Cerita ini aku dapatkan dari teman kerjaku saat kami mengobrol dan tiba-tiba saja obrolan kami mengarah ke hal-hal berbau mistis. Waktu itu kami membahas tentang kuburan atau yang dikenal dengan sebutan Setra di Bali.
Cerita ini terjadi di sebuah desa di Kabupaten Tabanan, Bali. Untuk detail nama desa akan saya samarkan demi kenyamanan dan menghormati penduduk di desa tersebut. Kita sebut saja desanya dengan nama Desa Taru.
Seperti kuburan pada umumnya, setra Taru dikelilingi pohon-pohon besar. Suasananya sangat asri dan sejuk. Tempat pembakaran mayat terhampar di tengah setra. Beberapa sisa upacara ngaben/pembakaran mayat mengering berserakan.
Namun,tidak membuat tempat itu terlihat kotor. Memang,warga hanya membersihkan sisa-sisa upacara atau sampah yang berbahan plastik yang tidak bisa terurai.Sedangkan sisa upacara yg berukuran kecil dan terbuat dari janur atau daun pisang dibiarkan mengering dan terurai di tanah.
Sore itu sekitar pukul 4 sore, seorang nenek terlihat sedang berjalan memikul karung di bahunya. Sebut saja namanya Nenek Sari. Nenek Sari berasal dari desa sebelah. Sehari-hari ia berkeliling desanya atau desa tetangga untuk mencari apapun yang bisa ia jual di pasar.
Seperti kelapa, daun pisang ataupun daun kelapa kering. Namun, seringkali ia mengambil barang-barang tersebut dari kebun warga tanpa ijin.
Nenek Sari sudah membawa beberapa barang dalam karungnya saat berjalan mendekati wilayah setra/kuburan desa Taru.
Setra Taru memang terkenal dengan keangkerannya. Tapi, sepertinya nenek Sari tidak mengetahui tentang hal tersebut. Dengan tenang ia memasuki kawasan setra yang memang rimbun dan dikelilingi pohon kelapa.
Terlihat beberapa buah kelapa dan daun kelapa kering tergeletak di areal setra. Senyum tersungging di bibir keriput nenek Sari. Ia merasa senang, tidak perlu berkeliling lagi untuk mendapatkan barang dagangan karena di depannya sudah lebih dari cukup yang bisa dia jual esok hari.
Bergegas ia memasukkan buah dan daun kelapa kering ke dalam karungnya. Saat di pikir yang ia bawa sudah cukup banyak dan karungnya sudah penuh, nenek Sari berjalan dengan riang untuk kembali pulang dan berniat akan datang lagi esok.
Ia mencoba mengingat jalan mana yang ia lalui tadi. Sesekali ia membetulkan letak karung yang ia pikul. Usianya sudah 60 tahun lebih, namun ia masih kuat berjalan jauh dan membawa barang berat.
keringat menetes di pipi keriputnya, ia merasa sudah berjalan cukup jauh, namun pintu keluar setra yang ia lewati tadi belum juga terlihat. Dia melihat jalan di depannya masih jalan setapak lurus yang di kanan kirinya ditumbuhi pohon kelapa dan randu besar.
Hari sudah mulai gelap, suara-suara hewan malam sudah mulai terdengar. Kelelahan, nenek Sari duduk bersandar di sebuah pohon.
Saat ia hendak berjalan kembali, ada sebuah tangan yang menepuk pundaknya. Saat ia berbalik, seorang lelaki tepat berada di depannya.
Lelaki itu membawa sekarung rumput di atas kepalanya. Ia adalah Pak Rai, warga desa Taru
“Nek, nenek dari mana dan mau kemana?” tanya pak Rai. Nenek Sari kemudian menceritakan apa yang ia alami. Kalau ia sudah berjalan cukup jauh dan tidak menemukan jalan keluar.
Saat berbicara dengan pak Rai, nenek Sari menunjuk jalan yang telah ia lalui. Betapa kagetnya nenek Sari, karena ia tidak sedang berdiri di jalan setapak namun, di atas tempat pembakaran mayat. Ia lalu terduduk lemas.
Pak Rai menceritakan pada nenek Sari bahwa ia sudah melihat sang nenek saat baru mulai mencari rumput untuk pakan sapinya. Pak Rai melihat nenek Sari sedang berjalan memutari areal pembakaran mayat. Dikiranya, nenek Sari sedang mencari sesuatu.
Tapi, saat ia kembali dari mencari rumput dalam keadaan langit yang mulai gelap. Ia masih melihat nenek Sari berjalan memutari areal pembakaran mayat. Disanalah pak Rai sadar sedang terjadi hal yang tidak wajar.
Benar saja, ternyata sedari tadi nenek Sari hanya berjalan memutar di areal pembakaran mayat. Ada satu hal yang dilanggar nenek Sari di setra Taru yang memang ia tidak mengetahuinya karena ia tidak berasal dari desa itu.
Siapapun tidak boleh mengambil apapun dari setra Taru tanpa seizin penunggu yang tinggal di sana. Bahkan warga desa pun tidak ada yang berani. Biasanya, jika mereka ingin mengumpulkan kelapa atau daun kering yang ada di sana, akan terlebih dahulu menghaturkan sesajen
sebagai pertanda memohon izin. Kemudian, hasil dari penjualan kelapa akan digunakan untuk keperluan upacara adat di desa tersebut.
Hal tersebut sudah dilakukan turun temurun demi menjaga kestabilan kondisi desa.
Tidak ada satupun warga desa yang berani melanggar agar keadaan desa tetap kondusif. Di sana juga ada sebuah aturan yang tidak tertulis, bahwa areal setra tidak boleh dibersihkan tanpa izin.
Pernah suatu hari beberapa warga desa berinisiatif membersihkan setra namun mereka lupa meminta izin. Setra menjadi bersih bak taman kota. Namun apa yang terjadi, secara beruntun 11 warga desa meninggal dunia dengan tidak wajar.
Setelah ditanyakan kepada sesepuh desa, ternyata penyebabnya adalah setra yang dibersihkan tanpa izin.
Terdengar aneh memang, namun itu adalah sebuah tradisi turun temurun yang dipercayai warga desa tersebut.
Hendaknya kita selalu mengingat dimana langit dijunjung disitu bumi dipijak dan menghormati adat istiadat yang berlaku dimana pun kita berada.
Setidakmasukakal apapun itu. Salam Damai.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Malam itu, malam menjelang dini hari, aku bergabung dengan beberapa teman yang sedang melalukan riset di sebuah jalan padat pertokoan di kota Denpasar. kami bersepuluh.Jejeran pertokoan bertingkat dua di pinggir jalan yang masih mempertahankan arsitektur lama.
Riset dilakukan mulai pukul 10 malam sampai 2 dini hari. Teman-teman yang bertugas mengumpulkan data, berjalan berkeliling menyusuri jalan juga gang-gang di belakang pertokoan.
"VRIEND (Teman)"
.
.
Sebuah cerita pendek fiksi bergenre horor yang terinspirasi dari kisah nyata.
.
. #bacahoror #threadhorror #cerpenhoror
(Cerpen ini dimuat di Buku Kumpulan Cerpen "Elang yang Terbang di Hari Senin" karya Devy Gita)
VRIEND (TEMAN)
Doooor… doooor… doooor…
Peluru–peluru berdesing memecah malam hening. Teriakan–teriakan panik terdengar bergema memenuhi seisi ruangan. Terdengar pula suara–suara berat laki- laki meneriakkan, ”SCHIETEN !!!- tembak !!!”
keriuhan seperti medan pertempuran berpindah ke dalam rumah, Nippon tidak hanya sudah menguasai Batavia namun juga telah menduduki kediamanku. Aku merasakan kakiku berlari dengan cepat. Menyeret gaun tidur panjang tipis putih diatas jalan setapak menuju gerbang rumahku.