Bukanlah membuang waktu kalau kita belajar dari peristiwa itu.
Yang sia-sia adalah berjalannya hari-hari, kita merasa aman; ternyata kita tak bergerak.
Yang harusnya disesali paling serius bukanlah ketika kita sadar banyak waktu yang terbuang sia-sia. Iya, memang tak baik, tapi setidaknya kita menyesal.
Karena ada yang lebih ngeri: ketika setelah sesal, yang dilakukan masihlah mengulang kesalahan bahkan terbiasa dengannya.
"... hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok..." (Al Hasyr 18)
Kita memang tempatnya salah dan lupa. Tapi salah yang dilakukan sekian kali bukanlah kesalahan lagi. Ia sudah jadi pilihan hidup. Maka selama ada waktu, mari bermuhasabah.
Dan salah satu cara memuhasabahi kesalahan adalah: kita akui bahwa kita salah. Karena banyak orang melakukannya, tapi karena tak mau mengakuinya akhirnya mereka tak belajar.
Accept that everybody makes mistakes. It’s part of learning, and the main way we grow.
Kalau memang jatuh lagi di kesalahan yang sama, setidaknya kita tahu bagaimana jalan keluar tercepatnya. Sudah tidak lagi banyak drama karena kita pernah merasakannya, maka kita bisa lebih dewasa mencari solusinya.
Jika sudah begitu, alhamdulillah,
Tanpa sadar, kita bertumbuh.
• • •
Missing some Tweet in this thread? You can try to
force a refresh
Satu ayat Al Qashash yang punya segudang hikmah untuk ditadabburi
Mengawali hari ini dengan tadabbur, "carilah akhirat, jangan lupa dunia", ketika hari-hari ini banyak orang justru terperangkap di kalimat yang terbalik.
Iya, terbalik. "Carilah dunia, tapi jangan lupa akhirat", jadinya kelihatan orientasi utamanya cari duit tanpa niat ibadah.
Menyuguhkan niat yang lebih segar untuk berbuat baik pada orang lain; bukan karena ingin dibalas budinya atau dihargai, namun karena Allah memang sudah sangat banyak berbuat baik pada kita, maka kita membagikan cinta-Nya untuk makhluk-makhluk-Nya
Sebenarnya kita sudah banyak yang tahu, bahwa agama Islam sangat melindungi wanita dari zina, dan mendidik laki-lakinya agar menjaga hati dan mata.
Tapi ya, kita ini sering berontak. Menganggap perlindungan dan pendidikan dari Allah itu sebagai kekang. Padahal kan, "Inna lillah"
Iya, "Inna lillahi", kita ini miliknya Allah, "wa Inna ilaihi raji'un", kita pun pada akhirnya akan kembali pada Allah.
Rasulullah sejak 14 abad lalu sudah berpesan, yang halal itu sudah jelas; yang haram pun sudah jelas, di antaranya ada perkara syubhat yang lebih baik dijauhi.
"Sungguh, Allah tak perintahkan hamba untuk melakukan sesuatu karena Allah butuh mereka", kata Qatadah rahimahullah.
"Allah tak pula melarang hamba dari sesuatu karena Dia pelit. Ketika diperintahkan, itu pasti terbaik buat hamba. Ketika dilarang, pasti untuk selamatkan hamba."
"Lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan", begitu katanya. Iya saya setuju, hikmah ada dimana saja, siapa saja.
Tapi beda urusannya jika perkara agama. Seorang guru bilang, "ilmu agama menentukan hidupmu jadi apa, maka lihatlah dari siapa kamu mengambilnya."
Lebih spesifik lagi, sebenarnya ribuan tahun lalu Tabi'in Muhammad bin Sirin rahimahullah menasihati, "sesungguhnya ilmu merupakan bagian dari agama, maka perhatikanlah dari mana engkau mendapatkannya." (Termaktub dalam Shahih Muslim)
Kalau hikmah tentang pengalaman, manajemen, spesialisasi dan profesionalisme kita tidak dilarang untuk belajar pada yang lebih muda, atau bahkan mereka yang beda keyakinan.
Namun perhatikan kawan, tidak mungkin kita mengambil ilmu dari mereka yang bukan ahlinya; apalagi agama.
Mau ngajak teman-teman mereview dari manakah asal muasal kalimat "nikah membuka pintu rezeki"?
Salah satu jawabannya adalah QS An Nur ayat 32, dan redaksi yang mengilhami ungkapan itu ada di "...Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.."
Nah, masalah kita adalah suka banget mendefinisikan rezeki sebagai materi/uang. Padahal para ahli tafsir tidak memandangnya sesempit itu.
Maksudnya "dimampukan", kata Imam Al Qurthubi adalah "dicukupkan dengan yang halal agar tak macam-macam dengan zina." (Tafsir Al Qurthubi)
Ada juga Ulama yang menafsirkan kekayaan di ayat tersebut bukan kaya harta, tapi kaya hati, alias "qana'ah."
Qana'ah? Imam As Suyuthi menjelaskan, "Ridha atas apa yang dirasa kurang, tak membahas apa yang telah berlalu dan hilang, dan merasa cukup dengan apa yang ada."
Jika kamu merasa suaramu di media sosial tak bermakna untuk Palestina, kamu salah.
Bayangkan ketika seorang pejuang di sana lelah, lalu ia berniat mundur dan menyerah; tapi ia melihat di gawai dan berita lokalnya bahwa dunia Islam mendukung perjuangannya. Itulah napas barunya!
Hashtag, tweet, caption, story Instagram; meskipun kita bukan influencer dengan berjuta followers, tapi jika kita lakukan bersama-sama ia akan jadi gelombang yang membuat dunia sadar dari sihir media zionis.
Perasaanmu bahwa suaramu tak akan didengar, adalah harapan musuh.
Salah satu fakta nyata zionis adalah anggaran besar mereka untuk media. Selain untuk menutup yang terjadi di Palestina, mereka ingin perjuangan bebaskan Al Aqsha hilang dari pikiran bangsa Arab serta Umat Islam.
Dan diammu, pesimismu, punya saham buat keberhasilan mereka.
Hari ini 3 Maret 2020, hari di antara hari-hari yang Allah anugerahkan buat kita. Tapi kalau melihat lembar akhir Surat Al Hasyr, jadi teringat bahwa kita perlu lihat sejarah untuk mengelaborasi masa depan.
3 Maret 96 tahun lalu adalah hari resmi jatuhnya Negara Utsmaniyah.
Negara yang kata catatan sejarah pernah memiliki kuasa di 3 benua. Luas wilayahnya lebih luas 3 kali dari apa yang pernah ditaklukkan oleh Alexander The Great. Sebesar dan semegah itu bisa runtuh.
Di masanya, Utsmaniyah ini menjadi benteng sosial politik bagi Dunia Islam.
Negara berusia 625 tahun itu sejak awal menjadikan Islam sebagai napas perjuangannya. Sepertinya mereka memahami betul apa kata Negarawan Abbasiyah Abdullah bin Mu'tazz, "negara yang dikuatkan agama akan bertahan. Agama yang dikuatkan negara akan kokoh."