Setiap kecelakaan yang melibatkan pesohor, selalu mengundang keriuhan di media sosial dan media pemberitaan. Wajar, karena pesohor memang mengundang rasa ingin tahu yang besar dari khalayak alias kekepoan warganet.
Kasus terakhir yang melibatkan artis VA dan suaminya, juga tak kalah hebohnya. Lalu mayoritas warganet secara aklamasi menyebutkan, ini kesalahan pengemudi. “Kecepatan tinggi aja udah salah. Ini ditambah main HP pula.” Begitu inti dari banyak komentar.
Kecepatan tinggi, memang dominan menjadi pemicu kecelakaan. Speed will kill you.. Begitu kira2. Apalagi bila itu ditambah hal lain misalnya sambil main HP. Sudah pasti, konsentrasi pengemudi akan terdistraksi.
Padahal kata para praktisi defensive driving, aktivitas mengemudi itu sifatnya full time job. Dalam bahasa Belanda, artinya kegiatan mengemudi itu nggak bisa disambi sambil ngulek cabe...
Oke, human error ini tidak bisa dibantah. Bahkan ada penelitian yang menyebutkan faktor dominan laka lantas itu karena faktor manusia. Persentasenya mencapai di atas 85%. Faktor dominan ini jauh di atas faktor penyebab lain. Yakni faktor kendaraan dan alam (lingkungan).
Human error hingga sekarang masih menjadi musuh yang kuat untuk diperangi oleh para praktisi defensive driving, khususnya di Indonesia. Upaya mengubah cara pandang (mindset) dan perilaku (attitude) pengemudi di negeri ini masih jauh dari harapan.
Ketika pemerintahan Presiden Joko Widodo berjibaku mewujudkan rangkaian tol yang menghubungkan Jawa dan Sumatera, salah kaprah pun masih terjadi.
Jalan tol tidak sekadar dimaknai sebagai ‘jalan bebas hambatan’, tapi malah dianggap ‘jalan bebas kecepatan’. Berapa pun kecepatan mobilmu, asal mampu, silakan. Ini fakta keseharian yang tidak terbantahkan.
Akibatnya, ketika terjadi kecelakaan seperti sekarang, lantas muncul komentar dari para ‘haters’; “jalan tol di Indonesia tidak aman.” Ada pula orang yang mengaku pakar menyebutkan bila dinding pembatas tol itu berbahaya karena terbuat dari beton, dst.
Lalu, banyak yang percaya dan ikut menghujat. Ini, jelas karena minimnya literasi masyarakat kita.
Mereka yang berkomentar miring tentang tol ini, sepertinya lupa atau memang tidak tahu, bahwa dalam pembangunan tol itu ada yang disebut kecepatan rencana. Nah, ini menjadi acuan penyelenggara tol untuk membuat kecepatan maksimum yang aman di ruas tol.
Bagaimana dengan dinding beton sebagai pembatas? Jelas, mereka yang menyalahkan dinding beton ini miskin literasi dan tidak tahu bahwa benda yang dia maksud itu adalah Jersey Barrier.
Sejarah lahirnya Jersey Barrier sendiri cukup panjang sebelum dinyatakan proven sebagai metode yang aman dibanding penggunaan lahan rumput yang cekung sebagai pembatas median ruas tol.
Kembali ke soal perubahan mindset dan attitude pengemudi, memang ini memerlukan waktu panjang untuk menanamkan kesadaran bahwa dalam berkendara atau mengemudi faktor paling penting itu adalah keselamatan.
Dan kalau ini disepakati, berarti pula seorang pengemudi harus mampu menyingkirkan berbagai macam driving distraction. Distraksi paling dominan di sini yakni dari aspek visual, manual dan cognitive.
Kecepatan tinggi secara otomatis melibatkan gabungan 3 distraksi yang saya sebutkan di atas. Dan boleh jadi kalau memang driver artis VA bermain gawai, jelas dia menciptakan visual distraction dengan level paling tinggi dibarengi turunnya konsentrasi pada pekerjaan mengemudi.
Sampai di sini, rumus2 dan hukum mengemudi dalam ilmu defensive driving berperan penting mengubah mindset dan attitude tadi dalam kerangka zero accident. Tapi untuk menuju ke zero fatality, juga diperlukan kerja sama semua stake holder yang terlibat dalam kegiatan berlalu lintas
Pabrikan atau produsen mobil, terus mengembangkan 2 aspek penting dalam proses rancang bangun kendaraan. Aspek active safety untuk mencegah terjadinya accident dan aspek passive safety untuk mereduksi fatality.
Desain 3-box pada mobil penumpang adalah temuan cerdas dalam perancangan passive safety. Dua bagian pada mobil (depan dan belakang) dirancang sebagai area lemah (crumple zone) untuk meredam efek benturan.
Sedangkan 1 bagian di tengah, menjadi passenger cell dengan konstruksi baja yang kokoh untuk melindungi penumpang dalam setiap kecelakaan.
Ini diperkuat lagi dengan temuan berbagai ragam airbags, side impact beam, mesin jatuh ketika terjadi tabrakan, kolom setir dan pedal2 di area kaki otomatis patah, dan banyak lagi upaya agar pengguna atau pengemudi bebas dari cedera dan fatality bila terlibat kecelakaan.
Namun seperti yang saya utarakan, upaya meminimalkan korban dan mewujudkan zero fatality ini harus melibatkan semua stake holder.
Penyedia sarana jalan (terutama jalan tol), juga dituntut memberikan kontribusi pada aspek keselamatan (ini tidak ada kaitan dengan permukaan jalan dari bahan beton, dinding pemisah, dll). Karena masalah tersebut sudah final melalui aturan batas kecepatan yang aman.
Namun harus diakui pula, masih cukup banyak detil2 penunjang jalan tol yang masih luput dari perhatian. Misalnya ruas tol dengan kontur menurun panjang tapi tidak dilengkapi perangkat run off bagi kendaraan yang mengalami rem blong.
Bahkan pada kasus artis VA, dari rekaman gambar terlihat ada bagian guard rail yang terdorong (karena tertabrak?) sehingga bagian beton jersey nongol dan saya tengarai sebagai eksekutor kerusakan parah pada sisi kiri mobil VA dan menghasilkan fatalitas pada 2 penumpang.
Alasan overspeed di sii bisa saja gugur. Karena menabrak beton dengan offset kurang dari 10% pada kecepatan 60 kpj misalnya, bisa menghasilkan fatalitas.
Jadi jelas di sini, konsep zero accident harus dimulai dari pengemudi didukung piranti active safety pada kendaraan. Tapi ketika accident sudah terjadi (karena human error, dsb), fase yang semestinya bekerja adalah peranti passive safety pada kendaraan dan di luar kendaraan.
Khusus passive safety seperti yang terjadi dalam kasus artis VA, memang terlihat sepele. Tapi itu harus dianggap sebagai ancaman bagi setiap pengguna tol. Terputusnya sambungan antara guardrail dan menghasilkan kenyataan nongolnya barrier, mestinya tidak terjadi lagi.
END
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Nissan GTR yg menewaskan Wakil Jaksa Agung dalam laka lantas di Jagorawi ini tergolong sportscar bermesin V6, 3.8 L twin-turbo. Generasi pertamanya memiliki tenaga 480 hp dan generasi terbaru (2020) bertenaga 565 hp yg membuatnya mampu berakselerasi 0-100 kpj di bawah 3 detik.
Genrerasi Nissan GTR yg banyak di jalan sekarang merupakan produk NISMO yg dimulai Carlos Gohsn thn 2013. Sebagai grabd tourer yg prestisius, mobil ini sanggup dipacu hingga top speed 313 kpj.
Melihat video yg beredar, saya perkirakan mobil melaju di atas 210 kpj saat kecelakaan.
Untuk jenis mobil sport seperti ini, kecepatan di atas 200 kpj itu nyaris gak kerasa. Makanya kontrolnya harus si pengemudi sendiri. Gue pernah nyetir Range Rover 250 kpj di Jagorawi dan masih biss sambil ngobrol saking nyamannya. 😀
Mumpung belom ngantuk. Cerita dikit ya soal Formula E. Maksudnya, biar kita tahu mestinya gimana sikap kita dengan jenis balap mobil listrik ini.
Tapi nonton dulu deh yang satu ini..
1) Gini. Formula E sebenarnya bagus. Bagus pake banget kalau dilihat prospek ke depan. Itu kenapa gue rada jengkel kalo Anies hamburin duit sampe 1,6 T hanya untuk menggelar balapan. Minimal, sebagian duit itu dipake DKI atau JakPro buat beli saham Formula E.
2) Soalnya kalau nggak bagus, gak mungkin juga pabrikan mobil dunia berbondong-bondong masuk ke FE. Contohnya video tadi, Porsche. Bahkan Shell yg sebelumnya menyeponsori F1, sekarang gabung ke FE.
Karena @aniesbaswedan terus berlagak sableng dengan nebangin 190 pohon di sisi selatan Monas demi FE, gimana kalau gue lanjutin bongkar habis masalah Formula E Jakarta ini?
Oke, gue maksi dulu, ngudud dulu, dhuhur dulu ya. Tadinya pengen kudling dulu. Tapi gak ada lawannya, belum ada yg nawarin diri. Ya sudah.. gue ngetwit aja. 😏😊
Selamat berhari minggu. Semoga weekend ini cuaca cerah. Tapi jidat gue sendiri berkerut gara2 baca Kompas. Ini soal biaya penyelenggaraan Formula E di Jakarta. Ini link-nya. Silakan baca... money.kompas.com/read/2020/01/0…
1) Oke, gue iseng hitung-hitungan aja. Setelah baca, gue coba menjumlah total anggaran itu. Nilainya, hampir 1,7 triliun. Ya, gue gak salah... 1,7 triliun. Itu duit semua? Lha iyalah. Masa kerikil? Duit siapa? Mbuuhhhh...
2) Gue mulai dulu nyinyirin duit 1,7 triliun ini. Kenapa? Gii lho. Data Forbes, pada penyelenggaraa Formula E tahun 2017, itu dilaksanakan di 12 kota di seluruh dunia. Dan sekadar info, di tahun itu Formula E Operations menghabiskan 115,1 Euro. ini untuk 12 kota ya...
Buat yg mobilnya kerendam banjir, tolong setelah air surut, jangan langsung hidupin mesin. Itu bisa menyebabkan kerusakan parah krn mesin terkena water hammer.
Cara aman, buka semua busi (spark plug) dan keringkan. Buka box saringan udara dan keluarkan saringannya. Jangan langsung pasang. Tapi coba start mesin (tanpa busi). Kalau ada air muncrat, berarti ruang bakar kemasukan air.
Ruang bakar kemasukan air, butuh treatment khusus. Kalau Anda tidak ahli, lebih baik panggil montir.
Formula E itu ajang promosi produsen electric car. Harusnya gak keluar duit. Tapi produsen mobil lah yg bayar. Indonesia ini bakal jadi pasar besar yg memberi keuntungan produsen mobil elektrik.
Tahun 90-an kita jadi penyelenggara event dunia MotoGP di Sentul dan WRC di Medan. Seingat gue, biaya event itu gak dianggarkan di APBN maupun APBD. Jadi aneh kalau @aniesbaswedan justru menggunakan APBD DKI utk Formula E. @psi_id
Jadi kalau saya prinsipnya ada event otomotif internasional, bagus. Tapi semestinya tidak pakai APBD.
Oh ya, kalu nggak salah pemenang hak penyelenggara Formula E di Jakarta itu PT. Elang Cakra Sarana. Apakah ini perusahaan BUMD sehingga @aniesbaswedan perlu memback-up dg 1.1 T?