukan pemandangan yang biasa.
Seorang wanita , itu Laksmi. Ia tersungkur di tanah dengan tubuh penuh luka ,seolah dipukuli dengan sangat keras.
“ Iki anakmu mas… anakmu..!” Tangis Laksmi sambil memohon kepada lelaki yang telah memukulinya itu.
“Perempuan brengsek ! “ Ucap lelaki itu sambil mencoba mengantamkan tinjunya lagi ke Laksmi, namun segera ditahan oleh warga.
“ Ojo ngelek2i suamiku! Ra mungkin suamiku gelem mbek lonte macam kowe!” (Jangan menjelek jelekan suamiku ,
tidak mungkin suamiku mau dengan pelacur seperti kamu!) Ucap Istri dari pria tersebut, Aswangga sang juragan ternama di desa ini.
“Uwis , Pateni wae” (sudah, bunuh saja) Teriak salah seorang anak buah Aswangga memanaskan emosi warga.
“Jangan pak , bicarakan baik-baik dulu” ucap salah seorang warga
Sekali lagi pukulan yang keras menghantam laksmi , dan wanita itu hanya diam berlutut sambil melindungi janin di perutnya.
“ Sudah pak , Sudah… jangan sampai ada yang mati, kalau terpaksa.. usir saja dia dari desa ini” Ucap kepala desa yang merasa takut dengan pengaruh Aswangga dan anak buahnya yang terlihat bengis.
“Baik… Bawa dia! Usir dia dari desa ini!” Perintah Aswangga kepada anak buahnya.
Tiga orang bertubuh besar dengan kasar menarik tubuh Laksmi menyeretnya membawanya keluar dari desa. Tubuh laksmi yang lemah tidak mampu melawan, dan hanya tangis yang terlihat dari wajahnya.
…
…
Sudah beberapa minggu berlalu setelah diusirnya laksmi dari desa. Beberapa kabar tidak baik tersebar diantara warga desa tentang pengusiran Laksmi.
Anak buah Aswangga dikabarkan membawa Laksmi ke hutan terlarang di perbatasan desa, memperkosanya dan menghabisi nyawanya.
Tidak ada satupun warga yang berani menanyakan atau memastikan kebenaran kabar burung tersebut, semua berlalu seperti tidak ada yang terjadi.
Sampai sesuatu terjadi di malam bulan purnama..
Suara gamelan terdengar tanpa henti sepanjang malam ,
Warga mencoba mencari sumber dr suara musik gamelan tersebut. Namun suara itu berasal dari hutan desa.
Saat malam sudah mencapai puncaknya, terdengar suara teriakan dr rumah Aswangga, seorang bocah laki-laki mendobrak keluar rumah & menari kesetanan mengikuti alunan musik gamelan
Warga yang melihat mencoba membantu Aswangga menghentikan anaknya itu , namun tarianya semakin mengerikan. Bocah itu tertawa, memutar kepalanya ke belakang hingga mematahkan lehernya .
Aswangga mencoba menghentikan , namun tetap saja tidak mampu menahanya.
Dalam kondisi seperti itu, bocah itu teap bergerak menari dan berlari menuju hutan.
Warga ramai-ramai mengejar, suara gamelan terdengar semakin cepat, hingga sosok anak itu menghilang di tengah kegelapan hutan bersamaan dengan hilangnya suara gamelan yang berbunyi semalaman.
Pencarian tidak mungkin dilakukan di tengah malam, apalagi dengan penerangan yang seadanya. Akhirnya warga berjanji membantu Aswangga mencari anaknya di pagi hari.
..
..
Pagi menjelang , Warga bersiap dengan peralatan seadanya untuk membantu Aswangga mencari anaknya.
Namun sebelum masuk kedalam hutan, terlihat sesosok badan tergeletak di mulut hutan dengan tubuh yang mengenaskan. Kepala, tangan, dan kaki tidak menyatu dengan tubuhnya.
Itu adalah jasad bocah yang menari kemarin , anak dari Aswangga. #gendingalasmayit
Warga sangat panik, terlihat dengan jelas raut muka gelisah di wajah anak buat Aswangga.
Namun ternyata , Ini baru permulaan..
Setiap purnama, terdengar suara gamelan dari dalam hutan, dan satu persatu warga desa akan menari seperti kesetanan menuju hutan ,
dan dipastikan jasadnya akan muncul di mulut hutan pada pagi hari.
Kami menyebut kutukan ini dengan nama “ Gending Alas Mayit”
..
..
Kondisi desa semakin hari semakin mencekam, seolah menunggu kapan giliran menerima kutukan itu,
sampai akhirnya warga memutuskan untuk memanggil orang pintar dari desa lain.
“Pak.. setelah ini, desa kita akan aman kan?” tanyaku kepada bapak.
Bapak menghela nafas seolah menunjukan rasa kurang setuju.
“ Mbuh.. Bapak sih kurang setuju, tapi di satu sisi bapak juga takut”Jawabnya dengan setengah gelisah.
Semenjak kejadian pertama, Bapak selalu mengajak kami sekeluarga dan tetangga untuk rutin melakukan pengajian. Hal ini tidak cukup untuk menangkal kutukan ini,
namun bapak selalu bilang kalaupun kita tetap jadi korban setidaknya kita membawa bekal pahala dari hal baik ini.
Malam mulai datang , suara gending terkutuk itu mulai terdengar. warga mulai berkumpul di mulut hutan.
Terlihat seseorang kakek tua berpakaian Serba hitam sedang melakukan ritual di sana bersama seorang anak buahnya.
“ Bu.. kuwi to orang pintere? ” tanyaku pada Bu Retno yang juga berada di sana.
“Iya Sekar , Kok ketok e medeni yo?”
(iya sekar, kok kelihatanya menyeramkan ya?) jawabnya.
Orang pintar itu menyelesaikan ritualnya dan berdiri dengan perlahan.
“ Ketemu ! demit kuwi ono ning alas! “ (ketemu, setan itu ada di hutan) Ucap kakek tua itu
“ Ben tak seret mrene”
Dengan segera kakek tua berjalan ke dalam hutan dengan membawa sebuah keris di genggamanya.
Rasa tegang meliputi seluruh warga yang menunggu di mulut gua .
Cukup lama.. sampai akhirnya suara gamelan perlahan menghilang dari pendengaran kami.
“ Pak… ora kerungu meneh , Opo mbahe berhasil?” ( Pak , ga kedengeran lagi.. apa mbahnya berhasil?) Tanyaku pada bapak.
Bapak tidak menjawab , namun aku melihat Bapak sedang membacakan doa –doa seolah belum yakin semua akan aman.
..
Perlahan mulai terlihat kakek tua keluar dari dalam hutan, Ia berjalan dengan cara yang sangat aneh. Awalnya warga merasa sedikit lega, Namun semua itu berubah ketika suara gong muncul dari dalam hutan.
Suara itu gong berbunyi berkali kali dengan suara yang sangat keras seolah dipukul dengan amarah.
Kakek tua itu tersentak, berdiri dengan kaku memiringkan lehernya memutar tubuhnya hingga patah dan tak bernyawa.
Warga panik dan berteriak,
Namun kembali terdengar suara gending kutukan itu dengan suara yang keras dan cepat.
Satu persatu warga di mulut hutan itu mulai menari dengan aneh, mereka mengamuk menghampiri orang lain sambil menyakiti diri sendiri dengan mematahkan sendi-sendinya.
“ Sekar! Lari!” Bapak segera menarikku dan berlari menjauh dari sana.
Aku menoleh, sudah hampir setengah warga menari dan cukup banyak yg sudah tergeletak di tanah dengan tangan tetap menyeret di tanah. Sisa warga yang masih selamat berlari berhamburan mencoba menyelamatkan diri.
Kami berlari menuju rumah , namun suara gamelan itu masih terdengar.
“ Pak… panas pak “ tubuhku mula terasa panas seolah ada suatu hal yang memaksaku untuk menggerakan badanku diluar kemauanku.
“ Bu.. tolong bu! “ Ucap bapak memanggil ibu dari dalam rumah.
Ibu keluar dengan tergesa-gesa dan menghampiri kami.
Tanganku mulai berputar dengan gemulai , namun aku masih bisa menahanya.
“Pak.. tolong pak , Sekar takut” Ucapku pada bapak.
Bapak menyentuh kepalaku , membacakan doa, dan sekuat tenaga menahan badanku untuk tidak bergerak.
Rasa panas mulai menghilang perlahan, aku mulai bisa mengendalikan diriku. Namun dari jauh mulai terdengar suara teriakan warga menuju ke tempat ini.
“Bu.. Ambil semua yang sudah kita siapkan” Perintah Bapak kepada ibu.
“Bapak Yakin…? “ Ucap ibu dengan ragu.
“Yang kita takutkan sudah terjadi , ga ada pilihan lagi” Ucap bapak sambil memandang wajah ibu.
Ibu melihat jauh ke arah desa dan melihat warga yang tengah kesetanan mulai mencapai tempat ini. Ia mengerti dan segera masuk kedalam rumah.
“ Sekar.. kamu dengerin bapak.” Kali ini bapak memandangku dengan wajah serius.
“Setelah ini, kamu harus tinggalkan desa ini.. pergi sejauh mungkin, sampai suara gamelan ini tidak terdengar” Perintah bapak kepadaku.
“Tapi , bapak .. ibu..” tanyaku dengan ragu.
Ibu keluar dan membawakan sebuah tas yang isinya kebutuhanku yang telah disusun dengan rapi.
“Bapak dan Ibu akan tetap didesa , membantu sebisa mungkin…” ucap ibu.
Terlihat beberapa pria yang telah kehilangan kesadaran menari ke arah kami.
“Pergi sekar, pergi! Kamu harus selamat..” Ucap bapak yang segera membaca doa dan menghampiri pria-pria itu.
Rasa panas mulai memasuki tubuhku lagi , kutukan gending alas mayit ini sudah merasuki tubuhku.
“Sekar.. kamu harus pergi sekarang, Cari orang ini..
mungkin dia bisa membantu menyelamatkan desa ini” ucap ibu sambil memberikan sebuah foto.
Aku tak tahan lagi dengan rasa panas ini, aku memeluk ibu erat-erat dan segera berlari menjauh dari suara gending ini.
Gelapnya malam membuatku terjatuh beberapa kali ,
aku tak perduli.. yang penting aku harus menjauh dari suara ini.
Sudah semalaman aku berjalan menjauhi desa, matahari sudah mulai terbit. Suara Gending Alas mayit sudah tidak lagi terdengar , malam ini aku selamat dari kutukan itu.
Sebotol air yang sudah disiapkan oleh ibu di dalam tas hanya mampu sedikit menghilangkan rasa lelahku. Aku melihat foto yang diberikan oleh ibu, Terlihat seseorang pria yang sedang berpose atas puncak gunung.
Aku membalik foto tersebut , dan tetulis sebuah nama
-Dananjaya Sambara , Merapi - 6 Juni 2016
Agustus 2009…
Lulus dari universitas ternama di Jogja merupakan mimpi yang menjadi kenyataan, walaupun.. aku lulus hanya dengan nilai seadanya.
aku benar-benar semangat untuk memulai dunia baru , melupakan tugas-tugas semasa kuliah dan mulai bekerja.
Sebenarnya Pakde sudah mengajaku untuk membantunya bekerja di sebuah pabrik gula , Namun kupikir tidak ada salahnya sedikit refreshing sebelum mulai bekerja.
Namaku Dananjaya Sambara, Panggil saja aku Danan.
Hari ini aku berniat pergi mendaki sebuah gunung yang berdiri tegak di hadapanku saat ini… Merapi.
Rama dan Yanto , kedua temanku ini memang maniak mendaki.
Selama masa kuliah mereka sudah mendaki lebih dari 10 gunung di Indonesia , mulai dari yang terpendek seperti Gunung Andong hingga ke Puncak Mahameru.
Tapi khusus kali ini , kami memilih Merapi sebagai ucapan terima kasih karena indahnya pemandangan gunung ini selalu menemani
di masa-masa berjuang kami.
..
santai menikmati pemandangan di sekitar sini.
“Danan.. Kamu kan katanya bisa liat lelembut, ga takut naik gunung begini? Katanya di gunung banyak” Tanya Rama dengan nada iseng.
“ Halah Ram , Makhluk halus itu dimana-mana ada.. kalo udah biasa ya kayak ngeliat orang asing aja” Jawabku.
“Heh , udah mau maghrib.. jangan ngomongin yang nggak2” Ucap Yanto dari belakang.
Satu jam perjalanan mengantarkan kami ke pos satu , Selokopo Ngisor. Untung saja langit belum gelap sehingga kami bisa melihat pemandangan beberapa gunung dari sini.
Setelah sedikit mengambil nafas , minum kami melanjutkan perjalanan lagi
berharap sebelum tengah malam kami sudah bisa sampai di pasar bubrah dan bermalam di sana sebelum menuju puncak.
Tak terasa langit mulai gelap, kami mengenakan perlengkapan untuk menerangi jalan yang kami tempuh. Aku melihat sekeliling ,
nampaknya ada beberapa makhluk yang mengawasi kami.
“ Danan… diem aja, ga usah cerita kamu liat apa” Ucap Rama memperingatkanku.
Tak berapa lama hujan mulai menurun deras , jarak pandang menjadi sangat terbatas namun kami terus berjalan mengikuti jalur yang sudah terbentuk .
Semua berjalan biasa saja, hingga jalan yang kami lalui berujung ke jalan setapak di pinggir jurang.
“ Yanto , emang dulu ada jalur begini” Tanya Rama pada Yanto yang pernah mendaki merapi bersamanya.
“Ndak, aku ndak inget… Coba balik wis” Jawab Yanto
Kami berbali ke belakang ke mencoba kembali ke jalur semula , namun jalan yang kami lalui menghilang, yang ada hanya jalan yang berujung pada jurang.
“Kok bisa begini? Danan.. tadi kamu liat kan jalanya” Ucap rama padaku.
Aku mengangguk dan melihat sekeliling dan merasa curiga dengan apa yang terjadi.
“ Kita dikerjain..” Ucapku pada mereka.
Terlihat makhluk jadi-jadian berbentuk seperti kera , berukuran seperti manusa dengan badan yang kurus mengawasi kami dari belakang Rama.
aku membacakan beberapa doa dan mantra pelindung, berharap bisa menghilangkan kami bertiga dari pengaruh gaib ini.
Jalan yang kami lalui terlihat kembali , dan jalur yang kami lihat sebelumnya, berubah jurang yang dalam.
Namun sepertinya yang kulakukan memancing perhatian makhluk-makhluk lain. Sepanjang jalan yang kami lalui dipenuhi oleh makhluk halus penunggu gunung ini.
“ Lari Danan, kita balik ke bawah…” Teriak Rama.
Secepat mungkin kami berlari meninggalkan jurang itu , namun kondisi tanah yang terlalu licin mengaburkan pijakanku dan menjatuhkanku ke sebuah jurang yang dalam.
“ Danan! Danan!”Teriakan Rama terdengar dari jauh,namun suara itu sayup-sayup menghilang bersama dengan kesadaranku
…
“ Mas… bangun mas..”
Terdengar suara perempuan mencoba membangunkanku. Rasa sakit masih terasa dari kepala dan sekujur tubuh, namun aku tetap memaksa untuk membuka mata.
“i.. ini dimana?” Tanyaku pada perempuan yang mencoba membangunkanku.
“Udah tenang dulu , ini diminum… “
Ucap perempuan itu sambil menyerahkan segelas teh hangat.
Aku meminumnya sampai habis , terasa rasa haus yang amat sangat dari tenggorokanku.
“Masnya udah pingsan seharian, warga nemuin mas pingsan di hutan kemaren” Jelasnya
Aku menyentuh dahiku yang ditutupi perban , mulai teringat kejadian saat aku terjatuh ke dalam jurang.
“ Kalau udah bisa berdiri , itu ditunggu pak kades.. udah disiapin makanan di sana” ucapnya sambil menunjuk ke sebuah rumah.
Aku mencoba berdiri , mencuci muka dan mencari baju ganti dari ranselku. Sejujurnya, aku cemas dengan keadaan Rama dan Yanto . Mereka pasti mencariku selama pingsan.
..
..
“ Permisi … “ucapku memasuki sebuah rumah yang tadi ditunjukkan oleh perempuan yang membangunkanku.
“ eh..monggo, masnya udah sehat? Sini makan dulu“ Ucap seorang pria paruh baya menyambutku.
Aku menghampiri mereka, dengan ramah sepiring nasi disiapkan dan diberikan kepadaku.
“Udah kenalanya nanti dulu,makan dulu aja pasti laper kan?Lha wong pingsan seharian”ucap bapak itu.
“Njih.. maaf ya pak , ngapunten” Jawabku sambil mengambil lauk yang terlihat begitu menggoda.
“ Kulo nuwon… permisi“ suwara wanita terdengar dari depan pintu rumah.
“ Eh , Laksmi… sini ikut makan” Ucap sang pemilik rumah memanggilnya.
Ternyata Itu adalah perempuan yang tadi membangunkanku.
“Makan yang banyak mas… ” ucapnya sambil melempar senyum.
Aku mengangguk dengan sedikit malu , namun sepertinya rasa lapar lebih berkuasa terhadapku.
“ Saya kepala desa di sini, panggil aja pak Kades…
sampai masnya benar-benar pulih istirahat di sini dulu saja” Ucap pria itu dengan ramah.
“Matur nuwun pak , nama saya Danan, memangnya ini di mana ya pak?” tanyaku
“Ini desa Windualit … pasti belum pernah denger” jawab pak Kades.
“Iya pak , saya baru tau ada desa di dekat posko pendakian” Lanjutku.
Pak Kades mengerutkan dahi seolah merasa heran.
“ Posko apa maksud mas danan” tanya pak kades.
“Lha… saya terjatuh di jalur pendakian merapi… bukanya bapak nemuin saya di jalur pendakian?” Tanyaku pada mereka.
Laksmi dan pak kades saling memandang.
“Desa ini jauh dari posko pendakian manapun mas, apalagi sama kota..
kendaraan aja ga bisa masuk ke sini. Tadi kami nemuin masnya di hutan perbatasan desa..” Jelas Laksmi.
Aku merasa heran dengan apa yang mereka katakan , segera saja kuceritakan apa yang terjadi .
Mereka terlihat heran karena jarak dari posko ke desa ini berpuluh puluh kilo jauhnya.
“Ya sudah, mas danan tinggal di sini dulu saja sampai pulih.. kalau sudah sehat , nanti kami antar” Ucap pak kades.
…
..
Desa yang sungguh damai, terlihat warga –warga yang sangat ramah satu sama lain. Hawa yang sejuk dan pemandangan indah gunung merapi selalu setia menemani pagi setiap warga di desa ini. Hanya saja di sini masih serba tradisional penerangan menggunakan lampu minyak ,
dan bentuk rumah-rumah yang masih dari kayu merupakan pemandangan yang tidak biasa untuku.
“Pagi Mas Danan… “ Ucap Laksmi memecah lamunanku di pagi hari.
“ Pagi mbak laksmi…” Jawabku
Sepertinya senyuman manis laksmi akan tetap membekas selepas aku pergi dari sini nanti.
Sudah tiga hari aku tinggal di desa ini , di sebuah rumah singgah yang sepertinya diperuntukan untuk tamu yang mampir ke sini, rasanya aku mulai merasa cukup nyaman. Akupun mulai Akrab dengan warga di desa ini. Namun aku tidak mau membuat teman-temanku lebih khawatir lagi.
Setidaknya besok aku harus sudah pamit.
Seharian ini aku habiskan untuk berkeliling desa dan menyapa warga-warga di sini, namun ada sedikit yang mengganggu inderaku, yaitu sebuah hutan yang terletak di sudut perbatasan desa.
..
..
Hari mulai malam , desa sudah mulai sepi oleh warga. Aku tetap menikmati suasana ini dari teras rumah sampai akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat.
Belum sempat tertidur, suara ketukan berkali-kali di pintu rumah pak kades.
Aku keluar mencari tahu apa yang terjadi . Terlihat perbincangan singkat antara warga dan pak kades.
“ya udah, coba panggil Pak Sardi juga… “ Nanti saya menyusul
Aku keluar menghampiri Pak Kades penasaran dengan apa yang terjadi.
“ Pak , ada apa to pak ?” tanyaku pada pak kades.
“Katanya ada anak kecil hilang, seperti ditarik sesuatu ke dalam hutan” Ucapnya
“Mas Danan, saya ke sana dulu ya… istirahat aja” Lanjutnya.
“ Nggak pak, saya ikut…” Bantahku
Kami sedikit berlari menuju mulut hutan, tempat warga berkumpul. Terlihat warga sudah siap di sana dengan kentongan dan obor.
Aku menerobos kerumunan dan melihat ke dalam hutan. Belum sampai masuk ke dalam ,
terlihat dari mataku dua makhluk halus penjaga dengan kaki sepanjang hampir manusia dewasa menunggu di tengah gelapnya hutan itu. Warga desa ,sepertinya tidak sadar dengan keberadaan makhluk itu.
“Kita bagi , sebagian masuk ke hutan dan sisanya berjaga di desa” ucap pak kades kepada warga.
Aku berfikir , sangat berbahaya apabila warga masuk ke hutan. Bisa jadi anak yang di culik tadi hanya umpan untuk mencari tumbal lainya.
“P..Pak… jangan dulu bahaya” Ucapku pada pak kades.
“Kapa mas danan, keburu anak itu kenapa-kenapa ?” ucap pak kades
“Jangan pak bahaya, bisa-bisa warga lain juga jadi korban..” Jelasku
Pak Kades tetap bersikukuh untuk masuk , namun aku tetap menghalanginya.
“Kalau begitu kita harus bagaimana mas danan?” tanyanya dengan menahan emosi.
Aku menoleh kearah hutan , mencoba mengamati apa saja yang ada di sana.
“ Biar saya yang mencari ke dalam…” jawabku.
“Gak.. gak mungkin kita biarkan mas danan sendirian ke sana “
tentang pak kades yang terlihat tidak setuju.
“ Gak sendiran, saya akan ikut ke dalam” Terdengar suara dari seorang pria paruh baya yang baru datang.
“Pak Sardi… benar mau masuk ke sana ?” Tanya pak kades.
Ternyata beliau adalah Pak Sardi ,
seseorang yang diminta tolong dipanggilkan oleh pak kades .
“ Jangan pak, berbahaya… kalau memaksa masuk lebih baik pagi hari , biar saya mencari tahu dulu kondisi di dalam” Ucapku pada orang itu.
Pak sardi tidak menghiraukan ucapanku ,
berjalan maju ke mulut hutan dan membacakan doa-doa yang cukup panjang.
Terlihat kedua makhluk penjaga di mulut hutan itu geram dan menghampiri Pak Sardi , namun sebelum sempat mendekat kedua makhluk itu terbakar habis.
“ Mas , jadi ikut ke dalam?” Ucap pak sardi dengan menoleh ke arahku.
Aku yang terkesima dengan apa yang Pak sardi lakukan segera meminta obor dari warga dan berjalan masuk ke dalam hutan.
..
Gelap , sangat gelap. Bila tanpa obor di tanganku mungkin rasanya seperti menutup mata.
“Pak , kok bisa segelap ini ya.. harusnya masih ada cahaya bulan” Tanyaku pada pak Sardi.
“Entah mas.. berhati-hati saja” ucap pak sardi.
Belum sempat menjawab perkataan pak sardi , kami terhenti oleh sebuah pemakaman tua yang tersusun berbukit-bukit dengan nisan yang hampir tak berbentuk.
Yang membuat semakin mengerikan,
seorang kakek tua bungkuk dengan rambut putih panjang terlihat bergerak merangkak di antara makam, memakan sisa-sisa jasad yang tidak sudah tidak berbentuk.
Pak Sardi mencoba mendekat, namun makhluk itu menghampiri dan bersiap memberi perlawanan.
“Lungo! Kowe ra ndue urusan karo aku “ (Pergi , urusanmu bukan sama aku) Ucap makhluk itu.
“Sing mbok cari ono ning kono, nek kowe wani…” (yang kamu cari ada di sana , kalau kamu berani)
Kami mengerti , sepertinya memang bukan makhluk ini yang kami cari. Tapi dia menunjuk ke sebuah sendang tak jauh dari tempat dia berada.
Makam demi makam kami lewati , sebuah gong gamelan tua besar mulai terlihat berdiri diantara sendang yang mengalirkan air berwarna hitam.
“Hati-hati mas Danan, makhluk itu masih terus memperhatikan kamu” ucap pak sardi.
Benar , walaupun tidak mengikuti , makhluk itu terus memperhatikan ke arahku .
“itu.. itu pak sardi! Ada anak kecil di sana” Ucapku ke pada pak sardi.
Terlihat seorang anak balita tanpa pakaian tergeletak di tengah-tengah sendang. Terlihat air berwarna hitam mengalir melewati tubuh anak kecil itu.
Aku segera melepas jaketku dan segera menghampiri bocah itu.
Namun sebelum sampai ke sana terlihat menyerupai wanita raksasa berjalan bungkuk dengan tanganya dengan payudara yang menggelambir menahan bocah yang tidak sadarkan diri itu.
“ Hati-hati.. sepertinya makhluk itu yang berniat jahat” Ucap pak Sardi padaku
Belum sempat menjaga jarak tangan besar makhluk itu meraih wajahkudan menariku.
Pak sardi segera bergegas membacakan doa dan mengayunkan tanganya , terlihat cahaya putih menyelimuti kepalanya berhasil melepaskan cengkeraman makhuk itu.
Setan itu berlari ke belakang dengan menyeret bocah kecil di tanganya. Kami mengikutinya namun terdengar suara gong dipukul berkali-kali seolah memberikan isyarat.
Kami berhent di tak jauh dari sendang,
dan mulai terlihat pemandangan yang sangat mengerikan di sekeliling tempat ini.
Semua makhluk halus penunggu hutan memperhatikan kami dari balik pohon seolah mengikuti tanda dari suara gong tadi. Pocong dengan badan yang tidak utuh,
perempuan tua begantungan dengan tangan tanpa kaki ditubuhnya.
Sepertinya mereka korban-korban pembantaian di jaman dulu. Mungkin saja jasad dan keberadaan mereka yang membuat air di sendang tadi menjadi hitam pekat.
Aku gentar, begitu juga dengan Pak Sardi. Dendam makhluk-makhluk itu terlalu kuat .
“ini yang aku takutkan pak , anak itu hanya pancingan agar banyak warga masuk ke sini menjadi tumbal mereka” ucapku dengan gemetar.
“ Kalau kita bertarung sekarang, kita pasti mati” ucap pak sardi.
Benar kata pak sardi , tidak mungkin kita melawan mereka semua.
Satu persatu makhluk itu mendekat bersiap menghabisi kami. Pak Sardi membacakan mantra pembakar ,
menyerang satu persatu demit di sana, tapi itu tak cukup.
Aku membacakan ajian pelindung dan berlari menerjang bocah kecil yang di bawa setan wanita itu.
Tangkapanku berhasil , segera kuangkat anak itu dan berlari secepat mungkin.
Namun tidak lama , pukulan besar menghantamku dari belakang.
Aku terjatuh , Pak sardi menghampiriku dan mencoba melindungi dengan doa-doa yang dia baca. Namun ilmu pak sardipun tak cukup kuat, Tangan tangan makhluk buas mulai merobek tubuh kami.
Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku , terlihat setan wanita mengambil batu besar bersiap menghantamkan ke arahku.
Sakit.. sangat sakit , Aku menutup mata, seolah pasrah dengan apa yang terjadi. Ku pikir inilah akhirnya , tapi tiba-tiba mendadak semua serangan itu terhenti.
Pak sardi dengan tubuh yang penuh luka mencoba berdiri dan melihat apa yang sedang terjadi.
Kakek tua bungkuk berambut putih di pemakaman tadi menghampiri kami. Demit-demit yang menyerang kami mundur perlahan seolah ketakutan.
“ Bocah asu , Sopo jenengmu!” (Bocah anjing! Siapa namamu) Tanya kakek tua itu padaku.
“Danan.. Dananjaya Sambara “ jawabku dengan lemah.
“ Sambara… wong wong goblog sing ora sayang karo uripe” (Sambara.. orang orang bodoh, yang tidak sayang dengan hidupnya.
Aku tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan.
“Mulih! demit-demit iki ben dadi urusanku” (Pulang! Setan-setan ini biar menjadi urusanku!) Perintahnya kepadaku.
“Ta.. tapi, mbah iki sopo?” (tapi , mbah ini siapa?) tanyaku penasaran.
“Ora usah kakean cangkem , jogo wae keris Ragasukma sing mbok pegang” (Tidak usah banya bicara , jaga saja keris raga sukma yang kamu pegang) Ucap Kakek tua itu.
Pak Sardi terheran dengan apa yang terjadi , namun ia segera membantuku berdiri dan meninggalkan hutan ini.
“Keris Ragasukma? Bagaimana kakek itu tahu tentang keris yang tersimpan di sukmaku.”
Sekilas aku menolah, terlihat kakek tua itu tertawa seperti orang gila melompat dari pohon-ke pohon membasmi setan-setan itu dengan brutal.
Matahari mulai terlihat , hanya sebagian warga desa yang masih menunggu di mulut hutan. Warga terlihat lega setelah mengetahui kami dan anak yang diculik selamat dari hutan.
Tidak banyak yang kami ceritakan ke warga tentang apa yang terjadi di dalam hutan.
“ Bapak .. Bapak gapapa? “ Tanya seorang anak wanita yang berlari menghampiri pak sardi.
“Gapapa Sekar , Cuma luka sedikit “ Jawabnya dengan melemparkan senyum pada anaknya itu, walaupun aku tahu luka pak Sardi juga cukup serius.
Aku memutuskan untuk istirahat semalam lagi dan pulang besoknya.
…
Barang dan perlengkapanku sudah siap, terlihat beberapa warga sudah siap mengantarku ke kota.
“ Pak Sardi, Pak Kades.. saya ijin pamit dulu ya.Maaf sudah merepotkan “ Ucapku berpamitan.
“Mas Danan , Terima kasih sudah membantu warga di sini.. sering-sering mampir ya” Ucap pak kades.
“Iya pak , semoga saya bisa mampir ke sini lagi… toh saya masih ingin mendaki ke puncak merapi” Balasku
Ingatanku kembali teringat akan hutan dan sendang dengan air yang begitu hitam . Cepat atau lambat tempat itu pasti akan menjadi bencana untuk desa atau bahkan lebih besar lagi.
Aku berpamitan dan meninggalkan desa terpencil di lereng kaki gunung merapi yang menyimpan banyak misteri ini…
desa windualit…
Gending alas mayit
Part 3 : Ikatan masa lalu
(mohon maaf part ini agak menyinggung tentang cerita imah leuweung, di bio ad link threadnya sambil saya rapikan utk d share di twitter) lebih lengkap ada di podcast @bagihorror juga
Sayup-sayup terdengar suara gamelan terdengar di antara hutan di sekitar pabrik gula , terlihat seorang wanita muda menari dengan gemulai di tengah-tengah cahaya bulan purnama..
Tapi… darimana asal suara gamelan itu?
Tidak ada satupun tanda-tanda pemain maupun alat musik gamelan di sekitar sini?
Yang anehnya lagi , mereka.. makhluk halus para penunggu pabrik yang sudah lama tidak menampakan diri, kini berkumpul di sekitar wanita itu ..
Aneh.. tidak, lebih tepatnya mengerikan!
Tarian wanita itu semakin menggila.. ia memaksa memutar sendi-sendi tubuhnya ke arah yang tidak wajar..
Aku berlari mendekati wanita itu mencoba menahan gerakanya , namun tenaganya terlalu besar..
Sesuatu sedang merasuki tubuh wanita ini..
Sebuah doa dan ayat-ayat suci kubacakan untuk menenangkan wanita itu..
Cukup lama.. hingga akhirnya wanita itu terbaring lemas dan tak berdaya.
….
…
Kota jogja , sebuah kota yang pasti akan sulit dilupakan oleh siapapun yang berkunjung ke tempat ini.
Rasa nyaman kota ini takkan pudar walaupun hanya dinikmati dengan berjalan-jalan dengan vespa tua ini.
Terlihat sebuah kereta telah berhenti di stasiun , aku memarkirkan motor dan menunggu seseorang keluar mengenali vespa tua ini.
“ Cahyo!” teriak seseorang seumuranku yang baru saja keluar dari stasiun.
“Ojek mas…? “ Jawabku dengan sedikit meledek.
“iya , ojek mas… ke pemakaman ya” balasnya
“asem.. mbok pikir aku demit” jawabku sambil menepuk helm yang sedang dipakainya.
Danan adalah teman seperjuanganku saat bekerja di pabrik gula walaupun sekarang ia memilih berhenti dan mencoba peruntungan untuk melamar di perusahaan swasta di jogja.
“Cahyo… perempuan yang kamu ceritain itu masih di rumah Paklek?” Tanya Danan kepadaku.
Aku memang sudah menceritakan mengenai seorang perempuan aneh yang di temukan di hutan belakang pabrik gula.
“ Masih , makanya kamu temuin dulu… tanggung jawab kamu!” Jawabku meledek
“ ngeledek aja kamu… “ balasnya
“lha piye.. ditemukan seorang perempuan yang ga inget apa-apa , petunjuknya cuma di tasnya ada fotomu…” Jelasku
“ yowis… tar kita temuin dulu aja, cepetan gas..” jawab danan dengan raut muka yang penasaran.
Vespa tua kulaju dengan santai menuju ke rumah paklek di klaten ,
topik-topik ringan tak berhenti bermunculan saat perjalanan. Wajar saja, selama kejadian di imah leuweung kita hanya membahas masalah-masalah yang serius. Perjalanan yang harusnya cukup lama jadi terasa cukup singkat , tanpa terasa kami sudah sampai di rumah paklek.
..
“Kulo nuwun… “ Aku mengetuk pintu rumah paklek yang tak jauh dari rumahku.
Seorang pria berambut putih terlihat buru-buru keluar membukakan pintu.
“ Eh Danan.. udah sampe, yuk masuk dulu “ Sambut pria itu.
“Danan doang Paklek? Aku ra diajak masuk” Tanyaku setengah merajuk.
“Eh.. ono kowe to panjul , omahmu kan ning kono…” Ucap pakde menunjuk ke rumahku sambil meledek.
“Ya.. mbok diajak masuk dulu gitu, toh bulek udah masak bandeng kan? Ambune tekan kene lho..” Jawabku merayu pakle
“Giliran makanan cepet banget kamu.. yowis ayo masuk “
Lanjut paklek sambil membukakakan pintu.
Danan yang melihat tingkah laku paklek kepadaku hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng.
Aku membantu danan memberes-bereskan barang bawaan sembari bulek menyiapkan makan malam untuk kami.
Paklek Bimo adalah adik dari ayah Danan , dulu dia sengaja meminta tolong danan untuk bekerja di pabrik gula dekat sini setelah lulus kuliah. Alasanya sudah jelas, selain membantu menjadi buruh di sana ,
kami juga membantu untuk memindahkan roh-roh halus penunggu pabrik itu agar tidak mengganggu pekerja di sana.
“ Danan , cahyo.. sini , ayo makan!” Suara Bulek memanggil dari pawon rumah.
“Nggih bulek..” Danan menjawab dengan sopan.
Kami segera keluar kamar dan bergegas menuju meja makan, terlihat disana bulek sedang mempersiapkan makanan dibantu dengan seorang wanita yang tidak kukenal .
“itu perempuan yang kamu ceritain? “ bisik danan kepadaku.
“ Gak usah pura-pura kamu, ngaku aja.. udah kamu apain dia?”
balasku dengan suara yang keras hingga terdengar oleh Paklek dan Bulek.
Sontak danan memukul kepalaku , tentunya dengan muka yang sedikit memerah.
“Udah-udah , ayo makan dulu “ ucap paklek memotong pembicaraan kami.
Masakan bulek selalu ngangenin , walaupun tidak ada danan,
kadang aku masih sering numpang makan di sini . Sambel buatan bulek memang paling enak se tanah jawa.
“ Mbak… kenal sama mas mas ganteng ini?” ucapku kepada wanita di samping bulek.
Wanita itu menoleh pada danan menggelengkan kepala .
“ Tuh kan, makanya jangan nuduh macem-macem” ucap danan.
“lha itu.. dia bawa – bawa fotomu , coba mbak.. tunjukin ke danan” Ucap cahyo
Wanita itu meninggalkan bangkunya, berlari ke kamar dan menunjukan sebuah foto yang berisi gambar danan sedang berpose di puncak merapi,
dibaliknya tertulis dananjaya sambara , merapi 6 juni 2016.
“ tuh kan! Itu foto kamu kan? Mau alasan apalagi kamu?” Ucapku setengah meledek pada danan. Namun danan tidak merespon, ia mengambil foto itu dan melihatnya dengan tatapan serius.
“ i.. ini , foto ini.. aku ingat ,
aku mengirimkan foto ini ke seseorang di desa terpencil di lereng merapi” ucap danan
“ Pak Sardi! Iya.. aku mengirimkan foto ini saat berhasil mendaki ke puncak merapi , setelah sebelumnya aku tersesat di desa.. windualit…”
Danan terlihat serius, ia menoleh ke arah wanita itu seolah berhasil mengingat sesuatu.
“Sekar… jangan-jangan kamu dek sekar?” tanya danan kepada wanita itu.
Wanita itu hanya menunduk, seolah tidak mampu mengingat apapun tentang dirinya.
“ku.. kulo boten inget mas…” jawabnya
“Pak sardi, desa Windualit… apa yang terjadi di sana? “ tanya danan dengan suara yang semakin keras.
Sekar terlihat ketakutan seolah tidak mampu menjawab pertanyaan danan. Bulek memeluk pundak sekar ,
berusaha menenangkan sekar yang berusaha keras mengingat sebisanya.
“ Udah , selesaikan dulu makanya… habis ini kita kumpul di pendopo” ucap paklek dengan tegas.
Suasana setelahnya menjadi semakin serius, terlihat dari mata danan seolah sedang mengingat sesuatu.
…
…
Pendopo pakde terletak di halaman belakang rumah yang bersebelahan langsung dengan hutan , tempat yang nyaman untuk menikmati suasana malam.
Kami berkumpul dan duduk dengan seadanya, terlihat beberapa benda-benda antik terpajang di dinding pendopo
“Nah danan… coba ceritakan apa yang kamu tau “ tanya paklek kepada danan.
“ Nggih Paklek, dulu sewaktu saya lulus kuliah saya sempat tersesat ke desa windualit di kaki gunung merapi…”
Ucap danan memulai ceritanya tentang sebuah desa terpencil yang di luarnya terdapat sebuah hutan misterius bernama Alas mayit.
Danan menceritakan kisahnya saat mencoba membantu warga desa mencari seorang anak yang diculik makhluk halus ke dalam hutan
dengan bantuan Pak Sardi yang kemungkinan adalah ayah Sekar.
“Yowis..Besok kita kesana aja, kita anter sekar sekaligus kita cari tau ada masalah apa di sana” Ucapku kepada danan.
“Jangan buru-buru, kamu ingat bagaimana kamu menemukan sekar.. salah-salah kita bisa bernasib sama”
Ucap pakde memperingatkanku.
“ Sekar, kamu benar tidak ingat sama sekali soal desamu?” Tanya pakde pada sekar.
Wanita itu hanya menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“nah kan.. kalu begini bagaimana kita bisa dapat petunjuk” Tanyaku pada paklek.
Paklek masih berusaha berfikir untuk menemukan sesuatu yang bias dijadikan petunjuk.
..
“Sebenarnya ada satu cara… tapi sepertinya cukup berbahaya” ucap danan.
Kami menoleh dan mulai memperhatikan danan.
“ Cahyo , kamu inget eyang widarpa? “ tanya danan kepadaku.
“Maksudmu , demit kakek tua gila yang membantu kita melawan Brakaraswana?” Jawabku memastikan kepada Danan.
“Iya… aku baru ingat, di desa itu aku pertama kali bertemu dengan eyang widarpa , mungkin dia tau sesuatu” Lanjut danan.
Paklek mengernyitkan dahi ,terlihat ia tidak mengerti dengan apa yang kami bicarakan.
“ Waduh… repot juga ya , nek mbok panggil terus dianya ngamuk bisa hancur satu desa” Ucapku pada danan.
Paklek seolah mengerti sesuati, ia masuk ke sebuah ruangan dan kembali keluar dengan membawa sebuah keris. Ia segera mengikat keris itu di pinggang seolah bersiap untuk sesuatu.
“opo kakek tua yang kamu maksud ada hubungan dengan keris ragasukma?” Tanya paklek.
“Iya paklek… kok paklek tau?” Tanya danan.
“wis .. panggil wae, itu ditengah kebun.. ojo nong kene” ucap paklek.
Aku dan Danan saling berpandangan seolah masih ragu.
“Sekar… sini sekar, jangan jauh-jauh dari mas cahyo “ Ucapku sekedar menggoda sekar.
Tak menunggu lama , sebuah sandal jepit dilemparkan oleh paklek ke arahku.
“Dasar Panjul.. jangan cari-cari kesempatan kamu!” bentak pakde kepadaku.
Aku menringis kesakitan, terlihat tawa kecil yang manis terpancar dari mulut sekar.
Jagad lelembut boten nduwe wujud
Kulo nimbali
Surga loka surga khayangan
Ketuh mulih sampun nampani
Tekan Asa Tekan Sedanten…
Sebuah mantra terdengar dari mulut danan yang sedang berdiri di tengah kebun , terlihat sebuah keris telah tergenggam di tanganya.
Rintik-rintik hujan mulai turun , terlihat sosok mengerikan muncul dari kegelapan hutan di belakang kebun Paklek.
Kakek tua dengan ramput putih panjang berjalan dengan bungkuk menuju danan.
“ Bocah Asu ra tau sopan santun ..! wis bosen urip? ”
ucap kakek itu sambil mendekat dan mencengkram kepala danan.
Aku bersiap melepas sarung dari pundaku dan menerjang Kakek tua itu, namun kakek itu terlalu cepat iya melompat keatas pendopo dengan membawa tubuh danan seperti boneka.
Merespon perbuatan kakek tua itu , Paklek segera berlari
“ Eyang.. enek sing arep ketemu “ paklek mendekat dengan menggenggam keris yang tadi ia pegang.
“Sopo? Sopo kowe? “ ucap makhluk itu.
“Kulo Bimo sambara.. Sing arep ketemu ki , Nyai Suratmi..”
Ucap Paklek sambil menunjukan keris itu kepada kakek tua itu.
Terlihat kakek tua itu memperhatikan keris yang dibawa Paklek , raut wajahnya berubah menjadi panik.
Iya menjatuhkan danan, dan aku segera menangkapnya.
“ Ojo , ojo kowe celuk demit wedok kuwi...!” Kakek tua itu melompat menjauh dan mencoba bersembunyi.
Danan kembali berdiri dan menghampiri paklek.
“ Nyai suratmi ki sopo to paklek?” tanyaku pada Paklek
Paklek tak menjawab , ia hanya tersenyum seolah menahan tawa.
“ rene sik mbak , Cucu buyutmu ki mung arep takon” (kesini dulu mbah, cucu buyutmu ini Cuma mau bertanya) ucap paklek.
Eyang Widarpa mendekat, tapi kali ini ia mendekat dengan sedikit ragu. Danan mendekat dan memanggil sekar.
“Eyang… iki sekar, seko desa windualit … apa eyang tau enek masalah opo ning kono?” (eyang , ini sekar dari desa windualit, apa eyang tau ada masalah apa di sana?) tanya danan pada eyang widarpa.
Terlihat eyang widarpa memperhatikan sekar ,
namun tatapan sekar berubah menjadi mengerikan. Hujan menjadi semakin deras… sayup-sayup terdengar suara gamelan yang tidak diketahui dari mana sumber suaranya
Merasa ada yang aneh , Eyang Widarpa segera membelakangiku dan Paklek
“heh.. Bocah asu , Bimo .. ndelik ning mburiku!” Ucap eyang widarpa kepada kami seolah memberi tahu akan adanya bahaya.
“Aku ora mbah? “ Ucapku.
“Ora usah , kowe sing nyeluk aku demit kakek tua gila kan?” ucap kakek itu padaku.
Aku menepuk dahiku , rupanya eyang widarpa mendengar perbincanganku dengan danan tadi.
Mata sekar terlihat semakin terbelalak, ia mundur menjauh mendekat kehutan & membentuk sebuah tarian. Suara gamelan terdengar semakin cepat, lebih cepat dari saat pertama aku menemukan sekar.
Aku berlari menerjangnya , namun tenaga yang kuat muncul dari tubuh sekar mendorongku menjauh.
“ … Kowe ora isa nolong bocah iki meneh…” (kamu tidak bias menolong bocah ini lagi) Ucap sekar dengan suara yang menyeramkan
Di tengah hujan deras, Sekar menari kesetanan mengikuti irama gamelan.
Suara gong menggema begitu keras serentak dengan pinggang sekar yang hampir patah karna memaksa memutar tubuhnya.
“ To.. tolong” terdengar suara sekar kembali seperti biasa namun terlihat tangis kesakitan dari matanya.
Sekali lagi suara gamelan terdengar semakin cepat, kami tahu akhir ini akan diakhiri dengan gong yang akan melukai sekar.
“ E.. eyang” ucap danan kepada kakek tua itu.
Eyang melompat ke arah sekar , menabraknya , mencengkram kepalanya dan menariknya seolah bersiap memutuskanya.
“ Tu.. tunggu jangan sakiti sekar” ucapku pada kakek tua itu.
Namun ternyata salah , Eyang menarik sesosok makhluk hitam berpakaian sinden dari tubuh sekar.
Tanpa menunggu , kakek tua itu meremas kepala setan itu , memakan tubuhnya hingga tidak berdaya.
“Gending alas mayit…” Ucap Eyang widarpa.
“ Apa itu mbah? “ tanya danan
“ Tanya sama bocah itu , sudah tidak ada yang mengahalangi ingatanya” ucap kakek itu.
Paklek membacakan doa pada sebuah air dan meminumkanya pada sekar, aku tahu itu adalah mantra penyembuh. Paklek paling ahli soal penyembuhan. Terlihat wajah sekar kembali pulih, tapi entah dengan luka-lukanya saat menari tadi.
“ Pak… Sekar inget pak “ ucap sekar saat tersadar. Ia segera menoleh ke arah danan.
“ Mas… Desa mas, desa kena kutukan.. tiap malam purnama satu persatu warga desa menari masuk hutan, dan paginya ditemukan tewas dengan tubuh yang tidak utuh”
ucap sekar dengan histeris kepada danan.
“ Bapak? Pak sardi? Bagaimana keadaanya?” Tanya danan.
“Bapak tinggal di desa membantu warga yang kesurupan , Sekar disuruh lari keluar desa untuk mencari mas danan.. katanya mungkin mas danan bisa bantu” jawab sekar.
Terlihat danan mencoba mengingat sesuatu.
“ Alas mayit… di sana ada sendang banyu ireng dan tempat asal eyang widarpa… mungkin eyang widarpa bisa membantu” ucap danan
Seolah mengerti maksud danan Eyang widarpa berbicara “ Ora ,
Gending alas mayit kuwi kutukan amergo duso.. aku ora iso nulungi opo-opo”
(Tidak , gending alas mayit itu kutukan karena perbuatan dosa, aku tidak bisa menolong apa apa)
Kami menjadi semakin bingung, sekar terliihat sedih dan menangis.
“Mbah.. mosok ora ono tenan jalan keluar untuk mengakhiri kutukan itu?” tanyaku mendekat.
Kakek tua itu menoleh ke arahku dengan muka yang masih kesal.
“Tabuh waturingin .. biyen kuwi sing ngilangi kutukan gending alas mayit, ojo takok ning endi”
ucap eyang widarpa menjauh dan bersiap pergi meninggalkan kami.
Hujan semakin mereda, sosok eyang widarpa mulai perlahan menghilang.
“Eyang..!” Paklek berlari mengejar eyang.
“ Nyai suratmi … wis tenang, wis ora ning alam kene.. Ngapunter yo mbah”
Teriak Paklek kepada Eyang Widarpa yang sudah hampir menghilang.
“Uasuu.. pancen asu , Ngapusi aku to kowe ! awas kowe” Umpat Eyang widarpa sebelum menghilang.
Paklek tertawa dan mendekati danan “ Udah simpen kerismu , tar Paklek bisa dijewer sama eyang widarpa”
“Paklek , emang nyai suratmi ki si sopo to?” tanyaku penasaran.
“Udah ga usah tau, itu kisah cinta kakek-kakek.. eyang widarpa itu orang baik, tapi entah kenapa wujudnya menjadi demit seperti itu.”Ucap paklek.
“Iya paklek, kalo ga ada dia dulu aku pasti udah mati” ucap Danan.
Sekar mendekat , air mata masih mengalir dari matanya.
“ mas… gimana mas, tolongin desa sekar mas”
“Iya danan, kita harus bantuin sekar… kamu ada petunjuk mengenai tabuh waturingin itu?” Tanyaku.
“Nggak , tenan.. blas aku ra ngerti benda apa itu” jawab danan.
Hampir tak ada petunjuk mengenai benda itu , namun apabila kami nekad menuju desa windualit sudah pasti kutukan itu akan mengenai kami juga. Bahkan mahkluk sehebat dan sesombong eyang widarpapun angkat tangan.
“Sudah.. kita istirahat dulu, paklek coba meditasi siapa tau nanti dapet petunjuk” ucap paklek.
Paklek masuk lagi ke rumah dan meninggalkan kami di pendopo.
“Sebenernya aku tau seseorang yang bisa mencari indormasi mengenai Tabuh Waturingin ,
dia bisa mengumpulkan informasi dari seluruh negeri” Ucapku pada Danan.
“Nah itu… coba cahyo, tolong bantu kalau perlu kita samperin orangnya” Ucap danan.
“Coba aku cari nomor Hpnya, dulu nomornya ditulis di radio lamaku.. sempet telpon-telponan beberapa kali... coba besok tak telpon” Jawabku.
Kami kembali ke dalam rumah , Danan terlihat sangat kelelahan..
wajar saja , dia baru datang dari luar kota dan sudah berurusan dengan hal seperti ini.
“ O.. iya sekar, aku baru inget.. gimana kabar laksmi? Kok aku kangen ya sama dia..” Tanya danan
..
..
“ Kalian tau musik gamelan? Sebuah musik dengan alunan nada yang mampu membuat pendengarnya merasa nyaman.. Namun bagaimana kalau ada musik gamelan yang membawa kutukan?
Cerita ini adalah kiriman dari teman lama saya yang bernama cahyo..
Desa windualit , sebuah desa di pedalaman kaki gunung merapi yang menyimpan banyak misteri..
Sekilas desa ini hanya terlihat seperti desa biasa seperti desa pada umumnya ,
namun siapa sangka.. saat ini terdapat kutukan yang menyerang desa itu
Ketika malam purnama tiba seluruh warga sudah mengurung diri dirumah masing-masing , membaca doa dan menutup telinga berharap saat itu bukan giliran mereka.
Setelah matahari terbenam sayup-sayup terdengar suara gamelan dari dalam hutan yang disebut Alas mayit…
Satu dari antara warga desa akan menari kesetanan tanpa henti , memaksa tubuhnya untuk memutar seluruh sendi-sendi tubuhnya hingga patah dan berlari menuju hutan.
Keesokan harinya jasad orang itu akan muncul di mulut hutan dalam kondisi yang tidak utuh.
Seluruh daya upaya sudah dilakukan, namun setiap tindakan malah menimbulkan korban yang semakin banyak..
Kutukan ini bernama…
Gending Alas Mayit…
..
Gila.. ini cerita kiriman dari cahyo , sangat mengerikan kalau mengetahui kisah ini benar-benar terjadi.
Buat para pendengar , saat ini Cahyo , Paklek dan teman-temanya sedang membantu untuk menghentikan kutukan gending alas mayit ini.
Yang saya kenal , mereka adalah orang-orang hebat dan selalu membantu siapa saja yang membutuhkan… termasuk saya yang sempat ditolong oleh mereka.
Apabila mereka sampai membutuhkan bantuan, tandanya ini dalah sesuatu yang gawat..
jadi apabila ada yang mengetahui petunjuk mengenai Gending Alas Mayit silahkan hubungi saya di hotline telpon atau di media sosial..
Oh iya, satu lagi yang penting .. mereka mencari petunjuk mengenai Tabuh Waturingin ..
Untuk malam ini sekian dari saya ,
radio tengah malam undur diri… “
“ Oke.. close!” Ucap dika dari luar ruangan.
Aku membuka headsetku , menarik nafas sebentar dan segera keluar ruangan.
“Gua bikin kopi dulu ya dik , kalo ada telpon masuk tolong terima dulu…” ucapku.
“beres .. nyantai dulu sana” jawab dika.
Aku pergi ke dapur , mengambil gelas dan menyeduh kopi hangat . Sekilas kejadian di pabrik gula terlintas kembali di pikiranku. Seandainya tidak ada Cahyo dan Paklek , entah bagaimana nasib kami saat ini.
Sebuah aroma kopi sangat mampu menghilangkan lelahku seharian ini.
Mungkin sudah belasan tahun semenjak aku bertemu mereka , saat itu cahyo hanya bocah smp yang masih sering bermain dengan monyetnya. Aku penasaran, seperti apa dia sekarang?
“ Gimana dik , ada yang nelpon?” Tanyaku sambil menghampiri dika.
“ada, tapi rata-rata gak serius.. nawarin jasa lah , minta alamat desa lah..” Jawab dika.
“ya sudah , kita juga udah tau bakal begini.. yang penting usaha dulu aja” Lanjutku.
Suara langkah kaki terburu-buru terdengar menuju tempat ini yang berujung pada pintu ruangan yang dibuka dengan buru-buru.
“Ardian.. woi!” Teriak seseorang … tidak.. ada dua orang lagi menyusul lagi dari belakang.
Itu Didi , Ranto, dan Nizar!
“Eh.. kalian, ngapain kalian ke sini? Buru-buru lagi… dikejar debt collector lu?” Tanyaku
“nggak lah… gua denger siaran lu tadi, itu bener cerita dari Cahyo ? gua langsung gas kesini waktu tau dia yang minta tolong” Tanya nizar.
“ iya… cahyo yang dulu dipanggil Panjul” jawabku
“Pokoknya kita harus bantuin dia , kita utang nyawa sama dia… “ Lanjut Didi.
Dika terlihat sedang menerima telepon , kali ini cukup panjang semoga saja ada informasi mengenai Kutukan itu.
“ eh gua bikin kopi dulu ya… “ Ucap didi sambil menuju ke dapur.
“ok , sekalian bikinin juga nih buat dua kurcaci” jawabku
“beres…”
Kami santai sejenak , terlihat nizar dan Ranto sibuk dengan Hpnya. Sepertinya mereka juga mencari informasi melalui internet dan media sosial.
“ Ar.. kalau info yang gua dapet, tabuh itu berarti pemukul gamelan ya?” Tanya Nizar.
“Bisa jadi , kalo bener berarti emang berhubungan sama suara gamelan itu… tapi pasti ada yang membuat tabuh itu jadi spesial” jawabku.
“Waturingin … itu bisa jadi nama tempat” ucap Ranto.
Kami berdiskusi cukup lama namun tak ada gunanya, semua yang keluar dari mulut kami hanya dugaan saja.
“ Ardian.. ini tadi ada yang nelpon lagi , kali ini kayaknya beneran…” Ucap dika menghampiriku.
“ Ada info apa dik?” tanyaku.
“Sebenernya ga detail… yang nelpon seorang perempuan ngaku namanya Ismi , dia cuman bilang kalau mau tau tentang tabuh waturingin dan gending alas mayit bisa datang ke desaku di selatan pulau jawa” Cerita Dika.
“ Yah… kalau Cuma begitu bisa jadi orang iseng yang mau ngerjain kita” ucap Ranto dengan pesimis.
“tapi… terakhir dia ngomong, salam juga buat cowo yg sering ngikutin ardian.. nandar” lanjut dika.
Aku melihat dika dengan serius , terlihat kedua temanku lainya menatap curiga kepadaku.
“Gimana dia bisa tau hantu nandar masih ngikutin gua?” Tanyaku pada dika.
“Gua ga tau dik, bisa jadi dia emang tahu tentang hal gaib…
makanya gua sampein ke elu”
Ucap dika sambil menyerahkan kertas tertulis alamat desa di selatan pulau jawa.
“ Ardian… setanya Nandar masih ngikutin elu?” ucap Nizar sambil berbisik.
“iya… tapi ya udahlah, ga ganggu ini..”ucapku
Suasana berubah menjadi hening , kami sibuk dengan hp masing-masing sampai terdengar suara jendela yang di hantam dengan keras.
Kami berlari menghampiri jendela, tidak ada satupu hal yang aneh hanya angin kencang berhembus dari luar.
Namun saat akan kembali mendadak listrik seluruh ruangan mati.
“Dik.. mati lampu?” Teriaku sambil menyalakan senter dari handphoneku.
“Sebentar gua cek…” jawabnya .
Kami kembali duduk di sofa menunggu kabar dari dika,
namun sekali lagi terdengar suara benda keras menghantam jendela. Namun kali ini tidak hanya itu…
Sayup-sayup terdengar suara gamelan , entah darimana asal suara itu..
“ Ardian.. itu suara dari mana? Komputer lu belum mati?” Tanya Nizar.
“listrik mati Nizar… gimana komputer bisa nyala? “ Jawabku
Aku mencari asal suara gamelan itu , namun sama sekali tidak ada petunjuk.
Ditengah gelapnya ruangan, terdengar suara pecahan kaca dari dapur…
“Didi!... dia masih di dapur!” Teriak Ranto.
Kami segera bergegas berlari menghampiri Didi , namun suara gamelan terdengar semakin keras ketika kami mendekat ke sana.
“ Ada apa Di??” aku menyapa didi yang terlihat membelakangi pintu dapur.
Gelapnya ruangan membuat suasana semakin mencekam ,
Didi menoleh , kami menyorotnya dengan cahaya lampu dari hanphone.
Namun yang terlihat sungguh mengerikan , sebuah gelas kaca pecah tergenggam di tanganya , ia mengangkat dan memasukan ke dalam mulutnya yang sudah bercucuran darah.
Mata didi melotot dengan tajam, memandang kami sambil melumat pecahan kaca itu.
“Di.. jangan di! Stop di!” Ucap Nizar yang segera menghentikan tangan didi.
Aku dan ranto menyusul nizar , menarik didi dan menahanya di lantai namun tenaganya terlalu keras..
…
…
Didi berdiri membelakangi tembok sambil tetap menggengam pecahan kaca ditanganya.
“ Kalian tidak usah ikut campur!!” Didi berbicara dengan suara yang mengerikan.
Suara gamelan terdengar semakin kencang.
“Ini peringatan! Gending Alas mayit juga akan menghampiri kalian jika kalian ikut campur!” Ucap makhluk itu lagi.
Setan itu tertawa dengan keras , Nizar dan Ranto terlihat ketakutan di ruangan yang hanya diterangi oleh cahaya kecil..
“Ardian… gimana nih, kalo gini terus Didi bisa celaka” Ucap nizar.
Aku berfikir sejenak, teringat korek api pemberian paklek masih tersimpan di tasku.
“ Ranto , Nizar.. tahan Didi sebisa kalian” Perintahku pada mereka.
Aku segera berlari ke ruangan rekaman , mencari tasku dan segera membawa kembali ke ruangan dapur.
Terlihat Ranto dan Nizar kewalahan menahan Didi.
Sebuah korek api dengan ukiran kuno kukeluarkan dari tas, pemantiknya cukup keras namun aku tetap berhasil menyalakanya.
“Nizar .. mundur” ucapku pada nizar yang masih menahan Didi.
Terlihat dari sudut-sudut ruangan makhluk halus bermunculan , begitu juga Nandar yang ada di belakangku.
“singkirkan!! Singkirkan benda itu!” ucap Didi meringkuk di ujung ruangan.
Makhluk itu terganggu dengan cahaya dari api ini. perlahan terlihat sosok makhluk bertubuh serba hitam mengenakan pakaian sinden keluar dari tubuh didi.
“ Ini peringatan! Atau kalian juga akan mati!” Ucap makhluk itu pergi menjauh dari ruang yang diselimuti cahaya korek ini.
Suasana mulai tenang disusul dengan listrik yang mulai menyala. Kami membopong didi dan membawanya ke ruang tamu.
“Dik.. tolong P3K” Ucapku pada dika.
“Ini.. itu didi kenapa?” tanya dika sambil menyerahkan kotak obat .
“ Kesurupan… kayaknya urusan yang kita lakuin ini benar-benar bahaya” jawabku.
“ Tapi kenapa didi yang langganan kesurupan ya?” Tanya dika dengan polos.
Kami menoleh ke arah secara serentak seolah setuju dengan ucapanya dika.
“Iya Di.. kok elu melulu yang kesurupan? Kenapa sih lu?” tanyaku.
“aduh… mana gua tau, besok besok gantian lu pada aja… gua ikhlas!” Jawabnya dengan wajah yang menahan sakit.
“ Dih ogah… amit-amit”Jawab Ranto sambil mengikatkan perban di tangan Dika.
“Besok gua mau coba nyamperin lokasi yang dikasi dika tadi… siapa tau bisa ada petunjuk” Ucapku.
“ Gua ikut… pokonya gua bantu sampai selesai “ucap nizar
“ Iya kita semua ikut…” sambung didi juga.
“Lu udah babak belur kayak gini… mendingan standby aja di sini sama dika…
biar Gua, Nizar, sama Ranto yang ke sana” ucapku melarang niat Didi.
Esok harinya kami berkumpul kembali di studio , Dika dan Didi bertugas memantau informasi dari telepon dan medsos , dan sisanya berangkat menuju suatu desa di selatan pulau jawa.
Perjalanan menuju tempat tersebut tidak terlalu lama, hanya saja saat mendekati lokasi medan semakin berat , jalanan tidak ditutup dengan aspal sepenuhnya. Sepanjang jalan dihiasi dengan hutan-hutan jati yang tersusun rapi.
“ Ini bro lokasinya…” ucap nizar kepadaku.
“Yakin? Udah bener sesuai di peta?” Aku memastikan sekali lagi
“ Bener… tinggal lu cari perempuan yang telepon kemarin, siapa namanya? Ismi?” Lanjut Nizar.
Segera aku turun dari mobil dan menanyakan mengenai perempuan bernama ismi pada warga yang lewat.
Ia menunjuk pada sebuah rumah kayu di sudut desa.
“Disana rumahnya… katanya mobil masih bisa masuk kok..” ucapku pada nizar.
Kami melanjutkan perjalanan dan berhenti pada sebuat rumah kayu dengan lahan yang cukup luas. Terlihat seorang wanita,
masih muda sedang menjemur pakaian di halaman rumah itu.
“Permisi mbak… bener ini rumah mbak ismi?” Tanyaku sesopan mungkin.
“Ya saya sendiri, saya ismi… ada yang bisa saya bantu?” wanita itu menjawab dengan sopan.
“Kami dari radio tengah malam ,
benar kemarin mbak ismi yang nelpon?” tanyaku sekali lagi.
“Oh mas ardian ya? Masuk dulu mas… maaf rumahnya berantakan” Ucap Ismi dengan mempersilahkan kami masuk.
Sebuah rumah tua, namun tidak kumuh… rumah yang terawat dengan baik ,
hawa sejuk tetap terasa walau di tengah panasnya udara siang hari .
Secangkir teh hangat disajikan kepada kami , tak terlihat orang lain selain ismi di rumah ini.
“Mbak ismi… terima kasih kami udah disambut, maaf saya agak lancang..
tapi mungkin mbak ismi bisa menceritakan yang mbak ismi tau mengenai Gending alas mayit maupun tabuh waturingin” Nizar mencoba membuka perbincangan.
“Masnya istirahat dulu saja , diminum tehnya… yang cerita nanti bukan saya. Tunggu sebentar ya” Ucap ismi dengan sopan dan meninggalkan kami.
Kami menurut dan menikmati secangkir teh yang disediakan oleh Ismi.
Seorang kakek tua berjalan perlahan menghampiri kami,
Ismi terlihat menggandengnya berjalan dengan hati hati dan mendudukanya di dekat kami.
“ Ini kakek saya… mbah Rusman, dia yang akan menceritakan semuanya” Jelas Ismi pada kami.
Mbah rusman memperhatikan kami satu per satu sepertinya ia juga menyadari keberadaan hantu nandar yang terus mengikutiku , kami merapikan posisi duduk dan memberikan senyum seramah mungkin kepada mbah rusman.
“ Setelah kalian tau semuanya, apa yang akan kalian lakukan?”
Tanya mbah rusman kepada kami.
“Kami hanya mencari informasi mbah , teman kami di jawa tengah, mereka yang ahli soal hal ghaib yang akan mencoba menghentikan kutukan itu” jelasku pada pak rusman.
“ Bagus.. jika kalian yang ikut campur, sudah pasti kalian mati” Ucapnya.
Kami sangat mengerti akan hal itu, namun setidaknya aku harus mendapatkan informasi yang bisa membantu cahyo.
“Menginaplah semalam disini, nanti malam kalian akan tahu semua” Ucap mbah rusman.
Kami saling menoleh dan sepakat menyetujui ucapan mbah rusman.
Cara mereka menyambut kami terasa sangat tulus sehingga kami tidak sedikitpun merasa curiga kepada meraka.
Kami melalui siang hari dengan berbincang hal-hal kecil , Ismipun menyediakan keperluan kami mulai dari makanan dan air untuk mandi.
Semua berjalan normal hingga akhirnya malampun tiba.
Kami menyelesaikan makan malam kami, bohlam yang redup di ruangkan ini cukup menyulitkan penglihatanku i. Aku membereskan piring sisa makan malam tadi dan mengumpulkanya di pawon belakang rumah.
Sebelum sempat kembali ke depan, pintu belakang rumah terbanting dengan keras.
Sebuah bayangan hitam mencoba masuk ke dapur melalui pintu belakang , semakin lama semakin mendekat. Aku mengawasi dengan hati-hati.
Lampu pawon mulai menerangi bayangan yang mendekat itu ,
ternyata itu adalah mbah rusman.
Sayup sayup suara gamelan terdengar.. persis seperti di studio kemarin.
Mata mbah rusman terbelalak dengan mengerikan kearahku dan mulai menggerakan tubuhnya perlahan.
“ Ismi , Nizar, Ranto… !! “ Aku memanggil orang di rumah untuk membantuku.
Mereka segera datang menghampiriku , namun mbah rusman keluar menuju halaman dan menari dengan lincah . kami mengejar mbah rusman, Cahaya bulan purnama menyinari pekarangan.
Mbah rusman menari dan terus menari , ismi masuk kerumah dan keluar membawa sebuah gong kecil di tanganya dan sebuah pemukul.
“Ismi.. itu mbah rusman kenapa?” Tanya nizar.
“ Ini yang kalian ingin tahu… Kutukan gending alas mayit ,
Mbah rusman dulunya berasal dari desa windualit , sebenarnya kutukan ini sudah sirna.. namun entah beberapa bulan lalu tiba-tiba saat bulan purnama mbah jadi seperti ini” Cerita Ismi kepada kami
Mbah Rusman menari dengan mengerikan,
ia mencoba memutar kepalanya hingga hampir patah. Namun sebelum itu terjadi Ismi memukul gong kecil yang menggantung di tanganya.
Suara mendengung panjang terdengar dari benda itu. Mbah Rusman terliihat menghentikan tarianya namun ia mencoba bangkit untuk menari lagi,
sebelum itu terjadi Ismi kembali memukul gong itu sehingga gerakan mbah rusman bisa tertahan. Hal itu terjadi berulang kali hingga Mbah rusman tak sadarkan diri.
Kami menggendong tubuh mbah rusman ke dalam rumah ,
Ismi menyiapkan segelas minuman rempah-rempah untuk diberikan kepada mbah rusman dan segera menghampiri kami.
“ Dulu sewaktu muda mbah rusman hidup di desa windualit, saat desa itu terkena kutukan mbah rusman adalah salah satu warga yang membantu menghentikan kutukan itu..
tapi karena tidak ingin mengambil resiko , mbah rusman memilih untuk meninggalkan desa “ Cerita ismi.
Terlalu mengerikan , Sesuatu yang dihadapi oleh cahyo dan paklek kali ini benar-benar mengerikan.
“ Ismi… bantu mbah” Ucap mbah Rusman mencoba menghampiri kami dengan tubuhnya yang lemah.
Serentak kami berdiri membantu memegangi mbah rusman dan mendudukanya di posisi yang nyaman.
“ Ismi… serahkan gong dan pemukulnya ke mereka” Perintah mbah rusman.
Kami saling menoleh, ismi terlihat tidak setuju.
“ Tapi mbah , nanti kalo kumat lagi?” ucap ismi.
“Sudah serahkan saja, mbah juga ga tau bisa hidup sampai kapan… mereka lebih butuh itu” Ucap mbah rusman dengan suara yang lemah.
“ Pemukul itu adalah tabuh waturingin, ujungnya dibuat menggunakan kayu pohon beringin yang sudah menjadi batu dan gong itu hanya gong biasa..” cerita Mbah Rusman.
Kami memperhatikan benda yang diserahkan kepada kami , kami berfikir keras… seandainya ini kami bawa ,
apa mbah rusman bisa melewatkan purnama berikutnya?
“Nggak mbah, kita ga bisa bawa benda ini.. mbah butuh ini” Ucapku
“Walaupun ini adalah tabuh waturingin, ini tidak cukup untuk membersihkan kutukan di desa windualit…
Orang yang meminta bantuan kalian harus membuat kembali tabuh yang lebih besar dari batu pohon beringin yang ada sebuah sendang di alas mayit, dan kalian harus bawa ini agar bisa sampai ke sana hidup-hidup” Mbah rusman melanjutkan ceritanya tanpa mempedulikan pendapat kami.
Ismi terlihat sedih , ia mengerti maksud mbah rusman namun belum siap apabila harus kehilangan kakeknya itu.
Aku mengambil telepon genggamku mencoba menghubungi cahyo dan menceritakan mengenai kejadian malam ini kepadanya , awalnya cahyo sependapat dengan kami..
namun tiba-tiba telpon disambungkan kepada seorang wanita.
“ Mbah Rusman… “Ucap wanita dari telepon cahyo.
Mbah rusman hanya mendengarkan saja suara dari telepon itu.
“ Mbah.. Kulo Sekar.. anak Pak sardi” ucap wanita itu sekali lagi.
“Sar..di , Sardi sudah punya anak?” ucap mbah rusman dengan sedikit senyum muncul di wajahnya.
“iya mbah.. Bapak sering cerita kalau bapak belajar ngaji dari mbah rusman , sesepuh yang pernah nyelamatin desa windualit..” cerita sekar .
“ Piye kabar sardi nak sekar , masih rajin ngaji?” Ucap mbah rusman dengan semangat walau dengan tubuhnya yang lemah
“Masih mbah… bapak rajin banget, sekarang bapak masih di desa nyoba bantuin sebisanya disana” Jawab sekar.
Mata mbah rusman berkaca-kaca , ia terlihat sedang mencoba mengingat tentang masa lalunya
“ Nak Ardian, Nak Cahyo… kamu harus bawa benda ini, kamu harus selamatkan desa windualit… selamatkan sekar dan semua orang disana” Mbah rusman berkata dengan paksaan.
Sepertinya aku mengerti yang diinginkan mbah rusman, setidaknya mungkin ia bisa menyelamatkan desa asalnya yang ia sayangi walau harus mengorbankan sisa umurnya.
“Baik mbah rusman, Amanah mbah saya terima.. benda ini akan saya bawa ke cahyo dan sekar” Ucapku.
“berarti kalo gitu umur mbah Rusman Cuma tinggl 1 purnama lagi? “ Ranto memastikan kepadaku.
“ Nggak , hanya Tuhan yang berhak menentukan umur manusia… bukan demit-demit itu” Jawab mbah Rusman.
Aku mengambil tasku, memasukan gong dan tabuh waturingin kedalam tas.
“ Ismi , Mbah Rusman… setidaknya tolong terima pemberian saya ini” Sebuah korek api dengan motif kuno pemberian paklek dulu kuserahkan kepada mereka.
“Ada kekuatan pada api korek ini… kamu yakin?” Ucap mbah rusman.
“Saat purnama datang lagi dan mbah mulai seperti tadi coba kamu nyalakan ini , benda ini sudah menyelamatkanku berkali-kali.. semoba bisa menolong kalian juga” ucapku
Nizar mendekatiku seolah kurang setuju.
“ Ardian kamu yakin? “ tanyanya dengan berbisik.
Nizar tahu benar bagaimana benda itu menyelamatkanya di pabrik gula.
“ iya .. aku yakin Paklekpun pasti juga tidak keberatan” Jawabku.
Ismi menerima korek api pusaka pemberian pak lek , kami menutup perbincangan kami dan beristirahat.
Paginya kami ijin pamit ke Mbah Rusman dan Ismi , kami berjanji suatu saat akan mampir kembali kemari setidaknya sebelum purnama berikutnya.
Namun sebelumnya kami harus mengantarkan benda ini ke Cahyo dan Paklek , semoga saja ini bisa benar-benar berguna untuk mereka.
ga lupa ngingetin cerita ini juga bisa dinikmati di podcast @bagihorror
Sekumpulan orang datang menghampiri Cahyo dan Paklek. Sepertinya , mereka dari kota yang cukup jauh.
“ Paklek , Cahyo… sudah lama sekali ya , dulu kamu masih sekecil ini lho cahyo” Ucap seorang pria yang datang menghampiri rumah Paklek.
Mereka berbincang panjang lebar seolah sedang bernostalgia akan sesuatu.
Aku?
Aku hanya duduk termenung di ujung ruangan. Cerita sekar mengenai Laksmi sungguh membuatku sangat terpuruk.
Tidak mungkin seorang laksmi yang baik dan ramah bisa mati di tangan anak buah seseorang bernama Aswangga itu.
“Danan… sini lho , tak kenalin sama mas-masku “ Panggil Cahyo dari ruang tamu.
Aku menghampiri mereka sambil berusaha menyembunyikan wajah murungku.
“ Saya Danan mas… majikanya Cahyo” ucapku sambil menjabat tangan teman-teman cahyo.
Cahyo segera menoleh dan melemparkan sarungnya ke arahku.
“Enak aja… majikan mbahmu , emangnya aku mbok gaji piro?” Jawab cahyo yang mengerti maksud candaanku
“ wah.. mas danan bisa aja .. saya Ardian , ini Nizar dan Ramto… “ Ucap mereka memperkenalkan diri.
Paklek mendekat sambil membawakan minuman yang telah disiapkan Bulek dari dapur.
“Ini.. Diminum dulu, terima kasih lho sudah jauh-jauh mau mampir ke sini”
Ucap Paklek menyambut mas ardian dan teman-temanya.
Perbincangan-perbincarang ringan terbentuk diantara kami , hampir sebagian besar merupakan cerita tentang bagaimana paklek dan cahyo waktu masih kecil sempat menyelamatkan mereka dari bahaya di pabrik gula.
“Cahyo , Paklek… kami sudah mencoba mencarikan informasi semampu kami, dan berujung kepada seseorang bernama Mbah Rusman” Ucap mas ardian.
“Katanya dulu dia warga desa windualit yang bertahan dari kutukan yang sedang kalian hadapi itu”
Sebagian besar, kami sudah mengetahui cerita mas ardian lewat telepon , namun dengan bertemu langsung , cerita mereka tentang mbah rusman terasa lebih menyedihkan.
“Sebentar mas ardian , sebelum dilanjutin ceritanya biar saya panggil sekar dulu “
Ucap cahyo memotong cerita mas ardian.
Sambil Mas Ardian melanjutkan ceritanya, Mas Nizar masuk kedalam mobil dan mengambil sebuah benda yang terlihat cukup besar.
“Nah… ini barangnya “ ucap mas adrian membukakan sebua bungkusan yang berisi sebuah gong kecil dan pemukulnya.
“ Menurut cerita mbah rusman , pemukul ini yang disebut dengan tabuh waturingin.. namun ini tidak cukup untuk satu warga desa,
kalian harus membuatnya dari kayu pohon beringin tua di sebuah sendang di hutan” Cerita mas Ardian.
Paklek terlihat terfokus pada benda itu dan memperhatikan energi yang keluar darinya.
“Sendang banyu ireng… saya pernah ke sana paklek” Ucapku pada paklek.
Aku mengingat sebuah tempat yang digenangi air berwarna hitam di dalam Alas Mayit.
“ ya sudah mas ardian, benda ini kami terima ya.. terima kasih banyak” Ucap paklek kepada mas ardian.
Terlihat paklek sengaja memotong ceritaku agar mereka tidak terlalu terjun ke dalam permasalah mengerikan ini.
“ Iya mbah, kami sangat senang bisa membantu” Ucap Mas Ranto menggantikan Mas Ardian yang sedang berfikir.
“Paklek.. mas danan… cahyo , kami tau ini tidak mudah tapi kalau bisa selesaikan ini sebelum purnama berikutnya, sebelum kutukan itu menyerang mbah rusman lagi” Pinta mas ardian dengan wajah yang serius.
Kami mengerti maksud mas ardian dan berjanji menyelesaikan ini secepat mungkin.
“ Oiya paklek.. mohon maaf, Korek pemberian paklek saya serahkan kepada mbah rusman dan cucunya.. safa pikir, mungkin itu bisa membantu mereka” Ucap mas ardian lagi.
“Yang kamu lakukan sudah benar, korek itu sudah seharusnya berada di tangan mereka yang membutuhkan” Balas paklek sambil menepuk mundak mas ardian.
Setelah perbincangan serius itu..
kami berpisah , Cahyo mengajak teman-temanya itu melihat pabrik gula tempat kerjanya yang sudah direnovasi dan sore harinya mereka sudah berpamitan pergi.
“ Gak nyangka, kamu punya teman-teman sehebat itu” Ucapku pada cahyo.
“ iya donk, tapi sayangnya temanku yang paling hebat lagi galau gara-gara kehilangan perempuan.. “
Cahyo menyindirku , namun aku tahu maksud baiknya untuk menyemangatiku.
“ Panjul, Danan, Sekar… Kita kumpul di pendopo” Teriak paklek sambil berjalan ke halaman belakang.
Kami menyusul paklek ke pendopo dan duduk lesehan sekenanya. Suara pohon yang ditiup Hembusan angin malam memecah keheningan di halaman belakang rumah.
“Paklek sudah mampir ke desa windualit…” Paklek berbicara dengan wajah serius.
Kami saling menatap , sudah jelas paklek tidak pernah menginggalkan desa ini, Tapi kenapa paklek bisa berkata seperti itu.
“ Paklek ke sana dalam raga sukma, Warga disana masih selamat, namun banyak yang terbaring tak berdaya seolah kehilangan rohnya..
di sana seseorang, mungkin itu adalah ayahnya sekar… ia terlihat sibuk menjaga tubuh korban-korban itu siang dan malam” cerita paklek sambil menoleh pada sekar.”
Sekar terlihat menghela nafas , seolah lega mendengar kabar mengenai ayahnya.
“ Danan… walaupun kemarin eyang widarpa terlihat acuh , ternyata saat ini ia sedang berkeliling alas mayit mencari sesuatu , temui dia sebelum kamu masuk ke dalam hutan itu” Perintah Paklek.
“ Baik Paklek “ aku mengerti maksud paklek ,
eyang widarpa memang sama sekali tidak bisa ditebak.
“o iya, dan satu lagi… ini peninggalan nyai suratmi , tolong berikan pada eyang nanti “
Paklek menyerahkan sebuah kalung kuningan seperti yang biasa dipakai prajurit-prajurit jaman dulu.
Aku segera mengambil dan menyimpanya. Sebenarnya aku penasaran , apa reaksi eyang widarpa saat menerima ini.
Paklek menutup perbincangan kami dengan mengajarkan sebuah mantra penyembuh kutukan, termasuk kepada sekar. Paklek bilang,
mungkin nanti ayah sekar akan membantu kami di alas mayit, jadi sekar harus bisa membantu warga untuk menahan kutukan yang diterima warga desa.
Kami beristirahat dengan cukup, paginya bulek memberikan bekal kepada kami untuk persediana selama perjalanan ke desa windualit.
Paklek tidak ikut, ia masih bertugas menjaga pabrik gula yang ia kelola. Namun Paklek bilang bahwa ia sudah meninggalkan sesuatu untuk membantu kami di sana.
Kami berganti angkutan beberapa kali sampai akhirnya kami turun di sebuah persimpangan yang terdapat jalan setapak menuju hutan hutan.
“ Dari sini masih berapa lama?” Tanya cahyo pada sekar.
“ kalo jalanya cepet, mungkin bisa 2-3 jam” Jawab sekar.
“ Ya udah, kalo sekar capek bilang ya… nanti mas gendong” Goda cahyo dengan memasang wajah genit yang kususul dengan pukulan di kepalanya.
“ Inget , kita mau nolong orang.. jangan sampai ilmumu ga bisa dipake gara-gara kualat” Aku memperingatkan cahyo.
“iya.. mudeng kok, maksudnya biar ga terlalu tegang aja” jawab cahyo.
Aku tahu benar, cahyo memang tidak mungkin berbuat aneh aneh , daritadi ia memang terus memperhatikan sekar yang terlihat cemas selama perjalanan.
Kami melalui hutan-hutan yang rindang ,
sesekali kami beristirahat di pinggir sungai untuk sekedar menarik nafas dan mencuci muka sampai akhirnya kami sampai di desa sekar tepat sebelum malam.
Aku sedikit bernostalgia dengan desa ini ,
sudah ada kemajuan saat aku tersesat disini listrik masih belum menerangi desa ini. Selain itu tidak banyak yang berbeda , selain sebuah rumah yang terlihat cukup besar di tengah-tengah desa. Mungkin saja itu rumah juragan kaya yang bernama Aswangga.
Beberapa orang terlihat berkumpul di balai desa. Sekar segera berlari menuju kesana.
“ Bapak! Sekar pulang” teriak sekar yang bergegas menemui ayahnya di tempat itu.
“Sekar…” Ucap ayah sekar yang segera memeluknya , sepertinya ia juga sadar dengan keberadaanku.
Aku dan cahyo segera menyusul untuk menemui ayahnya sekar itu.
“ Mas Danan… kamu bener mas danan kan?” ucap pak sardi dengan senyuman di wajahnya.
“ Iya Pak Sardi , ini saya.. dan ini teman saya cahyo” jawabku sambil memperkenalkan cahyo.
Sekar menceritakan tentang bagaimana dia diselamatkan oleh cahyo dan dipertemukan denganku, termasuk mengenai mbah rusman.
“Wah ada tamu dari jauh nih… “ seorang pria paruh baya datang menghampiri kami.
“Eh pak kades.. lama sekali ndak ketemu “ ucapku menyambutnya.
Pak Kades dan Pak Sardi menceritakan panjang lebar mengenai apa yang terjadi di tempat ini dan bagaimana bisa banyak warga terbaring tak berdaya di tempat ini.
“ Mas Danan, Mas Cahyo ayo mampir ke rumah dulu… nanti tidur di rumah saya saja,
ada kamar kosong disana” Ucap Pak Sardi.
“ Waduh ga usah repot-repot pak , nanti saya tidur di rumah singgah aja.. mau nostalgia “ Balasku pada pak sardi .
“ Pak Sardi , Istirahat dulu… warga yang terkena kutukan biar kami yang mengobati” ucap Cahyo kepada pak sardi.
Ternyata dari tadi cahyo memperhatikan kondisi pak sardi yang sudah terlihat sangat kelelahan, rasa capek kami selama perjalanan sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding yang pak sardi rasakan.
“Bener nih, kalian habis perjalanan jauh lho.. pasti capek”
Pak sardi memastikan pada kami.
“bener pak.. Sekar , tolong antar Bapak ke rumah ya.. suruh istirahat, biar kami ditemani sama pak kades.. “ Perintahku pada sekar.
Sekar mengangguk dan mengerti maksud kami , memang wajah kami terlihat serius setelah memasuki desa ini.
Tak ada lagi candaan keluar dari mulut cahyo.
“Pak Kades.. saya mohon ijin memeriksa warga desa” Ucap cahyo sambil mepersiapkan peralatan dari ranselnya.
“Monggo mas… tapi jangan memaksakan diri ya”
Jawab pak kades yang di susul dengan beberapa makanan ringan dan teh hangat yang diantar oleh warga desa.
Kami memeriksa seluruh warga yang terbaring disini , jelas terlihat.. roh mereka tidak berada pada tubuhnya,
namun sebuah kekuatan menjaga agar tidak ada entitas lain yang masuk ke tubuh mereka. Mungkin itu adalah perbuatan pak sardi.
Kami hanya membacakan mantra pelindung untuk menahan serangan-serangan yang mungkin datang ke tempat ini.
“Danan… kita harus beresin ini semua , ini keterlaluan” Ucap Cahyo padaku.
“ Sabar jangan gegabah… malam ini kita persiapan dulu , malam ini bukan bulan purnama.. seharusnya aman” aku mencoba menahan emosi cahyo.
Setelah selesai memeriksa warga ,
kami berpamitan ke rumah singgah yang terletak tak jauh dari balai desa.
Setelah membereskan semua peralatan , kami melakukan persiapan untuk esok malam.
“ Cahyo.. tak coba cek dulu, paklek ninggalin apa di sini” ucapku pada cahyo sambil memasang posisi meditasi.
“ ya sudah sana… aku jagain” balas cahyo.
Aku memisahkan sukmaku dari raga, sebuah aura kelam terlihat mengelilingi hampir seluruh sudut desa ini, dan benar sumbernya dari alas mayit.
aku mencoba berkeliling desa dan mencari tahu lebih dalam mengenai aura kelam ini.
Dari perbatasan desa dan alas mayit, terlihat nyala api berwarna putih yang menambah besar secara perlahan.
Geni Baraloka , salah satu ilmu terhebat milik pakde.. dengan api ini, kami bisa menenangkan roh-roh penasaran yang belum tenang tanpa harus bertempur,
Tapi aku ragu besar api ini akan cukup besar untuk melawan seisi penghuni hutan ini.
Belum sempat menemukan petunjuk yang berarti , perlahan terdengar suara mendengung dari dalam hutan. Itu adalah suara gong yang dipukul pelan dan disusul dengan suara gamelan ,
persis seperti apa yang kudengar saat sekar kesurupan.
Tapi.. bukanya malam ini bukan purnama?
..
Layaknya iring-iringan kerajaan , dari dalam hutan muncul kereta kencana bersama dengan sinden yang melakukan tarian-tarian gemulai.
Bahaya semakin kurasakan,
segera aku menarik sukmaku kedalam tubuh untuk memberitahu cahyo dan pak sardi.
“Cahyo… sepertinya kita harus bersiap , suara gamelan muncul dari dalam hutan.. “ aku memberi tahu cahyo dengan apa yang kulihat.
“ tapi sekarang bukan bulan purnama? “ bantah cahyo.
“ Sepertinya mereka merasakan ancaman, iring-iringan kereta demit itu juga mengarah kesini.. pokoknya siap-siap” perintahku
Kami mengambil tabuh waringin dan gong kecil yang kami bawa dan keluar dari rumah singgah.
Suara gamelan sudah terdengar dengan semakin jelas,
semua warga termasuk pak sardi juga serentak keluar dari kediamanya dan berkumpul ke balai desa.
“ Mas danan, gimana ini.. jangan sampai ada korban lagi” Ucap pak kades yang menghampiri kami.
“Tenang pak , tidak akan kami biarkan.. “
aku menenangkan pak kades sambil memperhatikan gelagat warga mencari apakah ada yang terpengaruh suara gending itu.
“Pak Sardi… Sekar ? Mana sekar?” Cahyo yang tidak menemukan keberadaan sekar menanyakan kepada pak sardi yang datang bersama warga.
“ Lah nak cahyo, tadi sekar pamit mau mengantarkan makanan untuk kalian” ucap pak sardi yang mulai cemas.
Insting cahyo memaksanya untuk berlari ke balai desa, dan mendobrak pintu kayu yang tertutup disana.
“ Danan! Disini!” teriak Cahyo memanggilku.
Aku berlari dan segera memperhatikan apa yang dilihat oleh cahyo.
..
..
Di tengah-tengah warga yang terbaring , Sekar menari dengan gemulai mengikuti irama gamelan dan mengelilingi warga yang terkena kutukan.
“ Sekar , lawan sekar! “
teriak pak sardi yang mencoba menghentikan anaknya itu, namun itu semua sia-sia.
Pak sardi terpental dengan kekuatan besar yang memancar dari tubuh sekar, sekar menoleh dengan senyum mengerikan di wajahnya.
“ satu persatu kalian akan mati... tidak ada tempat bagi kalian untuk lari “ suara mengerikan terdengar dari mulut sekar.
cahyo berlari mendekat dan memukul gong dengan tabuh waringin pemberian mbah rusman.
Suara mendengung panjang terdengar ke seluruh penjuru ruangan,
tarian sekar sempat terhenti.. ia terjatuh dan memuntahkan cairan berwarna hitam. Sekar mencoba menari lagi , dan dihentikan dengan suara gong yang dipukul oleh cahyo.
Sekar yang kesurupan terlihat semakin kesakitan,
namun samar-samar terlihat bayangan wanita yang hampir terpisah dari tubuh sekar.
“ Laksmi… roh laksmi yang merasuki sekar!” Teriaku pada pak sardi.
Pak sardi mengambil posisi dan membacakan doa-doa untuk menghentikan pergerakan demit yang ada di tubuh sekar.
Aku teringat geni baraloka yang ditinggalkan paklek, sebuah mantra pemanggil kuucapkan untuk menarik sebagian dari api itu dan melemparkan kepada sekar.
Sekar yang merasa kepanasan mulai terjatuh dan kehilangan kesadaran.
Dihadapanku ada sesosok roh wanita berpakaian kebaya memandangku dengan wajah yang pucat.
Aku mengenalnya… itu Laksmi.
Suara gamelan terdengar semakin keras , Demit berwujud laksmi itupun mendekat hingga menembus tubuhku.
Aku kehilangan kesadaran,
namun sebuah penglihatan muncul di kepalaku.
..
..
Terlihat seorang laki-laki berbicara dengan laksmi.
“ Lihat.. ini foto orang tuamu? “ aku pastikan mereka akan di hukum mati setelah ini.
Ucap orang itu mengancam laksmi.
“Jangan Aswangga… tolong ,
wis cukup kamu mengurung mereka bertahun tahun.. ” Laksmi memohon sambil menangis.
“ kesalahan mereka ra iso dimaafke, kecuali… kowe arep nuruti semua perintahku” Aswangga mencoba mengintimidasi laksmi.
“Apa…? Apa yang kamu mau?? Tak lakuin semua .. asal kamu berjanji membebaskan mereka” Ucap laksmi sambil menutup wajahnya menahan air mata yang menetes di pipinya.
“ Aku membangun sebuah rumah di sisi belakang hutan… temui aku di sana setiap malam bulan purnama”
Perintah aswangga sambil melemparkan foto kedua orangtua laksmi dan meninggalkanya.
Sebuah rumah kecil terlihat di sisi belakang hutan, sebuah lampu minyak sudah menyala dengan terang di dalam.
Seorang wanita berjalan dengan ragu menuju rumah itu,
ia sempat terhenti di depan pintu , namun rasa sayangnya kepada kedua orang tuanya memaksanya untuk masuk.
“Aku sudah di sini… apa yang kamu mau?” Tanya laksmi.
Aswangga tidak menjawab , ia hanya berjalan ke arah pintu dan menguncinya.
“Harusnya kamu sudah tau apa yang aku mau…” Ucap aswangga sambil menyentuh pipi Laksmi.
Laksmi mundur , namun Aswangga menahan kedua tanganya…
Aku tak sanggup melihatnya , bibir mungil laksmi di lumat dengan paksa oleh aswangga .
Tangan biadab itu meraba ke seluruh tubuh laksmi dengan penuh nafsu.
Laksmi mencoba melawan, namun tamparan keras menghantam ke pipinya.
“Jangan coba melawan! Kecuali.. kamu mau orang tuamu pulang tanpa nyawa” Ancam aswangga.
Laksmi ketakutan dan tak berani melawan , ia hanya pasrah saat kesucianya direnggut dan tubuhnya di nikmati oleh aswangga. Terlihat air mata laksmi tak henti-henti membasahi tempat itu.
Setiap malam purnama, laksmi harus melayani nafsu bejat Aswangga.
Sampai akhirnya ia merasakan hal yang aneh pada tubuhnya.
Laksmi mengandung anak dari aswangga…
Beberapa kali laksmi memberi tahu aswangga secara diam diam, namun Aswangga menentangnya tidak percaya. Sampai akhirnya , ia mengatakanya di depan warga desa.
“ Ini anakmu mas! Anakmu!” Ucap laksmi yang kepada aswangga yang dibalas dengan pukulan keras yang menyebabkan laksmi terjatuh.
Melihat kejadian itu, warga berkerumun dan anak buah aswangga segera menyusul menghampiri aswangga.
“ Perempuan brengsek! “ Aswangga memukuli laksmi tak hanya sekali, setiap ia akan berbicara aswangga menghentikanya dengan menghajarnya.
Tidak ada satupun warga yang berani percaya dengan kata-kata laksmi , temasuk istri aswangga.
“Uwis , Pateni wae” (sudah, bunuh saja) Teriak salah seorang anak buah Aswangga memanaskan emosi warga.
“Jangan pak , bicarakan baik-baik dulu” ucap salah seorang warga ,Sekali lagi pukulan yang keras menghantam laksmi ,
dan wanita itu hanya diam berlutut sambil melindungi janin di perutnya.
“ Sudah pak , Sudah… jangan sampai ada yang mati, kalau terpaksa.. usir saja dia dari desa ini” Ucap kepala desa yang merasa takut dengan pengaruh Aswangga dan anak buahnya yang terlihat bengis.
“Baik… Bawa dia! Usir dia dari desa ini!” Perintah Aswangga kepada anak buahnya.
Tiga orang bertubuh besar dengan kasar menarik tubuh Laksmi menyeretnya membawanya keluar dari desa.
Di tengah perjalanan ,
salah seorang anak buah aswangga tergoda dengan tubuh Laksmi yang terlihat dari bajunya yang terkoyak.
“ Gowo ning alas wae piye?” (Bawa ke hutan aja gimana?) ucap salah seorang anak buah aswangga sambil memberikan isyarat kepada teman temanya.
“Wah… pinter kowe “ Ucap temanya sambil tersenyum
Laksmi dipaksa berjalan menyusuri hutan di perbatasan desa itu, sampai di kedalaman hutan anak buah aswangga melucuti pakaian laksmi hingga tak sehelipun benang ada ditubuhnya.
Laksmi menangis sejadi-jadinya melindungi tubuhnya , satu persatu anak buah aswangga memperkosa laksmi dengan kejam…
Pukulan demi pukulan menghantam tubuh laksmi hanya untuk memuaskan nafsu anak buah aswangga yang biadab itu.
“ Emang dasar perempuan goblok! Orang tuamu itu udah mati! “ Ucap salah satu anak buah aswangga.
Ditengah tangisanya, laksmi mencoba melawan.
“ Gak mungkin, Aswangga sudah janji tidak akan membunuh mereka!” Teriak laksmi.
“ Bukan Aswangga yang membunuh mereka… warga desa kesayanganmu itu yang membuat kedua orang tuamu mati!” lanjut anak buah aswangga sambil tertawa.
“ Ibumu itu , selingkuh dengan kepala desa… dan ayahmu menghamili bocah dibawah umur saat di kota”
“ ayahmu dihukum rajam oleh warga dan kepala desa , yang akhirnya melarikan diri ke hutan ini yang akhirnya gantung diri , ibumu tak berani menahan malu.. dia menenggalamkan diri di sungai”
Aku tidak percaya akan semua cerita ini,
warga desa windualit yang begitu ramah ternyata begitu kejam terhadap laksmi dan kedua orang tuanya. Aku emosi, jika ini benar .. aku harus membuat perhitungan pada aswangga , pak kades dan warga desa..
“ Brengsek kalian! Bajingan kalian warga desa windualit! Aku akan membalas semua ini… “ Teriak laksmi yang dibalas dengan jambakan anak buah aswangga yang masih ingin melampiasakan nafsunya.
“ Dendam! Aku dendam! Kalian harus mati!!” Teriak laksmi dengan wajah yang putus asa.
Setelah puas menyiksa dan memperkosa tubuh laksmi, anak buah aswangga meninggalkan laksmi tergeletak begitu saja.
Hari semakin malam… tak ada satupun cahaya masuk ke hutan itu. Laksmi tersadar dan menyeret tubuhnya sedikit demi sedikit.
Di tengah rasa dendam yang menyelimutinya, ia sampai ke sebuah sendang yang digenangi dengan air yang berwarna hitam.
Bau busuk mengelilingi tempat itu.
“ mati… warga desa harus mati…” bisik laksmi di setiap langkahnya.
Suara gemericik air terdengar, riak air muncul dari genangan air yang berwarna hitam itu.
Sebuah kepala dengan sanggul di kepala muncul dari dalam sendang, namun tak ada bola mata di wajah itu.
Makhluk itu berdiri dan semakin mendekat ke laksmi.
“ khikhikhi…. Aku iso nulungi kowe mateni wong wong kuwi” (aku bisa nolongin kamu membunuh orang-orang itu) ucap makhluk itu pada laksmi.
Laksmi memandang setan itu, setelah semua yang iya lalui , wajah seram setan itu sama sekali tidak membuatnya takut.
“ Tak wenehi opo wae.. sing penting warga desa mati!” (saya kasi apa saja.. yang penting warga desa mati!) Ucap Laksmi kepada makhluk itu.
…
…
Suara gong berbunyi , penglihatanku menjadi kabur..
Mataku kembali melihat orang-orang di balai desa, Aku masih terbawa emosi..
selain itu roh laksmi masih berdiri di depanku, dan wajahnya tidak lebih dari sejengkal dari wajahku.
“ Kamu sudah tau semuanya danan… kamu masih mau membantu warga desa yang biadab itu” ucap demit itu kepadaku.
Wajahku merah padam ,
terlihat di pintu ruangan pak kades berdiri dengan seseorang yang dijaga oleh beberapa anak buahnya..
Itu pasti Aswangga… aku merapalkan ajian lebur saketi pada tanganku dan bersiap menyerang mereka.
“ Balaskan dendamku danan! Balaskan rasa sakitku! Dan jadi lah pangeranku di Alas Mayit!” Ucap Roh laksmi diikuti dengan tawanya yang mengerikan.
Suara gamelan mengalun tanpa henti , Terlihat sesosok demit perempuan berdiri tepat disamping sahabatku Danan.
“ Kalian!! Kalian yang telah membunuh Laksmi!” Teriak Danan yang baru saja tersadar dari penglihatanya.
Wajah Danan terlihat merah padam , emosi terpancar jelas dari wajahnya. Sebuah mantra terucap dari mulutnya, dan itu diarahkan ke warga desa.
Aku melemparkan gong kecil yang ku pegang dan segera menghalangi serangan Danan yang diarahkan ke warga desa.
“ Danan… eling Danan! Demit itu mempengaruhi kamu” Teriaku sambil menunjuk pada hantu Laksmi yang tertawa dengan mengerikan.
“ Bunuh…. Bunuh mereka Danan, balaskan dendamku!” Demit itu terus membisikan kata itu ke Danan.
“ Minggir Cahyo! Jangan lindungi mereka… mereka lebih biadab dari setan-setan itu!” Ucap Cahyo yang masih berusaha menyerang Aswangga.
“ Aswangga memaksa Laksmi untuk melayani nafsu bejatnya, Anak buahnya memperkosa dan meninggalkan jasad Laksmi begitu saja di Alas mayit… “
Teriak Danan dengan penuh emosi.
“Warga desa yang menyebabkan orang tua Laksmi mati! Terutama si kepala desa keparat itu! “
Aku menoleh kepada Pak Kepala Desa dan Aswangga memastikan kebenaranya. Mereka terlihat pucat dan berusaha meninggalkan balai desa.
“ Bukan begini caranya Danan! “ Teriaku kepada Danan sembari melindungi Aswangga dan kepala desa.
“ Kalau kamu melindungi mereka? Aku ga akan segan-segan” Ucap Danan dengan geram.
“Aku ki koncomu Danan! Tenang dulu” ucapku berusaha meyakinkan Danan.
Namun Danan tidak peduli , ia menyerangku dan menerjang keluar mengejar Aswangga dan kepala desa.
Sebuah pukulan yang diselimuti mantra penguat dihujamkan kepada Aswangga ,namun anak buah aswangga mencoba menahanya dan mereka berakhir dengan tebaring tak berdaya di tanah.
“Piye iki Pak Kades…?” (gimana ini Pak Kades?) Tanya Aswangga pada Pak Kades yang ada di sampingnya.
“Wis, kamu tenang dulu..” Jawab Pak Kades, sambil menyiapkan sesuatu dari kantungnya.
Aku tidak punya pilihan, sepertinya aku harus melawan Danan dengan kekuatan penuh sebelum ia menghabisi warga desa.
“ Kematianpun tak cukup untuk membalaskan rasa sakit Laksmi..” Danan bersiap sekali lagi membaca mantra untuk menyerang aswangga namun aku berhasil mementalkanya.
“ Kalau kamu mau menghabisi warga desa, berarti lawanmu adalah aku” Ucapku berdiri tepat dihadapan Danan.
“Baik Kalau itu maumu” Jawab Danan tanpa banyak bicara.
Ajian lebur saketi adalah ilmu pukuran jarak jauh andalan Danan , ia merapalkan itu dan mengarahkan kepadaku.
Sulit untuk menghindarinya , namun dengan meminjam kekuatan Wanasura , roh kera pelindung dari hutan wanamarta aku mampu melompat setinggi tingginya dan menghindarinya.
Pukulan keras kuhampirkan pada tubuh Cahyo yang membuat ia terpental ,
secara fisik harusnya ia tidak bisa menahan pukulanku yang diselimuti kekuatan roh wanasura.
Suara gamelan terdengar semakin keras , Danan merespon suara itu dan bangkit lagi seolah tak terjadi apa-apa. Ia membaca mantra dan menarik sebuah keris dari sukmanya.
“ Heh Danan! Edan Kowe… Arep mateni aku ?” (gila kamu.. mau ngebunuh aku?) teriaku.
Danan tidak menjawab , kali ini ia sudah benar-benar dikuasai oleh setan Laksmi itu.
Iya menghujamkan keris itu, dan setiap seranganya menimbulkan getaran yang sangat kuat.
Aku hanya bisa menghindar dan menghindar, satu tusukan keris itu bisa saja langsung mengakhiri nyawaku.
Sesekali aku berhasil menyerang Danan , bahkan dengan kekuatan penuh, Namun suara gamelan kembali memaksa Cahyo untuk menyerangku.
“Mati… kalian semua harus mati” hanya ucapan itu yang terus keluar dari mulut Danan saat menyerang dengan kerisnya.
Seandainya aku punya mantra pemanggil seperti Danan, mungkin aku bisa memanggil Geni Baraloka untuk memulihkannya.
Tapi sepertinya tidak ada pilihan lain , aku harus memanggil tubuh fisik Wanasura untuk melawan Danan walau dengan bayaran sebagian dari sisa umurku.
Sebuah pukulan kuhantamkan ke tanah ,
Danan dan seluruh benda yang ada di sekitarku terpental. Setidaknya jarak ini cukup untuk membuatku melakukan pemanggilan.
“ Danan… jangan dendam padaku “
Aku membentuk posisi meditasi dan merapalkan sebuah mantra pemanggil , namun belum sempat selesai ,
suara pukulan gong besar terdengar dari dalam hutan.
Nada gamelan mulai berubah , rasa panas terasa dari dalam tubuhku … alunan nada gamelan terngiang tanpa henti di kepalaku yang memaksa tubuh ini untuk mengikuti iramanya.
“ Arrrgh… Pak Sardi! gunakan Tabuh waturingin itu!” perintahku pada Pak Sardi untuk menghilangkan kutukan ini dari tubuhku, namun sepertinya tidak sempat.
Pukulan Danan sudah di hadapan wajahku dan membuatku terpental,
ia mengejar dengan keris di tanganya dan bersiap menghunuskanya kepadaku.
Suara pukulan gong dari tabuh waturingin mendengung , kutukanku terlepas.. aku berhasil menggerakan tanganku dan menahan keris Danan walau dengan luka di tanganku.
Sekali lagi pukulan keras dihujamkan Danan padaku , kali ini dari jarak dekat yang membuatku memuntahkan darah kental berwarna merah dari mulutku
Mati di tangan sahabatku sendiri sama sekali hal yang tak pernah kupikirkan ,
namun saat ini keris pusaka yang sudah berkali-kali menyelamatkan nyawa kami sudah berada di depan wajahku untuk menghabisi nyawaku.
Tepat sebelum keris itu menusuk jantungku , sesosok makhluk terbang dari arah hutan dan menendang Danan hingga terpental.
“ E.. Eyang Widarpa” Ucapku yang terheran dengan kemunculan sesosok demit kakek tua berambut putih .
Ia sama sekali tidak menoleh kepadaku dan terus mengejar dan menghajar Danan.
Terlihat Danan kewalahan menghadapi makhluk yang mengaku sebagai leluhurnya itu.
“ Bocah asu… iso isone kowe dipengaruhi demit koyo ngene”
( bocah asu… bisa-bisanya kamu dipengaruhi setan kaya begini) Makinya sambil tetap menghajar Danan.
Merasa terancam dengan kehadiran Eyang Widarpa , Roh Laksmi meninggalkan Danan dan bersiap menyerang Pak Kades.
Aku mencoba berdiri, namun sepertinya lukaku cukup serius.
Pak Kades berlari hingga terjatuh.
“ Sekarang saatnya kamu mati!” Ucap roh Laksmi yang menerjang merasuki Pak Kades.
Kami semua panik, Pak Sardi tak mampu mengejar mereka.
Namun tak disangka, roh Laksmi terpental. Sebuah pasak tergenggam dari tangan pak kepala desa.
Pria itu berdiri dan terlihat senyum di wajahnya.
“ Dasar demit.. sudah mati masih bikin masalah” Pak Kades mengangkat pasaknya tinggi-tinggi dan menusukan pada dada setan Laksmi itu. Suara gamelan yang meneror desa terhenti
Setan itu tersungkur meronta dan menahan rasa sakit.
T.. tunggu ada apa ini? Aku tidak mengerti dengan apa yang kulihat.
“ Pak Kades.. apa maksudnya semua ini?” Pak Sardi mendekat mencari penjelasan namun ditahan oleh anak buah aswangga.
“Hahaha… Warga desa bodoh, seharusnya kalian bisa hidup lebih lama dengan kutukan ini..”
“ tapi karena semua sudah terbongkar , malam ini kalian semua akan mati sebagai tumbal untuk menguasai kerajaan demit di alas mayit… “
Ucap Pak Kades dengan raut wajah yang berbeda dari biasanya.
Pak Kades menarik rambut roh Laksmi yang tersungkur dan menyeretnya ke arah alas mayit.
“ Ayo aswangga… jangan lama-lama di sini” Perintah Pak Kades pada aswangga.
Danan mulai tersadar , terlihat tak sedikit luka di tubuhnya akibat perbuatan Eyang Widarpa.
“ Cahyo.. “ Danan segera menghampiriku yang tergeletak tak berdaya.
“ Maafin aku Cahyo… “ ucapnya yang segera menolongku untuh duduk.
Danan menempelkan tanganya pada punggungku dan menyalurkan tenaga untuk memulihkan kondisiku.
“ Ra mungkin tak maafin… “ ucapku pada Danan.
Rasa bersalah terlihat dengan jelas di wajah Danan.
“ Tukokno sate klatak sek.. baru tak maafin “(traktir aku sate klatak dulu batu tak maafin )
Danan menghela nafas seperti merasa sedikit lega.
“ Tenang.. tak tukokno sak weduse, sak bakule” (tenang, tak beliin se kambingnya se warungnya juga) Jawab Danan.
Pak Sardi terlihat menenangkan warga desa dan membubarkanya . Demit Eyang Widarpa masih terlihat mencari sesuatu.
“Eyang… terima kasih eyang” Ucap Danan.
Eyang masih terlihat gelisah seolah berusaha membicarakan sesuatu.
“ Deso iki ora iso diselamatke… “ (Desa ini tidak bisa diselamatkan) Eyang Widarpa memulai kata-katanya.
Aku dan Danan menghampiri Eyang Widarpa , Pak Sardi menyusul kami.
“ Maksud eyang apa… ?” Danan memastikan pernyataan Eyang Widarpa.
“Gending alas mayit ki kutukan pencari tumbal , Laksmi itu perantaranya..” Jelas eyang .
“Maksud eyang?” tanyaku memotong penjelasanya.
“Kutukan ini sudah disiapkan sejak lama , sejak desa ini didirikan… Kepala desa itu adalah jelmaan iblis penghuni alas mayit,
dia bermaksud menumbalkan seluruh warga desa”
Kami semua tak mampu berkata apa-apa.
“tidak mungkin , Pak Kades selama ini orang yang ramah dan selalu membantu warga desa” Pak Sardi berkata dengan tidak percaya.
“ Nggak Pak Sardi , saya sudah lihat perbuatan Pak Kades dan aswangga di masa lalu,itu benar-benar perbuatan iblis” Cerita Danan dengan wajah yang mulai dikuasai emosi lagi.
“Eyang.. kami sudah bawa tabuh waturingin, dan kita diharuskan membuat lagi yang lebih besar,
apa ini bisa membantu” Tanyaku .
“mungkin bisa… Tabuh waturingin itu bisa menahan warga dari kutukan , namun demit-demit di alas mayit itu tetap harus kalian hadapi sendiri…” Jawab Eyang Widarpa.
“ Baik mbah, kami sudah bersiap untuk itu “ ucap Danan.
“Jangan sombong ! yang nanti kalian hadapi itu satu kerajaan demit! Sekarang terserah kalian mau apa” Eyang widarpa terlihat bingung.
Tanpa kami sadar sekar sudah mulai sadar dan mendengarkan perbincangan kami.
“ Bapak… warga desa biar sekar yang jaga, Bapak bantu mas Danan dan mas Cahyo saja” ucap sekar.
Dengan berat hati Pak Sardi menyanggupi permintaan sekar. Semakin banyak yang membantu harusnya semakin besar peluang kami menyelesaikan permasalahan ini.
“ Eyang… biasanya kan eyang dateng bikin masalah, kok ini tiba-tiba dateng bantuin kami” Tanyaku pada eyang dengan sedikit penasaran.
“ Heh bocah gemblung! Rungokno omonganku “ (dengerin omonganku)
Eyang Widarpa berkata dengan wajah serius.
“Ucapanku kudu mbok inget…”
Aku dan Danan memperhatikan benar-benar apa yang dikatakan Eyang Widarpa.
“Uwong edan… Kuwi… Bebas…”
..
..
Eyang Widarpa menyelesaikan perkataanya dan meninggalkan kami.
Aku dan Danan masih tertegun dengan apa yang ia ucapkan.
“ Danan… aku baru tau , ternyata demit bisa ngelucu..” ucapku pada Danan.
“ Podo… wis , mbuhlah…” (sama.. masa bodo lah) balasnya.
Hari semakin malam , nampaknya kami harus memasuki hutan malam ini.
Kami melakukan beberapa persiapan dan berkumpul di tempat masuk alas mayit.
“ Mas Danan, mas Cahyo… sudah yakin?” Tanya Pak Sardi.
“ Yakin pak… Pak Sardi.. jangan memaksakan diri ya” Ucapku padanya ,
sejenak aku teringat dengan kejadian di imah leuweung saat Brakaraswana membunuh pak kuswara.
“Hati-hati , kita… udah disambut” ucap Danan pada kami.
Dari dalam sebuah hutan yang gelap , terlihat makhluk – makhluk halus penunggu hutan sudah menanti kami.
Yang mengerikan setan-setan ini tidak memiliki tubuh yang utuh dan bentuk yang bermacam-macam.
“Cahyo jangan diserang dulu… aku mau mencari tahu sesuatu” ucap Danan.
Danan menarik sebagian dari api Geni Baraloka yang tumbuh besar di perbatasan hutan dan menyerang sesosok makhluk berwujud nenek tua yang hanya memiliki satu tangan.
Setan itu terbakar dan meronta , namun tak lama wajah busuk makhluk itu kembali menyerupai manusia.
“ jadi… ini kekuatan geni baraloka milik paklek?” Tanyaku pada Danan.
“ Kekuatan yang luar biasa, pemilik ilmu ini pasti sudah mencapai tingkat kebajikan “ Ucap Pak Sardi yang terkesima dengan ilmu milik paklek itu.
Danan menghentikan seranganya ketika makhluk itu mulai tenang.
“ Benar.. . tapi bukan itu yang mau tak pastikan” ucap Danan sambil mendekat ke roh nenek itu.
“Nek… apa nenek sudah tenang? Tanya Danan.
“terima kasih cu… nenek ga ngerasain sakit lagi” Ucap makhluk itu kepada Danan.
“Maaf nek… sebelum nenek pergi, bisa sedikit membantu kami menceritakan ada apa di alas mayit” Ucap Danan pada makhluk itu.
Danan benar, ada baiknya kami mencari tahu kondisi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam.
Nenek itu mengangguk dan mulai bercerita pada kami.
“ Jauh di jaman dulu… jauh sebelum ada desa di tempat ini , hutan ini adalah sebuah kerajaan”
layaknya sebuah kerajaan , mereka memiliki patih yang memegang wilahnya masing-masing.
Kerajaan ini yang sangat kuat dan hampir tidak pernah kalah perang.
Namun semua berubah ketika saat perayaan kemenangan, sang raja memanggil sekelompok pemain gamelan ,sinden, dan penari untuk menghibur para prajuritnya.
Para pejabat sangat senang dengan permainan dari mereka,
Hampir semua keinginan para pemain ini dipenuhi oleh para pejabat, sampai akhirnya keinginan mereka berubah menjadi hal yang mengerikan.
Untuk memainkan pertunjukan , kelompok gamelan ini meminta 27 pasang telinga yang harus dipersembahakan sebelum pertunjukan.
Awalnya para pejabat heran, namun karena kerajaan masih memiliki tahanan perang , akhirnya dipotonglah kedua daun telinga tahanan itu untuk memenuhi permintaan mereka.
Namun ternyata itu hanya permulaan…
permintaan menjadi semakin mengerikan , telinga , lengan, jari dalam jumlah yang tidak sedikit. Ketika kehabisan tahanan, mereka menggunakan warganya sendiri untuk diambil bagian tubuhnya.
Maka setiap terdengar suara gamelan dari istana, warga akan bersembunyi atau meninggalkan kerajaan untuk menghindarkan diri dari permintaan kelompok gamelan itu.
Semua menjadi mengerikan ketika tanpa sepengetahuan raja , kedua patih jatuh cinta dengan si penari.
Mereka berebut untuk menarik perhatian wanita itu dengan memberikan apa yang dia mau. Warga yang harusnya dilindungi oleh patih kerajaan dibantai dan dimutilasi untuk diberikan kepada si penari. Apabila penari itu puas , ia akan menemani sang patih semalaman.
Hal mengerikan terjadi lagi ketika si penari meminta untuk menjadi ratu kepada dua patih itu. Pemberontakan terjadi , korban bergelimpangan dimana-mana. Kedua patih mencoba membunuh raja , namun diselamatkan oleh seorang patih yang masih setia.
Karna tak mampu menahan pergolakan yang terjadi , sang patih dan raja mengajak warga yang masih bisa diselamatkan untuk meninggalkan kerajaan. Namun karena merasa bersalah dengan apa yang terjadi , raja kembali ke kerajaan seorang diri.
Sang Raja menantang kedua patih untuk bertarung dengan posisi raja sebagi hadiahnya. Dengan syarat pertarungan dilaksanakan di benteng istana , disaksikan semua para pengikut patih , dan diiringi oleh kelompok gamelan itu.
Permintaan disanggupi , seluruh pengikut kedua patih berkumpul menyaksikan . benteng istana menjadi dipenuhi oleh orang-orang yang sebelumnya saling bertarung.
Rupanya sang raja memiliki rencana,
di tengah pertarungan ia menggeser beberapa batu pondasi dan menggunakan ajian ilmu peremuk bumi untuk menghancurkan benteng dan mengubur semua manusia yang ada disana termasuk dirinya.“
Nenek itu mencoba menyelesaikan ceritanya.
“Lantas mengapa sekarang tempat itu dipenuhi oleh banyak demit nek..?” Tanyaku.
“ Penari itu ternyata jelmaan iblis laknat… semua permintaan itu adalah tumbal untuknya, semua warga yang mati karna permintaanya kini menjadi demit ,
dan kami hanya bisa menghilangkan rasa sakit bila meminum darah manusia..” Jelasnya.
“ Sekarang ia tinggal di sendang banyu ireng tempat dimana kerajaan itu hancur, dan seorang patih biadab itu menjelma menjadi manusia yang mendirikan desa di ujung hutan ini ,
ia sudah beberapa kali merubah wujudnya “
Kami segera memikirkan tentang kepala desa, bisa jadi setan patih kerajaan ini yang menjelma menjadi seorang kepala desa untuk mengumpulkan tumbal si demit berwujud penari itu.
“ Terima kasih nek… semoga tenang di alam sana” Ucap Danan sambil melepaskan roh nenek itu yang perlahan menghilang.
Setelah mengetahui kondisi di alas mayit, kami masuk ke dalam hutan yang di kelilingi oleh makhluk halus korban pembantaian yang diceritakan tadi.
“Mas Danan, Demit-demit ini jangan dihabisi… biarkan geni baraloka bertambah besar dulu , biar nanti saya yang menenangkan mereka” Ucap Pak Sardi pada Danan.
Terlihat rasa simpatik muncul dari ucapan Pak Sardi setelah mendengar cerita dari hantu nenek tadi.
“ Baik Pak Sardi , kita gunakan geni baraloka seperlunya saja” balas Danan.
Kami membaca ajian pelindung dan berusaha meninggalkan demit itu tanpa pertarungan dan terhenti di sebuah sendang yang digenangi air berwarna hitam.
diatas sendang itu telah berdiri bangunan candi dengan batu berwarna hitam dan sebuah Gong besar yang terletak di tengah sendang.
Mataku melihat sekitar , mencari kayu pohon beringin tua yang sudah membatu seperti yang diceritakan Mbah Rusman.
Kami mendekat , namun langkah kakiku terhenti ketika muncuk dua makhluk yang kami kenali.
Pak kepala desa , dan Aswangga… .
Dibelakangnya muncul wanita berpakaian sinden lengkap dengan sanggulnya , wajahnya semakin mengerikan ketika tidak terlihat bola mata di lubang matanya.
Tak berhenti sampai di situ , pada sebuah pohon tergantung jasad seorang wanita yang sudah membusuk dengan tubuh yang mengenaskan.
Itu jasad Laksmi…
Danan terlihat geram, namun kali ini ia tidak terbakar emosi.
“ Cahyo… Kali ini kamu ga akan menghalangiku kan? “ Tanya Danan padaku.
“ Menghalangi? Aku yang akan menghabisi mereka duluan!” Jawabku sambil menerjang setan-setan itu.
Satu manusia menantang takdirnya mendatangi Tanah Para Danyang seorang diri. Bli Waja mencari keberadaan sosok asal dari kekuatan yang ia miliki. Takdir membawanya pada pertarungan pengguna ilmu yang sama..
#bacahorror
Danan dan Cahyo berdiri di hadapan samudra tanpa batas. Ombak menderu kencang, seolah memekikkan kekuatan alam yang tak terbendung. Malam telah melewati puncaknya, namun bulan masih terselubung awan pekat, menyisakan kegelapan yang terasa berat.
"Kamu bilang wujud pusaka Ratu Ular itu mahkota? Tapi kamu nggak kepikiran, mahkota itu harusnya dipakai oleh siapa?" tanya Cahyo, menatap lautan.
"Ada banyak kemungkinan," jawab Danan tenang. "Salah satunya, sosok yang mewarisi kekuatan Ratu Pantai Selatan. Apalagi sekarang kita tahu, pusaka itu ada dalam perlindungannya."
"Blorong?" Cahyo bertanya dengan nada cemas.
Danan mengangguk. Kekhawatiran Cahyo bukan tanpa alasan. Sosok itu telah lama menguasai beberapa wilayah hitam di Tanah Jawa, membuat siapa pun gentar untuk berhadapan dengannya.
Tiba-tiba, suara kereta kencana terdengar mendekat. Namun, bukan dari arah daratan, melainkan dari tempat ombak bergemuruh.
"Suara ini... tidak asing," ujar Cahyo.
"Iya, suara yang sama seperti saat kita dijebak di gua oleh Bara," sahut Danan. "Kalau diingat, beliau sebenarnya sudah banyak membantu kita, meskipun secara tidak langsung."
Kereta itu berhenti tepat di tengah lautan yang mendadak tenang. Aneh, suasana berubah; mereka merasa seperti bukan lagi berada di tempat sebelumnya.
"Sudah kuduga, beliau tidak akan menemui kita langsung," kata Cahyo.
"Memang seharusnya begitu," balas Danan. "Kita, bangsa manusia, tidak seharusnya berurusan dengan mereka. Tuhan sudah memisahkan kita di alam yang berbeda untuk alasan itu."
Cahyo mengangguk setuju. Mereka pun duduk bersila dengan sopan dan memejamkan mata. Tiba-tiba, sebuah penglihatan datang menghampiri.
"Mas Danan! Mas Cahyo!"
Suara lembut Lara Sukma terdengar dari kejauhan. Ia berjalan anggun, ditemani Abdi Jinten yang setia di sisinya. Namun, Danan dan Cahyo hanya bisa membalas dengan senyuman, tetap bertahan dalam posisi meditasi.
Suasana berubah. Kini mereka berada di sebuah keraton yang seolah mengapung di atas lautan. Tempat itu dipenuhi aura sakral, dihormati oleh penghuni samudra dan bahkan oleh gelombang laut itu sendiri.
"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Danan kepada Lara Sukma.
"Jangan khawatir, Mas. Di sinilah seharusnya tempatku berada. Lagipula, aku hanya berada dalam wujud ini selama beberapa puluh tahun. Setelah itu, aku bisa menitis menjadi ular, burung, ikan, atau apa pun," jawab Lara Sukma sambil tersenyum.
"Takut ketemu di Magetan," bisik Cahyo, membuat Danan melotot kesal.
"Memangnya di Magetan ada apa, Mas?" tanya Lara Sukma polos.
"Nggak ada apa-apa! Pecelnya enak!" Cahyo buru-buru mengalihkan pembicaraan.
"Yang pecelnya enak itu Madiun," goda Danan.
"Berisik!" Cahyo memotong, sementara Abdi Jinten hanya tersenyum menahan tawa.
Abdi Jinten kemudian mendekati mereka berdua. Wajahnya serius, penuh kewibawaan.
"Kanjeng Ratu telah memahami maksud kalian. Namun, beliau ingin kalian mengerti sesuatu," ucapnya tenang.
"Apa itu, Abdi Jinten?" tanya Danan penasaran.
Dharrr! Dharrr!
Penglihatan mereka pecah, menampilkan sebuah keris tua yang menancap di dasar laut. Keris itu berkarat, dikelilingi aura mengerikan, menciptakan gelombang yang membawa kematian.
"I—itu... Pusaka Mayit?" Cahyo berseru.
Abdi Jinten mengangguk. Penglihatan lain muncul, menampilkan Lara Sukma bertakhta di sebuah telaga. Dari sana, pusaka-pusaka diciptakan oleh para empu yang menjalin perjanjian dengan roh alam.
"Kanjeng Ratu menyerahkan keputusan kepada kalian," ujar Abdi Jinten. "Namun, kalian harus tahu, roh leluhur Sambara telah melemah. Manjing Marcapada kembali terbentuk, dan Angkarasaka bisa dibangkitkan."
Mereka saling berpandangan, menyadari beratnya situasi.
"Kalau begitu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Cahyo.
Abdi Jinten menjawab dengan berat, "Kalian harus siap menghadapi segalanya, meskipun harus mati atau menghancurkan kedua pusaka para danyang itu."
Danan dan Cahyo terdiam. Akhirnya, mereka mengangguk.
Danan dan Cahyo saling bertatapan. Keadaan ini berbeda dengan yang ia bayangkan.
“Apakah berarti kabar baik?” Tanya Danan.
Abdi Jinten menggeleng dan berpaling memandang penglihatan yang juga dilihat oleh Danan dan Cahyo itu.
“Jika kalian memutuskan untuk menggunakan kemampuan Pusaka Sukma dan Pusaka Mayit, akan ada tragedi besar yang melibatkan para pengagung pusaka di alam ini…”
“Cukup, Abdi Jinten. Kami mengerti maksud Kanjeng Ratu.” Cahyo menyambungkan niat Danan. “Jika kami tahu apa yang akan terjadi, kami akan bimbang.”
Mendengar perkataan itu Abdi Jinten menghela nafas dan mundur. Mereka mengerti maksud Danan dan Cahyo.
“Baiklah kalau itu keputusan kalian. Terakhir, Kanjeng Ratu hanya menegaskan bahwa dirinya tidak ada di sisi manapun. Entah itu manusia, para Danyang putih, atau Danyang hitam. Jangan pernah berharap apapun dari beliau.”
“Tenang, Abdi Jinten. Kami tahu kepada siapa kami harus menggantungkan doa dan harapan kami.” Jawab Danan tegas.
Seketika penglihatan itu menghilang. Tak ada lagi yang hendak disampaikan oleh Abdi Jinten. Ia hanya tersenyum bersama pudarnya penglihatan keraton, lara sukma, dan para penjaga laut yang mulai mendekat masuk. Saat penglihatan itu memudar, suara ombak kembali terdengar.
Danan dan Cahyo pun membuka mata dan mereka masih tetap berada di tempatnya semula di hadapan deru samudra laut selatan. Kali ini rembulan tak lagi tertutup awan, cahayanya terpantulkan pada sesuatu yang berada di pantai terbawa ombak.
Mereka pun berdiri dari posisinya dan mengenali benda berbentuk mahkota yang sebagian sisinya sudah membatu.
"Jadi ini benda yang membuat ricuh para danyang?" tanya Cahyo dengan suara bergetar, matanya terpaku pada mahkota tua yang tergeletak di pasir. Bentuknya anggun namun menyeramkan; sebagian sisinya telah membatu, memancarkan aura dingin yang menusuk kulit.
"Ya," jawab Danan pelan, nadanya berat. "Kita harus menyegelnya bersama Manjing Marcapada yang baru saja bangkit kembali. Ini tugas yang leluhurku gagal selesaikan."
Danan perlahan menunduk, tangannya meraih mahkota itu. Saat jarinya menyentuh permukaannya, sebuah getaran kuat menyambar, menghantam tubuh mereka seperti arus listrik tak kasatmata.
Deg!
Seketika, hawa dingin menyelimuti. Bukan hanya dingin biasa—ini dingin yang menggerogoti jiwa, membuat jantung mereka berdegup kencang. Cahyo menelan ludah, tubuhnya gemetar tanpa ia sadari.
"Ini... ini yang dimaksud oleh Mbah Purnomo?" tanyanya, mencoba memastikan.
"Ya," jawab Danan singkat, matanya terpaku pada mahkota di tangannya. "Dengan ini, seluruh danyang hitam di Tanah Jawa akan mengincar kita."
Hawa berat semakin terasa. Angin yang tadinya tenang mendadak bertiup kencang, membawa bisikan-bisikan asing yang menggema di telinga mereka. Cahyo menoleh ke sekeliling, bayangan hitam seperti kabut mulai merayap di tepi pantai.
Fajar baru saja menyapa, tapi sinar matahari masih malu-malu menyusup di balik kabut pagi. Suara ayam berkokok bersahutan, menjadi latar saat Dirga dan Guntur berdiri di depan rumah. Tas besar menggantung di punggung mereka, menyiratkan tekad yang tak tergoyahkan.
“Kalian tidak harus pergi dari desa ini…” Suara berat Abah mencoba menahan langkah mereka.
“Abah, ini satu-satunya cara,” jawab Dirga dengan mata tajam. “Setan nenek itu dan makhluk berwujud singa tak akan berhenti mengejar. Jika kami tetap di sini, desa ini akan hancur.”
“Dirga benar, Abah. Kami akan lebih aman bersama Nyai Jambrong,” tambah Guntur.
Abah terdiam, menghela napas panjang. Mata tuanya menatap anak-anaknya dengan perasaan bercampur aduk. Ia tahu, keputusan ini tidak diambil sembarangan.
“Kalau begitu, Abah tidak melarang. Tapi bawa ini.” Abah menyerahkan telepon genggam tua milik Emak. “Sering-sering kabari kami.”
“Iya, Abah. Dirga janji,” balas Dirga.
Tak lama, Emak muncul tergesa-gesa dari dalam rumah, membawa kantong plastik penuh bekal. “Ini nasi buat kalian. Jangan sampai ngerepotin Nyai Jambrong, ya!” katanya dengan suara bergetar.
“Iya, Emak. Terima kasih. Dirga pamit.”
“Guntur juga pamit, Mak.”
Mereka mencium tangan Abah dan Emak sebelum melangkah menuju terminal. Di sepanjang jalan, perasaan mencekam tak kunjung pergi. Hati mereka terusik oleh bayangan kegelapan yang seolah mengikuti setiap langkah.
Beberapa hari sebelumnya, mereka telah menyelamatkan Hisna dari gubuk terkutuk dan menitipkannya pada keluarga terpercaya.
Namun kabar yang datang kemudian membuat bulu kuduk meremang: Pakde Hisna, yang diduga pelaku ritual itu, ditemukan tewas mengenaskan dengan tubuh terkoyak seperti dicakar makhluk buas.
“Itu pasti makhluk berwujud singa atau harimau itu,” gumam Dirga saat mendengar kabar dari Hisna di telepon.
“Tapi kenapa makhluk itu justru membunuh Pakdenya, yang jelas-jelas melakukan ritual?” tanya Guntur, bingung.
Dirga menggeleng. Jawaban tak pernah jelas. Hanya satu yang pasti: mereka harus segera menemui Nyai Jambrong.
( Sudut pandang Danan…)
Perasaan yang aneh dan menggugah muncul di benakku, seperti bisikan lembut yang mengusik kesadaranku. Ingatanku perlahan kembali, dan jantungku terasa tertusuk tajam saat mengingat apa yang terjadi ketika aku kembali ke alam manusia.
Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang menekan dadaku, mengingatkan akan dosa yang tak termaafkan.
...
Ketika mataku terbuka, bukan Nyi Sendang Rangu yang kulihat di sampingku, melainkan sosok perempuan cantik yang begitu anggun dan menawan. Kebaya hitamnya membalut tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk tubuhnya yang memikat.
Ia berbaring di atasku, membuatku terperangkap dalam pesonanya. Kulitnya sehalus sutra, dan setiap gerakannya memancarkan keanggunan yang memabukkan.
“... Kau sudah bangun rupanya?” Suaranya lembut dan menenangkan, namun tubuhku masih belum sepenuhnya bisa bergerak. Suara itu menyusup ke dalam pikiranku, menenangkan sekaligus membangkitkan rasa takut yang samar.
“..Si—siapa ka..” Aku berusaha berbicara, namun kata-kataku terhenti oleh sentuhan lembut jarinya.
“Sssttt…” Jari lentiknya menahan bibirku, membuatku terdiam.
Wajahnya begitu dekat, aroma melati yang menyengat menguar dari tubuhnya, membius kesadaranku. Matanya menatap dalam ke mataku, seolah menelanjangiku hingga membuatku tak berdaya di hadapannya.
“Darah yang mengalir di tubuhmu memikatku. Aku benar-benar tak mampu menahannya...”
Sebuah kecupan lembut menyentuh bibirku, dan telapak tangannya membelai rambutku dengan penuh kelembutan. Sentuhannya seperti kejutan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku terhanyut dalam gairah yang ia ciptakan.
Saat itu, pikiranku kosong, dan aku terhanyut dalam pesonanya, tak mampu melawan daya tariknya yang memabukkan.
...
“Tidak! Tidak mungkin! Aku tidak mungkin melakukan perbuatan itu?!” Aku terperangah, tak percaya dengan ingatan yang kembali menghantuiku. Setiap kenangan terasa seperti belati yang menusuk hatiku, mengingatkan akan pengkhianatan yang telah kulakukan.
Sosok itu mendekat, wajahnya cemberut seperti seorang kekasih yang merajuk. “Mas jahat!” katanya dengan nada manja, namun senyumnya yang licik tak bisa kusembunyikan dari pandanganku.
“Bukankah kita sudah menyatu? Aku milikmu, Mas!” Suaranya menggoda, namun di balik itu ada ancaman halus yang membuatku merinding.
Aku terjatuh berlutut di tanah, suara gamelan di sekitarku berubah menjadi sendu, seolah menegaskan dosa yang telah kulakukan. Setiap denting gamelan seperti mengiringi penyesalanku, menambah beban di hatiku.
Bayangan Naya muncul di benakku, sosok wanita yang begitu polos dan penuh kasih, yang telah kukhianati. “Naya... maafin, Mas...” Air mataku mulai menetes, menandai penyesalan yang mendalam. Setiap tetes air mata adalah pengakuan atas kesalahan yang tak termaafkan.
Perempuan itu berjongkok, mengangkat daguku dengan lembut. “Sebaiknya kita terima saja takdir kita...” Bisiknya, mendekatkan bibirnya padaku, bersiap menciumku yang masih terperangkap dalam rasa bersalah dan penyesalan. Bibirnya hampir menyentuh bibirku, namun hatiku berteriak menolak, terbelah antara hasrat dan dosa yang menghantui.
“Treng teng!! Teng!!! Teng!!!”
Suara bising tiba-tiba memecah kesunyian gending yang mengalun dari hutan-hutan di sekelilingku. Awalnya, aku hampir mengabaikannya, namun suara itu semakin mendekat, diiringi teriakan dan sebuah helm yang melayang ke arahku.
“Jangan dekat-dekat Danan! Dia sudah punya pacar!”
Suara itu sangat familiar.
Dhuakkk!!Helm itu menghantam wajahku tepat saat aku menoleh ke arah sumber suara.
“CAHYO?!” Aku berteriak, bingung sekaligus kesal dengan kemunculannya yang tiba-tiba dan perbuatannya melempar helm padaku.
“Eh! Ma—maaf, Nan! Niatnya mau ngelempar ke setan genit itu!” sahut Cahyo sambil buru-buru memarkirkan motor Vespa tuanya yang suaranya mengalahkan gamelan gaib di hutan itu.
Aku berdiri dengan bantuan Danan, sementara Cahyo menunjuk perempuan di hadapanku dengan wajah kesal.
“Roro Mayit! Umurmu sudah ratusan tahun lebih! Seleramu masih berondong? Malu kau sama Nyai Jambrong!” teriak Cahyo.
“Kamu ngancem apa lagi pantun, Jul?” bisikku.
“Lha nggak tahu, nyambung gitu aja...” jawab Cahyo asal.
Ternyata benar, sosok perempuan itu adalah Roro Mayit. Cahyo menjelaskan bahwa ia mengetahui keberadaanku dan tentang Roro Mayit dari Mbok Sar.
“Mas Danan…” Suara Roro Mayit kembali terdengar manja, wajahnya tampak cemas setelah kedatangan Cahyo.
“Heh! Heh! Nggak usah sok manja!” Cahyo menanggapi dengan ketidaksukaan yang jelas.
“Berisik! Kau pengganggu!” balas Roro Mayit. Entah mengapa, wujud dan tingkah Roro Mayit semakin mendekati sosok yang membuatku nyaman.
“Jul... telah terjadi sesuatu antara...” aku mencoba menjelaskan.
“Aku tidak suka ada pengganggu! Aku pergi saja!” Roro Mayit tiba-tiba melayang menjauh dari kami.
Anehnya, dia tidak melakukan apapun. Tak ada kutukan, tak ada serangan. Aku masih merasakan betapa mengerikan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya, namun dia benar-benar tidak menyerang kami.
Hujan mengguyur deras, disertai angin kencang yang menerbangkan dedaunan dan menghantam pepohonan. Kilat menyambar tanpa henti, menerangi kegelapan malam dengan cahaya yang menakutkan.
Di tengah badai ini, pasukan Cakra Manunggal berdiri tegak di atas reruntuhan istana salah satu kerajaan sekutu Tunggul Giri yang telah mereka tundukkan.
Prabu Ramajaya, dengan pakaian perangnya yang penuh noda darah dan lumpur, berdiri di depan rakyat yang ketakutan, suaranya menggema melawan gemuruh badai.
“Mulai saat ini, seluruh rakyat di kerajaan ini berada dalam perlindungan Kerajaan Indrajaya!” serunya tegas.
Para warga yang sebelumnya gemetar karena ketakutan mulai merasakan sedikit ketenangan. Nyawa mereka telah terselamatkan dari ritual penumbalan massal yang diinisiasi oleh raja mereka sendiri, yang kini telah tewas di tangan pasukan Indrajaya.
Sementara itu, Abimanyu berdiri di sisi Prabu Ramajaya, mengamati badai yang kian menggila. Petir menyambar hanya beberapa meter dari mereka, membuat suasana semakin mencekam.
“Kerajaan Tunggul Giri dan tiga kerajaan lainnya telah kita kuasai,” ujar Abimanyu, suaranya dingin namun penuh tekad. “Hanya ini yang bisa kita lakukan dalam peran kita sebagai manusia.”
Prabu Ramajaya menoleh dengan pandangan yang penuh keraguan. “Apa saatnya kita menyusul Ayah dan Baswara?” tanyanya, mengacu pada pasukan lain yang bertempur di wilayah berbeda.
Abimanyu menggelengkan kepala, rahangnya mengeras. “Kau baru saja memberikan pernyataan pada rakyat-rakyat itu,” ucapnya tajam, “dan sekarang kau berencana meninggalkan mereka?”
Ramajaya tersentak oleh teguran itu, namun kegelisahan di dalam hatinya terus bergolak. “Aku hanya merasa harus melakukan segala cara untuk menghentikan bencana ini,” jawabnya dengan nada penuh keputusasaan. “Bahkan jika nyawaku harus menjadi taruhannya.”
Abimanyu melangkah maju, menatap kakaknya dengan tatapan tajam yang penuh amarah dan tekad. “Jangan sombong, Ramajaya!” suaranya memotong derasnya hujan. “Tidak semua masalah harus kau tuntaskan sendiri. Ada saatnya kita menunggu.
Percayalah pada mereka yang tengah berjuang, dan pada takdir Sang Pencipta!”
Perkataan itu menghantam Prabu Ramajaya seperti guntur di dadanya. Ia menunduk sejenak, menggenggam gagang pedangnya yang dingin. Ia tahu Abimanyu benar, namun hatinya masih gelisah.
Di kejauhan, suara genderang perang masih terdengar, tanda bahwa pertempuran di Tanah Danyang belum usai. Namun untuk saat ini, Prabu Ramajaya memutuskan untuk bertahan bersama rakyat yang ia lindungi, berusaha memberi mereka harapan di tengah bencana yang mencekam.
Dengan tatapan yang lebih tenang namun tetap penuh tekad, ia memandang badai yang terus mengamuk di langit.
“Kami serahkan sisanya padamu, Ayah…” gumamnya pelan, seakan berdoa kepada mereka yang masih bertempur dan kepada Sang Pencipta, memohon kekuatan untuk melindungi orang-orang yang ia kasihi.
Suara derap kuda terdengar memecah keheningan malam, mendekati barak prajurit dengan cepat. Para penunggangnya turun tergesa-gesa, wajah-wajah mereka penuh ketegangan. Mereka langsung menuju tenda besar di tengah barak, tempat raja berada.
"Berhenti! Raja ada di dalam!" seorang penjaga menahan mereka dengan tangannya terentang.
"Kami harus bertemu yang mulia! Ini keadaan darurat!" Pemimpin mereka bersikeras.
Penjaga itu memerhatikan mereka sejenak, mengenali lencana-lencana khas yang menghiasi seragam mereka. Pasukan elit Cakra Manunggal, yang langsung di bawah komando Prabu Ramawijaya.
"Baiklah, tunggu sebentar…" ujar sang penjaga sambil memasuki tenda.
Ramawijaya telah menduduki tahta dan membangun kerajaan Darmawijaya sebagai kerajaan dengan pertahanan militer yang kokoh.
Mereka mampu menggetarkan kerajaan besar di sekitarnya, namun bukan itu tujuan utamanya. Perang para danyang semakin dekat, dan bertahun-tahun lamanya, bencana semakin melanda.
Tak lama kemudian, mereka diizinkan masuk. Di dalam tenda, Prabu Ramawijaya dan para patihnya tampak berkumpul, membahas sesuatu yang tampaknya mendesak.
Pemimpin pasukan itu melangkah maju dan berkata tegas, "Yang mulia, kabar ini harus disampaikan segera."
Prabu Ramawijaya menatapnya tajam. "Panglima Cakra, aku mengenalmu terlalu baik untuk tahu bahwa kau tak akan menggangguku tanpa alasan. Katakan."
Dengan satu langkah cepat, Panglima Cakra mendekat dan tiba-tiba mencabut pedangnya. Patih-patih lain sontak bereaksi, namun terlambat. Pedang Cakra menembus dada Patih Renggana.
"Cakra! Apa yang kau lakukan?!" Patih Raksawira menghunus pedangnya, mengarahkannya tepat ke leher Panglima Cakra.
Namun Panglima Cakra tak bergeming. "Aku tak akan bicara sampai pengkhianat ini tak lagi bernyawa," katanya dingin, sementara para penjaga dipanggil untuk menyelamatkan Patih Renggana yang sekarat.
Patih Raksawira tak bisa menahan amarahnya dan mengangkat pedang untuk menebas leher Panglima Cakra. Tapi tiba-tiba, suara berat terdengar dari arah pintu.
"Tahan, Raksawira!"
Semua mata tertuju pada seorang pria dengan pakaian lusuh dan tubuh penuh debu yang baru saja memasuki tenda. Walau penampilannya sederhana, auranya membuat para patih berhenti seketika.
"Abimanyu?! Cakra telah mencoba membunuh Patih Renggana! Kita tak bisa membiarkannya begitu saja!" seru Raksawira, mengarahkan ujung pedangnya ke Panglima Cakra. Namun, Abimanyu hanya menatap tajam.
Seluruh patih menundukkan kepala sedikit, sadar betul siapa pria itu.
Dia adalah Abimanyu Darmawijaya, pewaris dari Prabu Arya Darmawijaya, yang berjanji mendampingi Prabu Ramawijaya untuk menjaga Kerajaan Indrajaya sejak kepergian Raja Indrajaya.
Patih Renggana menekan luka di dadanya, mencoba mempertahankan nyawanya. Setiap tarikan napas terasa seperti api yang membakar, namun ia berusaha memperpanjang hidupnya sejenak, berharap ada seseorang yang membantunya.
Srratt!
Dalam sekejap, Abimanyu sudah berada di samping Prabu Ramawijaya, dan di tangannya tergenggam kepala Patih Renggana yang sudah terpenggal dari tubuhnya. Hening menggantung di udara, seakan waktu berhenti sejenak.
Tenda itu bergetar dalam kesunyian, hingga tubuh Patih Renggana menyadari bahwa ia telah kehilangan kepalanya. Seketika, semburan darah memuncrat deras, membuat para patih mundur ngeri.
“Jadi, dia pengkhianatnya?” tanya Prabu Ramawijaya dengan suara tenang, nyaris tak terpengaruh oleh pemandangan mengerikan itu.
Abimanyu mengangguk ringan sambil duduk di sisi Prabu Ramawijaya. “Benar. Dia adalah patih di kerajaan kita, namun sekaligus Raja di kerajaan Tunggul Giri.”
Suara gemuruh dari puncak Mahameru menggema, menggetarkan bumi dan langit. Mahameru, yang berdiri megah di Jawa Timur sebagai paku penyeimbang Pulau Jawa, kini memuntahkan isinya.
Dharrr!!!
Batu-batu besar terlontar dari kawahnya, menghantam pepohonan di kawasan Kalimati, menciptakan kepanikan di antara mereka yang ada di sana.
"Menyingkir!" teriak seseorang, memberi isyarat pada sekelompok pasukan yang menerobos letusan dahsyat itu.
"Ini gila! Siapa yang terpikirkan untuk menerobos letusan gunung seperti ini?!" teriak Raja Indrajaya dengan napas memburu, mencoba menghindari lontaran batu panas yang jatuh dari langit.
"Siapa lagi kalau bukan Pangeran Baswara, putra andalanmu itu, yang mulia..." sahut Panglima Brasma sambil melirik ke arah Baswara yang tanpa ragu maju lebih dahulu.
Di depan, Baswara membuka jalan dengan segenap tenaga, dibantu oleh kawanan kera putih yang melompat lincah di antara lahar. Seekor kera putih menari melompat di antar pepohonan, membaca aliran energi panas yang memancar dari gunung, menghindari setiap bahaya yang muncul.
"Ayah! Dia di sana!" teriak Baswara, menunjuk ke arah pusaran api yang berkobar di antara kepulan awan panas di puncak Mahameru.
Raja Indrajaya dan Panglima Brasma menyaksikan dengan mata mereka sendiri kekacauan itu, kekuatan yang tak terkendali memutar-mutar di puncak tertinggi pulau.
"Kalian, kembali! Setelah ini urusan kami sekarang!" seru Raja Indrajaya kepada para prajurit yang mendampingi mereka.
"Ta—tapi, yang mulia! Tempat itu terlalu berbahaya! Biarkan kami ikut bersama!" pinta seorang prajurit dengan nada cemas.
"Jangan sia-siakan nyawa kalian. Ramajaya dan Kerajaan Indrajaya masih membutuhkan kalian!" Raja Indrajaya menegaskan, suaranya penuh kewibawaan.
Walaupun hati mereka berat, para prajurit itu pun memutuskan untuk mundur, meninggalkan tiga sosok yang akan melanjutkan perjalanan ke pusat bencana.
"Prajurit Indrajaya!" panggil Baswara tiba-tiba. Ia menghampiri para prajurit yang berbalik badan. Mereka menoleh, menatapnya dengan kebingungan.
“Sampaikan salamku pada Ramajaya, dan berikan ini padanya.” Baswara melepas sebuah ikatan tali dari pinggangnya dan menyerahkannya kepada salah satu prajurit.
Begitu tali itu berpindah tangan, prajurit tersebut terhenyak oleh beban kekuatan yang terkandung di dalamnya. Dengan susah payah, ia menggenggam tali itu.