Thread by @elisa_jkt

Ketrigger tubir persampahan pakai slide wasweswos saya di Untar Sabtu kemarin.

Secara per kapita, orang kaya hasilkan emisi terbesar. Termasuk sampah.

Karena itu, isu sampah erat dengan isu kelas.
Selain juga overkonsumsi, hingga hilangnya tanggung jawab produsen dlm siklus.

Per kapita orang miskin hasilkan sampah segini. Sangat sedikit
Ditambah, orang miskin yg tinggal di tempat ilegal, informal dll. Makin terabaikan dlm pelayanan publik. Jika disuruh “kelola”, mrk tdk punya kemewahan uang dan waktu.
Ya disematkanlah “jorok, kumuh, bikin banjir”.

Dan orang kaya. Hasilkan sampah 4x lebih banyak.
Punya duit pula utk beli alat2 dan bAyar orang utk ngurus sampah. Punya kekuatan juga utk nekan pemerintah agar geser2 jam angkut sampah - biar gak usah kelihatan depan muka hasil ekses konsumsi.

Sampah yg terangkut dikirim ke Bantar Gebang dll. Dalam gunungan sampah, orang miskin sekali lagi mengais gunungan itu.
Harusnya sampah produksi orang miskin bisa dioffset ini dr upaya mereka memperpanjang umur barang.

Dulu di kampung akuarium, pernah ada komunitas yg pendampingan program 1 thn utk manajemen sampah. 1 bln pertama ada pengukuran berat sampah per RT.

Fasilitatornya datang ke saya dgn bingung, ini sampah sedikit sekali, apa yang mau dikurangi lagi? 😅😅

Timbangan yg dipinjamkan ke kampung itu adalah timbangan besar kyk di toko bangunan atau di bank sampah. Yg ukuran terkecilnya ya kilogram. Otomatis kalu sampah cuma 0,5 kg gak akan geser tuh timbangan.

Pemilihan timbangannya aja udah bias kelas, hahaha ….

Jadi saudara2, ngomongin sampah dan emisi TANPA perubahan yg nyasar kelas ekonomi 50% ke atas, plus pola produksi-konsumsi pada kelas tersebut ya gak akan signifikan sih …

Terutama kelompok 10% tuh, jumlah dikit tapi emisinha gede bener.

Sebenernya aye fafifu soal sampah itu ada sekitar 40an menit. Isu kelas cuma sekitar 10 menit. Sisanya macem2, termasuk ke sampah ruang dan hilangnya kebiasaan “memperbaiki”/repair.

Tau deh sama anak2 Untar bakal dibuka umum gak rekamannya …

Suami aye itu old school. Kalau ada bohlam mati, masih dikumpulin. Terus dia bawa ke tukang reparasi (yg ajaibnya ada di Cirebon, tapi blm ketemu satupun di Jakarta). Lalu setelah diperbaiki, entah gimana, bohlamnya nyala lagi. Intinya perpanjang umur sampai benar2 rusak.

Btw, seri twitnya bukan berarti kita2 orang biasa tidak dituntut utk melakukan perubahan di level personal ya. Justru tetap perlu. Juga “untuk persiapan”. Jika nanti pemerintahnya lbh progresif atau keadaan menuntut utk perubahan level konsumsi, ya kita2 udah lbh siap & nrimo. ☺️

Dan gimana dgn tukang bubur? Apa betul dia ngerti atau sebodo sama krisis iklim & sampah?

Bisa jadi dia gak ngerti, atau pny prioritas beda. NAMUN, dia bs berubah jk ada perubahan fundamental lain: tuntutan konsumen. Makin byk yg minta gak pakai sendok, akan bikin dia mikir.

Jadi buat yg sdh nyadar & berusaha utk kurangi terus sampah di level personal, ya lakukan terus.

Tabah2 aja kalau pas lg kesel curhat soal sampah level personal, eh malah dihakimi netijen. Netijen pada dasarnya suka tubir dan cari ribut. Besok jg mereka akan ribut hal lain.

Tambahan: dari dulu saya kurang dan cenderung gak setuju dgn pengerahan pasukan oren dimana2 utk keperluan hari2. Itu bak “ilusi” bhw sampah bukan urusan personal - dan melepaskan tanggung jawab personal (plus industri).