Cara kita melihat hubungan romantis di usia dewasa sama dengan apa yang kita alami di usia bayi; sehingga dengan memahami 'pola kelekatan' yang dimiliki, kita dapat mengelola emosi, bersikap, dan bertindak sebagai manusia dewasa.
Pembahasan menarik nih...
Kita bahas perlahan-lahan ya, semoga masih kuat bacanya hehehe.
Teori kelekatan dituliskan oleh Bartholomew, menegaskan dimensi Anxious (Kecemasan) dan Avoidance (Penghindaran) dari tinggi ke rendah. Hasilnya, ada 4 pola kelekatan, seperti tergambar di bawah ini
Kemarin sempat baca penelitian,
Jika kita ingin mempelajari lebih dalam pola kelekatan pribadi, penting untuk memahami kira-kira persentase avoidance (pengindaran) dan anxious (kecemasan) yang aku punya itu seberapa ya?
Pengasuh yang sensitif, responsif memenuhi kebutuhan, dan memberikan ruang anak untuk berekspresi akan menumbuhkan individu dewasa yang dapat melihat diri dan relasinya dengan baik, serta tentu dapat mengekspresikan kebutuhan dan perasaanya.
Sekarang kita masuk ke attachment atau pola kelekatan yang erat kaitannya dengan trauma dan adverse childhood event (masa kecil yang sulit). Pola kelekatan ini memiliki persentase avoidance & anxious yang ekstrem.
Pola kelekatan 2, 3, dan 4. Mari kita bahas 😄
2. Dismissive-Avoidant
Coba cermati kalimat ini,
"Apaansih kontek tiktok uwu semua, lebay"
"Hari gini punya pasangan? Ga ah, gue kan apa-apa bisa sendiri. Lemah"
"Aku males komitmen & keiket pacaran, mending ga deh"
"Orang manja amat sih" (kepada semua orang)
Individu DA cenderung mencari pasangan yang unavailable, sama seperti persepsi yang dimiliki terhadap sosok pengasuh sewaktu kecil.
Seakan 'kemandirian' adalah prinsip nomer satu, sehingga menganggap orang lain 'needy' atau manja (padahal bisa jadi respon orang lain itu normal)
3. Anxious-Preoccupied
Ketakutan akan penolakan, ditinggalkan, diabaikan, mendorong individu AP bersikap 'clingy', manja, posesif, pencemburu. Mau (dan bisa) melakukan apapun untuk memenuhi kebutuhan akan relasinya.
Berdasarkan penelitian juga menunjukkan bahwa individu dengan pola AP cenderung akan menjadi pelaku kekerasan dalam pasangan, karena perasaan tidak aman dan keinginannya untuk pemenuhan kebutuhan.
Cek lagi yuk, dari 2 dan 3 apakah sudah ada yang menggambarkan pola kita?
4. Fearful Avoidant Attachment
Perpaduan antara kelekatan yang cemas dan menghindar. Dituliskan di buku yang kubaca, pola ini adalah yang paling mencekam karena seakan pikiran dan perasaan terguncang dan tidak pernah merasa aman dalam relasi berpasangan.
Individu dengan pola FA cenderung memiliki pandangan terhadap diri yang negatif, pada saat yang sama memiliki pandangan negatif pada orang lain juga.
"Awalnya sayang dan seneng banget punya pasangan, tapi makin kesini kok aku jadi takut dan pengen ngehindar aja ya?"
Apa situasi yang dirasakan individu FA?
- Merasa dirinya sebagai korban, padahal di saat yang sama membuat pasangannya menjadi korban
- Kesulitan mengkomunikasikan emosi, sehingga saat berkonflik individu cenderung menarik diri dan kehilangan 'sosok yang aman' (diri & pasangan)
Ada jurnal yang menjelaskan fenomena pasangan Avoidant (AV) - Anxious (AX) ketika berkonflik,
AV: "Cewekku manja banget sih, males"
AX: "Kenapa ya cowokku ga peka? Aku kan pengen jalan bareng, dipeluk, dan denger kalo dia sayang aku"
Melihat series Layangan Putus yang trending, dapat menggambarkan jika:
1. Perselingkuhan banyak terjadi, sekalipun dalam status pernikahan yang resmi di mata agama dan negara. Jadi, jika saat pacaran ada yang menganggap pernikahan bisa mengobati, mungkin perlu ditimbang lagi...
2. Seseorang yang berselingkuh cenderung menutupi perselingkuhannya dengan kecemburuan yang lebih besar pada pasangannya, dalam defence mechanism Freud yaitu 'projecting insecurities'
Hal yang dia takutkan, diproyeksikan pada pasangannya...
3. Men consider infidelity as sex with someone else, even if no emotions are involved. Women consider infidelity when their significant other develops a close personal relationship with someone else, even if there is no sex or physical intimacy involved (Pallesen, et al., 2011) +
Habis baca sebuah jurnal dan aku menemukan logika yang mindblown. Aku buat thread dikit biar bacanya bisa pelan-pelan.
Judul jurnalnya yaitu "Iri dalam Relasi Sosial", salah satu topik bahasan yang menarik adalah "Iri Popularitas"
Iri pada popularitas seseorang mungkin bisa dibayangkan seperti iri terhadap orang yang memiliki banyak teman.
Dalam konteks pendekatan psikoanalisis, ini adalah "kompleksitas oedipus".
Iri pada orang yang memiliki banyak teman = seorang bayi yang iri terhadap orangtuanya. Alasannya:
1) Punya banyak teman itu hal baik, tapi iri terhadap hal baik itu tidak memahami hal baik & buruk 2) Pertemanan anak kecil itu beda dengan ortu yang tentu lebih banyak jaringannya