kalong Profile picture
Mar 2, 2022 2100 tweets >60 min read Read on X
"Aku ngerti jalur turunmu seko sopo! Aku yo ngerti dunyo seng tok nduweni saiki sumbere seko ngendi! dadi rausah mbok critakne dowo-dowo, Aku tetep gak setuju Nduk Kom tok rabi!"
Tegas dan berat suara dari seorang laki-laki tua berkopiah jaring kepada seorang pemuda tampan yang berada di hadapanya. Pemuda itu sebentar tertunduk, menatapi lantai tanah tak rata sembari tangannya meremas pegangan kursi kayu. #tumbalterakhir
Jiwanya bergolak marah, hatinya panas mendidih mendengar penolakan dari lelaki tua berwajah datar yang ia impikan bakal menjadi mertuanya. #tumbalterakhir
Sang pemuda semakin terbakar emosi kala lelaki tua itu kembali berbicara sedikit menerangkan masa lalu dari kakek dan leluhurnya. Kepulan asap kemenyan dari rokok gulungan yang di hembuskan perlahan sang lelaki tua, tak lagi ia hiraukan meski menyesakkan dada. #tumbalterakhir
Ingin rasanya saat itu ia berdiri dan mengumpat terlebih menghantam bibir tebal hitam lelaki di hadapanya, namun ia tahan, sebab ia sadar jika lelaki yang biasa di panggil Mbah Soko, bukanlah orang biasa. #tumbalterakhir
Terbukti dari penolakanya yang begitu berani dengan perkataan kasar tentang keluarganya. Padahal satu Kampung, Desa atau bahkan tingkat Kecamatan tau siapa dirinya dan juga keluarganya. #tumbalterakhir
"Aku ngerti seng tok pikir saiki, Aku yo ngerti nek koe loro ati! nanging koe yo kudu ngerti nek Aku ora bakal lilo ngeculke anakku dadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu nang TANGGAL TELULAS!"
#tumbalterakhir
( aku tau yang kamu pikirkan sekarang, aku juga tau kalau kamu sakit hati! Tapi kamu juga harus tau kalau aku tidak ikhlas merelakan anakku menjadi trangis sruninge keluargamu di tanggal tigabelas!) #tumbalterakhir
Terjingkat, ternganga, sosok pemuda biasa di panggil Jasmoro mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan Mbah Soko. #tumbalterakhir
"Mripat abang lan tangan jeger seng ngawal koe tekan kene, wes mulai do gemeruh, mulio sak urunge tak bakar kabeh!" Tegas, lagi-lagi ucapan Mbah Soko yang segera menyadarkan Jasmoro akan keadaan di sekelilingnya terasa panas. #tumbalterakhir
( mata merah dan tangan jeger yang mengawalmu sampai sini, sudah mulai marah, sekarang pulanglah sebelum saya bakar semua!) #tumbalterakhir
Belum sempat ia berdiri dan menyahut, Mbah Soko terlebih dahulu beranjak masuk kedalam. Jasmoro hanya termangu menatapi liukan kain batik berwarna hijau yang menjadi penutup sekaligus penyekat pandangan antara ruang tamu dan ruang dalam rumah Mbah Soko. #tumbalterakhir
Masih tercium sengak aroma kemenyan menyesak ketika kaki Jasmoro mengayun keluar dari rumah Mbah Soko. Hatinya terasa sakit malam itu. Pikirannya di penuhi selingan amarah dan kecewa setelah dengan jelas niatnya untuk mendapatkan Kom,
#tumbalterakhir
anak bungsu Mbah Soko terpupus karena statusnya sebagai keluarga Murti Rahmi.

Jasmoro memang mengakui akan status keluarga terkhusus dari Nenek dan kini Ibunya. Ia yang telah mengerti dengan liku dan alur semua kekayaan berasal dari mana, #tumbalterakhir
tak menampik semua kebenaran yang di jabarkan Mbah Soko.

Namun hal yang membuatnya sangat kecewa dan marah adalah niatnya yang tulus untuk Kom. Bahkan dalam hatinya ia berjanji tak akan melibatkan Kom untuk urusan hitam pekat dalam lingkup keluarganya.#tumbalterakhir
Namun itu tak cukup membuat Mbah Soko merelakan Kom untuk di jadikannya Ratu dalam rumah mewah nan megah milik keluarga MURTI RAHMI. #tumbalterakhir
"Rasah mrino atimu Le, bakal tak dadekne awu canang wong tuek seng jenenge Soko! rasah kuwatir Le, Nduk Kom bakal dadi garwomu nang TANGGAL TELULAS sasi Pitu!"#tumbalterakhir
(tidak usah berkecil hati nak, akan aku jadikan awu canang orang tua yang namanya Soko itu! Gak usah kuatir nak, anak perempuan itu akan menjadi istrimu di tanggL tigabelas bulan tujuh) #tumbalterakhir
Jasmoro terjingkat, kaget, saat baru saja masuk kedalam mobil warna hitamnya, telinganya mendengar suara lirih menyengit. Walaupun ia terbiasa akan hal-hal aneh dan menyeramkan, namun untuk kali ini ia sedikit gemetar. #tumbalterakhir
Apalagi ketika ia melihat dari kaca kecil yang terpasang di atas kepalanya, bola matanya seketika melebar.

Mulut Jasmoro terkatup rapat, keringat mulai merembes menembus kemeja polos yang menempel di tubuhnya, #tumbalterakhir
kala tatapannya dari kaca beradu dengan bola mata putih rata dari satu sosok perempuan tua yang duduk tepat di belakangnya.

"Iling-ilingo Le, TANGGAL TELULAS!"
#tumbalterakhir
"Wes ngerti, krungu opo tujuane Jasmoro rene mau, Nduk?"(Sudah tau, dengar apa tujuannya Jasmoro kesini tadi, Nduk?) Ucap Mbah Soko pada satu sosok gadis berambut sepunggung yang baru saja menutup pintu.
#tumbalterakhir
"Wes, Pak. Aku wes krungu nek bapak nolak Mas Jas!"(Sudah, Pak. Aku sudah dengar kalau bapak menolak Mas Jas!) ketus, sahut sang gadis berwajah ayu namun berbalut kerutan kecewa.
#tumbalterakhir
"Lak yo krungu opo alasane bapak nolak lamarane Jas?"( Tapi ya dengar apa alasannya bapak nolak lamarannya Jas?) ucap Mbah Soko sembari duduk dan meraih korek api di atas meja.
Kepulan asap sebentar kemudian bergumpal-gumpal keluar dari bibir Mbah Soko. #tumbalterakhir
Aroma menyan dan kelembak pun seketika merebak memenuhi seantero ruangan tak lebih dari 3x3 meter berdinding papan.
Akan tetapi, hal itu seolah tak membuat sang gadis yang tak lain adalah Komala, putri bungsu Mbah Soko terganggu. #tumbalterakhir
Ia kini malah terlihat mendekat dan duduk di samping sang bapak.
"Sebenere ak gk kudu weruh urusan keluargane Mas Jas, Pak. Ak jg gk pngin krungu crito asal usul bondone wet seko simbahe biyen. Aku karo Mas Jas ki podo senenge, podo nrimone. Dadi gk enek masalah,"
#tumbalterakhir
(Sebenarnya aku tidak harus tau urusan keluarganya Mas Jas, Pak. Aku juga gak ingin dengar cerita asal usul hartanya mulai dari kakek neneknya dulu. Aku sama Mas Jas saling menyukai, sama menerimanya. Jadi gak ada masalah,) ucap Komala pelan dan sedikit memelas.
#tumbalterakhir
"Akeh seng gak mbok ngerteni, Nduk. Dudu masalah bondone, dudu masalah Jasmorone. Tapi masalahe mbisuk bakal dadi dowo meneh, mesakne wong-wong seng gak ngerteni perkoro gede wet di awali jaman mbah e Jasmoro dadi korban. Iku ngunu masalah nyowo Nduk, nyowone wong pirang-pirang!"
(Banyak yang tidak bisa kamu mengerti, Nduk. Bukan masalah hartanya, bukan masalah Jasmoronya. Tapi masalahnya kelak akan jadi panjang lagi, kasihan orang-orang yang tak mengerti perkara besar yang di awali jaman kakek neneknya Jasmoro dulu menjadi korban. #tumbalterakhir
Ini semua masalah nyawa Nduk, nyawanya orang banyak!)
Sahut Mbah Soko mencoba menerangkan.
"Mas Jas iku wes janji mbek aku, Pak. Bahwa gak bakal arep nglibatke aku nang urusan seng bapak omongke. Aku percoyo Mas Jas Pak, nek dekne gak bakal ingkar janji," #tumbalterakhir
(Mas Jas itu sudah janji sama saya, Pak. Bahwa tidak akan mau melibatkan saya dalam urusan yang bapak ucapkan. Saya percaya Mas Jas Pak, kalau dia tak akan ingkar janji,) Jawab Komala mencoba meyakinkan Mbah Soko.
#tumbalterakhir
"Nduk! Bapak nglakoni iki kanggo awakmu! kanggo masyarakat akeh! ora mergo ngge urusane bapak!"( Nduk! bapak melakukan ini untuk dirimu! untuk masyarakat banyak! tidak hanya untuk urusannya bapak!)
#tumbalterakhir
Kali ini suara Mbah Soko sedikit keras dan tegas mendengar jawaban sang Anak.
"Terserah Bapak!" Sahut komala yang tak kalah tegas setelah terdiam beberapa saat. Ia kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan Mbah Soko yang masih terpaku dengan sikap anaknya.
#tumbalterakhir
Helaan nafas begitu berat terhempas dari dada berbungkus kulit keriput, menandakan bahwa banyak gumpalan beban di dalamnya. Sejenak suasana terasa hening, tak terdengar lagi suara deru motor bersliweran dari jalan desa yang berjarak 100 an meter dari kediaman sederhananya.
Di samping waktu yang memang telah larut, malam itu setelah kedatangan Jasmoro, Mbah Soko merasakan hal lain dari mulai hawa di dalam rumah sampai luar sekelilingnya.
Sejenak Mbah Soko terdiam sembari menatap ke arah pintu, sebelum tubuh tuanya bangkit dan melangkah mendekat.
Ia terlihat berani, namun saat akan membuka kancing pintu yg terbuat hanya dari paku melintang, ada keraguan tersirat dari wajahnya.
"Opo Rahmi wes melu-melu urusan iki?"(Apa Rahmi sudah ikut2n urusan ini?)
Gumam Mbah Soko, sesaat setelah hidungnya membaui sesuatu
#tumbalterakhir
"Ciloko nek pancen Rahmi wes ngrungsek perkoro iki!"(Celaka kalau memang Rahmi sudah turun tangan urusan ini!)
seru lirih Mbah Soko kembali pada dirinya sendiri.
"Kletek ... kriettt...." Akhirnya pun Mbah Soko dengan keberanian dan rasa penasaran membuka pintu.
#tumbalterakhir
Tapi tak lama, wajah tua miliknya yang awal tegang, terlihat memucat kala menatap ke halaman tak seberapa luas depan rumahnya, di sambut sebuah tandu berwarna hitam dengan empat lelaki kekar bertelanjang dada yang memanggulnya.
#tumbalterakhir
Semilir angin seharusnya sejuk nan dingin, di rasa panas menyapu seluruh kulit Mbah Soko. Apalagi, saat sehelai kain hitam penutup depan tandu terbuka, siutan angin kencang di barengi aroma busuk bercampur amis menyengat,
#tumbalterakhir
langsung membuat tubuh Mbah Soko goyah mundur masuk kembali ke dalam.
Tak lama, Mbah Soko merasakan tubuhnya kaku, darahnya seakan terhenti mengalir, kala melihat satu sosok wanita renta berbola mata putih rata dengan helaian rambut memanjang seakan tanpa ujung turun dari tandu.
Sosok wanita tua itu melangkah perlahan. Tak terdengar suara langkah kakinya, hanya suara gesekan rambut sumber bau busuk yang menyapu tanah halaman sedikit berpasir.
Sosok itu terus mendekat ke arah tempat Mbah Soko berdiri. bola mata putihnya menatap nyalang penuh makna,
seolah menguraikan amarah yang bergemuruh terhadap diri Mbah Soko.
"Aku wes ngampuni bapakmu biyen, Soko! malahan tak kei kesempatan kanggo turune podo urep normal! Tapi saiki koe kewanen nampek putuku! Lawang garbo pitu wes kebuka,
#tumbalterakhir
tanggal telulas sasi pitu kudu enek tetalen. Koe wani arep medot!? sak lembar nyowo tuomu kui ra bakal cukup nggo mbayar!"
#tumbalterakhir
(Aku sudah mengampuni bapakmu dulu, Soko! Malah saya beri kesempatan buat keturunannya bisa hidup normal! Tapi sekarang kamu terlalu berani nolak cucuku! Pintu garba tujuh sudah terbuka, tanggal tiga belas bulan ke tujuh harus ada pengikat.
#tumbalterakhir
Kamu berani ingin memutusnya? Satu lembar nyawa tuamu itu gak akan cukup untuk membayar!)
Nyaring dan lirih suara sosok tua itu membisik di telinga kanan Mbah Soko. Namun, lain dirasa oleh gendang telinganya. #tumbalterakhir
Dirinya merasakan seperti tertusuk besi panas yang masuk paksa ke dalam. Membuat matanya melotot seakan merasakan sakit luar biasa.
Tak cukup sampai di situ, Mbah Soko pun merasakan indra penciumannya tiba-tiba panas dan seperti ada sesuatu yang mengalir keluar.
#tumbalterakhir
Dirinya pun akhirnya menyadari jika sesuatu itu adalah darah segar dari dua lubang hidungnya. Ia tau jika aroma busuk dari helaian rambut sosok tua itu, tak kuat ia cium sehingga menyebabkan darahnya menetes.
#tumbalterakhir
"Koe tetep tak ampuni saiki, mergo aku butuh koe nang sasi pitu tanggal telulas. Iki dadi peringatan kanggo koe, nyadarne koe, yen keturunanmu kudu dadi tali pengiket lawang garbo seng tak gawe. Wani polah, ra bakal slamet!"
#tumbalterakhir
(Kamu tetap saya ampuni sekarang, karena aku butuh kamu pada bulan tujuh tanggal tiga belas. Ini jadi peringatan untuk kamu, menyadarkan kamu, kalau keturunanmu harus jadi penyambung pintu garba yang telah saya buat. Berani macam-macam, tidak akan selamat!)
#tumbalterakhir
Lagi, suara sosok wanita tua itu membisik lirih tapi terdengar melengking di telinga Mbah Soko. Membuat tubuhnya semakin kaku tak berdaya.
Hal itu di rasakan Mbah Soko cukup lama. Hingga sampai saat sosok tua itu melangkah masuk ke dalam kamar milik Komala,
#tumbalterakhir
barulah Mbah Soko mulai mampu menggerakkan tubuhnya. Namun itu semua bukan malah membuat rasa takut dan cemasnya mereda, tapi malah semakin membuncah.
Mbah Soko menyadari jika sosok wanita tua itu masuk ke dalam kamar anak bungsunya,
#tumbalterakhir
maka malapetaka yang dirinya takutkan akan terjadi. Mbah Soko pun segera memaksa tubuh lemahnya bergerak mengikuti arah sosok wanita tua itu. Ia kemudian mendekati pintu kayu kamar Komala, namun baru saja ia berhasil membuka pintu itu, lagi-lagi kakinya hanya bisa terpaku.
"Nyi Rahmi, tolong ojo anakku! tak ganti nyowoku, tolong Nyi...."(Nyai Rahmi, tolong jangan anakku! saya ganti nyawaku, tolong Nyai....)
Kali ini, meski tubuhnya mengalami hal sama seperti semula, namun mulut Mbah Soko mampu berucap.
#tumbalterakhir
Akan tetapi, sedikitpun tak ada reaksi dari sosok wanita tua yg kini sudah berbaring tepat di samping anak bungsunya.
Anehnya, Mbah Soko jelas masih mencium pekat bau busuk bercampur amis dari sosok Nyi Rahmi, namun hal itu seperti tak berpengaruh pd diri Komala.
#tumbalterakhir
Matanya masih terpejam pulas walau tangan berjari hitam legam milik Nyi Rahmi tengah memebelai lembut rambutnya.
Mbah Soko terus meratap, memohon lirih di iringi tangisan. Mengharap iba dari sosok yang ia dengar kengerian dan kebengisannya semasa hidup. #tumbalterakhir
Sosok yang ia tau dari orang tuannya adalah pemuja iblis di salah satu hutan demi sebuah kekayaan. Meski telah meninggal beberapa puluh tahun silam, tapi wujud wanita itu masih ada. Sebab ia tak di terima sebagai manusia kembali.
#tumbalterakhir
Sosok Rahmi akan terus menjelma selagi keturunannya menyambung tetalen dengan makhluk junjungan yang telah berikat. Ia akan hilang dan menjadi abdi abadi sang Iblis setelah tujuh tali canang garbo telah terpenuhi sesuai kesepakatan yang pernah ia buat.
#tumbalterakhir
Semua hal itu Mbah Soko ketahui dari orang tuanya dulu. Bahkan, dari sedikit belajarnya ia dalam hal kebatinan, Mbah Soko tau semua ritual penyambungan tetalen antara keturunan Rahmi dengan sang Iblis. Namun dirinya tak menyangka jika kini,
calon penyambung tetalen itu adalah anak bungsunya sendiri.
"Brakkkkk...."
Satu suara benturan lumayan keras di iringi lenguhan menahan rasa sakit datang dari mulut Mbah Soko. Dirinya yang mencoba mendekat ke arah ranjang tempat sosok Nyi Rahmi-
masih berbaring di samping putrinya, tiba-tiba saja terhempas ke belakang menghantam dinding papan.
Mbah Soko sadar akan kekuatan yang di milikinya tak sepadan dengan sosok berambut panjang Nyi Rahmi. Namun demi sang Anak, ia memberanikan diri untuk melawan.
#tumbalterakhir
Berkali-kali Mbah Soko bangkit dan mencoba mendekat, tapi kembali ia terhempas. Sampai akhirnya sebuah lengkingan tawa ngikik dari sosok Nyi Rahmi, membuat tubuh renta berbalut kulit keriput Mbah Soko tak mampu lagi untuk sekedar berdiri.
#tumbalterakhir
"Tengeran iki wes dadi wujudte anakmu dadi wadah tetalenku! ra keno di guwak, ra keno di owah, mergo sambung karo nyowone. Tanggal telulas koe yo tak enteni Soko! nek pingin anak turunmu seng liane langgeng!"
#tumbalterakhir
(Tanda ini sudah jadi wujud anakmu menjadi tempat penyambungku! tidak bisa di buang, tak bisa di rubah, karena menyatu dengan nyawanya. Tanggal tiga belas kamu juga saya tunggu Soko! kalau ingin anak keturunanmu yang lain selamat!)
#tumbalterakhir
Sentakan suara dari sosok Nyi Rahmi tak mampu lagi Mbah Soko jawab. Hanya sorot mata sayunya mengiring kepergian sosok Nyi Rahmi yang seolah melayang menembus dinding papan rumahnya menuju ke arah depan. Tiga kali suara pukulan gamelan Gong,
#tumbalterakhir
menjadi akhir kejadian mengerikan bagi Mbah Soko.
Perlahan tubuhnya mulai bangkit, memaksa kakinya yang masih terasa berat berayun mendekati Komala. Hatinya pedih, kecemasan, kekhawatiran dan rasa putus asa, memaksa buliran bening mengalir dari dua bola matanya.
#tumbalterakhir
Mbah Soko tersengguk saat menatap tubuh anak bungsunya yang terbalut selimut kain batik. Ia merasa usaha dan harapannya sia-sia. Namun, ketika satu memori kenangan masa lalu antara dirinya dan orang tuanya melintas di pikiran, Mbah Soko bangkit.
#tumbalterakhir
Ia seperrti mengingat sesuatu yang kembali membangkitkan secercah harapan untuk keselamatan keluarganya, terkhusus Komala.
Penerangan lima Watt dalam kamar ukuran 3x3, membantu pandangan Mbah Soko dalam mencari sesuatu. #tumbalterakhir
Sesuatu yang saat ini ia butuhkan guna menyelamatkan banyak nyawa, termasuk nyawa anak dan dirinya sendiri.
Satu persatu tempat itu ia periksa dengan tangan sedikit gemetar. Hingga, sampai pada satu bungkusan dalam lemari kayu terlihat sudah lapuk,
#tumbalterakhir
jari Mbah Soko menarik dan mengangkat sebuah bungkusan kecil.
Bungkusan dari kain hitam itu kemudian ia bawa ke dalam kamar pribadinya. Sesampainya, perlahan ia membuka satu persatu ikatan pada kain. Hingga saat bungkusan itu terbuka, wajah Mbah Soko menegang.
#tumbalterakhir
Urat lehernya menonjol, bibirnya tergetar melihat satu kilatan isi dalam bungkusan itu.
"Di sepuro kulo Pak, kepekso Jengger Cakut niki kulo gunakke. Dudu niate mateni, nanging kanggo ngrampungke lan nylametke putumu!"
#tumbalterakhir
lirih gumam Mbah Soko saat tangannya mengangkat sebuah boneka kecil berjengger, yang seperti terbuat dari tanah liat berwarna kuning yang mengeras. Tak hanya berupa boneka kecil,
#tumbalterakhir
( mohon maaf Pak, terpaksa Jengger Cakut ini saya gunakan. bukan niat untuk membunuh, tapi untuk menyelesaikan dan menyelamatkan cucu Bapak)
Mbah Soko juga mengambil sebuah keris berukuran sebesar jari kelingking yang terletak tepat di bawah boneka itu. Kemudian kedua benda yang tiba-tiba menebar bau wangi itu dirinya bawa ke arah belakang rumah.
#tumbalterakhir
Langkah kaki Mbah Soko terhenti ketika sampai di bagian halaman belakang, tepatnya tiga langkah dari pintu papan penutup rumah yang juga berfungsi sebagai dapur. Mbah Soko terdiam sejenak, menunduk seraya menggerakan bibirnya, seperti tengah membaca sesuatu.
#tumbalterakhir
Hitungan sembilan puluh detik kemudian, Mbah Soko duduk bersila beralaskan tanah. Ia tak perduli dengan hawa dingin dari hembusan angin malam yang sesekali kencang menerpa wajah tuanya.
Mbah Soko masih tertunduk, menatapi dua benda yang telah ia letakkan di tanah. #tumbalterakhir
Dada kurusnya bergemuruh, nafasnya tersengal dan sesekali terputus seolah menahan satu beban, hingga sampai pada tiga tarikan nafas, tiba-tiba suasana di sekitar tempat itu berubah.
Angin dini hari mulai bergemuruh beriring sesekali kilatan. #tumbalterakhir
Taluh-taluh mulai terdengar menyahuti suara tawa ramai anak-anak kecil yang entah dari mana asalnya. Namun hal itu tak membuat Mbah Soko bergeming, bahkan ia terlihat semringah kala satu tawa panjang menggema di antara suara tawa anak-anak itu.
#tumbalterakhir
Tangan Mbah Soko cepat-cepat meraih keris kecil berwarna hitam saat suara tawa itu masih terdengar. Tanpa ragu ia segera menggoreskan ujung keris pada lengan keriputnya yang berakibat luka kecil dan melehkan darah merah.
#tumbalterakhir
Tak membuang waktu, Mbah Soko segera melumuri keris dan boneka berjengger itu dengan darahnya sendiri sembari mulutnya menyebut sebuah nama dan kalimat mantra yang di ulang-ulang.
Setelah semua bagian terlumuri darah, Mbah Soko kembali diam menunduk. #tumbalterakhir
Sama halnya dengan suara tawa yang mereda. Namun tak berapa lama, wajah Mbah Soko mendongak, menatap lurus ke depan, pada sepasang kaki hitam yang telah ada di hadapannya.
#tumbalterakhir
"Tak jogone kabeh seng ono nggok kene, mergo koe wes nangekne aku lan anak-anakku! tapi koe kudu ngerti yen aku karo anak-anakku butuh mangan!"
#tumbalterakhir
(Saya akan lindungi semua yang ada di sekitar sini, karena kamu sudah membangunkan aku dan anak-anakku! tapi kamu harus tau kalau aku dan anak-anakku butuh makan!)
Satu suara cempreng terbata, sedikit mengejutkan Mbah Soko. #tumbalterakhir
Sesaat ia pun mendongakkan wajahnya ke atas, melihat ke arah sumber suara yang juga sang pemilik kaki kurus hitam berbulu di depannya.
Sungguh, meskipun dengan melotot dan menajamkan bola matanya, tapi Mbah Soko tetap tak dapat melihat wajah dari wujud mahluk itu. #tumbalterakhir
Yang ia tangkap dari pandangannya hanya beberapa wujud anak kecil bergelantungan pada kedua tangan hitam sosok itu. Anak-anak itu tampak riang sembari tertawa, berlompatan dari tangan kanan ke tangan kiri.
#tumbalterakhir
Tubuh mereka sama kurus dan panjang, wajah mereka nyaris tak berindra. Hanya terdapat satu lobang di bagian mulut dan dua lobang pada indra penglihatan namun tak berbola. #tumbalterakhir
Tak bertelinga, dan tak ada sehelai rambut yang menempel tapi terdapat gumpalan-gumpalan sebesar ibu jari kaki seperti jengger.
Mbah Soko tau siapa-siapa mahluk itu. Akan tetapi, itu baru sebatas cerita dari orang tuanya. #tumbalterakhir
Dan kini, demi melindungi keluarganya ia harus berurusan dengan mahluk yang telah di tidurkan oleh orang tuanya puluhan tahun.
"Kulo ngertos Buyut...."(Saya tau Eyang buyut....)
sahut Mbah Soko pelan, yang di sambut tawa dari sosok-sosok itu.
#tumbalterakhir
Mbah Soko cepat-cepat menggali tanah berpasir di hadapannya setelah suara tawa dari mahluk itu mereda pun dengan wujudnya yang sudah menghilang.
Dua jengkal lobang tak seberapa lebar yang hanya cukup untuk boneka dan keris bertumpangan, akhirnya telah selesai. #tumbalterakhir
Mbah Soko lalu mengubur dua benda itu dan setelahnya ia kembali ke dalam. Tanpa menyadari jika ada sepasang mata bening yang menatapi dirinya dari seberang pekarangan batas, berpagar anyaman bambu.
#tumbalterakhir
Pemilik dari sepasang bola mata itu tampak marah. Kilatan dari wajah tegasnya mengurat penuh dendam. Tangannya mengepal kuat, mencerminkan kesiapan dalam kekerasan.
#tumbalterakhir
"Tuo A*u!!! ra keno di apik i, malah njalok perang alus!"(Tua Anj*ng!!! tidak bisa di ajak baik-baik, malah minta perang halus!)
Umpat sang lelaki yang masih menatap ke arah halaman belakang rumah Mbah Soko dari celah pagar bambu.
#tumbalterakhir
Setelah puas dengan umpatan dan cacian, lelaki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan pekarangan milik warga yang berbatasan dengan tanah Mbah Soko. Ia berjalan menembus gelapnya malam khas pedesaan.
#tumbalterakhir
Sesampainya di depan gerbang masuk desa, lelaki itu kemudian masuk ke dalam sebuah mobil hitam yang telah terdapat seorang sopir di dalamnya. Tak lama mobil itu pun melaju, berputar arah menuju barat Desa melewati jalanan tanah berlubang dengan hamparan sawah-sawah di kanan kiri.
Tak sampai empat puluh menit, mobil itu berbelok dan masuk ke sebuah gapura berukir, bersayap pagar tembok setinggi dua meter keliling membentuk persegi.
Sampai dua ratusan meter mobil itu melaju pelan dan berhenti di sebuah garasi.
Tak hanya satu, ada beberapa mobil lain yang terparkir di garasi itu, menandakan jika sang pemilik bukanlah orang sembarangan. Mengingat dari deretan mobil dan rumah besar nan megah berpagar tembok rapat keliling.
#tumbalterakhir
Lelaki yang tak lain adalah Jasmoro, berjalan cepat masuk ke dalam rumah berpintu kayu jati mengkilat setelah turun dari mobil pribadinya. Wajahnya masih terlihat merah dengan kilatan api kemarahan pada sorot matanya.#tumbalterakhir
Ia terus melangkah menyusur lantai rumah milik orang tuanya yang beralaskan marmer motif batu alam pecah mengkilap.
Sunyi, hening, seolah tak berpenghuni rumah besar nan megah itu.
#tumbalterakhir
Hanya terdengar langkah Jasmoro bersahut detikan jam dinding berbungkus kayu di sudut ruang tamu utama. Sampai akhirnya, langkah Jasmoro memelan saat menginjak di sebuah ruangan bercahaya remang. Jasmoro kemudian berhenti sejenak dan terdiam,
#tumbalterakhir
ia seperti ragu untuk lebih mendekat ke arah pintu berwarna coklat tua. Namun, mengingat kembali apa yang sudah ia lihat tentang ritual Mbah Soko, Jasmoro akhirnya meneruskan langkahnya.
"Mlebu o Le, Ibu wes nunggu wet mau."(Masuk lah Nak, Ibu sudah menunggu dari tadi.)
Belum sempat Jasmoro menyentuh handle pintu, satu suara lembut dari dalam memantapkan langkahnya.
"Ibu...." ucap Jasmoro setelah membuka pintu dan berdiri dua langkah dari sesosok perempuan yang tengah duduk di atas kursi goyang dengan posisi membelakangi.
"Ibu wes ngerti, tapi ojo kuwater le, Ibu karo eyangmu gak bakal meneng wae! saiki awakmu mlebuo nang pendopo limo, istirahato sewengi iki, wes wayahe awakmu ketemu eyangmu. Mergo awakmu bakal dadi peneruse."
#tumbalterakhir
(Ibu sudah tau, tapi jangan khawatir, Ibu sama Eyangmu tak akan tinggal diam! sekarang kamu masuklah ke pendopo lima, istirahatlah semalam ini, sudah saatnya kamu bertemu eyangmu. Karena kamu akan menjadi penerusnya.)
#tumbalterakhir
Pelan dan penuh wibawa suara dari sosok perempuan dengan masih pada posisi membelakangi Jasmoro.
Tanpa menunggu kedua kali, Jasmoro segera menunduk dan pergi meninggalkan kamar itu. Ia kembali berjalan menyusuri ruang demi ruang sampai pd ruang terakhir belakang.
#tumbalterakhir
Jasmoro pun terus melangkah keluar tanpa memperdulikan apapun. Ia baru berhenti ketika sampai pada sebuah bangunan cukup besar berdinding papan kayu berukir dari mulai tiang-tiang penyangga hingga atap.
#tumbalterakhir
Meski tak ada penerangan langsung di sekeliling tempat itu, namun dari sorotan cahaya lampu pagar, tampak ruangan itu begitu terawat.
Jasmoro segera melangkah menaiki tiga tangga kayu menuju pintu.
#tumbalterakhir
Tangannya segera mendorong pelan daun pintu sisi kanan sebelum tubuhnya hilang masuk ke dalam ruangan yang bila di lihat secara batin, terang benderang dengan kilauan cahaya berpendar perak keemasan serta terdengar alunan gamelan pengiring tembang-tembang Jawa halus.
Nyaring bersahutan suara kokok ayam mengawali pagi setelah lantunan Adzan subuh dari tiap-tiap Masjid selesai, menjadi penanda bagi para penduduk Desa guna memulai beraktifitas di dapur maupun di dalam rumah.
#tumbalterakhir
Hal yang sama biasa di lakukan oleh Mbah Soko dan Komala. Mereka yang hanya berdua setelah kakak Komala memilih merantau bersama sang Istri, selalu berbagi tugas dalam kegiatan sebelum Sang Surya terbit.
#tumbalterakhir
Tapi pagi itu hal berbeda dan tak biasa di rasakan oleh Mbah Soko. Dirinya yang telah terbangun tak mendapati anak gadisnya yang biasa duduk menanak nasi di depan tungku. Mbah Soko segera bergegas menuju kamar sang anak,
#tumbalterakhir
demi memastikan setelah beberapa tempat ia datangi namun tetap tak mendapati sosok Komala.
Semenit kemudian nafas Mbah Soko nampak lega. Raut wajahnya pun terlihat tenang, saat melihat tubuh sang anak masih terbaring lengkap dengan selimut kain batik.
#tumbalterakhir
Mbah Soko akhirnya mengalah menggantikan tugas yang biasa di lakukan Komala. Dirinya menduga jika Komala masih marah atas penolakan lamaran Jasmoro sehingga tak mau melakukan tugas rutinnya.
#tumbalterakhir
Tak ada rasa lelah yang di tampakkan dari tubuh tuanya, semua tugas ia lakukan dengan cekatan meski malam itu dirinya hanya beristirahat tak lebih dari dua jam.
#tumbalterakhir
Bola besar ciptaan Tuhan akhirnya muncul bersamaan dengan selesainya semua pekerjaan rumah, yang di kerjakan sendir Mbah Soko. Sebentar kemudian, ia kembali bergegas membangunkan sang anak. Namun, tak ada reaksi apapun yang di tampakan Komala, meski kedua matanya telah terbuka.
Wajahnya datar, tatapannya nanar dan tak menggubris panggilan serta ajakan dari Mbah Soko.
Mbah Soko yang menyadari ada keanehan dalam diri Komala, memilih untuk meninggalkan kamar sang anak. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu,
saat wujud dari Rahmi mendatangi Komala. Dirinya juga mengingat kalimat terakhir yang di ucapkan sosok Rahmi, sebelum wujudnya menghilang.
Ada kekhawatiran yang muncul dalam benak Mbah Soko, meski ia telah memagari sekeliling kediaman rumahnya dengan salah satu peninggalan orang-
tua yang ia tau mempunyai kekuatan. Tetapi, mengingat yang tengah ia hadapi adalah perwujudan dari sesosok Iblis haus darah dan nyawa, rasa was-was pun tak dapat lepas dari benaknya.
Hari itu di lalui Mbah Soko dengan perasaan tak menentu,
di samping sikap Komala yang membisu tanpa bicara sedikitpun, perasaan adanya banyak mata mengawasi di sekeliling rumahnya bila masuk waktu Mahgrib membuat ketidaknyamanan Mbah Soko. Dirinya tau jika puluhan pasang mata itu dari sosok-sosok pelindung Rahmi. #tumbalterakhir
Walau tak dapat masuk apalagi menyentuh ke dalam rumahnya, Mbah Soko tetap saja selalu terjaga sepanjang malam.
#tumbalterakhir
Hari kedua masih dengan keadaan yang sama. Sikap dari Komala dan suasana luar rumah Mbah Soko tetap tak berubah.
Memasuki hari ketiga, saat fajar mulai meredup, seperti biasa Mbah Soko berkutat dengan berbagai macam hewan peliharaannya. #tumbalterakhir
Ia yang memang sangat menyukai dalam beternak, selalu meluangkan waktu untuk mengurus sendiri. Tapi di sore itu, dirinya yang baru saja mulai memasukan hewan ternak miliknya ke dalam kandang, tiba-tiba merasakan hal berbeda.
Mbah Soko mencoba menepis dan tak memperdulikannya.
Ia tetap merampungkan memasukan semua hewan peliharaannya hingga lantunan Tarhim berkumandang dari Masjid Desa. Namun baru saja Mbah Soko akan beranjak dari kandang sederhana buatannya, satu suara sedikit mengejutkan juga membuatnya semringah.
#tumbalterakhir
"Pak, enek seng golek i,"(Pak, ada yang mencari,)
"Sopo, Nduk?"(Siapa, Nduk?)
Jawab Mbah Soko sembari tersenyum saat tau Komala anaknya yang sudah dua hari hanya diam akhirnya mau berbicara.
#tumbalterakhir
"Kang Roji, kae saiki nunggu nang ngarep."(Kang Roji, itu sekarang nunggu di depan)
Sahut Komala sembari memutar tubuhnya kembali masuk.
#tumbalterakhir
Mbah Soko pun segera bergegas mengikuti dari belakang. Kakinya langsung mengayun ke ruang depan dan menemui seorang lelaki 40an yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Mlebu Ji."(Masuk Ji)
Sapa Mbah Soko pada lelaki satu RT dengannya.
#tumbalterakhir
"Mpon, Mbah. Mriki Mawon. Karangane wektune mpon peteng. Niki kulo di kengken Pak Rudin, mangke njenengan di suwuni tulung kangge nderek acara slametan ba'da Isya wonten ndaleme."
#tumbalterakhir
(Sudah, Mbah. Di sini saja. Berhubung waktunya sudah gelap. Ini saya di suruh Pak Rudin nanti Mbah Soko di minta tolong untuk ikut acara selamatan setelah Isya di rumahnya.)
Ucap lelaki bernama Rozi, menyampaikan maksud kedatangannya.
#tumbalterakhir
"Oh ... iyo Ji. Insya Allah engko tak mangkat. Maturnuwon Ji wes nyampekne."(Oh ... Iya Ji. Insya Allah nanti berangkat. Terima kasih Ji sudah menyampaikan.)
"Njeh, Mbah. Sami-sami."(Iya, Mbah. Sama-sama.)
#tumbalterakhir
lelaki bernama Roji pun segera berlalu pergi setelah mendengar jawaban Mbah Soko dan tak lupa berpamita.
Sedang Mbah Soko, kembali masuk dan menutup pintu, kala pandanganya sudah tak melihat tubuh Roji. #tumbalterakhir
Kakinya kembali melangkah ke arah belakang berniat untuk memastikan keadaan seluruh rumahnya.
Namun, saat akan melewati kamar Komala, langkah Mbah Soko terhenti. Kulit wajahnya yang keriput terlihat semakin mengkerut,
ketika satu suara merdu berdendang lagu macapat dari arah dalam kamar anaknya.
Rasa heran dan penasaran segera bergelanyut dalam diri Mbah Soko.
Ia tau anaknya tak pernah sebelumnya belajar atau pun menghafal lagu jawa halus yang jarang orang tau, apalagi bagi orang-orang seumuran Komala.
Suara itu semakin lirih namun semakin nyaring dan jelas layaknya seorang sinden. Membuat Mbah Soko tak dapat menahan lagi keingin tauannya.
Tak ada yang aneh saat mata Mbah Soko mengitari seluruh ruang kamar Komala. Semua tampak seperti biasa.
#tumbalterakhir
Hanya, ketika pandangannya beradu tatap dengan mata Komala, Mbah Soko terperanjat. Jelas bagi Mbah Soko jika bola mata itu bukan milik anakknya. Dirinya tau betul bila Komala tak pernah menatap tajam apalagi sinis meski dalam keadaan marah sekalipun.
#tumbalterakhir
"Nduk ... Awakmu gak opo-opo?"(Nduk ... Kamu tidak apa-apa?)
Tak ada sahutan, tak ada reaksi apapun dari Komala, membuat Mbah Soko semakin bingung.
"Nduk, awakmu mau nembang opo? seko ngendi belajar tembang kui mau?"
#tumbalterakhir
(Nduk, kamu tadi nembang apa? dari mana belajar tembang tadi itu?)
Lagi, Mbah Soko mencoba berbicara dengan Komala sembari mendekat dan duduk di tepi ranjang persis di samping Komala.
#tumbalterakhir
"Tembang opo Pak? aku wet mau ki lempet-lempet ngene, gak nembang opo-opo. Salah rungon bapak mungkin. "(Tembang apa Pak? aku dari tadi tu beres-beres pakaian gini, tidak nembang apa-apa. Salah dengar bapak mungkin.)
#tumbalterakhir
Satu ucapan akhirnya keluar dari mulut Komala menjawab ucapan bapaknya. Namun mendengar jawaban itu, Mbah Soko semakin termangu. Pikirannya segera melayang jauh, meraba tentang apa yang sebenarnya ia alami.
#tumbalterakhir
"Tenan Nduk, awakmu gak nyanyi, nembang?"(Benar Nduk, kamu tidak bernyayi, nembang?)
Tanya Mbah Soko mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
"Wes to Pak, aku ki tenan ra nyanyi opo meneh kok nembang!"
(Sudah lah Pak, aku beneran gak nyanyi apa lagi kok nembang!) Sahut Komala sedikit mulai ketus.
"Yo wes nek pancen awakmu ora. Ki Bapak arep kenduren gone Pak Rudin, ojo metu-metu seko omah karo ojo tok bukakke lawang misal ono wong ketok-ketok sak durunge bapak muleh.
Di gatekne tenan pesene bapak iki Nduk!"(Ya sudah kalau benar kamu tidak. Ini bapak mau acara selamatan tempat Pak Rudin, jangan keluar-keluar dari rumah sama jangan kamu bukain pintu misalkan ada orang ketuk-ketuk sebelum bapak pulang. Di jaga benar pesan bapak ini Nduk!)
Pesan Mbah Soko sebelum ia berpamitan dan melangkah keluar dari kamar Komala.
Komala sendiri tak menjawab. Ia hanya menatap punggung bapaknya saat pergi dengan tatapan datar tak berexpresi.
#tumbalterakhir
Mbah Soko akhirnya berangkat untuk menghadiri undangan dari Pak Rudin. Ia berjalan sendiri dengan bermodalkan senter berbatre 2. Sarung motif kotak-kotak dan kemeja putih lusuh serta kopiah jaring menjadi ciri khasnya dalam menghadiri tiap acara apapun di Desa tempatnya tinggal.
Jalanan berlubang ia lalui dengan berat hati. Bukan persoalan jalan yang selama hidupnya tak tersentuh kata Aspal, tapi perasaannya yang harus meninggalkan Komala sendiri, di saat keadaan penuh bahaya.
#tumbalterakhir
Riuh dan hampir telah di penuhi warga yang di undang, kala Mbah Soko sampai di kediaman Pak Rudin. Ia yang sedikit banyak di hormati sebagai sesepuh Desa, mendapat tempat tak jauh dari sang pemilik rumah. #tumbalterakhir
Obrolan dan candaan sementara dari para warga sebelum acara di mulai, mencerminkan keakraban antar sesama tanpa membedakan status, meski mereka mayoritas hidup dalam taraf menengah ke bawah.
#tumbalterakhir
Lima belas menit kemudian acara pun akhirnya di mulai. Mereka dengan khusuk mendengarkan kalimat demi kalimat tentang tujuan bapak Rudin yang di sampaikan oleh seorang Ustad muda. #tumbalterakhir
Setelah selesai, acara inti pun di mulai dengan di pimpin seorang Kiay sedikit lebih muda dari Mbah Soko.
Acara demi acara itupun berjalan lancar, sampai pada acara penutup yang kembali di sampaikan Ustad muda setelah puluhan Bait Doa selesai di baca dengan khusuk oleh Sang Kiay,
satu persatu para warga pun berpamitan.
Dengan meneteng bungkusan kantung plastic yang berisi Sodaqoh berupa makanan khas sebuah acara, para warga bersuka cita masih dengan candaan di sepanjang perjalanan pulang. Namun tidak untuk Mbah Soko.
Ia yang memang di kenal sedikit pendiam memilih untuk menjadi pendengar obrolan dari warga lain yang kebetulan satu arah di jalan pusat Desa.
Sekitar sepuluh menit berjalan, kini hanya tinggal Mbah Soko dengan seorang tetangga yang berjarak seratusan meter rumah keduanya.
Dan tak lama, setelah sang tetangga sampai di rumahnya, Mbah Soko mempercepat ayunan langkah kakinya.
Mbah Soko yang sedari berangkat merasakan batinnya tak enak, di rasanya semakin besar ketidaknyamanan itu.
Satu dua ketukan di pintu papan rumahnya, tak jawaban. #tumbalterakhir
Mbah Soko pun memilih mendorong pintu yang tak terkunci dan melangkah masuk masih sembari memanggil nama Komala.
Sunyi, suasana rumah Mbah Soko. Meski sebenarnya hal itu terjadi setiap malam, namun malam itu, Mbah Soko merasakan kesunyian lain dari malam biasanya.
Mbah Soko segera beranjak menuju kamar Komala setelah meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa dari rumah Pak Rudin di atas meja papan lapuk, biasa untuk tempatnya bersantap sambil meneguk segelas teh tubruk.
#tumbalterakhir
Suara gemerasak pertama terdengar di telinga Mbah Soko dari arah kamar Komala, saat ia mulai mendekat. Sebentar Mbah Soko terdiam, mengernyitkan kening, memastikan dan meraba tentang suara itu.
Lima tarikan nafas kemudian Mbah Soko memutuskan masuk. #tumbalterakhir
Tak ada apapun, tak ada siapapun di dalam kamar Komala. Akan tetapi satu hal yang membuatnya terperanjat disertai dada bergemuruh.
"Nduk! Nduk Kom!" panggil Mbah Soko sembari berjalan keluar.
#tumbalterakhir
Satu dua panggilan Mbah Soko tak ada sahutan. Ia masih terus memanggil dan mencari sampai ke arah belakang. Dan tepat ketika dirinya akan melewati pintu, Mbah Soko berpapasan dengan Komala yang hendak masuk.
"Seko ndi awakmu, Nduk!?"(Dari mana kamu, Nduk!?)
"Adus, Pak."(Mandi, Pak.)
"Jawab jujur! enek opo iki mau?"(Jawab jujur! ada apa ini tadi?)
Seolah tau akan sesuatu yang terjadi, Mbah Soko mulai mendesak Komala dengan tegas.
#tumbalterakhir
Komala sedikit terperanjat mendengar pertanyaan bapaknya yang sedikit keras. Wajahnya mulai menegang, namun ia mencoba tetap tenang.
#tumbalterakhir
Komala tak menjawab lagi pertanyaan bapaknya, ia memilih berjalan masuk ke dalam kamar ingin mengganti pakaian. Belum sempat ia melepas kain sarung dan handuk yang menempel di tubuhnya, Mbah Soko sudah kembali berada di ambang pintu kamarnya dengan wajah mulai memerah.
"Jawab, Nduk! enek opo iki mau!?"(Jawab, Nduk! ada apa ini tadi!?)
Lagi, Mbah Soko mengulang pertanyaan yang sama, berharap akan jawaban dari Komala. Namun sekali lagi Komala hanya diam. Ia duduk membelakangi sang bapak dan hanya tertunduk.
#tumbalterakhir
"Awakmu wes wani nglanggar tatanan adab, Nduk! sopo ... Karo sopo awakmu le nglakoni! jawab Nduk!"(Kamu sudah berani melanggar aturan beradab, Nduk! siapa ... Dengan siapa kamu melakukannya! jawab Nduk!)
#tumbalterakhir
Kali ini suara Mbah Soko menggelegar. Dirinya benar-benar yakin dengan sikap diamnya Komala, bahwa dugaannya di iyakan.
Mbah Soko cepat melangkah mendekat ke arah jendela tanpa teralis kamar anaknya yang masih terbuka. #tumbalterakhir
Sebentar ia melongokkan kepalanya keluar dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi, hening, hanya hembusan angin malam yang Mbah Soko dapatkan.
Setelah tak menemukan apa-apa, Mbah Soko menutup rapat jendela dan menguncinya. #tumbalterakhir
Wajahnya yang sudah memerah, mendekati Komala yang masih tertunduk menyandar. Tangan Mbah Soko seketika mencengkram lengan Komala sembari menanyakan hal yang sama. Awal sikap Komala masih sama, diam dan menunduk. #tumbalterakhir
Sampai akhirnya dengan iringan sesenggukan Komala mengakui dan menyebut sebuah nama.
"Iyo, Pak. Aku wes ngelakoni. Aku nglakoni kerono seneng podo seneng karo Mas Jas."(Iya, Pak. Aku sudah melakukannya. Aku melakukan karena suka sama suka dengan Mas Jas.)
"Brukkk...."
Luruh tubuh tua Mbah Soko mendengar jawaban Komala. Ia tersandar di dinding papan, menatap nanar ke depan tanpa ada expresi.
"Iku artine awakmu wes mbungkar opo seng bapak tandur nang mburi omah!?"
(Itu artinya kamu sudah membungkar apa yg sudah bapak tanam di belakang rumah!?)
Tanya Mbah Soko setelah beberapa saat terdiam menahan letupan amarah.
Komala hnya mengangguk tnpa berani menatap wajah bapaknya. Sedangkan Mbah Soko, seketika bangkit melihat anggukan kepala Komala.
Wajah Mbah Soko langsung memucat, keringat dingin mengucur kala sampai di halaman belakang rumah, mendapati dua benda peninggalan orang tuanya yang ia andalkan untuk menjaga rumah dan keselamatan keluarganya telah lenyap. Hanya menyisakan lobang kecil sedalam dua jengkal.
Sesaat Mbah Soko diam menatapi lobang, sebelum membalikan badan menghampiri Komala yang masih terduduk di kamar.
"Sopo seng ngandani awakmu kon njikok barang peninggalane Mbahmu?"(Siapa yang memberitahumu untuk mengambil barang peninggalane Eyangmu?) tanya Mbah Soko.
"Mas Jas, Pak. Supoyo bapak ngrestui aku karo Mas Jas."(Mas Jas, Pak. Supaya bapak merestui saya dan Mas Jas.) jawab Komala sedikit berani mendongakkan kepalanya.
#tumbalterakhir
"Keliru awakmu Nduk! awakmu wes di apusi. Opo ngerti akibat seko gaweanmu seng gak ngregani omongane wong tuo!? saiki tak weruhno, ayo meluo, delok nganggo mripatmu dewe!"
(Salah kamu Nduk! Kamu sudah di tipu. Apa kamu tau akibat dari perbuatanmu yang tak menuruti ucapan orang tua!? sekarang bapak perlihatkan, ayo ikut, lihat dengan mata kamu sendiri!)
Tanpa menunggu jawaban dari Komala, Mbah Soko langsung menarik tangan anaknya. #tumbalterakhir
Membawanya menuju belakang rumah di mana pintunya masih terbuka.
Sedetik dua detik tak ada apa-apa. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba saja Komala memekik ketakutan. Tubuhnya menggigil dingin, wajahnya memucat serta bibirnya bergetar.
#tumbalterakhir
"Iki Nduk akibate, iki seng bapak wedeni, iki seng bakal dadi hiasan urepmu sabendinone! kuat ra kuat, sanggup ra sanggup awakmu kudu siap ngadepi."
(Ini Nduk akibatnya, ini yang bapak takutkan, ini yang akan jadi hiasan hidupmu setiap hari! kuat tidak kuat, sanggup tidak sanggup kamu harus siap hadapi.)
"Op....Opo maksudte, Pak?" tanya Komala dengan suara bergetar, menyiratkan ketakutan yang sangat.
#tumbalterakhir
"Demit-demit kui kabeh bakal ngetutke awakmu, njogo awakmu, nandi wae awakmu lungo. Mergo awakmu wes di anggep ndorone wet bar awakmu mbungkar Jengger Wilak lan wes dadi garwo batine Jasmoro."(Mahluk-mahluk itu semua akan mengikuti kamu, jaga kamu, dimanapun kamu berada.
Karena kamu sudah di anggap tuannya sedari kamu membungkar Jengger Wilak dan melakukan hubungan batin dengan Jasmoro.)
Serak, parau, penuh keputus asaan suara Mbah Soko menjelaskan kepada Komala.
#tumbalterakhir
Sementara Komala masih menggigil ketakutan. Dirinya yang berdiri di belakang bapaknya, tak berani mengangkat muka, hanya sesekali melirik ke arah puluhan sosok wanita bergaun putih, berkebaya dengan rambut menjuntai sampai mata kaki, berwajah putih, berhias alis hitam pekat -
selaras dengan bibir yang sama hitamnya. Tak hanya itu, sosok-sosok itu melayang bergantian berkeliling dan memutari sekitaran tempat itu, sambil terus menatap ke arah mereka, dengan bola mata putih rata dan celong masuk kedalam.
Bagian 1 sudah bisa dibaca atau sudah tersedia ebook untuk temen temen download, yang akan membawa ke bagian 2 yang lebih menarik, sebuah cerita yg harus kalian ketahui segera.
@diosetta @qwertyping @mwv_mystic @karyakarsa_id

klik link dibawah
karyakarsa.com/KALONG/tanggal…
jangan lupa pakai kode voucer KALONG untuk potongan 3k. lumayan bisa buat beli kopi buat nemenin baca horor kisah nyata.
Pagi ini 10.000 kata dulu. Nanti malam 40.000++ setara 50 halaman.

WARISAN
TUMBAL TERAKHIR BAGIAN 2
#bacahorror @bacahorror Image
"Awakmu kudu lungo seko kene, Nduk. Seng iso nyelametke urepmu, yo awakmu dewe."(Kamu harus pergi dari sini, Nduk. Yang bisa menyelamatkan hidupmu, ya kamu sendiri)
#tumbalterakhir
Lemah suara Mbak Soko, tubuhnya pun terasa lunglai tak bertulang, menyesali semua yang terjadi pada putri bungsunya.
Komala sendiri masih terisak, ada setitik penyesalan yang menggurat di wajah ayunya di samping gigil ketakutan yang lebih mendominan.
#tumbalterakhir
"Sisok bapak tak ngabari Kakangmu, mengko ben iso secepete ngeterke awakmu nang gone Lekmu."(Besok bapak mau ngabari Kakakmu, nanti biar bisa secepatnya ngantar kamu ke tempat Pamanmu)
Ucap Mbah Soko setelah beberapa kali menghempaskan nafas beratnya.
#tumbalterakhir
Tubuhnya yang kurus sangat terlihat ringkih. Di tambah expresi wajahnya yang tak bisa di tebak, semakin menampakkan beban berat menggelanyuti jiwanya.#tumbalterakhir
"Pak, opo aku rabekno ae karo Mas Jas? mungkin malah iso dadi apik kabeh."(Pak, apa saya nikahkan saja sama Mas Jas? mungkin malah akan menjadi baik semua.)
Komala, si sela senggukan tangis, berucap mencoba memberikan solusi. #tumbalterakhir
Namun, bukan jawaban kalimat yang ia dapatkan, melainkan lototan bola mata menajam dari bapaknya.
#tumbalterakhir
"Apik kanggone sopo!? ki nek awakmu kepingin roh, ngopo bapakmu tekat-tekate manggon nang omah gubuk koyo ngene, ninggalke omah apik, sawah, kebon, tegalan peninggalane Mbahmu, iku mergo merjuangke awakmu karo kakangmu!
Nek gor miker  gebyare dunyo, awakmu karo kakangmu rong tentu jek ambekan!"

(Baik buat siapa!? nih kalau kamu pingin tau, kenapa bapakmu bertekat menempati rumah gubuk seperti ini,
#tumbalterakhir
meninggalkan rumah bagus, sawah, kebun, ladang peninggalan kakek/nenekmu, itu karena memperjuangkan kamu dan kakakmu! kalau cuma mikir mewahnya dunia, kamu dan kakakmu belum tentu masih bernafas!)
#tumbalterakhir
Sengit kali ini suara Mbah Soko, seperti ingin meluapkan kekecewaannya.
"Lemah iki, omah iki, hasil keringete bapak ibumu asli, Nduk. Mergo bapak moh marisi bondone Mbahmu seng oleh-olehan seko ngabdi nang gone Rahmi sak tekane Ratri!
#tumbalterakhir
bondone iku bondo seng oleh seko ora apik, bondo seng di hasilke seko amise geteh keluargane dewe lan uwong-uwong gak salah! ijek untung Mbahmu ki sadar sak urunge bapakmu seng wes rengko iki dadi tumbale! ikikabeh wasiate Mbahmu! tapi saiki mlh tok mulai meneh!"
#tumbalterakhir
(Tanah ini, rumah ini, hasil keringat bapak dan ibumu asli, Nduk. Karena bapak tak mau mewarisi harta Kakekmu yang di dapat dari ngabdi/bekerja di tempat Rahmi hingga sampai Ratri! hartanya itu harta yang di dapat dari tidak baik,
#tumbalterakhir
harta yg di dapatkan dari amisnya darah keluarganya sendiri dan orang-orang tak bersalah! masih untung kakekmu sadar sebelum bapakmu yg sudah renta ini jd tumbalnya! ini semua wasiat kakekmu! tapi sekarang malah kamu mulai lagi!)

Sambung Mbah Soko sedikit mengulas masa lalunya.
"Terus kudu piye saiki aku, Pak? mungkin nek ngomong apik-apik karo Mas Jas, iso gak koyo seng di bayangke, Pak?"(Terus harus gimana saya, Pak? mungkin kalau bicara baik-baik sama Mas Jas, bisa tidak seperti yang di bayangkan, Pak?) Sahut Komala mencari sebuah harapan.
"Awakmu terlalu awam. Awakmu wes kadung kepincuk sranggine Rahmi. Tak wei ngerti Nduk, Jasmoro iku tetalen aluse Ratri, ibuk e. Seng tok lakoni karo awakmu ikulah bakale dadi awalan nyambunge iketan karo Iblis seng di puja Rahmi, leluhure Jasmoro.
Sedang awakmu, bakal di dadekne lawang garbo ketelu nang Tanggal Telulas sasi pitu mengko. Jasmoro seneng karo awakmu kui mergo awakmu ragel jejer pancer, dudu mergo seneng lahir batine. Awet Rahmi nyekutuni Iblis alas geong,
anak turune wes gak iso nduweni roso tresno meneh karo sepodone menungso. Mergo jiwo rogone wes ketali karo seng dianut. Dadi percuma masio awakmu arep nekat rabi karo Jasmoro, seng enak malah ndawakno persekutuane."
(Kamu terlalu awam. Kamu sudah terlanjur kebungkus tanda khususnya Rahmi. Harus kamu tau Nduk, Jasmoro itu tali sambungnya Ratri, Ibunya. Yang di perbuat dengan kamu itulah bakal menjadi awal ritual tersambungnya ikatan dengan Iblis yang di puja Rahmi, leluhur Jasmoro.
Sedangkankan dirimu, akan di jadikan pintu garba ketiga di Tanggal Tiga belas bulan ketujuh nanti. Jasmoro suka kepadamu itu karena kamu bungsu terlahir bertanda khusus. Bukan karena suka lahir batinnya. Dari mulai Rahmi bersekutu dengan Iblis hutan geong,
anak keturunannya sudah tdk bisa mempunyai rasa cinta, sayang lg dgn sesama manusia. Karena jiwa raganya sudah terikat dgn yg di sembah. Jd percuma meskipun kamu mau nekat menikah dengan Jasmoro, yg ada malah akan memperpanjang persekutuannya.) Jawab Mbah Soko memberi penjelasan.
Entah mengerti atau hanya sekedar di dengar, Komala nampak tertunduk. Raut wajahnya sedikit berubah tempias, seperti tengah mempertimbangkan suatu pilihan.

"Blarrr ... Blaarrrrr ... krreakkk ... kkreeeaakkkk...."
#tumbalterakhir
"Pak! opo iku?"(Pak! apa itu?) Pekik Komala yang tengah tertegun, kaget mendengar suara seperti benturan keras dari atap luar, berposisi tepat di atas kamar Mbah Soko.
#tumbalterakhir
Mbah Soko yang ikut mendengar dan terkejut, tak menjawab pekikan Komala. Dirinya bangkit dan bergegas keluar dari dalam rumah menuju halaman belakang.
#tumbalterakhir
Gelap dan terasa sinung pertama di rasakan Mbah Soko sesampainya di sudut belakang rumahnya. Pandangannya langsung mengedar ke atas atap genting, tempat sumber suara. Namun, hanya awan hitam yang tertangkap pandangan matanya.
#tumbalterakhir
Tak ada mahluk atau sosok apapun di atas atap genting berjamur di mana dengan jelas dirinya dan Komala mendengar suara burung kematian di sertai benturan dari tempat itu.
#tumbalterakhir
"Enek opo, Pak?"(Ada apa, Pak?)
Tanya Komala yang sudah berada di ambang pintu.

"Gak enek opo-opo. Paling gor manuk lewat."(Gak ada apa-apa. Mungkin cuma burung lewat.) Sahut Mbah Soko sambil terus menatapi sekeliling rumahnya.
#tumbalterakhir
Beberapa menit Mbah Soko dan Komala berada di belakang. Setelah tak mendapatkan apa-apa, keduanya kembali masuk kedalam. Namun baru saja Mbah Soko ingin masuk ke dalam kamarnya, buru-buru ia urungkan demi mendengar jeritan Komala kembali.
#tumbalterakhir
"Ono opo, Nduk!?"(Ada apa, Nduk!?)
Tanya Mbah Soko saat mendapati Komala terduduk di depan pintu kamarnya sendiri.
"Wetengku, Pak! loro banget!"(Perutku, Pak! Sakit sekali!) I Jawab Komala sambil menekan perutnya di sertai ringis kesakitan.
#tumbalterakhir
Mbah Soko yang mulai panik segera mendekat. Tangannya segera mengulur ingin membopong tubuh Komala, berniat membaringkan di atas ranjang kayu berkasur kapuk milik Komala. Tapi belum sempat tangan Mbah Soko menyentuh, tetiba saja tubuh Mbah Soko terjengkang kebelakang.
"Brrukkk!"

Mbah Soko sebentar meringis, namun segera tersadar akan keanehan yang baru saja ia alami. Ia pun bangkit kembali mendekat ke arah Komala yang kini terguling-guling di lantai tanah masih dengan kesakitan.
#tumbalterakhir
"Ahgg ... Aghh ... Aghh... Pak tolong, Pak...!"

Iba dan tak tega rsanya Mbah Soko mendengar erang dan rintihan Komala. Meski tk tau seberapa sakit yg di rsakan anak bungsunya, melihat dari raut wajah dan cucuran keringat yg keluar, Mbah Soko dpt memastikan rasa sakit luar biasa.
Akan tetapi Mbah Soko tak dapat berbuat apa-apa. Tiga dan di ulangi sampai ke empat kalinya, usaha Mbah Soko sia-sia. Kedua tangannya tetap tak dapat menyentuh tubuh Komala, entah kekuatan apa dan dari mana, Mbah Soko masih belum mengetahui.
#tumbalterakhir
Kepanikan Mbah Soko yang berlangsung puluhan menit dengan kejadian itu sedikit mereda kala Komala mulai berangsur diam dan mampu duduk menyandarkan punggungnya di dinding papan. Walaupun nafasnya terlihat masih tersengal, tapi rintihan dari bibirnya sudah tak terdengar.
Mbah Soko kembali memberanikan diri mendekat, tapi lagi-lagi dirinya harus terjingkat dan menarik tubuhnya menjauh dari Komala.Kali bukan sebuah kekuatan yang menghantam tubuh ringkihnya, melainkan satu suara lantunan kidung nan nyaring dari arah depan ruang tamu.
Mbah Soko tertegun sejenak, menyesapi kemerduan suara yang tak asing baginya. Suara dan kidung macapat khusus untuk sebuah ritual yang telah lama tak ia dengar, kini tiba-tiba menggema di dalam rumahnya.
#tumbalterakhir
"Srengi Sukmo!" gumam Mbah Soko lirih, sebelum kakinya berayun melangkah menuju arah suara.
Pucat seperti tak teraliri darah seketika tubuh Mbah Soko, melihat satu sosok yang tengah duduk di kursi bambu sembari masih memperdengarkan senandung gending macapat-
tanpa iringan tetabuhan. Kini, bukan hanya makna dari tiap-tiap bait senandung itu yang membuat Mbah Soko tercekat takut, tapi juga pada sosok berkebaya batik dengan kepala bersanggul yang duduk dan berjarak tiga meteran dari tempatnya berdiri.
#tumbalterakhir
"Nyai Ratri!"

Lirih seperti tertahan pekikan yang keluar dari mulut Mbah Soko, menyebut nama sosok wanita itu. Seketika sosok wanita berkebaya batik dengan harum kamboja itu terhenti dari dendang senandungnya.
#tumbalterakhir
Tetapi, tak sedikitpun ia menoleh meski dirinya mendengar pekikan dari mulut Mbah Soko.

"Jek iling aku koe Soko!"(Masih ingat aku kamu Soko!) Ucap sosok itu dengan suara penuh wibawa.

#tumbalterakhir
"Ora bakal lali aku karo keluarga besar Murti Rahmi!"(Tidak akan lupa aku dengan keluarga besar Murti Rahmi!) sahut Mbah Soko sedikit bergetar.
#tumbalterakhir
"Nek koe arep ngerti salahmu opo, takok bapakmu!"(Kalau kamu mau tau salahmu, tanya bapakmu!)

sinis dan sengit kali ini suara sosok wanita yang Mbah Soko tau sebagai penerus Murti Rahmi.
#tumbalterakhir
"Nyai, tolong ... tolong ojo anakku. Nyowoku iki wae seng dadi gantine, culno anak-anakku. Ben aku wae seng nebus salah e wong tuoku."
#tumbalterakhir
(Nyai, tolong ... tolong jangan anakku. Nyawaku ini saja yang jadi gantinya, lepaskan anak-anakku. Biar aku saja yang menebus kesalahan orang tuaku.)

Parau dan memelas suara Mbah Soko.
#tumbalterakhir
Ia berharap dengan itu, bisa menyelamatkan Komala, putri bungsunya. Namun, bukan jawaban kalimat yang di terima Mbah Soko, melainkan tawa panjang melengking dari sosok Ratri, seolah ucapan dan permohonan Mbah Soko hanya sebuah lelucon baginya.
Mbah Soko sendiri mengartikan tawa dari sosok Ratri adalah sebuah penolakan serta ejekan. Ia pun terduduk lemah tanpa tau harus berbuat apa. Jiwanya meronta ingin melawan, tapi tak mungkin ia sanggup, apalagi pusaka pelindung satu-satunya warisan dari orang tuanya,
telah lenyap akibat perbuatan anaknya sendiri.

"Soko! nyowomu kui ora kanggo opo-opo. Seng tak butuhke getihe Komala kanggo mbayar kesalahane wong tuomu biyen. #tumbalterakhir
Sak liane kui, aku ra butuh! iling-ilingen Soko, TANGGAL TELULAS SASI PITU, anakmu tak jukok, wani gawe perkoro, ra ono seng slamet sopo wae, seng ijeh mambu geteh seko wong tuomu!"
#tumbalterakhir
(Soko! nyawamu itu tidak berguna apa-apa. Yang aku butuhkan darahnya Komala untuk membayar kesalahan orang tuamu dulu. Selain itu, aku tak butuh! ingat-ingatlah Soko, TANGGAL TIGA BELAS BULAN KETUJUH, anakmu saya ambil, berani buat masalah, tak akan ada yang selamat siapa saja,
yang masih ada ikatan darah dengan orang tuamu!)
Jiwa dan batin Mbah Soko benar-benar terpukul mendengar ucapan disertai ancaman dari sosok Ratri. Ia tau, jika ucapan itu bukanlah sebatas ucapan di bibir belaka, namun lebih kepada kenyataan yang tertunai,
seperti yang dirinya ketahui sejak dari jaman kedua orang tuanya dulu masih mengabdi pada keluarga besar Murti Rahmi.
#tumbalterakhir
Saya lanjut nanti malam ya 🙏 ba'da isya'.
Setara 50 halaman.
"Pak?" Panggil Komala sembari menyeka keringat pada wajahnya yang memucat.
Mbah Soko hanya diam. Entah lidahnya yang kelu atau karena amarah yang tependam sehingga mengabaikan Komala.
#tumbalterakhir
Perlahan kaki Mbah Soko melangkah menuju kamarnya tanpa mau berpaling sedikitpun, di kepalanya terpenuhi kalimat-kalimat bernada peringatan dan ancaman yang tak main-main dari Trah Murti Rahmi.
#tumbalterakhir
Mbah soko benar-benar tak terjaga sedikitpun malam itu. Gelisah, takut dan ngeri, menggumpal menyatu dalam dirinya. Sampai akhirnya, saat bola panas dunia mulai menyembul menampakkan kegarangannya, Mbah Soko baru keluar dari kamar.
#tumbalterakhir
Tak ada kalimat apapun ketika dirinya berjalan keluar rumah. Tak juga seperti biasa selalu mencari Komala ketika pagi menjelang. Mbah Soko terus melangkah sampai melewati dua tiga rumah tetangganya. #tumbalterakhir
Hingga tiba pada rumah paling ujung berbatasan dengan hamparan sawah, barulah dirinya berhenti.
Sedikit ragu saat bibir Mbah Soko ingin mengucap salam, namun ketika terbayang wajah anak-anaknya, sebaris kalimat salam itu pun meluncur dari mulutnya.
#tumbalterakhir
"Soko? kene mlebu."(Soko? sini masuk.) Ucap satu suara serak, dari seraut wajah tua seumuran Mbah Soko setelah menjawab salam dan membukakan pintu.
"Dengaren isuk gasik ngene tekan kene awakmu, enek perkoro opo?"
#tumbalterakhir
(Gak biasanya pagi buta gini kamu sampai sini, ada perkara apa?) Tanya lelaki sang pemilik rumah saat keduanya telah duduk berhadapan.
"Perkoro nyowo, Kang. Mulo aku rene njalok tolong amreh apik e kepiye?"
#tumbalterakhir
(Perkara Nyawa, Kang. Karena itulah saya kesini mintak tolong untuk baiknya bagaimana?) jawab Mbah Soko dengan suara parau.
"Lah? opo ono sangkutane karo Murti Rahmi?"(Laa? apa ada sanhku pautnya dengan Murti Rahmi?)
#tumbalterakhir
"Iyo, Kang. Mau bengi Ratrine nyambangi aku. Ra keno di tahan, Komala kudu di jikok nang Tanggal Telulas sasi pitu mbisok!"(Iya, Kang. Tadi malam Ratri menemuiku. Tak bisa di tahan, Komala harus di ambil pada Tanggal Tiga Belas Bulan Ke Tujuh Nanti!)
Ucap Mbah Soko menjawab dugaan dari lelaki tua di hadapannya.

"Angel nek wes urusan karo keluarga iku. Aku yo ra iso opo-opo, mung isone andom dungo lan nyaranke ae, Komala kudu tok lungakne."

#tumbalterakhir
(Sulit kalau sudah berurusan dengan keluarga itu. Saya juga tidak bisa apa-apa, hanya bantu Doa dan menyarankan, Komala harus kamu bawa pergi.) ujar lelaki tua yang hanya berkaos dalam putih dengan setelan sarung kotak-kotak.
#tumbalterakhir
"Nek aku seng gowo lungo gak iso, Kang. Tetep ketemu mbuh nandi wae le ku lungo. Misal Kolis seng tak kon jikok, piye menurutmu, Kang Waris?"
#tumbalterakhir
(Kalau saya yang bawa pergi gak bisa, Kang. Tetap ketemu biar di manapun saya pergi. Misal Kolis yang saya suruh ambil, bagaimana menurutmu, Kang?)
Sejenak, lelaki tua biasa di panggil Mbah Waris terdiam. #tumbalterakhir
Tak lama, kepalanya yang sudah berhias rambut putih rata manggut beberapa kali seolah mengerti akan suatu pertimbangan.
"Yo apik kui. Tapi, kiro-kiro Komala arep di umpetke ngendi?"(Ya bagus itu. Tapi, kira-kira Komala mau di sembunyikan dimana?) tanya Mbah Waris.
#tumbalterakhir
"Nek pinginku, Kolis tak kon gowo Komala gone Lekne, Latip."(Kalau inginku, Kolis saya suruh bawa Komala tempat pamannya, Latip.) jawab Mbah Soko.
"Yo wes, apik wae kui. Awakmu le ngedek nang kene yo ati-ati. Seng bakal tok adepi dudu menungso meneh, tapi Iblis seng diwei rogo!"
(Ya sudah, bagus kalau itu. Kamu yang menghadang di sini hati-hati. Yang akan kamu hadapi bukan manusia lagi, tapi Iblis yang di beri raga!) Sedikit geram kali ini suara dan kalimat yang di ucapkan Mbah Waris.
Seperti ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya saat mengucapkan pesan pada Mbah Soko.
Selesai berbasa-basi sebentar, Mbah Soko berpamitan. Kelegaan sekilas menghias kerutan di wajahnya mendengar dukungan rencananya jg kesanggupan dari anak Mbah Waris untuk menghubungi Kolis,
anak pertamanya. Sesampainya di rumah, Mbah Soko langsung menemui Komala. Tak banyak yang dikatakan tentang rencananya, hanya beberapa pesan kepasrahan terucap, pada diri anak bungsu yang ia sayangi.
#tumbalterakhir
"Pak ... Bapak mengko piye nek tak tinggal aku? opo gak enek dalan liyo to, Pak?"(Pak ... Bapak nanti bagaimana kalau saya tinggal? apa tidak ada jalan keluar lainnya, Pak?) ucap Komala setelah mendengar penuturan dari Mbah Soko.
#tumbalterakhir
"Gak enek, Nduk. Iki dalan siji-sijine supoyo awakmu selamet! supoyo mbisuk Bapak ketemu Mbahmu nang alam kono iso ngenger mergo wasiate tak laksanakne temen-temen."
#tumbalterakhir
(Tidak ada, Nduk. Ini jalan satu-satunya supaya kamu selamat! supaya kelak Bapak bertemu Kakek/Nenekmu di alam sana bisa tegak karena wasiatnya di laksanakan benar-benar) terang Mbah Soko dengan mata berkaca.
#tumbalterakhir
"Sepurone Aku, Pak. Sepurone wes gawe soro Bapak lan keluarga!"(Maafkan Saya, Pak. Maafkan sudah buat sengsara Bapak dan keluarga!) Tangis Komala pun pecah. Rasa sesalnya pun ia tumpahkan dalam pelukan Mbah Soko yang sama tak dapat menahan kucuran air bening dari bola matanya.
Hari itu, sampai dua hari selanjutnya keadaan Mbah Soko dan Komala seperti biasa. Namun ketika di hari ke empat, tepat setelah kedatangan Kolis yang merantau dan telah berdomisili di sebuah pulau Industri bersama sang Istri datang, ke adaan pun kembali berubah. #tumbalterakhir
Pertemuan yang seharusnya penuh rasa haru dan bahagia antara orang tua dan anak, berbalik menjadi pertemuan yang mencekam.
Kolis yang saat datang begitu penasaran dengan tujuan bapaknya memanggil untuk pulang, berubah menjadi gelisah. #tumbalterakhir
Di banding Komala, Kolislah yang sudah mengerti tentang cerita masa lalu keluarganya bersangkutan dengan keluarga Murti Rahmi. Oleh sebab itulah, ketika semua yang terjadi telah Mbah Soko ceritakan, raut wajah Kolis pun menegang dan memucat. #tumbalterakhir
Terselip ketakutan dan amarah menggurat dengan jelas bersanding pada wajahnya. Takut karena ia tau betul siapa keluarga Murti Rahmi dan marah pada kecerobohan Adik satu-satunya.
#tumbalterakhir
"Pokok e masalah adimu tak pasrahke awakmu. Mangkato sisok bar Subuh, gowo nggone Lekmu Latip, ngomong bapak titip Komala, Selametke nyowone."(Pokoknya masalah Adikmu Bapak serahkan kamu. Berangkatlah besok sesudah Subuh, bawa ke tempat pamanmu Latip, bilang Bapak titip Komala,
selamatkan nyawanya.) ucap Mbah Soko memberi pesan pada anak lelakinya, Kolis.
"Njur Bapak nang kene dewe piye? gak mungkin Buk Ratri ngejarke masalah iki nek wes ngerti Kom lungo, Pak. Opo Bapak melok sekalian ae, Pak?"
(Terus Bapak di sini sendiri gimana? Tak mungkin Buk Ratri membiarkan masalah ini kalau sudah tau Kom pergi, Pak. Apa Bapak ikut sekalian saja, Pak?) sahut Kolis penuh kekhawatiran.
#tumbalterakhir
"Ora, Lis. Bapak kudu tetep nang kene go ngedeki ingon-ingone Ratri. Bapak mengko yo di rewangi Kang Waris. Wes, pokok e manuto Bapak. Saiki lereno kono, ben sisok iso seger awak e."(Tidak, Lis. Bapak harus tetap di sini untuk menghadang peliharaan-peliharaan Ratri.
Bapak nanti juga di bantu Kang Waris. Sudah, pokoknya nurut Bapak. Sekarang istirahat sana, biar besok bisa segar badannya.) Ujar Mbah Soko memberi perintah demi mengakhiri obrolannya dengan Kolis.
Masih dengan perasaan bercampur aduk, Kolis akhirnya menuruti Mbah Soko.
Ia melangkah masuk ke dalam, ke sebuah kamar yang biasa di gunakan Mbah Soko istirahat. Tak ketinggalan, sebelum ia masuk ke kamar untuk istirahat, Kolis menyempatkan diri melongok ke kamar adiknya. Sejak dirinya datang belum sepatah katapun berbicara dengan Komala.
Ada rasa iba dalam hatinya melihat wajah ayu adik satu-satunya yang terpejam penuh kelelahan. Walau tak ia pungkiri, terselip rasa jengkel dan marah atas kecerobohannya sehingga mengakibatkan kembalinya urusan yang sudah puluhan tahun terputus.
#tumbalterakhir
Rasa lelah akhirnya membawa Kolis ke alam mimpi. Puluhan bahkan ratusan menit ia lalui dalam tenangnya nuansa hawa pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota seperti tempatnya tinggal. #tumbalterakhir
Rasa gelisah, resah bahkan takut sebentar terlupakan. Tanpa menyadari jika itu baru awal dari kengerian yang akan ia lewati hari-hari selanjutnya.

*****
#tumbalterakhir
"Lis ... Kolis! Kolis...."
Satu teriakan seketika menyentak Kolis yang masih terlelap. Buru-buru ia terbangun dan langsung beranjak dari ranjang lapuk dengan sempoyongan.
#tumbalterakhir
Meski belum sepenuhnya ia tersadar, tapi demi mendengar suara bapaknya yang terdengar panik, Kolis melangkah cepat.
Sesampainya di depan kamar Komala, Kolis mendapati sang Bapak tengah berdiri kaku menatap ke dalam kamar. Ia segera menghampiri dan ikut melihat ke dalam.
Kosong, tak ada apapun. Jangankan sosok Komala adiknya, kain selimut dan pakaian-pakaian Komala yang biasa di simpan pada lemari kayu tanpa tutup di sisi kiri ranjang pun tak ada, membuatnya segera menduga-duga penuh kecemasan.
#tumbalterakhir
"Iki mesti adimu lungo marani Jasmoro!"(Ini pasti adikmu pergi ke tempat Jasmoro!) geram penuh letupan amarah suara Mbah Soko terdengar di telinga Kolis.
"La perlu opo Kom moro, Pak?"(La perlu apa Kom kesana, Pak?) tanya Kolis penuh kecemasan.
#tumbalterakhir
"Adikmu panggah pingin rabi karo Jasmoro. Masio wes bapak jelaske kabeh, tetep ae gak sadar."(Adikmu tetap ingin menikah dengan Jasmoro. Walau sudah Bapak jelaskan semua, tetap saja tudak sadar.) jawab Mbah Soko sembari membalikan badan.
#tumbalterakhir
"Saiki kudu ketemu Adikmu, ojo sampek terlambat. Bar Subuh engko langsung gowo metu seko deso iki!"(Sekarang harus ketemu Adikmu, jangan sampai terlambat. Setelah waktu Subuh nanti langsung kamu bawa keluar dari Desa ini!) sambung Mbah Soko
sembari kembali masuk ke dalam kamar milik Komala.
Kolis tertegun, ia bingung dengan semua kejadian yang kini telah menjadi satu bagian untuknya. Dirinya masih tak tau harus berbuat apa untuk membawa kembali adiknya yg di duga telah kabur ke tempat yang tak seharusnya di datangi.
"Lis, awakmu moro o nang omah e Jasmoro, ora kudu tekan latare. Gowonen iki, ning ojo sampek tok ceblokne lemah masio di ganggu opo ae. Bapak tak moro gone Kang Waris supoyo awakmu iso gowo bali Adikmu."(Lis, kamu datangi rumah Jasmoro, tidak harus sampai halamannya.
Bawalah ini, tapi jangan sampai kamu jatuhkan ke tanah walaupun kamu di ganggu apa saja. Bapak akan ke rumah Kang Waris supaya kamu bisa bawa pulang Adikmu.)
Kaget, sudah barang tentu Kolis saat itu. Ia tak menduga jika mendapat perintah yang sangat sulit dan ngeri dari Bapaknya.
Namun demi menyelamatkan sang Adik, mau tak mau Kolis pun mengangguk tanda menerima.
Kolis langsung menerima sebuah kain yang dirinya tau adalah salah satu baju adiknya yang tersisa. Ia pun menggenggam erat baju yang sudah lusuh, seraya berangsur melangkah keluar dari rumahnya.
Kolis baru tersadar bila waktu sudah gelap bertanda malam telah merajai alam. Ia sempat berfikir bila dirinya tertidur dalam lelap cukup lama.
Setelah berjalan ratusan meter, Kolis tetiba saja menghentikan langkahnya sejenak.
Ia menyadari jika ada ke anehan di sekelilingnya. Mulai dari jalan yang ia lalui sampai lingkungan sekitarnya sangat berbeda dari yang ia lihat sewaktu dirinya datang. Walaupun Desa itu bukan tempat ia di lahirkan,
#tumbalterakhir
tapi setidaknya Kolis berdiam di Desa itu cukup lama sewaktu dirinya masih dalam asuhan sang Ibu saat masih hidup. Kolis pun yakin betul jika tak banyak perubahan yang membuatnya pangling akan keadaan Desa meski telah beberapa tahun meninggalkannya.
#tumbalterakhir
Tapi saat ini, dirinya benar-benar merasakan bahwa tengah berada di tempat yang asing.
"Koe arep nandi, Le? kok kendel temen dewean?"(Kamu mau kemana, Nak? kok berani sekali sendirian?)
Hampir saja Kolis melompat kala satu suara wanita tua mengejutkannya dari belakang.
Ia pun seketika beringsut mundur saat memutar tubuhnya dan mendapati satu sosok wanita berpakaian komprang telah berdiri tegak di belakangnya sembari tersenyum menyeringai.
"Sa ... Sa, sampean sopo, Mbah?"(Ka ... ka, kamu siapa, Mbah?) tanya Kolis dengan terbata.
#tumbalterakhir
"Aku yo penghuni kene, kudune aku seng takok, koe sopo terus arep nandi?"(Saya ya penghuni di sini, harusnya saya yang bertanya, kamu siapa terus mau kemana?) jawab sosok wanita tua itu sedikit melototkan matanya.
#tumbalterakhir
Kolis terdiam. Disamping rasa heran, ia juga mulai tersusupi rasa takut. Apalagi saat matanya melihat dari kilatan cahaya obor berwadah bambu yang ada di tangan kiri sosok wanita tua di hadapannya, tampak keanehan dari wajah sosok itu.
#tumbalterakhir
"Ojo tok tanggepi! terus mlakuo Lis!"(Jangan di tanggapi! terus berjalan Lis!)
Satu bisikan tegas nyaring menusuk telinga Kolis. Ia pun terperanjat, kaget kala tau suara itu adalah suara Bapaknya sendiri. Kolis akhirnya membalikan badan. #tumbalterakhir
Mengabaikan sosok wanita tua yang menggapai-gapai kan tangannya seolah ingin memamerkan kuku-kuku runcing panjang dan hitam.
Lembab seakan tak berudara hawa dirasakan Kolis ketika dirinya semakin melangkah jauh. Tubuhnya berkeringat bukan karena rasa lelah,
#tumbalterakhir
melainkan tekanan rasa takut yang amat luar biasa.
Ingin rasanya Kolis saat itu berbalik dan kembali, namun teringat keselamatan sang Adik dan pesan dari sang Bapak, Kolis menguatkan tekadnya.
#tumbalterakhir
Pelan dan tak ada suara langkah kaki Kolis yang terus menyusur jalanan lurus tak berlobang. Walau terlihat gelap, tapi Kolis seolah tertuntun. Ia sama sekali tak kesulitan, menerobos kabut-kabut tipis yang menutup jarak pandangnya.
#tumbalterakhir
Setiba Kolis di sebuah Gapura besar berhias ukiran Naga melingkar, ia terdiam sejenak. Menatapi tiap lekuk bangunan gapura yang baru pertama di lihatnya, dan dirinya rasa begitu sempurna.
#tumbalterakhir
"Ojo mbok delokne moto nogo kui, Lis! mlebuo, rasah ngagas opo ae seng ono nang ngarep utowo samping-sampingmu. Cepet! wektumu ora akeh!"(Jangan kamu lihat mata naga itu, Lis! masuklah, tidak usah hiraukan apa saja yang ada di depan atau di samping-sampingmu.
Cepat! waktumu tidak banyak!)
Kembali Kolis terjingkat saat suara Bapaknya membisik di telinganya. Hal itu pun menyadarkan Kolis jika kini dirinya tak sendiri di tempat itu. Di depannya, tampak beberapa orang berwajah pucat pasi tengah menatapinya.
#tumbalterakhir
Seketika tubuh Kolis merinding, apalagi saat ia menoleh di kanan kirinya, puluhan pasang mata juga sedang menatap padanya dengan tatapan kosong. Bukan hanya merinding akan wajah dan cara mereka memandang,
tapi juga akan aroma tubuh mereka yang kental antara perpaduan Kapur Barus dan bunga kamboja.
"Ojo mbok gagas, mlebu saiki!"(Jangan kamu hiraukan, masuk sekarang!) lagi, satu sentakan suara membulatkan keberanian Kolis.
#tumbalterakhir
Ia pun melangkah meski lututnya terasa lemas dan gemetar. Satu dua hingga beberapa kali dirinya berpapasan dengan sosok-sosok itu, membuat dadanya terasa sesak tersusupi aroma khas mayat dari tubuh mereka. Namun Kolis terus melangkah pelan,
cercahan bisik suara Mbah Soko menguatkan dirinya, seakan tau bila ia tak sendiri.
Hampir lebih tiga ratus meter setelah ia melewati Gapura itu, tibalah Kolis di sebuah taman bercahaya redup bersuara riuh gemericik air yang mengalir.#tumbalterakhir
Ia terpaksa kembali berhenti, kala di depannya terdapat tiga buah jalan berbeda arah dengan sama-sama berhiaskan lampu obor berwadah ting tembaga.
Bingung dan ragu Kolis untuk menetukan salah satu jalan yang akan ia lalui. #tumbalterakhir
Ia tertegun sebentar menatap tiga jalan beralas bebatuan bersusun rapi, dengan tatanan aneka kembang di sisi kanan kiri yang sama persis. Namun tak lama, Kolis akhirnya memilih jalan di sisi kanan. Bukan tanpa alasan dirinya memilih itu,
tapi ia memantapkan pilihannya oleh satu sebab jalan itu tampak berbeda, atau tepatnya di ujung depan taman. Di mana, mata Kolis melihat sebuah patung sesosok wanita berkebaya, kokoh berdiri dengan balutan patung ular hitam melingkari.
#tumbalterakhir
"Koe kudu cepet mlebu rono Lis! gowo Adikmu sak durunge acara Srengginan rampung! Bapak karo Mbah Waris mek sanggup ngawal tekan kene, sak bare Bapak serahke awakmu! ojo lali dungo, Lis."(Kamu harus cepat masuk ke situ Lis! bawa Adikmu sebelum acara Srengginan(ritual rutin)
-selesai! Bapak sama Mbah Waris cuma sanggup ngawal sampai di sini, setelahnya Bapak serahkan dirimu! jangan lupa berdoa, Lis.) Satu bisikan sekali lg menguatkan juga meluruhkan jiwa Kolis. Sebab dari kalimat itu, Kolis sadar jika satu kakinya sudah melangkah melewati jalan itu,
maka dirinya harus berusaha sendiri.
Beriring lantunan Doa dalam hati, Kolis pun mengayunkan kaki kanannya menapak jalan bebatuan hitam yang tersusun. Melewati barisan aneka kembang setinggi perut, menembus kepulan asap tipis dari corong obor yang berjejer rapi.
#tumbalterakhir
Puluhan menit Kolis berjalan sembari menahan degupan jantung yang tak beraturan. Keringatnya deras mengucur, walau tempat itu dirasa begitu sejuk olehnya. Tak ada apapun sedari Kolis melangkah melewati jalan itu. #tumbalterakhir
Membuatnya sedikit mempercepat langkah berharap bisa segera menemukan sang Adik. Namun, ketika dirinya tinggal berjarak tiga meteran dri patung sosok wanita berkebaya, tb-tb tubuhnya melemah, kedua kakinya serasa tak bertulang, terpaku diam tnpa mampu bergerak.
#tumbalterakhir
"Suruppp pati, lebur ing wewening wengi iki...."
Sebaris bait lantunan tembang beriring pegon peloq, tetiba saja terdengar begitu dekat di rasa Kolis, seolah berada tepat di samping kirinya, semakin membuat tubuhnya kaku pucat tak berdarah.
#tumbalterakhir
sholat maghrib dulu.
Alunan peloq pegon mengiring tembang Jawi kuno, sayup dan semakin lirih menggema di telinga Kolis. Tak lama suara itu mengabur, menjauh dan hilang dari pendengaran Kolis.
#tumbalterakhir
Sebentar Kolis menoleh di kiri dan kanannya, namun hanya hembusan angin serta gemericik air dalam lingkaran kolam tak lebar, mengalir mengelilingi patung sosok wanita berwajah tak asing baginya.
Tubuh Kolis berangsur pulih setelah sebentar bagai mati rasa.#tumbalterakhir
Ia kemudian mencoba kembali menjejakan tapak kakinya, berniat meneruskan mencari keberadaan sang Adik.
Setibanya Kolis tepat di depan patung sosok berwajah ayu dengan kebaya slempang menyebelahi patung ular hitam, lagi-lagi Kolis tergelak kaget.
#tumbalterakhir
Berawal dari dengus nafas dan desis berbau busuk menerpa wajahnya, menjadi tanda kemunculan sebuah bayangan hitam.
Klebatan bayangan itu meliuk-liuk dan mengitari Kolis. Mata Kolis sendiri seperti tergerak mengikuti gerakan bayangan itu beberapa saat,
#tumbalterakhir
hingga kemudian berhenti dan menjelma jelas menjadi sesosok wanita bergaun putih dengan tebaran bau kapur barus menyengat tajam.
"Durung wayahe Koe merene! kudune mengko nang Tanggal Telulas Sasi Pitu! Saiki wes kadung, opo perlumu!?"
(Belum saatnya Kamu ke sini! harusnya nanti Tanggal Tiga Belas Bulan Ketujuh! Sekarang sudah terlanjur, apa perlumu!?)
Pelan dan lembut namun tegas suara sosok itu menyapa Kolis. Hal itu langsung kembali merontokkan keberanian Kolis.
#tumbalterakhir
Apalagi ketika matanya beradu pandang dengan bola mata sosok itu, jantung Kolis seolah berhenti berdetak.
"Nyowo loro wong tuo seng ngeterke Koe merene ora bakal iso ngambah Garba iki! Koe dewe nduwene opo, bocah kemendel!"
#tumbalterakhir
(Nyawa dua orang tua yang mengantarmu ke sini tidak akan bisa masuk ke dalam Garba ini! Kamu sendiri punya apa, bocah sok berani!)
Lagi, Kolis hanya diam tertunduk. Rasa takutnya sudah tak terukur. Jiwanya terasa mati.
#tumbalterakhir
Jangankan untuk menyahut, mendongakkan kepala saja terasa berat.
"Gawanen rene kui seng tok cangking, bakal metu utuh awakmu nek Koe manut!"(Bawa ke sini itu yang Kamu pegang, akan keluar utuh anggota badanmu kalau Kamu nurut!)
#tumbalterakhir
Mendengar ucapan sosok wanita bernada perintah disertai ancaman, kali ini Kolis tersentak. Ia teringat jika di tangannya tergenggam kain lusuh milik Adiknya, juga pesan dari Bapaknya.
#tumbalterakhir
"Ora! ora bakal tk serahke barang iki sak durunge ak ketemu Adeku! minggiro, ak gk enek perlu opo2, mek arep ngejak Adikku bali!"(Tidak! tidak akn Saya serahkan barang ini sebelum Saya bertemu Adiku! menyingkirlah, Saya tdk ada perlu apa-apa, hanya ingin mengajak Adikku pulang!)
Entah mendapat keberanian dari mana Kolis tegas bersuara menolak permintaan sosok wanita itu. Tak hanya menjawab, dirinya pun mampu menegakkan kepala serta sanggup menatapi sosok wanita itu, yang tengah melototkan bola matanya tajam.
#tumbalterakhir
"Ancen kudu di warah toto corone merdayoh nang kene, Koe!"(Memang harus di beri pelajaran tata caranya bertamu di sini, Kamu!) Sengit ucapan sosok itu, mendapati penolakan dari Kolis.
#tumbalterakhir
Selepas berucap, sosok wanita itu menjulurkan tangan berkuku putih tajam mengkilap ke arah kain yang di genggam erat Kolis. Ia berniat merebut paksa. Namun, sebelum tangan sosok itu sampai, tiba-tiba saja ia menarik mundur bersamaan tubuhnya yang ikut beringsut.
#tumbalterakhir
"Ora saiki waktune, Jangi. Ben bocah kui gowo Adine bali, tetengerku ora bakal ilang."(Bukan sekarang waktunya, Jangi. Biarkan bocah iki membawa Adiknya pulang, talipatiku tidak akan hilang.)
#tumbalterakhir
Sosok wanita tua yang di panggil Jangki merunduk, sebelum akhirnya menjauh dan melayang pudar bagai awan serta dalam sekejap lenyap di sekitaran patung.
Sedang Kolis, ia terhenyak mendengar suara pelan nan lembut tanpa wujud, namun mampu membuat sosok Jangki mematuhinya.
"Gowonen Adikmu muleh, cah bagus. Tapi ilingo, mbisok bakal tak jikok, pas titiwancine."(Bawalah Adikmu pulang, cah bagus. Tapi ingatlah, kelak akan Saya ambil, saat tepat waktunya.)
Mendengar suara itu kembali, Kolis tertegun.
Sejenak ia menelaah kalimat bernada perintah juga sebuah pesan, dari sosok tak berwujud yang ia yakin adalah seorang wanita. Tapi belum mengerti maksud yang terkandung di dalamnya.
Tak mau berpikir terlalu lama, Kolis memutuskan untuk segera mencari Komala.
#tumbalterakhir
Mengabaikan makna dari ucapan sosok tak berwujud, menuruti keinginannya agar segera keluar dari tempat yang sangat asing dan mengerikan baginya.
#tumbalterakhir
Setapak demi setapak Kolis lalui jalan bersusun batu, berpagar aneka kembang yang lebarnya tak lebih dari dua meter. Walaupun tanpa ada gangguan, namun perasaan was-was dan takut masih lekat bergelanyut.
#tumbalterakhir
Kelokan demi kelokan terus Kolis susuri, tiga buah jembatan kecil tanpa pegangan pun telah Kolis lewati. Namun sejauh itu, ia belum menemukan tanda-tanda keberadaan Komala. Hingga, sampailah Kolis di ujung taman dengan sebuah gapura kecil melengkung,
ia di sambut hamparan tanah luas yang terdapat puluhan gundukan tanah layaknya sebuah tempat pemakaman.
Kolis ragu untuk melewati gapura kecil dan masuk ke area berhawa sinung di depannya. Sekilas Kolis mengedarkan pandangannya, mencoba mencari-cari keberadaan Komala.
Tapi hanya siutan-siutan awan tipis dan angin dingin yang sepintas terlihat seperti bayangan saling berlompatan tertangkap matanya.
Kolis yang mulai bergidik ngeri, akhirnya membalikan tubuh. Melangkah cepat segera ingin mencari di tempat lain.
Sayang, baru saja tujuh langkah ia berjalan, kembali harus di hentikan oleh sebuah suara.
Bukan panggilan, bukan pula sentakan yang membuat Kolis terdiam dan kembali berbalik. Tapi suara tangis merintih memilukan dari arah sisi kiri tanah lapang,
persis di sebelah gundukan tanah paling tinggi tanpa penanda. Tangisan itu semakin terang dan jelas di telinga Kolis, kala dirinya memberanikan melintasi gapura batas antara taman dan tanah lapang.
Semakin jauh berjalan, suara tangisan itu semakin meyakinkan Kolis.
Tanpa ragu lagi, Kolis mempercepat ayunan kakinya. Tak berapa lama akhirnya Kolis sampai di tempat, di mana suara itu benar-benar suara Komala yang sedang duduk tersimpuh, di apit dua buah gundukan tanah tak sama tinggi.
#tumbalterakhir
"Nduk, ayo bali."(Nduk, ayo Pulang.)
Ucap Kolis sedikit senang telah menemukan Adiknya.
"Nduk ... Nduk. Awakmu ngopo nangis nang kunu? ayo bali saiki."(Nduk ... Nduk. Kamu kenapa nangis di situ? ayo pulang sekarang.)
#tumbalterakhir
Kembali Kolis memanggil dan mengajak Komala untuk pulang. Namun Komala seperti tak mendengar dan menghiraukannya. Komala masih terus menangis pilu sembari meremas-remas tanah berwarna merah di hadapannya.
#tumbalterakhir
Ia sama sekali tak menoleh sedikitpun ke arah Kolis yang berdiri di sebelah gundukan tanah paling tinggi.
Kolis sendiri mulai bingung. Berkali-kali ia mengulang memanggil Komala, tapi tetap saja Komala tak menggubris.
#tumbalterakhir
Sampai akhirnya, Kolis yang tak sabar lagi berjalan mendekat dan meraih lengan Komala. "Ayo bali! iki dudu panggonanmu!"(Ayo pulang! ini bukan tempat tinggalmu!)
Kali ini usaha Kolis berhasil.
#tumbalterakhir
Komala menghentikan tangisannya dan mendongakkan kepala seperti terkejut dengan cengkraman tangan di lengannya.
"Kang,"(Kak)
Hanya itu, ucapan yang keluar dari bibir Komala, selebihnya kembali menunduk masih dengan meremas tanah dan bersengguk.
#tumbalterakhir
Antara iba dan juga takut Kolis menyaksikan hal itu, melihat kondisi sang Adik yang sudah layaknya seonggok mayat hidup. Sebentar Kolis mengedarkan tatapan ke segala penjuru tempat itu. Sekelip memandang, tak ada yang tertangkap matanya.
#tumbalterakhir
Tak mau lagi larut dalam suasana menyeramkan, Kolis akhirnya menarik paksa Komala. Sedikit penolakan dari Adiknya tak membuat Kolis melepasnya.
Sepersekian detik dan menit Kolis berjalan dengan cepat sambil menggandeng lengan Komala, melewati gundukan-gundukan tanah tanpa nisan,
yang mendadak menebar bau kapur barus menyengat tajam, mengalahkan bau khas tanah pemakaman.
Tak hanya itu, keganjilan lain pun di rasa Kolis saat tiap-tiap dirinya melewati gundukan tanah, selalu terdengar suara merintih dan tangisan menyayat.
#tumbalterakhir
Semakin cepat langkah Kolis, semakin banyak gundukan yang dirinya lewati, semakin membuat tempat itu ramai dengan tangisan-tangisan saling bersahutan.
"Kang, iku podo arep melu."(Kak, itu mereka mau ikut)
Tersentak Kolis mendengar ucapan Komala yang tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke arah belakang. Mau tak mau dirinya pun mengikuti petunjuk Komala.
Seketika itu juga tubuh Kolis mempias pucat, melihat puluhan sosok-sosok berbalut kain putih lusuh, telah berdiri tepat di belakangnya
Puluhan sosok-sosok itu segera menjulurkan tangan kanan mereka layaknya melambai kaku, saat tau Kolis dan Komala berhenti. Namun Kolis segera tersadar bila niatnya hanya membawa pulang sang Adik.
"Ora usah di gatekne! ayo, dewe kudu cepet metu, melas Bapak wes nunggu."(Tidak usah di hiraukan! ayo, kita harus cepat keluar, kasihan Bapak sudah menunggu.) Ucap Kolis di sela-sela ketakutannya.
#tumbalterakhir
"Tapi yo melas konco-koncoku iki, Kang. Podo pingin melu."(Tapi ya kasihan teman-temanku ini, Kang. Semua ingin ikut.) sahut Komala lirih masih berjeda dengan sesenggukan.
#tumbalterakhir
Kolis terdiam, ia menatap lekat wajah Komala yang pucat, ia tau bila Adiknya dalam kesadaran yang tersandra. Kolis akhirnya teringat kain lusuh yang masih dalam genggamannya, kemudian segera menutupkan ke wajah pucat Komala, sesuai dengan pesan dari Bapaknya.
#tumbalterakhir
Tak lama setelah itu Komala terdiam, tapi berbeda dengan puluhan sosok-sosok di belakangnya. Tangisan mereka terdengar mengencang, tubuh mereka pun melayang bagai bayang-bayang berputar mengeliling.
#tumbalterakhir
Selagi Komala terdiam, Kolis yang sudah ketakutan segera dengan cepat membopong dan membawa Komala keluar melewati kembali gapura kecil melengkung. Mengabaikan suara tangis dan lambaian tangan terbungkus kain dombor, dari sosok-sosok di belakangnya.
#tumbalterakhir
Kolis terus berjalan cepat, bahkan setelah melewati patung sosok wanita berlingkar ular hitam, ia berlari tanpa mempertimbangkan berat tubuh Komala yang ada di pundaknya.
Puluhan meter, ratusan meter telah Kolis lalui.
#tumbalterakhir
Nafasnya yang sudah tak teratur, seirama dengan degup jantungnya. Tapi, dirinya enggan untuk berhenti, walau sebentar.
Kolis benar-benar merasakan, jika tak ada lagi bagian dari tubuhnya yang tak terbasahi oleh keringat.
#tumbalterakhir
Namun tak menyurutkan langkah kakinya yang terus berlari, meski telah meninggalkan jauh gerbang gapura besar awal dirinya masuk di tempat yang tak ingin lagi ia memasukinya.
"Brukkk!"
"Akhhh...."

#tumbalterakhir
Kolis akhirnya terjatuh, mengerang pelan sembari memegang lututnya yang bergetar hebat entah karena rasa lelah atau masih bagian dari luapan rasa takut. Tapi di balik itu, kelegaan segera menggurat di wajahnya yang di penuhi titik-titik air bening kala matanya menatap ke depan,
terlihat kerlipan cahaya dari rumah-rumah warga. Semangat Kolis akhirnya kembali tumbuh. Ia segera mengangkat tubuh Adiknya yang tertidur, berjalan melewati tempat tak lagi berhawa lembab.
"Syukur Lis awakmu selamet."(Syukur Lis Kamu selamat.)
#tumbalterakhir
Satu suara tak asing akhirnya mengakhiri perjuangan Kolis malam itu. Dirinya yang baru tiba di halaman, di sambut haru Mbah Soko dan Mbah Waris. Rasa lelah, ngeri, takut, kini telah mereda setelah satu gelas berisi air dingin pemberian Mbah Waris,
tak bersisa masuk tenggorokannya. Ia langsung menghempaskan tububnya di lantai tanah ruang tamu rumah sederhana milik orang tuanya. Matanya sebentar terpejam sembari mengatur ritme nafasnya yang belum teratur, tanpa memperdulikan kondisinya yang kotor.
#tumbalterakhir
"Ijek ono wektu telung jam, Lis. Istirahato, mari ngunu lek budal, gowo Adimu nang gone Lekmu Latip. Ojo ngasi kedisian Srengenge."(Masih ada waktu tiga jam, Lis. Istirahatlah, setelah itu segera berangkat, bawa Adikmu ke tempat Pamanmu Latip. Jangan sampai keduluan Matahari.)
Kolis hanya diam, ia masih memejamkan mata meski mendengar ucapan Bapaknya. Dalam benak, Kolis merasa lelah, akan tetapi, ia tak bisa lagi menolak. Sebab ini adalah awal permulaan baginya.
#tumbalterakhir
"Lis, tangio. Delok neh awakmu kudu budal."(Lis, bangun. Sebentar lagi Kamu harus berangkat)
Sedikit tergagap Kolis merasakan ada sentuhan dan suara yang membangunkannya.
"Aduso kono, ben seger meneh awak e. Ko gek nang ngarep, di tunggu Mbah Waris."
(Mandi dulu sana, biar segar bugar lagi badanmu. Nanti terus ke depan, di tunggu Mbah Waris.)
Sebentar Kolis terdiam. Kemudian mengeliat beberapa kali, setelah mengangguk tanda mengerti dengan apa yang di ucapkan Mbah Soko.
#tumbalterakhir
Kolis segera bangkit dari ranjang berkasur kapuk berbungkus kain lusuh penuh tambalan. Ia tau bahwa tak lama lagi dirinya harus melakukan perjalanan membawa pergi Komala, Adiknya yang dalam masalah besar.
Sambil melangkah pelan, Kolis kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu.
Di mana dirinya berjuang dalam kengerian yang baru pertama ia alami. Membayangkan semuanya, Kolis seketika merinding ngeri. Jiwanya masih menyisakan rasa takut, walau telah lepas dari ke angkeran kediaman Rahmi Murti.
#tumbalterakhir
Guyuran demi guyuran air dari cakupan gayung terbuat dari tempurung kelapa, langsung membasahi tubuh tegap Kolis. Dingin, namun sangat di rasa segar olehnya.
#tumbalterakhir
Satu dua tiga basuhan kembali dan lagi gayung di tangan Kolis meraup air dalam gentong bulat terbuat dari tanah liat tersiram di tubuhnya. Melenakan dan melonggarkan sejenak tanpa memikirkan beban.
#tumbalterakhir
Akan tetapi, saat tangan Kolis mengusapkan sabun ke bagian atas tubuhnya untuk yang kedua kali, mendadak sabun itu terlepas dan jatuh ke dalam gentong air yang jernih dan masih tersisa setengahnya. Dan mau tak mau Kolis pun berjongkok untuk mengambil.
#tumbalterakhir
Baru saja tangan kanan Kolis akan masuk ke dalam air, tetiba saja ia tarik kembali. Mulutnya ternganga seakan ingin berteriak, tapi tak ada suara yang mampu ia keluarkan.
Beberapa detik Kolis terdiam dalam keterkejutannya.
#tumbalterakhir
Ia mencoba mencerna tentang apa yang baru saja matanya lihat di dalam gentong. Bertanya-tanya dalam hati, akhirnya Kolis memberanikan diri untuk memastikan apa yang di lihatnya. Bermodal lampu sentir bertutup kaca bulat memanjang, Kolis pun mendekat.
#tumbalterakhir
Perlahan membungkuk, sembari menahan degup jantung yang mulai terpacu.
Amis, aroma yang tercium pada sisa air di dalam gentong. Tapi hal itu belum meyakinkan Kolis sepenuhnya. Hingga lima tarikan nafas kemudian, Kolis beringsut mundur.
#tumbalterakhir
Wajahnya memucat, mulutnya terbungkam, jiwanya kembali gonjang kala menyaksikan dengan jelas helaian rambut menumpuk. Tak hanya itu, mata Kolis juga melihat air yang tadinya jernih berubah mengental berwarna merah kehitaman dengan aroma anyir menyengat.
#tumbalterakhir
Belum lagi hilang rasa takut dan kaget dalam diri Kolis, tiba-tiba saja tubuhnya yang masih terbalut handuk, tersentuh sapuan angin teramat dingin.
Kolis mundur, dan keluar dari bilik bertutup dinding dari anyaman bambu.
#tumbalterakhir
Namun baru satu langkah, kembali di kejutkan sebuah nyanyian lirih dari suara sesosok wanita dari dlm bilik. Jiwa Kolis benar-benat tercekat. Ia berusaha sekuat tenaga ingin membalikan tubuh, tp seperti tertahan satu kekuatan besar hingga hanya keringat dingin yg deras mengucur.
"Plakkkk....!"
"Ayo cepet mlebu!"(Ayo cepat masuk!)
Sampai beberapa lama, akhirnya kaki dan anggota tubuh Kolis yang lain mampu bergerak, saat sebuah tepukan keras menampar bagian pundaknya yang tak terbalut kain.
#tumbalterakhir
Segera ia melangkah cepat, mengikuti sosok yang menyadarkannya dan tak lain adalah Mbah Waris.
" Gek salin terus lek mangkat wae, Lis! Adikmu yo wes siap."(Cepat ganti baju terus berangkat saja, Lis! Adikmu juga sudah siap.) Ucap Mbah Soko yang terlihat panik.
#tumbalterakhir
Ia seperti mengetahui yang baru saja Kolis alami. Sehingga memerintahkan Kolis untuk segera berangkat.
Lima menitan Kolis di dalam kamar, saat keluar ia telah rapi sambil menenteng tas slempang berwarna hitam.
#tumbalterakhir
Ia sedikit kaget ketika melihat Komala duduk terbengong dengan wajah masih pucat. Tatapannya seolah kosong, serta terlunglai tak bertenaga.
"Iki rungokno, Lis. Bungkusan iki mengko, guwak en nang antarane tengah segoro. Ojo sampek enek moto weroh kejobo awakmu karo Komala tok.
Misal bar naburke awakmu weruh opo wae, ojo pisan-pisan mbalek rene sak durunge Adikmu tekan gone Latip."(Ini dengarkan, Lis. Bungkusan ini nanti, buang di antara tengahnya laut. Jangan sampai ada mata melihat kecuali Kamu dan Komala saja.
Andai setelah menaburkan Kamu melihat sesuatu apa saja, jangan sekali-kali kembali ke sini sebelum Adikmu sampai di tempat Latip.) Ucap Mbah Soko memberi pesan.
#tumbalterakhir
"Soko! Opo wes siap tenan Koe kok ngongkon guwak kui nang segoro? opo gak njajal coro liyo? Koe ngerti artine nek barang kui di guwak? berarti Koe...."
(Soko! Apa sudah siap benar Kamu dengan menyuruh membuang itu di tengah laut? apa tidak mencoba cara lain? Kamu tau artinya jika barang itu di buang? artinya Kamu....)
Mbah Waris yang tadinya hanya melihat dan diam, tiba-tiba bersuara. Namun pada kalimat terakhir ia tak dapat meneruskan. Membuat Kolis yang dengan seksama mendengarkan, mengernyitkan kening.
#tumbalterakhir
"Aku wes siap, Kang. Penting Anak-anakku iso selamet. Aku dasare yo wes tuo. Kesel kudu nutup terus urusane karo Iblis Murti Rahmi."(Saya sudah siap, Kang. Terpenting Anak-anakku bisa selamat. Saya juga sudah tua. Lelah harus nutup terus urusan dengan Iblis Murti Rahmi.)
Timpal Mbah Soko pelan penuh kepasrahan.
Melihat perubahan sikap dua lelaki tua di depannya, Kolis semakin bingung penuh penasaran. Dirinya yakin jika ada sesuatu yang di sembunyikan darinya. Tapi untuk bertanya, Kolis seperti tak di beri waktu oleh Mbah Soko. #tumbalterakhir
Dirinya lalu segera berpamitan setelah sebuah sepeda motor milik Anak Mbah Waris sampai di halaman.
Raut kesedihan menyirat jelas dari sela-sela keriput kulit wajah Mbah Soko saat melepas kepergian dua Anaknya.
#tumbalterakhir
Meski tak ada air bening yang menggulir, perasaan mendalam begitu di rasakan juga oleh Kolis. Dirinya merasa betul ketika deru Motor Dua Tak, melaju pelan meninggalkan halaman rumah tempat bermain saat ia kecil,
seolah menjadi tilas dan pertemuan terakhir dengan Sang Bapak yang baru satu hari satu malam bertemu, setelah setahunan ia tak pulang.
Sunyi, sepi, suasana desa yang tengah di lalui Kolis.
#tumbalterakhir
Entah karena sudah masuk waktu dini hari, atau memang keadaan Desa yang belum terlalu padat penduduknya.
Kolis yang duduk di belakang, mengapit tubuh Komala dengan kondisi masih seperti linglung, mulai kembali merasakan sesuatu tak nyaman dalam hatinya.
#tumbalterakhir
Jalanan mulai sedikit licin, berlumpur dan banyak berlobang, saat memasuki area persawahan. Membuat Motor berkoplin melaju pelan serta bergunjang. Namun bukan hal itu yg membuat Kolis resah. Melainkan, ada sesuatu atau tepatnya ia merasa jk di belakangnya banyak sosok mengikuti.
Sesekali Kolis memalingkan wajah. Merasai satu gesekan angin lembut menyembur di leher belakang. Tetapi ia tak melihat apapun.
Keadaan itu berlangsung selama dalam perjalanannya menuju sebuah tempat terang nan ramai.
#tumbalterakhir
Hiruk pikuk para pedagang, lalu lalang rutinitas pembeli dan penjual jasa telah memenuhi Ibu Kota Kabupaten tempat di mana ia di besarkan.
Setelah berbasa-basi dan mengucapkan terima kasih,
Kolis memapah Komala masuk ke dalam sebuah ruangan tempat penjualan tiket Bus yang akan mengantarnya menuju ke kediaman sang Paman, Latip.
Hari pun mulai terang, tepat saat Matahari mulai muncul dengan congkak, sebuah Bus besar dan panjang melaju pelan ke arah tempat Kolis.
Hanya menghabiskan segelas kopi hitam, Bus itupun kembali meneruskan perjalanan dengan membawa puluhan penumpang, termasuk Kolis dan Komala yang duduk di bagian sedikit belakang.
#tumbalterakhir
Dentuman musik dari DVD yang terpasang di depan, bakal mengiringi perjalanan Kolis selama belasan jam. Dirinya yang sudah beberapa kali mendatangi rumah Latip, tau dan hafal jalanan serta suasana di dalam Bus.
#tumbalterakhir
Tapi untuk kali ini, dirinya benar-benar tak bisa menikmati seperti sebelumnya.
Beberapa kali Kolis menghempaskan nafas berat sambil menoleh ke arah Komala yang terpejam dengan menyandarkan kepala di bagian pinggir kaca bus.
#tumbalterakhir
Rasa sesal, iba, sayang dan takut membaur dalam jiwa Kolis melihat keadaan Adik satu-satunya. Meski awal dalam hatinya menyimpan amarah, tetapi terpupus oleh nurani yang tak bisa di lepas karena ikatan darah.
#tumbalterakhir
Beberapa jam telah berlalu. Kolis sesekali tertidur, sesekali terjaga sembari melihat Komala. Pikiran dan tubuhnya yang seharusnya membutuhkan istirahat, terkalahkan rasa gelisah. Hingga tiba saat Bus berhenti di tempat yang akan dirinya jadikan penyelesaian wasiat Bapaknya,
kegelisahan Kolis semakin kuat mengikat.
Butuh waktu tiga puluhan menit untuk Bus masuk ke dalam sebuah kapal besar. Menunggu sebentar, sampai sang Kondektur memberi perintah agar para penumpang turun guna menikmati perjalanan dan suasana di laut lepas.
#tumbalterakhir
Enggan rasanya bagi Kolis untuk turun, bukan hanya karena kondisi Komala, tetapi juga perasaannya yang semakin tak menentu. Kolis sendiri tidak tau asal mula perasaan itu. Entah dari sisa ketakutannya, atau karena ada sumber yang lain.
#tumbalterakhir
Tertatih dan pelan akhirnya Kolis turun sambil memapah Komala. Ia tak lagi canggung dengan tatapan mata para penumpang lain, seperti merasa iba. Mungkin bagi yg lain, saat itu menjadi momen yang indah dalam sebuah perjalanan, tp bagi Kolis, saat itu terasa seperti waktu berduka.
Tiga kali suara terompet atau sirine, menjadi tanda di mulainya pelayaran. Sorak sorai para penumpang, seperti tak mampu mengikis jiwa Kolis yang semakin di rundung was-was dan gelisah.
#tumbalterakhir
Kolis yang masih berusaha memaksa jiwanya tegar, terus melangkah pelan menyusur Dak paling bawah kapal, guna mencari tempat yang sesuai dengan pesan Mbah Soko.
Meski sering tertatih dan kesusahan, Kolis terus mencari sembari menghitung waktu dari mulai kapal berjalan.
Hal itu dirinya lakukan demi waktu yang pas untuk tepat berada di tengah-tengah laut. Ia yang hafal lamanya perjalanan, tak sulit menghitung. Namun, kala dirinya menemukan tempat yang di rasanya pas,
lagi-lagi Kolis harus kuat-kuat menepis lingkaran rasa mendebarkan yang tiba-tiba muncul.
Kali ini bukan tanpa alasan Kolis tersusupi rasa takut, ia yang tengah berdiri menunggu di tepian dinding kapal, tetiba membaui sesuatu yang tak asing lagi baginya, Kapur Barus.
"Ojo mbok buwak, Le. Opo tegel Koe mateni Bapakmu dewe?"(Jangan kamu buang, Le. Apa tega Kamu membunuh Bapakmu sendiri?) pelan dan lembut suara yang tiba-tiba terdengar di telinga Kolis. Tapi hal itu justru membuat jiwa Kolis tercekat.
#tumbalterakhir
"Sopo sampeyan, Buk!?"(Siapa Kamu, Buk!?)
Tanya Kolis sedikit terserak, demi menutupi rasa kagetnya terhadap kehadiran sosok wanita bertapi kain jarit dengan paduan sanggul menghias indah di kepalanya.
#tumbalterakhir
Wanita berwajah ayu nan keibuan itu tak menyahut, ia berjalan gemulai menyamping ke kiri dari tempat Kolis berdiri. Sebentar ia melirik ke arah Komala, sebelum wajah ayunya berpaling menatap lautan lepas.
#tumbalterakhir
"Iku jenenge Pancer papate Bapakmu seng di campur geteh angete Adikmu. Masio tok buwak nang laut iki, ora kiro iso nylametno Adikmu. Mongko, kapan wes di guwak, nyowone Bapakmu seng ke larung."
(Itu namanya Empat Pancer(ari-ari yang sewaktu lahir di simpan hingga mengering) Bapakmu yang di campur darah manisnya Adikmu. Walaupun Kamu buang di laut ini, jangan kira bisa menyelamatkan Adikmu. Padahal, kalau sudah di buang, nyawa Bapakmu yang terhanyut.)
Singkat namun mampu menggetarkan jiwa Kolis, penjelasan dari wanita berbaju renda panjang, bermanik-manik hitam dengan aroma kapur barus khas mayat, menyebar dari tubuhnya.
#tumbalterakhir
"Percoyo ora percoyo, iku seng bakal kedaden."(Percaya tidak percaya, itu yang akan terjadi.) Sambung wanita berkulit putih bersih, mencoba meyakinkan Kolis.
Selintas pikiran Kolis mengambang. Keraguan yang mulai menyusup, menghantarkan pikiran Kolis tentang -
firsatnya sedari awal meninggalkan rumah Bapaknya.
Akan tetapi, di saat kebimbangannya hampir menguasai, sekelebat kalimat pesan dari Bapaknya muncul terngiang.
"Seko ngendi Sampeyan ngerti perkoro iki? lan, sopo sebenere Sampeyan?"
(Dari mana Kamu tau masalah ini? dan, siapa sebenarnya Kamu?) tanya Kolis memberanikan diri, seraya berharap bisa tau dengan siapa dirinya berhadapan.
"Durung saiki Koe kudu ngerti sopo aku! mengko, nek wes mongsone, koe yo bakal ngerti lan dasare ora suwe meneh wektune."
(Belum sekarang Kamu harus tau siapa Saya! nanti, kalau sudah saatnya, Kamu bakal tau dan waktunya pun sudah tidak lama lagi.) jawab sosok wanita itu sedikit menyengit.
"Pikiren omonganku, pilihan ono nang tanganmu saiki!"
(Pikirkan ucapanku, pilihan ada di tanganmu sekarang!) sambung wanita yang kini wajahnya memerah, menatap nyalang ke arah Kolis dan Komala.
Belum sempat sepatah ucapan keluar dari mulut Kolis, sosok yang muncul secara tiba-tiba itu membalikan tubuh.
#tumbalterakhir
Melangkah pelan tanpa menimbulkan suara, seolah tapak kakinya tak menyentuh lantai besi kapal.
Setelah sosok wanita itu menghilang tertutup sekatan ruang kapal, Kolis segera menghitung putaran waktu.
#tumbalterakhir
Meski sempat goyah, tapi dirinya tetap akan melakukan apa yang telah di wasiatkan oleh Mbah Soko, Bapaknya.
Perkiraan waktu akhirnya di rasa pas oleh Kolis. Ia pun segera mengeluarkan sebuah bungkusan kain putih berlipat-lipat, dari tas hitamnya.
#tumbalterakhir
Sebelum dirinya melaksanakan, sejenak ia menatap Komala yang belum berubah sedikitpun keadaannya. Lalu dengan pelan di sandarkannya sang Adik pada dinding besi kapal, dengan penuh rasa iba.
Kolis sangat berharap setelah ia melakukan pesan dari Bapaknya,
Komala bisa pulih dan tentunya terlepas dari ikatan keluarga Murti Rahmi. Perlahan satu persatu tangan Kolis mulai membuka lipatan kain putih yg ia bawa menepi. Deburan ombak air laut akibat membentur dinding kapal, seolah berubah raungan menggema kala lipatan terakhir terbuka.
Antara wangi minyak berpadu anyir menyusup ke hidung Kolis saat ia mendekatkan wajahnya demi melihat apa sebenarnya yang ada di bungkusan itu. Segulung rambut hitam menggumpal dan menyatu dengan darah kental,
serta tanah lembut berwarna merah yang melumuri seonggok daging kering terlihat di mata Kolis.
Setelah di rasa tepat di tengah-tengah laut keberadaannya, Kolis tanpa ragu segera membuang gulungan rambut dan menaburkan tanah beserta gumpalan seonggok daging itu.
Seketika itu juga, lengkingan menyayat dari suara lelaki tua menggema jelas di telinga Kolis.
#tumbalterakhir
"Bapak!" gumam Kolis saat mengenali suara teriakan itu.
Tak lama setelah suara melengking itu hilang, alam sekitar di rasa Kolis berputar cepat. Membuat dirinya terhuyung ke belakang, sebelum satu klebatan bayangan menggambar di pelupuk matanya.
#tumbalterakhir
Klebatan itu bagaikan rekaman yang memutar sebuah kejadian dengan jelas. Di mana, Kolis melihat Bapaknya yang tengah berteriak kesakitan akibat tersayat ribuan rambut hitam yang melilit kuat.
#tumbalterakhir
Tubuh kurusnya di penuhi darah, matanya sayu penuh genangan air bening serta kulit kepala sedikit terkelupas dengan dua telingannya yang telah tertanggal lepas.
"Brukkkk....!"
#tumbalterakhir
Hempasan yang mendorong kuat tubuh Kolis, akhirnya mengakhiri bayang-bayang kengerian yang di alami Mbah Soko. Entah itu benar terjadi atau hanya bayangan semata, tapi bagi Kolis, hal itu membuatnya sangat terpukul.
#tumbalterakhir
Ingin rasanya saat itu ia kembali ke Desa tempat Bapaknya tinggal untuk memastikan. Namun lagi-lagi ia teringat pesan-pesan Bapaknya yang tak boleh dilanggarnya.
Hanya harapan beriring Doa dalam hati yang sanggup Kolis lakukan.
#tumbalterakhir
Ia kemudian bangkit setelah menyeka keringat di wajahnya yang pucat pasi, kembali ke tempat dirinya menyandarkan Komala.
Sesampainya Kolis di tempat Komala, hal aneh kembali terlihat.
#tumbalterakhir
Bila dalam puluhan jam yang lalu Adiknya hanya terbengong, kini terlihat seolah baru tersadar dan kembali seperti Komala yang dirinya kenal.
"Kang....?"
Satu ucapan dari bibir Komala langsung meyakinkan Kolis, jika yang kini di hadapannya adalah Komala yang telah kembali.
"Awakmu wes sadar, Nduk?"(Kamu sudah sadar, Nduk?) tanya Kolis setengah girang, melupakan sejenak kejadian yang baru saja ia alami.
"Aku kenek opo, Kang? terus iki dewe saiki nandi?"(Saya kenapa, Kang? terus ini kita sekarang di mana?) balik Komala bertanya, yang terlihat bingung
"Dewe nang kapal, Nduk. Arep dolan gone Lak Latip."(Kita di Kapal, Nduk. Mau main ke tempat Paman Latip.)sahut Kolis datar.
"Lho ... la Bapak nandi, Kang? opo gak melu?"(Lah ... la Bapak mana, Kang? apa gak ikut?)
Kali ini pertanyaan Komala tak mampu langsung di jawab Kolis.
Kembali memori di kepalanya memutar gambaran kejadian Bapaknya. Membuatnya ragu untuk menjawab.
"Bapak nyusul keri. Lagek arep ngrampungke tanggungane disek.(Bapak nyusul belakangan. Lagi mau merampungkan tanggungannya dulu.) jawab Kolis berbohong.
"Aku ngerti Kang, opo tanggungane Bapak!"(Saya tau Kang, apa tanggungannya Bapak!) timpal Komala.
"Maksudmu?" sahut Kolis sembari mengrutkan kening.
"Iyo, tanggungane Bapak ki urusan masalahku karo Mas Jas!"
(Iya, tanggunanya Bapak tu urusan masalahku dengan Mas Jas!) tukas Komala sinis.
Kolis sendiri terperanjat mendengar ucapan Komala. Ia tak menyangka bila Adiknya masih teringat Jasmoro, lelaki satu-satunya dalam keluarga dan juga calon pewaris tunggal TRAH MURTI RAHMI.
BAGIAN 2 SELESAI.

KITA LANJUT KE BAGIAN 3 MINGGU DEPAN. Atau temen-temen bisa BACA DULUAN di @karyakarsa_id

Linknya disini
karyakarsa.com/KALONG/warisan…
@qwertyping @mwv_mystic @diosetta @RestuPa71830152 @Wakhidnurrokhim Image
Bagian ketiga ini lanjutan dari bagian kedua, yang berisi 40ribu kata lebih, atau setara dengan 50++ halaman.

-Synopsis-

Akhirnya Kolis berhasil membawa Komala dengan selamat ke tempat Paman Latip atau adik dari Mbah Soko, orang tua Kolis dan Komala.
Di sana, Paman Latip membantu masalah yang sedang Kolis dan Komala hadapi. Namun bahaya akan Murti Rahmi terus saja meneror mereka.

Hingga sosok yang menyerupai Komala pun berusaha agar Kolis terpengaruh oleh omongannya, mengajak kembali ke kampung halamannya.
Tapi apakah sosok penyerupa Komala berhasil mengajak Kolis? Apakah akan berjalan sesuai rencana? Atau malah mendatangkan petaka yang lebih parah?

Ikuti kisahnya di bagian 3 ini.

Dukung dan ikuti akun KALONG. Agar tidak ketinggalan cerita selanjutnya.

karyakarsa.com/KALONG/warisan…
BAGIAN 3

WARISAN TUMBAL TERAKHIR

#bacahorror @bacahorror #bacahoror Image
Lebih dari delapan jam setelah menyebrangi lautan, Kolis dan Komala akhirnya sampai di sebuah pertigaan. Keduanya pun turun dari Bus dan segera mencari jasa ojek, untuk bisa sampai di Kampung tempat tinggal Paman mereka, Latip.
#tumbalterakhir
Selama perjalanan, meski sudah tersadar namun Komala masih banyak diam. Entah karena jiwanya yang lelah, atau karena tak ingin dirinya di titipkan ke tempat nun jauh, masuk ke dalam hutan lindung berakhir di pesisir pantai.
#tumbalterakhir
Hari itu, saat terik paparan sang surya mulai meredup, tibalah keduanya di sebuah Kampung dengan kondisi tanah tak rata, dan terlihat sepi. Rumah-rumah panggung dengan dinding papan beratapkan anyaman rumbia, menjadi ciri khas kediaman penduduk kampung itu.
#tumbalterakhir
Kolis yang sudah beberapa kali bertandang ke tempat itu, tak susah baginya untuk langsung menuju rumah Latip. Setelah membayar jasa dua sepeda motor, Kolis segera berjalan melewati jalan kecil sejauh lima puluhan meter,
#tumbalterakhir
menuju sebuah rumah tampak paling besar di antara deretan rumah lainnya.
Meski terlihat enggan, tapi Komala mau tak mau mengikuti Kakaknya dari belakang dengan gontai.
Sampai tiga kali ketukan dan ucap salam, akhirnya Kolis mendengar jawaban dan derap langkah dari dalam.
Kelegaan terpancar jelas, ketika seraut wajah berkulit sawo matang muncul setelah daun pintu papan terbuka.
"Lho, Kolis, Nduk Kom! ayo mlebu."
#tumbalterakhir
(Lho, Kolis, Nduk Kom! ayo masuk.) ajak lelaki lima puluhan tahun tak kalah girang, saat tau tamu sore itu adalah dua keponakannya dari tanah sebrang.
"Iyo, Lek." jawab Kolis seraya melangkah masuk di iringi Komala dari belakang.
#tumbalterakhir
Bertanya kabar dan basa-basi sebentar, menjadi obrolan awal Kolis dan lelaki bertubuh tinggi namun sedikit kurus yang tak lain adalah Latip, adik kandung dari Mbah Soko.
Sedang Komala, lebih banyak menjadi pendengar dan hanya sesekali berucap saat di sapa.
#tumbalterakhir
Obrolan mereka sejenak terhenti manakala suara Azdan Maghrib berkumandang dari arah tempat, layak di sebut Mushola. Pasalnya, di samping kecil juga tak terdapat fasilitas untuk penunjang ibadah lainnya.
#tumbalterakhir
Butuh waktu beberapa menit dari kediaman Latip ke Mushola. Walau hampir tak pernah, kini Kolis mengikuti sang Paman menunaikan kewajibab sebagai seorang Muslim.
Tak heran jika Uyut Latip orang-orang Kampung memanggil, cukup di segani.
#tumbalterakhir
Di samping menjadi tokoh Agama, beliau juga di tuakan dari sisi kebatinan.
Selepas berjama'ah, Uyut Latip dan Kolis kembali kerumah. Kebiasaan Uyut Latip sendiri yang senang berlama-lama di Mushola, berzdikir sembari menanti waktu Isya, harus ia tunda demi sang keponakan.
Sepi dan hening suasana Kampung yang dihuni tak sampai seratus penduduk itu, ketika malam menjelang. Mungkin karena penerangan yang belum terpenuhi, juga masyarakat yang kesehariannya sebagai Nelayan, memilih beristirahat setelah beraktifitas melelahkan di tengah laut.
Belum banyak yang di ceritakan Kolis pada Uyut Latip, hanya obrolan ringan saat keduanya berjalan pulang.
Sesekali tawa kecil tersungging dari bibir Kolis maupun Uyut Latip ketika saling melempar candaan atau pujian. #tumbalterakhir
Membuat Kolis sendiri merasa ringan dan sejenak melupakan beban berat yg tengah di pikulnya.
Namun, ketika langkah keduanya baru memasuki halaman berpasir, tiba-tiba Uyut Latip menghentikan ayunan kakinya di susul perubahan pada wajahnya.
"Ono molo seng tok gowo!"
#tumbalterakhir
(Ada hal buruk yang Kamu bawa!) bisik Uyut Latip lirih.
Meski mata Kolis tak menangkap apapun, tapi ucapan Uyut Latip spontan membuatnya merinding. Ia tau jika sang Paman selalu jujur dan juga memiliki kemampuan olah batin yang tajam.
#tumbalterakhir
"Maksudte molo nopo, Lek?" tanya Kolis penasaran.
"Awakmu pingin weroh? sedelok."(Kamu ingin tau? sebentar) ujar Uyut Latip.
Mendengar penawaran dari Pamannya, Kolis sebenarnya ingin menolak.
#tumbalterakhir
Namun saat akan berucap, ia urungkan kala melihat pamannya sedang memejamkan mata sembari membaca sesuatu.
Semenit kemudian, Uyut Latip membuka matanya. Kemudian membungkukan badan dan menarik kakinya sebelah kanan mundur.
#tumbalterakhir
Segenggam pasir ia ambil tepat dari bawah bekas pijakan kaki kanannya pertama. Tak lama, pasir dari tangannya ia lempar ke arah halaman rumahnya sendiri yang berjarak lima meteran dari tempatnya berdiri.
#tumbalterakhir
"Ctarrr ... Ctarrr.... Kratakkk."
Terkejut Kolis menyaksikan pemandangan di depannya. Di mana, hannya segenggam pasir putih yang di lempar oleh Pamannya, mampu memercikan api dan menimbulkan suara dentuman seperti petasan.
#tumbalterakhir
Lebih terkejut lagi saat Kolis melihat redanya percikan api, berganti munculnya puluhan sosok berkain putih lusuh, dan berambut rata sepunggung menggumpal acak-acakkan. Tak hanya itu, Kolis yang mulai berkeringat, langsung mundur bersembunyi di belakang tubuh Pamannya,
manakala sosok-sosok itu menunjukan wajah mereka yang mengelupas di penuhi lendir.
Berbeda dengan Uyut Latip. Ia nampak tenang menatapi puluhan sosok itu tanpa ada rasa takut sedikitpun.
#tumbalterakhir
"Demit opo, gek seko ngendi iku, Lek?"(Setan apa, dan dari mana itu, Paman?) bisik Kolis ketakutan.
"Lho, iki ki podo ngetutke awakmu seko kono. Opo ora kroso selama nang dalan awakmu ki?(Lho, ini ni mengikuti Kamu dari sana. Apa tidak terasa selama di jalan, kamu itu?)
jawab Uyut Latip masih terlihat tenang.

Sedikit terkesiap Kolis mendengar jawaban Pamannya. Sebentar ia memutar memori yang tersimpan di otaknya, tapi tetap tak terekam tentang kemunculan sosok-sosok berwajah penuh lendir itu.
Dirinya tak menampik jika mengalami kejadian aneh dan ngeri, tapi bukan tentang sosok menyeramkan yang kini ada di hadapannya.
"Tapi seng tak alami waktu nang kapal dudu iki, Lek."(Tapi yang saya alami waktu di kapal bukan ini, Paman.) jawab Kolis akhirnya.
#tumbalterakhir
"Iyo, seng nemoni awakmu dudu iki, neng junjungane. Iki ngunu mung kongkonan kanggo golek i jejakmu karo Nduk Kom. wes ngerti to, masalahe?"
#tumbalterakhir
(Iya, yang menemui Kamu bukan ini, tapi junjungannya. Ini itu hanya suruhan buat mencari jejak tinggalmu dan Nduk Kom. Sudah tau kan, masalahnya?) terang Uyut Latip.
Mendengar penjelasan sekali gus pertanyaan tentang muasal permasalahannya, Kolis terdiam sejenak, lalu mengangguk.
Membuat Uyut Latip yang melihatnya menyunggingkan senyum tipis.
"Yo wes, ayo mlebu."(Ya sudah, ayo masuk.) ajak Uyut Latip sebelum melangkah seakan tak ada masalah.
Sedikit ragu Kolis untuk melangkahkan kakinya mengikuti Uyut Latip.
#tumbalterakhir
Melihat puluhan sosok bermata putih rata tanpa telinga masih berdiri tegak di halaman.
Kolis memberanikan diri, setelah Uyut Latip menunggunya sambil mengulurkan tangan kiri dan menganggukan kepala.
Erat pegangan Kolis pada pergelangan tangan Uyut Latip.
#tumbalterakhir
Ia tak memperdulikan lagi bau anyir dan amis menyengat, berasal dari lendir merah kehitaman, di wajah mengelupas puluhan sosok itu.
Bau itu semakin lama semakin menyengat, sama dengan halnya Kolis yang juga semakin dekat dengan keberadaan mereka.
#tumbalterakhir
Namun tak terjadi apa-apa, tak bereaksi sedikitpun, ketika dirinya yg berjalan di belakang Uyut Latip melewati.
Terheran saat itu Kolis dengan apa yang baru sj ia alami. Ketakutannya akan terjadi sesuatu pasca kemunculan sosok-sosok itu, ternyata tak sama sekali.
#tumbalterakhir
"Iku ngono mek njogo, ora ngopo-ngopo. Misal arep ganggu, yo junjungane. Tapi mugo-mugo ora ngasi moro."(Itu semua cuma menjaga, tidak mau berbuat apa-apa. Andai mau menganggu, ya junjungannya. Tapi semoga tidak sampai datang.)
ucap Uyut Latip menerangkan setelah keduanya berada di dalam rumah.
"Cobo celuk en Nduk Kom, kon rene. Lelek arep ngomong."(Coba panggilkan Nduk Kom, suruh ke sini. Paman mau bicara.) sambung Uyut Latip memberi perintah.
#tumbalterakhir
Tak menunggu dua kali, Kolis segera bergegas menuju kamar yang telah di sediakan dan biasa ia tempati saat datang bertandang. Di bawah cahaya redup lampu teplok, Kolis melihat Komala tengah duduk meringkuk memeluk lututnya sendiri.
#tumbalterakhir
Terdengar isak sesenggukan lirih ketika Kolis mendekat. Ia menduga bila Komala menangis karena terpaksa ikut dirinya di tempat sunyi nan jauh dari tempat tinggalnya, terpisah dengan Bapaknya yang sedari kecil selalu menemaninya.
#tumbalterakhir
"Nduk, kon metu, Lek Latip arep ngomong."(Nduk suruh keluar, Paman Latip mau bicara.) pelan suara Kolis menyampaikan pesan Uyut Latip. Tetapi tak mendapat respon sedikitpun dari Komala. Ia masih tertunduk dan hanya sesenggukannya saja yang tak terdengar lagi.
#tumbalterakhir
Sebentar Kolis menghela nafas. Mencoba bersabar dalam menghadapi Adiknya. Ia pun segera mendekat, menghempaskan pelan pantatnya di sisi kiri tempat Komala meringkuk.
Di ulangnya lagi pesan dari Uyut Latip dengan kalimat yang sama,
bahkan di teruskan dengan kalimat-kalimat nasehat serta dukungan, namun tetap saja Komala diam membisu. Sampai akhirnya Kolis menyerah, ia beranjak, melangkah keluar dengan perasaan sedikit jengkel dan bingung.
#tumbalterakhir
"Yo wes nek ora gelem. Penting ojo ngasi Nduk Kom metu seko omah iki wet mulai surup."(Ya sudah kalau gak mau. Terpenting jangan sampai Nduk Kom keluar dari rumah ini dari mulai surup(petang) ucap Uyut Latip setelah mendapat penjelasan dari Kolis tentang diamnya Komala.
"Nek aku gak opo-opo Lek, misal seng metu?"(Kalau Saya tidak apa-apa paman, andai yang keluar?) tanya Kolis penasaran dengan larangan yang di sampaikan pamannya.
"Nek kendel rapopo. Seng di jogo, seng di awasi iku dudu awakmu, tapi Komala.
#tumbalterakhir
Mergo Nduk Kom wes gowo cikale Bocah Tali Kandut seng di gadang bakal dadi junjungane poro abdi alus, termasuk seng do nang ngarep omah mau."
(Kalau berani gak apa-apa. Yang di jaga, yang di awasi itu bukan Kamu, tapi Komala. Karena Nduk Kom sudah membawa calon Bocah Tali Sambung pati yang akan di nobatkan menjadi tuan, junjungan para abdi lelembut, termasuk yang ada di depan rumah tadi.) terang Uyut Latip.
"Maksudte, Lek?"(Maksudnya, Paman?)
"Hemmhhh...."
Sejenak Uyut Latip terdiam setelah satu hempasan nafas melonggarkan rongga dadanya. Matanya kemudian menatap ke arah pintu sebentar, sebelum kembali menatap Kolis.
#tumbalterakhir
"Jal, opo wae seng di pesen Bapakmu, karo opo wae seng tok werohi wektu perjalanan rene."(Coba, apa saja yang di pesankan Bapakmu, sama apa saja yang Kamu lihat waktu perjalanan ke sini.) tanya Uyut Latip dengan raut serius.
#tumbalterakhir
Kata demi kata mulai Kolis rangkai sesuai dan sama persis dengan apa yang di ingatnya akan semua pesan dari Mbah Soko. Begitu juga dengan semua yang terjadi, yang ia lihat dan temui sewaktu dalam perjalanan tak ada yang terlewatkan. Membuat Uyut Latip sesekali termangu,
manggut-manggut, hingga tegang seperti terkejut.
Suasana sesaat terasa hening dan sunyi, setelah Kolis merampungkan ceritanya, keduanya sama-sama terdiam terhanyut pikiran masing-masing.
Selang beberapa puluh detik,
akhirnya lagi-lagi sebuah tarikan nafas panjang terdengar dari diri Uyut Latip.
"Bapakmu kenekaten, Bapakmu bener-bener wong seng Amanah, ora salah biyen Mbahmu nunjuk Bapakmu dadi cagak e keluarga. Mung, sayange Bapakmu gak iso petung, dadine yo ngene akhire."
(Bapakmu terlalu nekat, Bapakmu benar-benar orang yang bisa di percaya, tidak salah dulu kakekmu menunjuk Bapakmu jadi pilar utama keluarga. Tapi, sayangnya Bapakmu tidak bisa menimbang, jadinya ya seperti ini.) ucap Uyut Latip dengan nada sendu.
#tumbalterakhir
"Saiki awakmu lah, Lis. Seng dadi gantine Bapakmu. Ojo mbok siak-siakne pengorbanane. Aku mung iso mbantu dungo karo omongan, mergo kahanan iki, seng iso ngrampungke yo mek Nduk Komala dewe."
#tumbalterakhir
(Sekarang Kamulah, Lis. Yang jadi gantinya Bapakmu. Jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Aku cuma bisa bantu Doa sama saran, karena keadaan ini, yang bisa menyelesaikan ya cuma Nduk Komala sendiri.) sambung Uyut Latip.
#tumbalterakhir
"Maksudte ki piye, Lek? Bapak ora keno opo-opo to Lek?"(Maksudnya ini gimana, Paman? Bapak tidak kenapa-napa kan Paman?) tanya Kolis yang di landa gelisah, mendengar penuturan Uyut Latip.
#tumbalterakhir
"Mugo-mugo ae rabaanku keliru, Lis. Tapi nek mungguhe wong Kejawen, opo seng di pesenke awakmu, terus tok lakoni sesuai karepe, artine seng tok delok nang angen-angenmu perkoro Bapakmu, yo kuwilah kedadeane.
Mungkin saiki Bapakmu wes muleh nang panggonan apik, kumpul karo Mbah-Mbahmu."(Moga-moga saja tebakanku salah, Lis. Tapi kalau kepercayaan penganut Kejawen, apa yang di amanatkan padamu, terus kamu lakukan sesuai keinginannya,
artinya yang kamu lihat dalam bayangan tentang masalah Bapakmu, ya itulah yang terjadi. Mungkin sekarang Bapakmu sudah pulang di tempat bagus, berkumpul dengan kakek-kakekmu.)
Panas tercabik rasanya dada Kolis mendengar penjelasan Uyut Latip.
#tumbalterakhir
Darahnya mendidih manakala bayangan mengerikan keadaan Bapaknya kembali melintang utuh di pelupuk matanya. Ia ingin menangis, menjerit, namun tertahan oleh amarah.
#tumbalterakhir
"Iki ijek rabaan, Lis. Durung pesti dadi bareng-bareng di dongkne ae Bapakmu selamet."(Ini baru rabaan, Lis. Belum pasti, jadi bersama-sama kita doakan saja Bapakmu selamat.) ucap Uyut Latip, mencoba membesarkan hati dan harapan.
#tumbalterakhir
Kolis sendiri masih terdiam menunduk, terlarut dalam kegelisahan dan kesedihan membayangkan jika hal itu benar terjadi menimpa Bapaknya. Jelas sekali baginya semua itu ulah dari keluarga Murti Rahmi.
#tumbalterakhir
Baru saja Kolis mengangkat wajah dan ingin membuka mulut untuk berucap, tiba-tiba di tahan oleh Uyut Latip menggunakan isyarat jari telunjuk.
Dada Kolis seketika berdebar, denyut jantungnya mengencang,
manakala mengikuti isyarat dari Pamannya, telinganya mendengar suara layaknya seseorang berjalan dengan menyeret sesuatu.
#tumbalterakhir
Cukup lama suara itu terdengar dan seperti tengah mengitari rumah panggung Uyut Latip, yang sudah di tempati puluhan tahun. Walau pun Uyut Latip tak menikah, namun beliau tergolong orang yang rajin sehingga area sekitaran dan dalam rumah selalu bersih.
#tumbalterakhir
Lama semakin lama suara seretan gemresek semakin jelas dan seperti semakin ramai. Membuat Uyut Latip mau tak mau beranjak dari duduknya lantas bergegas menuju pintu depan. Sesampainya ia berhenti sejenak,
seperti tengah memastikan sebelum tangannya mendorong daun pintu yang tak terkunci.
"Astaghfirullah. Demit opo iki seng teko!"(Astaghfirullah. Iblis apa ini yang datang!) seru Uyut Latip beristighfar, terkejut melihat sumber suara gemresek,
yang ternyata dari gulungan rambut hitam panjang tak berujung, dan tak terlihat wujud pemiliknya.
"Enek opo, Lek?"(Ada apa, Paman?) tanya Kolis.
"Kono, awakmu jogonen Nduk Kom! ojo sampek metu-metu soko Kamare!"
#tumbalterakhir
(Sana, Kamu jaga Nduk Kom! jangan sampai keluar-keluar dari kamarnya!) seru Uyut Latip memberi perintah.
Walaupun masih di rundung penasaran, Kolis tetap menuruti perintah Pamannya. Ia bergegas menuju kamar yg terletak di sisi kiri berbatasan dengan ruang makan. #tumbalterakhir
Getaran langkah kaki cepat yang menapak di lantai papan, membuat riuh ramai suasana rumah Uyut Latip. Bukan saja dari derap langkah Kolis, tapi juga dari dalam kamar, kamar di mana Komala berada.
Hal itu membuat Kolis yang baru saja sampai di ambang pintu berhenti sejenak.
Menajamkan pendengarannya yang menangkap samar suara orang bernyanyi lirih. Merinding tubuh Kolis saat benar-benar yakin jika suara lirih itu berasal dari dalam kamar di depannya. Sebab yakin, bila itu bukan suara Komala Adiknya.
#tumbalterakhir
Satu dua detik Kolis masih terpaku mematung di depan pintu. Namun ketika suara lirih bebarengan suara derap langkah kaki di lantai papan kembali ramai, ia pun berniat membuka pintu.
Sayang, walau dengan sekuat tenaga Kolis tak dapat membuka pintu papan itu. #tumbalterakhir
Sementara nyanyian dan derap kaki semakin jelas, membuat rasa takut dan penasaranya berimbang menguasai.
Ketakutannya yang tinggi akan keselamatan Adiknya, akhirnya menuntun Kolis untuk mendekatkan wajahnya pada celah papan yang tak rapat.
Ingin memastikan sebentar keadaan di dalam kamar, sebelum ia berencana membuka paksa.
Wajah Kolis dalam sekejap langsung memucat, ketika mata kirinya yang mengintip dari sela papan, melihat jelas Komala tengah menari dalam redupnya cahaya kamar bersama sesosok wanita.
Semakin jelas gurat ketakutan di wajah Kolis, ketika ingatannya kembali melambung, mencoba mengenali sosok wanita yang tengah bersama Komala, yang tak lain adalah sosok wanita bergelung dengan bau tubuh khas Kapur Barus sewaktu di dalam Kapal....
#tumbalterakhir
sholat maghrib dulu 🙏🏻
lanjut habis maghriban
"Ngalih o, Lis!"(Menyingkir, Lis!)
Tersentak Kolis mendengar seruan dari Uyut Latip. Segera dirinya mundur dan mendekat ke arah Uyut Latip yang sudah kembali duduk di tikar berlapis kain ambal.
#tumbalterakhir
"Lek, Nduk Kom karo wong wedok seng nemomi aku nang kapal!"(Paman, Nduk Kom sama wanita yang menemui Saya di Kapal!) ucap Kolis setelah mengatur gemuruh dadanya.
"Iyo, aku wes ngerti."(Iya, Saya sudah tau.) jawab Uyut Latip, tenang.
#tumbalterakhir
"Terus piye, Lek?"(Terus gimana, Paman?) tanya Kolis masih begitu cemas.
Uyut Latip terdiam, sebentar menatap Kolis yang tampak pucat, sebelum mengalihkan tatapannya lurus ke depan seperti tengah menerawang.
#tumbalterakhir
"Iki ngunu dudu wewenangku sebenere. Tapi awakmu tak kei weroh asline ki kepiye. Nduk Kom iku saiki wes kegandulan calon bocah seng bakal di dadekne penerus leluhure mbisok. Mulo nandi wae bakal di tutke poro abdi-abdine Junjungane Rahmi."
#tumbalterakhir
(Ini bukan wewenangku sebenarnya. Tapi Kamu Saya beri tau aslinya bagaimana. Nduk Kom itu sudah hamil calon anak yang akan di jadikan penerus leluhurnya kelak. Karena itu, di mana saja akan selalu di ikuti abdi-abdinya junjungan sesembahan Rahmi.)
#tumbalterakhir
"Awakmu yo kudu ngerti, Lis. Ngopo kok Nduk Kom seng di pilih? mergo gawe tukar anakke Rosyid seng arep di dadekne tumbal nang Ratri, tapi di gagalke Mbahmu. Mulo Nduk Kom iku wes ketenger awet cilik.
Mulo Bapakmu milih ninggalno bondo dunyone Mbahmu seng oleh seko ngabdi nang keluargane Murti Rahmi."(Kamu juga harus tau, Lis. Kenapa Nduk Kom yang di pilih? Karena buat ganti Anak dari Rosyid yang akan di jadikan tumbal oleh Ratri, tapi di gagalkan Kakekmu.
Karena itu Nduk Kom sudah di tandai dari kecil. Karena itu juga, Bapakmu memilih meninggalkan harta dunia melimpah peninggalan Kakekmu yang di dapat dari mengabdi pada keluarga Murti Rahmi.) ucap Uyut Latip menjelaskan.
#tumbalterakhir
"Artine Nduk Kom tetep bakal dadi mantune Ratri, Lek? tetep gak iso di selametke?"(Artinya Nduk Kom tetap akan menjadi menantunya Ratri, Paman? Tetap tidak bisa di selamatkan?) sahut Kolis dengan gelisah.
#tumbalterakhir
"Abot, Lis. Misal iso kudu golek gantine. Nek ora kudu pilih salah sijine, Nyowone Nduk Kom, opo Nyowo bayi titipan iku."(Berat, Lis. Andai bisa harus cari gantinya. Kalau tidak harus memilih salah satunya, Nyawa Nduk Kom, atau Nyawa Bayi titipan itu.)
#tumbalterakhir
"Pateni ae Bayine, Lek!"(Bunuh saja Bayinya, Lek!) timpal Kolis geram.
Uyut Latip hanya tersenyum mendengar amarah Kolis. Ia tau jika bagi Kolis nyawa Komala jelas lebih berharga di banding nyawa bayi yang ada dalam rahim Adiknya itu.
#tumbalterakhir
"Ora gampang. Nek misal iku kudu ngunu, seng iso gor Nduk Kom dewe. Mergo puncak e perjanjian Rahmi karo Iblis Alas Geong, nang turun telu seng bakal di upacarakne mengko pas Tanggal Telulas sasi pitu."
(Tidak mudah. Andai harus seperti itu, yang bisa hanya Nduk Kom sendiri. Karena puncaknya perjanjian Rahmi dengan Iblis Hutan Geong, di keturunan ketiga yang akan di ritualkan nanti tepat Tanggal Tiga Belas Bulan ke Tujuh.)
#tumbalterakhir
"Lan pas acara jejer pandan, ikulah wektune kanggo nggagalne sekalian medot. Iki seng tak omongke wujud pengorbanane Bapakmu. Nduk Kom seng iso medot selawase persekutuane Rahmi karo Junjungane, mergo Bapakmu wes nukar pancer Nduk Kom seng tok guwak nang segoro."
(Dan tepat saat acara jejer Pandan(nikah batin), itulah waktunya untuk menggagalkan sekalian memutus. Ini yang Paman katakan bentuk pengorbanan Bapakmu. Nduk Kom yang bisa memutus selamanya perjanjian Rahmi dan Junjungannya,
karena Bapakmu sudah menukar Pancer Nduk Kom yang kamu buang di tengah Laut.) jelas dan sangat terang ucapan Uyut Latip pada Kolis.
"Tapi...."
"Brakkkk....!"
Belum sempat Uyut Latip meneruskan kalimatnya, ia di kejutkan suara keras pintu kamar Komala yang di buka.
Serentak Kolis dan Uyut Latip mengarahkan pandangan ke arah kamar. Menatap heran juga terkejut akan sosok Komala yang berdiri tegak dengan mata melotot tajam kepada ke duanya.
Namun sepersekian detik antara Komala dan Kolis serta Uyut Latip sama-sama terdiam.
#tumbalterakhir
Tak ada ucapan atau kalimat apapun seolah mulut mereka terkunci.
Suasana canggung itu akhirnya terpecahkan oleh langkah Kolis yang memberanikan diri bangkit dan melangkah medekati Komala. Walau dalam hatinya merasa was-was,
namun melihat sang Adik yang berbeda serta perasaan tak enak terhadap Uyut Latip, Kolis pun ingin menegur.
Akan tetapi, sesampainya di depan Komala, Kolis terjingkat dan kembali harus beringsut mundur.
#tumbalterakhir
"Koe melu tak jogo mergo mbisok tak butuhke. Nek ora tak butuhke, wes tak cucup selembar nyowomu kui."(Kamu ikut di jaga karena kelak saya butuhkan. Kalau tak saya butuhkan, sudah saya habisi selembar nyawamu itu) tegas dan bernada sinis suara Komala kepada Kolis.
"Latip! Ojo ngasi aku kudu nglanggar janjiku biyen nang ibumu. Iki peringatan go Koe!"(Latip! Jangan sampai Saya harus melanggar janjiku dulu pada Ibumu. Ini peringatan untukmu!)
Tak hanya Kolis, Uyut Latip yang masih duduk pun tergelak hebat mendengar ucapan tegas Komala.
Namun, setelah beberapa detik Uyut Latip mengamati dalam-dalam, dirinya mengangguk pelan, yakin jika yang ada di depannya, yang baru saja bersuara keras dan tegas bukanlah Komala.
Apalagi kalimat yang terlontar, yang mana menyentuh perihal orang tuanya,
semakin menegaskan bila di balik wujud sosok Komala, bersemayam sosok yang selama ini paling dirinya hindari.
Sedangkan Kolis, keberaniannya yang sudah rontok oleh sikap Komala, berdiri menyandar pada dinding papan dengan wajah pucat penuh ketakutan.
#tumbalterakhir
"Nyi Rahmi! aku ora bakal arep melu urusanmu, mung bocah iki kadung tekan kene, yo kudu tak lindungi. Perkoromu karo wong tuoku biyen, wes dudu urusanku."(Nyai Rahmi! Saya tidak akan ikut campur urusanmu, tapi anak ini terlanjur sampai di sini, maka harus Saya lindungi.
Masalahmu dengan orang tuaku dulu, sudah bukan lagi urusanku.)
Pelan namun tegas dan penuh makna ucapan Uyut Latip pada sosok Komala yang di yakininya dalam penguasaan Nyai Rahmi, sosok wanita pembuka persekutuan dengan Iblis Hutan Geong.
#tumbalterakhir
"Lancang Koe! saiki aku ngalah, tak kei kesempatan kanggo nyowomu. Neng, iling-ilingen! wani nyenggol cikal seng ono garbone bocah iki, ra bakal selamet mboh nandi paranmu!"(Lancang Kamu! sekarang Aku mengalah, Saya beri kesempatan untuk nyawamu.
Tapi, ingatlah! berani menyentuh calon yang ada di rahim anak ini, tidak akan selamat entah di manapun keberadaanmu.) Sahut sosok Komala yang tengah dalam kekuasaan Nyai Rahmi.
Setelah mengucapkan kalimat bernada ancaman, Komala membalikan tubuhnya masuk ke dalam kamar.
Menyisakan wangi pandan berpadu kasturi putih, menyebar seantero dalam rumah Uyut Latip.
Hening suasana setelah Komala tak lagi terlihat. Membuat sedikit lega jiwa Kolis. Segera ia melangkah mendekati Uyut Latip. Wajahnya yang masih terlihat pucat, di usapnya beberapa kali,
berusaha menghilangkan ketegangan yang menyirat jelas.
"Wiwit wengi iki ati-ati dewe, Lis."(Mulai malam ini hati-hati kita, Lis.) pesan Uyut Latip dengan wajah datar tanpa expresi.
#tumbalterakhir
"Kudu piye saiki, Lek? aku wes mumet mikirne urusan iki. Anak Bojoku mesti wes khawatir mergo aku ora muleh-muleh."(Harus gimana sekarang, Paman? Saya sudah pusing memikirkan urusan ini. Anak Istriku pasti sudah menunggu dan khawatir Saya tidak pulang-pulang.)
timpal Kolis dengan gusar.

"Nek arep muleh, awakmu. Mengko telung dino neh, ngenteni Aku."(Kalau mau pulang, Kamu. Nanti tiga hari lagi, nunggu Aku.) ujar Uyut Latip menimpali keluhan Kolis.
#tumbalterakhir
"Maksute nunggu Lelek, piye?"(Maksudnya nunggu Paman, gimana?) tanya Kolis yang heran dengan ucapan Uyut Latip.
"Awakmu sisok tak tinggal telung dino. Ora kudu ngerti Lelek nandi, penting jogo Adikmu ojo ngasi metu nek wes peteng.
Awakmu yo ati-ati. Masalah mangan mengko Mbah Sanir seng ngirim."(Kamu besok Lelek tinggak tiga hari. Tidak perlu tau Lelek di mana, penting kamu jaga Adikmu jangan sampai keluar kalau hari sudah gelap. Kamu juga harus hati-hati.
Masalah makan nanti Mbah Sanir yang mengantar.) terang Uyut Latip sembari bangkit dari duduknya dan melangkah ke dalam berniat menunaikan Sholat Isya, yang sudah tertunda beberapa waktu karena kejadian-kejadian yang baru saja ia alami.
Ingin rasanya Kolis berucap menolak.
Namun belum sempat mengungkapkan keberatannya, sang Paman telah berlalu.
Membayangkan dirinya yang akan sendiri tanpa Uyut Latip, langsung membuat wajah Kolis mempias. Meskipun hanya tiga hari, tapi baginya, itu sangat terlalu lama dan berat.
#tumbalterakhir
Malam itu, malam pertama Kolis menginab di rumah Pamannya dalam suasana berbeda, berteman rasa was-was dan ketakutan.
Kolis akhirnya mampu memejamkan mata sekira waktu telah memasuki tengah malam. Di samping hawa yang mulai dingin,
juga karena rasa lelah setelah lebih satu hari semalam terkungkung di dalam Bus.
Belum puas merasakan lelapnya belaian mimpi, Kolis sudah harus terjaga oleh panggilan pelan Uyut Latip. Terkantuk-kantuk dirinya mendengarkan pesan sang Paman yang rupanya telah bersiap untuk pergi.
Dengan rasa tak menentu, Kolis pun mengiyakan ucapan Uyut Latip dan melepas kepergiannya.
Hari semakin terang saat semburat kemerah-merahan menyembul dari sisi timur laut. Merubah suasana sunyi Kampung, menjadi ramai oleh aktifitas penduduk dengan ragam keseharian masing-masing.
Hal itu sedikit menghibur Kolis, apalagi ketika beberapa warga yang sudah di kenalnya, mengajaknya sebentar bercengkrama dalam gurauan yang mengakrabkan.
#tumbalterakhir
Kolis baru merasakan kembali suasana tak mengenakkan setelah kedatangan Mbah Sanir, wanita umur 50an lebih, yang bakal selama tiga hari mengantar makanan.
Bukan hal Mbah Sanir atau makanannya membuat Kolis tak nyaman, melainkan sikap Adiknya yang seperti tak lagi mengenalinya.
Beberapa kali sapaan Kolis di balas dengan sikap dingin dan tatapan sinis. Tak Berbicara sepatah kata pun, juga tak menyentuh barang sedikit makanan yang terhidang.
Kejadian itu berlanjut sampai waktu menjelang senja dan setelah kedatangan Mbah Sanir kedua kalinya.
Hal yang sama Kolis lakukan ketika Mbah Sanir pulang dan berniat menawarkan hidangan yang ia susun sendiri di meja persegi tak seberapa lebar.
Satu dua hingga puluhan kali ketukan serta panggilan Kolis tak bersahut. #tumbalterakhir
Membuat benaknya bertanya-tanya dan menimbulkan kegelisahan. Mengingat, waktu yang sudah menjelang Surup serta pesan-pesan dari Paman Latip.
"Nduk ... Nduk...."
Lagi dan terus Kolis berusaha memanggil Komala.
#tumbalterakhir
Tapi tetap saja tak ada sahutan, padahal Kolis yakin jika Adiknya sedari bertemu waktu pagi belum keluar dari kamar.
Rasa panik akhirnya menuntun Kolis untuk mengintip dari cela-cela daun pintu yang merenggang. #tumbalterakhir
Walau tak besar, tapi cukup untuk matanya melihat ke dalam seperti yang dirinya lakukan semalam.
Kosong, tak ada siapapun di dalam kamar. Hanya tumpukan bantal dan selimut di atas ranjang yang tertangkap matanya. Membuatnya semakin di rundung kekhawatiran.
#tumbalterakhir
Tak ingin terjadi apa-apa, Kolis segera bergegas mencari Komala. Di susurinya tiap ruangan dalam rumah sampai sekeliling bagian luar, tetap saja nihil, Kolis tak menemukan sosok Adiknya.
Dalam keputus asaan, Kolis kembali masuk melalui pintu belakang.
#tumbalterakhir
Langkah gontainya bersuara pelan ketika menapaki lima tangga naik menuju pintu kayu yang masih terbuka.
Dirinya sudah lelah, jiwanya sudah pasrah, membayangkan apa yang akan terjadi atas di langgarnya pesan dari Pamannya.
#tumbalterakhir
Namun, keputusasaan dan kepanikan Kolis segera berubah keterkejutan bercampur girang. Kala ia baru saja masuk melihat sosok Komala telah duduk di depan meja makan seperti baru saja selesai bersantap.
#tumbalterakhir
"Nduk, awakmu seko ndi?"(Nduk, Kamu dari mana?)tanya Kolis pelan, seperti berusaha menutupi rasa senangnya.
"Aku ket mau nang kamar, Kang. Gak nandi-nandi."(Aku dari tadi di kamar, Kak. Tidak kemana-mana.) jawab Komala acuh.
#tumbalterakhir
Tertegun Kolis mendengar ucapan Komala. Ia kemudian mengingat-ingat lagi saat ia mengintip kamar Komala yang dengan jelas kosong. Namun ia mencoba menerima jawaban Adiknya. Ia tak ingin suasana seperti pagi tadi terulang, hanya duduk dengan saling diam.
#tumbalterakhir
"Bapak wes mati, opo awakmu wes ngerti, Kang?"(Bapak sudah meninggal, apa Kamu sudah tau, Kang?) ucap Komala tiba-tiba.
Tentu saja ucapan itu langsung membuat Kolis terperanjat. Tangannya yang hendak meraih sendok nasi, urung. #tumbalterakhir
Dadanya bergemuruh, urat-uratnya menegang, menahan amarah.
"Ngomong opo, Koe!"(Bicara apa, Kamu!) tanya Kolis dengan suara keras.
"Bapak memang wes mati. Ngorbanke awak e dewe kanggo perkoro seng gak ono gunane. Nek gak percoyo jajalo tilek i kono, seng tok temoni lak kuburane."
(Bapak memang sudah meninggal. Mengorbankan dirinya sendiri demi perkara yang tidak ada gunanya. Kalau tidak percaya coba lihat saja sana, yang akan Kamu temui cuma kuburannya.) sahut Komala dengan wajah tenang, semakin membakar amarah Kolis.
"Ngerti seko ngendi, Koe!?"(Tau dari mana, Kamu!?) tanya Kolis masih dengan suara tinggi.
Kali ini Komala hanya diam, sebentar menatap Kolis, sebelum berdiri dan melangkah pergi ke arah kamarnya.
#tumbalterakhir
Hal itu mengundang kegusaran kuat dalan diri Kolis. Jiwanya bergejolak, bergemuruh tak menentu. Hampir saja ia menuruti bisikan hatinya untuk pergi dari rumah Pamannya, guna memastikan ucapan sang Adik. Walau ia sendiri sudah mendapat rabaan dari Uyut Latip tentang nasib yang -
bakal menimpa Bapaknya, tapi tetap saja ia tidak terima sebelum membuktikan sendiri.
Kolis akhirnya mengurungkan niatnya untuk menikmati hidangan yang di kirim Mbah Sanir. Selera makannya memudar hilang tergerus kegelisahan atas ucapan Komala. #tumbalterakhir
Ia lebih memilih masuk ke dalam kamar milik Pamannya seperti yang di pesankan padanya, setelah memastikan pintu-pintu sudah tertutup....
#tumbalterakhir
"Krrreaak ... Krrreaaak...."
Berputar dan seperti mengelilingi rumah Uyut Latip, Burung yang biasa di sebut masyarakat luar sebagai Burung kematian.
Ada beberapa ekor jika di dengar dari suaranya yang nyaring bersahutan. Menandakan jika pantas di sebut sekawanan.
#tumbalterakhir
Beberapa kali terdengar mengitari atap, Burung berwarna hitam, bermata tajam dan terkadang bersuara mirip lolongan anjing malam, bertengger tepat di atas atap kamar Uyut Latip, yang di huni Kolis sementara.
#tumbalterakhir
"Krrreeaaak ... Krrreeeaaakkk...."
Kembali, bagai lengkingan teriakan, suara burung-burung itu nyaring memecah keheningan malam yang belum begitu larut.
Hal itu membuat Kolis terhenyak. #tumbalterakhir
Ia tak menduga ternyata burung tanda kematian itu tak hanya secara kebetulan lewat seperti pemikirannya, tetapi bertengger seolah mengisyaratkan sesuatu.
Hampir sepuluh menitan Kolis bernafas dalam gelisah. Meski dalam posisi berbaring namun matanya enggan terpejam.
"Srekkk ... Srreekk...."
Kali ini, Kolis tak lagi hanya terhenyak. Melainkan mulai di landa rasa tercekam. Ia pun perlahan bangkit, menyandarkan punggungnya pada dinding papan seraya menajamkan pendengaran, demi memastikan suara di sisi luar kamarnya.
"Srrreeekkk ... Srreekkk...."
Kali ini Kolis membenarkan dugaannya, bila suara yang kembali terdengar jelas berada di sisi luar kamar. Tak jauh, atau bahkan tepat bersampingan dan hanya tersekat oleh dinding papan antara dirinya dengan suara seperti langkah kaki
bersentuhan dengan dedaunan kering. Walau posisi kamarnya lebih tinggi dari lantai tanah luar, namun suara itu sangat-sangat jelas di telinganya.
Rasa takut dalam diri Kolis semakin lama semakin kian menyusup kuat. #tumbalterakhir
Dirinya tau bila itu bukanlah perbuatan seseorang yang iseng atau yang ingin berbuat jahat. Tetapi, dengan berhentinya suara burung kematian dari atap rumah, mengisyaratkan kedatangan mahluk lain yang berada di sekitaran tempat itu.
#tumbalterakhir
Mengingat akan hal itu, tubuh Kolis anyep. Nafasnya pelan terjeda, tertahan tekanan dalam jiwanya saat membayangkan sosok-sosok menakutkan yang pernah matanya lihat sebelumnya.
Sekilas kening Kolis mengkerut manakala suara langkah kaki serta nyanyian Burung kematian reda.
Nampak harapan untuk istirahat tenang tergambar pada wajah lelahnya setelah sampai lima belasan menit, suasana tetap hening.
Namun, baru akan mencoba terlelap dengan balutan selimut tipis bergambar bunga mekar,
Kolis kembali terjaga oleh suara pintu terbuka di iringi derap langkah di dalam rumah.
Kolis menduga jika itu adalah Komala, tapi semakin lama, suara langkah kaki itu semakin jelas seperti langkah kaki yang dirinya dengar di luar.
#tumbalterakhir
"Nduk ... Nduk, Nduk Kom....?" panggil Kolis mencoba memastikan.
Sunyi, tak ada sahutan, langkah itu pun berhenti. Membuat rasa penasaran Kolis membesar dari rasa takutnya. Ia pun kembali bangkit, duduk sebentar, dan akhirnya memberanikan diri untuk beranjak.
"Krieetttt...."
Sepi dan gelap saat itu yang Kolis lihat, setelah membuka pintu dan berdiri selangkah keluar kamar. Sejenak Kolis diam berpikir, dan tak lama dirinya menyadari jika ada sesuatu yang kurang.
Kolispun kembali masuk ke dalam kamar dan segera kembali keluar,
berjalan pelan sembari mengingat posisi lampu teplok bersumbu kain dengan minyak tanah sebagai pembakarnya.
Tak lama Kolis menemukan lampu yang tergantung di kayu balok penyangga dan menempel di dinding. Sekali sentakan pada pemantik api,
cahaya redup meremang menyebar ke ruangan tak lebih berukuran 4x3 tanpa kursi.
Mata Kolis langsung mengedar, mengamati seluruh isi ruangan tempat Uyut Latip biasa bersantai dan menerima tamu. Sekilas tak ada yang aneh. Semua rapi dan seperti biasanya. #tumbalterakhir
Mulai dari kain Ambal sebagai alas lantai, juga hiasan kaligrafi-kaligrafi lukisan alam serta kalender bergambar toko penjual bahan bangunan, masih di tempat semula tak berubah.
#tumbalterakhir
Hal itu sedikit melegakan Kolis. Ia pun merasa jika suara langkah yang dirinya dengar benar adalah Komala.
Namun, tiga tarikan nafas kemudian, di saat Kolis yang telah merasa aman membalikan badan berniat untuk kembali masuk ke kamar, tetiba saja wajahnya berubah.
Keningnya berkerut, nafasnya memanjang kala hidungnya tiba-tiba tersesapi bau wangi bunga melati.
Rasa takut kembali meraba jiwa Kolis. Dirinya tau bahwa sekeliling rumah Uyut Latip tak ada tanaman bunga apapun, sehingga ia yakin jika wangi bunga melati yang tengah merebak,
bukan hal biasa.
Tetapi sampai beberapa kali Kolis mengamati dan mencoba mencari sumber bau wangi itu, dirinya tak melihat apapun. Hingga ia pun memilih masuk ke dalam kamar.
Lagi-lagi hal aneh di rasa Kolis. Di dalam kamar, yang letaknya hanya bersebelahan dengan ruang tamu,
tak sedikitpun ia mencium wangi bunga melati.
Padahal ia tau, papan penyekat tak rapat, banyak celah memanjang atau pun papan berlobang. Sehingga janggal jika bau itu sama sekali tak masuk ke kamar.
Kolis akhirnya tetap memilih untuk kembali merebahkan tubuhnya di ranjang.
Rasa lelahnya menuntun matanya untuk terpejam walau pikiran dan perasaannya masih gelisah.
Semakin malam angin pesisir semakin kencang berhembus. Hawa dingin mulai terasa menusuk, dan hal itu di rasakan Kolis. Hembusan angin yang menyapu kulit tubuhnya di rasa begitu dingin.
Sampai harus membuatnya terbangun.
Sebentar Kolis membetulkan kain selimut guna menutupi tubuhnya dan berniat memejamkan kembali matanya. Ia tak menghitung telah berapa jam tertidur, yang ia rasakan saat itu rasa lelah dan kantuknya masih terasa.
#tumbalterakhir
Tetapi belum sampai sepuluh detik, Kolis terjingkat kaget.
"Nduk ... Nduk Kom?" panggil Kolis.
Sunyi, tak terdengar apapun, seperti menghilang suara isak tangis yang baru saja telinganya dengar.
Beberapa saat lamanya Kolis terdiam, ia meraba akan suara tangisan,
yang akhirnya dirinya kira hanya halusinasinya sendiri.
Ia pun kembali berbaring dengan balutan rapat selimut, menatap langit-langit beratap Asbes, dan sejenak melambungkan memori di kepalanya, menelusuri kembali perjalanan hidupnya.
"Toolooongg ... tolooongggg...." Lirih namun sangat menyayat terdengar suara rintihan dari luar jendela kamar.
Seketika itu juga Kolis melompat, dadanya berdebar, seluruh kulit tubuhnya pias, keringat pun mulai merembes dari pori-pori.
#tumbalterakhir
"Tolooonggg ... Tolongggg, ampun ... ampun, ctarrrr."
Kembali suara rintihan itu sangat jelas terdengar oleh Kolis. Namun bukan ... bukan seperti suara pertama. Sebab suara rintihan pertama milik suara laki-laki, dan kali ini suara seorang wanita.
#tumbalterakhir
Rasa takut kini benar-benar menyelimuti jiwa Kolis. Ia terdiam, hanya mampu berdiri mematung sembari menatapi jendela kamar yang tertutup.
"Crriingg ... Cccrrringgg...."
"Srreekkkk ... Srekkk...."
Lagi-lagi Kolis di buat semakin ketakutan. Tubuhnya mulai gemetar,
jantungnya seolah tak lagi ada degupan, darahnya seakan berhenti mengalir, manakala jendela yang tengah dirinya tatapi tiba-tiba terbuka lebar.
Tak hanya itu, dari balik jendela, saat seutas siutan kabut hitam terterpa angin dingin,
terdengar nyaring gemerincing layaknya besi berbenturan bergantian dengan langkah-langkah kaki yang di seret.
Saat itu Kolis ingin sekali lari atau pingsan sekalipun, agar dirinya tak melihat sesuatu di balik jendela. Di mana,
beberapa wajah sayu pucat seputih kapas dengan bulatan hitam menghias kedua mata, silih berganti muncul dan menatapi dirinya.
Wajah-wajah pucat itu seperti tengah tersiksa, tatapan bola mata mereka seperti ingin meminta bantuan kepada Kolis. #tumbalterakhir
Namun hal itu, semakin membuat jiwa Kolis tercekam.
Beberapa di antara wajah yang Kolis lihat, ada dua yang sangat tak asing baginya. Kedua wajah yang muncul terakhir itu, seketika membuat Kolis menangis. Ia sangat terpukul, saat dua wajah itu, memelas, merintih,
meminta pertolongan padanya. Sedangkan dirinya sendiri, untuk melangkah setapak pun tak sanggup.
Puluhan menit Kolis mengalami hal menakutkan itu. Beberapa kali juga dirinya yang terpaku dalam ketakutan harus menyaksikan wajah-wajah itu kembali. #tumbalterakhir
Oleh karena mereka seperti di giring, mengikuti alunan Gong yang mungkin sebagai penanda, berjalan memutari rumah Uyut Latip.
#tumbalterakhir
Suara Gong dan gemerincing rantai beradu akhirnya terhenti, setelah satu aroma kapur barus berpadu pandan, menyesapi hidung Kolis. Dan tak lama sesosok wanita muncul dari balik jendela seperti tengah duduk di atas keranda pikul.
Wanita itu menatap sinis ke arah Kolis.
Wajahnya seolah tak berurat meski terlihat ayu. Rambutnya di biarkan tergerai memanjang, berbalut kemben sebatas dada.
"Koe manuto nek ora pingin dadi koyo wong-wong kui. Gowonen calon manten Srenggiku metu seko omah iki!
terke nang panggonane asal! Sak bare Tanggal Telulas Koe tak jamin urep mulyo!"(Kamu menurutlah kalau tidak ingin jadi seperti orang-orang itu. Bawalah calon pengantin Srenggiku keluar dari rumah ini!
antarkan kembali ke tempat asalnya! Setelah Tanggal Tiga Belas Kamu Saya jamin hidup mulya.) ucap sosok wanita sangat mirip dengan yang Kolis tau dan biasa di panggil, Buk Ratri.
"Nek Koe ra manut, melu nglawan, ora bedo nasibmu koyo wong tuo mu!"
(Kalau Kamu tidak nurut, ikut melawan, tidak beda jauh nasibmu seperti kedua orang tuamu!) sambung sosok itu, dengan nada culas nan menyengit.
Kolis sendiri hanya terdiam. Wajahnya yang pucat pasi, kontras dengan bibirnya yang membiru.
#tumbalterakhir
Jangankan untuk menyahut bicara, menggerakkan bola matanya saja agar tak melihat kebengisan yang terpancar dari wajah sosok Ratri pun ia tak mampu.
Sepersekian menit akhirnya Kolis terkulai. Tubuhnya yang basah bermandikan keringat, roboh.
#tumbalterakhir
Ia terkulai lemah, menyandar pada dinding, setelah sosok Ratri bersama iringan Gong dan wajah-wajah penuh kesedihan menghilang.
Sunyi, hening, suasana saat itu. Membuat Kolis cepat menguasai gemuruh dadanya serta mengatur nafasnya yang tersengal.
Hati Kolis sedikit goyah saat teringat kembali ucapan sosok Ratri. Ia membayangkan betapa menderitanya orang-orang yang ia lihat hanya sebatas wajah, termasuk wajah orang tuanya, Mbah Soko dan Mbok Selasih.
Saat-saat jiwa dan pikiran Kolis masih berkecamuk,
satu bisikan lembut membuatnya terbangun. Berjalan dengan tertatih keluar dari kamar.
Langkahnya semakin terasa ringan dan mantap ketika matanya lurus menatap ke arah kamar Komala. Sesampainya di depan pintu, Kolis berhenti sejenak. Mendengarkan sayup lantunan liring tembang,
yang biasa di nyanyikan untuk menidurkan anak-anak.
Kolis tak perduli lagi, tangannya segera mendorong pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Kolis sempat tertegun sejenak melihat Komala tengah duduk di ranjang sembari memeluk sebuah selendang merah muda polos.
Dari bibirnya, masih terdengar lirih bait tembang berirama slendri peloq.
Sempat ragu Kolis kala itu. Tapi ketika muncul bayangan wajah-wajah menderita termasuk wajah kedua orang tuanya, kakinya segera berayun mendekati Komala.
#tumbalterakhir
Liringan dari bibir Komala akhirnya terhenti sesaat, setelah Kolis duduk di tepian ranjang. Sebentar matanya melirik, sebelum menunduk menatapi selendang sembari menimang-nimang.
"Nduk, ayo tak terke bali meneh."(Nduk, ayo Saya antar pulang lagi) ucap Kolis pelan.
Tak ada sahutan dari Komala, wajahnya tetap menunduk, suara timangannya masih terdengar lirih tanpa memperdulikan Kolis.
Di ulangnya kembali oleh Kolis ucapannya untuk ke dua kali, dan untuk yang ketiga kalinya, Komala akhirnya menengadahkan kepala.
#tumbalterakhir
Menatap lekat-lekat ke arah Kolis, sebelum tangan kanannya menunjuk ke arah depan pintu utama sambil berucap pelan.
"Guwak disek barang seng di pendem Lek Latip, nang ngarep lawang. Mengko dewe lagek iso lungo seko kene."
(Buang dulu barang yang di kubur Paman Latip, di depan pintu. Nanti kita baru bisa pergi dari sini)
Termangu Kolis mendengar nama Uyut Latip di sebut oleh Komala. Ia pun membayangkan, mengingat sosok Pamannya yang tengah pergi sampai tiga hari ke depan.
"Kudu mbok jikok disek, Kang. Nek ora, gak bakal rampung urusan iki. Opo Kang Kolis gak pingin nolong Bapak karo Ibu? opo malah Kang Kolis pingin sengsoro dadi kawulo?"(Harus Kamu ambil dulu, Kang. Kalau tidak, gak akan selesai masalah ini.
Apa Kang Kolis tidak ingin menolong Bapak sama Ibu? apa malah Kang Kolis ingin sengsara jadi pengikut?) sambung Komala berujar, seperti tau keraguan dalam diri Kakaknya.
Tanpa menjawab, Kolis bangkit dan melangkah keluar. Kebimbangannya masih bergelanyut sama kuat,
antara menuruti Adiknya atau Pamannya. Hingga tanpa sadar kaki Kolis sudah menapak di depan pintu utama. Di mana di tempat itu, di bawah tangga yang hanya berjarak tiga langkah, terkubur sesuatu seperti yang di maksud Komala.
Meski masih ragu, Kolis tetap membuka pintu.
Melangkah pelan menuruni tangga dan berhenti mematung menatap suasana gelap di halaman.
"Jikuk en saiki, Kang. Ayo gek dewe lungo seko kene. Melas Bapak karo Ibu seng gek nunggu dewe"."
(Ambil sekarang, Kang. Ayo segera kita pergi dari sini. Kasihan Bapak sama Ibu yang lagi menunggu kita.)
Sedikit terkejut Kolis mendengar suara Komala yang sudah ada di belakangnya sembari menenteng lampu teplok gantung. Ia menoleh sebentar,
menatap sang Adik yang tersenyum tipis sembari menganggukan kepala dan mengulurkan lampu bercahaya remang memudar ke padanya.
Keraguan terlihat semakin menggurat jelas pada wajah Kolis saat akan menerima lampu dari tangan Komala. Namun akhirnya,
tangannya menyambut uluran tangan Komala dan menerima pemberian lampu teplok.
Kini, di depanya, tiga langkah dari tempatnya berdiri, Kolis melihat satu gundukan membulat sebesar paha orang dewasa. Entah karena memang di buat seperti itu,
atau memang penglihatan Kolis yang telah mampu menembus.
Hal itu tak terlalu di pikirkan Kolis. Tugasnya kini hanya membongkar, mangambil sesuatu yang tertanam di dalamnya seperti yang di maksud Komala Adiknya.
#tumbalterakhir
BAGIAN 3
SELESAI

LANJUT KE BAGIAN 4 MINGGU DEPAN.

Atau bisa BACA DULUAN di KARYAKARSA ya.

Ceritanya semakin menarik nih, apalagi kalau bacanya malam hari kan.

Ini link nya
karyakarsa.com/KALONG/warisan…

@qwertyping @mwv_mystic @diosetta @karyakarsa_id @RestuPa71830152
-Synopsis-
BAGIAN 4

Mbah Sanir. Siapakah beliau?

Setelah kepergian Paman Latip, berkat Mbah Sanir ia berhasil menghentikan Kolis dari bujuk rayu sosok yang menyerupai Komala. Namun lagi lagi gagal ketika Kolis memberikan Komala sebuah air minum yang harus Komala telan.
Satu lagi, Kolis mendapatkan ujian yang sangat berat dari sosok Mbah Sanir. Yaitu mencari BANYU PITU WERNO ( AIR DARI TUJUH SUMBER).

Apakah Kolis dengan mudah menemukan air tujuh sumber itu? Dan apakah Kolis berhasil selamat dari gangguan setiap penunggu sumber air?
Satu lagi, petaka apa lagi yang di dapatkan Mbah Sanir ketika menjaga Komala waktu di rumah Paman Latip?

Ikuti kisahnya di bagian 4.

Dukung dan ikuti akun KALONG. Agar tidak ketinggalan cerita selanjutnya.
TUMBAL TERAKHIR
BAGIAN 4

-PAGGER JENGGOLO-
@bacahorror #bacahorror Image
PAGER JENGGOLO
Sedikit demi sedikit tanah berpasir mulai tergali tangan Kolis. Ia tak perduli dengan terpaan angin mengibas kencang saat lubang yang di galinya semakin dalam. Sampai pada kedalaman sejengkal, Kolis menghentikan menggali.
#tumbalterakhir
Sebentar menoleh ke belakang, di mana Komala masih berdiri menatapinya penuh harap cemas.
"Ayo, Kang. Koyo e delok neh barange kui kenek di jikok."(Ayo, Kang. Sepertinya sebentar lagi barangnya itu bisa di ambil.) ucap Komala tak sabar menunggu.
#tumbalterakhir
Kolis hanya diam. Ia kembali menatap lekat ke dalam lobang yang masih terlihat berupa tanah berpasir. Sebentar kemudian tanganya kembali berniat menggali, namun sebelum jari-jarinya menyentuh tanah,
tiba-tiba saja ia tarik kembali manakala satu bentakan keras dari arah depan mengejutkannya.
"Mandek! Ojo mbok teruske!"(Berhenti! Jangan di teruskan!)
Seketika Kolis tersurut mundur. Matanya membelalak lebar manatap ke depan.
#tumbalterakhir
Di mana dua sosok wanita telah berdiri di hadapannya bercahayakan sebuah obor.
"Nduk, Kom! Mbah Sanir!" seru Kolis seolah tak percaya.
Sebentar Kolis memalingkan wajahnya kebelakang. Kosong, tak ada siapapun, hanya gumpalan kabut tipis memudar yang tertangkap matanya.
"Iku mau dudu Adikmu. Iki seng asli Adikmu, mulo ojo mbok terusno le mu ngedok lemah kui, iso dadi bahaya kabeh."(Itu tadi bukan Adikmu, Ini yang asli Adikmu, makanya jangan Kamu teruskan menggali tanah itu, bisa jadi bahaya semua.) ucap Mbah Sanir menjelaskan.
Kolis yang masih bingung, ragu, sejenak tertegun. Kembali ia mengamati dalam-dalam sosok Komala dalam papahan Mbah Sanir, seperti ingin memastikan bila itu adalah asli Adiknya.
#tumbalterakhir
"Wes ojo bingung, uruken neh lemah kui, lek mlebu. Ko tak jelaske nang njero."(Sudah jangan bingung, timbun lagi tanah itu, terus masuk. Nanti Saya jelaskan di dalam.) ujar Mbah Sanir sambil melangkah dengan memapah Komala masuk ke dalam rumah.
Kali ini Kolis seperti yakin.
Ia pun menuruti perintah Mbah Sanir, untuk menimbun lagi lubang tanah yang sudah sejengkal ia gali.
Kolis segera beranjak masuk, setelah di rasa cukup lobang yang ia timbun kembali.
Sampai di dalam, ia melihat Mbah Sanir sudah duduk menselonjorkan kakinya dengan punggung menyandar di dinding. Sedangkan Komala terbaring di depannya seperti tertidur pulas.
"Le, awakmu mau wes kebujuk barang alus seng pingin gowo lungo Adikmu iki metu seko kene. Untungno urung sampek mbok jikok pager jenggolo seng go njogo Adikmu lan awakmu nang kene. Nek sampek kejikok awakmu mau, kabeh dadi ciloko!"
#tumbalterakhir
(Nak, Kamu tadi sudah tertipu mahluk halus yang ingin bawa pergi Adikmu iki keluar dari sini. Untung saja belum sampai kamu ambil pagar Jenggolo yang untuk menjaga Adikmu dan Kamu selama di sini. Kalau sampai ke ambil dirimu tadi, semua jadi celaka!)
Lirih namun tegas ucapan Mbah Sanir.

Kolis yang baru saja duduk dengan posisi bersila menunduk lesu. Puluhan pertanyaan masih berklebat di kepalanya, tanpa tau satu pun jawaban. Sesekali ia menatap Komala yang terpejam, seperti ingin bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Adikmu mau sengojo tak adusi banyu laut. Terus seng ganggu awakmu wengi iki, kabeh tipu dayane Iblis seng pingin awakmu lungo seko kene karo Nduk Kom. Kerono ngerti Lekmu Latip lungo."(Adikmu tadi sengaja Saya mandikan air laut.
#tumbalterakhir
Terus yang mengganggumu malam ini, semua tipu muslihatnya Iblis yang ingin Kamu pergi dari sini bersama Nduk Kom. Karena tau Pamanmu Latip pergi.) Sambung Mbah Sanir menjelaskan.
"Mbah Sanir iso ngerti perkoro iki seko ngendi, Mbah?"
(Mbah Sanir bisa tau masalah ini dari mana, Mbah?) sahut Kolis memberanikan diri bertanya.
Sebentar Mbah Sanir tersenyum mendengar pertanyaan Kolis. Tangannya yang mulai keriput, mengeluarkan sesuatu dari balik baju hijau muda berlapis kebaya grambyang.
#tumbalterakhir
Dengan lincah tangan Mbah Sanir kemudian meracik daun sirih bercampur rempah-rempah untuk dijadikan susur kinang.
"Opo kudu ngerti awakmu?"(Apa harus tau Kamu?) ucap Mbah Sanir balik bertanya.
Mendapat pertanyaan balik, Kolis terdiam.
Ia memang tak mengenal dekat siapa sosok Mbah Sanir. Yang dirinya tau cuma sosok Mbah Sanir ini dekat dengan Uyut Latip.
"Yo tak kandani awakmu, Le. Ojo gampang kosong pikiranmu, seng do ngawasi awakmu karo Adikmu iki akeh, do golek lenomu, mergo Adikmu Geteh Pancer Alus.
Mulo manuto opo seng di kandakne Lek mu Latip. Wonge saiki yo ijek berjuang kanggo nylametno Adikmu seko angkorone Ratri."(Saya beri tau Kamu, Nak. Jangan mudah kosong pikiranmu, yang mengawasi Kamu dan Adikmu ini banyak, mencari lenamu,
karena Adikmu Geteh Pancer Alus. Maka nurutlah dengan apa yang di pesan Pamanmu Latip. Dia sekarang masih berjuang untuk menyelamatkan Adikmu dari angkara murkanya Ratri.)
#tumbalterakhir
Mendengar ucapan Mbah Sanir menyebut nama Ratri, seketika ingatan Kolis tertuju pada sosok berambut panjang berpadu balutan kemben sebatas dada serta wajah tak berurat. Hal itu juga mengingatkan kalimat ancaman pada dirinya beberapa jam yang lalu.
#tumbalterakhir
Tak luput juga bagaimana wajah kedua orang tua Kolis yang terlihat sangat menderita, terkerat rantai di leher.
"Ojo gumun kenopo Ratri iso nemoni awakmu, iso meruhi bayangan opo wae, termasuk iso nyerupai wujudte Adikmu. Iku ngunu dudu Ratri asline, tapi Jangi,
lelembut seng dadi abdi sejatine."(Jangan heran kenapa Ratri bisa menemui dirimu, bisa memperlihatkan apa saja, termasuk bisa menyerupai wujud Adikmu. Itu sebenarnya bukan Ratri aslinya, tapi Jangi, lelembut yang jadi abdi sejatinya.)
Tutur Mbah Sanir seolah tau apa yang sedang di bayangkan oleh Kolis.

"Mbah Sanir artine ngerti akeh perkoro keluargane Ratri? ngerti asline masalah iki?"(Mbah Sanir berarti tau banyak tentang keluarganya Ratri? tau aslinya masalah ini?)
Kembali Kolis bertanya, ia terheran dan penasaran dengan sosok Mbah Sanir, bagaimana banyak tau tentang masalah yang tengah merundung keluarganya.
"Mbisok awakmu bakal ngerti dewe, kenopo aku iso ngerti, bahkan kenal Ratri luweh cedak ketimbang lelekmu Latip. Saiki seng penting jogo Adikmu iki sampek padang. Ko nek wes tangi, ombenono banyu iki, kudu entek."
(Kelak Kamu akan tau sendiri, kenapa Saya bisa tau, bahkan kenal Ratri lebih dekat ketimbang Pamanmu Latip. Sekarang yang terpenting jaga Adikmu sampai hari terang. Nanti kalau sudah bangun, minumkan air ini, harus habis.) Sahut Mbah Sanir memberi pesan.
Tenang Mbah Sanir mengeluarkan susur dari mulutnya yang telah berwarna merah. Kemudian ia bangkit dan melangkah keluar, meninggalkan Kolis yang masih terpekur di sisi Komala.
Puluhan menit telah berlalu. Kolis masih setia menunggui Komala yang masih terlelap, entah tertidur,
atau pingsan. Sebab dari pertama datang di papah Mbah Sanir, tak melihat mata Komala terbuka.
Suara kokok Ayam akhirnya terdengar oleh Kolis. Menandakan jika sebentar lagi hari akan bertukar. Nampak kelegaan menyirat jelas di wajah Kolis,
terbebas sementara dari segala bentuk keseraman yang selalu menghantui kala malam menjelang.
Sebentar Kolis mengeliatkan tubuhnya. Merenggangkan otot-otot yang semalaman kaku seperti tertarik, sebelum bangkit dari duduknya berniat untuk mencuci muka.
#tumbalterakhir
Gelap dan dingin di rasa Kolis ketika pintu belakang terbuka. Ada sisa rasa takut yang tiba-tiba menguat, ketika ia menatap sumur berjarak dua puluhan langkah dari tangga belakang tempatnya berdiri.
#tumbalterakhir
Mata Kolis sebenarnya hanya menangkap sebuah bangunan tanpa atap serta warna warni dinding sumur plus kamar mandi, yang terbuat dari bermacam kain-kain tebal bekas Spanduk.
Namun dari itu semua, Kolis merasakan jika dari arah sumur itu ada -
bbrapa sorot pasang mata tengah menatapnya tajam. Kolis akhirnya mengurungkan niatnya. Ia kmbli masuk ke dlm dan menunda mencuci muka sampai hari benar-benar terang.
Sesampainya di ambang ruang tamu, Kolis terperanjat namun sekaligus senang, melihat Komala sudah duduk menyandar.
"Wes tangi, Nduk?"(Sudah bangun, Nduk?) sapa Kolis seraya mendekat.
Senyum tipis mengembang dari sudut bibir Komala. Meski terlihat lemah dan pucat, tetapi saat itu terlihat benar-benar sosok Komala di mata Kolis.
#tumbalterakhir
Tangan Kolis segera meraih botol tak seberapa besar di sisi kiri dinding, tempat Komala menyandar. Segera tanganya mengulur, menyerahkan botol berisi air putih kehijauan sesuai pesan Mbah Sanir.
#tumbalterakhir
"Opo iki, Kang?"(Apa ini, Kang?) tanya Komala seraya menerima botol dari tangan Kolis.
"Banyu ngombe, ben seger meneh awakmu, Nduk."(Air minum, biar segar kembali kamu, Nduk.)jawab Kolis pelan.
"Opo iki banyu seko Mbah Sanir?"
(Apa ini air dari Mbah Sanir?) tanya Komala yang kali dengan tatapan serius.
Sedikit tergagap Kolis mendengar pertanyaan dan tatapan serius Adiknya. Ia juga terheran, tak menduga jika Komala seperti tau bila air itu dari Mbah Sanir.
"Iyo, Nduk. Tapi iki banyu bioso, mek kanggo mulihke keadaanmu seng pucet kui."(Iya, Nduk. Tapi ini air biasa, cuma untuk memulihkan keadaanmu yang pucat itu.) jawab Kolis mengiyakan dan memberi alasan.
#tumbalterakhir
"Banyu biasa!? opo ngerti Kang, nek iki bener banyu biasa? Iki ngunu banyu seng kanggone mateni calon bayi nang njero wetengku. Moh aku kang kon ngombe!"(Air biasa!? apa tau kang, kalau ini benar air biasa? ini itu air yang gunanya membunuh calon bayi di dalam perutku.
gak mau Aku Kang di suruh minum!)
Sengit dan sedikit keras suara Komala menolak air yang di berikan Mbah Sanir. Ia pun melempar botol berisi air ke arah pintu depan.
Kegusaran seketika menghias wajah Kolis.
Dirinya yg tak tau benar atau tidaknya ucapan Komala tentang kegunaan air itu, hanya diam tanpa expresi.
Tak berapa lama Komala memaksa bangkit dari tempatnya duduk menyandar. Walau tertatih lemah, dan terlihat ringisan dari wajahnya, Komala tetap beranjak melangkah menuju kamar.
Kolis yang melihat tak kuasa memaksa. Pikirannya bingung dan di penuhi dugaan-dugaan antara Adiknya dan Mbah Sanir. Sampai tubuh Komala menghilang masuk ke dalam Kamar, Kolis masih terdiam sendiri di ruang tamu, hingga fajar menyingsing.
#tumbalterakhir
Seperti biasa, waktu sarapan Mbah Sanir datang dengan empat buah rengkot bersusun empat. Dan tepat di saat itu Kolis belum mampu beristirahat meski tubuhnya terasa sangat lelah.
Sebentar Mbah Sanir meletakan hidangan ala kadarnya di meja kayu ruang makan.
#tumbalterakhir
Baru saja selesai, Kolis yang baru dari kamar mandi belakang datang. Ada guratan tak enak menyirat jelas pada wajahnya kala melihat kehadiran Mbah Sanir. Apalagi mendapati raut muka dari sosok lebih sedikit tua dari Uyut Latip ini seperti memendam sesuatu,
membuat Kolis semakin tak nyaman.

"Koe gagal, Le?"(Kamu gagal,Nak?)
Pelan tetapi terasa menusuk ucpan Mbah Sanir yang di tujukan pada Kolis meski tanpa menatap langsung.
Kolis sendiri hanya tertunduk.
Batinnya berkecamuk antara malu dan keingintahuanya tentang tujuan Mbah Sanir menggugurkan janin dalam perut Komala.
"Sepurone, Mbah."(Mohon maaf, Mbah.) lirih akhirnya bibir Kolis berucap.
"Balak paling gede iku tibone yo nang bocah seng di kandut Adikmu. Turun telu seko geteh jejer alus bakal nglanggengke tetalene Rahmi karo junjungane. Mulo nek pingin nyegah, ojo sampek bocah kui lahir!"
(Petaka paling besar itu jatuhnya pada calon anak yang di kandung Adikmu. Keturunan ketiga dari darah bungsu suci, akan melanggengkan ikatan persekutuan Rahmi dengan junjungannya. Maka jika ingin mencegah, jangan sampai anak itu terlahir.) ucap Mbah Sanir menerangkan,
yang seolah tau isi pikiran Kolis.
Atas penjelasan itu, Kolis tersulut rasa sesal. Baginya, keluarga Murti Rahmi adalah biang dari masalah dalam keluarganya, sehingga ingin dirinya bisa mengakhiri, namun ia sadar apalah dirinya.
#tumbalterakhir
"Ono coro meneh, ora Mbah?"(Ada cara lagi, gak Mbah?) tanya Kolis yang sudah berani mendekat dan menatap Mbah Sanir.
"Tinggal siji meneh coro seng iso gawe ngrampungke iki kabeh, sak marine Lelekmu Latip rampung le tirakat. Opo kiro-kiro Awakmu sanggup?"
(Tinggal satu lagi cara yang bisa buat menyelesaikan ini semua, setelah Pamanmu Latip selesai tirakat. Apa kira-kira Kamu sanggup?) jawab Mbah Sanir dengan wajah mengurat, tanda sebuah keseriusan.
#tumbalterakhir
"Opo wae saiki kudu sanggup aku, Mbah. Aku wes kesel karo urusan iki. Aku pingin urep tenang, tentrem bareng keluargaku."(Apa saja sekarang harus sanggup, Mbah. Saya dah lelah dgn urusan ini. Saya ingin hidup tenang, tentram bersama keluargaku.) sahut Kolis penuh kemantapan.
"Yo wes, ko bengi lakonono. Ben aku seng jogo Adikmu."(Ya sudah, nanti malam kerjakan. Biar Saya yang jaga Adikmu.) timpal Mbah Sanir antusias.
#tumbalterakhir
BANYU PITU WERNO
"Budalo mengko nek surup sengkolo wes ketutup. Ojo mbok gagas opo wae seng tok temoni, sak durunge Awakmu intok banyu pitu kali tempuran."
(Berangkatlah nanti kalau gelap sengkala sudah tertutup. Jangan tanggapi apa saja yang Kamu temui, lihat, sebelum Kamu mendapat air tujuh sungai benturan cabang.)
Kolis mengangguk, mengerti dengan apa yang di ucapkan Mbah Sanir.
Tekat Kolis benar-benar bulat, tak perduli lagi seberapa bahaya dan sulitnya mencari persyaratan yaitu Air dari tujuh tempat yang berbeda dengan ketentuan terdapat benturan dari cabang sungai mengalir ke laut.
#tumbalterakhir
Meski area pesisir kampung itu banyak terdapat parit atau sungai kecil, namun bukan hal mudah jika sesuatu di dapatkan guna untuk sebuah ritual atau kepentingan tertentu. Di samping waktu yang di butuhkan sesingkat mungkin, juga keadaan malam sebagai salah satu syaratnya,
menjadi sebuah tantangan mental yang tinggi.
Sebuah wadah atau tempat berwarna coklat kekuningan dari tanah liat, pemberian Mbah Sanir, segera Kolis kemas. Tak lupa sebuah obor dari bambu dengan sumbu kain, juga ia persiapkan untuk menemani perjalanannya malam ini.
Setelah semua siap, Kolis terlebih dulu beristirahat sembari menunggu waktu. Sedangkan Mbah Sanir, sedari mengantar makanan untuk jatah sore, memilih berdiam diri di halaman belakang, menikmati hembusan angin sore.
Ratusan detik, puluhan menit, dan beberapa jam telah berlalu.
Suasana alam sudah bertukar, dari terang dengan sengatan sang bola api dunia, menjadi gelap tanpa adanya lampu gantung langit yang sepertinya enggan untuk keluar.
Suasana sunyi sangat kentara di rumah Uyut Latip,
cahaya remang dari tiga buah lampu teplok hanya mampu menerangi di sebagian tempat saja, sedang yang lain terlihat sangat gelap.
Di lihat dari luar, suasana itu sekilas seperti rumah kosong, namun di dalam, tepatnya di bagian belakang rumah,
tengah duduk bersimpuh sendiri sesosok wanita tua bertubuh gempal, berikat kain batik di kepala.
Sesekali sosok wanita tak lain dan tak bukan adalah Mbah Sanir, menengadahkan kepalanya, menatap langit yang hanya terlihat hitam. Seolah sedang mencari sesuatu, atau menunggu.
Sepuluh, dua puluh, hingga tiga puluhan menit hal itu berlangsung. Namun tetap saja Mbah Sanir masih terdiam dalam keheningan.
Lain halnya dengan yang di lakukan Kolis.
Meski dirinya berada di dalam kamar, tetapi ketegangan, kegelisahan terpancar dari sorot matanya yang mengedar kesana kemari.
Sepertinya Kolis tau, bila waktu untuknya berjuang sudah dekat. Terbayang olehnya apa yang bakal ia temui dan lihat dalam perjalanannya nanti.
Memikirkan semua itu, nafas berat terhempas kuat dari dadanya, berusaha melipat gandakan mental serta keberaniannya.
"Le, Kolis, tangi! wes wektune."(Nak, Kolis, bangun! sudah waktunya.)
Satu suara akhirnya menyudahi lamunan Kolis. Ia yang mengenali suara itu, segera bangkit.
Dengan bermodalkan jaket bludru lumayan tebal, Kolis melangkah menuju arah belakang.
Sesampainya, Kolis di sambut oleh wajah keriput Mbah Sanir.
#tumbalterakhir
"Budalo, iling-ilingen welingku. Opo wae seng motomu weruh, seng tok rasakke, ojo sampek awakmu mundur. Iku ngunu ujianmu kanggo iso intok banyu pitong werno."(Berangkatlah, ingat-ingat pesanku. Apapun yang matamu lihat, yang kamu rasakan, jangan sampai Kamu mundur.
Itu adalah ujianmu untuk bisa mendapat Air tujuh warna.) Ujar Mbah Sanir memberi pesan, di sambut anggukan kepala oleh Kolis.
Perlahan, setapak demi setapak kaki Kolis mulai menyusuri jalanan Kampung, menuju ke utara pesisir.
#tumbalterakhir
Dengan obor di tangan kanan sebagai penerang jalan berkelok-kelok, Kolis mengikis rasa takut yang sebenarnya mulai mengendap.
Sesekali Kolis berhenti, mengedarkan pandangan ke sekeliling dan juga menajamkan pendengaran berharap bisa segera menemukan satu aliran sungai -
yang mengarah ke Laut. Namun, sudah hampir Seribu Kilo Meter kakinya melangkah, belum satu sumber pun ia temukan
Tanpa putus asa Kolis terus melangkah, mengabaikan peluh yang mulai menetes dari dahinya.
Harapannya akhirnya mulai menuai hasil.
Tak jauh dari tempatnya, sejurus lima meter ke kanan, telinganya mendengar gemericik air.
Semangat Kolis pun kembali membara, kakinya mengayun cepat, menghampiri sumber aliran sungai. Sesampainya, sejenak ia mengamati arus aliran sungai.
Tak lama, dirinya mengikuti arah air mengalir hingga tiba di satu titik, dimana terdapat tiga aliran saling menghubungkan.
#tumbalterakhir
Kolis segera mengeluarkan wadah dari tanah liat pemberian Mbah Sanir, berniat mengambil secangkir ukuran gelas bambu di tengah-tengah pusaran air.
Namun, baru saja Kolis membungkukan badan, satu bayangan tiba-tiba melompati dirinya.
#tumbalterakhir
Terkejut bukan main Kolis saat itu, ia segera kembali tegak, mencari bayangan hitam yg baru saja mengganggunya.
Sampai puluhan detik Kolis diam menatapi sekeliling, hanya hitamnya malam dirinya lihat. Tak ada apapun, tak ada bayangan yg baru saja sekilas muncul melompati dirinya.
Helaan nafas tegang, mengawali Kolis kembali membungkuk, walau dalam hati masih terasa was-was, tapi akhirnya Kolis berhasil mengisi penuh sebuah gelas terbuat dari bambu.
#tumbalterakhir
Tak ingin berlama-lama, Kolis segera pergi meninggalkan tempat pertamanya mengambil air syarat dan memasukan ke dalam wadah mirip bejana.
Tetapi langkah Kolis setelah meninggalkan tempat itu sedikit berbeda. Terlihat ia sesekali berhenti,
sesekali berjalan cepat, sembari memalingkan wajahnya ke samping.
Hal itu Kolis lakukan sebab ia merasa jika dirinya tengah di ikuti oleh sepasang mata. Entah sosok bayangan tadi, yang muncul secara tiba-tiba, atau ada sosok lain.
Semakin Kolis merasakan sepasang mata itu dekat mengawasinya, semakin cepat juga langkahnya berayun. Sampai akhirnya, ia menemukan kembali sebuah mata air mengalir tak seberapa jauh dari tempat pertama.
#tumbalterakhir
Kali ini Kolis sedikit lebih waspada. Sebelum ia mengambil Air yang tepat di hadapannya terbentuk pusaran dari tiga cabang mata air, matanya mengedar terlebih dahulu.
Merasa aman, kolis pun memenuhi segelas air dengan gelas bambu dan memasukan ke dalam bejana.
Tetapi ketika baru akan melangkah, mendadak tubuh Kolis terasa dingin dan kaku.
"Lancang temen Koe njikok banyu nang kene tanpo pamit!"(Lancang sekali Kamu mengambil air di sini tanpa ijin)
#tumbalterakhir
Semakin tergagu Kolis mendengar bentakan dari sesosok laki-laki tua bungkuk, yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Jarak yang hanya semeteran, membuatnya tersesap rasa kaget dan takut.
Ingin Kolis berangsur mundur,
namun lagi-lagi kakinya seolah terikat kuat sehingga tak mampu ia gerakkan. Membuat sosok lelaki tua bungkuk menyeringai, seakan tau ketakutan yang di alami Kolis.
"Balekne banyuku, opo pilih ganti getehmu!"
(Kembalikan airku, apa pilih di ganti darahmu!)
Menggigil tubuh Kolis mendengar ucapan bernada ancaman dari sosok lelaki tua itu. Hampir saja bejana berisi air ia tumpahkan, namun sebelum tangannya melempar, satu suara lirih masuk ke telinganya.
"Ojo tok gugoni, kuatno batinmu! Saiki mlakuo terus!"(Jangan di turuti, kuatkan batinmu! Sekarang jalan terus!)
Kebimbangan seketika menyirat di wajah Kolis. Antara menuruti sosok kakek tua bungkuk, atau bisikan lirih dari suara wanita yang ia kenal, Mbah Sanir.
"Saiki cepet lungo seko kono!"(Sekarang cepat pergi dari situ)
Seperti tersengat tusukan jarum, tubuh Kolis tiba-tiba tergerak untuk melangkah. Tak perduli dengan sosok lelaki tua bungkuk yang melotot.
Terheran Kolis saat itu. Kakinya terasa ringan menapak di jalanan berpasir.
Seolah tak ada beban apapun.
Sama halnya ketika akan melewati sosok lelaki tua bungkuk, ia mampu mengabaikan bau busuk yg menyambut hidungnya.
Namun tak lama, gidikan ngeri menyusup spontan, kala matanya melihat bagian tubuh bungkuk sosok itu, penuh lobang luka bernanah dan darah
Keanehan sebentar juga tak luput dari perasaan Kolis, saat ia tepat bersampingan, sosok itu hanya diam dan hanya melebarkan bola mata, menatap tanpa bicara.
Kelegaan menghiasi wajah Kolis setelah jauh meninggalkan tempat di mana dia mendapatkan air ke dua.
Ketakutannya berangsur menjadi semangat kembali. Rasa ingin segera mendapat air ketiga, menyemangati dirinya sendiri yang mulai sedikit lelah. Namun hingga puluhan menit ia berjalan, belum juga menemukan lagi aliran sungai.
#tumbalterakhir
Kolis kemudian berhenti sejenak setelah melihat sebuah batu besar tertanam, berdampingan dengan sebatang pohon khas pantai. Sebentar ia menyeka keringat di wajah, setelah menacapkan obor di pasir sisi kakannya.
#tumbalterakhir
Gelap dan semakin gelap, langit terlihat di mata Kolis. Ia tak dapat lagi menghitung waktu, tak perduli lagi, meski harus menuntaskan semalaman asal bisa segera mendapat tujuh air puseran.
Dalam angan Kolis, seharusnya ia tak begitu berat untuk mendapatkan persyaratan itu.
Dirinya ingat betul jika di sekitaran tempat Pamannya tinggal, banyak aliran sungai yang menyambung kelaut. Tapi malam itu, saat dirinya ingin menjadikan airnya sebagai syarat, ia merasa kesulitan.
Hampir seperempat jam Kolis beristirahat duduk di atas batu.
Tiupan angin lembut dari arah Laut, mulai melenakan tubuhnya. Tak berapa lama, matanya pun mulai terasa sayu, menandakan rasa kantuk mulai menyerang.
Hampir saja Kolis memejamkan matanya setelah turun dari atas batu dan menselonjorkan kedua kakinya.
#tumbalterakhir
Tapi belum sempat pelupuk matanya terkatup rapat, ia di kejutkan suara gaduh di belakangnya.
Kolis segara bangkit dan memalingkan wajah. Menatap ke arah sumber suara gaduh yang berasal dari segerombolan orang tengah memanggul keranda mayat.
#tumbalterakhir
Terlihat aneh bagi Kolis saat itu, di mana matanya tak menangkap sebujur tubuh pun di atas keranda yang hanya tertutupi bambu melingkar berjarak sedikit lebar.
Keanehan semakin jelas, saat gerombolan itu semakin mendekat ke arahnya dan hanya berjarak tinggal beberapa meter.
Kolis melihat para pemikul keranda dan para pengiring yang memegang beberapa obor tak lebih dari sepuluh orang, berwajah pucat pasi tanpa alis, memakai kain sewek dengan kapas putih menutup lubang hidung dan telinga, serta menebar aroma bunga bercampur pandan menyengat.
Kolis akhirnya tersadar jika gerombolan itu bukanlah manusia. Ia pun segera mundur beberapa langkah sembari terus mengamati.
Kini iring-iringan pemikul keranda berjalan tepat di depannya. Membuat dada Kolis berdebar kencang seirama derap langkah para pemikul keranda.
Tubuh Kolis semakin dingin, kaku, takkala dengan jelas mendengar suara serentak mereka satu kalimat" Jer Pati ... Jer pati ... Jer Pati...."
Namun di luar dugaan, mereka mengabaikan dirinya dan hanya melewati tanpa peduli akan kehadirannya.
#tumbalterakhir
Kolis akhirnya bisa menguasai dirinya dari rasa takut, setelah iring-iringan itu menghilang di balik kegelapan tanpa tau kemana tujuan mereka. Meski gema kalimat "Jer pati" yang tak ia mengerti maknanya, masih terdengar sayup menggema.
#tumbalterakhir
Cepat-cepat Kolis bergegas menyudahi istirahatnya. Memilih jalan menyimpangi arah yang di tuju iringan para pemikul keranda.
Tak berapa lama, atau sekitar tiga puluhan meter Kolis berjalan, telingannya mendengar gemercik air yang deras.
#tumbalterakhir
Membuatnya mempercepat langkah dengan penuh harap. Akan tetapi, ketika dirinya terasa begitu dekat dengan suara gemercik air yang terdengar semakin jelas, Kolis mendadak menghentikan langkahnya. Ia terdiam, tertegun seperti ragu untuk meneruskan langkah yang harus melewati -
rimbunan pohon pandan setinggi lutut untuk bisa sampai pada mata air.
Seluas mata Kolis memandang dari pantulan cahaya obor di tangannya, tak sampai matanya melihat sungai yang terdengar begitu dekat. Menandakan jika rimbunan pohon pandan di depannya luas.
Tak putus asa, Kolis pun berjalan mengitari, mencoba mencari celah yang bisa dirinya lewati. Sampai pada akhirnya ia menemukan sebuah gang terapit dua buah batu besar, seperti sebuah tanda sebagai pintu masuk.
Sejenak Kolis berpikir, menimbang-nimbang antara memasukinya,
atau mencari jalan lain. Bukan tanpa sebab hal itu ia lakukan, di karenakan dirinya merasakan hawa aneh yang ada di depan jalan selebar dua depa itu.
Tetapi tak lama Kolis memilih memasukinya. Melangkah perlahan, menjejak masuk ke dalam dengan perasaan was-was.
Lembab dan sangat gelap, suasana tempat yang Kolis lewati layaknya sebuah Gua. Tak ada hembusan angin atau suara serangga malam seperti suasana sebelumnya. Hening dan begitu mencekam di rasa Kolis saat ia semakin masuk ke dalam.
#tumbalterakhir
Akhirnya secercah kelegaan terpancar di wajah Kolis, manakala gemericik air deras berada tak jauh di depannya. Buru-buru ia menuangkan gelas bambu di antara sela bebatuan kecil, mengisinya hingga penuh dengan air jernih nan sejuk.
#tumbalterakhir
Selesai memasukan air dari gelas bambu ke dalam bejana, Kolis bangkit dan berniat segera meninggalkan sungai sedikit lebih besar dari dua tempat sebelumnya. Namun baru saja ia berdiri dan membalikan badan, Kolis terperanjat.
#tumbalterakhir
Tempat itu, di mana dirinya pertama lihat adalah rerimbunan lebat pohon pandan yang lembab dan hening, kini berubah ramai layaknya sebuah perkampungan. Di mana matanya melihat lalu lalang aktifitas puluhan orang berpakaian sedikit aneh.
#tumbalterakhir
Kolis sadar dan sangat tau, jika itu bukanlah alam nyata atau alamnya manusia. Tetapi jelas itu adalah perkampungan para penunggu di tempat itu.
"Koe golek opo nang kene, Le?"(Kamu mencari apa di sini, Nak?)
Satu sapaan lembut dari belakang seketika menghentak lamunan Kolis.
Perlahan ia pun menoleh, memapasi tatapan sepasang mata dari sesosok wanita berwajah ayu.
"Sepurone, aku rene njalok banyu arep tak go tombo."(Mohon maat, Saya ke sini minta air untuk obat.) jawab Kolis gugup.
#tumbalterakhir
"Banyu kui, banyu biasa. Nek gelem tak kei obat seng luweh apik ketimbang banyu kui."(Air itu, air biasa. Kalau mau Saya beri obat yang lebih bagus dari pada air itu.) ucap sosok wanita ayu sembari mengulas senyum tipis dari sudut bibirnya.
#tumbalterakhir
Kolis terdiam, perang batin akhirnya terjadi dalam dirinya antara percaya dan tidak.
"Ojo wedi, aku ora ngapusi. Penting Koe manut aku."(Jangan takut, Saya tidak berbohong. Penting Kamu nurut Saya.) ujar kembali sosok itu seraya mengusap pelan pundak Kolis.
Hal itu semakin membuat batin Kolis berkecamuk. Apalagi saat matanya kembali bersitatap, jiwa Kolis terguncang. Mengabaikan asal mula tempat itu dan harum aroma pandan yang menebar dari tubuh sosok wanita di depannya.
Hampir saja Kolis terjerat dan melupakan tujuannya.
Namun sebelum dirinya mengikuti tarikan tangan wanita bertapi kain jarit batik, satu bisikan tegas menusuk gendang telinganya.
"Ojo mbok peloni! Iku dudu menungso!"(Jangan Kamu ikuti! itu bukan manusia!)
Seketika Kolis menarik tangannya dan mundur menjauh dari sosok wanita itu.
Dan tepat setelah tangannya terlepas, gemuruh angin menghembus kencang mengiringi lenyapnya keriuhan tempat itu.
Kini, Kolis kembali menyaksikan tempatnya berdiri seperti pertama masuk, rerimbunan lebat pohon pandan. #tumbalterakhir
Akan tetapi, bukan itu yang membuatnya ketakutan, melainkan sosok wanita itu bukan lagi berwajah ayu, melainkan berwajah hancur penuh luka dengan bola mata putih rata menonjol ke depan seperti ingin terlepas....
#tumbalterakhir
KEMATIAN MBAH SANIR
Tak2 ingin terlalu lama berurusan dengan sosok wanita berwajah hancur, Kolis mundur dan berlari menjauh dari rimbunan pohon pandan.
Terus dan terus berlari tanpa memperdulikan ngilu di kaki, Kolis menerjang pesisir pantai berpasir.
Menjadikan kibasan gelombang api obor tak terarah hingga ia tersungkur tepat di bawah pohon rindang yang hanya terlihat seperti gumpalan awan hitam.
Udara dingin dari hembusan angin pantai,
tak mampu mengeringkan keringat yang menempel di baju berbalut jaket bludru yang di kenakan Kolis. Nafasnya tersengal, degup jantungnya seolah terlepas, membayangkan kuku-kuku tajam sosok wanita yang baru saja membuatnya kalang kabut.
Hampir saja dirinya terpedaya oleh rayuannya.
Tentu saja jika hal itu terjadi maka sia-sialah usahanya yang telah sampai di tengah jalan.
Setelah beberapa menit mengatur nafas, Kolis kembali bangkit meneruskan perjalanan.
Tak perduli lagi akan bahaya yang bakal ia hadapi di depannya, sebab dari usahanya.
Selempangan kabut-kabut tipis mulai bertebaran melayang membenguk bayang-bayang. Menandakan jika malam kian larut, tetapi tetap tak membuat niat dan tekat Kolis surut. Ia terus melangkah dan melangkah menyusuri kegelapan pesisir pantai demi sesuatu yang sangat berharga baginya.
Tibalah Kolis di tempat ke empat. Kali ini, tak ada gangguan apapun. Begitu juga di tempat kelima dan ke enam yang letaknya berdekatan, dirinya tak mendapat gangguan dari mahluk apapun.
Hal itu semakin membuat yakin akan keberhasilan usahanya sehingga dengan semangat menggebu,
Kolis mencari tempat terakhir, tempat ke tujuh.
Rasa lelah, ngilu, serta kejiwaan yang telah sampai di titik terendah dari keberaniannya, hampir terbayarkan kala satu kilatan air memantul tersorot obor serasa berada di depannya.
#tumbalterakhir
Namun saat kakinya mendekat sampai berpuluh-puluh langkah, Kolis tak juga bisa sampai dan seperti malah menjauh. Hal ini seketika menggoyahkan dan membuat bingung Kolis.
#tumbalterakhir
Ia berdiri mematung, menatapi kilatan air yang di pandang begitu dekat tetapi terasa sangat jauh jika di dekati. Kegusaran seketika menghantui diri Kolis. Mundur pun ia tak ingin, untuk maju ia tak tau apa yang ada di depannya.
#tumbalterakhir
Di tengah-tengah keraguan itu, Kolis tersentak kaget, merasakan sentuhan seperti tepukan pelan pd pundaknya.
Seraut wajah berkumis tipis dengan balutan kulit di penuhi kerutan, terpampang jelas dari sosok lelaki memakai setelan baju hitam dombor telah berdiri di belakang Kolis.
"Golek i opo Koe, Le?"(Mencari apa Kamu, Nak?) sapa lelaki dengan raut tegas.
Bingung, takut, membaur di benak Kolis, membuatnya hanya bisa menatap sosok lelaki di depannya tanpa berucap.
#tumbalterakhir
"Muliho kono, Le. Percuma tok kejaro gak bakal iso mbok candak."(Pulanglah sana, Nak. Percuma di kejar pun tidak bisa Kamu dapatkan.) ujar kembali lelaki tua seraya menatap lurus ke depan.
Kolis mengerti dengan maksud ucapan lelaki di hadapannya.
Namun lidahnya masih kaku untuk menyahut. Hingga sang lelaki tua mendekat, menepuk pelan pundaknya, aroma kasturi menebar dari tubuhnya.
"Aku ngerti perjuanganmu. Tapi sio-sio nek arep ngejar Tlogo Geges iku. Muliho mumpung durung do ngrubung awakmu."
(Saya tau perjuanganmu. Tapi sia-sia kalau mau mengejar Tlogo Geges itu. Pulanglah sebelum mereka mengerubungi Dirimu.)
"Ora, Mbah. Aku ora arep muleh sak durunge oleh opo seng tak golek i."
(Tidak, Mbah. Saya tidak akan pulang sebelum mendapat apa yang saya cari.) sahut Kolis memberanikan diri. Membuat lelaki tua berjenggot terdiam.
Di tatapnya dalam-dalam wajah Kolis. Seperti tengah mendalami sesuatu.
Sampai lima tarikan nafas, lelaki itu mundur hendak meninggalkan Kolis.
"Sampean sopo, Mbah?"(Kamu siapa, Mbah?) terhenyak sebentar lelaki tua yang sudah satu langkah berjalan. Kemudian ia pun membalikan badan mendengar pertanyaan dari Kolis.
#tumbalterakhir
"Aku dudu sopo-sopo, Le. Neng aku ngerti opo seng tok golek i. Abot kui, masio awakmu oleh, tapi bakal ono bayarane!"(Saya bukan siapa-siapa, Nak. Tapi Saya tau apa yang Kamu cari. Berat itu, walaupun Kamu mendapatkannya, tapi akan ada bayarannya.)
"Bayaran opo, Mbah?"(Bayaran apa, Mbah?)
"Nyowo!"(Nyawa!)
Meremang tubuh Kolis mendengar penjelasan lelaki itu. Ia tak menyangka jika apa yang di perintahkan Mbah Sanir merupakan salah satu pertukaran nyawa.
#tumbalterakhir
"Opo gak di kandani karo seng ngongkon awakmu, yen Banyu Mblulu Pitong Puseran, rancak nyowo? Awakmu kui yo ngerti sejatine kanggo ngopo bakale banyu kui?"
(Apa tidak di jelaskan sama yang menyuruh Kamu, bahwa Banyu Mblulu Pitong Puseran, memakan nyawa? Kamu apa juga tau aslinya buat apa air itu?)
Sebentar Kolis menunduk, sebelum memilih menggelengkan pelan kepalanya.
#tumbalterakhir
Dirinya benar-benar bingung dengan penjelasan sang lelaki yang tak ia dapatkan dari Mbah Sanir.
"Aku ora arep ngalang-ngalangi awakmu. Nek pancen arep tok tutuqno, iku, mlakuo nengen terus. Mengko bakal ketemu puseran banyu terakhir seng mbok golek i.
Neng pesenku, sak marine oleh banyu kepitu kui, ojo pisan-pisan awakmu ningok memburi. Sampek tok langgar, gak bakal iso bali awakmu!"(Aku tidak akan menghalang-halangi Kamu. Kalau memang mau Kamu selesaikan, itu, jalanlah ke kanan terus.
Nanti akan ketemu pusaran air terakhir yang Kamu cari. Tapi pesanku, setelah selesai mendapat air ketujuh, jangan sekali-kali Kamu noleh kebelakang. Sampai Kamu langgar, tak akan bisa pulang Kamu!)
Setelah berucap memberitahu Kolis, lelaki itu membalikan tubuhnya dan berlalu. Meninggalkan perasaan gamang pada diri Kolis.
Sebentar Kolis menoleh ke arah yang di tunjukan oleh lelaki itu.
Tak lama, dirinya terkejut saat akan bertanya pada sosok lelaki yang baru beberapa detik berlalu, tetapi telah lenyap. Hanya tebaran kabut-kabut putih mulai menebal terlihat oleh Kolis, serta aroma kasturi yang masih pekat tercium.
#tumbalterakhir
Menimbang sebentar, Kolis akhirnya memilih arah yang di tunjukan lelaki tak kenal nama itu. Ia berjalan menuju selatan, arah kanan dari tempatnya berdiri, yang berarti juga arah tempatnya pulang hanya sedikit memutar.
#tumbalterakhir
Sekira sepuluh menit berjalan, Kolis merasai hawa berbeda. Di awali dengan liringan angin lembut menyapu tengkuk belakang lehernya, seperti tiupan dari beberapa bibir.
#tumbalterakhir
Semakin melangkah jauh, tiupan itu semakin kencang. Membuat bulu-bulu halus di tubuh Kolis berdiri meremang, antara takut dan dingin.
#tumbalterakhir
Tak berapa lama, Kolis akhirnya mendengar deburan air bersamaan suara tawa ramai dari arah sungai.
Keraguan sebentar menyusup diri Kolis. Setelah dirinya dapat melihat pusaran air sedikit deras penuh bebatuan hitam.
#tumbalterakhir
Namun bukanlah itu yang menjadikan Kolis ragu, tetapi beberapa sosok wanita berkemben yang sedang bersuka ria bermain di sekitaran pusaran.
Tawa riuh dari para wanita berkulit putih dan berambut panjang itu seketika terhenti saat menyadari kehadiran Kolis.
#tumbalterakhir
Serentak mereka memalingkan wajah dan menatap tajam pada Kolis.
Wajah-wajah ayu mereka langsung berubah, melihat Kolis membawa obor dan sebuah bejana seolah tau apa yang akan di lakukan. Membuat mereka menatap sinis atau tepatnya menyeringai tanda ketidaksenangan.
Sampai beberapa saat lamanya, mereka hanya diam. Tak melakukan apapun seperti yang di bayangkan Kolis. Malah sesaat kemudian, beberapa sosok wanita itu menyingkir dan berlalu dari tempat itu.
#tumbalterakhir
Kesempatan itu tak di sia-siakan Kolis untuk segara mengambil air ke tujuh, meski dalam hatinya bertanya-tanya tentang kepergian sosok-sosok wanita itu yang seperti ketakutan.
Amis, tiba-tiba membaui penciuman Kolis kala dirinya membungkuk akan menggayungkan gelas bambunya.
Tetapi hal itu tak mengurungkan niatnya. Kolis tetap memenuhi gelas di tangan kanannya walaupun bau amis semakin tajam.
Nafas kelegaan beberapa kali terhempas dari dada Kolis yang telah selesai dan berhasil mendapatkan air dari tujuh aliran sungai.
#tumbalterakhir
Kolis segera membalikan badan dan bergegas melangkah. Tapi kembali satu hal tiba-tiba saja mengejutkan dirinya, menahan kakinya, oleh sebab tiap satu langkah kakinya berayun, satu jeritan menyayat menggema di telinganya.
#tumbalterakhir
Kejadian itu berlangsung sampai beberapa langkah, sampai pada akhirnya Kolis berhenti.
Sunyi, hening. Tak ada jeritan, tak ada suara tawa, tetapi ketika kakinya di ayunkan, jeritan itu kembali menyayat.
Ciut nyali Kolis. Jiwanya terguncang hebat saat mengenali suara jeritan itu.
Tetapi mau tak mau dirinya tetap harus segera kembali agar bisa mengakhiri semuanya.
Bukan hal mudah bagi Kolis, walau ia telah berhasil. Di samping harus menekan batinnya agar kuat mendengar jeritan menyayat dari suara seorang wanita,
dirinya juga harus bertahan dengan suara-suara memanggil dari belakangnya.
Setelah ratusan meter ia meninggalkan sungai terakhir, jeritan itu menghilang, tetapi suara tawa, memanggil, semakin kencang di belakang.
Sampai pada ketika suara itu di iringi derap-derap langkah seperti mengejar di belakang, Kolis berhenti sejenak. Ingin ia menoleh atau memalingkan wajah, untuk memastikan apa sebenarnya yang berada di belakang. Namun belum sempat,
satu ngiangan pesan dari sosok lelaki yang telah membantunya, berkelebat di kepala. Membuat Kolis harus menekan kuat-kuat keingintahuannya.
"Lis ... Lis, entenono Bapak. Iki Ibumu yo pingin melu, Lis...."(Lis ... Lis, tunggu Bapak. Ini Ibumu juga mau ikut, Lis....)
Sama dan sangat persis suara di belakang Kolis, milik Bapaknya. Membuatnya lagi-lagi goyah dan terhenti.
Sejenak tertunduk dan berpikir Kolis. Menimbang keraguan yang menyeretnya pada ke khawatiran, bila itu benar-benar suara orang tuanya.
#tumbalterakhir
Kolis sempat bergumam memanggil Bapaknya lirih tanpa menoleh. Ingin memastikan dengan apa yang di khawatirkannya. Namun, sampai tiga kali panggilan, suara dari Mbah Soko hilang, berganti tawa ngikik suara wanita.
#tumbalterakhir
Merasa yakin di belakangnya bukanlah sosok orang tuanya, Kolis berlari. Menembus kabut-kabut tipis, melawan hembusan angin yang hampir memadamkan cahaya obor di tangan kanannya.
#tumbalterakhir
Tubuh Kolis akhirnya terlunglai lemah dan terduduk sejenak setelah melihat cahaya obor dari rumah milik Pamannya. Namun sedikit aneh, tak seperti biasanya Kolis melihat di halaman depan terpasang beberapa lampu dan obor berderet dan juga terlihat banyak orang-orang lalu lalang -
yang mungkin para tetangga seperti tengah sibuk menyiapkan sesuatu.
Kolis sebentar tertegun, antara percaya bila itu benar2 rumah Pamannya, atau masih bagian dari tipu daya para mahluk halus yang ingin mengganggunya.
Memikirkan hal itu matang-matang, Kolis kembali melangkah.
Mendekat ke arah rumah milik Pamannya yang di yakini batinnya.
Sesampainya di halaman, ia di sambut wajah-wajah heran dari tetangga-tetangga yang berada di tempat itu. Hal itu benar-benar meyakinkan Kolis bila kini dirinya telah berada di rumah Uyut Latip.
#tumbalterakhir
"Enek opo iki, Mbah?"(Ada apa ini, Mbah?)
Ucap Kolis bertanya pada seorang lelaki paling tua di antara tetangga lainnya.
Sebentar lelaki tua itu menatap Kolis penuh rasa heran. Sebelum ia beralih menatap tiga lelaki lain yang berada di sampingnya.
#tumbalterakhir
"La Koe seko ngendi, Le? kok subuh-subuh ngene gek tes njedul?"(La Kamu dari mana, Le? kok Subuh-subuh begini baru saja muncul?)
Sedikit tersentak Kolis mendengar jika saat itu waktu telah masuk Subuh.
#tumbalterakhir
Yang berarti dirinya pergi mencari tujuh mata air, menghabiskan waktu hampir sembilan jam.
"Le, kono gek mlebu."(Le, sana cepat masuk.)
"Ohh, njeh, Mbah."(Ohh, iya, Mbah)
Sahut Kolis tergagap dari lamunannya.
#tumbalterakhir
Bergegas Kolis melangkah meninggalkan beberapa tetangga yang duduk di bangku panjang terbuat dari bambu, yang masih terheran melihat dirinya. Begitu juga diri Kolis, masih di balut penasaran dan perasaan tak nyaman dengan keadaan rumah Uyut Latip.
#tumbalterakhir
Kolis memelankan langkahnya saat menaiki tangga depan. Terus berjalan dengan degupan jantung semakin tak menentu.
Setibanya di pintu, seketika tubuh Kolis dingin, sedingin tatapannya pada sebujur tubuh tertutup kain jarit batik dari kaki sampai ujung rambut.
#tumbalterakhir
Kolis tak melihat wajahnya, tak juga belum jelas siapa yang terbaring tanpa nafas. Namun dari postur tubuhnya, Kolis dapat memastikan jika raga tanpa nyawa itu adalah Mbah Sanir.
"Lis, Mlebu!"
#tumbalterakhir
Kolis memalingkan wajahnya kala satu suara berat memanggil dari ruang tengah arah ke dapur. Ia mengenal suara itu, suara yang dalam dua hari ini tak terdengar, Uyut Latip.
Kolis cepat-cepat menghambur ke ruang tengah, di mana sosok Pamannya telah duduk bersila menunggunya.
Uluran tangan kanannya di sambut wajah sendu sang Paman. Mencerminkan kedukaan dan beban terpendam seperti teramat berat.
"Lek, Aku...."(Paman, Aku....) ucap Kolis namun terputus.
"Lelek wes ngerti. Saiki dokok en banyu kui nang kamar disek.
Melu ngurusi zenajahe Mbah Sanir. Urusan liane mengko di rembuk."(Paman sudah tau. Sekarang simpan air itu di kamar dulu. Ikut urus zenajah Mbah Sanir. Urusan lainnya nanti di bicarakan.) ujar Uyut Latip memotong ucapan Kolis.
#tumbalterakhir
Tak menunggu perintah dua kali, Kolis segera masuk ke dalam kamar dan sebentar kemudian keluar dengan pakaian berbeda. Ia mengikuti Uyut Latip dari belakang, menuju ruang tamu, di mana tubuh Mbah Sanir terbaring membujur kaku.
#tumbalterakhir
"Iki ora iso nunggu suwi-suwi. Kudu di langsungke saiki."(Ini tidak bisa nunggu lama-lama. Harus di langsungkan sekarang.) ujar Uyut Latip pada beberapa orang yang baru selesai menata wajah membiru Mbah Sanir dengan beberapa kapas dan
mengikatkan kain putih dari dagu hingga ujung kepala.
Campur aduk perasaan Kolis saat itu. Banyak hal yang ingin ia tanyakan, tetapi mengingat waktu yang belum tepat, hanya kesedihan mendalam terpancar dari dua bola matanya.
#tumbalterakhir
"Uyut, le nggali wes rampung, opo arep di angkati sakniki?"(Uyut, yang menggali sudah selesai, apa mau di berangkatkan sekarang?") ucap seorang lelaki 40an dari arah pintu yang di tujukan pada Uyut Latip.
#tumbalterakhir
"Iyo, ki yo wes rampung. Celuk en seng liyane, kon rene karo gowo bandusone."(Iya, ini juga sudah selesai. Panggil yang lainnya suruh ke sini, sekaliyan bawa kerandanya) sahut Uyut Latip pada salah satu tetangga, yang baru saja memberi kabar.
Hari masih terlihat sedikit gelap, hawa dingin juga masih terasa, tetapi pemakaman Mbah Sanir memang seperti tak bisa di tunda. Entah karena apa sebabnya, tak ada yang tau pastinya, selain Uyut Latip dan tetua Kampung lainnya.
#tumbalterakhir
Sesampainya di tanah pemakaman, beberapa orang yang telah selesai membuat rumah abadi Mbah Sanir, beringsut mundur, manakala jasad Mbah Sanir di turunkan oleh beberapa orang, dari keranda bambu buatan warga.
Ada satu kejadian yang membuat para pelayat terkesiap dan takut.
Saat akan meletakkan jasad Mbah Sanir, tiba-tiba saja dari mulut, hidung dan telinganya menyembur darah merah kehitaman membuat terlepasnya kapas-kapas putih penutup lobang indra itu.
Hal itu membuat dua orang yang berada di dalam lobang, tetiba saja tersentak dan melompat naik.
dari raut wajah keduanya, tak tertutupi rasa takut yang hebat dengan kejadian yang baru pertama mereka alami.
Suasana sebentar gaduh, para pelayat lain yang tak lebih dari lima belas orang, ikut begidik ngeri setelah mengetahui apa yang terjadi pada jasad Mbah Sanir.
"Ora opo-opo! tutupen meneh nganggo kapas terus tahan go lemah kui."(Tidak apa-apa! tutupi lagi dengan kapas terus tahan pakai tanah itu.) seru Uyut Latip, melihat kepanikan para pelayat.
Saat itu, tak ada yang berani masuk ke dalam liang kubur.
#tumbalterakhir
Mereka hanya saling tatap satu sama lain, seolah menawarkan.
Sepersekian detik tak ada yang maju, Kolis akhirnya bergegas turun ke dalam liang berukuran tak lebih dua meter dengan jasad Mbah Sanir sebagai penghuninya.
#tumbalterakhir
Pelan tangan Kolis memasang satu persatu kapas yang sudah berubah merah kehitaman akibat tersembur darah, pada indra wajah Mbah Sanir. Tak di pungkiri, saat itu memang benar-benar berbeda hawa yang di rasakan Kolis.
Apalagi ketika tangannya meletakkan tanah pada kapas sebagai penyangga agar tak lagi lepas, Kolis merasa jika ada sesuatu seperti menarik jari-jarinya.
Setelah di rasa cukup, Kolis memasang beberapa keping papan guna menutupi tubuh Mbah Sanir yang -
telah terbungkus kain putih bernoda darah. Setelahnya, Kolis bergegas melompat naik, dan segera di susul beberapa cangkul yang menarik tanah menimbun kembali lubang berisi jasad Mbah Sanir.
Sebuah batu menjadi penanda rumah baru milik Mbah Sanir.
Taburan aneka bunga dan lantunan Doa yang selesai di baca Uyut Latip, menjadi acara terakhir para warga mengantar Mbah Sanir beristirahat selamanya. Tak ada isak tangis, tak ada ucapan selamat tinggal untuk Mbah Sanir, seperti pada umumnya di kala seseorang meninggal.
Hal itu di sebabkan oleh Mbah Sanir yang tak mempunyai satupun saudara atau kerabat di kampung itu. Bahkan, banyak warga yang hanya tau nama Mbah Sanir, tanpa mengetahui asal usulnya.
Namun dari sekian banyak orang yang langsung memilih pulang, Kolislah yang belum beranjak.
Ia kemudian duduk di sebelah gundukan tanah dengan tertunduk. Raut penyesalan tiba-tiba muncul pada wajahnya. Sebab dirinya ingat betul kalimat-kalimat terakhir Mbah Sanir, sebelum menyuruhnya untuk berjuang mencari tujuh air puseran.
#tumbalterakhir
BAGIAN 4 - SELESAI-

Bagi temen-temen yang mau BACA DULUAN BAGIAN 5 bisa langsung aja menuju link KARYAKARSA, ya.

ini link nya
karyakarsa.com/KALONG/warisan…

terimakasih untuk temen-temen semua yang udah dukung saya, semoga rejeki temen-temen dilipat gandakan sama Allah SWT. amin.
-sinopsis-
BAGIAN 5
( 80 halaman )

Di bagian ini, Teman-teman akan di ajak flashback (1970-1980), dimana pertama kali Rahmi melakukan perjanjian ghaib atau pernikahan ghaib oleh sosok yang mendiami alas angker.

karyakarsa.com/KALONG/warisan…
Bagaimana kisah Rahmi dan Broto? Silahkan baca sendiri, rasakan sensasi dendamnya Rahmi yang begitu kelam dan hitam.

Jangan lupa berdoa sebelum membaca.
karyakarsa.com/KALONG/warisan…
WARISAN
TUMBAL TERAKHIR
BAGIAN 5

"RAHMI & BROTO"
@bacahorror #bacahorror @IDN_Horor #threadhorror Image
Dimulai nanti malam ya 🙏
Like dan reetwet dulu biar rame.
"Awakmu gak salah, seng salah ki aku, Lis."(Kamu tidak salah, yang salah itu Saya, Lis.)
"Aku gak ngerti nek le ku intok banyu jebule ngorbanke Mbah Sanir, Lek. Ngerti ngunu, aku gak mangkat."
#tumbalterakhir
(Saya tidak tau kalau sebab Saya mendapat Air ternyata mengorbankan Mbah Sanir, Lek. Tau begini Saya tidak berangkat.) ungkap Kolis penuh sesal.
#tumbalterakhir
"Iki memang dadi jalukane Mbah Sanir. Dadi dewe seng ijek urep, khususe awakmu, ojo di siak-siakne le ngorbanke nyowo kanggo nglereni polahe Rahmi sak anak turune!"(Ini memang jadi permintaan Mbah Sanir.
Jadi kita yang masih hidup, khususnya Kamu, jangan di sia-siakan pengorbanan nyawa untuk menghentikan sepak terjangnya Rahmi dan seluruh keturunannya!)
Sedikit geram suara dari Uyut Latip.
#tumbalterakhir
Matanya menatap ke langit, membayangkan bagaimana semua ini terjadi akibat dari persekutuan Murti Rahmi.
"Saiki seng penting jogo Adikmu. Tanggal Telulas wes cedak."(Sekarang yang terpenting jaga Adikmu. Tanggal Tiga Belas sudah dekat.) sambung Uyut Latip wajahnya berubah tegang.
"Opo gunone banyu seng tak jikok seko pitong gon, Lek? Mbah Sanir seng akon wes ora ono."(Apa gunanya Air yang saya ambil dari tujuh tempat, Lek? Mbah Sanir yang menyuruh sudah tidak ada.) sahut Kolis dengan pertanyaan yang mengganjal pikirannya.
#tumbalterakhir
"Dewe muleh sek, gak apik crito nang kuburane seng bersangkutan."(Kita pulang dulu, tidak baik cerita di makamnya yang bersangkutan.) ajak Uyut Latip sembari melangkah dan di ikuti Kolis dari belakang.
Hari itu langit seakan ikut berduka.
Mendung-mendung tipis menyebar menenggelamkan paparan menyengat Matahari yang seharusnya sudah bercokol.
Di bawah kesejukan alam, dua lelaki berjalan beiringan meninggalkan tanah makam umum.
#tumbalterakhir
Meninggalkan jasad Mbah Sanir yang sudah terpendam pulang ke asal, tanpa teman, kerabat, maupun tetangga.
Sesampainya di halaman, Uyut Latip dan Kolis di sambut seorang wanita setengah baya dengan berlari kecil keluar dari dalam rumah.
#tumbalterakhir
Wajah wanita itu tampak panik dan tegang, nafasnya tak teratur saat menghampiri Uyut Latip.
"Enek opo, Mi? kok keweden ngunu!?"(Ada apa, Min? seperti ketakutan begitu!?) tanya Uyut Latip.
"Anu, Yut! iku, ponak ane sampeyan ngamuk!"
(Anu, Yut! itu, keponakan Sampeyan marah!) jawab wanita tetangga Uyut Latip dengan gugup.
Tak membuang waktu, Kolis yg mengerti dengan ucapan wanita itu langsung berlari mendahului Uyut Latip. Ia tau jika yang di maksud adalah Komala. Namun belum tau apa yang sudah di lakukannya.
Beberapa jeritan terdengar oleh Kolis saat tiba di pintu depan. Segera ia bergegas ke dapur, di mana jerit ketakutan berasal.
Sesampainya Kolis di dapur, suasana seketika hening. Tak ada jeritan, tak ada teriakan.
#tumbalterakhir
Yang ada, dua sosok wanita tengah berpelukan di sudut dengan wajah pucat terbasahi keringat.
Tetapi saat mata Kolis menatap di samping pintu, ia pun terperanjat. di mana matanya menangkap hal aneh pada seorang wanita yang tak lain adalah
Komala tengah duduk bersimpuh menghadap sebuah tampir anyaman bambu berisi berbagai macam aneka bunga sisa dari acara pemakaman Mbah Sanir.
"Nduk, Kom! awakmu ngopo kui!?"(Nduk, Kom! Kamu ngapain itu!?) seru Kolis melihat Komala yang duduk membelakanginya tengah meraup bunga.
Sebentar Komala memalingkan wajah. Menatap sinis dengan seringaian, menjadi jawaban atas seruan Kolis.
"Jarke disek, Lis. Ojo tok parani."(Biarkan dulu, Lis. Jangan Kamu dekati.)
#tumbalterakhir
Kolis terdiam mengurungkan niatnya untuk mendekati Komala, setelah Uyut Latip yang baru datang mencegahnya. Ia hanya bisa menatapi dengan perasaan ngilu, manakala Komala menyuapkan bunga-bunga khusus untuk acara kematian ke dalam mulutnya.
#tumbalterakhir
Suap demi suap bunga-bunga itu masuk mulut dan perut Komala. Tak ada rasa jijik sama sekali, bahkan sebegitu lahapnya hingga tak bersisa selembarpun, aneka macam bunga di atas tampir.
Selesai memakan habis, Komala bangkit,
berjalan lenggak lenggok bak seorang sinden menuju ke dalam kamarnya kembali. Satu senyum sinis kembali mengembang saat ia tepat bersampingan dengan Kolis dan Uyut Latip yang berdiri di ambang pintu.
Anggukan dan hempasan nafas panjang, menghantar kepergian dua wanita tetangganya yang sedari tadi ketakutan. Mereka yang seharusnya membantu Uyut Latip membereskan sisa-sisa kesibukan pemberangkatan jenazah Mbah Sanir, harus pulang lebih cepat di karenakan ulah Komala.
Kolis sendiri terlihat lesu. Tak hanya kesedihan, ia juga merasakan kelelahan setelah semalaman berkutat dengan kengerian. Namun dirinya enggan untuk beristirahat, meski Uyut Latip beberapa kali menyuruhnya.
#tumbalterakhir
Ia lebih memilih membantu Pamannya, merampungkan sisa pekerjaan yang di tinggalkan tetangganya.
"Lek, terus piye banyu seng tak jikok mau bengi?" tanya Kolis sembari duduk di sebelah Pamannya, setelah semua rapi.
#tumbalterakhir
"Banyu kui durung saiki le nggunakne. Mengko pas nang tanggal telulas, pas rituale Ratri nyambung tetalen."(Air itu belum sekarang menggunakannya. Nanti, saat tanggal tiga belas, saat ritual Ratri menyambung ikatan perjanjian.)jawab Uyut Latip.
#tumbalterakhir
"Maksudte piye to, Lek? aku malah bingung."(Maksudnya gimana sih, Lek. Saya malah bingung.) ujar Kolis belum mengerti.
"Mbah Sanir kui asline wes ngerti nek awakmu iso intok banyu pitong sumber, dewekne bakal dadi ijole.
Banyu kui salah sijine syarat kanggo mbatalke rituale Ratri seng arep ndadekne Jasmoro karo Komala peneruse. Mulo pinter Jasmoro nandur janine disek nang rahime Nduk Kom. Mbah Sanir karo Bapakmu podo. Podo-podo ngorbanke nyowo kanggo ngancurke Murti Rahmi."
(Mbah Sanir itu aslinya sudah tau jika kamu mendapatkan air dari tujuh sumber, dirinya akan menjadi penebusnya. Air itu salah satunya syarat untuk membatalkan ritualnya Ratri yang akan menjadikan Jasmoro dan Komala sebagai penerusnya.
Maka pintarnya Jasmoro menanamkan janinnya terlebih dahulu di rahim Nduk Kom. Mbah Sanir dan Bapakmu sama. Sama-sama mengorbankan nyawa untuk bisa menghancurkan Murti Rahmi.) ucap Uyut Latip menjelaskan.
"Nek hubungane Mbah Sanir karo keluargane Murti Rahmi, nopo, Lek?"
(Kalau hubungan Mbah Sanir dengan keluarga Murti Rahmi, apa Lek?) tanya Kolis masih bingung.
"Asline cedak. Bahkan iseh ono gandeng geteh antarane Mbah Sanir karo Ratri."
(Aslinya dekat. Bahkan masih ada ikatan darah antara Mbah Sanir dengan Ratri.) jawab Uyut Latip.
"Kabeh iki di awali goro-goro warisan omah, antarane Rahmi karo kakange, Broto. Memang asal mulane seng serakah Broto. Omah prabon peninggalan wong tuone di hak i dewe. Seko kunu lah Rahmi dendam, sampek akhire muja Iblis alas Geong. Gak sitik nyowo seng dadi korbane,
mulai bojone dewe, keluargane Broto, lan wong liyo seng di kehendaki, termasuk wong tuoku, seng artine yo Mbahmu dewe. Mbah Sanir kui, keluarga terakhire Broto seng lolos seko Srenggine pati Rahmi."
(Semua ini di awali dari perkara warisan rumah, antara Rahmi dan kakaknya, Broto.
Memang asal mulanya Btoto lah yang serakah. Rumah Prabon peninggalan orang tuanya di hak i sendiri. Dari situlah Rahmi dendam, sampai akhirnya bersekutu dengan Iblis hutan geong. Tak sedikit nyawa yang jadi korbannya, mulai suaminya sendiri, keluarga Broto, -
dan orang lain yang di kehendaki, termasuk orang tuaku, yang artinya Kakek/Nenekmu sendiri. Sedangkan Mbah Sanir, Keluarga terakhirnya Broto yang lolos dari jerat kematian Rahmi.)
#tumbalterakhir
DENDAM RAHMI
( 1970-an )

"Tidak bisa! Aku akan tetap menjual Rumah ini!" Satu suara keras dengan di barengi gebrakan meja, membuat beberapa orang yang duduk di sekitarnya, terjingkat.
"Maaf, Pak Broto. Jangan buru-buru emosi! Kita musyawarahkan semua masalah ini dengan baik-baik dan secara kekeluargaan," sahut salah seorang lelaki setengah baya, berseragam dinas, yang duduk di hadapan laki-laki berkumis tebal, Pak Broto.
#tumbalterakhir
"Tetap saja, Pak Kades. Apapun hasil dari musyawarah ini, setuju tak setuju, mau atau tidak mau, Rumah ini akan saya jual." Broto, menjawab dengan sedikit menurunkan tensi suaranya.
"Jangan begitu, Pak Broto. Bagaimanapun juga, Rahmi adalah Adik kandungmu," sahut kembali, sosok lelaki berseragam yang di panggil Pak Kades.
"Tak apa, Pak Kades. Jika Kang Broto memang ingin menjual Rumah Prabon ini, Saya rela, Saya Ikhlas!" ujar seorang Wanita berhijab hitam, -
yang sedari datang hanya diam, sedikit ketus. Membuat suasana di ruang tamu, sesaat hening.
Satu tarikan nafas panjang dari sosok Pak Kades, berbenturan dengan dengusan sengit Broto, sebelum tanganya mengeluarkan sebuah Map dari tas hitamnya.
#tumbalterakhir
"Silahkan, Pak Broto dan Mbak Rahmi. Tanda tangan di sini." Perintah Pak Kades sembari menunjukan letak kolom, yang harus di tanda tangani.
"Saya harap, setelah ini tak ada lagi gugatan atau laporan sengketa dalam bentuk apapun!" sambung Pak Kades, setelah memasukan selembar -
kertas perjanjian yang sudah di tanda tangani Broto dan Rahmi, ke dalam map.
Senyum lebar penuh kemenangan, seketika menggema di ruangan itu. Broto berkali-kali memuji dua lelaki berseragam, sepeninggalan Rahmi.
#tumbalterakhir
"Pak Kades, Pak Bekel. Saya sangat berterima kasih atas bantuan Bapak berdua. Tanpa bantuan Bapak, aduh ... Saya pasti tak akan bisa mendapatkan Rumah itu," ucap Broto, yang di iringi gelak tawa.
#tumbalterakhir
"Sama-Sama Pak Broto. Sudah kewajiban Saya dan Pak Bekel, untuk membantu Pak Broto, " sahut Sasongko atau Sang Kades.
Sementara Pak Bekel, hanya menyunggingkan senyum penuh makna. Beberapa kali matanya terlihat mengerling, memberi satu isyarat yang di mengerti Sasongko.
"Apa Pak Broto, jadi mencalonkan diri sebagai anggota dewan?" tanya Sasongko, dengan wajah serius.
"Tentu ... Tentu, Pak Kades. Saya sudah mendapat restu dari salah satu Partai. Bahkan, ada satu Partai lagi yang siap mendukung Saya," sahut Broto, dengan semangat yang menggebu.
"Untuk itulah tujuan utama Saya, mendapatkan Rumah Prabon. Biasalah Pak Kades ... Tambahan modal...." sambung Broto, di barengi gelak tawa ceria.
"Yang penting Pak Broto, tidak lupa dengan janji-janjinya," ujar Sasongko dengan nada mengingatkan.
#tumbalterakhir
"Pasti akan Saya tepati! Pak Kades dan Pak Bekel, gak usah khawatir. Malah, Saya ingin nantinya Sampean berdua masuk dalam tim sukses Saya, setelah urusan penjualan Rumah selesai ... Bagaimana?" jawab Broto di barengi dengan sebuah penawaran.
#tumbalterakhir
Sejenak Sasongko dan Pak Bekel, saling pandang. Namun, sebentar kemudian, wajah keduanya nampak berbinar seraya menerima tawaran Broto dengan mantap....
#tumbalterakhir

*****
Di sisi lain, Rahmi. Yang baru saja sampai di rumahnya sendiri, terlihat gontai dan lesu, saat menghempaskan tubuhnya di sofa. Matanya memandang lurus ke depan dengan kilatan amarah terpancar.
#tumbalterakhir
Rasa nyeri dalam dadanya seketika menyeruak, manakala bayangan kejadian beberapa bulan, minggu dan baru saja, kembali menari-nari dalam pikiranya.
Sejenak wajah Rahmi berpaling, kala suara sepeda motor milik Suaminya, memasuki halaman depan, yang tak seberapa luas.
Rohmadi, Laki-Laki yang sudah mendampingi Rahmi selama 15 tahunan, dan sudah di karuniai dua orang Anak, tampak heran melihat wajah murung Istrinya.
Setelah mengucap salam yang di jawab lirih oleh Rahmi, Rohmadi menaruh tas cangklek hitam yang selalu menemaninya saat mengajar,-
dan bergegas kembali menemui Rahmi.
Di tatapnya lekat-lekat wajah Rahmi. Ada keraguan yang tiba-tiba muncul, saat Rohmadi ingin melontarkan kalimat pertanyaan yang sejak awal dirinya pulang, dan melihat wajah suram Istrinya, sudah bergelanyut di benak.
"Sudah selesai semuanya Mas. Hancur!" ucap Rahmi mendahului, tanpa menoleh ke arah suaminya.
Rohmadi terdiam, wajahnya menciut dengan kening berkerut.
"Maksudmu, Dek.?" sahut Rohmadi, bingung.

#tumbalterakhir
"Aku sudah menyerah! Aku sudah menyerahkan Rumah Prabon pada Kang Broto." Bergetar suara Rahmi menjawab, dan dengan wajah memerah.
Rohmadi tertegun, setelah mendengar penuturan Rahmi. Wajahnya menunduk, dengan mata menatap meja bertilam kain putih,
seakan tengah mencerna ucapan dari Istrinya.
"Ya sudah, Dek. Ikhlaskan saja," ucap Rohmadi pelan.
"Tak semudah itu Mas! Meskipun Aku sudah menandatangani surat perjanjian, tapi hatiku masih tidak terima," sahut Rahmi sengit bernada berat.
#tumbalterakhir
"Aku menandatangani surat itu, karena Aku capek! Setelah berbulan-bulan tanpa penyelesaian," sambung Rahmi kembali, masih dengan expresi memendam amarah.
"Untuk saat ini, sementara ini, Aku mengalah bukan kalah!" Kembali satu suara tegas Rahmi, sembari bangkit dan melangkah,
meninggalkan Rohmadi, yang masih duduk termangu.
Tarikan nafas panjang Rohmadi terdengar begitu berat. Dirinya hafal betul dengan sifat Istrinya. Bisa berbuat nekat bila tersentuh sesuatu yang membuatnya tersinggung, apalagi sampai sakit hati.
#tumbalterakhir
Raut wajah Rohmadi semakin mempias penuh kekhawatiran, saat Rahmi keluar dari kamar dan berlalu tanpa pamit serta tak berkata apapun. Rohmadi yakin, jika kepergian Rahmi kali ini, bukan hanya sekedar main atau belanja, tapi lebih kepada urusan sengketa WARISAN!

#tumbalterakhir
"Apa kamu sudah pikir mateng-mateng, Mi? Resikonya? Biayanya?" ucap seorang wanita berambut sebahu, yang baru saja di datangi Rahmi.
#tumbalterakhir
"Sudah, Sul. Aku sudah memikirkannya. Aku gak akan menyesal apapun yang terjadi, di kemudian hari!" sahut Rahmi, dengan suara geram penuh amarah.
Satu helaan nafas panjang dari lawan bicara Rahmi, Sulia, mengawali sejarah panjang nan kelam perjalanan hidup Rahmi.
Kedamaian, ketentraman yang selama ini menaungi kehidupannya, seakan sirna. Dirinya yang di kenal wanita kuat, baik, dan pekerja keras, sepertinya luntur masuk dalam di lema sebuah masalah klasik.
#tumbalterakhir
Hingga akhirnya, ia memilih, memutuskan dengan tekad bulat, sebuah penyelesaian dengan caranya sendiri....

*****
Sore itu, di saat suara Azdan dari beberapa Masjid terdengar bergantian, memberi isyarat para hamba-hamba untuk menunaikan kewajiban, Rahmi dan Sulia tak lagi menghiraukannya.
Keduanya terlihat sedikit terburu-buru, menyusuri jalanan desa yang masih asri dengan hamparan -
sawah-sawah menghijau di kanan kiri.
Rahmi yang berada di belakang, membonceng Sulia, seperti tak tertarik sama sekali dengan pemandangan alam sore itu. Pikirannya masih berkutat dalam balutan amarah, dendam, yang sudah ia tahan dan menumpuk di dada, -
setelah berbulan-bulan lamanya. Membuatnya melupakan bila dirinya adalah seorang Istri, dari seorang Suami yang taat dalam Agama, juga seorang Ibu dari kedua Anaknya.
#tumbalterakhir
Tiga puluh menit sudah berlalu, namun Sulia yang menjadi driver motor milik Rahmi, juga sebagai penunjuk jalan, masih terus memacu dan mengarah ke ujung utara.
Sebuah keberanian yang luar biasa, dua orang wanita yang rela menempuh jalanan sepi,
dan terkenal akan keangkeran di tiap bulak rerimbunan sela-sela hamparan sawah, demi sebuah urusan duniawi yang tak berpangkal.
"Kita hampir sampai, kamu nanti gak boleh ragu, atau membatalkan jika sudah masuk dan bertemu dengan Mbah Sali. Kalau kamu ada keraguan, takut,
lebih baik dari sekarang kita pulang!" ucap Sulia sambil memelankan laju kendaraan.
"Gak, Sul. Aku gak ragu atau pun takut. Kamu tenang saja!" jawab Rahmi mantap, tegas, di sela gemuruh angin terpaan laju motor.
Sulia akhirnya kembali menarik tuas gas,
setelah mendengar tekad Rahmi yang tak surut. Ia pun tak lagi segan-segan melewati jalanan sunyi, penuh kubangan, menembus semilir angin senja, di area sebuah hutan tipis.
Sepuluh menit kemudian, Sulia membelokkan kendaraan, dan menghentikannya,
di sisi sebuah persimpangan kecil yang hanya bisa di lalui dengan berjalan kaki. Rahmi yang baru pertama melihat dan datang ke tempat itu, hanya menurut dan mengikuti Sulia dari belakang.
Enam ratus detikan, Rahmi berjalan beriringan dengan Sulia.
#tumbalterakhir
Menembus jalanan redup dan sedikit becek, untuk bisa sampai pada sebuah rumah kecil, atau tak lebih dari di sebut sebuah gubuk.
Langkah kaki keduanya terhenti tepat di depan lima tangga kayu yang mengarah ke atas. Di mana terdapat sebuah pintu papan bersusun penuh celah,
sebagai akses utama untuk masuk ke dalam gubuk.
Sunyi dan hening, sebentar terasa menyentuh jiwa Rahmi. Namun dari semua itu, tak di pungkiri oleh Rahmi bila ada ketidak nyamanan mulai menghinggapi.
"Krriieeettt...."
"Lho ono tamu, tibake?"(Lho ada tamu, rupanya?)
Rahmi & Sulia sedikit terperanjat kaget, mendengar suara pintu terbuka, di susul suara serak seorang lelaki tua berbaju batik lusuh dombor, dgn paduan blangkon berbahan kain hitam terlipat, membalut kepala, menutupi rambut putihnya.
"Njeh, Mbah. Niki kulo Suliah,"(Iya, Mbah. Ini saya Suliah,) sahut Suliah memperkenalkan diri.
"Ohh, koe to. Yo kene mlebu, nang njobo wes surup."(Ohh, Kamu to. Ya sini masuk, di luar sudah petang.) Ajak lelaki tua, dengan wajah datar.
#tumbalterakhir
Tanpa menyahut dan menunggu ajakan kedua kali, Sulia dan Rahmi segera menaiki lima tanggga kayu dan melangkah masuk mengikuti sosok pemilik gubuk.
Sesampainya di dalam, tubuh Rahmi seketika merinding.
#tumbalterakhir
Pias di wajahnya begitu kentara melihat isi dalam gubuk yang tak lebih luas dari ruang tamu rumahnya. Di mana, di setiap sudut ruang berdinding papan, tertutupi kain hitam menjuntai di atas sebuah tungku kecil yang mengeluarkan kemeluk asap putih, dengan aroma khas wangi kemenyan
"Ono perlu opo, Nduk. Kok surup ngene nekat mlebu rene?"(Ada kepentingan apa, Nduk. Sudah petang seperti ini nekat masuk ke sini?) tanya sosok lelaki tua, sembari meletakkan tiga buah dimar lampu, di lantai papan bertilam kain tebal lusuh, sebagai penerangan.
"Niki, Mbah. Rencang kulo, wonten masalah. Bade nyuwun bantuan kaleh simbah, kangge ngrampungake masalae meniko,"(Ini, Mbah. Teman saya, ada masalah. Mau minta bantuan sama Simbah, buat menyelesaikan masalahnya itu,) jawab Sulia, menjadi wakil bicara Rahmi.
"Opo masalae, Nduk?"(Apa masalahnya, Nduk?) tanya sang lelaki tua kembali.
Saat itu, Sulia pun langsung memberi isyarat pada Rahmi, agar dirinya sendiri yang menceritakan semua permasalahannya.
#tumbalterakhir
Satu tarikan nafas, mengawali cerita panjang Rahmi. Ia begitu detail menceritakan dari awal konflik, hingga ujung akhir yang membuat dirinya nekad datang ke tempat sangat jarang orang tau itu.
Sang lelaki tua berperawakan tinggi kurus, yang mendengarkan begitu seksama,
sebentar menganggukan kepala beberapa kali. Matanya yang cekung, sesaat menatap Sulia dan Rahmi bergantian. Sebelum tatapannya lekat, bersarang pada tubuh bersimpuh Rahmi.
#tumbalterakhir
"Nek ngunu, opo saiki jalukanmu? opo seng kudu tak lakoni kanggo ngewangi ngrampungke urusanmu? tapi sak durunge, ilingo! yen kabeh seng tok karepke iku bakal kewujud, mesti ono penitene!"
(Kalau begitu, apa sekarang maumu? apa yang harus saya lakukan untuk membantu menyelesaikan urusanmu? tapi sebelumnya, ingat! kalau semua yg kamu inginkan itu bisa terwujud, pasti ada imbalannya!) ucap sosok lelaki tua tegas, setelah mengetahui permasalahan yang di hadapi Rahmi.
"Njeh, Mbah. Kulo siap kangge penitene nopo mawon, asal nopo seng dadi kekarepane kulo kelaksanan,"(Iya, Mbah. Saya siap untuk imbalannya apa saja, asal apa yang menjadi keinginan saya terlaksana,)
jawab Rahmi tanpa ragu, membuat sosok lelaki tua yang di panggil Mbah Sali, tersenyum tipis.
Perbincangan terus berlanjut dengan semua tujuan dan apa yang di mau Rahmi. Terkadang, kenekatan Rahmi yang di ungkapkan, membuat Sulia sedikit terperanjat.
Ia tak menduga, jika sahabat karibnya sedemikian berambisi. Tak hanya ingin memberi pelajaran pada kakaknya sendiri, namun kini terkandung maksud lain, yang dirinya baru tau.
#tumbalterakhir
Setelah semua keinginan telah mendapat kesanggupan Mbah Sali, dan Rahmi pun menyanggupi semua syarat, malam itu menjadi awal terjadinya sebuah perjanjian. Di buka dengan sebuah ritual yang wajib bagi Rahmi, dasar dari beberapa ritual selanjutnya.
"Mi, awakmu kok nekat tenan? iki ora dolanan lho, Mi!"(Mi, kamu kok nekad sekali? ini bukan main-main lho, Mi!)
Sulia, yang mengetahui tujuan ganda Rahmi, dan sebelum Rahmi memulai ritual awal, bersempat diri mencoba mengingatkan.
Namun hal itu, hanya di tanggapi sebuah senyum sinis keputus asaan, yang tersudut di bibir Rahmi.
Tak lama, Rahmi pun beranjak meninggalkan Sulia, setelah satu isyarat dari Mbah Sali, yang menyuruhnya untuk masuk ke sebuah pintu bertutup kain hitam, mengarah ke belakang pondok.
Sesampainya di belakang, di tempat berukuran 2x2 meter tanpa penyekat sekeliling, Rahmi sejenak tertegun.
Ada sedikit rasa risih, saat Mbah Sali memberi penjelasan rentetan ritual awal yang harus ia jalani.
#tumbalterakhir
Salah satunya, ia harus menari dengan keadaan tanpa tertempel sehelai benang, setelah membersihkan diri dengan segentong air bertabur bunga yang telah siap di hadapannya.
"Wes siap, Nduk?"(Sudah siap, Nduk?) tanya Mbah Sali pelan, namun sempat membuat tubuh Rahmi sedikit terjingkat.
Tak ada jawaban saat itu dari mulut Rahmi, tapi dari anggukan pelan kepalanya, sudah cukup mengisyaratkan persetujuan tanpa bisa di tarik kembali.
#tumbalterakhir
Perlahan, di iringi suara nyanyian serangga malam, Rahmi melepas satu persatu pakaian yang menempel di tubuhnya. Mempertontonkan bagian-bagian vital pada lelaki tua yang tak seharusnya.
Dingin, di rasa menusuk tulang Rahmi, saat guyuran demi guyuran air bertabur kembang, membasahi kulit tak berbungkus apapun miliknya. Matanya terpejam, bibirnya tergerak, mengikuti kalimat-kalimat sebuah mantra, yang di lafadkan Mbah Sali.
Tak berapa lama, tepat setelah guyuran air dan gumaman kalimat mantra berakhir, Rahmi merasakan sapuan angin lembut seperti meraba. Tubuhnya sedikit tersengat, ketika sapuan angin itu terus menerus terasa menyelimuti seluruh tubuhnya.
"Siap-siappo, Nduk. Delok neh, seng bakal ngewangi awakmu rawuh!"(Siap-siaplah, Nduk. Sebentar lagi, yang akan membantumu datang!) ujar lirih Mbah Sali di telinga Rahmi.
Dan tak lebih dari lima tarikan nafas, setelah Rahmi mendengar bisikan lirih suara Mbah Sali,
satu hempasan angin beraroma wangi kembang kuburan, seketika mengejutkan Rahmi.
Tubuhnya terasa panas, kaku, serta sesak di bagian dada yang menembus ke punggung belakang. Namun tak sampai sepuluh detik, Rahmi merasakan kembali perubahan aneh di tubuhnya.
#tumbalterakhir
Tak hanya perasaan ringan di bagian sendi serta bagian tubuh lainnya. Ia juga merasa bila otot-otot yang menjalar, seperti lentur tergerak dengan sendirinya. Dan tepat di saat itu, telinga Rahmi samar mendengar suara gemerincing bersambut alunan musik kenong,
yang membuat tangan dan kakinya bergerak mengikuti.
Rahmi sadar, bila apa yang tengah di lakukannya sama persis dengan apa yang di gambarkan Mbah Sali. Sehingga ia pun terus mengikuti tanpa menolak.
Lama Rahmi menari mengikuti tiap alunan musik kenong bergemerincing,
namun tak terlihat siapa penabuhnya. Ia terus berlenggak lenggok, sampai akhirnya, saat di rasa telah menghabiskan sebuah tembang, tubuh Rahmi terdiam bersamaan suasana yang kembali hening.
"Bukak en mripatmu, Nduk. Awakmu wes rampung. Wes ono seng bakal ngewangi.
Saiki, awakmu wes dadi temantene Pasung Pati, wes nduweni bojo meneh, seko sak jroning kawah peteng ing jagad lelembut!"(Buka matamu, Nduk. Kamu sudah selesai. Sudah ada yang akan membantumu. Sekarang, kamu sudah menjadi pengantin Pasung Pati, sudah mempunyai suami lagi,
dari tempat kegelapan yang maha luas bangsa lelembut!)
Kali ini, tak lagi lirih, tak lagi pelan, suara Mbah Sali yang terdengar di telinga Rahmi. Suara itu tegas, menggema, membuatnya segera membuka mata, seperti perintah yang di ucapkan Mbah Sali.
#tumbalterakhir
Harum semerbak tercium memenuhi rongga hidung Rahmi, sesaat sebelum matanya terbuka. Setelahnya, decak kagum bersamaan bola matanya yang membeliak, menandakan sesuatu yang aneh tengah Rahmi alami. Betapa tidak, yang kini terpampang di depannya, di sekelilingnya,
adalah sebuah taman indah dengan aneka tanaman bunga berwarna-warni. Bukanlah kawasan hutan tipis, yang hanya bercahaya redup dari obor dimar, dengan hiasan rerimbunan serta suara serangga malam.
Rasa kagum Rahmi sesaat terhenti ketika matanya menangkap sesosok lelaki tampan bertelanjang dada, yang tengah berjalan ke arahnya. Menyadari jika dirinya saat itu masih dalam keadaan tanpa busana, membuat Rahmi gugup.
#tumbalterakhir
Namun, di saat bersamaan, Rahmi juga merasakan sesuatu yang aneh menjalar melewati urat-urat sarafnya. Semakin lama, hal itu semakin membuat Rahmi seperti orang lumpuh, hingga akhirnya ia pun jatuh tersimpuh tepat di hadapan sosok lelaki bertubuh tegap,
dengan berhias ikat kepala manik-manik.
"Mi, kamu sudah bangun?" tanya Sulia, ketika melihat Rahmi membuka mata.
Rahmi yang saat itu dalam posisi terbaring bertutup selembar kain jarik batik, terlihat bingung. Ia hanya terdiam, mengedarkan netra sayunya, menyapu seisi ruangan.
"Wes, Nduk. Wes rampung ritual awalmu. Tangi, mulih o."(Sudah, Nduk. Sudah selesai ritual pertamamu. Bangun, pulanglah.)
Suara berat Mbah Sali akhirnya yang membuat Rahmi tersadar penuh. Ia kemudian bangkit, cepat-cepat mengenakan pakaiannya.
#tumbalterakhir
Tak berapa lama, dengan sudah kembali rapi, Rahmi berpamitan pulang. Tapi sebelum meninggalkan tempat yang tak pernah ia tau tanpa adanya Sulia, tempat yang kini telah mengubah jalan hidupnya, tempat yang akan menjadi persinggahan terakhirnya kelak, beberapa pesan dari Mbah Sali,
menjadi langkah pertama bagi Rahmi menapaki satu perjalanan panjang, bercahaya hitam.
Satu keanehan, seketika di rasakan Sulia dan Rahmi, manakala keduanya lepas dari jalan kecil menuju simpang tempat mereka memarkirkan kendaraan awal.
#tumbalterakhir
Hampir saja Sulia berbalik arah ingin kembali ke tempat Mbah Sali, jika tak di cegah oleh Rahmi. Bukan tanpa alasan Sulia merasa ketakutan. Sebab, ia tau betul, jika di sekitar tempat itu, yang sudah beberapa kali ia datangi bahkan sebelum membawa Rahmi,
ia tak pernah melihat satupun rumah yang berdiri.
Namun kali ini, matanya jelas dan terang melihat sekeliling tempat itu telah berdiri puluhan pondok berjejer di sepanjang jalan. Tak hanya itu, hilir mudik dari beberapa sosok layaknya sebuah perkampungan,
semakin membuat Sulia ketakutan. Tapi hal berbeda justru di rasa Rahmi. Ia seolah begitu akrab dan mengenal tempat itu. Bahkan, tak kala dirinya yang berjalan di depan, saat berpapasan dengan sosok-sosok manusia berwajah pucat pasi, mereka selalu menunduk,
seolah menaruh rasa hormat.
Hal itu semakin mengundang rasa heran di samping takut dalam diri Sulia. Ia tak menyangka jika Rahmi, walau ia tau adalah seorang pemberani, namun melihat kejadian saat itu, dirinya seperti melihat sosok berbeda pada diri Rahmi.
"Sudah, kamu tenang saja, Sul. Ini tak seperti yang kamu pikirkan," ucap Rahmi, seperti tau apa yang tengah di pikirkan Sulia.
"Kamu benar-benar berhasil, Mi. Tak kusangka tekadmu melebihi yang aku bayangkan," sahut Rahmi sembari meraih stang Motor,
yang masih terpakir di sebelah persimpangan.
Buru-buru Sulia menghidupkan mesin dan segera menarik tuas gas. Meninggalkan tempat yang aneh dan menakutkan baginya. Ia terus berfokus ke depan, ke jalanan yang di terangi cahaya obor di sepanjang kanan kiri.
Tanpa memperdulikan tatapan sosok-sosok wanita bertapi kain jarik, dan juga para lelaki yang bertelanjang dada ketika melewatinya.
Sulia merasakan dan sadar betul, bila saat itu dirinya dan Rahmi berada bukan di alam mereka. Namun, ketika hal itu ia ungkap, Rahmi selalu diam.
Ia seakan tak menghiraukan semua ucapan Sulia. Hingga tiba di ujung jalan perkampungan aneh itu, lagi-lagi Sulia di kejutkan satu pemandangan menakutkan. Di mana, tepat di depannya, puluhan wanita dan lelaki tanpa busana berbaris di bawah
sebuah gapura bertiang susunan batu bata yang tinggi menjulang.
"Teruskan, Sul. Ingat pesan Mbah Sali! jangan menoleh apalagi berbalik sebelum melewati Gapura itu."
Sulia, yang sudah di selimuti rasa takut, akhirnya meneruskan perjalanan setelah mendengar ucapan Rahmi.
Dirinya sendiri yang sudah lama mengenal sosok Mbah Sali pun percaya, jika apa yang sudah di pesankan olehnya, pantang untuk di langgar.
Meski telah terbiasa dengan hal-hal mistis, Sulia baru kali ini merasakan hal menakutkan sampai membuat tubuhnya seolah mati rasa.
Bahkan, saat tepat melewati barisan sosok-sosok berkulit putih pucat pasi, ia merasakan dadanya terasa sesak. Entah karena bau wangi bunga kamboja yang berasal dari tubuh mereka, atau karena rasa takutnya yang luar biasa.
#tumbalterakhir
Sulia akhirnya sedikit bernapas longgar, saat telah melewati beberapa meter gapura tinggi dengan dua buah obor besar yang terpasang di dua tiang kanan dan kiri. Ia yang tak kuasa lagi menahan rasa tegang, sejenak menghentikan laju kendaraan.
#tumbalterakhir
Menarik nafas dalam-dalam, sebelum turun serta membalikan badan. Hal yang sama di lakukan oleh Rahmi, dirinya yang berdiri di sisi Sulia, bersamaan menatap ke arah belakang.
Hal aneh dan mengejutkan lagi-lagi di alami oleh Sulia,
saat matanya hanya melihat kegelapan berkabut dan rerimbunan hutan tipis di belakangnya. Tak ada lagi gapura, tak tampak lagi sosok-sosok berwajah pucat layaknya mayat, seperti yang baru saja ia lewati.
#tumbalterakhir
"Kenapa kamu heran, Sul? bukankah kamu sudah beberapa kali datang ke sini dan lebih dulu tau tempat ini serta kenal Mbah Sali? tapi, kok kamu seperti bingung dan ketakutan, gitu?" ucap Rahmi yang lebih merasa heran oleh sikap Sulia.
#tumbalterakhir
"Aku memang mengenal Mbah Sali dan tempat ini sudah sejak lama. Tapi, baru kali ini aku di perlihatkan sesuatu yang ada di tempat ini. Dan satu lagi yang masih membuatku bingung, apakah ini karena ritualmu, Mi?" jawab Sulia dengan piasnya.
#tumbalterakhir
"Sudah, Sul. Jangan bahas itu lagi. Lebih baik kita sekarang pulang. Sepertinya, ini sudah tengah malam. Dan Aku mohon, apa yang sudah Aku lakukan, hanya kamu saja yang tau! sampai kapanpun!" sahut Rahmi pelan dan tegas.
#tumbalterakhir
Sulia hanya terdiam, tertegun, dan sedikit terhenyak, mendengar penuturan Rahmi. Ia sama sekali tak menyahut ucapan Rahmi. Tapi lebih memilih kembali mengemudi, sebab dirinya juga menyadari jika malam sudah terasa jauh tenggelam....
#tumbalterakhir
"Dari mana kamu, Dek?"
Pertanyaan itulah yang pertama terdengar di telinga Rahmi, sesampainya ia di rumah.
"Dek, Aku tau kamu sedang ada masalah, tapi mbok ya kasih kabar, kasian Rosyid sama Ratri nungguin dari tadi."
#tumbalterakhir
Lagi, suara pelan Rohmadi, mengiringi kesibukan Rahmi yang sedang berganti pakaian. Ia mendengar, tapi belum sepatah katapun menanggapi. Barulah, ketika Rahmi telah selesai, ia pun mendekat dan duduk di samping Rahmadi.
#tumbalterakhir
"Aku cari hiburan, Mas. Cari obat sumpek pikiranku," ucap Rahmi pelan, tanpa merasa bersalah.
Rohmadi terdiam, bukan karena ucapan alasan, melainkan ada satu hawa aneh yang ia rasakan dari tubuh Rahmi.
#tumbalterakhir
Sejenak ia menatap wajah sang istri, sangat terlihat berbeda. Wajah yang sore tadi ia lihat murung bersungut, kini tampak cerah bersinar. Namun, justru dari situ, Rohmadi merasakan kejanggalan.
#tumbalterakhir
"Kamu kenapa, Mas? kok liatinnya seperti itu?" tanya Rahmi, menyadari bila sang suami tengah menatap dirinya dengan sorot berbeda.
Saat Rohmadi ingin menyahut, saat itulah terdahului satu teriakan melengking dari kamar sebelah, tempat di mana kedua anaknya terbaring.
Buru-buru Rohmadi dan Rahmi menghampiri kamar itu. Keduanya terperanjat kaget, ketika melihat sang anak lelaki, Rosyid, menggigil di sudut kamar dengan menunduk serta mata terpejam penuh ketakutan.
#tumbalterakhir
"Rosyid! kamu kenapa, Nak?" ucap Rohmadi seraya menghambur dan memeluk anak lelakinya yang berumur sepuluh tahun.
Tak lama, Rosyid yang mengetahui kehadiran Bapaknya, segera memeluk erat. Ia sebentar menghentikan isak tangisnya.
#tumbalterakhir
Kemudian berkata pelan sambil menunjuk ke arah ranjang sebelah.
Baru lah Rohmadi yang saat itu merasa bila pangkal jeritan hanya ketakutan dari Rasyid yang belum ia tau sebabnya, terjawab saat matanya beralih mengikuti telunjuk Rasyid.
#tumbalterakhir
Di ranjang kecil, yang terletak bersebelahan dengan ranjang milik Rasyid, Rohmadi melihat tubuh kecil Ratri anak keduanya, mengejang tanpa jeda. Matanya melotot, giginya bergantik, seraya mendengus seperti seekor kerbau yang sedang marah.
#tumbalterakhir
Rohmadi cepat menghampiri tubuh mungil Ratri. Rasa paniknya tak terbendung. Lantunan Istighfar menyambung deras keluar dari bibirnya, namun hal itu justru membuat suara dengusan dari Ratri semakin kencang bergemuruh.
#tumbalterakhir
Rahmi yang hanya terpaku, seketika tersadar dengan keadaan saat itu. Akan tetapi, ia bukan mendekat ke arah Rasyid maupun Ratri yang dalam pelukan Rohmadi, melainkan ia menuju belakang, ke salah satu ruangan kosong, tempat biasa ia menyimpan barang-barang bekas tak terpakai.
Di situ, di ruang penuh sarang laba-laba dan berdebu, Rahmi sejenak berdiri mematung. Menundukan kepala, memejamkan kedua matanya sambil menggerakan kedua bibirnya.
Tak sampai sepuluh tarikan nafas Rahmi melakukan itu, ia kembali membuka matanya.
#tumbalterakhir
Menatap lurus ke depan, tepat pada satu sosok mahluk bertanduk, yang telah berdiri di hadapannya.
"Koe ojo pisan-pisan nyalahi tetalenmu karo aku! Nek ora pingin amise geteh alus rencak, dadi gantine!"
#tumbalterakhir
(Kamu jangan sekali-kali menyalahi perjanjianmu denganku! Kalau tidak ingin amisnya darah halus murni, jadi penggantinya!).
Geram di sertai dengusan, suara sosok bermata merah menyala pada Rahmi.
#tumbalterakhir
Saat itu Rahmi pun tersadar, bila dirinya telah melakukan satu kesalahan, kesalahan yang telah dirinya buat sendiri, dan kesalahan yang seharusnya bukan suatu kesalahan.
#tumbalterakhir
"Iki dadi pengilingmu!"(Ini jadi pengingatmu!) ujar kembali sosok bertanduk dengan hiasan manik-manik melingkari, selaras dengan tubuhnya yang terbalut bulu hitam nan lebat, sebelum menghilang.
#tumbalterakhir
Rahmi cepat-cepat membalikan tubuh, setelah wujud sosok itu berganti kepulan asap kabut memudar. Ia segera kembali ke dalam kamar anaknya, tapi sebelum itu, dirinya menyempatkan diri untuk mengambil segelas air sebagai satu alasan di hadapan Rohmadi.
#tumbalterakhir
Sesampainya Rahmi di kamar, ia langsung merengkuh tubuh kecil Ratri yang tengah dalam belaian Rohmadi. Sekilas, wajah kecil pucat Ratri memandang tajam ke arah Rahmi. Ia seperti ingin menolak uluran segelas air dari tangan ibunya. #tumbalterakhir
Namun saat gelas tersentuh tangan Rohmadi, ia segera meneguk sampai bersisa hanya beberapa tetes.
Kejadian itu di rasakan aneh oleh Rohmadi. Ia seperti melihat ada ketakutan dalam diri kedua anaknya.
#tumbalterakhir
Meski selama ini Rohmadi tau, jika kedua anaknya memang sedikit lebih dekat kepadanya dari pada Rahmi, namun melihat sorot mata Rosyid terutama Ratri saat itu, Rohmadi meyakini ada hal lain yang di rasakan mereka.
Pagi itu, Rahmi terbangun sedikit terlambat dari biasanya.
Ia sadar jika semalam memang dirinya baru bisa memejamkan mata, saat waktu tak berjarak jauh dengan suara Azdan subuh. Tapi hal itu seperti tak berpengaruh apa-apa pada dirinya, yang biasa akan panik, tergesa-gesa ketika mengetahui ia terlambat,
sebab satu pekerjaan yang menuntutnya untuk datang di waktu pagi, sebagai seorang pedagang bumbu masak di sebuah pasar tetangga desa.
Tak mendapati siapapun di rumah, Rahmi segera berberes diri. Kemudian bersiap, namun bukan untuk berdagang.
#tumbalterakhir
Hal itu terlihat dari jalan yang ia lalui. Sebuah jalan yang lebih sepi, dan jarang dirinya lewati.
Sekitar tiga puluh menitan Rahmi berkendara, tanpa berpapasan dengan siapapun. Tak lama kemudian, ia berhenti tepat di pinggir jalan depan sebuah rumah tembok berhalaman luas.
Rumah dengan bangunan bergaya lawas dan sedikit termodif pada bagian teras depan, terlihat berbeda bagi Rahmi. Hal itu terjadi semenjak rumah peninggalan orang tuanya, yang kini tengah ia pandangi, menjadi sengketa antara dirinya dengan Broto, sang kakak kandung.
Tapi itupun Rahmi kalah, tersingkir, dan tak lagi memiliki hak untuk ikut campur dengan apa yang bakal di lakukan kakaknya, terhadap rumah Prabon tersebut.
#tumbalterakhir
Memikirkan hal itu, kesedihan menggurat jelas di wajah ayunya. Namun sekejab, parasnya berubah, tatapannya menjadi tajam, nyalang memerah, menandakan letupan amarah, yang sekian lama tertumpuk di benak.
#tumbalterakhir
"Kamu bisa menguasai! tapi tak akan pernah bisa memiliki, Kang!" gumam Rahmi penuh rasa geram, sebelum kembali menaiki Motor nya, dan meninggalkan bangunan penuh kenangan di masa kecilnya.
Rahmi terus memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang.
#tumbalterakhir
Menyusuri jalanan hitam pinggiran kota, melawan teriknya sang penguasa langit di waktu siang. Namun lagi-lagi itu bukan jalan yang mengarah ke rumahnya, akan tetapi menuju ke sebuah pasar kota yang sangat ramai dengan kesibukannya.
#tumbalterakhir
Setelah selesai membeli beberapa barang kebutuhan, Rahmi pun segera beranjak pulang. Ia terlihat lega, saat dirinya memasuki rumah yang di bangun bersama sang suami, Rohmadi, masih sepi. Menandakan jika sang suami dan kedua anaknya belum kembali.
#tumbalterakhir
Rahmi dengan segera mengemasi semua barang-barang yang baru saja ia beli, dengan sengaja berbelanja di pasar yang bukan tempat dirinya berjualan mencari nafkah. Entah oleh sebab apa, namun melihat apa yang ia beli, bukanlah satu keanehan.
#tumbalterakhir
Tarikan nafas lega seketika terhembus dari hidung Rahmi, saat suami dan kedua anaknya yang tak berselisih lama datang, tepat setelah ia merapikan semuanya. Hal itu tentu tak menjadi satu pertanyaan dan kecurigaan sang suami.
#tumbalterakhir
Sebab bila Rohmadi mengetahui apa yang sedang dirinya persiapkan, bukan tak mungkin bakal menjadi satu masalah besar baginya.
Waktupun terus bergulir, paparan cahaya panas dari sang surya mulai meredup, menjadi tanda bahwa hari merangkak senja.
#tumbalterakhir
Membuat hilir mudik para kawula muda di desa Krajan(samaran), mulai meramaikan jalanan. Sudah tak mengherankan satu kebiasaan di desa itu, antara yang muda dan para orang tua berbanding balik. Jika waktu senja para orang tua berangkat ke sawah maupun ladang,
tapi anak-anak mereka memilih berkumpul, bergerombol, di tiap-tiap tempat yang sudah mereka tentukan.
Berbeda halnya dengan yang di lakukan Rahmi sore itu. Ia yang baru saja menyelesaikan kewajiban sebagai seorang ibu rumah tangga, terlihat berkemas.
Tanpa menunggu Rohmadi dan kedua anaknya yang biasa berada di Madrasah saat sore, Rahmi segera bergegas pergi.
Rahmi lagi-lagi menyusuri jalanan sepi yang ia lewati siang tadi. Namun kali ini ia terlihat berbeda, mulai dari wajah hingga laju kendaraannya,
seperti tergesa dan berburu dengan waktu. Hingga tak berapa lama, akhirnya Rahmi sampai di tempat yang ia tuju, tempat yang sangat dirinya cintai, tempat yang sudah memberikan dirinya banyak hal,
tempat di mana bakal mengawali dari rangkaian kengerian dan kesadisan yang terlahir dari rasa sakit hati, hingga harus menjadikan Rumah Prabon peninggalan orang tuanya, sebagai Neraka tersembunyi.
*****
"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."
Langkah Rahmi saat kakinya mulai menapaki halaman berumput tipis. Wajahnya datar, matanya menyorot penuh keberanian, meski saat itu langit mulai gelap.
Ia terus saja mengayunkan kakinya menuju area belakang.
#tumbalterakhir
Melewati sisi kiri rumah, yang berbatas dengan jalan tembus ke arah desa sebelah.
Rahmi baru menghentikan langkah, ketika kakinya tepat berdiri di ambang pintu belakang. Ia tau dan sangat hafal, jika hanya pintu belakang yang bisa ia lewati untuk bisa masuk ke dalam rumah.
Dan tak lama hal itupun terbukti, saat dengan mudahnya ia membuka daun pintu kayu, yang sudah terlihat kusam.
Hening dan gelap, suasana di dalam rumah yang hampir lima tahun tak berpenghuni setelah Ibu Rahmi meninggal. Membuat kesan seram dalam rumah itu,
sangat kentara di kala waktu malam. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Rahmi.
Dalam pikiran Rahmi saat itu hanya ingin segera menyelesaikan salah satu ritual persekutuannya. Agar dirinya bisa segera membalas sakit hati, dan tak kehilangan tempat di mana ia di lahirkan.
Setapak demi setapak Rahmi melangkah. Menyusuri, melewati, ruang demi ruang gelap tanpa cahaya. Ia begitu gesit dan sangat mengenal di tiap sudut, hingga memudahkannya untuk sampai di salah satu ruangan sedikit lebar yang menjadi tujuannya.
Di tempat itu, Rahmi mulai mengeluarkan bungkusan yang ia tenteng sedari rumah. Ia memeriksa satu persatu, meraba, guna memastikan.
Sebentar Rahmi menghidupkan tiga buah lilin yang ia bawa. Menjadikan ruangan seperti sebuah kamar sedikit terang.
Ia kemudian duduk bersila, menghadap satu cawan berukuran sedang dan sebuah tungku. Kepulan asap seketika menyebar, berasal dari tujuh buah dupa yang baru saja ia bakar dan ia letakkan di dalam tungku. Tak lama, bau menyengat aroma dupa itu,
berbaur dengan wangi bunga tiga warna yang Rahmi serak di atas cawan.
Rahmi sejenak menunduk, memejamkan mata, seraya bergumam lirih membaca bait-bait kalimat yang di ajarkan Mbah Sali.
Gemuruh deru angin menjadi sebuah tanda.
#tumbalterakhir
Juga menjadi akhir bibir Rahmi melafadkan untaian kata bermakna sebuah mantra. Setelahnya, Rahmi pun segera membuka mata, menatap tajam pada kepulan asap dupa, sebelum mengedar ke sekililing.
Tepat di saat suara gemuruh angin berhenti,
mata Rahmi mendapati beberapa sosok telah berada di ruangan itu. Ia sebentar terperanjat, kaget, melihat apa yang telah ia lakukan, mampu mengundang mahluk-mahluk menakutkan yang selama ini belum pernah dirinya lihat secara langsung.
#tumbalterakhir
Ada sedikit kengerian dalam hati Rahmi ketika ia mengalihkan pandanganya ke arah sudut kanan ruangan bercahaya lilin itu. Di mana, ia melihat tiga sosok berwajah hancur mengelupas berdiri dan tengah menatapinya dengan tajam.
#tumbalterakhir
Perasaan ngeri itu bukan karena Rahmi takut dengan bentuk mereka, melainkan dengan wajah-wajah mereka yang seperti tak asing dan sangat dirinya kenal.
#tumbalterakhir
"Wektumu ngamorko sak lebure, Nduk!"(Waktunya kamu menyatu, Nduk!)
Rahmi tersentak, ia menengadahkan wajahnya ke atas sebentar, setelah mendengar seruan perintah tak berwujud.
#tumbalterakhir
"Baik, Mbah!" sahut Rahmi yang tersadar bila itu suara dari Mbah Sali yang memberi tahunya, bila harus segara menyelesaikan ritual.
Buru-buru Rahmi meraih secarup bunga di atas cawan. Menyuapkan ke dalam mulut dan mengunyahnya.
#tumbalterakhir
Sebentar kembali ia memejamkan mata, dan tak lama, kunyahan aneka bunga tersembur dari mulutnya menyebar seantero ruangan.
Hal itu langsung membuat suasana lagi-lagi bergemuruh. Memunculkan hawa panas serta aroma anyir menyengat,
menyambut kemunculan sesosok wanita bergaun putih panjang lusuh, dengan juntaian rambut acak-acakan, yang tepat bersimpuh di hadapan Rahmi sambil melototkan dua bola matanya.

#tumbalterakhir
Setelah ritual malam itu, kehidupan Rahmi kembali seperti semula. Ia juga telah mulai pada profesi biasanya sebagai seorang pedagang.
Seperti halnya pagi itu, tepat hari ketiga. Rahmi telah bersiap dengan barang dagangan bertumpuk di keranjang belakang Motor nya.
Ia pun segera berangkat mengais rezeki setelah berpamitan dengan Rohmadi serta dua anaknya.
Suasana pedesaan yang masih sedikit gelap dan berhawa dingin, tak menghalangi niat Rahmi untuk menembusnya.
#tumbalterakhir
Setibanya ia di pasar antar Desa, Rahmi melihat suasana sudah begitu riuh ramai. Ia pun segera menggelar dagangannya di lapak yang sudah dirinya huni bertahun-tahun, dan sempat ia tutup selama tiga hari.
#tumbalterakhir
Hari itu, adalah hari pertama Rahmi berjualan setelah ia melakukan persekutuan ganda. Dan di mulai dari saat matahari menyembul, keanehan di rasakan Rahmi.
Lama semakin lama, keanehan itu membuat Rahmi riang.
#tumbalterakhir
Pasalnya, hari-hari biasa ia berjualan biasanya akan sampai pada waktu siang untuk bisa mendapat untung. Bahkan, terkadang harus menjual barang dagangannya sedemikian murah agar bisa laku supaya minimal bisa mengembalikan modal.
#tumbalterakhir
Tapi pagi itu, dirinya tak butuh waktu berjam-jam untuk bisa menjual habis barang daganannya.
Sontak, hal itu mengundang perhatian beberapa teman dan penjual lainnya sekitar tempat Rahmi berjualan. Ada sebagian yang menganggap hal itu hanya kebetulan nasib baik Rahmi,
tapi tak sedikit yang mulai menaruh rasa curiga.
Rasa heran juga tak luput dari benak Rohmadi. Dirinya yang belum sempat berangkat ke tempatnya mengajar, namun sudah mendapati sang Istri telah pulang dengan keranjang kosong.
"Cepet banget, Dek. Jam segini sudah pulang?" tanya Rohmadi mencoba memastikan.
"Lha, orang jualan kalau barang dagangan habis, ya pulang to Mas!" jawab Rahmi sedikit ketus.
Mendengar jawaban Istrinya yang tak seperti biasa, Rohmadi hanya diam.
Ia memang merasakan betul, bila dalam tiga hari terakhir, mendapati perubahan sangat kentara pada diri Istrinya.
"Ya sudah, Dek. Aku berangkat dulu, anak-anak juga sudah siap." Pamit Rohmadi yang telah siap dengan tas hitamnya, serta dua anaknya yang juga telah berseragam rapi.
"Iya,"
Singkat dan dingin, jawaban yang keluar dari bibir Rahmi. Ia bahkan terkesan acuh pada kedua anaknya, membuat Rohmadi hanya bisa menarik nafas panjang sambil berlalu.
Selepas kepergian Suami dan Anaknya, Rahmi terduduk diam di ruang tamu.
Matanya menyorot nanar ke jalan depan rumahnya, seperti tengah mengolah pikiran.
Hal itu berlangsung hingga beberapa puluh menit lamanya, dan baru tercairkan saat sebuah Motor berpenumpang dua lelaki berhenti di halaman rumahnya.
"Buk, Rahmi. Maaf, pagi-pagi mengganggu. Tadinya kami mencari Ibu di Pasar, tapi kata pedagang sebelah Ibu, Buk Rahmi sudah pulang, makanya kami langsung ke sini," ucap salah satu lelaki setelah mengucap salam dan berbasa basi sebentar.
#tumbalterakhir
"Iya, saya juga baru pulang. Kalau boleh tau, ada apa Pak Bekel mencari saya? jika menyangkut urusan Rumah Prabon sudah bukan lagi urusan saya!" jawab Rahmi sedikit sinis.
#tumbalterakhir
"Benar, Buk. Tapi ini selaku pihak yang akan membeli, ingin bertemu Ibu dahulu," ujar Pak Mirat, atau biasa di panggil Pak Bekel.
Mendengar hal itu, Rahmi langsung mengalihkan pandangannya pada seorang lelaki yang duduk di samping Pak Bekel.
#tumbalterakhir
"Apa Pak Sugir yang mau membeli rumah itu?" tanya Rahmi pada lelaki yang ia tau bertempat tinggal di Desa sebelah.
"Rencana begitu, Mbak Rahmi," jawab Sugir, salah satu orang mapan di Desa Gading Sari(samaran), yang ingin membeli Rumah Prabon.
#tumbalterakhir
Ia pun kemudian menjawab panjang lebar alasan membeli serta tujuannya datang menemui Rahmi. Di samping memastikan tak ada lagi sengketa, ia juga sudah berencana untuk memindahkan barang-barang di dalam Rumah, yang sebagian dirinya dengar adalah milik Rahmi.
#tumbalterakhir
Untuk itu, ia meminta ijin pada Rahmi untuk mengemasinya.

Rahmi sendiri tak keberatan dengan semua rencana dari Sugir. Selintas, tak terlihat sedikitpun amarah maupun penyesalan di wajah Rahmi, membuat Pak Bekel yang sedari awal mengamati,
merasa heran akan perubahan sikap Rahmi, bertolak dengan beberapa hari yang lalu. Akan tetapi, setelah sang tamu berpamitan dan beranjak pergi, seringai sinis seketika menghias dari sudut bibir Rahmi.
***
#tumbalterakhir
Menjelang sore, suasana sedikit riuh, tak biasa terlihat di Rumah Prabon peninggalan orang tua Rahmi.
Beberapa lelaki berpakaian rapi tampak berdiri sembari memperhatikan tiap-tiap sudut bangunan dengan wajah serius. Terkadang, salah satu dari lelaki itu berteriak,
mengarahkan empat orang berpakaian kotor yang keluar masuk rumah seraya membawa barang-barang dari dalam.
Hal itu berlangsung cukup lama, dan sempat menarik perhatian warga yang kebetulan melintasi jalan depan rumah itu.
#tumbalterakhir
Para warga beranggapan, bila status rumah itu telah aman dari sengketa dan sudah berpindah tangan.
Namun, tanpa mereka tau, tanpa mereka sadari, jika sore itu adalah lonceng pertama sebuah tragedi kematian.

#tumbalterakhir
"Ohh ... Ya, Pak Broto. Tadi pagi saya sama Pak Wirat sudah menemui Mbak Rahmi. Dan sudah setuju, jika barang-barang miliknya, saya kemasi. Jadi, bila barang-barang milik bapak sudah tak ada lagi,
saya minta tolong pada pekerja bapak buat sekalian mengemas barang milik Mbak Rahmi," ucap seorang lelaki berkemeja polos pada lelaki berkumis tebal, Broto.
#tumbalterakhir
"Tentu, silahkan Pak Sugir. Tapi kalau tak salah, barang-barang milik Rahmi cuma ada di satu kamar saja. Itupun tak banyak," sahut Broto, pada Sugir.

Selesai berucap, Broto kemudian mengajak Sugir masuk dengan di temani Pak Wirat.
Ketiganya kemudian berjalan menuju satu ruangan berpintu kayu motif bagian tengah.
Tak lama, Broto memanggil dua anak buahnya untuk membuka pintu guna memeriksa isi di dalamnya.
#tumbalterakhir
Satu keanehan seketika di rasa Broto, saat dengan mudahnya pintu yang dirinya tau biasa terkunci, terbuka. Dan keanehan itu menjadi rasa keterkejutannya, manakala mendapati dalam kamar kosong, hanya berisikan sebuah lemari kayu lapuk.
#tumbalterakhir
"Kenapa, Pak. Kok seperti bingung?" tanya Pak Wirat, seperti mengetahui kekagetan Broto.
"Ndak apa-apa, Pak Bekel. Cuma heran, barang-barang Rahmi kok sudah tidak ada? padahal, kunci rumah ini dan semua yang ada di dalamnya,
tak pernah aku sentuh atau mengambilnya," jawab Broto masih dengan kening berkerut.
"Sudahlah, nanti akan saya tanyakan pada Rahmi," sambung Broto yang tak ingin larut dalam rasa herannya.
#tumbalterakhir
Broto akhirnya mengajak Sugir dan Pak Wirat keluar dari kamar. Namun sebelum itu, ia memerintahkan dua anak buahnya untuk tetap mengeluarkan lemari lapuk, yang menjadi satu-satu barang milik Rahmi di dalam kamar itu.
#tumbalterakhir
Ketiganya melangkah keluar, berniat untuk melanjutkan kesepakatan yang baru tercapai secara lisan.
Akan tetapi, baru saja langkah ketiganya mencapai lantai teras, satu jeritan melolong mengejutkan mereka.
#tumbalterakhir
Buru-buru mereka serentak membalikan badan dan segera menghampiri sumber suara, yang ternyata berasal dari kamar tempat dua orang yang ingin memindah lemari milik Rahmi.
Seketika, wajah Broto, Pak Wirat dan Sugir berubah panik memucat,
menyaksikan genangan darah di lantai yang berasal dari kepala dan tubub salah satu pekerja Broto.
"Ada apa, Sar! Kenapa Angga?" seru Broto penuh kepanikan pada salah satu pekerjanya yang dirinya perintahkan untuk memindahkan lemari.
#tumbalterakhir
"Gak tau, Pak, Tadi dia terpeleset dan jatuh. Saya kira gak apa-apa, tapi kok malah seperti ini keadaannya," jawab anak buah Broto.
Kepanikan langsung menyelimuti seluruh orang yang ada di tempat itu.
#tumbalterakhir
Tiga orang pekerja dan di bantu Pak Bekel, segera mengangkat tubuh bersimbah darah milik salah satu pekerja Broto serta membawanya keluar. Namun, hal itu telah terlambat sebab tubuh lelaki 35an sudah tak lagi bernyawa.
#tumbalterakhir
Sontak saja kejadian itu menggemparkan warga sekitar. Mereka yang melihat langsung mayat Angga, pekerja Broto, seolah tak percaya dengan penyebabnya. Apalagi menilik matanya yang melotot seperti ketakutan, membuat asumsi orang-orang pun beragam.
#tumbalterakhir
Suasana sedikit tenang setelah mayat Angga di bawa untuk di serahkan pada keluarganya. Terlihat hanya beberapa orang yang masih tertinggal di rumah itu, salah satunya Pak Wirat.
#tumbalterakhir
Ia menerima tugas dari Broto untuk menemani tiga pekerja yang akan membersihkan kondisi rumah, termasuk darah Angga.
Hari semakin gelap, Adzan Maghrib telah selesai berkumandang, menandakan waktu siap berganti warna dengan alam yang juga berubah cuaca.
#tumbalterakhir
Menyadari hal itu, Pak Wirat bersegera menyuruh tiga orang pekerja yang masih terlihat sedih bercampur takut untuk menyelesaikan perintah Broto.
Kemudian, ketiganya masuk dengan bermodalkan lampu Patromax dan senter di kepala.
#tumbalterakhir
Saat tiba di kamar tempat meninggalnya Angga beberapa jam lalu, hawa aneh langsung di rasakan Pak Wirat dan ketiga orang pekerja yang masih berbaju kotor.
Mereka terdiam, membisu, dan hanyut dalam pikiran masing-masing.
#tumbalterakhir
Merasai keanehan dalam kamar terutama pada lantai yang akan mereka bersihkan. Sangat jelas di mata ke empatnya saat itu, yang terbantu dari cahaya lampu dan senter tak ada lagi genangan darah yang mengotori. Yang ada, hanya bekas tapak-tapak kaki tak beraturan.
"Pak!" seru salah satu dari ketiga pekerja pada Pak Wirat seakan menegaskan keadaan.
Pak Wirat sendiri hanya berpaling dan menatap ketiga pekerja tanpa berkata apa-apa. Ia yang juga melihat hal itu, mulai tersusupi rasa takut.
"Sudah, kita tinggalkan saja!" Ajak Pak Wirat akhirnya, setelah berpikir sejenak.

Mereka akhirnya berjalan meninggalkan Rumah itu dengan perasaan bercampur. Antara bingung, sedih dan juga rasa takut.
Namun, dari ke empatnya, hanya Pak Wirat yang merasakan keanehan hingga menimbulkan kecurigaan atas semua rentetan kejadian di rumah Prabon itu.
*****
#tumbalterakhir
Rasa duka mendalam benar-benar di rasakan keluarga Angga malam itu. Setelah prosesi pemakaman jenazahnya, seperti biasa warga sekitar berduyun-duyun datang untuk ikut mendoakan, tak terkecuali Rohmadi yang di anggap salah satu orang yang mengerti tentang Agama.
#tumbalterakhir
Dari mulai awal, terjeda sebentar acara doa, hingga akhir acara, sebagian orang masih terus membicarakan ikhwal kematian Angga yang di anggap sedikit aneh. Akan tetapi semua itu hanyalah sebatas pembicaraan tanpa tau kebenarannya.
#tumbalterakhir
Hal itu sedikit mengganjal dalam pikiran Rodian. Oleh sebab kematian Angga yang di anggap aneh, tepat di dalam kamar bekas Rahmi dan dirinya sewaktu masih hidup bersama kedua orang tua Rahmi atau pada masa Rahmi baru melahirkan Rosyid.
#tumbalterakhir
Rohmadi terus saja memikirkan kejadian itu, hingga saat dirinya pulang bersama beberapa tetangganya. Ia terlihat banyak diam, saat mereka membicarakan sembari berjalan beriringan.
Tak lama, setelah beberapa tetangganya telah sampai di rumah masing-masing,
Rohmadi mempercepat langkah untuk segera sampai di rumahnya. Ia bertujuan untuk menayakan perihal kejadian itu pada Rahmi yang ia anggap tau. Sebab saat kejadian, Rohmadi menduga Rahmi ada di Rumah Prabon yang telah di ambil alih oleh Broto kakaknya.
#tumbalterakhir
Namun baru saja ia menginjak halaman rumahnya, mendadak langkah Rohmadi terhenti.
Sejenak ia berdiri mematung. Menatap lurus ke arah sudut kiri rumahnya, tempat sebuah bayangan berkelebat tertangkap bola matanya.
#tumbalterakhir
Rohmadi akhirnya memutuskan untuk menghampiri. Berjalan mengendap, menapaki halaman berpasir dengan perasaan tegang. Tapi saat tiba di sudut tempat matanya melihat sekelebat bayangan, Rohmadi tak menemukan apa-apa.
#tumbalterakhir
Yang ada hanya rerimbunan bunga pagar hasil tanamannya sendiri berpenerangan redup dari sorotan lampu yang tergantung di sudut atas.
Beberapa puluh detik Rohmadi masih terus mengamati sekeliling. Ia baru membalikan badan saat memastikan tak ada apapun.
Akan tetapi, ketika kakinya menginjak ambang pintu, tetiba saja hidungnya membaui satu aroma wangi khas bunga kuburan.
Ia pun tersentak, mendapati wangi itu semakin pekat seperti bersumber di dekatnya.
#tumbalterakhir
Rohmadi kemudian mencoba mencari sumber wewangian yang sangat di kenalnya itu. Menuntunnya untuk mengikuti hingga tanpa sadar kembali menyusuri sisi kiri rumahnya.
Rohmadi baru tersadar dan seketika terkejut saat matanya menangkap -
sesuatu terseret di tanah tepat di ujung belakang bangunan rumahnya. Wajah Rohmadi pun spontan memucat saat mengetahui jika sesuatu yang terseret itu adalah untaian rambut hitam memanjang.
#tumbalterakhir
Meski tersusupi rasa takut, Rohmadi tetap mencoba mencari ujung dari rambut berbau wangi bunga kamboja itu. Dalam hati, tak henti-henti Rohmadi berdoa, sebab dirinya yakin jika sang pemilik rambut bukanlah manusia.
#tumbalterakhir
Rohmadi terus mengikuti suara gemresek yang di timbulkan juntaian rambut hitam menyapu tanah. Sampai beberapa langkah kemudian, tetiba untaian rambut itu berhenti, membuat Rohmadi seketika ikut menghentikan langkahnya.
#tumbalterakhir
Sejenak Rohmadi terdiam menatapi rambut itu dan mengarahkan pandangan mencoba mencari ujungnya. Namun sampai sejauh matanya melihat, ia tak menemukan sosok pemilik rambut itu. Yang terlihat hanyalah gelap di ujung tanpa terlih apapun.
#tumbalterakhir
Hal itu semakin membuat dirinya penasaran dan nekat ingin melihat, mengabaikan rasa takutnya yg ia tahan dgn Doa.
Akan tetapi, saat kakinya ingin melangkah mendekat serta menyusuri sepanjang juntaian rambut itu, harus tertahan oleh satu sentuhan tangan dan seruan dari belakang.
"Kamu ngapain di sini, Mas?"
Terjingkat Rohmadi mendengar seruan di belakangnya.
Ketegangan yang menyelimutinya, sejenak mengendur kala ia memalingkan wajah dan mendapati Rahmi telah berdiri di belakangnya.
#tumbalterakhir
"Dek, Aku ... Aku tadi...." sahut Rohmadi tergagap.
Melihat hal itu, Rahmi segera menarik lengan Rohmadi. Tanpa mampu menolak, Rohmadi akhirnya mengukuti. Namun sebelum melangkah lebih jauh, Rohmadi sempat memalingkan wajah,
memastikan kembali helaian rambut memanjang yang tak ia ketahui ujung maupun pemiliknya.
Lagi-lagi Rohmadi tersentak. Ia sebentar menghentikan langkah, saat matanya melihat rambut itu terseret melayang oleh sesosok bayang putih yang tak jelas rupa dan bentuknya,
seperti menembus ke dalam rumahnya.
"Mas, ada apa! apa yang kamu lihat?" tanya Rahmi sedikit ketus.
"Dek, Aku seperti melihat sesuatu. Aku merasa ada bahaya di rumah kita." Cepat Rohmadi bergegas menuju ke dalam rumah, setelah menyingkap tangan Rahmi yg mengendur di lengannya.
Namun, sesampainya Rohmadi di dalam, ia tak menemukan hal aneh. Ia kemudian memeriksa seluruh ruangan, dari sudut ke sudut, tapi tetap saja tak ada yang ganjil. Bahkan ketika ia masuk ke dalam kamar anaknya, keduanya terlihat sangat pulas dalam pangkuan mimpi.
#tumbalterakhir
"Sebenarnya kamu ini kenapa, Mas? dari sepulang tadi kok aneh?" ucap Rahmi kembali yang baru saja menyusul masuk.
"Bener, Dek. Aku tadi melihat ... Ahh, Aku sulit menjelaskannya," jawab Rohmadi bingung.
#tumbalterakhir
"Lihat apa? Kamu kayaknya yang aneh, Mas. Dari tadi Aku di rumah gak melihat apa-apa dan juga tidak merasakan kalau ada bahaya," sahut Rahmi sedikit mengeraskan suaranya.
"Tapi, Dek!"
"Sudahlah, Mas! Aku mau istirahat."
#tumbalterakhir
Kali ini Rohmadi hanya terdiam. Ia menyadari bilapun hal itu diteruskan akan menjadikan perdebatan. Meski dalam hatinya, masih begitu yakin dengan apa yang baru saja ia lihat.
Rohmadi akhirnya memutuskan untuk menyusul beristirahat di dalam kamar.
Berbaring di sisi Rahmi yang seperti sudah terlelap membelakangi. Hal itu memunculkan gemuruh rasa sesak di dada Rohmadi. Sebab dalam beberapa hari ini, ia melihat sikap Rahmi sangat jauh dari sebelumnya.
Rahmi yang sekarang di mata Rohmadi, sangat acuh,
tidak perduli dan seolah menganggap dirinya tak ada. Bukan saja pada dirinya, melainkan juga pada kedua anaknya.
Pikiran Rohmadi semakin lama semakin terhanyut dalam keresahan. Membuatnya lelah tanpa berujung, hingga tanpa terasa matanya perlahan terkatup.
Dingin dan lembab, tiba-tiba di rasakan menyapu kulit Rohmadi. Ia yang kembali membuka mata setelah entah berapa menit, jam, terlelap, berniat untuk membungkus tubuhnya dengan selimut.
Sesaat, tangan Rohmadi yang ingin menarik selimut, terhenti.
Ia tertegun sebentar sembari menajamkan telinganya yang baru saja tersusupi lamat-lamat suara gamelan dari arah belakang rumah.
Suara itu semakin lama di rasa Rohmadi semakin jelas. Membuatnya seketika bangkit dan beranjak dari ranjang.
#tumbalterakhir
Rasa tak percaya Rohmadi akhirnya menuntun kakinya melangkah mencari sumber suara.
Perlahan, ia menyusuri lorong dalam rumah yang mengarah ke belakang. Sesampainya ia di ruang dapur, Rohmadi berhenti. Matanya mengedar, menatapi tiap letak longgar,
namun hanya tumpukan serta deretan alat-alat dapur yang tertangkap netranya.
Sekilas rasa ragu menyembul pada wajah Rohmadi. Ia beranggapan bila suara itu hanya halusinasinya kala tertidur. Tapi tak berapa lama,
suara Gamelan Kenong itu kembali mengalun masuk ke dalam gendang telinga. Membuatnya spontan terkejut, kaget, dan sempat menyurutkan kakinya dua langkah kebelakang.
Kalimat Istighfar langsung meluncur dari bibir Rohmadi menutupi rasa takutnya.
Ia begitu yakin bila suara yang sangat jarang terdengar kini seperti berada di belakang rumahnya. Rohmadi sedikit tau tentang suara itu. Walau ia tak bisa menebak langsung dan pasti, tapi satu keyakinan yang telah seluruh masyarakat di tempatnya percaya,
jika suara Gamelan Kenong itu adalah tanda kemunculan mahluk BARONGGO. Bahkan, menurut beberapa sesepuh yang ia dengar, bila kemunculan Baronggo mengartikan adanya seseorang yang telah mengikat janji atau bersekutu dengannya.
#tumbalterakhir
Berpikir sampai di situ, Rohmadi langsung membalikan tubuh seraya terus berucap Istighfar. Ia sebentar melihat ke dalam kamar anaknya, memastikan keduanya yang masih terlelap, kemudian buru-buru masuk ke dalam kamar.
#tumbalterakhir
Tapi saat ia sampai di bibir ranjang, satu hal kembali mengejutkan dirinya.
"Dek,"
Kalimat khas panggilanya seketika meluncur saat matanya tak melihat sosok Rahmi terbaring di sisi kiri ranjang.
Rasa cemas langsung menyeruak dalam batin Rohmadi.
Ia khawatir jika istrinya ikut mendengar suara Gamelan Kenong yang masih samar terdengar. Sebab yang ia tau, bila Mahluk Baronggo sangat menyukai wanita telah bersuami.
Rohmadi akhirnya memutuskan untuk mencari keberadaan Rahmi. Ia berjalan ke arah depan, namun kosong.
Kemudian, kembali menuju belakang tempat sumber suara itu berada.
Tetapi belum sampai kakinya menginjak lantai dapur, telinganya tak lagi mendengar suara Gamelan Kenong. Malah berganti suara tapak langkah dan derit ranjang dari arah kamarnya.
#tumbalterakhir
Buru-buru Rohmadi membalikan tubuh. Berjalan cepat menuju kamar guna memastikan. Dan tepat apa yang ada di benaknya, bila suara derit itu adalah sang istri yang sudah terbaring.
Kelegaan sekilas menggurat di wajah Rohmadi.
#tumbalterakhir
Kecemasaannya memudar seiring degupan jantung yang telah teratur. Tapi setelahnya, saat tubuhnya ikut membaring di sisi Rahmi, satu bau Arus bercampur wangi pandan tetiba saja menelusup pekat di hidung. Hal itu berlangsung beberapa menit lamanya,
membuatnya terduduk mencoba mengendus, mencari sumber aroma.
Seakan tak percaya, Rohmadi yang menemukan sumber aroma wangi pandan dan Arus berasal dari tubuh istrinya, berusaha merapatkan tubuh. Tapi bau itu seketika menghilang,
bersamaan dengan tubuh Rahmi yang berbalik kearahnya.
"Mau ngapain, Mas!" ucap Rahmi saat sadar tubuh Rohmadi merapat ketubuhnya.
"Nggak, Dek. Aku tadi cuma kepikiran kamu, pas Aku cari gak ada," jawab Rohmadi memberi alasan.
"Aku tadi ke kamar mandi terus sebentar lihat anak-anak," sahut Rahmi.
"Sudahlah, Aku mau tidur. Sudah larut!" sambung Rahmi seraya membalikan badan, mengacuhkan Rohmadi yang masih terbengong.
#tumbalterakhir
Malam itu, akhirnya Rohmadi terlelap dalam benak penuh kejanggalan. Tanda tanya besar masih membekas lekat di pikirannya, sampai terbawa pada waktu ia melaksanakan dua Rekaat Shubuh serta dalam Doa-Doanya.
#tumbalterakhir
Pagi menjelang, seperti beberapa hari belakang, Rohmadi masih teracuhkan oleh Rahmi. Ia yang lebih dulu berangkat menuju Pasar, tak menyempatkan diri untuk sekedar berpamitan.
#tumbalterakhir
Tatapan penuh arti dari kedua mata Rosyid dan Ratri terkadang membuat nyeri dadanya, saat mereka menyaksikan kerenggangan antara dirinya dan Rahmi. Tapi hal itu selalu ia tutupi dengan berbagai macam alasan.
#tumbalterakhir
Ia tak ingin membebani kedua anaknya dengan urusan yang tak seharusnya untuk di ketahui.
Semakin hari, kejayaan semakin menaungi diri Rahmi. Dalam kurun waktu hanya tujuh hari selepas kejadian tewasnya Angga, Rahmi tak hanya mampu mempekerjakan dua orang pembantu,
tapi ia juga berniat membuka usaha baru di pasar kota.
Hal itu jelas memantik banyak reaksi dan kecurigaan yang membesar dari para sesama pedagang. Begitu juga dengan para tetangga yang melihat perbedaan jauh antara Rahmi yang dulu dan Rahmi yang sekarang.
Mulai dari penampilan fisik hingga sosialisasi bermasyarakatnya yang tak lagi terjaga.
Dari sekian banyak orang yang merasakan perbedaan Rahmi, Rohmadi lah yang paling merasakan. Selain nafkah lahir yang tak lagi terurus, kebutuhan biologisnya pun terabaikan. #tumbalterakhir
Sering Rohmadi bertanya tentang perubahan sikap Rahmi, manakala keduanya berada di rumah dalam keadaan senggang. Namun itu malah memicu pertengkaran dengan akhir Rohmadi yang mengalah. Bukan karena ia menerima sikap Rahmi, tapi lebih memikirkan keadaan anak-anaknya.
Ada satu alasan yang menguatkan dirinya untuk tetap bertahan dalam suasana tak nyaman rumah tangganya. Rohmadi berkeyakinan dan selalu mengatakan pada dirinya sendiri, bila sang Istri masih terpengaruh emosi dan kekesalan setelah kalah dalam urusan Warisan,
serta bakal kembali lagi seperti Istrinya yang dulu.
Akan tetapi, persepsi baiknya itu harus Rohmadi kubur dalam-dalam.
Malam itu, sebagai seorang yang masih terbilang muda dan normal, Rohmadi ingin mendapatkan hak biologisnya dari Rahmi.
#tumbalterakhir
Ia yang tengah berada di dalam kamar anaknya seperti biasa menemani sebelum tidur, segera bergegas setelah memastikan kedua anaknya terlelap.
Langkah mantap Rohmadi seketika tertahan, saat matanya tak menangkap sosok Rahmi di ranjang.
Padahal beberapa menit yang lalu, dirinya masih mendengar suara Rahmi tengah menghitung hasil usahanya di ruang tamu kemudian berjalan menuju kamar.
Sebentar menunggu, Rohmadi memutuskan mencari. Ia berjalan menuju ruang tamu, namun tak menemukan.
#tumbalterakhir
Langkah Rohmadi akhirnya mengarah ke belakang, berharap menemukan Rahmi di tempat itu.
Akan tetapi, baru satu langkah kaki Rohmadi menapak di lantai dapur, seketika tubuhnya terasa dingin.
"Suara itu!" gumam Rohmadi lirih.
#tumbalterakhir
Saat itu ingin Rohmadi segera pergi dari ruang dapurnya. Ia menyadari akan kemunculan suara tetabuhan itu, seketika membayang ketakutan dengan suara ketukan alat tetabuh yang di dengar berbeda dari sebelumnya.
#tumbalterakhir
Tapi Rohmadi mencoba sejenak bertahan. Ia tertegun dalam kebisuan, meresapi alunan Gamelan yang kini beriring Pelog bukan lagi Kenong.
Iringan tetabuhan semakin lantang dan begitu berirama dalam pendengaran Rohmadi.
#tumbalterakhir
Membangkitkan satu rasa penasaran hingga mengalahkan rasa takutnya.
Perlahan Rohmadi mengayunkan langkah. Setapak demi setapak mendekat ke depan pintu. Ia sangat yakin, jika tetabuhan itu, berasal dari halaman belakang rumahnya.
#tumbalterakhir
Rohmadi sebentar terdiam sesampainya di depan pintu. Kemudian, penuh keberanian merapatkan wajahnya pada daun pintu kayu, yang terdapat celah-celah kecil di antara papan bersusun tegak.
Hening, gelap, saat matanya mampu menangkap suasana di luar.
#tumbalterakhir
Hal itu membuatnya bimbang, dengan perasaan yakin juga pendengarannya.
Tak puas dengan hanya melihat dari celah kecil, Rohmadi akhirnya memutar tiga kancing sebagai pengait pintu.
Suara kriett saat pintu terbuka, mengawali keterkejutan dan ketakutan Rohmadi.
#tumbalterakhir
Seketika tubuh Rohmadi membeku. Kakinya terpaku di ambang pintu dengan mata seolah tertahan untuk menatapi pemandangan di depannya.
Rohmadi tau, sangat yakin bila apa yang di lihatnya bukan hal lazim. Apa lagi saat suara Gamelan beriring Pelog kembali mengalun,
sembari memunculkan satu penari tanpa busana di tengah-tengah kerumunan sosok-sosok aneh, Rohmadi merasa dirinya telah masuk ke dalam alam lain.
Beberapa menit melihat hal mengerikan itu, Rohmadi berjuang menggerakan kakinya untuk kembali masuk.
#tumbalterakhir
Tapi baru akan bergerak, Rohmadi bersempat menahannya.
"Rahmi! Kamu...."
Lirih dan seperti berbisik suara Rohmadi yang baru saja akan beranjak, tertahan oleh sosok penari yang tak lain adalah Rahmi. Lekat pandangan Rohmadi ke arah Rahmi yang tengah berlenggak lenggok.
Mengabaikan sosok-sosok berbola mata juling tengah mengerumuni tarian Rahmi, yang beralih menatap kepadanya.
Selepas satu putaran tembang, suasana terasa sunyi. Lantaran alunan Gamelan, berhenti tepat bersamaan tarian Rahmi.
Rohmadi kemudian melihat Rahmi menjatuhkan diri bersimpuh di hadapan satu sosok bermata merah nyalang dan bertanduk.
Pemandangan itu, seketika membuat tubuh Rohmadi gemetar. Jiwanya goncang, tulang-tulang di tubuhnya seperti terlolosi,
melihat sang istri ternyata telah bersekutu dengan Ibl*s.
Gema tawa dari sosok di hadapan Rahmi, sekali lagi menggetarkan jiwa Rohmadi. Ia tersungkur mundur, sambil berusaha menjauh. Sebelum tubuhnya berangsur masuk ke dalam rumah,
mata Rohmadi terakhir sempat melihat tubuh polos sang Istri di pikul oleh sosok-sosok wanita dan laki-laki berkulit pucat pasi, menuju sebuah tandu berhias untaian manik-manik berkilau.
Di mana, di tempat asing itu juga, mata Rohmadi menangkap sosok mahluk yang selama ini hanya ia tau dari ciri-cirinya saja, BARONGGO.

#tumbalterakhir
Satu kekuatan dengan lantunan Doa, seketika membangkitkan Rohmadi. Ia segera berlari menjauh setelah menutup rapat pintu belakang rumahnya.
Rasa tercekam membuat Rohmadi langsung membaringkan tubuh dan berlindung di balik selimut.
#tumbalterakhir
Di samping rasa takut, satu kemarahan menelusup, menusuk dalam relung hatinya. Membuatnya menangis, menyesali dengan apa yang sudah ia lihat.
Lelehan air mata dan keringat Rohmadi, sejenak terhenti oleh satu sentuhan lembut menyusup dalam selimutnya.
#tumbalterakhir
Perlahan, sentuhan itu bagai satu kekuatan seperti menarik tubuhnya. Rohmadi berpaling, terlentang, menatap sosok Rahmi yang telah berada di depan, duduk di sisi ranjang.
Letupan amarah seketika menguap dari sorot bola mata Rohmadi.
Saat jari-jari Rahmi menyusur dan mengusap wajahnya bersama senyuman mengembang. Aroma wangi dan Arus juga tak luput tercium pekat di hidung Rohmadi dari tubuh sang Istri.
#tumbalterakhir
"Mas, maafkan Aku. Ini saya lakukan demi anak-anak kita, kehormatan kita. Aku ingin kelak Rosyid dan Ratri tak seperti kita, di hina dan di rendahkan! untuk itu Aku melakukan semua ini, agar Aku bisa membalas sampai pada keturunan-keturunannya!"
pelan namun terdengar tegas, ucapan Rahmi di telinga Rohmadi.
Mendengarnya, amarah Rohmadi semakin membuncah. Namun hal aneh seketika terjadi pada seluruh tubuhnya.
Mata Rohmadi melotot, mengerang berat, seakan ingin berteriak keras, tapi seperti tertahan di kerongkongan.
Bukan hanya itu, tubuh Rohmadi seakan lumpuh, lemas tak berotot, dan tidak sedikitpun mampu untuk di gerakan.
Menyaksikan itu, bukan merasa iba. Rahmi justru tersenyum seraya mengusapkan kembali tangannya ke seluruh tubuh Rohmadi.
"Mas, kuminta kamu rela berkorban. Aku akan tetap merawatmu, sampai tiba waktunya," ucap Rahmi pelan sambil mengusap lembut darah dan nanah yang tetiba saja keluar dari bagian vital Rohmadi.

*****
#tumbalterakhir
Pagi menjelang, aktivitas sedikit berbeda terjadi di rumah Rahmi. Ia yang biasa hanya mengurus barang dagangan, kali ini tersibukan kebutuhan dua anaknya.
Meski ada bersitan rasa senang dari wajah dua bocah lugu itu, namun dari pancaran mata keduanya, menyirat rasa tak nyaman.
Pasalnya, sedari bangun tak melihat sosok Rohmadi, yang biasa menemani mereka.
"Ibu, Bapak kemana?" tanya Rosyid yang sudah tak bisa membendung rasa penasarannya.
#tumbalterakhir
"Bapak lagi sakit, makanya kalian berdua harus bisa belajar mandiri," jawab Rahmi sembari menata dua piring di atas meja.
"Sakit kenapa, Buk?" sahut Rosyid kembali.
#tumbalterakhir
"Sakit kepala, sama badannya menggigil. Sudah, cepat makan nanti Ibu yang antar ke Sekolah." Suruh Rahmi pada dua Anaknya.
Rosyid hanya terdiam, sedangkan Ratri menunduk seperti menyimpan sesuatu di balik kemurungan wajahnya.
#tumbalterakhir
Suap demi suap di lalui dua bocah tanpa keceriaan. Beberapa menit kemudian, keduanya bergegas melangkah ke depan yang ternyata telah di tunggu sang Ibu.
Sepulang mengantar Rosyid dan Ratri, Rahmi meneyempatkan diri memutar arah pulang, melewati jalan lain yang sedikit jauh.
Hingga tiba di persimpangan, ia berhenti sejenak. Menatap sinis ke arah rumah peninggalan orang tuanya yg telah menelan satu nyawa.
Selang beberapa saat, Rahmi pun melanjutkan perjalanan. Melaju pelan, sepelan sang mentari yg sudah muncul sempurna siap menebar sengatan ke bumi.
Wajah Rahmi sedikit menciut, kala ia tinggal beberapa meter dari rumahnya, matanya melihat sesosok lelaki berperut buncit dengan setelan batik, berdiri di halaman.

"Ada apa Kang, pagi-pagi sudah ke sini?" sapa Rahmi setelah ia sampai dan baru mematikan motornya.
"Ohh ... kebetulan ada kamu, Rahmi. Aku kira kamu di pasar," sahut lelaki berkumis yang tak lain adalah Broto.
Rahmi tak menyahut. Ia yang baru turun dari motornya, segera melangkah dan membuka pintu.
#tumbalterakhir
Namun, belum sempat bibirnya berucap guna mempersilahkan masuk sang Kakak, Broto terlebih dahulu menolak.
"Aku ke sini hanya sebentar, hanya ingin tau kabarmu sekeluarga. Dan satu lagi, aku mau kamu membantuku untuk menjual Rumah itu.
Mungkin kamu sudah mendengar kejadian kemarin yang sempat membuat heboh, sampai akhirnya rumah itu gagal terjual. Juga jangan lupa, untuk mendukungku dalam pencalonan nanti," ucap Broto sembari menyunggingkan senyum antusias.
#tumbalterakhir
Rahmi terdiam. Matanya menatap lurus pada wajah sombong Kakaknya. Ia tau, bahkan menangkap ada sesuatu tersembunyi dari ucapan Broto. Tapi, sampai Broto berlalu dari hadapannya, melangkah menuju mobil hitam yang terparkir di sisi jalan depan rumahnya, mulut Rahmi terkunci.
Ia tak menyahuti permintaan Broto. Namun dalam hati, sulutan api amarah seketika berkobar. Tercermin dari sunggingan seringai tipis di sudut bibir, bersamaan sorot tajam dua bola matanya.

*****
#tumbalterakhir
Kilatan bersambung guntur bergemuruh, menandai cuaca sore. Tak lama, awan hitam yang saling berkejaran akhirnya berkumpul di langit barat. Mengawali suasana gelap dan tumpahan air bening yang membasahi bumi.
#tumbalterakhir
Seketika hawa dingin menyelimuti, menyapu kulit setiap penduduk Desa, tak terkecuali tubuh lemah Rohmadi. Lamanya curahan hujan deras, meninggalkan kesejukan menusuk, beriring gemericik tetesan air dari atap genting rumahnya setelah mereda.
#tumbalterakhir
Dirinya yang baru saja mengawali satu penderitaan, mencoba bertahan dalam gigil kedinginan. Matanya mengedar, mencari dan berharap kemunculan Istrinya, agar bisa membantu menutupi tubuhnya dengan selembar selimut. Akan tetapi, sampai beberapa lama,
tak ada siapapun yang muncul untuk membantu.
Rohmadi saat itu juga, ingin sekali melihat kedua anaknya. Sedari pagi hingga malam, ia tak melihat bahkan mendengar suara mereka. Hal itu mengundang kekhawatiran dalam benak. Tapi memikirkan keadaannya sendiri,
ia hanya mampu menangis dalam hati, seraya mengutuk Rahmi.
Entah berapa menit, jam, ia terhanyut dalam kesedihan. Sampai akhirnya terbuyarkan oleh satu suara derap langkah, membangkitkan harapannya terlepas dari hawa dingin. Bola mata Rohmadi seketika bergeser kesamping.
Melirik ke pintu, setelah memastikan jika langkah kaki yang terdengar menuju ke kamarnya.
Tak berapa lama, derit pintu terbuka mengawali mata Rohmadi melihat sosok wanita masuk yang tak lain adalah Rahmi. Sapaan aroma wangi kamboja,
sejenak menyengak penciuman Rohmadi ketika lenggokan tubuh Istrinya mendekat. Membuat jantungnya berdegup kencang, menahan amarah bercampur takut.
Lembut terpancar dari tatapan Rahmi. Tapi sangat mengerikan di rasa oleh Rohmadi. Apalagi, semenit kemudian,
ketika juluran jari-jari tangan kiri Rahmi menyentuh, mengelus pelan kening dan wajahnya, ketakutan Rohmadi seolah meletup.
"Malam ini, akan ku mulai Mas. Kamu tenang saja, pengorbananmu tak akan sia-sia," bisik Rahmi pelan di telinga kiri Rohmadi.
Hawa dingin yang tadinya di rasa menyusup sampai ke tulang-tulang oleh Rohmadi, seketika berubah. Kini, perlahan dan sedikit demi sedikit, buliran bening keluar dari pori-pori kulitnya.
#tumbalterakhir
Menandakan jika suasana dirinya telah berganti panas setelah mendengar kalimat yang sangat di mengerti olehnya.
Rahmi sendiri, setelah berbisik membalikan tubuhnya dan melangkah keluar. Sebentar kemudian, ia kembali seraya membawa sebuah bejana berbentuk tampir,
berisi penuh perlengkapan sesaji.
Rahmi duduk bersimpuh. Meletakkan sesaji di sudut kamar sebelah kiri dan menata beberapa batang dupa yang ia letakan di tengah-tengah untaian bunga tiga warna.
#tumbalterakhir
Selembar kain putih, kemudian Rahmi hamparkan hingga menutupi sebagian sesaji, sebelum satu persatu batang dupa ia bakar.
Kemeluk kepulan asap dupa, lantas memenuhi ruang kamar. Membuat Rohmadi yang sejak awak melihat dengan melirik semua yang di kerjakan Rahmi,
merasakan dadanya sedikit tersesak oleh harum dupa yang sebenarnya ia tak suka.
Kembali Rahmi berdiri setelah berhasil membakar seluruh dupa. Berjalan perlahan mendekati lemari di sebelah ranjang tempat Rohmadi terbaring. Satu pemandangan aneh,
memunculkan ketakutan tersendiri dalam jiwa Rohmadi. Manakala ia melihat Rahmi menanggalkan satu persatu pakaiannya. Hingga sampai Rahmi tak lagi bertutup sehelai benang, Rohmadi mendadak merasakan satu terpaan angin panas membalur sekujur tubuh.
#tumbalterakhir
Tak sampai di situ, di saat Rohmadi mengerang lirih, memejamkan matanya demi melawan hawa panas, tiba-tiba ia merasakan sesuatu menyentuh bagian vitalnya. Sontak, Rohmadi pun membuka mata,
terperangah dengan sosok Rahmi yang sudah berada di sampingnya dengan balutan kain kemben sebatas dada.
Rohmadi lagi-lagi tersentak tanpa daya,
kala sentuhan di alat vitalnya berasal dari elusan tangan Rahmi yang menelusup ke dalam satu-satunya kain sarung membalut antara lutut dan sebatas perut dengan corak kotak-kotak.
#tumbalterakhir
Ringis kesakitan sejenak menghias wajah Rohmadi saat di rasakan sesuatu mengalir dan keluar dari alat vitalnya. Namun hal itu tak membuat Rahmi yang berubah dingin, menghentikan tangannya. Sampai akhirnya, kala Rohmadi merasakan sakit luar biasa,
barulah Rahmi berhenti dan mengeluarkan tangannya.
Lumuran darah dan nanah yang tergenggam di tangan Rahmi sangat jelas di mata Rohmadi, meski ia masih terengah-engah dalam kesakitan. Dirinya tau, bahwa darah dan nanah itu dari dalam tubuhnya.
Namun ia belum mengerti untuk apa Rahmi mengambilnya.
Tapi, tak berselang lama, batin Rohmadi meronta, melihat apa yang akan di lakukan oleh Rahmi. Sepintas Rohmadi berusaha menggerakan seluruh tubuhnya,
mencoba untuk mencegah Rahmi yang saat itu tengah mengambil selembar kain putih yang ia hamparkan di atas sesaji. Akan tetapi sekuat apapun Rohmadi berusaha, hanya sia-sia. Kini ia hanya bisa meneteskan air mata,
sembari melihat tangan Rahmi menuliskan sebuah nama di kain putih sambil bergumam melantunkan bait mantra.
Ratusan detik, puluhan menit berlalu. Dendang suara Rahmi terhenti tepat setelah ukiran sebuah nama selesai tergores pada kain putih dengan tinta darah dan nanah.
Suasana pun berganti hening, mengiringi tangan Rahmi yang menggulung kain putih dan meletakaknnya di atas batang dupa berjejer yang telah mengepulkan asap wangi.
Beberapa saat, gulungan kain itu terbungkus kepulan asap dupa yang kemudian menjadi kobaran api kecil membakarnya.
Namun aneh, meski sedikit lama gulungan kain itu terbakar, tapi Rahmi seperti tak merasakan panas pada tangannya yang memegang di dua ujung. Hingga kobaran mereda dan kain menjadi abu hitam, suasana kamar kembali menjadi riuh oleh suara gema tetabuhan kenong bersahutan.
Walaupun tak ada nyanyian sebagai pengiring, tapi Rohmadi merasakan sesuatu berbeda.
Hal itu pun akhirnya terjawab dengan kemunculan satu sosok bertubuh gemuk dan bermata hitam. Sosok itu berdiri di hadapan Rahmi. melototkan bola mata hitamnya dan membuka mulut yg tak berahang.
Rasa ngeri dalam diri Rohmadi semakin memuncak, yang tak hanya melihat kengerian pada wajah sosok itu. Ia pun teringat dengan satu kejadian, di mana saat sebelum ia tercelakai, sempat melihat juntaian rambut hitam memanjang tanpa tau sosok pemiliknya.
#tumbalterakhir
Dan kini, dgn sangat jelas, matanya melihat wujud dari pemilik rambut panjang beraroma barus itu.
"Nyangkur nyowo wiwiti wengi iki. Ora keno wurung kelawan badale geteh lan nanah!"(Mengambil nyawa di mulai malam ini. Tidak boleh gagal karena telah menumbalkan darah dan nanah!)
Satu ucapan dari bibir Rahmi, seketika menandai kepergian sosok itu. Menjadi kepulan asap hitam tipis, yang keluar menembus atap. Tepat di saat itu, Rohmadi merasakan tubuhnya seperti tertarik. Urat dalam tubuhnya mengencang. Membuatnya melototkan mata sembari menganga.
Rasa sakit teramat luar biasa kembali di rasakan Rohmadi. Tubuh tanpa daya miliknya, seketika mengejang kuat, otot-otot tubuhnya menonjol, berasa ingin keluar menembus kulit.
Puluhan menit Rohmadi mengalaminya. Napasnya tersengal, geramannya tertahan di tenggorokan,
sebelum akhirnya satu hentakan bagai sebuah sengatan listrik, menjalari hingga mengangkat sedikit tubuhnya dan sebentar kembali terhempas.
Rohmadi benar-benar merutuk, namun lagi-lagi hanya lelehan air mata yang bisa mewakili. Sesaat, setelah mengalami hal luar biasa itu,
atau tepat di sela-sela dengusan nafas tak teraturnya, tiba-tiba telinga Rohmadi berdengung hebat. Ia pun memalingkan wajah ke samping kanan dan kiri demi menahan rasa sakit pada gendang telinganya, sampai pada satu suara jeritan melengking terdengar nyaring,
mengakhiri dengungan pada indra pendengarannya.
Setelah sedikit mampu mengatur nafas, Rohmadi terhenyak diam bermandikan keringat. Perlahan ia memejamkan mata, mencoba untuk tak percaya pada apa yang baru saja ia alami. Tapi hal itu gagal, sebab kini,
bukan lagi jerit menyayat dari suara wanita yang entah milik siapa menghias telinganya. Melainkan, tawa ngikik dari sebelah tempatnya berbaring yang tak lain adalah tawa Rahmi.
#tumbalterakhir
"Terima kasih, Mas. Maafkan Aku bila ini membuatmu kesakitan. Tapi ini kulakukan demi harga diri keluarga kita, demi anak-anak kita kelak, supaya tak ada lagi yang berani merendahkan!"
#tumbalterakhir
Tak mampu menyahut, hanya lelehan air mata yang deras dari Rohmadi saat ucapan Rahmi membisik di telinga kirinya. Ia kemudian perlahan memalingkan kepalanya. Memberanikan diri menatap wajah Rahmi, yang telah berada di tepian ranjang sisi kiri.
Putih dan begitu dingin saat itu wajah Rahmi tampak di mata Rohmadi. Seperti menggambarkan satu kebengisan terkandung di dalamnya. Membuat Rohmadi tak mampu berlama-lama melihat.
Selang beberapa saat, Rohmadi memaksa matanya terpejam.
Ia ingin melupakan rasa sakit dan kengerian yang baru saja di alami. Doa-Doa terus ia lantunkan meski dalam hati. Berharap ia mampu dan mendapat pertolongan dari Sang Pencipta. Semakin lama, Rohmadi pun terlelap.

****
#tumbalterakhir
BAGIAN 5 SELESAI
BERLANJUT KE BAGIAN 6

bagi temen- temen yang mau BACA DULUAN BAGIAN 6, bisa langsung ke KARYAKARSA ya.

Ini link nya. karyakarsa.com/KALONG/warisan…
setara dengan 69 halaman.

-Sinopsis-

Begitu rumit, begitu berat yang di rasa Kolis untuk memikirkan cara mengakhiri semua. Ia pikir setelah usahanya mendapatkan air tujuh sumber bisa tuntas, tapi ternyata itu baru awal permulaan.
Kali ini Kolis disuruh Pamannya untuk bertolak kembali ke kampung halaman, dan diperjalanan Kolis melihat beberapa rentetan kejadian yang akan Kolis lakukan, namun ada saja gangguan yang berusaha menjegal Kolis agar gagal.
Disana, Kolis bertemu dengan Mbah Waris untuk mengambil tujuh tanah kuburan. Apakah rencana Kolis & Mbah Waris akan berjalan lancar untuk mendapatkan tanah kuburan dari tujuh korban Rahmi? Apa saja gangguannya yg membuat Kolis sempat pasrah?

Dukung dan ikuti ceritanya.
Nanti malam gas-lah kita.

BAGIAN 6 ya

Tapi yang mau baca-baca karya yg lain bisa mampir dulu kesini. 👇
karyakarsa.com/KALONG Image
WARISAN TUMBAL TERAKHIR
BAGIAN 6

#bacahorror #bacahoror @bacahorror Image
"Seko kui lah Mbah Sanir wani ngorbanke nyowo, nunggu wektu apik, nang Tanggal telulas sasi pitu seng wektune kari sakminggu neh."
#tumbalterakhir
(Dari itu juga Mbah Sanir berani mengorbankan nyawa, menunggu waktu baik, pada Tanggal Tiga Belas Bulan Ke Tujuh yang hanya tinggal seminggu lagi.) Ujar Uyut Latip meneruskan ceritanya.
#tumbalterakhir
"Terus kepiye carane le medot tetalene kui, Lek? opo hubungane karo aku seng kon golek banyu pitung sumber?"
(Terus bagaimana caranya memutus perjanjiannya itu, Lek? apa hubungannya dengan saya yang di suruh mencari Air tujuh sumber?) tanya Kolis kembali, seperti ingin memastikan
"Awakmu kui bakal di dadekne wali kanggo Komala. Podo karo wektu Rahmi ngritualke Ratri, seng akhire ngorbanke kakange Ratri dewe, Rosyid sak keluarga."
(Kamu itu nanti akan di jadikan wali untuk Komala. Sama dengan waktu Rahmi meritualkan Ratri, yang pada akhirnya mengorbankan kakak Ratri sendiri, Rosyid beserta keluarganya.)
"Nek le medot, mek enek pilhan loro. Pilih anak seng di kandung Nduk Kom ojo ngasi lahir,
opo Nduk Kom dewe seng numbali, ngorbanke awak dewe, pas mengko nang waktu ijab batin karo Jasmoro."
(Kalau untuk memutus, cuma ada pilihan dua. Pilih anak yang di kandung Nduk Kom jangan sampai lahir, apa Nduk Kom sendiri yang menumbalkan, mengorbankan dirinya,
tepat di saat akad batin dengan Jasmoro.) Sambung Uyut Latip.
Begitu rumit, begitu berat, di rasa Kolis memikirkan cara unyuk mengakhiri semua.
Ia pikir setelah usahanya mendapatkan air tujuh sumber bisa tuntas, tapi ternyata itu baru awal permulaan.
Tarikan nafas berat Uyut Latip berulang-ulang terdengar, wajahnya datar, pandangannya kosong lurus kedepan, seperti tengah berfikir hal yang sama denga Kolis.
"Nek awakmu arep muleh tilek keluarga, mulih o, Lis. Komala ben nang kene, tak jogone sak mampuku.
Penting pas Tanggal Telulas awakmu sak keluarga ojo ngasi turu, golek o wong seng iso nulung seko balak Srenggi pati. Mergo awakmu bakal di golek i tekan ngendi wae dino kui."
(Kalau kamu mau pulang pada keluargamu, pulanglah, Lis. Komala biar di sini, Saya jaga semampuku.
terpenting tepat tanggal tiga belas Kamu sekeluarga jangan sampai tidur, carilah orang yang bisa menolong dari malapetaka Jerat kematian. Karena Kamu akan di cari sampai di manapun saja hari itu.)
#tumbalterakhir
Terkesiap Kolis mendengar penuturan Uyut Latip kali ini. Sangat tak ingin dirinya menyeret keluarganya dalam urusan besar dan tak main-main, sampai nyawa yang bakal menjadi taruhan.
"Aku gak arep nyangkutke anak bojoku, Lek. Aku arep muleh nek urusan iki rampung."
(Saya tidak akan menyangkut pautkan anak istriku, Lek. Saya akan pulang kalau urusan ini selesai.) Sahut Kolis tegas setelah berpikir dalam-dalam.
"Nek pancen ngunu karepmu, mulai wengi iki dewe jogo, supoyo Adikmu ora metu seko omah iki. Kadung Lelek wes gagal golek bantuan."
(Kalau memang begitu keinginanmu, mulai malam ini kita jaga, supaya Adikmu tidak keluar dari rumah ini. Terlanjur Paman sudah gagal mencari bantuan.) ungkap Uyut Latip mengakhiri penjelasanya dan menutup dengan hempasan nafas berat.
Kolis yang sudah paham mengangguk pelan.
Kemudian mengiyakan perintah untuk istirahat, meninggalkan Paman Latip yang masih belum beranjak.
Namun, tanpa keduanya sadari, dari balik pintu kamar depan, sepasang mata dan telinga terus mengawasi dari celah-celah papan, juga merekam obrolan mereka. Wajahnya begitu serius,
matanya sering melotot, acap kali mendengar sebuah nama di sebut, seakan tak terima dengan apa yang di bicarakan Uyut Latip pada Kolis.
Wajah sosok di balik pintu itu nampak merah padam dengan semua rencana yang di utarakan Uyut Latip. Geraham giginya gemeretak mengencang,
bersamaan urat-urat terlihat menonjol, menandakan kemarahan. Tetapi ia tak kuasa untuk keluar saat itu, hanya bergumam sengit penuh ancaman di barengi tatapan tajam menyalang.
***

#tumbalterakhir
Hari itu alam benar-benar sendu. Langit muram tanpa kehadiran sang bola angkasa penebar panas. Menjadikan sebagian warga kampung memilih berdiam diri di rumah masin-masing. Entah karena ikut berduka atas kematian Mbah Sanir, atau memang karena alasan lain.
Memasuki waktu senja, suasana Kampung lebih cepat gelap dari biasanya, akibat dari mendung-mendung yang tadinya tipis menyebar, mulai berkejaran saling bergulung menyatu. Tak lama, tetesan-tetesan air bening tercurah dari atas,
membasahi bumi bersama kilat-kilat bersambutan dengan gelegar petir.
Kolis yang terlelap cukup lama pun terbangun. Merasai hawa dingin sebentar, dan memutuskan untuk bangkit dari ranjang beralas karpet tanpa kasur.
#tumbalterakhir
Perlahan ia melangkah keluar, mengedarkan bola mata, mencari-cari sosok Uyut Latip.
Namun dari ujung ke ujung tiap-tiap ruangan, tak di temuinya sosok Paman. Kolispun akhirnya terduduk di ruang makan, berniat mengisi perutnya yg sedari pagi belum terisi nasi barang sebutir pun
Sepotong ikan laut goreng dengan sambal pedas, menjadi teman nasi putih dalam piringnya. Sepuluk demi sepulukan, Kolis memindahkan nasi beserta lauk ke dalam perut dan segera meneguk segelas air dingin setelah mengakhiri pulukan terakhir makanannya.
Tetapi yang di tunggunya tak juga muncul, entah pergi sebab hujan belum bisa kembali, atau memang terganjal satu urusan penting.
Sampai waktu surup tiba dan hujan telah berganti rintik gerimis, Uyut Latip belum juga kembali. Hal itu membuat sidikit gelisah jiwa Kolis.
Entah mengapa, semenjak dirinya melihat Komala seperti orang kerasukan memakan bunga setampir, Kolis merasa ngeri dan takut.
Selagi kolis termenung, tiba-tiba terdengar derap langkah kaki dari ruang tamu. Mengira itu adalah Uyut Latip, Kolis bergegas menyambut.
Namun takkala ia sampai, bukan sosok Pamannya terlihat, tetapi sosok Komala tengah menghidupkan lampu teplok yang menempel di dinding papan.
Seketika perasaan Kolis berubah,
rasa takutnya mulai menyusup melihat sang Adik berjalan mendekat sembari melantunkan tembang tak ia mengerti maknanya. Semakin Komala dekat, semakin kuat rasa takut membalut jiwanya. Apalagi, semakin lama lantunan tembang yang keluar dari bibir Komala,
semakin terdengar menyayat kental berbau mistik.
"Tak jalok awakmu cukup dadi waliku ae, Kang. Ora usah melok perkoro seng durung tok ngerteni pestine. Bakal tak jamin awakmu selamet, tentrem bali nang omahmu."
(Saya minta Kamu cukup jadi waliku saja, Kang. Tidak usah ikut urusan yang belum Kamu pahami pastinya. Akan Saya jamin Kamu selamat, tentram pulang ke rumahmu.)
Pelan atau seperti bisikan, ucapan Komala saat berada di depan Kolis. Meski tak seperti waktu pagi sorot matanya,
tetapi bagi Kolis masih cukup menakutkan.
"Nek panggah di teruske, panggah ngalangi aku rabi karo Mas Jasmoro, malah dadi geger geden!"
(Kalau tetap di teruskan, tetap menghalangi Saya nikah dengan Mas Jasmoro, malah akan terjadi keributan besar) sambung Komala.
"Mbok awakmu sadaro, Nduk. Jasmoro sak keluargane kui meh ndadekne awakmu sambung tali karo Iblis. Dadi ra ono kebahagiaan seng koyo tok pingini. Percoyolah aku, Nduk!"
(Kamu itu sadarlah, Nduk. Jasmoro dan keluarganya itu mau menjadikan Kamu sebagai penyambung ikatan dengan Iblis. Jadi tidak ada kebahagiaan yang seperti Kamu inginkan. Percayalah Kakakmu, Nduk!)
Jengah, Kolis akhirnya bersuara. Walau tak di pungkiri masih terbersit rasa takut,
tetapi tak kuat Kolis membayangkan keadaan Adiknya kelak, bila benar terjadi pernikahan dengan Jasmoro.
Bukan ucapan jawaban dari Komala. Melainkan tatapan sinis menggambarkan kesadisan, juga seringai sengit menyungging dari bibir tipis Adiknya.
Saat itu dalam benak Kolis tersembul penglihatan berbeda. Satu sisi, ketika berbicara ia melihat benar-benar sosok Komala, tetapi ketika menyeringai, yang dirinya lihat adalah sesosok wanita tua berwajah angker.
#tumbalterakhir
"Krieeettt...."
"Lis, ngopo awakmu?"(Lis, Kenapa Kamu)
Tersentak Kolis mendengar sapaan dari Uyut Latip yang baru saja masuk ke dalam rumah. Juga sedikit bingung ketika tak lagi melihat sosok Komala yang baru sebentar saja melangkah pergi ke kamarnya.
#tumbalterakhir
Padahal ia yakin jika baru sejangkah dua jangkah Komala pergi, namun kini tak terlihat.
Penasaran membawa Kolis mendekati kamar Komala. Di tatapnya seksama daun pintu yang tertutup, seolah tak tersentuh tangan membukanya.
#tumbalterakhir
"Enek opo jane, Lis?"(Ada apa sebenarnya, Lis?) tanya Uyut Latip kembali merasa heran melihat sikap Kolis.
"Gak opo-opo, Lek. Cuma aku ki mau bar omong-omong mbek Nduk Kom, pas Lek Latip teko, kok terus lungo."
#tumbalterakhir
(Gak apa-apa, Lek. Cuma Saya tadi habis berbicara dengan Nduk Kom, waktu Lek Latip datang, kok terus pergi.) jawab Kolis masih dengan raut bingung.
"Wegah ngomong karo Aku, Paling?"

#tumbalterakhir
(Gak mau bicara sama Saya, Mungkin?) sahut Uyut Latip tak serius menanggapi dengan sambil berlalu masuk ke dalam kamar pribadinya.
Kolis yang kembali sendiri, masih merasakan hal aneh. Ia pun belum beranjak dari depan kamar Komala.
#tumbalterakhir
Sedetik kemudian Kolis membungkukan badan, mengintai dari celah-celah, mencoba meyakinkan dirinya jika sang Adik benar-benar telah di dalam.
Terang dan sangat jelas mata Kolis melihat isi dalam kamar Komala, di mana matanya menangkap sesosok wanita sedang duduk di tepian ranjang,
tengah menyisir rambutnya yang hitam nan panjang.
Sekilas Kolis tampak biasa, tetapi tak lama, tepat saat wajah sosok yang dirinya kira adalah Komala, balik menatap dirinya, Kolis tersurut mundur dengan wajah memucat.
Buru-buru Kolis melangkah mendekat ke kamar Uyut Latip.
Sesampainya, langsung menceritakan apa yang di lihatnya pada sang Paman yang kebetulan baru keluar dari kamar dengan setelan pakaian kesepuhan Agama.
Kening Uyut Latip sempat mengkerut, mendengar cerita singkat Kolis.
#tumbalterakhir
Ia pun segera berjalan ke kamar Komala bersama Kolis yang mengekor di belakang.
"Tok ... Tok ... Tok....,Nduk, Nduk, Kom?"
Sunyi, tak ada sahutan, tak ada jawaban apapun dari dalam, seolah kamar itu tak berpenghuni.
Uyut Latip mencoba kembali,
mengetuk seraya memanggil nama Komala. Namun sama, tetap kehenginan yang menjadi jawabannya.
Selagi keduanya saling tatap dengan pikiran masing-masing, dari belakang terdengar derap langkah yang di susul satu sapaan pelan. Serentak keduanya menoleh,
menatapi Komala yang muncul dan sudah berdiri di belakang mereka.
"Nduk, seko ndi awakmu!?"(Nduk, dari mana Kamu!?) tanya Uyut Latip, menutupi keterkejutannya.
"Seko kamar mandi, Lek. La arep nggolek i opo sampeyan karo Kang Kolis nang ngarep kamarku?"
(Dari kamar mandi, Lek. Lo.... mau mencari apa Sampeyan sama Kang Kolis di depan kamarku) jawab Komala dengan mimik heran.
"Gak golek i opo-opo. Lelek arep pamit, arep nang Mushola. Awakmu karo Kolis ojo lungo-lungo seko omah."
(Gak nyari apa-apa. Paman mau pamit, mau ke Mushola. Kamu sama Kolis di rumah jangan keluar-keluar.) sahut Uyut Latip memberi penjelasan.
Berbeda dengan Kolis, wajahnya menggurat keresahan. Bukan hanya karena ia bakal di tinggal oleh sang Paman,
tetapi juga dengan sosok wanita di dalam kamar Komala.
Kolis tertegun, mematung di depan pintu depan setelah kepergian Uyut Latip yang akan memimpin acara doa untuk Mbah Sanir di Mushola. Ia berpikir keras tentang siapa sosok wanita sangat mirip Adiknya, sedangkan Komala sendiri,
baru muncul dan mengaku dari belakang.
Sampai beberapa menit tak menemukan jawaban, Kolis beranjak ke ruang dapur. Berniat membuat segelas kopi untuk menghangatkan tubuhnya.
Rintik hujan kembali menetes,
menyambut gelap cakra yang mulai terbuka dengan senandung keheningan suasana alam perkampungan. Menenggelamkan buaian para warga yang berdiam diri di rumah, menghanyutkan arus pikiran Kolis dalam lamunan berteman segelas kopi.
#tumbalterakhir
"Le ... Le ... Le...."
Tiga kali, sebuah suara memanggil. Meski pelan namun jelas di telinga Kolis.
Perlahan Kolis bangkit, mencari sumber suara yang tak asing dan seperti dari arah belakang rumah.
#tumbalterakhir
Gelap, dingin, dan hanya rintik air hujan yang Kolis temui. Tak menemukan sosok siapapun, tak menemukan apapun kecuali hembusan angin di sertai kabut putih tipis meski seluas matanya mengedar.
#tumbalterakhir
Merasa ada ketidakberesan, Kolis cepat-cepat masuk. Namun belum sampai pintu tertutup rapat, suara itu kembali memanggilnya.
"Le ... Le ... Le ... Reneo...."(Nak ... Nak ... Nak ... Kesini....)
#tumbalterakhir
Tak elak, Kolis kembali membuka pintu, kembali melangkah keluar, dan berdiri di ambang tangga halaman belakang.
Lagi-lagi hanya angin dan pekat malam yang terpampang di hadapannya. Kolis hampir saja beranjak masuk,
sebelum kilat-kilat membelah kegelapan dan menerangi sedikit halaman, di saat itulah bola mata Kolis melotot seolah tak percaya mendapati satu sosok tengah berdiri di sudut kanan halaman.
"Mbah Sanir!" seru Kolis.
Urung Kolis beranjak dari tempatnya. Kakinya terpaku bersama kepalanya yang tak bisa ia palingkan. Kolis seperti di paksa untuk tetap berdiri di tempat itu, menatapi sosok Mbah Sanir yang perlahan mendekat.
"Le, banyu ngombene endi?"(Nak, Air minumnya mana?)
Kolis tergagu, tak mengerti dengan kalimat yang di ucapkan sosok Mbah Sanir. Tubuhnya bagai mati rasa melihat sosok masih utuh dengan kain putih penuh bercak darah, yang dirinya kuburkan pagi tadi. Tak hanya itu,
dari lubang hidung dan telinganya juga masih menempel kapas putih yang sudah berubah warna, hanya pada dua bola matanya saja kapas yang tertanggal.
"Le, tulungen aku, gowonen rene banyu ngombene."(Nak, tolonglah Saya, bawakan kesini air minumnya.)
Lirih suara yang di ulang dari sosok Mbah Sanir. Tetapi semakin membuat tubuh Kolis menebal tanpa bisa menjawab bahkan bergerak.
"Ojo wedi, Le. Aku gak bakal ngapak-ngapakne Koe, asal gowonen rene banyu ngombeku!"
(Jangan takut, Nak. Saya tidak akan apa-apain Kamu, asal bawakan kesini air minumku!)
Setelah mengucapkan hal itu, sosok Mbah Sanir perlahan mendekati Kolis. Namun baru saja kakinya yang terbungkus kain putih ingin menapak satu tangga, tubuhnya terjengkang ke belakang.
Seketika sosok Mbah Sanir menjerit, merintih sebentar, sebelum bangkit mengeluarkan geraman marah.
Melihat semua itu, Kolis akhirnya sedikit demi sedikit mulai mampu menguasai kesadarannya.
Hal itu di karenakan dirinya yakin jika selama tubuhnya tidak turun dari rumah panggung Pamannya, maka lelembut apapun tak bisa memasuki bahkan menyentuhnya, kecuali hanya satu sosok, Ratri.
#tumbalterakhir
Setelah benar-benar sadar, Kolis buru-buru masuk dan menutup pintu. Mengabaikan panggilan sosok Mbah Sanir yang masih berdiri di halaman belakang, di bawah rintikan hujan.
Kolis kemudian menyandarkan tubuhnya sambil berselonjor.
Melegakan dadanya yang bergerak naik turun begitu cepat, demi menahan rasa takut.
Beberapa menit lamanya, akhirnya sengalan nafas Kolis kembali normal. Bersamaan itu, suara sosok Mbah Sanir juga menghilang, tetapi berganti suara gemerincing seperti besi beradu.
#tumbalterakhir
Mendengar itu, Kolis segera memeluk lututnya erat-erat. Menutup matanya seraya berdoa dalam hati, berharap Uyut Latip segera kembali.
Namun harapan Kolis rupanya belum tersampaikan. Sebab bukan Uyut Latip yang muncul seperti harapannya,
tetapi sebuah derap-derap kaki bergerak berirama, mengikuti alunan gamelan beriring pelog pegon yang tetiba muncul, terdengar sangat dekat dengan dirinya.
Merasa tak tahan meski ketakutan, Kolis perlahan mengangkat kepalanya.
Sebuah bayangan terlihat dari pancaran lampu teplok tengah berlenggak lenggok layaknya sinden menari. Begitu lihai mengikuti irama tetabuhan, meski tanpa iringan nyanyian.
Bola mata Kolis akhirnya terbuka lebar, mulutnya ternganga,
ketika sosok yang tengah berlenggak lenggok mendekatinya. Menebar wangi melati, serasi dengan wajahnya yang putih bersih tak bernoda.
Sosok itu terus saja menari di depan Kolis. Memainkan selendang merah terlilit di perut,
yang terkadang terkibas oleh jentikan jari-jari tangannya. Sosok wanita berwajah tak beralis itu kini semakin mendekat ke arah Kolis. Gerak kaki dan tangan serta pinggul, tetap seirama dengan Gong gamelan, yang terkadang terjeda dengan sengaja.
Saat jarak antara Kolis dan sosok wanita itu tinggal dua jengkal, tiba-tiba saja ia berhenti menari bersamaan dengan hilangnya suara tetabuhan.
Kini, keheningan begitu mencekam di rasa Kolis.
#tumbalterakhir
Tubuhnya begitu dingin, anyep, seperti tak ada darah sedikitpun yang mengalir. Membuatnya hanya pasrah di hadapan sosok berkemben dan bersanggul, dengan hiasan tiga konde menancap di atasnya.
#tumbalterakhir
"Aku gak arep jikok nyowomu wengi iki. Nanging aku arep njikok opo seng kudu dadi nduweku!"
(Saya bukan mau mengambil nyawamu malam ini. Tetapi Saya mau mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku!)
#tumbalterakhir
Sinis dan sengit suara sosok wanita itu menempel di telinga Kolis. Kecantikan yang melekat dan sempat terlihat memancar dari wajahnya, seketika berubah dengan seringai sadis seolah memperlihatkan kebengisan pemiliknya.
#tumbalterakhir
Puas melihat ketakutan Kolis, sosok itu berjalan pelan. Sangat pelan hingga tak terdengar jejaknya seperti melayang. Mengarah ke kamar Komala yang sudah terbuka entak sejak kapan.
Hampir satu jam Kolis terdiam dengan kondisi tubuhnya yang pucat pasi dan begitu dingin.
Hanya lelehan air mata tanpa terusap, menjadi luapan jerit keputus asaan dalam jiwa Kolis.
Beruntung dugaan Kolis kali ini benar, saat mendengar suara langkah dan derit pintu terbuka adalah kepulangan Uyut Latip.
#tumbalterakhir
Sempat terkejut dan mengucap Istighfar Uyut Latip, melihat keadaan Kolis. Buru-buru di papahnya tubuh anyep tanpa daya, dan di baringkannya di atas ambal kain lusuh berlapis karpet ruang tamu.
Belum sempat berucap apapun, Uyut Latip berlalu ke belakang.
#tumbalterakhir
Sebentar kembali dengan sebuah gelas berisi air putih di tangan kanannya.
Sejenak bibir Uyut latip bergerak teratur seperti tengah membaca Doa tertentu. Kemudian, secara pelan-pelan meminumkannya pada Kolis.
#tumbalterakhir
Sejuk di rasa tenggorokan Kolis saat teraliri air bening yang sudah di bacakan Doa. Tak berapa lama, tubuhnya pun berangsur-angsur menghangat seperti sedia kala.
"Kenek opo meneh Awakmu, Lis?"(Kenapa lagi Kamu, Lis?) tanya Uyut Latip saat melihat kondisi Kolis sudah membaik.
"Aku di temoni Arwahe Mbah Sanir, Lek. Dekne nembong njalok banyu ngombe. Sak bare kui, enek seng luweh ngeri, seng gawe aku iso ngene iki, ono wong wedok ayu nari-nari nang kene. Tariane, tabuhane, podo persis koyo wong tayuban."
#tumbalterakhir
(Saya di temui Arwahnya Mbah Sanir, Lek. Dia ngomong minta air minum. Setelah kejadian itu, ada yang lebih ngeri, yang membuat Saya bisa seperti ini, ada sesosok wanita cantik menari-nari di dalam sini. Tariannya, tetabuhannya, sama persis seperti kesenian Tayub.)
jawab Kolis yang sudah mampu duduk namun masih terlihat pucat.
"Opo wong wedok kui nganggo selendang abang, tapenan jarek? gelungan karo ono kondene telu jejer?"
(Apa sosok wanita itu memakai selendang merah, berkemben kain jarit dan bersanggul dengan tiga tusuk konde berjejer?) sahut Uyut Latip, bertanya dengan cepat seperti ada sesuatu yang di khawatirkan.
"Iyo, Lek."(Iya, Lek) jawab Kolis pelan, mengiyakan ciri-ciri dari sosok wanita yang belum dirinya ketahui sosok siapa.
Uyut Latip seketika bangkit. Bergegas melangkah buru-buru ke kamar yang di huni Komala setelah mendengar jawaban Kolis.
Namun hanya sebentar. Uyut Latip pun tak lama keluar dengan wajah merah menegang.
"Ciloko! Nduk Kom lungo!"(Celaka! Nduk Kom Pergi!) Seru Uyut Latip dengan panik.
Kolis yang keadaannya masih lemah, ikut tersentak. Ia bangkit dan masuk ke dalam kamar Komala.
Hasilnya tak beda dengan apa yang di ucapkan Uyut Latip. Kamar Komala telah kosong, bahkan yang tersisa hanya dua lembar pakaian sedikit usang.
"Tak susule Komala, Lek. Mbok urung adoh lungone."
(Saya susul Komala, Lek. Mungkin belum jauh perginya.) ucap Kolis tiba-tiba terbersit pikiran untuk menyusul.
Tetapi baru saja ia akan melangkah, Uyut Latip lebih dulu menahannya.
#tumbalterakhir
"Ora usah. Ora bakal kekejar, sio-sio ae awakmu nyusul."(Tidak usah. Tidak akan terkejar, sia-sia saja Kamu menyusul) ujar Uyut Latip, mencegah kepergian Kolis.
"Terus saiki kudu piye, Lek?"(Terus sekarang harus bagaimana, Lek?) sahut Kolis dengan cemas.
"Dewe jek nduwe wektu seminggu. Sementara iki Komala ora opo-opo. Tapi nek wektu seminggu dewe gagal, wes gak iso ketulung meneh!"(Kita masih punya waktu seminggu. Sementara ini Komala tidak apa-apa. Tapi kalau waktu seminggu kita gagal, sudah tidak bisa tertolong lagi!)
Terdiam Kolis mendengar penjelasan Uyut Latip. Pikiranya kalut, antara ngeri, takut, dan rasa sayangnya terhadap seorang Adik, membaur dalam benak.
Terbayang kembali olehnya pesan-pesan dari Mbah Soko, Bapaknya, bila ia harus menyelamatkan sang Adik satu-satunya.
Terpikir juga olehnya pengorbanan orang-orang yang ingin mengakhiri kesadisan keluarga Murti Rahmi, yang telah memakan banyak nyawa, termasuk keluarganya.
#tumbalterakhir
Sampai di situ, Kolis pun bertekad untuk meneruskan perjuangan yang telah dirinya mulai separuh jalan, apapun resikonya.
"Piye carane supoyo aku iso nolong Komala, Lek?" tanya Kolis dengan sungguh-sungguh.
Sejenak Uyut Latip diam tertegun. Kemudian menatap lekat-lekat wajah Kolis, setelah menghempas nafas berat.
"Gak sido bali, awakmu?"(Tidak jadi pulang, Kamu)
Kolis menggeleng tanpa ragu, meyakinkan keberanian dan juga menunjukan tekadnya.
"Sisok mangkato bali meneh nang omah e Bapakmu. Gowo banyu pitong sumber. Temoni Mbah Waris, mergo mek Mbah Waris seng iso ngerti Potro Jenggolo, panggonan seng bakal ge acara ritual nang Tanggal Telulas."
(Besok berangkatlah pulang lagi ke rumah Bapakmu. Bawa air tujuh sumber. Temui Mbah Waris, karena hanya Mbah Waris yang bisa melihat dan tau Potro Jenggolo, tempat yang akan di jadikan untuk acara ritual pada Tanggal Tiga belas.) ucap Uyut Latip kembali.
"Insya Allah Lelek engko nyusul. Sak bare Lelek nemoni Mbah Nawi, kanggo mbantu urusan iki."
(Insya Allah Paman nanti nyusul. Setelah selesai Saya menemui Mbah Nawi, untuk ikut membantu urusan ini.) sambungnya.
Kolis kembali hanya diam menunduk. Ia paham dengan ucapan sang Paman, namun tak paham resiko yang bakal ia hadapi tujuh hari ke depan.

Waktu baru saja merangkak pagi. Tetesan embun belum sepenuhnya sirna oleh paparan sinar semburat merah. Namun hal itu tak menghalangi niat Kolis
.
Siuran angin pantai sesekali menerpa wajah lelahnya. Terasa sejuk tetapi tak mampu menghapus lelehan amarah, kecemasan, yang merundung jiwanya.
Setelah hampir dua jam Kolis membonceng sepeda motor milik salah satu warga atas perintah Uyut Latip,
tibalah ia di loket salah satu Bus yang akan membawanya kembali ke tempat di mana semua malapetaka berawal.
Sejenak berbasa-basi, Kolis pun mengawali perjalanannya ketika Bus berukuran panjang nan besar dengan rute Antar kota Antar Propinsi datang menghampiri.
Mendapat posisi di tengah, Kolis memilih duduk bersampingan langsung dengan dinding kaca Bus, bersebelahan dengan seorang penumpang remaja berpakaian layaknya santri.
Saling sapa dan obrolan ringan tak lama terjadi antara keduanya.
Hal itu sedikit mengurangi rasa bosan dan mencairkan ketegangan dalam pikiran Kolis. Sampai pada Bus masuk ke Pelabuhan, keduanya masih tampak asyik dengan bumbu candaan, hingga berakhir ketika harus turun dari dalam Bus, guna masuk ke kapal untuk menikmati pelayaran.
Empat Jam Kolis termenung sendiri menikmati pelayaran di pinggiran kapal. Menatapi birunya air laut tanpa ada setitik keceriaan sedikitpun seperti penumpang-penumpang yang lain.
Sampai tibalah sebuah suara tanda kapal akan berlabuh,
membuat seluruh penumpang berduyun-duyun mendatangi kendaraan tumpangan masing-masing. Tak terkecuali diri Kolis, yang kembali pada tempat duduknya semula di dalam Bus.
Saat itu semuanya seperti biasa, tak ada yang aneh, tak ada yang janggal, tak ada yang berubah.
Tetapi setelah Bus berhenti sebentar di sebuah rumah makan, dan melanjutkan kembali perjalanan, disitulah Kolis mulai merasakan hal aneh.
Beberapa kali Kolis menguap, matanya terasa pedih dan berat untuk terjaga.
Satu menit dua menit, Kolis masih berusaha menahan sembari berucap mengajak bicara teman sebangkunya. Namun sekali sampai ketiga kalinya tak ada sahutan, Kolis merasa janggal. Apalagi saat itu dirinya melihat dengan jelas, jika teman sebangkunya itu masih terjaga.
Merasa penasaran, Kolis mengulang kembali. Tetapi sama, tak jawaban. Dan tak lama, Kolis merasakan suasana di dalam Bus begitu hening dan sunyi. Tak ada suara percakapan, obrolan, musik bahkan suara deru mesin. Hal itu membuat Kolis bingung,
kemudian rasa bingung itu berubah menjadi ketegangan berbalur rasa takut saat ia menatap keluar dari kaca di sampingnya.
Entah jalan mana di tempuh Bus yang membawanya kala itu. Suasananya begitu sepi, tak satupun terlihat gedung,
rumah penduduk atau satu dua kendaraan sepanjang pengamatannya. Yang ada hanya hamparan tanah kosong seluas matanya memandang.
Sekira sepuluh menitan kemudian, Kolis merasa Bus itu memasuki kawasana hutan dengan pepohonan angkuh tinggi menjulang. Hawa lembab seketika menjalar,
mengiringi suasana gelap di sekitaran.
Kolis segera memalingkan wajah, niat ingin bertanya pada teman sebangkunya. Tetapi urung, sebab dirinya melihat teman dan seluruh penumbang bersikap aneh. Mata mereka terjaga,
tetapi tatapan mereka kosong, wajah memucat dan diam bagaiakan patung.
Hanya desahan nafas mereka yang terdengar pelan bersahutan, membentuk irama yang semakin membuat jantung Kolis berdegup tak beraturan.
Kolis benar-benar tak berdaya saat itu, suara lantangnya pada sang Sopir seolah nyanyian yang menidurkan, sedang seluruh penumpang lainnya, termasuk teman sebangkunya bagai onggokan mayat-mayat hidup yang terduduk.
Tak tahan dengan keadaan dalam Bus, Kolis kembali memalingkan wajahnya menatapi suasana luar, dan kembali pemandangan asing terlihat, bukan hamparan tanah kosong, bukan hutan rimba sangat lebat, tetapi sebuah pedesaan yang aneh.
Rumah-rumah yang berdiri di sisi kanan kiri jalan berbentuk joglo, berukir gambar kepala bermacam binatang dengan seluruh halaman rumah terdapat sebuah patung tegak gambaran sesosok wanita bermahkota.
Di saat bersamaan, Kolis merasakan betul bila Bus berjalan seperti merayap. Seolah-olah memberi kesempatan bagi dirinya untuk bisa dengan seksama menatapi setiap detail perkampungan aneh tersebut. Dari satu kampung ke kampung di depannya, semua sama. Tak ada bangunan tembok,
bertingkat, atau kendaran lalu lalang. Yang ada hanya sebuah pasar tradisional dengan ragam pengunjung berpakaian hampir sama. Dari puluhan bahkan ratusan orang-orang yang tertangkap mata Kolis, tak satupun berwajah cerah. Kesemuanyan berkulit putih pucat,
sangat kontras dengan rambut mereka yang lebat dan hitam legam.
Mereka acuh, tak menghiraukan ke hadiran Bus yang dirinya tumpangi sedang melintas di jalanan beraspal mulus tanpa lobang di sisi pasar.
Mereka tetap berlalu lalang, meneteng perbelanjaan di tempat sejauh satu kilo meteran berpintu gerbang dengan tulisan jawa kuno berwarna merah darah.
Deru memburu nafas Kolis saat itu. Ia sadar bila tempat itu bukanlah tempat biasa.
Ia sadar jika saat itu dirinya tengah berada bukan di alam Manusia. Baginya semua itu seperti mustahil, tetapi lagi-lagi terasa nyata manakala matanya kembali menatap suasana luar dengan pemandangan masih sama.
Selepas melewati Pasar aneh itu, Kolis di hadapkan pemandangan lebih mengerikan pada beberapa gapura layaknya pintu masuk ke sebuah Desa. Di mana pada tiap-tiap gapura, bertiang potongan tangan dan kaki-kaki Manusia. Sedangkan pada daun-daun pintunya,
tersusun puluhan potongan kepala-kepala terbasahi lelehan darah kental berwarna merah kehitaman.
Kolis akhirnya tak tahan, ia menjerit, berteriak ketakutan. Tetapi suaranya bagai angin hampa, tak terdengar dan menghilang.
Namun saat dua telapak tangannya mengatup pada wajahnya yang basah berkeringat, satu sentakan terasa panas menghantam bagian telinga kirinya.
"Kang ... Kang....!"
Kolis terkejut. Tergagap dengan keadaan sekeliling. Sejenak ia tergagu sambil mengedarkan pandangan. Semua berubah,
semua sama seperti awal dirinya berangkat. Hanya kini Bus itu berhenti di suatu tempat yang perlahan dirinya ingat letak tempat itu tak jauh dari kediaman orang tuanya.
"Bang ... Abang turun sini kan?" satu suara dengan logat khas sebuah suku, semakin menyadarkan Kolis.
"I--Iya.... Tapi kok cepat kali, Bang?" jawab Kolis mengikuti logat yang sama, seakan tak percaya.
"Abang itu tidur pulas kali, sampai waktu makan pun tak mau bangun. Ini tadi kalau bukan si Adek yang bangunin,
mungkin kebawa Abang sama Kami!" ujar kembali laki-laki gempal, salah satu Kru Bus yang di tumpangi Kolis.
Kolis terdiam sambil menatap remaja 17an yang sedari awal duduk di sampingnya. Sang Remaja hanya tersenyum mendapat tatapan bingung Kolis. Tetapi ketika Kolis akan keluar turun dari Bus dan melewatinya, sang pemuda membisikan sesuatu.
"Seng Sampeyan delok nang njero ngimpi mau, iku asli enek gon e. Lan sampeyan bakal mlebu, bakal ngerti sekabehane."
(Yang Sampeyan lihat di dalam mimpi tadi, itu asli ada tempatnya. Dan sampeyan akan masuk, akan tau semuanya.)
Kolis sejenak terhenti, mendengar bisikan remaja berkulit putih dengan sebuah kalimat tak di mengerti olehnya, tetapi sanggup mengejutkannya. Kolis lalu menatap dalam-dalam sang Remaja yang mengganggukan kepala masih dengan ulasan senyum.
Seperti mengetahui tentang apa yang ingin di tanyakan Kolis.
Sampai Bus berlalu dan menghilang dari pandangan, Kolis masih terpaku. Mengingat kembali kejadian saat dirinya tertidur sangat panjang di dalam Bus. Hingga tanpa sadar,
sepasang mata dari balik pagar besi sebuah bangunan besar layaknya gudang, tengah menatapinya dengan seksama.
Lunglai langkah Kolis menyusuri jalan tanah berbatu koral.
Sesekali harus melompat menghindari kubangan lobang penuh lumpur ciri khas jalan menuju kampung orang tuanya sejak dulu.
Meski waktu hampir memasuki senja dan cuaca tak terlalu panas, namun keringat tetap membasahi kemeja kotak-kotak lengan pendek, yang melekat di tubuh Kolis.
Hamparan sawah-sawah milik warga, menjadi pemandangan selama perjalanannya dan sedikit menjadi penenang jiwanya.
Memasuki gapura tembok setinggi dadanya, Kolis berhenti sejenak. Melepas rasa lelah dengan hempasan nafas berulang-ulang.
Setelah di rasa cukup, Kolis menenteng tas hitam di pundak barang bawaan satu-satunya, dan kembali melangkah meneruskan perjalanan. Namun belum sampai sepuluh langkah, satu suara menyeru dan menghentikan langkah Kolis.
"Kang Kolis, Kang!"
"Mas Ilham." sahut Kolis menjawab seruan seorang lelaki yg datang dari sisi kanan, tepatnya dari jalan kecil mengarah ke pertengahan sawah.
Lelaki muda yg di panggil Ilham kemudian menghampiri Kolis. Berbasa-basi dan berjabat tangan sebentar, sebelum keduanya berjalan beriringan.
Obrolan-obrolan berbagi pengalaman terdengar selama perjalanan keduanya. Tetapi tak lama, suasana berubah saat Kolis menanyakan tentang kabar Bapaknya, membuat Ilham tiba-tiba berhenti sambil menatap Kolis penuh tanda tanya.
"Lha opo gak ngerti tenan awakmu ki?"(Lha apa tidak tau beneran Kamu ini?) ucap Ilham.
Kolis terdiam dengan perasaan bingung sambil membalas tatapan Ilham.
"Ora tenan, Mas. Nek ngerti gak takok to aku."(Tidak beneran,Mas. Kalau tau ndak tanya Saya.) jawab Kolis mulai cemas.
Sebentar Ilham termenung, seperti ingin meyakinkan dirinya yang ragu atas ucapan Kolis. Sampai akhirnya Ilham terangguk dengan wajah sedih seraya menepuk pundak Kolis pelan.
"Yo wes, ayo tak kei ngerti."(Ya sudah, ayo Saya kasih tau.)
Kolis menurut, mengikuti langkah Ilham. Namun, perasaannya mulai tak enak ketika Ilham bukan menuju rumahnya, melainkan menyimpang ke arah yang ia tau adalah tempat pemakaman umum.
Sesampainya di gerbang masuk, Ilham menunjuk ke salah satu lokasi.
Di mana terlihat sebuah payung hitam masih tertancap di atas sebuah gundukan tanah.
Seketika dada Kolis sesak, wajahnya memerah sekaligus memucat, menyadari jika yang di tunjuk Ilham adalah makam Bapaknya.
Terasa berat kaki Kolis menapaki jalan kecil area makam.
Tangisnya tak mampu lagi ia tahan, kala matanya melihat sebuah patok kayu bertuliskan nama Handoko Bin Sasongko, nama kecil atau nama asli Bapaknya.
"Dino iki pas pitong dinone Bapakmu, Lis. Syukur awakmu teko kene gak telat."
(Hari ini tepat tujuh harinya Bapakmu meninggal, Lis. Syukur Kamu datang ke sini tak sampai terlambat.)
Kolis segera mendongkakkan kepalanya mendengar suara serak tak asing dari sisi kanan makam.
Seraut wajah tua dengan tatapan datar, dari orang yang menjadi salah satu jujugannya, tetiba saja sudah berdiri tegak, dan tengah memandangi makam Bapaknya.
"Mbah Waris." ucap Kolis lirih di sela isak kesedihannya.
"Nek wes Dongakne, marem le mu tilek, melu bali aku."(Kalau sudah mendoakan, puas berada di sini, ikut pulang Saya.) sahut lelaki tua yang bakal menjadi panutan Kolis.
"Njeh, Mbah."(Iya, Mbah.)
#tumbalterakhir
Sekitar sepuluh menit, Kolis beranjak dari rumah abadi Mbah Soko. Dirinya mengekor di belakang Mbah Waris berjalan keluar. Menghampiri Ilham yang masih setia menunggu, kemudian juga turut mengikuti, meninggalkan area makam umum yang mulai berangsur gelap.
***
#tumbalterakhir
"Bapakmu ninggale wektu awakmu lungo ngeterke Komala. Wes tak cegah, ojo nekat, neng Bapakmu kui ora keno di luk nek wes kadong karep."(Bapakmu meninggalnya sewaktu kamu pergi mengantarkan Komala. Sudah Saya cegah jangan nekat,
tapi Bapakmu itu tidak bisa di larang kalau sudah punya keinginan.) ujar Mbah Waris sesampainya di rumah.
"Ninggale Bapak keneng nopo, Mbah?"(Meninggalnya Bapak kena apa, Mbah?) tanya Kolis menanyakan tentang ikhwal meninggalnya Mbah Soko.
"Yo podo koyo seng mbok ngerteni. Apik nang motone wong biasa, tapi asline ngunu ngeri, mergo tarung karo ingon-ingone Ratri seng uduk lawane Bapakmu!"
(Ya sama seperti yang kamu lihat. Baik di mata orang biasa, tapi aslinya mengerikan, karena bertarung dengan peliharaan Ratri yang bukan tandingan Bapakmu!) jawab Mbah Waris terlihat geram.
Mendengar ucapan itu, Kolis mengulas balik ingatannya sewaktu di laut. Di saat dirinya membuang sesuatu atas pesan Bapaknya sendiri, yang kemudian memunculkan bayangan tubuh sang Bapak, tercabik penuh darah bersama jeritan-jeritannya yang menyayat.
Gemuruh di dada Kolis seketika berjejalan setelah membayangkan semuanya. Marah, sudah barang tentu. Tetapi harus di tahannya, karena hanya sia-sia dan membahayakan nyawanya saja bila ia gegabah.
"Wes, rasah tok pikir. Seng penting saiki piye carane amprih Adikmu iso selamet!"(Sudah, tidak usah Kamu pikir. Yang penting sekarang bagaimana caranya supaya Adikmu bisa selamat!) tegas Mbah Waris seperti tau isi pikiran Kolis.
"Di kon nglakoni opo karo Latip, awakmu?"(Di suruh melakukan apa sama Latip, Kamu?)sambung Mbah Waris.
Satu sesenggukan kemudian mengawali cerita Kolis pada Mbah Waris. Dari mulai perjalanannya sampai kembali lagi, tak satupun yang terlewat.
Tak ada expresi terkejut ataupun tegang di wajah Mbah Waris. Lelaki tua itu tetap terlihat tenang, meski ada siratan kesedihan setelah mendengar sampai selesai cerita Kolis.
Seteguk dua teguk kopi masuk ke tenggorakan Kolis sebelum tangannya mengeluarkan sebuah botol dari -
tasnya yang berisi air dari tujuh sumber. Ia pun segera menyerahkan air itu, sesuai amanah dari Uyut Latip.
Termangu Mbah Waris menatapi isi air dalam botol yang sedikit berubah keruh. Tak lama, ia pun beranjak masuk ke dalam kamar pribadinya dan
kembali dengan membawa selembar kain hitam polos.
"Gowonen mori ireng iki. Awakmu ijek nduwe tugas meneh, sak durunge Tanggal Telulas sasi iki."
(Bawalah kafan hitam ini. Kamu masih punya tugas lagi, sebelum Tanggal Tiga Belas Bulan ini.) ucap Mbah Waris seraya mengulurkan kain kafan hitam selebar map.
Kolis tetap menerimanya walau belum mengetahui maksud dari ucapan dan perintah dari Mbah Waris.
Namun setelah satu hisapan rokok kretek yang baru di hidupkan, Mbah Waris baru memberitahukannya.
"Iku kanggo wadah lemah kuburan korbane Rahmi seng ijek ono gandeng geteh. Jumlahe 6, tutupan kepitune, lemah kuburane Bapakmu."
(Itu untuk tempat tanah kuburan korbannya Rahmi yang masih ada ikatan darah. Jumlahnya 6, dan yang ketujuhnya, tanah kuburan Bapakmu sendiri) terang Mbah Waris.
Terhenyak kali ini Kolis. Ia membayangkan begitu berat dan sudah barang tentu penuh kengerian tugasnya itu.
Membuatnya serasa ingin menolak, tetapi urung ketika mengingat pengorbanan Bapaknya.
"Tapi aku gak ngerti Mbah, kuburane sopo wae seng enem kui? terus di kubur nandi wae, aku yo gak ngerti?"
(Tapi Saya tidak tau Mbah, Kuburan siapa saja yang enam itu? terus di kubur di mana saja, Saya juga gak tau? jawab Kolis sedikit tergetar.
"Mengko tak kei ngerti kuburane sopo-sopo. Masalah nggone, Ilham mengko seng ngeter-ngeterke. Seng paling adoh yo siji tok, kuburane Rosyid,
kakang kandunge Ratri dewe."
(Nanti Saya beri tau kuburannya siapa-siapa. Masalah tempatnya, Ilham nanti yang mengantar. Yang paling jauh cuma satu saja, kuburannya Rosyid, kakak kandung Ratri sendiri.)
Sedikit lega Kolis mendengar penjelasan Mbah Waris. Setidaknya ia tak sendiri, akan ada Ilham yang menemaninya walaupun sebatas mengantar.
Setelah mengucapkan itu, Mbah Waris mempersilahkan Kolis beristirahat. Tetapi Kolis menolak. Dirinya berkeinginan untuk tidur di rumah peninggalan Bapaknya yang memang letaknya tak terlalu jauh.
Entah dari mana keinginan kuat Kolis untuk tetap tidur di rumah sederhana yang menjadi kediaman hingga akhir hidup Bapaknya, sampai-sampai tak mengindahkan nasehat serta peringatan dari Mbah Waris.
Kolis pun akhirnya tetap menuruti keinginan kuatnya.
Setelah beberapa pesan sempat ia dengar dari Mbah Waris dan dirinya simpan dalam benak.
Setapak demi setapak dengan suasana gelap dan sunyi, mengiring langkah Kolis menuju rumah sederhana peninggalan Mbah Soko. Sempat terbersit keraguan melihat keadaan,
karena selama dalam perjalanan, tak satupun warga yang ia jumpai, padahal malam belum begitu larut.
Namun dorongan kuat untuk meneruskan langkah kembali bergelanyut erat. Membuatnya menghilangkan keraguan dan memupus rasa takut.
Sesampainya di halaman, Kolis terheran dengan keadaan rumah tak seperti yang Mbah Waris ceritakan. Sebab kini di hadapannya, Kolis melihat sebuah rumah yang terawat. Lampu-lampu menyala, bersih dan rapi sama seperti saat masih di huni Bapaknya dan Komala.
Kolis memantapkan diri melangkah masuk halaman dan berhenti sejenak di depan pintu. Rasa heran kembali menyeruak, kala tangannya mendorong pintu tetapi seperti terkunci dari dalam.
Tak berapa lama jantung kolis berdegup mengencang,
mendengar derap gemresek layaknya langkah kaki beralas dan bersentuhan dengan tanah, dari dalam rumah.
Kolis sempat bingung sebelum berganti takut, ketika hidungnya mencium wangi pandan berpadu kenanga dari arah dalam.
Tetapi semua itu terganti keterkejutan,
manakala pintu terbuka dan memunculkan sesosok wanita di hadapannya.
"Nduk Kom!?" ucap Kolis berseru kaget.
"Kang Kolis, ayo mlebu."(Kang Kolis! ayo masuk) sahut sosok Komala menunjukan expresi yang sama.
Kolis tertegun sejenak, matanya terus menatapi sosok Komala,
seakan tak percaya. Namun ketika seulas senyum tersungging dari sudut bibir Adiknya, Kolis pun melangkah masuk.
Wangi, dan sedikit berubah tatanan di dalam rumah Bapaknya di Rasa Kolis. Tetapi hal itu seperti tak mempengaruhi jiwanya,
sehingga melupakan salah satu pesan dari Mbah Waris.
"Kapan teko kene, Kang?"(Kapan sampai di sini, Kang?) tanya Komala setelah menyuguhkan segelas kopi seraya duduk di hadapan Kolis.
"Sore mau, tapi mampir disek nang kuburane Bapak, terus kon mampir gone Mbah Waris."(Sore tadi,
tapi mampir dulu di kuburan Bapak, terus di suruh mampir tempat Mbah Waris.) jawab Kolis datar.
"Berarti wes ngerti to, Bapak ninggal? terus kon ngopo mampir gone Mbah Waris!?"
(Berarti sudah tau kan, kalau Bapak meninggal? terus di suruh apa mampir tempat Mbah Waris!?) tanya Komala sedikit ketus.
Hal itu mengundang pertanyaan dalam diri Kolis. Bukan hanya raut ketidaksukaan yang di tunjukan Komala saat mendengar nama Mbah Waris di sebut,
tetapi juga gelagat aneh lain tertangkap mata Kolis.
"Gak kon ngopo-ngopo. Mek nakokne kabar karo nyritakne ninggale Bapak."(Tidak di suruh ngapa-ngapain. Cuma menanyakan kabar dan menceritakan meninggalnya Bapak.)jawab Kolis menutupi.
"Lha awakmu ngopo kabur seko gone Lek Latip? terus ket kapan manggon kene dewe?"(Lha Kamu kenapa kabur dari rumah Lek Latip? terus sedari kapan menempati di sini sendiri?) sambung Kolis, balik bertanya.
Kali ini pertanyaan Kolis sedikit membuat wajah Komala berubah, namun kembali biasa, setelah hembusan nafas dari bibirnya menerpa wajah sang Kakak.
"Aku gak betah, Kang. Kepikiran bapak terus. Ngenggoni kene yo ket aku teko."
(Saya tidak betah, Kang. Kepikiran Bapak terus. Saya menempati rumah ini, ya dari Saya datang.) jawab Komala datar tanpa beban.
Sebenarnya jawaban Komala dirasa janggal oleh Kolis. Tetapi entah mengapa, Kolis seolah tak ingin berdebat dengan Adiknya.
"Yo wes, Kang. Di entekne kopine, terus istirahat. Aku yo meh istirahat."(Ya sudah, Kang. Di habiskan Kopinya, terus istirahat. Saya juga mau istirahat.) ucap Komala sambil berdiri dan berpamitan.
Belum sempat Kolis menjawab, Komala sudah berlalu. Meninggalkan seribu pertanyaan pada diri Kolis, dan juga aroma wangi bunga semerbak, menusuk hidung.
Hawa dingin dan suasana hening seharusnya menumbuhkan rasa nyaman untuk beristirahat. Di tambah rasa lelah, tentu semakin membuat nyenyak terpulaskan oleh rengkuhan alam mimpi.
Tetapi tidak bagi Kolis. Meski lelah, penat, merajai syaraf otot di tubuhnya,
namun matanya seperti terganjal tak mau terpejam.
Semakin malam, suasana semakin di rasa berbeda. Terkadang tubuhnya merasai siutan angin dingin, tak lama berganti hawa panas mendera.
Sampai pada akhirnya Kolis harus terbangun, terduduk di tepian ranjang bekas tempat tidur Bapaknya, kala terbisingkan oleh suara tawa ngikik seperti tepat berada di samping kamarnya.
Sepuluh dua puluh detik telinga Kolis masih terus tersusupi tawa itu.
Tawa dari suara wanita seolah sedang mengejek keberadaannya di kamar itu, tanpa memperlihatkan wujudnya.
Kolis terdiam, jiwanya mulai merasa takut, tapi mentalnya telah terbiasa, sehingga dirinya mampu menahan.
Selang satu menitan suara tawa itu menghilang, terganti bau busuk bangkai menyengat, menyebar seantero dalam kamar.
Kali ini mau tak mau Kolis terbangun, berdiri dan melangkah pelan mencari sumber bau yang menyesakan dadanya.
Semakin Kolis mencari, semakin pekat bau itu. Membuat perutnya teraduk kuat seperti ingin mengeluarkan isi di dalamnya.
Tak tahan dengan keadaan itu, Kolis melangkah cepat menghampiri pintu dan berniat keluar.
Tetapi baru saja tangannya menyibak kain tipis bergambar bunga yang menjadi penutup kamar, ia di sambut satu sosok berdiri tegak dengan membelakangi.
Hampir seluruh bagian tubuh belakang sosok itu tertutupi rambut hitam lebat.
Hanya juntaian kain putih lusuh menutup kedua tangannya yang terlihat bersama kuku-kuku runcing berwarna hitam legam.
Kolis segera mundur, tubuhnya gemetar mendapati bahwa dari rambut sosok itulah bau busuk bangkai yang menyengat.
Tetapi tak sampai tiga langkah, tubuh Kolis terduduk di lantai tanah. Gigil ketakutannya semakin kencang saat satu wajah keriput bermata putih rata, tiba-tiba berada sejengkal dari wajahnya.
Wajah berbadan tertutup rambut tebal itu menyeringai,
tertawa melengking sebelum melayang, merayap ke atap kamar.
Tiba di sudut kiri, kepala berwajah tua itu merangkak turun. Bola matanya yang putih rata terus menatap tajam pada Kolis, seperti mangsa yang ingin di telan.
"Koe durung wayahe tekan kene! Koe durung wayahe ketemu aku! tapi Koe nekat!"
(Kamu belum saatnya sampai di sini! Kqmu belum saatnya bertemu denganku! tapi Kamu nekat!)
Berat dan kasar suara yang keluar dari tenggorokan sosok itu.
Namun aneh terdengar oleh Kolis, sebab suara itu seperti suara laki-laki, sedang saat tertawa, suara yg keluar lengkingan suara wanita.
"Koe ojo kemendel arep nggolek i Wajuh Pitung Sab. Ora gampang koyo omongane nyowo tuo kae, masio koe gowo banyu pitung sumber puseran segoro!"
(Kamu jangan sok berani mau mencari Tanah kuburan Tujuh Warna. Tidak mudah seperti ucapan nyawa tua bangka itu, walaupun Kamu membawa Air tujuh sumber pusaran segoro!)
Papas mempias wajah Kolis, mendengar ucapan sosok itu yang mencium semua tentang rencananya dengan Mbah Waris.
Seketika Kolis berpikir sia-sia semua usahanya, bila mana sang Iblis telah tau, tentu nyawanya kini yang akan melayang. Namun sampai puluhan detik berlalu, sosok itu masih diam, tak bergerak maju atau mundur, sama seperti keadaannya.
Selang beberapa saat, sosok itu kembali merayap ke atap. Berputar mengitari ruang kamar, sebelum menghilang menjadi kabut-kabut tipis.
Tubuh Kolis yang terhenyak, sedikit demi sedikit mulai mampu bergerak. Kemudian bangkit berdiri berniat untuk keluar.
Akan tetapi lagi-lagi langkahnya tertahan. Kali bukan sosok mengerikan atau juntaian rambut beraroma bangkai, melainkan sosok Komala yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.
"Kang, pisan iki manuto omonganku. Aku gak pingin Kang Kolis nasipe koyo Bapak. Jikuk en banyu seng Kang Kolis gowo, guwak en. Lan Siji meneh, ojo turuti kongkonane Mbah Waris."
(Kang, satu kali ini turutilah ucapanku. Saya tidak mau Kang Kolis bernasip sama seperti Bapak. Ambil Air yang Kang Kolis bawa, buang! Dan Satu lagi, jangan ikuti petintah Mbah Waris.) ucap sosok Komala.
"Kudune awakmu seng sadar. Bapak ngorbanke nyowone kanggo nylametke awak e dewe! Mbah Waris dudu sopo-sopone dewe, wong apik dadi gak bakal njrumuske. Seng bakal njrumuske kui Jasmoro!"
(Harusnya Kamu yg sadar. Bapak mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan kita! Mbah Waris bukan siapa-siapanya kita, beliau orang baik jadi gak akan menjerumuskan. Justru yang akan menjerumuskan itu Jasmoro!) sahut Kolis tegas.
Komala terdiam dengan mata melotot tajam, saat mendengar nama Jasmoro di sebut. Kemudian ia berpaling, berlalu meninggalkan Kolis yang masih terpaku.
Suasana kembali hening sepeninggalan Komala. Kolis yang awal ingin keluar dari rumah,
mengurungkan niatnya dan memilih duduk menyendiri di ruang tamu.
Sekian puluh menit termenung, Kolis pun akhirnya tertidur. Pulas dan nyenyak, tak terganggu oleh suara apapun sampai malam berganti pagi
Satu sentuhan di lengan, segera mengakhiri buaian mimpi Kolis.
Ia terbangun dengan tergagap kala matanya mendapati sosok Mbah Waris dan Ilham sudah berada di hadapannya.
"Po gak adem awakmu turu nang kene lawange gak di tutup, Kang?"(Apa gak dingin Kamu tidur di sini dengan pintu tak di tutup, Kang?) Ilham, yang merasa heran bertanya.
Tetapi seperti tak di gubris oleh Kolis. Ia sibuk dengan kesadarannya, juga dengan keadaan dalam rumah yang berbeda tak seperti semalam ia lihat.
"Kang!? di takoni kok malah koyo bingung ngunu."(Kang!? ditanya kok malah diam kayak bingung gitu.) ulang Ilham yang heran melihat sikap Kolis.
"Lis, raup disek kono. Ben pikiranmu gamblang."(Lis, cuci muka dulu sana. Supaya pikiranmu gamblang.)
Akhirnya Kolis beranjak tanpa berucap mendengar perintah dari Mbah Waris. Setelahnya, baru ia terkejut manakala berjalan kembali masuk, melihat seluruh isi dalam rumah begitu berantakan.
Sangat jauh dengan yang dirinya lihat semalam.
Apalagi ketika rasa penasarannya menuntun kakinya menuju kamar bekas Bapaknya, Kolis ternganga. Ia benar-benar seperti tak mempercayainya, melihat kondisi kamar berantakan tak terurus.
Ranjang kayu yang semalam sempat ia berbaring di atasnya, ternyata sudah menjadi onggokan sampah kayu lapuk. Bahkan kasur kapuk dan lemari tua, berserak tak berbentuk lagi. Membuat Kolis termangu, terdiam, bingung tak mengerti.
Sebentar kemudian Kolis bergegas saat teringat Komala. Segera Ingin memastikan dengan menuju kamar Adiknya. Tetapi kondisi kamar Komala tak jauh beda, berantakan tak terurus.
"Wes, Lis. Rasah mbok golek-golek i meneh, Percumah."
(Sudah, Lis. Tidak usah Kamu cari-cari lagi, Percumah.) ujar Mbah Waris yang sudah berdiri di belakang Kolis, tepat di ambang pintu kamar Komala.
"Maksudte percumah piye, Mbah? Nduk Kom nandi saiki terusan?"
(Maksudnya percuma gimana, Mbah? Nduk Kom di mana sekarang ini?) tanya Kolis dengan wajah tegang.
"Yok, nang ngarep wae, ra penak nang kene le omong-omong."(Yok, di depan saja, tidak enak di sini ngobrol-ngobrolnya.) sahut Mbah Waris, mengajak Kolis ke depan.
Sesampainya, Kolis terduduk lesu di samping Ilham, menghadap pada Mbah Waris. Sejenak ketiganya serentak berdiam diri hanyut dalam pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Mbah Waris menarik nafas dalam-dalam, dan menghempaskannya seraya menatap ke arah Kolis.
"Seng tok temoni mau bengi dudu Komala Adikmu."(Yang Kamu temui tadi malam bukan Komala Adikmu.) ucap Mbah Waris.
Mendengar itu, Kolis masih diam. Tak ada expresi kaget atau terkejut pada wajahnya.
Mungkin dirinya sudah menduga atau mentalnya yang sudah teruji dengan hal-hal berhubungan alam lain beserta penghuninya.
"Asline sopo, Mbah? terus Komalane dewe nandi?"(Aslinya siapa, Mbah? terus Komalanya sendiri di mana?) tanya Ilham yang ikut penasaran.
"Opo mau bengi kui seng jenenge Murti Rahmi, Mbah? dalange masalah iki kabeh!?"(Apa tadi malam itu yang namanya Murti Rahmi, Mbah? dalang dari malapetaka ini semua!?) sahut Kolis dengan nada geram.
"Dudu. Rahmi, Ratri, bakal muncul nang tanggal telulas. Seng mbok temoni iku abdi batine Ratri, ingon warisane Rahmi, Ibu e. !"(Bukan. Rahmi, Ratri, akan muncul tepat di Tanggal Tiga Belas. Yg Kamu temui itu abdi dalam Ratri, peliharaan warisan dri Rahmi, Ibunya.) jwb Mbah Waris.
"Wes, rasah mikir kui. Siapke awakmu, Lis. Mengko bengi di mulai."(Sudah, tidak usah memikirkan itu. Nanti malam di mulai.) sambung Mbah Waris.
"Wajuh pitung sab, opo kui seng arep di mulai mengko bengi, Mbah?"
(Wajuh Tujuh Sab, apa itu yang akan di mulai nanti malam, Mbah?) tanya Kolis yang tiba-tiba teringat ucapan sosok berambut panjang, semalam.
Urat wajah Mbah Waris seketika tertarik menegang, mendengar Kolis mengucapkan kalimat sanepo yang jarang di ketahui orang.
Sebentar wajahnya berpaling, menatapi halaman luar seperti tengah memikirkan sesuatu.

Satu hisapan rokok kemudian, Mbah Waris kembali menatap Kolis dan Ilham bergantian. Rautnya semakin datar, dengan sorot mata menggambar kecemasan.
"Awakmu wes krungu sanepo kui. Artine Jangi wes ngerti opo seng bakal tok lakoni. Ati-ati, bakal akeh seng nglang-ngalangi niatmu. Ojo sampek awakmu nglanggar pesenku koyo mau bengi."
(Kamu sudah mendengar kalimat itu. Artinya Jangi sudah tau apa yang akan kamu lakukan. Hati-hati, akan banyak yang menghalang-halangi niatmu. Jangan sampai Kamu melanggar pesanku seperti tadi malam.) ucap Mbah Waris menerangkan.
Ada rasa malu saat itu dalam diri Kolis,
mengingat dirinya semalam tak menggubris pesan Mbah Waris. Beruntung hanya ketakutan tak sampai mencelakai dirinya, tetapi tetap saja Kolis merasa menyesal karena tertipu oleh ingon Ratri.
"Ilham, kancani Kolis. Bantu sak mampumu."
(Ilham, temani Kolis. Bantu semampumu.) seru Mbah Waris pada Ilham, anak angkatnya.
"Njeh, Pak."(Iya, Pak.) jawab Ilham menyanggupi.
"Saiki awakmu sementara manggon karo Ilham, Lis. Nggo jogo-jogo karo ben kepenak sewaktu-waktu enek keperluan.
Omah iki mengko nek wes rampung urusan iki, di dandani neh. iku pesene Bapakmu."
(Sekarang Kamu sementara tinggal sama Ilham, Lis. Buat jaga-jaga dan biar gampang sewaktu-waktu ada keperluan.
Rumah ini nanti kalau sudah selesai urusan ini, di perbaiki. Itu pesan Bapakmu.) terang Mbah Waris mengakhiri obrolan di rumah sederhana peninggalan Handoko atau Mbah Soko, anak kedua dari Sasongko yang pernah menjadi pembela Broto saat perebutan Rumah Warisan dengan Rahmi.
Namun terpaksa berkhianat pada Broto, di karenakan ancaman dan iming-iming harta dari Rahmi.
*****
Hari itu tak banyak yang bisa di lakukan Kolis. Sejak tiba di rumah pondokan tempat tinggal, atau tepatnya tempat tirakat Ilham, Kolis hanya beristirahat.
Terlihat kegelisahan menyirat dari pancaran bola matanya. Mengingat mulai malam nanti dirinya bakal melakukan satu ritual sangat sakral dan menentukan. Bukan hanya mental dan nyali yang akan dipersiapkan, terlebih nyawanya sendiri dan banyak nyawa lainnya,
menjadi taruhan jika dirinya gagal.
Menjelang sore, Kolis masih terlihat berbaring di atas ambal kain beralas tikar di dalam kamar berukuran 3x3 yang biasa di huni Ilham. Kecemasan masih terus menghantui, sementara waktu di rasa olehnya begitu cepat.
Berkali-kali tangannya mengepal, menepuk pelan dadanya, seperti tengah menguatkan dan meyakinkan dirinya sendiri. Kemudian, setelah itu ia bangkit dan duduk di serambi depan, menatapi hamparan tanah kosong yang entah siapa pemiliknya.
Tepat di saat itu dari jalan kecil penghubung rumah pondok dan jalan utama Desa yang masih bersemak di kanan kirinya, terdengar deru mesin sepeda motor. Tak lama, dari balik ujung rimbunan semak muncul Ilham mengendarai motor tua berwarna hitam pekat.
Rautan wajah Ilham tak jauh berbeda dengan Kolis. Meski ia telah lama ikut dan menjalani tirakat atas arahan Mbah Waris, tetapi untuk kali ini bukanlah urusan sepele. Bukan Jin yang merasuki seseorang, bukan mahluk halus penunggu barang atau tempat,
bukan pula perkara mengusir arwah penasaran yang akan ia lakukan seperti biasanya. Tetapi kali ini, yang akan dirinya lakukan adalah bersentuhan dengan Iblis persekutuan Manusia, Meski dirinya hanya sekedar membantu.
"Wes siap awakmu, Kang?"(Sudah siap Kamu, Kang?) tanya Ilham setelah masuk dan selesai bersantap bersama Kolis.
Hening sejenak. Kolis terdiam, tertunduk, seakan bingung untuk menjawab.
"Kudu siap, Kang. Kudu kuat! Nang tanganmu, Kang. Masalah iki arep rampung opo mundak dowo."
(Harus siap, Kang. Harus kuat! di tangamu, Kang. Masalah ini mau selesai apa malah panjang.)
Seketika wajah Kolis terangkat. Bagai lecutan panas kalimat yang di ucapkan Ilham.
Menyulut kembali tekadnya untuk menghentikan sekaligus menyelamatkan Adiknya dari kesadisan keluarga Murti Rahmi.
"Siap, Mas! Aku kudu kuat, aku kudu gowo Adikku selamet koyo seng di weling Bapak!"
(Siap, Mas! Saya harus kuat, Saya harus bawa Adikku selamat seperti pesan Bapak!) tegas suara Kolis, membuat Ilham tersenyum.
"Kuburane sopo seng pertama dewe parani, Mas?" sambung Kolis bertanya.
"Kuburane Broto, Kakang kandunge Rahmi!"
(Kuburanya Broto, Kakak kandungnya Rahmi.) jawab Ilham tegas.
"Tapi awakmu ati-ati tenan, Kang. Sak liane gangguan seko ingone Ratri koyo seng di ngendikakne Bapak, Kuburane Broto enek Jegek e, demit seng seneng nyesatke dalan."
(Tapi Kamu hati-hati benar, Kang. Selain gangguan dari perewangannya Ratri seperti yang di bilang Bapak, kuburanya Broto ada JEGEKnya, mahluk halus yang suka menyesatkan jalan.) sambung Ilham memperingatkan.
"Adoh seko deso kene kuburane Broto kui, Mas?"(Jauh dari Desa sini kuburannya Broto, Mas?) tanya Kolis.
"Lumayan, Kang. Sak jam numpak montor, mergo kuburane Broto di pisah, di dewekne nang Rahmi biyen ceritane."
."(Lumayan, Kang. Satu jam dengan menaiki sepeda motor, karena kuburan Broto di pisah, di sendirikan oleh Rahmi dulu ceritanya.) jawab Ilham sembari mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya.
"Iki mau Bapak pesen, nek wes oleh lemah kuburane Broto, nggon ngarep patok e, kon mbakari dupo iki. Awakmu gowo, aku tak siap-siap, Kang."(Ini tadi Bapak pesan, kalau sudah mendapatkan tanah kuburan Broto, di depan nisannya suruh bakari dupa ini.
Kamu bawa, Saya akan siap-siap, Kang.) ucap Ilham sembari menyerahkan sesuatu dari dalam jaketnya, yang ternyata tujuh buah dupa sepanjang jengkalan tangan orang dewasa.
Tanpa menunggu jawaban dan setelah tujuh dupa di terima Kolis, Ilham beranjak keluar kamar mempersiapkan diri.
Ia tersadar jika hari telah surup, yang artinya Senjo Sengkolo mulai terbuka dan tak lama akan segera berangkat ke sebuah tempat wingit, di kenal banyak orang sebagai Serut Muter. Di mana, di dalam satu gundukan berserut rumput-rumput kaku dan tajam,
terkubur sendiri jasad Broto yang mati secara mengerikan di tangan Adik kandungnya, Murti Rahmi.
Bermodal lampu pelon dengan tutup kaca semprong, Kolis dan Ilham berangkat. Menyusuri jalan selebar dua meteran yang gelap dan sunyi.
Walau suara deru mesin motor tua milik Ilham tergolong keras, tetapi tak akan membuat bising warga sekitar. Sebab jalan menuju Serut Muter jauh dari pemukiman Warga. Hanya hamparan sawah berseling hutan belukar, terpampang di kanan kiri sebagai pemandangan.
Membuat siapapun pastinya enggan untuk melewatinya, apalagi jika malam menjelang.
Memasuki hampir seperempat perjalanan, Kolis mulai merasakan hawa berbeda. Tubuhnya tetiba saja merinding, tengkuknya dingin bukan karena terpaan angin malam.
Melainkan dari tatapan-tatapan mata beberapa sosok, seperti dirasakan mulai mengikutinya di belakang.
Setelah keluar dari ujung persawahan, sekira lima ratusan meter, Ilham memperlambat laju kuda besinya. Dan berhenti tepat di depan dua buah pohon jati besar menjulang,
seperti sebuah pintu gerbang.
"Kang, uripno lampumu, seko kene dewe kudu mlaku."(Kang, hidupkan lampumu, dari sini kita harus jalan kaki.) ucap Ilham lirih.
"Opo ijek adoh, Mas?"(Apa masih jauh, Mas?) tanya Kolis di sela-sela tangannya menghidupkan lampu yang ia tenteng.
"Ora, Kang. Paling sekitar telungatus meteran."(Tidak, Kang. Mungkin sekitar tiga ratus meteran.) jawab Ilham sambil merogoh saku jaket, mengambil sebatang rokok kretek dan menyalakannya.
Setelah lampu menyala, Ilham segera mengajak Kolis melangkah. Menapaki jalan kecil beralas tanah di penuhi dedaunan kering, dengan rerimbunan semak sedikit lebat di samping kanan kirinya.
Sepuluh dua puluh langkah keduanya berjalan biasa saja. Tetapi entah langkah yang keberapa, Ilham yang berada di depan Kolis tiba-tiba berhenti. Menoleh sebentar sambil mengerutkan kulit keningnya.
"Nopo, Mas?"(Kenapa, Mas?)tanya Kolis heran.
"Gak opo-opo, Kang."(Tidak apa-apa, Kang.) jawab Ilham menutupi dan segera kembali melangkah.
Namun Empat, Lima langkah kemudian barulah Kolis tau penyebab Ilham berhenti. Ia pun segera sadar akan hal aneh yang sedang mereka alami.
Di mana suara langkah kaki yang seharusnya ada empat, miliknya dan Ilham, tetapi terdengar ada langkah kaki lian di belakangnya.
"Ojo tok gagas, Kang. Engko marakne dewe kesasar."(Jangan Kamu urusin, Kang. Nanti malah membuat kita tersesat.) bisik Ilham lirih tanpa menoleh.
Mendengar hal itu, Kolis urung memalingkan wajahnya ke belakang. Ia pun terus mengikuti Ilham, meski suara langkah kaki lain di belakangnya jelas masih mengikuti.
Hingga sampai di penghujung belukar, Ilham kembali berhenti yang di ikuti Kolis.
Mata keduanya menatap lurus ke depan, di sebuah tanah tanpa belukar membentuk gundukan membulat.
Sepintas tempat itu terlihat hitam. Berkabut tipis di atasnya, bagaikan kepulan asap. Tetapi ketika Kolis mendekat, mengarahkan cahaya lampu ke pinggiran Serut,
terlihat rumput-rumput kaku berdaun tajam, tumbuh rapat memenuhi tanah Serut.
Namun selain dari tumbuhan rumput itu, mata Kolis juga melihat satu bayangan sepasang kaki hitam legam di belakang sisi samping kirinya.
Kolis terpaku.
Tubuhnya kembali merinding, kulitnya menebal, merasai hembusan nafas dari sosok yang baru dirinya lihat bagian kakinya.
Hal serupa juga di alami Ilham, walau punya keberanian luar biasa, tetapi untuk sekali ini, nyalinya menciut, menyadari jika sosok yang tepat berada di sampingnya, bukanlah sosok Jegek atau sosok sembarangan.
LANJUT BAGIAN 7 MINGGU DEPAN.

Bagi temen-temen yang mau baca duluan bisa mampir ke KARYAKARSA, ya.

ini LINK nya
karyakarsa.com/KALONG/warisan… Image
-sinopsis-
BAGIAN 7

setara 60 halaman.

Disini, Kolis di perlihatkan kejadian kejadian dimana para korban Rahmi mengalamai kematian tragisnya. Begitu juga dengan kejadian orangtuanya yaitu MbaH Soko atau Sasongko.
Berhasilkah Kolis mengambil tanah kuburan Rosyid, nama anak dari Rahmi sendiri? tunggu bagian atau chapter SPECIAL dari cerita ini.

Dukung dan ikuti terus cerita ini.
TUMBAL TERAKHIR
Bagian 7

Sekalian nunggu sahur.

#bacahorror #bacahoror @bacahorror @IDN_Horor Image
"Wes Kang, mlebuo!"(Sudah Kang, masuklah!)
Dengan tergugup penuh rasa takut Kolis pun melangkah menuruti ucapan Ilham. Menapaki rumput-rumput liar yang terkadang membuatnya harus menahan perih lantaran kulit kakinya tergores daunnya yang tajam.
Sesampainya ia di depan gundukan tanah berukuran 3x2 membulat, Kolis kembali terdiam. Siutan aroma pandan mengawali gemuruh dadanya, sebelum kabut tipis yang tetiba muncul menyelimuti gundukan tanah di depannya memudar memunculkan satu sosok lelaki -
bertubuh gempal berbungkus kain putih kusam.
Sosok lelaki itu menatap Kolis tajam. Raut kesengsaraan terpancar jelas dari balik wajah pucat pasinya, menimbulkan rasa takut tersendiri bagi Kolis.

"Mbah, Kulo ijin njaluk lemah e."(Mbah, Saya ijin mintak tanahnya.)
Pelan dan bergetar suara Kolis, sembari meletakan lampu ke tanah. Tepat di saat itu sosok lelaki berperut buncit dengan kulit mengelupas tiba-tiba menghilang, tetapi masih meninggalkan wangi pandan.
Tak ingin berlama-lama, Kolis segera mendekat ke arah batu berukir yang tertancap tegak di ujung gundukan dengan tulisan sebuah nama Broto. Satu persatu tujuh buah dupa Kolis tancapkan berjejer di depan nisan setelah membakar ujungnya.
Kepulan asap putih seketika membumbung dengan aroma khas menyengak dari tujuh buah dupa yang terbakar. Menambah keangkeran Serut Muter, terkhusus di area kuburan Broto.
Menyadari banyaknya di sekitaran tempat itu mulai muncul suara-suara aneh,
Kolis buru-buru mengeluarkan kain hitam dari sakunya. Tangannya dengan sedikit tergesa segera meraup beberapa kali tanah gembur paling atas gundukan.
Di rasa cukup, Kolis kemudian menyimpan bungkusan tanah di sakunya dan meraih lampu yang ia letakan. Segera ia membalikan badan berniat untuk kembali ke tempat Ilham menunggu.
Namun belum sempat ia melangkah, Kolis terperanjat kaget melihat sekelilingnya tiba-tiba berubah.
Bukan lagi berupa Serut di tumbuhi rumput kaku liar, melainkan tanah kosong terhampar luas.
Kolis bingung, jiwanya tercekam, merasai bila dirinya seperti tengah berada di tempat luas, tetapi terasa sempit untuk bernafas.
Tubuhnya sudah tak dapat membendung lagi kucuran keringat, menetes deras, sederas rasa takutnya yang muncul bersamaan suara teriakan keras menyayat dari seorang sosok lelaki berperut buncit di hadapannya.
Sosok itu terus berteriak, berguling-guling sambil memegangi perutnya. Seakan tengah merasai sakit luar biasa dari dalam perut yang terlihat semakin lama semakin menghitam.
Pemandangan mengerikan pun kemudian tersaji di depan Kolis. Perlahan kulit perut sosok lelaki itu mengelupas, menumpahkan lelehan cairan kental beraroma busuk, membuat mual sesiapapun yang menciumnya termasuk Kolis sendiri.
Jerit menyayat terus menggema, meski sosok lelaki itu tak lagi berguling-guling. Namun kini keadaannya semakin mengerikan, bukan hanya kulit perutnya yang mengelupas gosong, tetapi dari pangkal pahanya juga mulai terlihat rembesan darah deras mengalir.
Kolis sendiri sudah tak merasakan lagi detak jantung dan desiran darah dari tubuhnya, menyaksikan pemandangan mengerikan yang entah dari mana datangnya. Tetapi, melihat dari sosok lelaki itu,
Kolis sedikit teringat akan sosok yang pertama ia lihat di samping gundukan tanah, yang dirinya duga adalah sosok Broto.
Selagi Kolis masih di rundung rasa takut dan ngeri, sayup-sayup telinganya tersusupi suara alunan gamelan.
Tak lama, dari samping kanannya muncul sesosok wanita setengah baya dengan menari mengikuti alunan gamelan, mendekat ke arah sosok lelaki berperut buncit yang sudah sekarat.
Sosok wanita itu terus menari mengitari tubuh lelaki yang hanya bisa mengerang kesakitan.
Tiap kali suara Gong menggaung, wanita itu selalu menghentakkan kakinya ke tanah, seketika bersamaan dengan hal itu, dari mulut lelaki yang terkapar, menyembur darah merah serta gumpalan-gumpalan hitam sebesar ujung jari kelingking.
Ingin rasanya Kolis menolong lelaki itu, tetapi untuk bergerak saja kakinya tak mampu, sehingga hanya bisa melihat betapa menderitanya sosok itu, tersakiti yang entah oleh apa sebabnya.
Sebentar Kolis merasakan keheningan, kala sang wanita setengah baya bersanggul mahkota kecil menghentikan tariannya. Lalu wanita itu melangkah dan duduk bersimpuh di samping atas sosok lelaki sedikit lebih tua darinya.
Kemudian tangannya menarik pelan kepala sang lelaki serta meletakan di pangkuannya. Tanpa rasa jijik, di usap lelehan darah kental dari mulut lelaki itu menggunakan tangan tak beralas.
Namun bukan raut senang di tunjukan wajah sang lelaki meski dengan telatennya jari tangan wanita yang memangkunya membersihkan bibir sampai ke dagu. Tetapi sebaliknya, ketakutan bercampur amarah tersirat dari sorot matanya yang nyalang menyala.
"Delok neh, Kang. Loromu iki ilang. Tenango, bakal tak gawekne dewe kanggo ngubur. Aku jane gak tegel, tapi Koe wes gawe aku loro disek."
(Sebentar lagi, Kang. Sakitmu ini hilang. Tenanglah, akan Saya buatkan sendiri untuk menguburmu. Saya sebenarnya tidak tega, tapi Kamu sudah buat Saya sakit duluan.)
#tumbalterakhir
"Koe ko iso ketemu anakmu wedok. Nek anakmu lanang aku seng ngurus, ojo kuwater."
(Kamu nanti bisa ketemu Anak perempuanmu. Kalau Anak lelakimu Saya yang ngurus, tenang saja.)
Lembut, terdengar suara sosok wanita itu. Bahkan dengan penuh kasihnya, selesai membersihkan darah kental tangannya mengusap kepala dan rambut lelaki bertubuh gempal dalam pangkuannya.
Namun lagi-lagi katakutan teramat sangat malah di tunjukan sang lelaki. Berkali-kali ia membuat gerakan berontak, tetapi setiap kali kepalanya terangkat, darah dengan deras mengucur dari mulutnya.
Kali ini sosok wanita itu tersenyum, menyungging sinis, lalu melantunkan sebuah tembang menyayat terkandung aura mistis. Sampai pada bait terakhir, sosok wanita itu mengatupkan rapat-rapat dua bola matanya hingga beberapa tarikan nafas.
Tak lama, setelah membuka kembali matanya, sang wanita kembali tersenyum sembari menatap ke depan, di mana sesosok lelaki bertubuh tegap dengan pakaian layaknya seorang bangsawan berjalan ke arahnya.
Wajah sosok lelaki muda itu terlihat putih bersih, sangat kontras dengan rambut sebahunya yang hitam mengkilap, menambah aura kewibawaannya. Tetapi, ketika pandangan di alihkan ke atas, tepat di belakang mahkota perak yang di kenakan sang lelaki muda,
tak ayal akan tersurut mundur mendapati dua buah tanduk merah menyala.
Hal itu juga di alami Kolis. Walau kedua kakinya tak mampu menapak, Kolis terduduk di tempat ketika matanya melihat kehadiran sosok lelaki tampan, namun mengerikan.
Sedikit berbeda dengan keadaan lelaki gempal yang tak berdaya. Matanya melotot dan mengerjab kencang. Kedua kakinya pun berusaha menghentak, melihat sosok lelaki muda bertanduk mendekatinya.
"Monggo, Kang Mas...."(Silahkan, Kang Mas....)
Lirih ucapan sosok wanita kepada lelaki muda yang telah berdiri di bagian bawah lelaki bertubuh gempal. Sebentar mengangguk dan berjongkok di antara sela-sela kaki lelaki berkumis yang semakin ketakutan.
#tumbalterakhir
Jerit menyayat kembali menggema dari mulut lelaki yang sudah tak berdaya. Tubuhnya mengejang, mengeliat kuat serta mata membelalak lebar, merasai sakit luar biasa kala sosok bertanduk menarik paksa alat Vitalnya.
Auman disertai tawa menggelegar keluar dari mulut sosok bertanduk. Tangannya yang terlumuri darah oleh segumpal daging alat Vital terangkat ke atas sebelum memasukannya ke dalam mulut lebarnya.
Melihat hal itu, sosok wanita menyunggingkan senyum. Tak ada kengerian tersirat pada wajahnya seperti halnya Kolis.

Senyum sang wanita semakin melebar, manakala matanya melihat sosok lelaki di pangkuannnya tersengal-sengal.
Tak sampai sepuluh tarikan nafas, tubuh lelaki gempal dengan perut buncit terkulai dengan mata melotot ke atas.

Saat itu bagi Kolis dunia terasa gelap gulita. Ketakutan, kengerian, menyatu menggunjang jiwanya. Hampir saja ia tak sadarkan diri, namun sebelum ia roboh,
satu cengkraman kuat pada pundak dengan di barengi sebuah tangan menutup wajah, menyeret paksa tubuhnya.

Kolis merasakan bila saat itu seperti berlari di padang rerumputan. Seakan berkejaran dengan lengkingan tawa dari dua suara berbeda yang seperti berada di belakangnya.
Beberapa kali ia berusaha untuk membuka mata dan melepas cengkraman dua tangan yang menyeretnya.

Tetapi dirinya seolah tak mempunyai tenaga, dan hanya bisa terus mengikuti seretan dari sepasang tangan yang entah akan membawanya kemana.
Kolis baru menyadari bila ia di bawa menjauh, setelah lengkingan tawa mulai terdengar sayup dan kemudian lenyap. Berganti suara gemerasak dari kakinya yang menginjak dedaunan kering.
Tak lama tubuhnya limbung dan terhempas beberapa jengkal, saat dua tangan yang tadinya mencengkram tetiba melemparkannya.

Perlahan Kolis membuka mata, menatapi tempat sekilingnya yang di penuhi rerimbunan semak. Ia baru benar-benar tersadar manakala
matanya melihat dua buah pohon jati besar berjejer, meyakinkan jika dia telah kembali ke tempat awal dirinya memasuki Serut Muter.

"Untung gak telat, Kang. Nek ora, iso rong dino rong bengi dewe nang kene!"
(Untung tidak terlambat, Kang. Kalau tidak, bisa dua hari dua malam kita di sini!)

Kolis seketika menoleh. Mendapati Ilham yang sedang meneteng lampu dan mendekatinya.
Kebingungan Kolis akhirnya terjawab. Bahwa yang telah menyeretnya adalah Ilham. Kolis pun sebentar mengingat kembali, namun tak mampu ia teruskan.
#tumbalterakhir
"Ayo Kang, muleh. Wes meh subuh iki."(Ayo Kang, pulang. Sudah hampir subuh ini.) seru Ilham yang sudah berada di atas motor tuanya.

Kolis yang masih sedikit pusing dan bingung, bergegas membonceng di belakang sambil meneteng lampu yang telah padam.
Membayangkan kengerian di tempat itu, membuatnya ingin segera meninggalkan dan berharap untuk tak kembali lagi selamanya.
***
Apa yang di ucapkan Ilham memang tak meleset. Baru saja mereka memasuki perkampungan, lantunan suara Adzan Subuh berkumandang.
Membuat Kolis tercenung seolah tak percaya bila ia begitu lama berada di Serut Muter.

Sesampainya di gubuk tirakat Ilham, Kolis terduduk. Pikiranya melayang, mengingat kembali kejadian yang ia lihat. Terasa mustahil, tetapi sangat membekas dalam benaknya.
"Opo seng tok pikir, Lis."(Apa yang Kamu pikir, Lis.)
Sebuah suara akhirnya membuyarkan memori di kepala Kolis. Ia pun segera berpaling dan mendapati sosok Mbah Waris telah berada di belakangnya.

"Eh, Mbah." sahut Kolis tergagap.
#tumbalterakhir
"Kenek opo kok ngasi isuk ngene?"(Kenapa kok bisa sampai pagi begini?) tanya Mbah Waris sambil menghenyakan pantatnya, duduk di hadapan Kolis.

Sejenak Kolis terdiam sembari menarik nafas dalam2. Seteguk air kopi yg baru di hidangkan Ilham, menjadi awal ceritanya pd Mbah Waris.
Sesekali Mbah Waris mengangguk. Terkadang seperti serius mendengarkan, hingga sampai akhir cerita, raut wajahnya datar, menandakan tak terkejut dengan cerita mengerikan Kolis.

"Yo ngunu kui biyen matine Broto. Gawe tumbal Adine dewe."
(Ya seperti itu dulu meninggalnya Broto. Untuk tumbal Adiknya sendiri.) ucap Mbah Waris.

"Berarti wong wedok seng tak delok kui, Rahmi biyene, Mbah? terus seng lanang sirahe sungunen?"
(Berarti perempuan yang saya lihat itu, Rahmi dulunya, Mbah? terus lelaki yang kepalanya bertanduk?) tanya Kolis dengan wajah mempias ngeri.
"Iku seng di sembah Rahmi. Kabeh wong seng dadi tumbale Rahmi, mesti kilangan barang vitale. Mergo iku dadi panganane Rojo Gotroh, Iblis Alas Geong seng di sembah, sekaligus bojo batine Rahmi."
(Itu yang di sembah Rahmi. Semua orang yang jadi tumbalnya Rahmi, pasti kehilangan alat vitalnya. Karena itu jadi makanannya Rojo Gotro, Iblis penghuni Alas Geong yang di sembah, sekaligus Suami ghaibnya Rahmi.) jelas Mbah Waris.
"Kabeh kuburan seng bakal tok jikok lemahe, bakal meruhi piye matine. Mulo Ilham tak kon melu supoyo awakmu iso metu lan balek meneh."
(Semua makam yang akan kamu ambil tanahnya, bakal memberi gambaran bagamana meninggalnya.
Makanya Ilham Saya suruh ikut supaya kamu bisa keluar dan pulang lagi.) sambung Mbah Waris menerangkan.

Terjeguk kaget Kolis mendengar penuturan Mbah Waris. Bayang kengerian seolah menari di ujung mata akan kesadisan sosok Rahmi beserta Iblis junjungannya.
Apalagi bukan hanya satu gambaran saja, melainkan masih tersisa Enam, termasuk gambaran gamblang kematian Bapaknya sendiri.
"Mangke ndalu kuburane sinten maleh, Pak?"(Nanti malam kuburanya siapa lagi, Pak?)

Ilham, yang duduk di samping Kolis angkat bicara menanyakan tentang tanah kuburan siapa lagi yang bakal di ambil Kolis bersama dirinya.
"Seng bakal mbok parani mengko bengi rodok adoh seko kene. Tapi kuburan iku gak koyo gone Broto seng di dewekne. Mangkato rodok sore, tengerono disek, mergo gak iso awakmu gowo lampu mlebu nek wancine Sengkolo wes ketutup."
(Yang akan kalian datangi nanti malam sedikit jauh dari sini. Tapi kuburan ini tidak seperti punya Broto yang di sendirikan. Berangkatlah agak sore, tandai dahulu, karena tak bisa kalian membawa lampu masuk jika waktu Sengkolo sudah tertutup.) jawab Mbah Waris.
Mendengar hal itu, Kolis dan Ilham saling tatap. Tampak keduanya saling membayangkan bagaiman suasana tempat itu tanpa penerangan.
Terutama bagi Kolis. Sebab tugas terpentingnya adalah mendapatkan tanah kubur yang di maksud.
"Niku kuburan sinten, Mbah?"(Itu kuburan siapa, Mbah?) tanya Kolis sedikit penasaran.

"Iku kuburane Rasmoyo. Anak e Broto seng lanang, Bapakne Sanira."(Itu kuburannya Rasmoyo. Anaknya Broto yang laki-laki, Bapaknya Sanira.) jawab Mbah Waris singkat.
Jawaban Mbah Waris kali ini membuat Kolis termangu. Terbayang olehnya sosok Mbah Sanir yang telah ikut mengorbankan diri demi menghentikan kesadisan Murti Rahmi. Hal itu ternyata di dasari oleh ikatan darah yang ternodai oleh keserakahan, hingga harus mengorbankan satu sama lain.
Tentunya, sedikit banyak Mbah Sanir ingin membalaskan dendam atas kematian seluruh keluarganya, melalui tangan Kolis.

"Artine Mbah Sanir iku keturunan terakhir seko Broto."(Artinya Mbah Sanir itu keturunan terakhir dari Broto.) gumam Kolis sendiri.
"Iyo. Sanira iso slamet teko tuo mergo gak mbojo. Lan kui ngunu mergo Mbahmu seng nulong. Mulo di lungakne adoh bareng karo Lelekmu Latip supoyo ora keno Srenggi patine Rahmi."
(Iya. Sanira bisa selamat sampai tua karena tak bersuami.
Dan itu juga karena Kakekmu yang menolong. Sebab itu di tempatkan jauh bersama Pamanmu Latip supaya tidak terkena Srenggi patinya Rahmi.) jelas Mbah Waris.
"Wes, istirahato saiki. Ko sore budalo, ojo ngasi kewengen."(Sudah, istirahatlah sekarang. Nanti sore berangkat jangan sampai kemalaman.)
"Ilham wes ngerti nandi kuburane Rasmoyo. Tapi tugase dekne mek ngeterke, karo ngetokke awakmu seko Klewung lelembut seng nggambarke matine dadi korbane Rahmi."
(Ilham sudah tau tempat kuburannya Rasmoyo.
Tapi tugas dia hanya mengantar dan mengeluarkanmu dari Klewung lelembut yang menggambarkan kematiannya saat jadi korbannya Rahmi.)

Selesai berucap, Mbah Waris bangkit. Tak ketinggalan tangannya meraih bungkusan kain hitam berisi tanah kuburan Broto yang di dapatkan Kolis.
Selepas kepergian Mbah Waris, Ilham segera beranjak membaringkan tubuh. Sedang Kolis masih terdiam, menyelami pikirannya yang bercampur aduk. Ada bersitan rasa kangen pada Anak dan Istrinya, tetapi kini tanggung jawabnya sangat menuntut untuk dirinya berpisah sementara.
Menjelang sore, Ilham yang sudah terbangun dan menyempatkan diri mengambil makanan dari rumah Mbah Waris bergegas membangunkan Kolis. Dengan sedikit malas Kolis mengguyur tubuh lelahnya dan di teruskan menghampiri Ilham yang telah selesai menyantap sebagian makanan yg di bawanya.
Tak berapa lama, keduanya telah bersiap. Tanpa meninggalkan segala keperluan untuk menuju sebuah tempat yang bakal menjadi giliran ke dua, untuk Kolis mengambil tanah sebagai salah satu persyaratan.
#tumbalterakhir
Dua jam lebih perjalanan yang di tempuh Kolis dan Ilham kali ini. Meski tak ada gangguan apapun, mengingat hari yang masih terang, tetap saja kecemasan menghantui jiwa Kolis. Apalagi, saat memasuki perkampungan tempat di mana Rasmoyo di kuburkan, perasaan Kolis semakin was-was.
Akhirnya Ilham pun menghentikan laju kuda besinya, di sebuah jalan kecil masuk area persawahan. Ia pun meneruskan berjalan kaki ke sebuah tempat berpintu gerbang potongan bambu bersusun, tanpa Kolis.
Beberapa saat menunggu, Ilham pun kembali.
Sebentar berbincang memberitahukan tentang sebuah tanda yang di letakan pada kuburan Rasmoyo, sebagai pengingat Kolis nantinya.
Kolis hanya mengiyakan dan mengikuti Ilham yang kembali masuk ke kampung. Sampai di sebuah rumah joglo berhalaman luas, Ilham memarkirkan roda duanya.
Keduanya kemudian berjalan mendekati pintu kayu berukir yg tertutup. Sekian detik menunggu setelah Ilham mengetuk di sertai ucapan salam, bunyi derit pintu terbuka memunculkan seraut wajah tua bertutup kepala blangkon, mmandang keduanya dgn tatapan sedikit heran.
#tumbalterakhir
"Nyuwun sewu, Mbah. Kulo Ilham, putro angkate Mbah Waris."(Mohon Maaf, Mbah. Saya Ilham, Anak angkatnya Mbah Waris.) ucap Ilham dengan sopan mengenalkan diri.
"Oalah, Anak e Waris. Ayo mlebu le...."(Oalah, Anaknya Waris. Ayo masuk Nak....) sahut sang pemilik rumah sambil tersenyum memamerkan deretan gigi hitamnya.

Di bawah keremangan lampu gantung, Kolis dan Ilham di persilahkan duduk pada kursi kayu membentuk persegi empat.
Baru berbasa-basi sebentar, tiga buah cangkir berisi kopi panas tersaji, yang di bawakan oleh seorang wanita setengah baya dari arah belakang.
Meminum seteguk, Ilham dan Kolis terdiam saling pandang ketika satu pertanyaan terlontar dari bibir lelaki tua berblangkon pada mereka.
Membuat suasana sedikit canggung, sebelum seutas senyum ramah tersungging dari sudut bibir sang tuan rumah, melegakan hati Ilham dan Kolis.

"Aku ki guyon, Le. Kopine gak opo-opo. Ombenen."(Saya cuma bercanda, Le. Kopinya gak apa-apa. Minumlah.) ucap lelaki tua sambil terkekeh,
melihat ketakutan Ilham dan Kolis saat ia memberi pernyataan tentang kopi yang rasanya memang berbeda.

"Tapi seng bener kui yo memang enek bedone karo kopi biasane. Mergo awakmu rene gowo konco akeh, dadi tak gawe bedo supoyo podo gak iso melu ngombe."
(Tapi yang benar itu memang ada bedanya sama kopi biasanya. Karena Kamu ke sini bawa teman banyak, jadi Saya buat berbeda supaya mereka tidak bisa ikut minum.)

Kali ini Kolis dan Ilham pun sama-sama tersentak mendengar penuturan lelaki itu. Wajah keduanya menegang,
manakala menyadari jika kalimat teman banyak adalah teman lelembut. Terutama Ilham, ia yang mengerti tentang hal seperti itu, segera bangkit dan melangkah keluar.
Waktu memang telah memasuki surup dan petang, tetapi bagi mata Ilham saat itu masih bisa melihat dengan jelas di halaman telah berdiri puluhan sosok berkain putih lusuh dengan wajah hitam gosong.
Meski sepintas tak ada rasa takut pada diri Ilham,
tetapi ada kekawatiran tersirat, mengingat puluhan pocong berwajah gosong tanpa bola mata itu, berasal dari tanah kuburan yang baru saja ia tandai salah satunya, Kuburan Rasmoyo.
Ilham segera menutup pintu dan kembali duduk, menatap lekat pada Kolis, sebelum mengalihkan tatapannya pada sang lelaki tua.

"Nopo kok podo ngetutke kulo, Mbah Damiri? "(Kenapa mereka mengikuti Saya, Mbah Damiri?) tanya Ilham pada lelaki tua yang di panggilnya Mbah Damiri.
"La Awakmu mau nang kuburan gawe opo?"(La Kamu tadi di kuburan berbuat apa?) sahut Mbah Damiri balik bertanya.

Mendengar pertanyaan itu, Ilham segera menceritakan semua tujuannya. Beberapa kali terlihat Mbah Damiri menggelengkan kepalanya, dengan guratan wajah sulit di tebak.
Sampai pada akhir penuturan Ilham, Mbah Damiri terdiam. Seperti tengah merenungi atau mencerna cerita Ilham.

"Waris ngunu gak salah ngongkon awakmu nglakoni kui. Tapi seng tak pikir, masio awak-awakmu iso intok kabeh syarat kui, tetep bakal enek korbane."
(Waris sebenarnya tidak salah menyuruh kalian melekukan itu. Tapi yang saya pikirkan, walaupun Kalian bisa mendapatkan semua syarat itu, tetap akan ada korbanya.) Ucap Mbah Damiri terbaluri kecemasan.
"Kuburane Rasmoyo ora podo kuburan liane. Pocong-pocong seng neng njobo kae podo ora trimo karo awakmu. Mergo iku memang tandurane Rahmi biyen ge njogo mayite Rasmoyo."
(Kuburannya Rasmoyo tidak sama dengan kuburan lainnya. Pocong-pocong yang ada di luar itu tidak terima dengan Kamu. Karena itu memang di tanam Rahmi dulu untuk menjaga mayat Rasmoyo.) sambung Mbah Damiri.
"Trus pripun niki, Mbah."(Terus gimana ini, Mbah?) tanya Kolis yang tegang dan cemas setelah mendengar penjelasan Mbah Damiri.

"Aku gak iso mastekne kepiyene. Nek masalah awakmu njikok lemah kuburane Rasmoyo aku iso mbantu. tapi masalah urusan karo keluargane Rahmi,
tak serahke karo Waris. Memang salah sewijine syarat kanggo medot pesugihane Rahmi seng saiki wes di wariske nang anak e, si Ratri, yo bener banyu pitung sumber karo lemah kuburan wong-wong seng di dadekno tumbal."
(Aku tidak bisa memastikan bagaimananya. Kalau masalah Kamu mau mengambil tanah kuburannya Rasmoyo Saya bisa bantu. Tapi untuk masalah urusan dengan keluarga Rahmi, Saya serahkan pada Waris.
Memang salah satunya syarat untuk memutus persekutuan yang sekarang di wariskan pada anaknya, Si Ratri, benar Air tujuh sumber dengan tanah kuburan dari orang-orang yang di jadikan tumbal.) terang Mbah Damiri.
"Mengko mangkato nang kuburane Rasmoyo, rodok wengi sitik. Pas Sengkolo ketutup. Gawanen beras iki, kanggokne pas awakmu mari oleh lemahe. Nek kepepet di ganggu karo bongso lelembut opo wae, sawurke."
(Nanti berangkatlah ke kuburannya Rasmoyo agak malam sedikit. Tepat saat Sengkolo sudah tertutup. Bawalah beras ini, gunakan ketika Kamu sudah mengambil tanahnya.
Kalau terpaksa di ganggu sama bangsa lelembut apa saja, taburkan.) ucap kembali Mbah Damiri seraya menyerahakan segenggam beras berwarna kuning yang terbungkus kain putih dari selipan baju dombornya.
Sedikit gemetar tangan Kolis menerima beras kuning dari Mbah Damiri. Entah mengapa dalam benaknya terbersit rasa takut luar biasa setelah secara singkat dirinya mendengar cerita Mbah Damiri.
Kolis segera memasukan pemberian Mbah Damiri ke dalam saku samping jaketnya. Tangannya kemudian meraih cangkir di depannya yang berisi sisa kopi, sebagai penenang pikiran dari rasa takut dan kecemasan.
Malam semakin merajai bersama kegelapannya. Kesunyian sangat di rasa Kolis, meski hal itu sudah biasa dan lumrah bagi kehidupan di perkampungan, tetapi kali ini sunguh ia rasakan berbeda.
Kalimat terakhir dari Mbah Damiri masih terus terngiang di telinganya.
Jika keberhasilannya masih harus di tukar TUMBAL TERAKHIR. Entah siapa dan di mana, yang pasti dirinya yakin jika hal itu akan terjadi tepat di TANGGAL TIGA BELAS.
Setelah berpamitan dan lagi-lagi beberapa pesan dari Mbah Damiri menjadi awal perjalanan kedua Kolis dan Ilham ke tempat yang mungkin orang lain tak mau mendatanginya, apalagi pada waktu malam.
Udara dingin yang sudah biasa melekat pada tubuh keduanya, seharusnya menjadi akrab.
Akan tetapi, terkhusus bagi Ilham, itu menjadi salah satu bagian kengerian yang ia rasakan selepas keluar dari rumah Mbah Damiri.
Bukan tanpa alasan semua itu bagi Ilham. Sebab sedari satu langkah ia keluar dari pintu,
matanya tak lepas dari sosok-sosok berbalut kain putih lusuh dengan wajah gosong tak berbola mata.
Kolis sendiri hanya melihat keresahan tak biasa dari wajah Ilham. Di samping hawa anyep yang semakin dirinya mendekati tanah Kuburan, semakin terasa tersesap lembab.
Sesampainya di tempat awal, sebuah jalan tanah berumput yang bedampingan dengan sungai kecil, Ilham memarkirkan roda duanya. Ia terus merunduk tanpa sepatah katapun, dan hanya menunjuk serta mengangguk, sebagai isyarat bagi Kolis untuk masuk area pemakaman sendiri.
Gelap, anyep, mendampingi Kolis kali ini. Berjalan pelan menyusuri setapak demi setapak menuju makam kampung tanpa penerangan. Sesekali langkahnya tertahan, kala pedut putih tebal menghalangi di depannya. Tetapi dengan tekad membulat, Kolis tetap menembus, melangkah,
hingga sampai di depan gapura setinggi tiga meter berpagar bambu bulat bersusun.
Selangkah masuk ke dalam, mata Kolis langsung di sambut beberapa sosok pocong tak berbola mata. Tak lama telinganya ikut tersusupi rintihan-rintihan lirih dari beberapa tempat sekitar.
Tepatnya, dari sosok-sosok yang tersimpuh di sisi kuburan yang mungkin milik masing-masing.

"Sraakk ... Srakkk ... Sraakkk...."
Kolis benar-benar terhenyak, tiap kali dirinya melewati sosok yang duduk tersimpuh merintih seraya memeluk nisan kayu,
tetiba saja sosok itu bangkit dan mengikutinya dari belakang. Seolah bagai seorang pemandu semakin masuk ke dalam, semakin banyak sosok beragam wujud keseramannya mengikuti langkahnya.
Sesampai di sebuah bangunan kecil berkuncup, Kolis menghentikan langkah.
Sama halnya dengan puluhan sosok yang kesemuanya berbalut kain putih lusuh sebagian gosong terbakar, ikut berhenti. Mereka serentak melolong, mengejutkan Kolis sampai harus tersurut mundur dua langkah. Aroma busuk bercampur bau khas kapur barus seketika menyusup,
memenuhi rongga hidung Kolis manakala belum reda keterkejutannya, tetiba dari dalam bangunan kecil berdinding tembok yang telah di tandai Ilham, muncul kabut putih bergumpal-gumpal.
Dengan tertatih menahan ketakutan, Kolis tetap melangkah mendekat. Masuk ke dalam bangunan kecil yang terdapat gundukan tanah bertanda sebuah pohon kenanga sebagai pengganti nisan. Ia segera bersimpuh, bergumam lirih dengan suara bergetar berucap ijin.
Tanganya yang gemetar bergegas mengeluarkan tujuh buah dupa dan selembar kain hitam. Kemudian ia pun berniat membakar ujung dupa dengan pemantik api yang telah di pegangnya.
Namun baru saja pemantik itu menyala dan belum sempat menyentuh ujung dupa, dari cahaya api kecil itu samar mata Kolis melihat seraut wajah lelaki, tepat di depannya berjarak selebar gundukan tanah.
Mata dari wajah itu melotot tajam. Rambutnya sebahu dan acak-acakkan, sebagian mengempal akibat lelehan darah dari kedua telingannya yang hancur.
Gidik kengerian seketika menyebar ke seluruh tubuh Kolis. Namun belum sempat membuncah, Kolis menunduk, mengingat kembali semua pesan dari Mbah Waris, serta Mbah Damiri.
#tumbalterakhir
Buru-buru tangan Kolis menggenggam tujuh dupa dan memebakarnya. Setelah terlihat kepulan asap membumbung, ia segera menancapkan di bawah pohon kenanga pengganti nisan kuburan Rasmoyo.
Setelah itu tangan Kolis meraup beberapa genggam tanah sedikit keras di atas gundukan. Mengabaikan geraman di belakangnya, serta seringaian dan tatapan nyalang seraut wajah yang masih terus berada di depannya.
Selesai membungkus Kolis segera beranjak dan melangkah keluar dari bangunan kecil. Tak terkejut lagi dengan puluhan sosok yang masih berdiri di antara nisan-nisan kayu kuburan warga kampung, tengah mengawasi meski mereka tak berbola mata.
Tetapi tak lama kemudian Kolis akhirnya mundur, menyandarkan tubuhnya di tembok kuburan Rasmoyo bagian luar yang setinggi dada, saat puluhan sosok berbau busuk dengan hembusan nafas beraroma Kapur Barus melayang dan berloncatan mendekat ke arahnya.
Geraman dan tawa ngikik mengiringi tangan2 sosok itu, seperti ingin meraih tubuh Kolis dan mencabik-cabik dengan kuku-kuku panjang berwarna hitam. Mereka mengerubung, mengelilingi dan saling berebut mendekat, sebelum satu pekikan melolong membuyarkan puluhan sosok-sosok lainnya.
Sesaat suasana hening, setelah lengkingan di sertai percikan api kecil sempat mewarnai area kuburan, kala Kolis yang terdesak menaburkan Beras kuning pemberian dari Mbah Damiri.
Namun hal itu hanya berlangsung sekian puluh detik saja,
setelahnya berganti suara gemuruh manakala tetabuhan gamelan lagi-lagi muncul beriring lantunan tembang berirama mistis dari suara seorang wanita.
Kali ini wajah sosok wanita yang pernah Kolis lihat, tampak marah.
Sorot matanya tajam, tetapi bukan menatap pada dirinya, melainkan pada sesosok lelaki yang tengah terbaring di sebuah ranjang.
Wanita itu mendekat, meniup beberapa kali ke wajah lelaki berbadan tegap dengan kumis melintang menambah kesangaran wajahnya.
Tak lama, lelaki itu terbangun, bergegas berdiri seraya membalas lototan mata wanita di depannya.

"Kewanen Koe saiki Rasmoyo! Aku nguripi Koe, malah arep ngrusak tatanan seng tak atur!"
(Kelewat berani Kamu sekarang Rasmoyo! Aku memberimu hidup, malah untuk merusak tatanan dan aturan yang sudah saya atur!)
Sinis, suara wanita berkebaya batik dengan sanggul berkonde. Tapi tak menyurutkan keberanian lelaki muda di hadapannya.
"Koe nguripi aku mergo arep tok dadekne budakmu, Bulek! Aku gak iso seneng seko bondomu seng tok olehi seko Iblis! opo meneh Bapakku melu dadi tumbalmu!"(Kamu menghidupi Saya karena mau menjadikanku budakmu, Bulek!
Saya tidak bisa bahagia dari hartamu yang di dapatkan dari Iblis! Apalagi Bapakku ikut menjadi tumbalmu!) sahut lelaki itu, tak kalah sengit.
"Lancang cangkemmu! Opo anggepmu gampang arep lungo seko aku! getehmu, banyu kringetmu, wes kecampur iduku. Mati kuilah bakal dadi giliranmu!"(Lancang mulutmu! Apa menurutmu mudah mau pergi dari Saya!
Darahmu, air keringatmu, sudah tercampur ludahku. Mati itulah akan menjadi giliranmu!)

"Tapi aku iso ndawakne umurmu, asal gowonen rene anakmu! bakal tak rumati Sanira, bakal tak dadekne pendampingku, ngurusi bondoku seng melimpah ruah iki, bakal mulyo uripe."
(Tapi Saya bisa memanjangkan umurmu, asal bawa ke sini Anakmu! akan saya rawat Sanira, akan saya jadikan pendampingku, mengurus harta yang berlimpah ruah ini, akan mulya hidupnya.) ucap sosok wanita di barengi dengan seringaian sadis, tersungging dari sudut bibirnya.
Sedangkan sang lelaki yang di panggil Rasmoyo, terbungkam. Wajahnya pucat, nyalinya menciut, tetapi segera berubah menjadi luapan amarah manakala nama anaknya Sanira di sebut oleh sosok wanita di depannya.
Seketika ia melangkah cepat mendekati sosok wanita itu, namun belum sampai tangannya meraih leher untuk mencekik, dari bibir dan hidungnya tersembur darah merah.
Tak hanya itu, jeritannya pun langsung melengking dengan tangan mendekap kedua telingannya yang tiba-tiba meleleh bagai tersiram air keras.
Tak ada rasa iba dari sang Wanita, ia terus tersenyum, tergelak, menatapi ceceran darah yang deras keluar dari dua lubang telinga Rasmoyo.
Tak sampai hitungan menit, tubuh kekar Rasmoyo roboh. Kesangaran wajahnya berubah menjadi raut mengiba, pancaran matanya menggambarkan ratapan belas kasihan di samping tekanan rasa sakit teramat yang di rasakannya.
Namun itu tak cukup menggugah rasa welas asih dari sosok yang di panggilnya Bulek.
Sosok wanita itu kemudian menari, mengitari tubuh Rasmoyo yang tergenangi darahnya sendiri. Matanya menatap lurus, seolah bersuka ria melihat nafas Rasmoyo yang tersengal.
Sekira lima kali berputar, satu suara Gong menggaung bersambut auman keras menyambut kedatangan satu sosok lelaki muda berpakaian ala kerajaan.
#tumbalterakhir
Langkah sosok yang baru saja muncul begitu berderap hingga menggoyang dua tanduk berwarna merah di atas kepalanya. Sesampainya di bawah, di antar sela kedua kaki Rasmoyo, sosok itu berjongkok, menatap dan tersenyum sebentar pada sang wanita yang menganggukan kepala,
sebelum liukan dan hentakan tubuh Rasmoyo begitu kencang, mengantarkannya pada kematian.
Tepat di saat itu, Kolis menunduk dan memejamkan mata. Rasa takutnya sangat luar biasa ketika harus melihat semua adegan kematian orang yang menjadi tumbal Rahmi.
Tak berapa lama, Kolis merasakan tubuhnya seperti melayang. Meski tak ada tangan yang mencengkram, menyeret paksa, tetapi tetap saja tubuhnya terhempas, terguling di atas tanah berumput.
"Wes mulai tatag awakmu, Kang."(Sudah mulai kuat Kamu, Kang.)

Ucapan Ilham melegakan jiwa Kolis. Ia pun segera membuka mata, menghempaskan nafas kengerian yang menggumpal di dada.
Sekira malam itu Ilham ingin kembali ke rumah Mbah Damiri, setelah Kolis terlihat lebih tenang. Ada beberapa hal yang ingin Ilham ungkapkan sebelum ia pulang. Namun, ada keanehan di rasakannya. Ilham sadar betul, ia juga masih sangat mengingat di mana letak rumah Mbah Damiri.
Tetapi kini tempat yang ia kira rumah joglo milik Mbah Damiri, tak lebih dari pekarangan kosong bersemak belukar.

Hanya gelap dan bayangan rerimbunan tampak di hadapannya. Tak ada halaman bercahaya remang, atau rumah joglo seperti pertama dirinya datang.
Sekian menit Ilham terdiam di tempat itu, sampai pada titik tak mampu mencari jawaban, ia memutuskan beranjak pergi. Sedang Kolis hanya membisu, menatapi wajah Ilham yang kebingungan tanpa dirinya tau penyebabnya.
Sampai di sebuah pertigaan kampung, Ilham berhenti sejenak. Menghampiri beberapa penduduk yang duduk di sebuah pos ronda, menanyakan keberadaan rumah Mbah Damiri.
Seketika jawaban salah seorang warga membuatnya terkejut, seolah tak percaya jika Mbah Damiri telah meninggal lama.
Bahkan salah seorang warga sempat memberikan arah tempat kuburannya, yang ternyata adalah tempat di mana Ilham dan Kolis pertama datang.
Ilham akhirnya tersadar akan arti ucapan dan perintah dari Mbah Waris.
Jika waktu sorop, sebelum Sengkolo tertutup ia bisa menemui Mbah Damiri, yang berarti lelaki tua itu bukan lagi Manusia.
Kolis yang baru tersadar ikut tersentak kaget, tak mengira jika sosok yang telah membantunya adalah wujud Qorin kematren Mbah Damiri.
Membuatnya terdiam bisu sepanjang perjalanan lebih dari tiga jam.
Sesampainya, Ilham segera mengguyur tubuhnya meski malam telah masuk dini hari. Air dingin yang membasuh melonggarkan pikirannya yang terasa penat akibat beberapa kejadian janggal malam itu.
Sedang Kolis duduk terdiam menyandar pada dinding papan, menatap kosong halaman pondok yang gelap.

"Aduso, Kang. Ben plong pikiranmu."(Mandilah, Kang. Biar plong pikiranmu.)
Kolis hanya menoleh sebentar, memastikan jika yang bicara menyuruhnya adalah Ilham.
Setelahnya ia kembali menatapi kabut-kabut melayang di luar pondok.
"Abot banget, Mas. Opo aku sanggup tekan rampung. Rasane koyo wes gak kuat aku."(Berat sekali, Mas. Apa Saya sanggup sampai selesai. Rasanya seperti sudah tidak kuat Saya.) ucap Kolis bernada lemah putus asa.
"Iki podo ae separuh dalan, Kang. Adikmu, karo wong-wong liyo seng ono sangkut paute karo keluargane Rahmi ngenteni awakmu. Upomo o nyerah, awakmu yo ra kiro iso urep tenang."
(Ini sama saja sudah separuh jalan, Kang. Adikmu,
dengan orang-orang lain yang ada sangkut pautnya sama keluarga Rahmi menunggu Kamu. Seumpamanya nyerah, Kamu juga tak akan bisa hidup tenang.) sahut Ilham setelah duduk di sebelah Kolis.
"Iki nek gak salah, gari telong gon meneh kuburan seng bakale dewe tekani. Tapi yo mbuh mengko piye Bapak le arep ngarahke."(Ini kalau tak salah, tinggal tiga tempat lagi kuburan yang akan kita datangi.
Tapi ya entah nanti bagaimana Bapak mengarahkannya.) sambung Ilham mencoba menenangkan Kolis.

Baru saja Ilham selesai bicara, dari arah dpn suara derap langkah mengheningkan suasana di dlm. Tak lama, seraut wajah milik Mbah Waris muncul di ambang pintu dgn raut sedikit tegang.
"Lis, waktumu wes gak akeh. Telung dino meneh di mulaine Nganggreni Batine Komala. Sisok wengi kudu mbok rampugke kabeh olehmu nyukupi syarat."
(Lis, waktumu sudah tidak banyak.
Tiga hari lagi di mulainya Pencucian Batinnya Komala. Besok malam harus Kamu selesaikan semua usahamu mencukupi syarat.)
Kolis sedikit melebarkan bola matanya mendengar ucapan Mbah Waris yang baru saja datang dan duduk di hadapannya.
Berat rasanya bagi Kolis, membayangkan apa yang bakal terjadi tiga hari ke depan. Apalagi mengingat perkataan sosok misterius Mbah Damiri, bahwa akan ada Tumbal Terakhir yang menjadi penutup sekaligus pemutus persekutuan Murti Rahmi.
"Nek Kulo iso nyukupi syarat iku, terus seng bakal dadi Tumbal Terakhire sopo, Mbah?"(Kalau Saya bisa mencukupi syarat itu, terus yang akan menjadi Tumbal Terakhirnya siapa, Mbah?)
Kalimat yang menjadi ganjalan benak Kolis, akhirnya meluncur begitu saja dari mulutnya.
Seketika mengheningkan suasana, setelah sebentar Mbah Waris tersentak, kaget dengan pertanyaan itu.
Beberapa kali dengusan dan hempasan nafas mewarnai kesunyian di ruangan berlantai papan hingga beberapa saat lamanya.
Sampai pada detik berikutnya, mata Kolis dan Ilham serentak menatap pada Mbah Waris yang bangkit dan berdiri di ambang pintu memandangi kegelapan di luar rumah pondok.
"Tumbal Terakhir pancen kudu ono kanggo medot tetalen persekutuane Murti Rahmi. Neng aku mastekne nek kui dudu awakmu, Lis."
(Tumbal Terakhir memang harus ada untuk memutus ikatan persekutuannya Murti Rahmi. Tapi Aku pastikan kalau itu bukan Kamu, Lis.) ucap Mbah Waris masih dalam posisi berdiri membelakangi Kolis dan Ilham.
#tumbalterakhir
"Maksudte wani njamin ngunu, Mbah?"(Maksudnya berani menjamin seperti itu, Mbah?) tanya Kolis, penasaran akan arti ucapan Mbah Waris.
"Mergo ora sembarangan getih seng iso go medot! opo Mbah Damiri gak nyritakno kabeh perkoro Tumbal Terakhir seng di maksudke kui?"
(Karena tidak sembarangan darah yang bisa untuk memutus! apa Mbah Damiri tidak menceritakan semua perkara Tumbal Terakhir yang di maksudkan itu?) Jelas Mbah Waris seraya memalingkan wajah sepuhnya, menatap antara Kolis dan Ilham bergantian.
Keduanya terdiam, saling tatap sebelum Kolis mewakili menggelengkan kepalanya.
Mbah Waris akhirnya kembali duduk bersila di hadapan Kolis. Raut wajahnya kali ini terlihat sedikit tenang dari sebelumnya. Meski tak ada senyum, tetapi dari pancaran bola matanya,
ada satu kebahagiaan tersirat yang belum terungkap.
"Bakal gamblang, padang, kabeh perkoro iki mengko pas awakmu mlebu, melu upacara ritual batin antarane Komala karo Jasmoro. Awakmu ora mek dadi wakile Kang Soko, neng dadi wakile wong akeh, termasuk Aku, Lis."
(Akan gamblang, terang, semua perkara ini nanti saat Kamu masuk, ikut upacara ritual nikah Batin antaranya Komala dan Jasmoro. Kamu tidak hanya menjadi wakil Kang Soko, tapi jadi wakilnya orang banyak, termasuk Aku, Lis.) ujar Mbah Waris.
"Sisok seng mbok parani disek Kuburane Rosyid. Mangkato awan, mergo gon e paling adoh. Sak bare kui, langsung nang kuburane Rohmadi. Nang kunu iku enek kuburan limo, neng jikuk en lemah kuburane Rohmadi karo lemah kuburan sebelahe, loro jejer paling dowo."
(Besok yang Kamu datangi dulu kuburannya Rosyid. Berangkatlah siang, karena tempatnya paling jauh. Setelah itu, langsung ke kuburannya Rohmadi. Di tempat itu ada lima kuburan,
tapi ambil tanah kuburannya Rohmadi dengan tanah kuburan sebelahnya, dua berjejer paling panjang.)sambung Mbah Waris, menerangkan dan memberi perintah.
"Seng loro iku kuburane sopo, Mbah?"(Yang dua itu kuburannya siapa, Mbah?) tanya kolis penasaran dengan dua kuburan yang akan ia ambil tanahnya, tetapi tak mengetahui siapa pemiliknya.

"Iku kuburannya Mbok Sun lan Mbah Sali, wong tuoku karo Eyangku."
(Itu kuburannya Mbok Sun dan Mbah Sali, orang tuaku dengan leluhurku.) jawab Mbah Waris lirih.

"Wes, istirahato. Sisok awakmu karo Ilham bakal kesele tenanan. Ojo lali pesenku kabeh mau."(Sudah, istirahatlah. Besok Kamu dengan Ilham akan capek benar.
Jangan lupa semua pesanku tadi.) sahut Mbah Waris seraya bangkit, seolah menghindari percakapan lebih panjang. Sedang Kolis yang hendak membuka mulut untuk kembali bertanya, seketika urung terbungkam dengan wajah di penuhi gurat penasaran.
Kolis dan Ilham hanya mengangguk ketika Mbah Waris berpamitan serta berlalu sambil menenteng bungkusan kain hitam berisi tanah, hasil perjuangan Kolis di kuburan Rasmoyo. Meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak Kolis, yang belum terjawab.
Rasa lelah kemudian menuntun tubuh keduanya untuk berbaring. Melenyapkan sebentar rasa takut dan ngeri, berharap terganti oleh keindahan mimpi sebagai teman lelap dalam tidur mereka.
*****
Tepat ketika Matahari bergeser dari atas kepala, Kolis terbangun. Bergegas mengguyur tubuhnya, sembari menunggu Ilham yang telah terbangun lebih dulu.
Hampir enam puluh menit setelah kedatangan Ilham dari rumah Mbah Waris yang membawa bekal,
Kolis dan Ilham kemudian memulai perjalanan akhir dari tugas ritual tujuh makam. Sengatan cuaca panas saat itu sangat di rasa keduannya kala menyusuri jalan hitam aspal. Tetapi ketika memasuki sebuah perkampungan dan baru melewatinya, tetiba saja suasana alam berubah.
Entah semua orang, atau hanya di rasakan oleh Ilham dan Kolis saat itu, yang mana hawa sejuk sedikit lembab menyentuh kulit keduannya.
Semakin laju kendaraan Ilham yang sudah menempuh empat jam perjalanan jauh meninggalkan perkampungan, kelembaban semakin begitu melekat.
Tiba di sebuah tanah bersemak banyak di tumbuhi pohon kelapa, Ilham menghentikan laju motornya. Ia segera turun, berdiri tegak sembari mengedarkan pandangan, menatapi sekeliling tempat yang berbatasan dengan sebuah hutan kecil di -
sebelah Utara serta perkebunan warga di sisi Barat dan Timur.
Sunyi sepi saat itu. Entah karena waktu yang sudah masuk senja, atau memang hari itu tak ada kegiatan dari para warga yang mempunyai kebun di sekitar.
Kolis hanya terbengong dan ikut menatapi lahan yang luasnya hampir satu hektar dengan puluhan pohon kelapa tinggi menjulang. Dirinya merasa belum pernah melihat tempat itu sebelumnya, tetapi batinnya merasa tak begitu asing, bahkan seperti sangat dekat dengan tempat itu.
Semakin aneh bagi Kolis, manakala Ilham mengajaknya melangkah masuk ke dalam. Seketika dirinya merasa jika di dalam sangat ramai antara suara dan lalu lalang Manusia namun matanya tak melihat satu sosok pun.
#tumbalterakhir
Beberapa kali Kolis menghentikan langkahnya tersentak kaget mendapati tubuhnya tersiur hawa dingin pekat, seakan tersentuh sesuatu. Di tambah aroma wangi bunga kamboja menyusup, membuat bulu-bulu halusnya seketika berdiri tegak.
"Enek opo, Kang?"(Ada apa, Kang?)tanya Ilham, menyadari sikap aneh Kolis.
"Mas, iki gon opo? Aku kroso anyes banget."(Mas, ini tempat apa? Saya ngerasa dingin sekali?)sahut Kolis balik bertanya.
Ilham sedikit bingung mendengar penuturan Kolis. Sebentar ia meraba kulit tubuhnya sendiri, ingin memastikan tentang pengakuan Kolis yang merasakan hawa dingin.

"Biasa ae, Kang."(Biasa saja, Kang.) sahut Ilham.
"Aku yo ngroso koyo gak asing gon iki, Mas. Opo kene iki kuburane Rosyid?" (Saya juga merasa seperti tidak asing dengan tempat ini, Mas. Apa ini kuburannya Rosyid?)ucap Kolis kembali.
"Iki dalan mlebune. Kuburane gon kono iku."(Ini jalan masuknya. Kuburannya di sana itu.) sahut Ilham sembari mengulurkan tangan, menunjuk ke suatu arah berjarak lima ratusan meter di depan.
"Iki durung wayahe mlebu rono, Kang. Sengkolo gek tas kebuka."
(Ini belum saatnya masuk ke sana, Kang. Sengkolo baru saja terbuka.)
"Saiki dewe mbalek disek."(Sekarang kita kembali dulu.) sambung Ilham seraya membalikan badan dan berlalu dari tempat itu.
Sejenak Kolis menengadahkan kepalanya ke atas sebelum mengikuti langkah Ilham. Menatap langit yang mulai gelap tertutup oleh awan-awan hitam di samping waktu yang memang telah masuk surup.
"Kang, dewe ngenteni kene ae. Delok neh Kang Kolis mlebu rono, gampang tengerane, mergo kuburane mek siji, yo kui kuburane Rosyid."(Kang, kita nunggu di sini saja.
Sebentar lagi Kang Kolis masuk ke sana, mudah mencarinya, karena kuburan hanya satu, itulah kuburan Rosyid.) ucap Ilham pada Kolis yang baru saja duduk di sebelahnya dengan beralaskan rumput dan tanah.
"Aku koyo gak asing karo gon iki."(Saya seperti tidak asing dengan tempat ini.)Lagi, sahut Kolis bergumam mengulang firasatnya.
Tak ada reaksi apapun dari Ilham. Dirinya diam seperti telah menduga dengan yang di rasakan oleh Kolis mengenai tempat sekitarnya.
Beberapa saat keheningan menyesap, menambah kesan angker di tempat yang telah di rambah kegelapan.
Satu kerlipan cahaya dari lampu tenteng akhirnya tersulut menerangi dua wajah serentak mulai menegang.
Mendapati hembusan angin menderu, menjadi satu awal dari puluhan suara Manusia, yang tiba-tiba terdengar riuh layaknya sebuah pasar.
"Rasah mbok toleh, Kang. Awakmu memang kudune apal karo lemah iki. Kudune meneh kelingan iki bekas gon opo."(Tidak usah di tengok, Kang.
Kamu memang seharusnya hafal dengan tanah ini. Harusnya lagi ingat ini bekas tempat apa.) ucap Ilham yang tau bila Kolis kaget dengan ramai suara di belakangnya dan ingin menoleh.
"Maksudmu, Mas?" tanya Kolis ingin memperjelas ucapan Ilham.
"Iki sebenere lemah e Mbahmu, Kang. Suoro rame nang mburine dewe, wujud polahe Rahmi."(Iki sebenere tanah Kakekmu, Kang. Suara ramai di belakang kita, wujud dari tingkah polahnya Rahmi.)
Terhenyak Kolis mendengar ucapan Ilham kali ini. Di cobanya mengingat-ingat masa lalunya, tetapi sampai sekian menit, tak satu pun rekaman di kepalanya yang menggambarkan tempat ia duduk bersama Ilham saat itu. Hal itu semakin membuat rasa penasaran membekas kuat.
Terbersit dalam benaknya untuk mendesak Ilham bercerita, namun urung manakala ia melihat Ilham tiba-tiba berdiri dan langsung membalikan badan dengan raut sangat tegang.
"Mlebuo saiki, Kang! Iso ciloko dewe nek sampek telat, enek seng arep nutup pekso lawang Klewung!"
(Masuklah sekarang, Kang! Bisa celaka kita kalau sampai terlambat, ada yang mau menutup paksa pintu Klewung!) seru Ilham dengan cemas.
Seketika itu juga Kolis terjingkat bangkit. Walau tak mengetahui secara pasti, namun ia yakin bila Ilhan tak main-main untuk urusan batin.
Setapak demi setapak kaki Kolis mulai menyusur kembali ke dalam tanah kebun bersemak. Suara gemrasak dari tapak kakinya yang bersentuhan dengan daun-daun kering, berpacu bersama gemuruh dalam dada,
saat tau dirinya bakal melewati puluhan sosok bertelajang bulat dengan anggota tubuh berlumur darah sudah menampakan wujud di depannya.
#tumbalterakhir
Wajah sosok-sosok itu tak mampu untuk ia kenali. Terlihat hanya bola mata mereka yang utuh, sedang anggota tubuh lainnya, banyak yang hilang.
Aroma amis darah tercium sangat menyengat, kala Kolis mulai melewati satu persatu sosok yang berjejer mematung layaknya pengawal.
Dengusan dan rintihan tak lama mulai ramai menelusup gendang telinga, saat lambaian tangan-tangan tak sempurna milik sosok yang telah terlewati dan dirinya abaikan.
Seratusan meter ke depan, atau setelah melewati sebuah parit kecil, suasana berbeda harus Kolis lalui.
Di mana bukan lagi sosok-sosok berlumuran darah, tetapi wujud sempurna dari para wanita berparas ayu dengan kulit putih menawan tanpa tertutup sehelai benang.
Hampir semua sosok wanita yang awal tampak berlalu lalang sambil tertawa riang berhenti dan menatap ke arah Kolis.
Sinis dengan sorot tajam, menggambarkan kebengisan meski dengan rupa menawan. Hal itu betul-betul di rasakan Kolis. Baginya saat itu mereka lebih menakutkan dari pada sosok-sosok sebelumnya.
Apalagi saat melihat untaian rambut hitam panjang mereka seperti menyatu tanpa ujung, semakin menciutkan nyali dan keberanian Kolis.
Sempat terhenti langkah kaki Kolis oleh suara sapaan lembut menyebut namanya dari belakang. Sejenak ia ragu antara menoleh dan mengabaikan.
Di saat itu juga suara panggilan semakin jelas, bahkan kini teramat lembut dan begitu dekat.
Hampir saja Kolis tak dapat membendung keinginannya untuk menyambut sapaan itu. Namun sebelum terjadi, satu suara menyentak, meyadarkannya jika bahaya lah yang menantinya di belakang.
Kolis akhirnya terus melangkah maju, membiarkan suara panggilan yang mulai berubah menjadi tawa melengking bersahutan memenuhi gendang telinganya. Sesampainya ia di depan sebuah pohon besar tinggi menjulang, guguran dedaunan menyambutnya.
Tak lama, gemerincing besi berbenturan menandai kemunculan satu sosok di sudut kanan, tepat di samping sebuah gundukan tanah setinggi hampir satu meter.
Ada ketakutan tersendiri dalam diri Kolis saat itu, saat di mana ia melihat sosok berwajah tampan terbelenggu rantai hitam pada bagian tangan kaki dan leher. Sepintas Kolis hanya melihat sosok itu meringis mengiba, tak ada luka atau goresan pada bagian tubuh atasnya,
tetapi ketika pandangannya teralihkan pada bagian kaki, nampak lelehan darah deras mengucur dari pangkal pahanya.
Tubuh Kolis seketika ikut bergetar, kedua kakinya mulai goyah, manakala sosok itu menjerit, meronta ingin melepaskan diri.
Namun hal itu hanya menimbulkan suara keras dari rantai hitam yang berbenturan dan lelehan darah semakin deras mengalir.
Rasa ngeri terus menghantui jiwa Kolis. Kepalanya tertunduk saat kakinya mulai melangkah mendekat ke arah gundukan tanah.
Tak ada guna lagi lampu di tangannya, lantaran sedari awal ia masuk sekitar tempat itu terasa waktu sore.
Langkah tertatih Kolis akhirnya sampai di bagian ujung bawah kuburan. Sebentar ia melirik ke arah sudut kanan namun sosok itu telah hilang.
Dengan cepat ia pun membakar tujuh dupa dan melambarkan kain hitam yang ia bawa. Di bawah kepulan asap beraroma menyengat, tangan Kolis segera meraup beberapa kali bagian atas tanah kuburan milik Rosyid.
"Tulungen Aku, tulungen Aku...."
Lirih bersayup memelas suara dari belakang Kolis. Membuatnya urung berbalik, sadar jika suara itu bisa membuatnya celaka.
Lagi-lagi Kolis tertunduk memejamkan mata, tak perduli lagi tetesan keringat dari wajahnya, jatuh di sisi kuburan Rosyid.
Tiga sampai empat kali suara itu masih terngiang, dan akhirnya hilang. Memantapkan batin Kolis untuk bangkit meninggalkan gundukan tanah bernisan batu marmer mengkilap.
Selangkah Kolis menjejak, sapuan angin kencang menghantam wajah dan menghentikan ayunan kakinya.
Sesaat, Kolis pun terperangah mendapati di depannya bukan lagi sebuah lahan kosong, melainkan bangunan luas bertembok, bertuliskan tempat Pabrik penggilingan padi.
Awal Kolis melihat banyak aktivitas dari beberapa orang di dalam ruangan itu.
Namun lambat laun suasana itu berubah kehenginan mencekam.
Sekian menit berlalu, dari arah samping kanan terdengar derap langkah kaki bersepatu. Tak lama, seraut wajah lelaki yang pernah Kolis lihat muncul menenteng tas hitam.
Lelaki muda itu kemudian duduk di kursi goyang berwarna biru. Sebentar membuka tas dan mengeluarkan sebuah buku tebal dari dalam.
Belum sempat lelaki itu membuka halaman buku, ia terjingkat kaget dan bangkit dari kursi.
Berjalan pelan menuju sebuah pintu yang terdengar gedoran keras.
Lagi-lagi lelaki itu harus terkejut, manakala baru sampai di depan pintu, satu hempasan bersamaan robohnya daun pintu menyurutkan tubuhnya mundur.
Mata sang Lelaki membeliak lebar, tubuhnya bergetar hebat, melihat wujud sesosok mengerikan dari balik pintu yang roboh. Ia pun cepat-cepat membalikan tubuhnya berniat untuk berlari.
Namun belum lagi sempat kakinya berayun, ia kembali harus terdiam dalam ketakutan mendapati di belakangnya seorang wanita berkemben telah menghadang dengan sebuah parang mengkilat di tangan kanan.
"Ratri! opo urung cukup koe mateni keluargaku karo anak buahku! saiki koe tegel arep mateni aku, kakangmu dewe!?"(Ratri! apa belum cukup Kamu membunuh keluargaku dan anak buahku! Sekarang Kamu tega mau membunuhku, Kakakmu sendiri!?)
Parau dan panik suara lelaki itu. Wajahnya pucat, kakinya gemetar, air matanya mengalir wujud dari rasa takutnya.
"Salahmu kadung nolak, Kang. Iki wes dadi pestine dewe, kudu urep salah siji. Aku ora salah milih dalan iki, mergo seng kudu marisi peninggalane Ibu, mek siji!"
(Salahmu terlanjur menolak, Kang. Ini sudah jadi kepastian kita yang harus hidup salah satu. Aku tidak salah memilih jalan ini, karena yang harus mewarisi peninggalannya Ibu, hanya satu orang.) sahut sosok wanita dengan sinis.
"Rojo Gotro wes nagih janji, wengi iki kudu lunas! Artine, getehmu dadi bayarane, Kang!"(Rojo Gotro sudah menagih janji, malam ini harus lunas! Artinya, darahmu jadi bayarannya, Kang!)
Gelak tawa bersahutan jerit histeris seketika membahana di ruangan itu.
Aroma amis ikut merebak, dari ceceran darah yang mengalir di sela dua kaki lelaki muda bercelana dasar.
Teriakan memohon, mengiba, dari mulut lelaki itu tak mampu menggoyah kebengisan sang Wanita.
Ia terus tertawa lantang, seperti merasakan kepuasan melihat sang lelaki yang telah terkapar bersimbah darah.
Kesadisan tak hanya sampai di situ. Beberapa saat kemudian, sang Lelaki muda kembali harus berteriak ngeri,
manakala satu gaungan keras menandai kemunculan sosok mengerikan yang sempat ia lihat merobohkan pintu.
Getaran derap langkah kaki dari mahluk bertanduk merah api, mengguncang hebat tubuh lelaki muda. Bersamaan itu, samar matanya melihat ke arah sang wanita.
Menatap penuh permohonan belas kasih tetapi sang wanita mengabaikan, tersibukan oleh tangannya tengah melepas kain yang melekat pada tubuhnya.
Sayup nan lirih sebuah tembang terlafad dari bibir sang wanita sembari berlenggak lenggok menari dengan bertelanjang bulat.
Membuat lelaki muda terlihat pasrah tanpa daya, seperti tau bila itu adalah detik-detik terakhir jantungnya berdetak.
"Kang, Awakmu iku durung bakal mati saiki. Rojo Gotro mbutuhke geteh langumu tekane sak purnama. Dadi tenango, bakal tak urus Awakmu."
(Kang, Kamu itu belum akan mati sekarang. Rojo Gotro membutuhkan darah dari vitalmu sampai satu purnama. Jadi tenanglah, akan Saya urus Kamu.)ucap pelan wanita yang di panggil Ratri, setelah merampungkan tembang mistisnya.
Ucapannya itu segera saja di sambut auman panjang sosok mahluk bertanduk yang baru saja berjongkok. Sekali lagi mengaum keras, sebelum lidahnya terjulur menjilati darah merah yang keluar dari sela kaki lelaki muda.
Di saat bersamaan, Kolis yang masih berdiri kaku dan bergidik ngeri, tersadarkan satu suara keras yang masuk gendang telinganya. Ia pun segera menuruti suara yang menuntunya untuk berlari. Menerjang alam gelap, menembus siluet-siluet hitam yang terpekik menjerit.
Puluhan hingga ratusan meter ayunan kencang kaki Kolis masih terasa ringan. Tubuhnya seperti tak berbobot, langkahnya tanpa beban, ketika melewati kembali sosok-sosok berlumur darah tanpa indra tubuh sempurna.
Hingga tiba di sebuah gerbang berpagar kaki dan tangan manusia, tubuh Kolis seperti melayang terlempar jauh keluar.
"Bukkk...."
Kolis sempat terpekik, mendapati dirinya tersungkur di pinggiran kebun yang berbatasan dengan jalan dan tanah kosong.
Meski suasana berubah gelap, tetapi ingatan Kolis masih begitu segar untuk sekedar mengenali tempat itu, tempat di mana ia duduk bersama Ilham sebelum masuk ke lahan kuburan Rosyid.
#tumbalterakhir
Lanjut bagian 8 setelah lebaran.

Tapi yang mau baca duluan bisa mampir ke karyakarsa, ya.

link nya ini.
karyakarsa.com/KALONG

Selamat membaca.
Oiya, sebentar lagi lebaran tiba. Meski wajah tak mampu berjumpa, tangan tak bisa saling menjabat, semoga tulisan ini mampu menjadi jembatan pada hari penuh kemenangan.
Bagi teman-teman yang hendak mudik ke kampung halaman, jangan lupa hati-hati di jalan dan titip salam buat orang tua dan sanak sodara disana.

Saya, Kalong mengucapkan Minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.
OK.
Besok malam ketemu Kolis lagi.
lanjut sekarang aja. nanti malam buat cerita oleh-oleh mudik kemarin.
"Munggah rene, Kang!"(Naik sini, Kang!)

Linglung dan masih tampak terpukul jiwa Kolis saat mendengar seruan dari Ilham. Ia masih terdiam sampai beberapa saat untuk mengumpulkan kesadarannya.
Satu rengkuhan tangan Ilham yang mengalah turun, akhirnya Kolis rasakan memapah tubuhnya yang masih lemah. Tiba di tepi jalan tepat di sebelah kuda besi milik Ilham yang bercahaya remang, Ilham mendudukan Kolis sebentar.
Satu dua tegukan air dingin yang di sodorkan Ilham sedikit demi sedikit membantu memulihkan kesadaran Kolis. Tak berapa lama, senggukan terdengar dari tenggorokan Kolis, sebelum isak bersahut satu ucapan melenguh menandakan jiwanya telah kembali.
"Aku koyo gak kuat neh, Mas Ilham!"(Aku seperti tak kuat lagi, Mas Ilham!) Lirih bernada putus asa suara yang keluar dari tenggorokan Kolis. Hal itu hanya di tanggapi dengusan nafas panjang Ilham. Tepukan pelan segera di daratkan Ilham mencoba menguatkan tekad Kolis.
Hening berselimut sunyi sejenak. Keduanya hanyut dalam rasa tegang, sebelum ajakan Ilham untuk meneruskan tujuan selanjutnya, yang harus terselesaikan malam itu memaksa tubuh lemah Kolis untuk bangkit.
Deru kendaraan Ilham seketika menyahut bunyi gemerincing rantai yang sayup masih terdengar di telinga Kolis. Auman suara memohon pun lamat mengikuti perjalanan Kolis kala meninggalkan tempat angker,
di mana terkubur tubuh anak lelaki Rahmi yang menjadi salah satu korban persekutuan Ibunya sendiri dan telah di teruskan oleh anak perempuannya, Ratri.

Sepuluh menitan Ilham menarik tuas gas memecah keheningan bulak persawahan hingga sampai di sebuah gapura masuk sebuah Desa.
Di saat itu juga, berbagai suara yang masuk telinga Kolis lenyap.

Namun perjalanan keduanya masih cukup jauh. Beberapa kali harus melewati Desa berbeda, menyebrangi beberapa jembatan pemisah antar kampung, hingga melintas di jalan hitam aspal.
Hempasan angin dingin menusuk, menyusup tulang-tulang Kolis dan Ilham, manakala memasuki sebuah perkebunan pohon jati. Melewati sebuah gapuro batu bersusun menguncup, bercahaya remang dari beberapa lampu yang tergantung berjarak satu sama lain.
Pias menegang sangat kentara di wajah Kolis ketika Ilham membelokan stang kuda besinya melewati gapuro guna masuk area kebun lebih jauh. Dalam benaknya, tersimpan sebuah bayangan mengerikan yang muncul membangkitkan ingatan beberapa waktu lalu atau tepatnya saat ia di dalam Bus.
Meski kala itu dirinya seolah tertidur, tetapi kini, di hadapannya semua kembali, nyata dan sama persis seperti yang pernah dirinya saksikan.

"Seng kuat, Kang. Garek gon iki seng ngeri."(Yang kuat, Kang. Tinggal tempat ini yang mengerikan.)
Ilham, berucap memecah kebisuan dan mencoba menguatkan jiwa Kolis saat tau serta merasakan getaran rasa takut dari tubuhnya. Tetapi bagi Kolis itu tak cukup untuk mengusir klebatan bayang-bayang kengerian yang tengah menggambar dalam memori kepalanya.
"Kang ... Kang...."

Satu dua sampai tiga kali panggilan pelan Ilham masih di abaikan Kolis. Membuatnya memperlambat laju kendaraan hingga tiba persis di sisi sebuah pohon besar nan rimbun.
Sejenak Ilham menolehkan kepalanya, menatap Kolis yg tengah tertunduk dengan mata terpejam.

"Kang...!"

Lagi, Ilham memanggil Kolis sembari menyentuh bahunya yg basah keringat. Sesaat Kolis pun mengangkat kepalanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh tempat yg tampak gelap.
"Aku tau ngerti gon iki nang impenku, Mas. Ngeri, ngeri banget!"(Aku pernah tau tempat ini dalam mimpiku, Mas. Ngeri, ngeri sekali!)sahut Kolis lirih dan bergetar.
"Opo seng mbok delok seko gon iki, Kang? opo bedone masalah ngerine karo gon-gon liane?"(Apa yang kamu lihat dari tempat ini, Kang? apa bedanya masalah kengerian dari tempat-tempat lainya?) tanya Ilham sedikit penasaran.
"Gon iki akeh sukmo ke tahan. Panggonan iki akeh geteh kececer Mas! pager-pager sak bangunane di gawe seko tugelan tangan, sikel lan sirah!"

(Tempat ini banyak sukma tertahan. Tempat ini banyak darah tercecer Mas! Pagar-pagar dan
bangunannya di buat dari potongan tangan, kaki dan kepala!) jawab Kolis dengan emosi dan rasa takut tertahan.

"Opo bener gambaran seng mbok delok ngunu kui, Kang?"
(Apa benar gambaran yang kamu lihat seperti itu, Kang?) sahut Ilham cepat setelah sebentar terkesiap mendengar penjelasan Kolis.

Kolis sendiri hanya diam. Ia memilih turun dari sepeda motor, menatapi sekeliling tempat bercahaya remang
seolah tengah menghafal sudut persudut lokasi kebun yang luas memanjang bersingkup pohon-pohon jati.

"Opo sebelah kunu ono pabrik, Mas?"(Apa sebelah sana ada pabrik, Mas?) Kini Kolis yang balik bertanya seperti tersulut sebuah ingatan.
"Ono, Kang. Neng aku gak eroh pabrik opo."(Ada, Kang. Tapi Aku tidak tau pabrik apa) jawab Ilham masih bersuara pelan dan terselimuti rasa penasaran.

"Berarti bener, Mas."(Bararti bener, Mas.) timpal Kolis.
Belum sempat Ilham yang terlihat ingin kembali menyahut, tersentak dan terbungkam sama halnya dengan Kolis. Manakala suara gemuruh bersahut derap langkah-langkah kaki bersentuhan dedaunan kering, sangat jelas terdengar tak jauh dari tempat keduanya berhenti.
Semakin lama, suara berucap kalimat aneh, semakin mendekat. Aroma wangi bunga kamboja pun menyebar dan menusuk hidung saat sekumpulan bayangan hitam berjalan beriringan sembari memanggul sebuah keranda.
Kolis yang berjarak lebih dekat, segera beringsut mundur ke tempat Ilham. Wajah keduanya memucat ketika sadar sekumpulan bayangan hitam memutari mereka.

"Jungut jimpet ... Jungut jimpet ... Jungut jimpet....!"
Berulang-ulang kalimat serentak dari mereka riuh menyusup gendang telinga Ilham dan Kolis. Meski tak mengerti makna kalimat itu, namun tiap2 kata itu terucap, aliran darah keduanya seperti terhenti.

"Ojo delokne mripate, Kang!"(Jangan lihat matanya, Kang!) Seru Ilham tiba-tiba.
Ia segera melompat turun dari sepeda motornya dan menghampiri Kolis.

"Iki seng di omongke lugut Nyowo!"(Ini yang di bilang Lugut Nyowo!) sambung Ilham yang tersadar akan keadaan saat itu.
"Ayo, Kang. Saiki dewe kudu mlaku. Ojo di gatekne demit-demit seng gaweane njemput sukmo tumbale Rahmi. Awakmu kudu cepet njikok lemah telong kuburan nang gon kene! ojo ngasi dewe kedisian!"
(Ayo Kang. Sekarang kita harus berjalan. Jangan di anggap setan-setan yang kerjaannya jemput sukma tumbalnya Rahmi. Kamu harus cepat ambil tanah tiga kuburan di tempat ini! Jangan sampai kita keduluan!)
Kembali Ilham berucap seraya menarik Kolis yang masih diam gemetar. Sepanjang keduanya melangkah, tak hanya sosok-sosok bayangan hitam yang memikul sebuah keranda terus mengikuti, tetapi di barengi jeritan memilukan saling bersahutan.
Tak terhitung lagi langkah kaki Kolis dan Ilham. Mereka seolah berjalan tak memijak, terus menatap ke depan, di keremangan suasana kebun jati berhawa dingin sinung.
Getaran hebat benar-benar di rasakan Kolis saat tersuguh pemandangan mengerikan di hadapannya, tepat di depan sebuah pintu kayu melengkung dengan bangunan tembok memutar setinggi dada.
#tumbalterakhir
lupa ngasih judul

TUMBAL TERAKHIR BAGIAN 8

#bacahorror #bacahoror @bacahorror @mwv_mystic @IDN_Horor Image
"Awakmu kudu kuat, Kang! Nang njero kono lemah kuburan seng kudu mbok jikok! Aku gor iso ngeterke seko kene."(Kamu harus kuat, Kang! Di dalam sana tanah kuburan yang harus kamu ambil! Aku cuma bisa mengantar sampai sini.) ucap Ilham setelah mundur dua langkah menjauh dari pintu.
Sedang Kolis msh terpaku dlm ketakutan. Matanya tak lepas menatapi tembok dgn jejeran puluhan kepala, kaki serta potongan tangan. Bukan hanya itu, lelehan darah kental dari potongan-potongan tubuh yg menimbulkan aroma amis menyengat, semakin membuat kaki Kolis berat utk melangkah
"Cepet, Kang! Mlebuo!"(Cepat, Kang! masuklah!)
Kali ini Kolis tersentak mendengar seruan sedikit keras dari Ilham. Ia sebentar menoleh, kemudian menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa tekad dan keberaniannya sebelum melangkah.
"Tolong uculi ... Tolong uculi ... Tolong uculi...."(Tolong lepaskan ... Tolong lepaskan ... Tolong lepaskan....)
Suara memelas dari potongan-potongan kepala kembali membuat jantung Kolis seakan berhenti. Sesekali matanya melirik,
melihat darah mengalir dari bola-bola mata dengan wajah meringis menahan rasa sakit teramat sangat. Namun Kolis tetap meneruskan langkah, menunduk dan mengeraskan kepalan tangan.
Sampai persis di depan pintu kayu melengkung, Kolis berhenti sejenak demi mendengar sebuah bisikan lirih namun tegas yang tiba-tiba menyusup telinganya.

"Ojo ninguk memburi nek wes mlebu!"(Jangan menoleh kebelakang kalau sudah masuk!)
Walau terkejut, tetapi Kolis menuruti suara tua yang belum dirinya kenal. Apalagi saat itu ia merasakan betul jika dari belakang tubuhnya seperti di sapu hembusan-hembusan nafas puluhan sosok.
Hampir saja tangan Kolis tak mampu mendorong daun pintu berukir dari kayu jati tua. Bukan sebab berat, tetapi karena getaran hebat mendera sekujur tangannya. Pelan dan tanpa menimbulkan suara sedikitpun, akhirnya Kolis berhasil membuka pintu.
Hening, bahkan sangat hening di rasa Kolis ketika memasuki area makam. Tetapi semakin ia mendekat ke arah makam yang terletak paling ujung, hawa lembab begitu melekat.
Setiba di tengah, atau sekitar 15 meter dari sebuah makam berpayung dan bersampingan dengan dua buah makam panjang, Kolis jatuh tersimpuh.
Tangis ketakutan pun tak lagi mampu Kolis bendung mendapati di depannya, di sebuah pohon yang berada di sebelah nisan dua kuburan panjang,
tergantung sesosok tubuh lelaki tua berblangkon dengan sebuah kain hitam. Matanya melotot, lidahnya menjulur, bersama kedua kakinya yang mengejang-ngejang.
Terseok dalam linangan air mata, Kolis tetap berusaha maju mendekat ke arah tiga buah makam yang dirinya yakin adalah milik Rohmadi, Mbah Sali dan sang Istri. Dari tiga makam itulah Kolis ingin mengakhiri kengerian dalam hidupnya meski telah berkali-kali mentalnya harus di uji.
"Srakkkk ... Sraakkkk...."

Terus dan terus Kolis menyeret tubuhnya. Wajahnya tertunduk, nafasnya sesak tersengal terbaui aroma kembang kamboja dan kapur barus menyengat.
Sampai di ujung dua makam terpanjang di antara makam-makam lainnya, Kolis berhenti. Menengadahkan kepalanya pelan, sembari tangannya meraih kijing batu penyekat antar makam.

"Bunggul Kenir ... Bunggul Kenir...."
Terpaku senyap Kolis saat matanya beradu dengan dua bola mata putih rata dari sesosok wanita tua tengah terduduk terapit dua kayu balok di kedua kakinya.
Mulut wanita itu terus bergumam kalimat yang tak di mengerti Kolis. Meski tersusup rasa takut luar biasa,
namun ada setitik rasa iba melihat sosok wanita tua itu. Dari rambut putihnya yang menggumpal tertempel darah serta acak-acakan dan rontok, juga dari wajah keriputnya yang menggambarkan penderitaan.

"Mbah Aku njalok lemah e."(Mbah Saya minta tanahnya.)
Lirih ucapan yang akhirnya mampu Kolis ucapkan setelah sosok wanita itu terdiam beberapa saat.

Namun belum sempat tangannya mengambil sejumput tanah, tiba-tiba sebuah jeritan melengking menghentak tempat itu.
Jeritan menyayat yang berasal dari sosok wanita tua itu, beberapa saat lamanya terdengar, kemudian berganti lenguhan lirih seperti ratapan. Kolis yang semula menundukan wajah, kembali menengadah. Terpaksa harus menatapi lelehan darah di sekujur wajah keriput wanita tua itu.
Bau amis pun seketika menyeruak, manakala darah itu mengalir ke arahnya. Tetapi aneh, darah itu tak sedikitpun membasahi kulit Kolis meski mengalir melewati tempatnya bersimpuh.
Melihat keanehan itu Kolis segera bergeser seraya tangannya meraup segenggam tanah di atas dua makam panjang yang tak ia kenal. Dan kemudian ia mendekati makam berpayung di sebelahnya.
Walau hanya berjarak setengah meteran, tetapi hawa lain sangat terasa ketika Kolis tepat berada di samping makam dengan nisan di payungi kain membulat dan bertuliskan sebuah nama "ROHMADI".
Sebentar Kolis memperhatikan seluruh sisi Makam, sebelum tangannya mengambil tanah dan memasukan ke dalam kain hitam yang telah ia siapkan.
Namun sebelum ia membalikan tubuh ingin beranjak, tetiba Kolis diam seperti patung.
Di rasakan olehnya seluruh tulang-tulang dan ototnya tak berfungsi seperti lumpuh.

Selagi berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan kaki dan tangan, sapuan angin mengibas wajah Kolis.
Membuat tubuhnya sedikit tergelak ke sisi kanan dengan posisi wajah tepat menghadap ke arah nisan.

Saat itu juga sebuah bayangan menggambar jelas di depan Kolis. Di mana ia melihat bayangan beberapa sosok tengah duduk menghadap sebujur tubuh seorang laki-laki.
Sosok yang paling Kolis kenal ialah seorang wanita bertapi kain jarik dengan bersanggul. Tetapi kali ini wajahnya terlihat sangat ayu, anggun dan kencang.
Sedang dua sosok lainnya adalah seorang lelaki tua berblangkon dan wanita tua berkebaya kembangan.
Ketiganya terlihat begitu serius melihat ke arah tubuh lelaki muda yang terlentang dengan hanya memakai kain sarung tanpa penutup bagian atas. Wajahnya pucat pasi, mata melotot ke atas, mencerminkan sesuatu tengah di alaminya.
"Wes wayah e tetalen iki tak wiwiti mlaku seko bojoku dewe, Mbah. Monggo Njenengan serahke kalih njunjungan."(Sudah saatnya perjanjian ini saya mulai jalankan dari Suamiku sendiri, Mbah. Silahkan Njenengan serahkan pada Njunjungan.)
Terdengar suara lembut sosok wanita bersanggul, memulai percakapan pada lelaki tua berblangkon setelah beberapa saat saling menghening.

"Iki pancen wes dadi syarate. Wes gak iso di tarek meneh, laku iki yo bakal dadi dalan anyar urepmu. Ojo pisan-pisan pengen megat tanpo ijol."
(Ini memang sudah jadi syaratnya. Sudah tidak bisa di tarik kembali, ritual ini juga akan menjadi jalan baru hidupmu. Jangan sekali-kali ingin memutus tanpa pengganti.)sahut lelaki tua yang duduk bersila di samping persis kepala lelaki muda yang terbujur.
Suasana kembali hening. Ketiga sosok itu serentak terkhusuk diam menunduk, saat sebuah Gong berganti auman menggema. Tak lama sekelebat bayangan hitam berukuran dua kali tubuh manusia tetiba saja muncul dan berdiri tegak di hadapan mereka. Matanya merah menyala,
selaras dengan dua tanduk di atas kepalanya.

Tawanya menggelegar manakala sosok lelaki tua mengangguk kan kepala memberi hormat yang kemudian di ikuti dua wanita di sampingnya.
"Sampun kulo siapke cenayang kangge talene Rahmi. Sakniki kulo serahke, sak marine kulo pun mboten gadah urusan."(Sudah saya siapkan Cenayang untuk ikatan Rahmi. Sekarang saya serahkan, setelahnya saya sudah tidak punya urusan.) ucap lelaki tua masih dengan tertunduk.
Tak ada jawaban dari sosok tinggi besar. Hanya tangannya yang berbulu lebat maju membelai kepala wanita bersanggul. Tepat di saat itu terdengar rintihan dari lelaki yang terbaring. Sedikit demi sedikit tubuhnya bergerak terutama pada bagian kaki.
Tetapi tiap ia menggerakkan salah satu kakinya, dari kain sarung yang hanya menutup anggota tubuh bawah, mengalir darah merah bercampur nanah.
Kilatan seketika mendera tempat itu, pohon di area sekitar luar gubuk yang tergambar di mata Kolis menggugurkan dedaunan sesaat sebelum pekikan melolong keras kala sosok hitam tinggi besar mengaum dan mengangkat tubuh lelaki tak berdaya.
Selang beberapa puluh detik, mahluk bertanduk merah kembali menghempaskan tubuh lelaki muda. Namun sudah dalam keadaan tak utuh. Ceceran darah dan beberapa isi dalam perut berserak, mengotori liman hitam yang semula menjadi alas.
Suasana sebentar tenang, wujud menyeramkan sosok hitam pun memudar, berubah menjadi lelaki muda bermahkota. Tak lama, sang wanita muda bersanggul bangkit mengikuti uluran tangan sosok lelaki bak Raja.
Sedetik, semenit waktu berlalu bersamaan satu persatu tertanggalnya pakaian wanita bersanggul. Dua wujud berbeda alam saling bergumul disaksikan langsung oleh sosok lelaki berblangkon dan wanita tua berkebaya. Tetapi keduanya hanya tertunduk dengan sesekali melirik.
Umbaran syahwat setan itu berlangsung cukup lama. Pada akhirnya, terhenti saat sosok lelaki bermahkota menghilang. Meninggalkan sang wanita bersanggul yang tersenyum, menyeringai, menikmati pergumulan sebagai wadah tujuannya.
Ketika sang wanita yang tak lain adalah Rahmi akan beranjak pergi, dirinya di hentikan oleh lelaki tua. Beberapa kalimat sempat di bisikan ke telinga Rahmi, yang spontan membuat wajah ayu Rahmi merah menahan amarah.
Tetapi segera tereda suasana kala itu oleh sosok wanita berkebaya. Entah ucapan apa yang terlontar, hingga membuat lelaki tua diam serta membiarkan Rahmi pergi.
Belum sampai sepuluh meter Rahmi beranjak, ia membalikan badan. Menatap nyalang seraya berucap lantang pada lelaki tua.
"Sak durunge sampeyan mati, tak tepati janjiku, Mbah! Tak bagei separone opo seng tak nduweni. Nanging kudu iso mbok cekel opo seng dadi rahasiaku!"(Sebelum kamu mati, saya tepati janjiku,
Mbah! Saya berikan separuh apa yang saya miliki. Tetapi harus bisa kamu pegang apa yang menjadi rahasiaku!) ucap Rahmi tegas.

"Aku seng mbukakke, aku seng ndadekne, sak pantese njalok opo seng kudu tok wehne. Koe kudu iling, seng iso gawe koe kebuntel balak yo aku,
Seng ngerti dinone yo gor aku. Dadi ojo sembrono gawe aku nesu!"(Aku yang membukakan, Aku yang menjadikan, sepantasnya meminta apa yang harus kamu berikan. Kamu harus ingat,
yang bisa membuat kamu terjamah kesialan ya Aku, yang tau harinya ya cuma Aku. Jadi jangan sembarangan buat Saya marah!) sahut lelaki tua tak kalah kerasnya.

"Aku wes gak seneng karo omonganmu, Mbah! Masio kabeh tok ngerteni, patimu saiki gampang kanggoku!"
(Aku sudah tidak suka dengan ucapanmu, Mbah! Meskipun semua kamu tau, kematianmu sekarang mudah bagiku!) timpal Rahmi kembali.

"Lancang!"

Baru saja sosok lelaki tua berblangkon berteriak marah dan hendak mendekat ke arah Rahmi, tiba-tiba saja satu kilatan merah menghadangnya.
Tiga tarikan nafas kemudian, seutas tali kain hitam bekas liman yang terkotori darah melilit kuat lehernya. Lelaki itu meronta, nafasnya tersengal, mata melotot seperti ingin mencuat keluar saat ujung kain terikat ke atas pohon besar di sudut gubuk.
Berkali-kali sosok wanita berkebaya mencoba menolong, namun dari hal itu justru membuat sosok Rahmi marah. Ia kemudian melangkah cepat, menghampiri wanita tua yang sedang mengangkat kaki lelaki tua tengah tergantung.
Seringai tajam tersungging kejam keluar dari bibir Rahmi saat tangannya menghantamkan potongan kayu sebesar tangan orang dewasa tepat di kepala wanita tua. Jeritan melolong seketika menggema di tempat itu.
Kucuran darah langsung membanjiri lantai papan gubuk, tetapi hal itu tak menghentikan Rahmi.

Sampai sang wanita terkapar tanpa daya, Rahmi beringsut pergi. Namun bukan meninggalkannya, melainkan ia mengambil sebuah kayu belok, sarana awal dirinya melakukan ritual.
"Koe ora mati wengi iki. Neng kancani mayite tuwek an iki nang kene! Tenango, ra bakal ono seng ngerti panggonan iki. Ra bakal ono seng iso nemokno rogomu. Ojo susah mikiri anakmu, bakal tak urusi, tak uripi gantine perkoro iki."
(Kamu tidak akan mati malam ini. Tapi temani mayat tua bangka ini di sini! Tenanglah, tidak akan ada yang tau tempat ini. Tak akan ada yang bisa menemukan ragamu. Jangan khawatir memikirkan anakmu, akan saya urus, Saya hidupi sebagai gantinya masalah ini.)
Sambil berucap, tangan Rahmi mengikat kedua kaki wanita berkebaya, dengan kayu balok berselang tutup. Rintihan memelas, permohonan ampun, sama sekali tak di gubris Rahmi. Setelah selesai mengunci dua buah kayu di kaki wanita itu,
Rahmi menyeret dan meletakkan tepat di samping tubuh lelaki tua yang tergantung tanpa nyawa.

"Ko nek wes wancine, utowo telong dino seko wengi iki, tak gawekne gon bareng nang kene."
(Nanti kalau sudah saatnya, atau tiga hari dari malam ini, Saya buatkan tempat bersama di sini.) ucap Rahmi selesai meletakan tubuh wanita tua.
Rahmi pun segera membalikan badan dan melangkah. Sebelum jauh meninggalkan, satu ucapan dari sosok wanita tua lagi-lagi menghentikan langkah kakinya.
"Titenono! Bakal ono seng mbales angkoromu iki mbisok. Ilingo wengi iki, nang TANGGAL TELULAS!!!"
(Ingatlah! Akan ada yang membalas keangkara murkaanmu ini kelak. Ingat malam ini, di TANGGAL TIGA BELAS!!!) lirih dan tersendat suara wanita tua yang tengah sekarat.
Namun dari ucapannya sejenak merubah raut wajah ayu Rahmi.
"Ra keno dinengne, susulen lananganmu!"(Tidak bisa di diamkan, susul saja lelakimu!) seru Rahmi yang kembali mendekat.
Tak lama suara gemratak dari benturan kayu dengan kepala wanita itu terdengar. Kemudian di susul lengkingan keras, bersamaan teriakan dari bibir Kolis yang tak kuat lagi melihat kejadian itu.
Kolis segera menyeka keringat di wajah. Ia sadar jika itu adalah gambaran kematian dari tiga sosok yang ia ambil tanah pemakamannya. Ia segera membalikan tubuh, menyeret paksa kakinya yang terasa berat untuk berlari.
Kolis benar-benar seperti mati rasa. Dadanya bergemuruh hebat, mulutnya tak henti berteriak, entah terdengar keras atau pelan ia tak bisa memastikan. Ia hanya berusaha sekuat dan secepat mungkin agar bisa keluar dari area makam.
Tempat di mana telah di penuhi sosok-sosok mengerikan yang melambai padanya. Kolis tak mau lagi melihat sosok lelaki tua yang tergantung di atas pohon, tak ingin lagi melihat wanita tua terbelok kayu, tak sanggup lagi mendengar teriakan meminta tolong dari puluhan kepala yang -
tertanam di tembok bangunan yang mengitari area makam. Ia terus berlari, pelan atau cepat ia tak tau, tetapi baginya yang di rasa saat itu, ada dorongan begitu kencang menghempas tubuhnya hingga terhenyak di semak belukar daun-daun jati kering.
#tumbalterakhir
"Mas! Mas Ilham!?"

Tak ada jawaban, suasana begitu sunyi kala Kolis tersadar. Nyalinya yang masih ciut semakin menipis saat tau hanya gelap di sekelilingnya.

Perlahan ia paksa tubuh lelahnya berdiri, dengan menggapai-gapai Kolis berusaha melangkah dalam kegoyahan.
Hanya suara gemrasak akibat tapak kaki yang menyentuh dedaunan kering menemani satu dua langkahnya. Tak ada semilir angin, bahkan sangat di rasa begitu hampa tempat yang dirinya kira adalah tempat awal ia dan Ilham datangi,
namun keyakinan itu memudar seiring tak di jumpainya Ilham, juga tanda sebagian tempat yang ia hafal saat masuk.

Kabut-kabut tipis akhirnya dapat Kolis lihat manakala ia keluar dari rerimbunan semak kebon Jati.
Sebuah pagar bambu dengan lampu teplok terlihat tak jauh di depan sedikit membangkitkan harapannya.

Ayunan langkahnya pun semakin cepat menyusuri jalan tanah rata. Tak perduli lagi kabut menghalangi dan beberapa suara kicauan burung hantu yang berputar di atas kepalanya.
Hampir ratusan langkah telah Kolis lalui, ttapi belum juga ia sampai di tempat yg bercahaya kerlipan lampu. Rasa lelah kembali mendera, di samping merasai keanehan dan ketidakberesan tempat itu. Membuat Kolis berhenti mengatur ritme nafas sembari memulihkan pikiran akal sehatnya.
Sebuah batu besar di sisi kiri jalan menjadi tempat ia menyandarkan tubuh. Pandanganya lurus ke arah cahaya mengerlip, mencoba mengukur jarak antara dirinya.
Dekat, sangat dekat dan jelas terlihat. Mulai dari pagar dari anyaman bambu, gubuk beratap anyaman rumbia, hingga tempat di mana lampu minyak menempel.

Kolis meyakini jika itu adalah sebuah rumah gubuk. Ia juga berpikir jika di tempat itu ada yang menghuni.
Berpikir hal itu, niat dan tekadnya kembali bergelora. Segera ia bangkit menuju tempat yang menjadi harapan barunya.
Kali ini Kolis tak lagi merasa aneh. Sebab dalam hitungan puluhan saja dirinya sampai di sebuah persimpangan tiga dengan posisi sebuah rumah gubuk tepat di sudut simpang kiri bagian depan.
Namun baru akan menuju rumah berdinding anyaman bambu, tiba-tiba saja dari sisi kanan telinga Kolis mendengar derap riuh langkah serta obrolan ramai layaknya sebuah pasar.
Terkejut dan bingung batin Kolis. Ia terpaku di tengah persimpangan seolah tengah mempertimbangkan tempat yang akan ia hampiri. Selagi kebimbangan bertarung dalam benak, sebuah suara menyusup di telingannya.
"Mlakuo nengen! Neng ojo mbok gatekno opo wae seng mbok temoni, tetepo ngetut dalan. Ojo mandek opo meneh sampek mampir!"(Berjalanlah ke kanan! Tapi jangan kamu perhatikan apa saja yang kamu temui, tetap ikuti jalan. Jangan berhenti apalagi sampai mampir!)
Berpikir sejenak, akhirnya Kolis memilih mengikuti bisikan yang menuntunnya. Sebentar saja ia sampai di sebuah tempat, di mana terdapat suara riuh.
Bukan sebuah pasar yang ia lihat, melainkan keramaian layaknya pesta hajatan yang di gelar dengan hiburan pertunjukan kuda lumping.
Suara kenong dan gamelan berirama sangat jelas mengalun. Ramai pedagang dan pengunjung juga tergambar. Namun, berbeda ketika ia berpapasan dengan beberapa sosok.
Rerata aroma tubuh mereka berbau wangi kembang serta kulit tubuh mereka pucat riput. Tak ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Lelaki tua maupun muda, serta para wanita sama memakai sebuah ikat kepala hitam mengglambir.
#tumbalterakhir
Sesampai Kolis di tengah-tengah kerumunan, alunan gamelan kenong berirama cepat dan semakin cepat. Hal itu membuat Kolis terhenti dalam gagapan mencekam. Sorak sorai pengunjung pun begitu gempita. Mereka serentak berucap kalimat yang aneh berulang hingga beberapa kali.
Tepat pada kalimat ketiga belas yang sempat Kolis hitung dalam batin, suara gamelan berhenti bersamaan riuhnya suara pengunjung.

Sunyi dan begitu hening. Hanya kabut tipis bertebaran terlihat di antara sela-sela tubuh pengunjung. Hal itu semakin membuat Kolis terpaku,
tetapi tak sampai lima tarikan nafas Kolis segera berjalan cepat mengingat suatu pesan yang ia dengar.

Kolis pun setengah berlari mendapati tubuhnya yang tanpa sengaja bersentuhan dengan salah satu pengunjung, namun hanya menerpa angin belaka.
Ia tersadar jika saat itu dirinya bukanlah berada di alam manusia.

Puluhan, bahkan ratusan meter ia berlari tanpa menoleh dan memperhatikan sekeliling. Sampai di sebuah jalan besar nan lebar, barulah Kolis menyudahi gerak cepat kakinya.
Sebetar ia berjongkok, mengatur deru nafas serta degup jantung. Setelah di rasa cukup Kolis kembali melangkah.

Jalan besar, lebar, berpagar rumah-rumah lawas di sisi kanan kiri, berhias patung sosok wanita bak Ratu, semuanya membuat Kolis terbengong.
Terlintas dalam memori ingatannya, suasana tempat itu pernah dirinya lihat, pernah ia lewati namun dalam batas antara mimpi dan sadar. Tapi kini, sangat-sangat nyata ia alami.

"Mlayuo! Mlayuo!"(Larilah! Larilah!)
Bagai tersengat listrik tubuh Kolis mendengar seruan tegas tanpa wujud. Ia sadar suara itu tak main-main, sehingga dirinya segera berlari kencang tanpa tau apa yang memburunya.

Namun aneh, seakan baru puluhan meter ia sampai di sebuah pintu gerbang besar, tinggi menjulang.
Kepanikan seketika menyusup pikirannya. Tak tau lagi arah yang harus ia ambil, sementara sekelilingnya seolah tertutupi oleh pagar-pagar tinggi dari kayu bersusun rapat.

Lutut Kolis pun goyah tersimpuh. Air matanya kembali mengalir, menandakan keputusasaan.
Tak lagi ia dengar suara membisik dan mengarahkan. Ia kecewa dan menyesal telah menuruti suara yang tak dirinya tau wujud aslinya. Hal itu benar-benar membuatnya marah, takut, dan pupus. Hingga kepalanya terangkat dan berteriak kuat meluapkan hilangnya sebuah harapan.
"Geteh Penileh! Koe kudu iso metu seko kene! Bebaske sukmone wong tuomu, leluhurmu, lan wong-wong seng dadi budak pajune Batur Waris! Pedoten taline ... Pedoten taline...!"
(Geteh Penileh! Kamu harus bisa keluar dari sini! Bebaskan sukmanya orang tuamu, leluhurmu, dan orang-orang yang jadi budak terpilih Iblis penerus! Putuskan talinya ... Putuskan talinya...!)
Bukan lagi membisik, bukan lagi pelan, suara yang sama Kolis dengar kini membahana seantero tempatnya tersimpuh.

Kolis pun menghentikan sesenggukan, mengedarkan bola matanya yang berkaca, mencari wujud pemilik suara.
Tetapi hanya kabut berkejaran tertangkap matanya. Rasa sesal dan amarahnya berganti bimbang namun membersit harapan.

"Sinten Sampeyan!?"(Siapa Kamu!?)
Terbata seruan yang keluar dari tenggorokan Kolis kala tak lagi sanggup membendung keingintauannya.
"Menyato, gupak i kayu palang kui go getehmu. Mengko bakal ngerti sopo Aku. Cepet! Ojo ketututan Rengise Rojo Gotro!"(Bangunlah, olesi kayu palang itu dengan darahmu. Nanti akan tau siapa Saya. Cepat! Jangan tersusul nafas gaibnya Rojo Gotro!)
Seperti terlecut, tubuh Kolis bangkit. Kakinya mengeras seolah terkumpul kekuatan. Tanpa berpikir panjang, ia melepas ikat pinggang yang terlilit di celana. Sudut ikat pinggang sedikit runcing akhirnya mengoyak ujung jarinya hingga mengeluarkan darah segar.
Buru-buru ia tempelkan ujung jari yang berdarah pada kayu menyilang di tengah-tengah pintu gerbang. Beberapa detik kemudian, sapuan angin tipis mengumpulkan kabut-kabut sampai menyamarkan dan menutup pintu gerbang beserta pagar kayu.
#tumbalterakhir
Kolis hanya termangu menyaksikan kejadian yang ada di hadapannya. Lalu ia pun terlonjak manakala hilangnya kabut menggumpal, terganti satu tempat yang dirinya tau adalah gapuro awal dirinya masuk bersama Ilham.
"Mas Ilham, Mas...." panggil Kolis tanpa ragu.

"Le, koncomu turu sedelok. Ra kuat keno gondo sirepe panggonan iki. Tunggunen sedelok neh."(Nak, temanmu tidur sebentar. Tidak kuat terkena Gondo Sirepnya tempat ini. Tunggulah sebentar lagi.)
"Mbah Damiri!" seru Kolis terkejut, melihat satu sosok yang berdiri beberapa meter di hadapannya.

"Aku mek iso mbantu koe seko kene. Bar iki enek seng luweh abot bakal tok adepi. Kudu yakin yo, Le."
(Saya hanya bisa membantu sampai sini. Setelah ini ada yang lebih berat akan Kamu hadapi. Harus yakin ya, Nak.) sahut sosok tua berblangkon yang di yakini Kolis adalah sosok Mbah Damiri.

"Opo mampu aku, Mbah?"(Apa mampu saya, Mbah?) ujar Kolis lemah.
"Mampu, Le. Demi lemah seng mbok idak iki, lemah seng dadi pestine leluhurmu tau kemucap, yen turunane bakal iso mbebasne."(Mampu, Nak. Demi tanah yang kamu pijak ini, tanah yang jadi saksinya leluhurmu pernah berucap, jika keturunannya akan bisa membebaskan.)
"Sampeyan kenal leluhurku, Mbah?" tanya Kolis.

"Nang kenelah awal angkoro iki kedaden. Mergo nggon ikilah akeh nyowo ilang dadi tumbal. Nang nggon kene iki mbarang puluan Sukmo do kekurung dadi budake iblis, termasuk sukmone Sasongko, Mirat, leluhurmu."
(Di sinilah awal angkara murka ini terjadi. Karena tempat inilah banyak nyawa hilang jadi tumbal. Di tempat ini juga puluhan sukma terkurung jadi budaknya iblis, termasuk sukmanya Sasongko, leluhurmu.)
"Aku iso metu seko gubengan angkorone Rahmi, mergo leluhurmu. Supoyo aku iso nyekseni kobonge jenggolo Rojo Gotro seng di bangun seko akeh nyowo. Saiki, wes wayah e pati obong. Koe karo adimu seng dadi obore."
(Aku bisa keluar dari lingkaran angkaranya Rahmi, karena leluhurmu. Supaya Aku bisa menyaksikan terbakarnya Jenggala istana Rojo Gotro yang di bangun dari banyak tumbal nyawa. Sekarang sudah saatnya hangus terbakar. Kamu dan Adikmu yang jadi api sulutnya.) ucap sosok Mbah Damiri.
Kolis yang mendengar, diam terhenyak. Tak menyangka jika dirinya telah dipilih oleh leluhurnya sendiri, untuk menghentikan persekutuan keluarga Rahmi Murti yang kini telah di teruskan oleh Ratri.
"Sampeyan opo gak salah, Mbah?"(Sampeyan apa gak salah, Mbah?) tanya Kolis seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri.

"Moso urepku bareng karo Sasongko, Mirat, Broto, lan Rohmadi seng mbok jikok lemah kuburane. Rogoku wes ancor dadi lemah,
tapi sukmo ragangku rung iso mapan kerono sumpahku. Mugio Koe iso, Le. Supoyo Sukmoku iso bali ngadep marang gustiku."(Masa hidupku bersama dengan Sasongko, Broto, dan Rohmadi yang kamu ambil tanah makamnya. Ragaku sudah hancur jadi tanah,
tapi Sukma halusku belum bisa tenang karena sumpahku. Semoga Kamu bisa, Nak. Supaya Sukmaku bisa pulang menghadap kepada Tuhanku.) jawab sosok Mbah Damiri dengan isyarat bahasa.
"Sak durunge Koe dep-depan karo Cenayang lan Abdi-Abdine Rojo Gotro, mengko bakal di terangno gamblang nang Mbah Waris. Dadi tinggal siapno batinmu, Le."(Sebelum Kamu berhadapan dengan Cenayang dan Abdi-Abdinya Rojo Gotro,
nanti akan di terangkan semuanya secara gamblang oleh Mbah Waris. Jadi tinggal siapkan batinmu, Nak.)

"Wengi iki tutupane, pedot orane seko awakmu rong wengi neh, mergo wengi Telulas ikulah dadi pestine Rojo Gotro nyambung talen nyowo.
Adikmu mugio iso selamet ra ke susur getih ireng, sak durunge tok obong talenane Ratri kesambung nang Jasmoro."(Malam ini tutupannya, putus tidaknya dari kamu dua malam lagi, karena malam Tiga Belas itulah jadi waktu tepatnya Rojo Gotro menyambung persekutuan nyawa.
Adikmu semoga bisa selamat tidak meminum darah hitam, sebelum kamu membakar syarat pertalian Ratri tersambung pada Jasmoro.)

"Mlakuo lurus. Koncomu wes tangi, nunggu awakmu. Aku pamit, Le."(Berjalanlah lurus. Temanmu sudah bangun, menunggu kamu. Saya pamit, Nak.)
Perlahan, sosok Qorin Kematren Mbah Damiri mengabur dan hilang terhempas kabut setelah mengakhiri ucapannya. Meninggalkan Kolis sendiri yang masih mematung penuh kegusaran.
Tak lama Kolis pun beranjak teringat akan Ilham yang di katakan sosok Mbah Damiri telah terbangun dan tengah menunggunya.

Siutan angin dini hari terasa begitu dingin menusuk kala Kolis keluar dari lahan berpagar yang menyimpan banyak kengerian.
Liukan burung-burung membayang hitam di atas kepala, dengan mengeluarkan suara nyiutan melengking, mengiringi langkah keberhasilan Kolis malam itu.

Tetapi bukanlah sebuah akhir, namun awal dari kengerian selanjutnya yang bahkan belum pernah ia alami dan lihat sebelumnya.
Meski selama perjalanannya Kolis selalu terdampingi, toh batinnya tetap saja berteriak ketakutan, penuh rasa cemas terselubung putus asa.

"Mas, awakmu rapopo?"(Mas, kamu tidak apa-apa?) tanya Kolis pada sosok Ilham yang duduk dengan wajah sayu.
"Kang, wes rampung sampeyan?"(Kang, sudah selesai Sampeyan?) sahut Ilham terkaget, tak menyadari kehadiran Kolis.

"Uwes, Mas. Awakmu rapopo?"(Sudah, Mas. Kamu tidak apa-apa?) jawab Kolis mengulang pertanyaannya.
"Ora, Kang. Aku gak kuat kenek sirepe gon iki, mulo keturon. Syukur Sampeyan selamet lan iso ngrampungke."(Tidak, Kang. Saya gak kuat terkena sirep tempat ini, makanya ketiduran. Syukur Sampeyan selamat dan bisa menyelesaikan.) ucap Ilham sembari bangkit.
"Ayo muleh, kari siji meneh gon seng kudu tak ampiri."(Ayo pulang, tinggal satu lagi tempat yang harus di datangi.) ajak Kolis, melihat kondisi Ilham sudah tersadar penuh.

Keduanya akhirnya meninggalkan tempat di mana pertama kali menjadi biang persekutuan Iblis yang telah -
memakan banyak nyawa. Perlahan tapi pasti, laju kendaraan yang di kemudikan Ilham sampai di kampung mereka sendiri.

Sebelum masuk ke tengah perkampungan, tepatnya di pinggiran Desa yang di kelilingi area persawahan, Ilham menghentikan kendaraannya. Anggukan pelan kepala Ilham,
menjadi awal langkah Kolis menyusuri jalan gelap tak lebih lebar dari tiga meter, menuju pemakaman desa tempatnya tinggal.

Anyep menyusup seluruh tubuh Kolis, saat kakinya sudah menapak tanah kuburan. Kilatan dari beberapa nisan keramik yang memantul dari beberapa kuburan,
serta sahutan gaung burung hantu, menjadi kecemasan tersendiri dalam benaknya.

Kali ini bukan hanya rasa takut, tetapi jg ada perasaan aneh mengernyit dalam dada. Hal itu semakin kuat menggoncang jiwanya, manakala sebuah gundukan tanah bernisan kayu terlihat membayang di depan.
Walau suasana gelap, masih segar dalam ingatan Kolis jika gundukan tanah berjarak tak lebih sepuluh meter pernah ia datangi. Gundukan di mana di dalamnya terkubur tubuh tua milik Bapaknya, Mbah Soko.
"Pak, Aku ora tegel nyawang lorone sampeyan!"(Pak, Saya tidak tega melihat sakitnya Sampeyan!) gumam Kolis menghentikan langkah dan menunduk.

Lama Kolis terdiam dalam isak lirih berderai air mata. Ia melukiskan saat-saat akhir sang Bapak, sama seperti korban lainnya.
Membayangkan itu semakin deras titik bening mengalir, bahkan tangannya gemetar seolah lemah tak bertenaga untuk meraup segenggam tanah di atas kuburan sang Bapak.

Namun sebelum suasana jiwa Kolis semakin terguncang, lagi-lagi suara membisik menguatkan batinnya.
"Luweh sengsoro nek ora mbok rampungke!"(Lebih sengsara kalau tidak kamu selesaikan!)

Kolis segera menutup matanya dan bersimpuh di samping makam Mbah Soko. Tangannya yang masih gemetar segera mengulur untuk mengambil segenggam tanah gembur berwarna merah.
Tak ada kejadian apapun, tak ada gangguan apapun sampai ia memasukan tanah ke dalam kantong hitam ketujuh yang ia siapkan. Namun saat akan bangkit, baru Kolis merasakan keanehan.

#tumbalterakhir
Wajah Kolis seketika meringis, menahan berat sesuatu yang menekan tubuhnya. Berkali-kali ia mencoba bangkit, tetapi hal itu justru membuat tubuhnya tertekan semakin kuat.

"Pak, aku arep muleh. Arep tak rampungke opo seng dadi pesenmu. Tulungono aku, Pak!"
(Pak, Aku mau pulang. Mau saya selesaikan apa yang jadi pesanmu. Tolong aku, Pak!) ucap Kolis mengeram.

Setelah mengucap hal itu, sedikit longgar di rasakan tubuhnya. Tetapi tak lama, suara bentakan di susul jeritan keras menggema, menghujam kencang rongga telinga Kolis.
Sakit dan terasa panas seluruh tubuh Kolis saat itu. Tak hanya itu, jiwanya langsung terguncang saat tau suara jeritan melengking adalah milik Bapaknya.

Tergambar jelas di hadapan Kolis saat itu tubuh Bapaknya berlumur darah. Baju putih lusuh yang biasa Bapaknya kenakan,
telah berubah merah darah tertempel potongan-potongan kecil daging serta kulit tubuhnya sendiri yang terkoyak.

Sekali lagi lengkingan keras menyayat keluar dari bibir Bapaknya dan sangat memilukan bagi Kolis, kala sebuah tangan berbulu,
berkuku tajam menghujam ke bagian perut tua Bapaknya. Beberapa saat lamanya tangan dengan kuku tajam itu tenggelam di dalam perut, mengaduk berputar, sebelum di sentak kuat keluar bersama keluarnya seluruh isi perut milik Mbah Soko.
Tak ada jeritan, hanya bola mata Mbah Soko yang melotot tajam. Mengerjap-ngerjap kuat, sekuat sengalan nafas yang begitu terlihat berat.

"Iki dadine nek nglawan aku. Wani arep ngrubah ginaris turunmu, ora segampang kui! Biyen Bapakmu yo karep ngrubah ngene,
tapi nasipe podo. Saiki tok baleni, ora bakal iso!"(Ini jadinya kalau melawan Aku. Berani mau merubah nasib keturunanmu, tidak semudah itu! dulu Bapakmu sama ingin merubah seperti ini, tapi nasibnya sama. Sekarang Kamu ulangi, tidak akan bisa!)
Dalam tangis pilu, Kolis terhenyak mendengar satu suara berucap sinis. Ia pun menatap tajam satu sosok wanita berkemben yang muncul bersamaan robohnya tubuh renta Mbah Soko.

Wanita itu berjalan memutari tubuh Mbah Soko yang tercabik tetapi masih ada nafas tersengal pelan.
Bola mata Mbah Soko masih mengerjap, tetapi sudah tak mampu mengerling. Mencerminkan rasa sakit luar biasa menghadapi sekarat yang di ciptakan sosok wanita tak asing di mata Kolis.
Di saat nafas akhir, bibir Mbah Soko terlihat bergetar pelan. Walau matanya tetap melotot ke atas, tetapi ia seperti tau jika sosok wanita berkemben dan bersanggul masih berjalan mengelilingi tubuhnya.
"Bar iki Koe sak turunmu bakal entek! Kepupus tandes, sak tandese lemah seng mbok idak!"(Setelah ini Kamu dan seluruh keturunanmu akan habis! Tertanam dalam, sedalam tanah yang kamu injak!)
Lirih namun penuh syarat makna mengancam suara terakhir yg Kolis dengar dari bibir Bapaknya. Tetapi hal itu justru membuat amarah sang wanita bergemuruh. Senyum sinisnya berubah geraman kuat, bibirnya bergerak cepat seperti membaca sesuatu yg kemudian satu auman keras menyambut.
"Ngene iki seng mbok karepke tandes jeru!"(Seperti ini yang kamu harapkan tertanam dalam!)

"Krakkkk ... Krakkkk ... Krakkkk...."

Tiga kali sangat jelas suara gemratak terdengar Kolis saat sebuah kaki hitam berbulu menginjak kuat kepala Bapaknya sampai masuk ke dalam tanah.
Kolis tak kuasa lagi menahan amarah, ia pun berteriak keras, sekencang-kencannya. Namun itu tak merubah apa-apa. Tak terdengar, tak membuat nyawa sang Bapak tertolong, justru tubuh Kolis yang tiba-tiba bergetar sebelum tiba-tiba terlempar jauh.
"Wes Kang, wes rampung. Tenang ... Tenang...!"(Sudah Kang, sudah selesai. Tenang ... Tenang...!)

"Bapak ... Bapakku piye, Mas!?"

Sedikit sibuk dan kewalahan Ilham menenangkan Kolis yang masih terguncang meski telah jauh dari tanah makam.
Beberapa kali ia harus terpental ketika Kolis memberontak sambil berteriak kencang. Kejadian itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya satu tepakan tangan di sertai tiupan di telinga melimbungkan tubuhnya.
Kolis terkulai lemah. Matanya nanar menatap seraut wajah tua yang baru saja muncul dan berdiri di sampingnya. Bibirnya bergerak pelan seolah ingin berucap sesuatu, tetapi belum sampai suara itu keluar, Kolis merasakan dunia begitu gelap serta udara sangat begitu dingin.
#tumbal
Lanjut ke bagian 9.
temen-temen bisa langsung baca di karyakarsa, ya.
linknya disini.
karyakarsa.com/KALONG/tumbal-…
"Ojo, Mas. Ojo enek tumbal terakhir! Aku moh neruske lakon iki nek awakmu opo Mbah Waris seng dadi tumbal."(Jangan, Mas. Jangan ada tumbal terakhir! Saya tak mau meneruskan ritual ini kalau Kamu atau Mbah Waris yang jadi tumbal.) Sedikit bergetar suara Kolis kali ini.
Walau sudah mengetahui adanya penumbalan akhir, tetapi ia tak mengira jika tumbal itu antara Ilham atau Mbah Waris.

"Pesten kui ra keno di rubah, Lis. Awakmu yo ora iso mundur!"(Syarat pasti itu tak bisa di rubah, Lis. Kamu juga tak bisa mundur!)
Suara tua dari arah depan tetiba mengejutkan Kolis dan Ilham. Sosok Mbah Waris yang baru saja berucap, kemudian masuk serta duduk di hadapan keduanya.
Sorot mata lelaki tua berumur 70an itu mengkilat, menatapi Kolis dan Ilham bergantian. Raut wajah keriputnya tak sedikitpun menggurat rasa takut ataupun cemas, meski tau bakal menjadi pilihan Tumbal Terakhir.
lanjut baca di bagian 9
sudah tersedia dan bisa di download.

karyakarsa.com/KALONG/tumbal-…
lanjut bagian 9
karena 1 bagian lagi, selesai.

TUMBAL TERAKHIR

#bacahoror #bacahorror @bacahorror @IDN_Horor #tumbalterakhir Image
"Kabeh syarat wes cukup, wektune yo gari sisok wengi, tak jalok awakmu siap segalane."(Semua syarat sudah cukup, waktunya juga tinggal besok malam, Saya minta Kamu siap segalanya.)
#tumbalterakhir
Lamat dan lirih, suara obrolan terdengar di telinga Kolis. Samar-samar matanya pun melihat dua sosok tengah duduk di samping tubuhnya yang terasa lemah dan ngilu.

"Mbah, Mas...." ucap Kolis pelan setelah jelas jika dua orang di sampingnya adalah Ilham dan Mbah Waris.
"Wes sadar awakmu, Kang? Ojo di pekso tangi disek."(Sudah sadar Kamu, Kang? jangan di paksa bangun dulu.) sahut Ilham sambil bergegas mendekat ke arah Kolis.
"Tenango, Lis. Awakmu wes asil le golek syarat, wes cukup. Aku yakin sak jangkah meneh opo seng di tunggu poro leluhur puluhan taun bakal kewujud, kabeh kui mergo perjuanganmu."(Tenanglah, Lis. Kamu sudah berhasil mencari syarat, sudah cukup.
Saya yakin selangkah lagi apa yang di tunggu para leluhur puluhan tahun akan terwujud, semua itu karena perjuanganmu.)

"Aku bakal mbaleske lorone wong tuoku, Mbah!"(Saya akan membalaskan sakitnya orang tuaku, Mbah!) jawab Kolis dengan raut berubah.
Mendengar ucapan penuh amarah dan dendam dari Kolis, Mbah Waris menghela nafas. Dadanya ikut bergemuruh seperti ikut terhanyut akan kilasan masa lalu seperti yang tergambar dalam pikiran Kolis.
Namun sekali lagi Mbah Waris menarik nafas berat, lalu mendekat ke arah tempat Kolis terbaring.

"Ojo tok gedekne geni seng murup nang atimu, Lis. Aku ngerti batinmu melu ngrasakne lorone Bapakmu, tapi kui iso ndadekne ciloko awakmu dewe nek sampek kegowo nang tugas akhirmu.
Pupusen disek, seng penting awakmu pulih, mergo sisok bengi waktune awakmu dadi obor."(Jangan Kamu besarkan api yang menyala di hatimu, Lis. Saya tau batinmu ikut merasakan sakitnya Bapakmu,
tapi itu malah bisa menjadikan celaka dirimu sendiri kalau sampai kebawa dalam tugas terakhirmu. Hilangkan dulu, yang penting kamu pulih, karena besok malam waktunya kamu jadi obor.) ucap Mbah Waris menenangkan amarah Kolis.
"Aku siap mati, Mbah. Asal keluargane Rahmi murti ora ndadekne Nduk Komala Abdine Iblis sungu geni."(Saya siap mati, Mbah. Asalkan keluarga Rahmi Murti tidak menjadikan Nduk Komala Abdinya Iblis bertanduk api.) sahut Kolis penuh keyakinan.
"Sisok bengi perkoro kui, Lis. Selametke adikmu. Selametke nyowo-nyowo liane."(Besok malam perkara itu, Lis. Selamatkan Adikmu. Selamatkan nyawa-nyawa lainnya.)
"Ilham, mengko totonen padusan kanggo ritual wengi iki. Saiki istirahato, aku tk muleh."(Ilham, nanti susunkan pemandian untuk ritual malam ini. Sekarang istirahatlah, Saya pulang dulu.) ucap Mbah Waris seraya bangkit dan berlalu meninggalkan Ilham serta Kolis yg masih terbaring.
Sejenak keheningan menyelimuti rumah pondokan tempat biasa keduanya beristirahat. Kolis yang baru sadar jika hari saat itu terang atau telah siang, berusaha mendudukan tubuhnya. Setelah tertatih dan atas bantuan Ilham, Kolis pun terduduk menyandar.
Matanya lekat menatap Ilham yang di rasanya berubah. Ia menangkap ada kecemasan luar biasa menyirat di wajah Ilham. Entah kekawatiran apa yang di sembunyikan Ilham, Kolis hanya mampu menerka-nerka tanpa tau pastinya.
Tak ada perbincangan antara Kolis dan Ilham siang itu. Setelah membantu Kolis menyandarkan tubuhnya, Ilham memilih masuk ke dalam kamar satu-satunya di rumah pondok itu. Membuat Kolis yang sempat ingin bertanya urung dan memilih diam dalam sendiri.
Sampai matahari hampir terbenam, Kolis masih sendiri dan tak melihat sosok Ilham keluar dari kamar. Tetapi ketika gelap mulai menjalar seluruh alam sekitar, Ilham muncul dari arah depan dengan menenteng bekal dari tempat Mbah Waris.
Tentu saja kemunculan Ilham dari tempat Mbah Waris membuat Kolis terkejut heran. Ia berpikir keras kapan Ilham keluar dari kamar. Sebab dalam batinnya, Kolis merasa sedari masuk ke dalam, Ilham tak terlihat keluar.
"Wes penak urung awak e, Kang?"(Sudah enakan belum badanmu, Kang?) tanya Ilham membuka percakapan sambil mengeluarkan bekal makanan yang ia bawa.

"Uwes, Mas."(Sudah, Mas.) jawab Kolis singkat.
"Yo syukur, Kang. Iki di pangan Kang, delok neh Bapak teko, gek arep mulai ritual padusan."(Ya syukur, Kang. Ini di makan Kang, sebentar lagi Bapak datang, akan mulai ritual mandi suci.) sahut Ilham sambil menyodorkan makanan pada Kolis.
"Padusan ge opo iku, Mas?"(Mandi suci buat apa itu, Mas?) tanya Kolis setelah menerima sepiring nasi beserta lauk dari tangan Ilham.

"Kanggo sampeyan ben iso mlebu nang jenggolone Rahmi lan iso melu acara tetalene Komala karo -
Jasmoro tanpo keweruhan nek gowo syarat pitung obor pati."(Utk sampeyan supaya bisa masuk di tempat ritualnya Rahmi dan bisa ikut acara pernikahan batinnya Komala dgn Jasmoro tanpa di ketahui kalau membawa syarat tujuh obor kematian.) jawab Ilham yg sempat membuat Kolis tercenung
"Opo sisok awakmu gak melu, Mas?"(Apa besok kamu tak ikut, Mas?) tanya Kolis.

"Gak, Kang. Sisok aku karo Bapak mbantu seko njobo."(Tidak, Kang. Besok Saya dengan Bapak membantu dari luar.)
"Sampeyan yo wes krungu dewe, nek sisok iku tetep ono Tumbal Terakhire. Yo mbuh Aku, opo Bapak seng dadi geteh julure, penting urusan iki iso rampung."(Sampeyan ya sudah dengar sendiri, kalau besok itu tetap ada Tumbal Terakhirnya.
Entah Saya, apa Bapak, yang jadi darah penutupnya, terpenting masalah ini bisa selesai.) jawab Ilham.

Satu suapan nasi tak sempat masuk ke dalam mulut Kolis ketika dengan gamblang cerita Ilham ia dengar. Matanya membinar seperti tak percaya dan tak terima dengan ucapan itu.
Ia pun meletakan piring nasi yang masih separuh di karpet, lalu mendekat ke arah Ilham yang diam sedikit menunduk.

"Ojo, Mas. Ojo enek tumbal terakhir! Aku moh neruske lakon iki nek awakmu opo Mbah Waris seng dadi tumbal."
(Jangan, Mas. Jangan ada tumbal terakhir! Saya tak mau meneruskan ritual ini kalau Kamu atau Mbah Waris yang jadi tumbal.) Sedikit bergetar suara Kolis kali ini. Walau sudah mengetahui adanya penumbalan akhir, tetapi ia tak mengira jika tumbal itu antara Ilham atau Mbah Waris.
"Pesten kui ra keno di rubah, Lis. Awakmu yo ora iso mundur!"(Syarat pasti itu tak bisa di rubah, Lis. Kamu juga tk bisa mundur!)

Suara tua dari arah depan tetiba mengejutkan Kolis dan Ilham. Sosok Mbah Waris yg baru saja berucap, kemudian masuk serta duduk di hadapan keduanya.
Sorot mata lelaki tua berumur 70an itu mengkilat, menatapi Kolis dan Ilham bergantian. Raut wajah keriputnya tak sedikitpun menggurat rasa takut ataupun cemas, meski tau bakal menjadi pilihan Tumbal Terakhir.
"Aku wes siap dadi geteh julur! Aku pingin melu nebus kesalahane wong tuoku, leluhurku. Mulo mbisok nek aku seng mati, kuburke gon sebelahe Mbok Sun lan Mbah Sali."

(Saya sudah siap jadi darah penutup! Saya ingin ikut menebus kesalahan orang tuaku, leluhurku.
Maka kelak kalau Aku yang mati, kuburkan di sebelah Mbok Sun dan Mbah Sali.) ujar Mbah Sali tegas, membuat Ilham dan Kolis tertunduk.

"Sejatine seng ngritualke Rahmi karo Rojo Gotro biyen iku wong tuoku. Tapi sak wise Rahmi dadi, malah ingkar karo janjine.
Akhire wong tuoku ngamuk lan pingin medot, sayang ora mampu, malah keluargaku entek di dadekne tumbal patri. Kari aku dewe seng slamet tekan saiki, iku mergo di bantu Mbah Damiri."
(Sebenarnya yang meritualkan Rahmi dengan Rojo Gotro dulu itu orang tuaku. Tapi setelah Rahmi jadi, ia mengingkari janjinya. Akhirnya orang tuaku marah dan ingin memutus, sayang sudah tidak mampu, bahkan keluargaku habis di jadikan tumbal pelengkap.
Tinggal Saya sendiri yang selamat sampai sekarang, itu karena di bantu Mbah Damiri.)

"Leluhurmu biyen yo salah sijine abdi dalem nang jenggolone Rahmi, tapi kerono kepekso mergo Broto, kakang kandunge Rahmi seng awale di bantu oleh omah Warisan, dadi tumbal.
Seng selamet turune leluhurmu Bapak karo lelekmu Latip."

(Leluhurmu dulu juga salah satunya Abdi dalam di istana gaibnya Rahmi, tapi karena terpaksa karena Broto, kakak kandung Rahmi yang awalnya di bantu mendapatkan rumah Warisan, jadi tumbal.
Yang selamat dari keturunan leluhurmu Bapak dengan Pamanmu Latip.) Sambung Mbah Waris, sedikit menceritakan masa lalu dengan alur sepengetahuannya.
"Saiki siap-siapo. Delok neh awakmu adus."(Sekarang bersiaplah. Sebentar lagi kamu mandi.) ucap Mbah Waris memberi perintah dan mengakhiri cerita singkatnya.

Kolis pun tak membantah, meski puluhan ragam pertanyaan mengelebat di kepalanya dan sempat berharap ingin terjawab oleh-
cerita dari Mbah Waris. Namun, ia lebih menuruti perintah dari lelaki tua yang telah banyak membantunya selama ini.

Dua buah gentong berjejer berisi air pertama Kolis lihat saat ia berada di belakang. Entah sejak kapan telah di siapkan,
yang jelas baginya saat itu tubuhnya mulai merinding kuat. Tak hanya sebuah kain putih tersampir di sisi salah satu gentong, tampak menyertai tujuh tangkup daun pisang tertutup kain pada bagian atas, menebar aroma wangi bunga begitu lekat,
menyimpulkan jika ritual padus yang akan Kolis jalani bukan hal sembarangan.

"Cepoten kabeh gombalanmu."(Lepas semua pakaianmu.)

Suara perintah Mbah Waris dari belakang tak lagi di bantah Kolis. Ia pun segera melucuti semua pakaian yang menempel tanpa menyisakan sehelai pun.
Dingin, sangat dingin menusuk kala guyuran air jernih dari salah satu gentong membasuh kulit Kolis. Beberapa saat lamanya Ia tersiksa dengan gigilan, sampai gayung terakhir mengguyur.
"Menyato, mlebuo nang gentong kunu. Nek urung tak kongkon, ojo pisan-pisan menyat."(Bangunlah, masuk ke gentong itu. Kalau belum saya suruh, jangan sekali-sekali beranjak.) seru Mbah Waris setelah mengguyurkan air terakhir dari gentong di sisi kiri Kolis.
Kolis yang awal dalam posisi berjongkok, tanpa mengiyakan segera masuk ke dalam gentong seukuran tubuhnya meringkuk. Rasa mual tetiba menerjang perutnya, mendapati dalam air telah tercampur bermacam kembang.
Semakin lama rasa mualnya semakin menyeruak, hal itu di barengi kondisi air yang terasa memanas. Hampir saja Kolis tak mampu membendung rasa tak nyaman akan bau wangi dan amis yang ada dalam gentong tempatnya meringkuk berendam.
Ia tertolong tiga tepukan pelan di bagian belakang kepalanya. Namun hal itu sempat membuatnya merasai sekelilingnya seolah berputar, dan baru tersadar penuh ketika kakinya menginjak tanah basah samping gentong.
"Iki enggonen, turuo nang kamar seng wes di toto Ilham."(Ini pakailah, tidur di kamar yang sudah di siapkan Ilham.)

Kolis terdiam sembari memandang Mbah Waris. Bukan pada sosok Mbah Waris pandangan mata Kolis, tetapi pada kain putih yang di sodorkannya.
Kolis tau jika kain itu adalah kain yang biasa ia temui sebagai pembungkus mayat atau biasa masyarakat menyebut MORI. Bahkan yang membuatnya tercekat tampak kain itu seperti bekas pakai.
Dari hal itu sudah sangat membuat jiwa Kolis gelisah, apalagi tetiba bau wangi ber aroma Fambo dan kapur barus sangat tajam, juga bersumber dari kain itu.

"Kulo nganggo niki, Mbah?"(Saya memakai ini, Mbah?) tanya Kolis tergagap.
"Ritual Dadar Mayit kudu tok lewati, Lis. Iki dadi syarat akhir seng kudu mbok lakoni, mergo seng bakal mbok adepi sisok kui mayit-mayit bedo sukmo bedo rogo."(Ritual Dadar Mayit harus kamu lewati, Lis.
Ini jadi syarat akhir yang harus kamu lakukan karena yang akan di hadapi besok itu mayat-mayat beda sukma beda raga.) jawab Mbah Kolis datar.

Meski kurang paham, Kolis akhirnya menerima kain mori yang ternyata memang sudah bekas.
Ia pun membalut sekedarnya, sebelum masuk ke dalam rumah pondok mengikuti di belakang Mbah Waris.

Sesampainya di ambang pintu kamar, aroma dupa langsung menusuk hidung Kolis. Di dalam, ia melihat sosok Ilham yang berdiri menunduk di sudut sisi kanan dengan kedua-
tangan menyangga sebuah cawan bulat terbuat dari tanah lempung. Kepulan asap tampak mengepul tebal dari cawan yang di pegang Ilham, di iringi kepulan asap tipis dari tujuh buah dupa yang tergeletak berjejer lurus di lantai kamar.
Dari semua dupa yang berjejer dan telah terbakar, di tiap sampingnya terdapat aneka macam kembang terbungkus daun pisang persegi dengan kancing potongan sapu lidi. Tak hanya itu, tepat di tengah antara jejeran dupa,
sebuah kain hitam terhampar setinggi dan selebar ukuran tubuh manusia dewasa, berbantal tanah bertuliskan aksara jawa kuno.

"Turuo kunu, Lis. Ojo wedi, iki mek syarat. Penting ojo gatekne opo wae seng ketok mripat utowo seng ono gon kamar iki sak durunge sengenge njedul."
(Tidurlah di situ, Lis. Jangan takut, ini cuma syarat. Penting jangan tanggapi apapun yang terlihat mata atau yang muncul di dalam kamar ini sebelum matahari terbit.) ucap Mbah Waris lirih membisik, seolah tau raut gelisah dan ketakutan menggurat hebat di wajah Kolis.
"Sampun cekap sedoyo!"(Sudah cukup semua) seru Ilham tiba-tiba sebelum Kolis menjawab bisikan Mbah Waris.

Kolis hanya menurut, melangkah pelan masuk ke dalam kamar tanpa bicara sepatah kata, walau dalam batinnya terjadi gunjangan hebat.
Hal ini sangat di rasakan berbeda olehnya. Kalau bertemu mahluk mengerikan ia masih mampu bertahan meski ketakutan, tetapi kali ini ia harus melakukan sebuah ritual layaknya seonggok mayat, tentu bukanlah satu hal main-main atau tanpa bahaya.
Apalagi, ia sempat mendengar bisikan Mbah Waris, yang temakna ada resiko besar di dalamnya.

"Tenang o, Lis. Awakmu ko di jogo Ilham."(Tenanglah, Lis. Kamu nanti di jaga Ilham.) ucap Mbah Waris seolah tau pikiran Kolis.
Beberapa saat kemudian Kolis membaringkan tubuhnya di atas hamparan kain hitam atas perintah Mbah Waris. Beberapa kali nafasnya seperti terhenti ketika balutan kain putih di tubuhnya di rapikan sama persis dengan cara mengkafani mayat.
Yang membedakan hanyalah kapas putih tak menempel, tetapi di ganti taburan kembang di atas tubuhnya.

Selesai merapikan semua, Ilham segera mengambil cawan berisi kepulan asap kemenyan. Lalu meletakkannya tepat di atas kepala Kolis yang seketika membuat nafasnya semakin sesak.
"Ojo polah, ojo obah. Sekali sukmomu ketarik, ra bakal iso bali!"(Jangan bergerak, jangan beranjak. Sekali sukmamu tertarik, tidak akan bisa kembali!) seru Mbah Waris sembari mengencangkan tali-tali kecil yang mengikat tangan dan Kaki Kolis.
Tak lama, Mbah Waris pun menunduk. Mensedekapkan kedua tangan dan memejamkan mata.

Hampir satu menit bibir tuanya bergerak cepat, secepat hawa anyep menyusup pori-pori kulit Kolis. Setelahnya, sapuan angin lembut di rasa merayapi sekujur tubuh Kolis,
membuatnya sejenak merasai ketenangan.

"Ilham, iling-ilingo! Ojo sampek kebul-kebul iki mandek!"(Ilham, ingat-ingat! jangan sampai asap-asap ini berhenti!) ucap Mbah Waris sambil bangkit dari duduknya di samping tubuh Kolis, setelah merampungkan membaca mantra.
Anggukan kepala Ilham sudah cukup bagi Mbah Waris meninggalkan kamar yang telah berhawa lembab. Di mana terdapat tubuh Kolis terbaring layaknya mayat tertabur kembang serta kepulan asap dupa dan kemenyan sebagai tanda di mulainya ritual DADAR MAYIT.
Sepeninggalan Mbah Waris dan Ilham, suasana dalam kamar seketika berubah. Awal Kolis masih begitu merasai ketenangan, namun tak lama ia merasakan aneh pada bagian-bagian tubuhnya.
Semakin lama Kolis benar-benar merasakan rasa itu, semakin nyata. Di mana sesuatu lembab dan berlendir membasahi bagian kaki dan terus naik ke atas.

Sampai pada bagian dada, barulah Kolis tau apa yang tengah menyapu tubuhnya.
Saat mulutnya ingin terbuka, berteriak dan memanggil Ilham yang dirinya tau berada di luar kamar, tetapi mulutnya terkunci.

Tubuh Kolis sendiri begitu kaku, seluruh anggota tubuhnya tak mampu ia gerakkan.
Hanya bola matanya yang bergerak cepat, memperhatikan tujuh pocong kecil tengah menjilati tubuhnya.

Lidah panjang berlendir dari sosok pocong-pocong itu terus menyapu kain Mori dan menembus ke kulit Kolis. Memberikan rasa dingin, namun terasa mengeras di permukaan kulit.
Tetesan-tetesan lendir membercak pada kain Mori, meninggalkan bau amis dan arus, ketika tujuh pocong kecil selesai sampai wajah Kolis dan menghilang begitu saja.
Sejenak Kolis merasa lega. Namun tak berapa lama, ia kembali tercekat manakala tubuhnya terasa terhimpit sesuatu dari sisi kanan kiri.
Sempat berusaha ingin bangkit, tapi tertahan oleh pesan Mbah Waris yang tetiba melintas dalam pikirannya. Membuatnya pasrah dengan keadaannya saat itu.

Lirih melenguh bersamaan suara dari sisi kanan dan kiri menembus gendang pendengarannya.
Meski ia belum tau wujud mahkluk yang ikut terbaring di sampingnya, tapi Kolis tau dan yakin dari suara dan aromanya, jika mereka berwujud menakutkan.

"Kawahmu, kawah sengir, Le. Legine kambu seko lor karo kidul. Meluo aku, yo Le?"
(Kawahmu, kawah madu, Nak. Manisnya tercium dari utara dan selatan. Ikut lah saya, ya Nak?)

Ketakutan benar-benar membekap kuat dalam diri Kolis kala bisikan suara wanita tua terus menyusup kedua telinganya.
Sesekali ia melirikan bola mata, namun hanya terlihat juntaian rambut hitam berbau kembang kenanga.

"Kawah Sengir ... Kawah Sengir ... Kawah Sengir...."
Kali ini tak hanya membisik pada dua telinga Kolis. Suara itu bergemuruh memenuhi ruang kamar dan mengucap kalimat yang sama.
Terus dan terus riuh suara menyebut Kawah Sangir menggema, sedang Kolis terdiam kaku.

"Brakkkk...."

Gebrakan keras akhirnya mengakhiri gemuruh suara wanita di dalam kamar. Entah apa yang terjadi, bagi Kolis yang sempat terkejut tanpa gerak,
gebrakan layaknya pintu di dobrak mampu menolongnya dari ketegangan akan suara wanita-wanita tua tanpa tau wujudnya.

"Mas! Mas Kolis...."

Terhenyak tegang Kolis mendengar sapaan lembut seorang wanita dari arah pintu.
"Mas Kolis, ayo muleh, Mas. Aku kangen."
(Mas Kolis, ayo pulang, Mas. Aku kangen) ucap kembali suara wanita muda terdengar semakin mendekat ke arah Kolis.

"Lina!?"

Seolah tak percaya Kolis bergumam dalam hati.
Ia sadar jika tidak mungkin Lina, Istrinya yang berada jauh tetiba muncul. Namun ketika tepat bola matanya menatap ke arah depan, dengan jelas melihat sesosok wanita muda berambut sebahu berdiri menyunggingkan senyum.
"Mas, Aku kangen banget. Nopo Sampeyan nang kene? Ayo muleh!"(Mas, Aku kangen sekali. Kenapa Kamu di sini? ayo pulang!)

"Lina! Awakmu bener Lina?"(Lina, kamu benar Lina?) seru Kolis lirih masih tak mempercayai akan kehadiran sosok mirip Istrinya.
"Iyo, Mas. Aku Lina, bojomu."(Iya, Mas. Aku Lina, Istrimu.) jawab sosok Lina, sembari lebih mendekat.

Kolis benar-benar terbingungkan oleh suasana saat itu. Apalagi ketika sosok Lina duduk di sisi kirinya, sangat jelas tidak ada satupun yang berbeda dari Istrinya.
Hal itu membuat rasa bingung dan bimbangnya sedikit memupus dan mulai percaya sosok wanita di sampingnya adalah benar Istrinya.

Tetapi kala wajah sosok Lina mendekat seperti ingin mencium, Kolis tetiba merasa aneh, terutama pada aroma wangi yang menyeruak dari tubuh Lina.
"Opo gak kangen karo aku, Mas?"(Apa tidak kangen sama Saya, Mas?) ujar sosok Lina ketika lebih mendekat namun Kolis memalingkan wajah.

"Koe uduk Bojoku!"(Kamu bukan Istriku!) sahut Kolis geram namun bersuara pelan.
"Mas, Aku Bojomu! Adoh-adoh aku rene, mergo kangen awakmu, Mas."

(Mas, Aku Istrimu! jauh-jauh aku ke sini, karena kangen kamu, Mas.) ujar kembali sosok Lina.
Perlahan Kolis kembali memalingkan wajah, menatap lekat wajah ayu yang hanya berjarak sejengkal.

Sampai akhirnya nafas mereka pun beradu. Melambungkan jiwa Kolis yang masih dalam balutan dan ikatan kain Mori.
Beberapa puluh detik suasana itu berlangsung. Kemudian, sosok Lina pun mengangkat wajahnya dan berdiri.

Kolis yang telah merasa yakin dan mulai terbawa suasana, berusaha ikut bangkit. Tetapi tali-tali kecil potongan dari kain Mori yang mengikat tangan dan kakinya sangatlah kuat.
Wajah Kolis yang masih dalam usaha bangkit pun seketika terpias oleh sosok Lina yang perlahan melepaskan satu persatu pakaian di tubuhnya. Hal itu semakin menggunjang jiwa Kolis dan membuatnya semakin kuat untuk berontak.
"Dek, tolong uculi taline."(Dek, tolong lepaskan talinya.) gumam Kolis yang tak berhasil melepas ikatan sendiri.

"Iyo, Mas."(Iya, Mas.) sahut Lina yang telah melepaskan semua pakaiannya.
Wajah semringah terpancar jelas pada Kolis ketika sosok Lina mendekat ingin membantunya melepas tali dari tangannya. Namun baru saja menyentuh, jeritan melengking keluar dari tenggorokannya bersama tubuh telanjangnya terpental ke belakang.
"Dek!?" seru Kolis bingung.

Tak ada sahutan, suasana sejenak kembali sunyi sebelum satu geraman marah menggetarkan seantero ruang kamar.
"Eeengggggghhhh"

Untuk ketiga kalinya suara geraman itu menggema, barulah membuat Kolis tersadar jika sosok ayu menyerupai Istrinya sebuah gangguan semata.
Buaian lembut yang sebentar ia rasakan pun seketika berubah rasa ngeri, takut dan jijik saat sosok menyerupai Istrinya mendekat dengan wujud berbeda.

Tak hanya sebahu, rambut sosok itu panjang menyapu lantai. Wajah kencangnya berubah hitam di penuhi koreng menglupas.
Bahkan bibir yang sempat menyentuh bibir Kolis, tak ubahnya potongan daging terpanggang.

"Kawah Sengir! Koe kudu dadi Langesku. Koe kudu melu aku!"
(Kawah Sengir! Kamu harus jadi pemujaku. Kamu harus ikut Aku!) ucap sosok tua dengan melotot, memperlihatkan dua bola matanya yang putih rata membulat.
Nafas Kolis tersengal, antara ngeri dan jijik. Ia pun berpaling, tetapi wajah sosok wanita tua itu sudah kembali berada tepat di hadapannya.

"Ayo, baleni meneh! Kawah Sengirmu kudu kecucup aku! Kudu! "(Ayo, ulangi lagi! Kawah Sengirmu harus terminum Aku! Harus!)
Kolis pasrah saat wajah itu semakin mendekat sedangkan lehernya terkunci tak mampu membalik.
Dengusan nafas amis bercampur apek mulai menerjang hidung Kolis kala bibir hitan kemerahan tanpa kulit hampir menyentuh mulutnya.
Namun sedetik kemudian, lagi-lagi sosok mengerikan itu terpekik dan mundur.

"Koe pancen dudu jatahku! Kawah Sengirmu wes kebuntel."(Kamu memang bukan milikku! Kawah Sengirmu sudah terbungkus.)
Setelah berucap, ssok itu melayang mengitari tubuh Kolis beberapa kali. Lalu menghilang bersma asap hitam tipis keluar menembus atap genting berlumut.

Suasana kamar kembali hening dan sunyi smpe beberapa saat lamanya. Membuat Kolis sedikit bernafas lega dan meredakan ketegangan.
Puluhan menit, ratusan detik suasana tak berubah. Ketenangan menuntun Kolis untuk sejenak memejamkan mata. Tapi baru sebentar, matanya kembali terbuka oleh suara berasal dari lantai kamar.
"Dugg ... Duggg ... Duggg...."

Tak hanya sekali, suara layaknya kaki menghentak lantai terus dan terus. Bahkan bukan hanya satu sisi atau satu sumber, suara itu terdengar dari dua sisi kanan kiri tubuhnya dan seperti ramai.
Rasa penasaran akhirnya membuat Kolis memiringkan wajah ke sisi kiri. Wajahnya spontan mempias terkejut melihat tiga sosok terbungkus sama dengan dirinya ikut berbaring. Pemandangan yang sama juga tampak di sisi kanan,
tiga sosok berbalut kain putih lusuh terbaring sembari mengangkat kaki-kaki mereka yang terikat kain kecil, menghentakannya ke lantai menimbulkan suara bergedebug.

Kolis lagi-lagi hanya diam tercekat. Meski tak melakukan apapun pada dirinya,
tetapi terbaring dengan di apit Enam sosok Pocong, tetap saja membuat jiwa takutnya hadir.

Lebih Tiga puluhan menit enam sosok Pocong dewasa itu terbaring dan terus menghentak lantai. Sampai satu geraman pelan menghentikannya.
Enam sosok Pocong itu kemudian bangkit terduduk. Lalu serentak berdiri melompat, melangkahi tubuh Kolis bergantian.

Pekikan tertahan terlihat dari mulut Kolis, manakala Pocong-pocong berwajah putih pucat dengan bola mata membulat hitam bergantian melompati tubuhnya.
Entah berapa kali ke enam Pocong itu silih berganti melompat, sampai membuat Kolis merasakan ruang kamar bergetar dan berputar. Matanya nanar, tubuhnya berpeluh hebat walau terasa dingin, dan tak berapa lama semua di rasa gelap oleh Kolis.

***
"Tangi Lis ... Tangi...."(Bangun Lis ... Bangun....)

Seruan memanggil mengakhiri pejaman mata Kolis. Percikan air pada wajahnya, sesaat kemudian mengawali kesadarannya.

Terang dan sedikit hangat di rasa Kolis. Lalu melepaskan nafas panjang, saat tau pagi telah menyongsong.
"Wes rampung kabeh ritualmu, Lis."(Sudah selesai semua ritualmu, Lis.)

"Opo Aku berhasil, Mbah?"(Apa saya berhasil, Mbah?) tanya Kolis pada Mbah Waris setelah melepas ikatan dan mendudukan tubuh lemahnya.
"Kanggo iki wes cukup, neng seng paling abot mengko bengi."(Untuk ini sudah cukup, tapi yang paling berat nanti malam.) jawab Mbah Waris.

"Wes kadung, Mbah. Abot ra abot kudu tak rampungke."
(Sudah terlanjur, Mbah. Berat tidak berat harus Saya selesaikan.) sahut Kolis mantap di balik wajah sayunya.

"Mengko sore awakmu di terke Ilham. Tak jalok ojo sampek goyah, ojo getun karo seng bakal kedaden.
Supoyo iso dadi pengiling-ngiling anak turunmu lan wong-wong seng ngerti perkoro iki."

(Nanti sore kamu di antar Ilham. Saya minta jangan sampai goyah, jangan sesali dengan yang bakal terjadi. Supaya bisa jadi pengingat anak keturunanmu dan orang-orang yang tau masalah ini.)
"Menungso karo Iblis iku di takdirke dadi musuh, neng ono menungso gelem kepanggon bareng, dadine balak gede."

(Manusia dengan Iblis itu di takdirkan jadi musuh, tapi ada Manusia mau bersekutu,
melahirkan musibah besar.) ujar Mbah Waris seraya menyodorkan segelas air berwarna putih kebiruan.

Tanpa bertanya Kolis menerima serta meneguk habis meski di rasa berbeda rasa air yang di sodorkan Mbah Waris. Tetapi setelahnya, ia merasakan tubuhnya segar bahkan ringan.
Satu ulas senyum tersimpul dari bibir Mbah Kolis yang belum pernah sekali pun Kolis melihat sebelumnya.

Tak hanya itu saja yang membuat Kolis merasa ada hal berbeda. Dirinya juga menangkap ke anehan pada diri Ilham yang tengah menatapnya dengan pandangan sayu.
Wajahnya pucat, bola matanya menyiratkan seperti berharap, tetapi tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Sampai Mbah Waris keluar dan pulang, Ilham masih dalam diam. Meski semua kebutuhan Kolis dirinya siapkan, namun tak ada ucapan apapun.
Sore merayap, menampilkan langit memerah. Pancaran terik matahari yang menyisakan rasa hangat, menjadi penghantar perjalanan Kolis di temani Ilham ke rumah Mbah Waris.

Sesampainya, Kolis dan Ilham di sambut wajah tua menegang Mbah Waris.
Tak ada obrolan, ketiganya terhanyut pikiran masing-masing sampai tiba waktunya bersantap.

Suasana lain sangat di rasakan terutama oleh Kolis sehabis bersantap dan surup telah memijak. Hawa panas tak biasa, sangat di rasakan tubuhnya.
Beberapa kali dirinya mencoba mengusir satu pikiran yang tetiba bersarang dalam otak, memaknai akan suasana menggerahkan itu.

Batinnya pun mencoba meyakinkan dirinya, bila pikiran itu hanyalah sekelebat ke kawatiran belaka.
Namun semakin ia tekan, semakin benaknya tersusupi perasaan seolah membisik jika hawa itu adalah hawa KEMATIAN.

"Budalo saiki. Guwak roso wedimu, welasmu! Wengi iki mek loro pilihanmu, mati kepaten, opo mateni!"
(Berangkatlah sekarang. Buang rasa takutmu, belas kasihanmu! Malam ini cuma dua pilihan, mati dalam kematian, atau mematikan!)

Suara perintah Mbah Waris memecah keheningan. Membuyarkan lamunan Kolis, berganti rasa tegang akan maksud dari ucapan Mbah Kolis.
Berbeda dengan Ilham. Meski mulutnya terdiam, tetapi bola matanya memerah, mencerminkan emosi berbalur kesedihan.

"Iki bakal dadi gamanmu, ojo sekali pun tok buka sak durunge acara ijab batine Komala karo Jasmoro.-
Guwak en nang soko papat jenggolone Ratri, pas wektu ritual di wiwiti."

(Ini akan menjadi senjatamu, jangan sekalipun kamu buka sebelum acara ijab batinnya Komala dan Jasmoro. Buang di tiang empat Jenggolo Ratri, tepat saat upacara di mulai.)
Anggukan pelan mengakhiri pertemuan Kolis dan Mbah Waris malam itu. Tak ada lagi percakapan, sampai Ilham dan Kolis berangkat setelah menerima sebuah bungkusan kain hitam yang di rasa tangan Kolis berisi sesuatu yang lembut.
Sapuan angin lembut berjeda, mengiringi Ilham dan Kolis menembus kabut malam. Kesunyian yang biasa menyelimuti suasana kampung, menjadi saksi kepergian dua sosok yang akan menuju sebuah tempat.
Di mana, di tempat itu bakal terjadi suatu pesta besar. Pesta yang membawa satu kenangan mengerikan, membekas dalam-dalam pada setiap orang yang menyaksikan seumur hidupnya.
minggu depan Lanjut bagian 10 ( SELESAI )

(...untuk yang mau baca duluan bisa mampir di @karyakarsa_id , ya. ) Disana sudah bisa di dowload dan di baca.

Link #tumbalterakhir nya ini.

karyakarsa.com/KALONG/tumbal-… Image
Terimakasih yang sudah membaca cerita ini dan membantu retweet.

Bagian 10 ( Selesai ) update minggu depan.

Maturnuwun.
BAGIAN 10 ( SELESAI )

"Aku gak iso melu mlebu, Kang."(Saya tak bisa ikut masuk, Kang.)

Kolis tertegun mendengar ucapan Ilham, sesampainya di persimpangan jalan Desa. Matanya lurus menatap sebuah rumah besar yg berada di sisi kiri, tak jauh dari tempatnya berhenti bersama Ilham.
"Rame banget, Mas. Opo wes di mulai acarane?(Rame sekali, Mas. Apa sudah di mulai acaranya?) tanya Kolis.

"Opo seng mbok delok, kok iso muni rame, Kang?"(Apa yang kamu lihat, kok bisa bilang ramai, Kang?) jawab Ilham sedikit heran dan balik bertanya.
"Wong rewang karo wong do ndelok Karawitan."(Orang sinoman dan orang melihat hiburan campur sari) jawab Kolis.

"Kui ngunu dudu menungso, Kang. Mergo mripatku ora iso ndelok. Yo wes, Kang. Sampeyan mlebuo, aku tak njogo seko kene."
(Itu artinya bukan Manusia, Kang. Karena mataku tak bisa mrlihat. Ya sudah, Kang. Kamu masuklah, Saya jaga dari sini)

Tanpa mengangguk dan menjawab, Kolis mengayunkan kakinya mendekat ke arah rumah besar dengan pagar setinggi dada mengitar.
Keramaian, hiruk pikuk dan hilir mudik sosok-sosok manusia menjadi awal penyambutan kedatangannya. Lebih jauh, alunan gamelan dari halaman depan berpanggung, menyusup lembut di telingannya.
Sebuah tontonan tradisional Karawitan dgn alat musik yang di mainkan Dua Puluhan orang laki-laki berpakaian ala kerajaan, sejenak memukau Kolis.

Hal itu sebentar membuatnya terlupa akan tujuan dan ucapan Ilham. Sebab tontonan itu dirasakannya memberikan daya tarik tersendiri.
Kolis terus melangkah. Matanya tertuju ke depan, tepatnya pada sesosok wanita cantik di atas panggung berkarpet merah yang tengah menari di iringi gamelan berirama.

Tak terasa Kolis sudah jauh berada di dalam kerumunan. Mengabaikan tatapan-tatapan aneh penuh makna dari-
puluhan sosok di kanan kiri yang menyingkir seakan memberinya jalan, untuk mendekat ke arah panggung megah nan terang, berhias untaian aneka bunga warna-warni.
Marathon baca cerita TUMBAL TERAKHIR dari bagian 1 - 10 (SELESAI)
Link nya disini


#bacahoror #bacahorror @bacahorror @IDN_Horor
Sesampainya tepat di depan, atau tinggal berjarak dua meter, sang wanita berhenti berlenggok menandai berakhirnya sebuah lagu khas Jawa yang sering di mainkan dalam acara-acara tertentu.

Sang wanita yang memakai kain batik berkemben dengan rambut bergelung,
tiga langkah maju mendekat ke tempat Kolis berdiri. Matanya sayu menatap, seolah ada kilasan sebuah isyarat yang tak bisa ia ungkapkan dengan bibir. Namun tak lama, ia kembali mundur dan menari setelah suara Gong berdengung,
mengawali pelog pegon serta tetabuhan lainnya ikut terdengar di mainkan.

"Nduk Kom!" seru Kolis lirih.

Sang wanita terus saja meliukan tubuhnya yang kali ini tariannya terlihat vulgar.
Beberapa kali Kolis harus tertunduk demi tak melihat liukan yg di lakukan sosok wanita sangat mirip sang adik.

Satu tembang berlalu, suasana sebentar hening. Bahkan terlihat seluruh penonton serta para Waranggono tertunduk. Hanya Kolis saat itu masih dlm posisi tegak terheran.
Sampai pada alunan gamelan di tabuh pelan, seluruh sosok di tempat itu sujud bersimpuh, barulah Kolis sadar bila mereka tengah memberi penghormatan pada empat sosok yang baru muncul di atas panggung.
Kolis sendiri begitu terkejut melihat ke empat sosok itu, di mana di antara tiga sosok adalah wanita, dengan salah satu adalah adiknya. Sedangkan sang lelaki tak lain Jasmoro.

Kolis kemudian dua langkah maju, ingin memastikan penglihatannya.
Sepintas baginya tak ada beda antara sosok wanita penari dengan sosok di samping Jasmoro. Hanya pakaian serta dandanan yang membedakan.

"Sampeyan wes hadir, Mas. Munggaho rene."(Kamu sudah hadir, Mas. Naiklah ke sini)
Jasmoro, dengan suara lembut di iringi senyum mengulas berwibawa menyapa Kolis.

"Gak ngiro Mbah Waris nepati janjine, bakal nekakne awakmu, ngger...."(Tidak menyangka Mbah Waris menepati janjinya, akan mendatangkanmu, Nak....)
Kali ini Kolis terperanjat, kala sosok wanita anggun di sebelah kiri Jasmoro menyebut nama Mbah Waris. Seketika ia pun berpikir keras. Membayangkan serta mengingat semua yang telah dirinya lakukan atas saran Mbah Waris.
Yang kemudian memunculkan keraguan dalam benak, tentang apa yang akan dirinya lakukan.

"Mreneo, Le. Awakmu seng dadi waline Nduk Kom."(Kemarilah, Nak. Kamu yang jadi walinya Nduk Kom)

Perasaan berkecamuk pun mendera jiwa Kolis.
Ia menatap lurus pada sosok Komala. Seolah ingin bertanya dan memastikan sesuatu yang dirinya ragukan.

Tak berapa lama Kolis pun melangkahkan kaki setelah anggukan pelan sosok adiknya, memberi isyarat agar ia menuruti ucapan dua sosok wanita berpakaian sama persis-
yang berdiri mengapit antara Jasmoro dan Komala.

Setapak demi setapak kaki Kolis menaiki tangga panggung dengan perasaan tak menentu. Jantungnya terpacu ketika mendekat, menyesap aroma wangi kembang, menebar dari tubuh sosok wanita paling tua diantara lainnya.
"Delok neh wektu Glingsir teko. Kabeh wes cukup, kabeh wes kumpul, sanggar jenggolo wes pepak wangine kembang melati kanggo nyambut Junjungan. Jasmoro, Nduk Kom, siapno baktimu."(Sebentar lagi waktu pertengahan malam Tiga Belas datang. Semua sudah cukup, semua sudah kumpul,
aula istana sudah penuh harum bunga melati untuk menyambut Junjungan. Jasmoro, Nduk Kom, siapkan bakti kalian.)

Dingin dan datar suara wanita lebih muda yang Kolis tau adalah Ratri, ibu kandung dari Jasmoro. Matanya memandang ke atas, menatapi gelap pekat yang tak tertembus.
Tetabuhan karawitan kembali mengalun, mengiring langkah gemulai tiga sosok wanita dan satu lelaki yang di ikuti Kolis. Ingin bertanya, ingin berontak saat itu Kolis, tetapi semuanya seperti terkunci kuat. Ia hanya mampu menuruti tiap-tiap anggukan kepala dari sosok adiknya.
Sedikit jauh letak antara panggung karawitan dan tempat yang di tuju. Beberapa kali melewati taman dengan puluhan sosok tanpa busana, berdiri tegak tak bergeming.
Mereka melihat, namun hanya diam. Tatapan sayu dengan bola mata cekung masuk ke dalam, menyirat kesedihan dan kesengsaraan mendalam.

Sedikit maju melewati taman, Kolis mendapati sebuah jembatan kecil. Sebentar menyebrang, menapak di sebuah tempat lapang bercahaya redup.
Dari sisi kanan kiri, tampak pilar-pilar kayu setinggi dua meteran tertancap kokoh dengan rantai berwarna hitam melingkar.
Sesampai di tengah, mata Kolis melotot, mendapati sebaris pilar terisi sosok-sosok tubuh manusia.

Dari semua sosok, tak ada satupun sosok wanita. Terlihat dari wajah mereka dan tubuh yang tak berbalut kain sehelai pun.
Satu yang membuat Kolis merinding, melihat pada bagian bawah, tepatnya bagian alat vital. Bercakan darah meleleh, menandai tak satupun dari semua sosok yang terikat rantai pada pilar kayu, mempunyai kelamin utuh.
Beberapa lama Kolis menahan gidikan ngeri melewati tempat itu. Sepuluh meteran di depan, Kolis mendapati sebuah gerbang tinggi berdinding warna emas mengkilap. Namun saat masuk ke dalam, pemandangan tampak sangat jauh berbeda.
Selain hawa lembab, bangunan layaknya terowongan tertutup kain merah di semua bagian dinding. Tepat di ujung, terdapat dua sosok bertubuh hitam gelap, menjadi penjaga.

Tujuh anak tangga dari bebatuan harus di lalui Kolis yang terus mengikuti empat sosok di depannya keluar dari-
gerbang berkain merah. Mereka terus berjalan dan kali ini menyisir jalan selebar dua meteran, dengan sisi kanan kiri terdapat gundukan-gundukan tanah bernisan batu hitam terpahat.

Hawa di tempat itu pun lembab dan anyep. Tetapi bukan hal itu,
bukan juga nisan-nisan batu bertutup kain merah yang tetiba membuat Kolis terhenti mematung.

Nafas Kolis terasa sesak dan berat. Tengkuknya dingin membeku, melihat beberapa sosok terpasung di ujung samping kiri, menyandar pada dinding batu-batu bulat bersusun.
Ratapan dari tiga sosok dengan rambut panjang sampai menutup wajah sangat menyayat batin Kolis. Ia sangat kenal dengan suara itu, meski tak dapat melihat jelas wajah mereka yang tertunduk, meneteskan lendir-lendir merah mengental.
"Iku ganjarane wong seng kewanen."(Itu akibat orang yang terlalu berani)

Sinis, suara dari depan Kolis, membuatnya terperanjat kaget. Lebih terkejut, menyadari di depannya hanya ada seorang wanita tua bertapi kain jarik putih hitam.
Kolis selangkah mundur, mengedarkan pandangan mencari sosok Komala dan Jasmoro serta dua wanita yang tadinya ia ikuti.

"Seng mbok golek i do nunggu nang jenggolo. Tugasku gowo koe nang curug sak durunge mulai upacara."
(Yang Kamu cari menunggu di Jenggolo. Tugasku membawamu ke Curug sebelum mulai upacara) ucap wanita tua seperti tau yang tengah di pikirkan Kolis.

Senyum sinis mengembang dari bibir tua hitam milik wanita itu. Memamerkan deretan gigi tak kalah hitam,
kontras dengan rambut panjangnya yang memudar. Matanya lebar membulat putih, tanpa alis terbalut kulit keriput.

Meski takut, Kolis hanya pasrah mengikuti langkah sedikit bungkuk sang wanita tua.
Puluhan langkah Kolis terus mengikuti dengan diam.
Sampai sang wanita tua membelok ke arah kiri, barulah membersit keraguan dlm benak Kolis, membuatnya menghentikan langkah.

"Durung wektune koe mlebu kono. Saiki meluo aku kanggo ngresik i rogomu."(Belum waktunya Kamu masuk ke sana. Sekarang ikutlah Saya utk membersihkan ragamu)
Pelan namun tegas suara wanita tua, saat menyadari Kolis berhenti dan menatap ke arah sisi kanan, di mana terlihat sebuah bangunan mewah nan terang di penuhi untaian bunga berwarna putih menggantung melingkar pada tiap2-
sudut berpilar kayu coklat sebesar pelukan tangan dua orang dewasa.

Sangat jauh perbedaan dengan tempat akan dirinya tuju mengikuti sosok wanita tua, yang hanya bercahaya dari obor-obor terpasang berjarak, menuju ke arah tempat gelap tak tertembus pandangan.
Selangkah maju, kaki Kolis seolah tak berpijak tanah. Semua seperti hampa dan ringan. Namun hal itu tak dapat Kolis tolak. Tubuhnya seakan tertarik oleh satu kekuatan. Memaksanya untuk terus mengikuti di belakang sosok wanita tua berbau kapur barus.
Hanya beberapa menit Kolis kembali menghentikan langkah mengikuti sang wanita. Tak lama, wanita tua itu menjulurkan tangan, menunjuk ke arah depan tanpa menoleh pada Kolis.
"Kono kae Curug e. Rono o...."(Di sana itu Curugnya. Kesanalah....)ucap sang wanita.

Sejenak Kolis masih terdiam. Lalu berjalan mengikuti arah yang di tunjuk oleh sang wanita, setelah sang wanita mengulangi perintahnya.
Antara takut dan bingung, Kolis terus menjejakan kaki setapak demi setapak. Menyusuri suasana remang, melewati obor-obor bercahaya tenang.

Memasuki sebuah gapura bambu di apit dua buah obor besar, telinga Kolis mulai tersusupi suara tawa riuh di depan.
Tak berapa jauh, matanya melihat sebuah tempat di terangi obor yang melingkar lebar.

Kilauan memantul dari tengah-tengah tempat itu, meyakinkan Kolis jika Curug itulah yang di maksud oleh sang wanita tua.
Kolis bergegas mendekat, ingin segera menuntaskan satu syarat, membersihkan diri dengan air Curug.

Namun, belum sempat kakinya menyentuh air berwarna hijau jernih, bisikan tegas berulang-ulang, masuk rongga telinganya.
"Ojo njegor, Kang! ombenen banyune nganggo dlamaan!"(Jangan masuk ke dalam air, Kang! Minum airnya dengan telapak tangan!)
Tiga sampai empat kali suara perintah itu terdengar. Membuat kaki Kolis beringsut mundur dan berdiri di tanggul Curug.
Sepintas Kolis berpikir. Ia sangat kenal suara itu. Namun berkali matanya mengedar tak menemukan sosok pemilik suara.

"Nduk Kom...! Nduk Kom...!"

Suasana Curug tetap hening. Tak ada sahutan dari panggilan Kolis. Membuatnya kembali terdiam penuh rasa bimbang.
Semenit berikutnya Kolis memilih untuk turun mendekati air Curug. Dua telapak tangannya mengatup, meraup air dingin Curug dan meneguknya.

Tiga kali raupan, lalu Kolis tutup dengan membasuh wajah. Kemudian naik dan perlahan meninggalkan Curug.
Kebingungan lagi-lagi di rasa Kolis. Jalan awal ia masuk yang tadinya hanya satu arah, tetapi saat akan keluar, tampak beberapa pintu terpampang di hadapannya.

Semua pintu berbentuk sama, penerangan dgn obor besar juga sangat persis. Sedikit pun Kolis tak menemukan perbedaan,
membuatnya sebentar diam menimbang-nimbang sebelum memilih salah satu arah.

Tiga tarikan nafas, Kolis melangkah mantap. Sepintas melirik sisi kanan kiri, sebelum kakinya mengayun melewati pintu keluar dari Curug yang ia pilih tepat dan lurus di depannya.
Baru keluar Sepuluh jengkal, ia harus tercengang. Mendapati sebuah tempat ramai penuh kesibukan.

Para wanita terdengar tertawa lepas antara satu dengan yang lain. Juga para lelaki hilir mudik bahu membahu, saling membantu mengerjakan beberapa pekerjaan.
Aroma sedap berbagai masakan segera menyegarkan penciuman Kolis. Dirinya pun yakin jika saat itu berada di dapur. Keyakinannya semakin kuat, manakala melihat aneka hidangan yang telah matang, berjejer di atas sebuah meja panjang.
Tanpa sadar tubuh Kolis tergerak maju mendekati sosok-sosok yang sedang bersibuk. Namun aneh, walau hanya berjarak satu siku, mereka hanya diam tak memperdulikan kehadirannya.

Keanehan semakin menjalar, saat bbrapa sosok berpapasan dan hanya menatapnya dgn wajah tanpa expresi.
Gidikan ngeri segera menelusup seluruh tubuh Kolis, kala dirinya dengan seksama melihat sosok-sosok itu tak wajar. Terutama pada bagian-bagian tubuh mereka. Tak ada satupun dari sosok-sosok itu berindra lengkap, terutama pada bagian telinga.
Menyadari hal itu, buru-buru Kolis berlalu. Kakinya mengayun cepat, tanpa perduli lagi dengan semua sosok yang diam dan menatapnya.

Sekilas dalam langkah terburu, ia sempat melirik. Dalam pandangannya, semua hidangan yang telah tersaji dan tertutup kain hitam pada bagian atas,
adalah dari potongan anggota tubuh manusia.

Cukup jauh Kolis melangkah. Hingga tiba di ujung, tepatnya gapura bersusun batu bata menguncup, Kolis di kejutkan oleh sosok wanita tua yang tadinya mengawal.
Sosok itu menatap tajam. Sorot matanya penuh amarah, membuat tubuh Kolis mulai menggigil.

"Kewanen koe wani mlebu Jeron Jenggolo! untung Koe rene mergo karepe Kanjeng Dewi, ketulung ora dadi panganane Junjungan!"
(Terlalu berani Kamu masuk dalamnya Jenggolo! beruntung Kamu di sini karena keinginan Kanjeng Dewi, tertolong tidak menjadi hidangannya Junjungan) sentak sang wanita tua.
"Koe saiki wes di tunggu!"(Kamu sekarang sudah di tunggu!) sambungnya masih dengan suara dingin dan tegas.

Kemudian sosok wanita tua membalikan tubuh. Rambutnya yang panjang tergerai menyentuh tanah berumput, menimbulkan suara gemrasak saat kakinya mulai berjalan.
Kolis yang masih dalam bayang ketakutan perlahan mengikuti dengan menjaga jarak sedikit jauh. Sampai akhirnya tiba tepat di samping tempat yang sempat dirinya lihat mewah nan terang.
"Pisan iki aku ngampuni menungso seng lancang!"(Satu kali ini Saya mengampuni manusia yang lancang!) seru seorang wanita bergelung, tertuju pada Kolis yang baru tiba.

"Munggaho, iki wes wancine!"(Naiklah, ini sudah waktunya!)
Kolis pun menurut. Menaiki tiga tangga menuju dalam aula yang besar, wangi dan terang.

Puluhan orang terlihat duduk berkumpul. Memutari dua sosok di tengah, menghadap pada sebuah cawan berisi air dan taburan aneka bunga.
Diantara puluhan orang, beberapa wajah membuat Kolis terkejut. Salah satunya adalah wajah tua yang sangat dirinya kenal, sangat ia hormati, Mbah Waris.

"Mbah! opo maksudte iki!?"(Mbah! apa maksudnya ini!?)
Tak dapat lagi Kolis menahan keraguannya. Ia kecewa melihat Mbah Waris berada di tempat itu. Namun terlihat Mbah Waris tetap diam dan tenang, meski ucapan Kolis sangat jelas dan tegas.
"Melu lungguho kono, awakmu kui wali nikahe Komala. Ojo gawe ribut nang kene."(Ikut duduklah sana, Kamu itu wali nikahnya Komala. Jangan bikin ribut di sini.)

Kolis berpaling. Menatap lelaki tua yang berada tepat di sampingnya dan baru saja berucap lirih.
Melihat siratan dari sorot mata dan anggukan kepala lelaki tua itu, Kolis meredakan emosinya.

Meski tak mengerti secara jelas, tetapi anggukan itu dapat Kolis artikan sebagai perintah baginya.
Satu hembusan angin kencang, tetiba masuk dalam aula. Mengibarkan selendang-selendang milik beberapa wanita yang berdiri sedikit jauh dari tempat para lelaki duduk mengitari Komala dan Jasmoro, juga mengibas untaian bunga-bunga putih yang menggantung pada empat pilar.
Sebentar kemudian sebuah tembang macapat terdengar nyaring, di suarakan sosok wanita paling tua, dan berada di depan sebuah patung besar berwujud sesosok lelaki berpakaian Raja.
Pada bagian kaki patung terdapat sebuah cawan berisi cairan kental berwarna merah, beraroma amis menyengat.
Tembang itu terus bergema, iramanya mengalun lembut, membuat sesiapapun yang mendengar akan tertunduk, memyesapi tiap-tiap bait meski terkandung kengerian di dalamnya.
Tak terkecuali Kolis. Kepalanya tertunduk dan perlahan tubuhnya tersimpuh, duduk di antara puluhan lelaki tua yang lebih dulu duduk melingkar.

"Rojo Gotro ... Rojo Gotro ... Rojo Gotro...."
Pada bait tertentu, sahutan menyebut sebuah nama tak asing di telinga Kolis menggema dari mulut para lelaki tua. Sampai pada teriakan keras dari sang wanita penembang, aula berwarna kuning emas bergetar.
Beberapa detik berlalu, suasana sejenak hening. Semua kepala tertunduk, bersujud memberi hormat.
Tak berapa lama suara Gong mengalun tiga kali berturut-turut membarengi kemunculan sesosok lelaki tegap bertelanjang dada.
Dari situ Kolis tau jika semua yang ada di tempat itu tengah menyambut Sang Junjungan. Sosok yang di sembah, di agungkan oleh keluarga Rahmi Murti.

"Tak tompo talenanmu Nyai...."(Saya terima ikatanmu, Nyai....)Berat penuh wibawa suara sosok tegap berambut lurus sepunggung.
Aroma aneh segera menyeruak seantero tempat itu, ketika sosok lelaki tegap meminum cawan yang terletak di bawah kaki patung. Kemudian sosoknya berdiri tegak, tepat di hadapan patung menyambut kedatangan Komala dan Jasmoro yang telah bangkit, berjalan membungkuk padanya.
Saat keduanya telah di hadapan sosok itu, dua wanita muda berselendang datang membawa dua buah cawan.

Di mana pada tiap-tiap cawan berisi air bertabur bunga. Guyuran demi guyuran membasahi tubuh Komala, tetapi tidak pada Jasmoro. Hal itu sedikit membuat Kolis merasa aneh.
Tetapi belum sempat terjawab keanehan yang dirinya rasa, ia di kejutkan suara gamelan berirama cepat. Tak lama, puluhan wanita berselandang menari berputar mengelilingi tubuh Komala dan Jasmoro serta sosok lelaki tegap, hingga menutup pandangan Kolis.
Degup jantung Kolis terpacu, seakan mengikuti alunan gamelan, menunggu apa yang tengah terjadi pada sang Adik.

Satu pekikan melengking mengakhiri tarian dan suara gamelan. Puluhan wanita penari segera membuka diri, menunjukan sosok Komala yang telah bermahkota.
Tetapi bagi Kolis, di balik wajah sang Adik yang semakin Ayu nan Anggun, ia menangkap kilatan rasa sesal. Sampai pada akhir ritual dan sosok Lelaki tegap menggandeng sosok Komala beserta Jasmoro, sangat jelas ada air mata terlihat di wajah sang Adik.
"Saiki wes kesambung. Koe wes nyekseni, perkoro iki ora keno di wurungke!"(Sekarang sudah tersambung. Kamu sudah menjadi saksi, urusan ini tak bisa di batalkan.)

Terperanjat Kolis mendengar suara wanita yang tak lain adalah Ratri, Ibu dari Jasmoro.
Seketika Kolis bangkit, tubuhnya bagai tersengat, darahnya memanas, dan membuat dadanya bergejolak. Namun, kala ia ingin mendekat ke arah sosok Ratri yang bersanding dengan wanita lebih tua sangat mirip, tertahan suara lirih dari sisinya.
"Urung saiki wektune! tetep lungguho."(Belum sekarang waktunya! tetap duduklah.)

Kolis menurut, kembali terduduk dengan menahan rasa geram. Tetapi belum sampai tiga tarikan nafas, tiba-tiba Kolis merasakan lantai mengkilat aula itu seolah goyah.
Tak hanya dirinya, semua yg masih berada di tempat itu merasa terkejut.

Dua sosok wanita yg tak lain Ratri dan Rahmi terlihat panik. Wajah keduanya memerah, bola mata melotot, menatap lurus ke arah tempat di belakang patung, dimana sosok lelaki tegap membawa Komala dan Jasmoro.
"Gawe lakon opo bocah iki sampek nggoyangke jenggoloku!"(Buat perkara apa anak ini sampai menggoncangkan jenggoloku!) Seru sosok tua Rahmi, seperti menyadari sesuatu telah terjadi.
Seakan tak berjeda, goncangan yang tetiba berhenti, bersambung jeritan-jeritan melengking dari segala arah. Beberapa sosok wanita berselendang terpental jatuh ke lantai, dan kesemuanya berubah wujud.
Kini bukan sosok wanita cantik berkulit bersih, tetapi wajah busuk penuh luka bolong, dengan rambut hitam menggumpal pekat.

"Iki wes di mulai Komala! cepet, Lis! Guwaken Banyu Lemah pitong larangan!"(Ini sudah di mulai Komala! Cepat, Lis! Taburkan Air Tanah Tujuh Larangan!)
Kolis dengan panik segera bangkit. Berlari pada salah satu pilar sembari mengeluarkan sebuah bungkusan kain hitam yang ia lilitkan pada bagian perut.

"As* Koe, Waris!"(An**ing Kamu, Waris!)
Umpat sosok Rahmi pada Mbah Waris.
Ia segera ingin mengejar Kolis, tetapi tertahan oleh pegangan kuat tangan Mbah Waris pada bagian kakinya. Hal itu semakin membuat marah sosok Rahmi dan Ratri. Keduanya yang sama-sama tertahan kedua tangan Mbah Waris pada pergelangan kaki,
berusaha menyeret dan tetap ingin menghalangi usaha Kolis.

"Wes gak eman nyowomu, tuek as*!"(Sudah tak sayang nyawamu, orang tua an**ing!)
Tak sabar lagi, sosok Rahmi menghentakkan sebelah kakinya, tepat di kepala Mbah Waris.
Satu pekikan meluncur dari rongga tenggorokan lelaki tua itu, ceceran darah keluar dari mulut dan hidung, tetapi tak mengendurkan pegangan tangannya.

Sementara Kolis selesai pada satu pilar, telah berpindah pada pilar lainnya. Dalam batinnya ia marah,
melihat Mbah Waris yang berlumur darah demi menahan sosok Ratri dan Rahmi. Apalagi, ketika ia berpindah pada pilar ketiga, yang berada lebih dekat dengan tubuh Mbah Waris, sangat jelas mata Kolis melihat Mbah Waris yang kesakitan melototkan bola mata.
Ingin rasanya ia menolong, namun dirinya harus segera menyelesaikan tugasnya yang tinggal satu pilar.

Di pilar terakhir, tepat pegangan tangan Mbah Waris terlepas dari pergelangan kaki Ratri dan Rahmi. Bersamaan pula tubuh dua sosok wanita itu limbung, dan jatuh terduduk.
"Koe wani ngancurke Jenggoloku! nyowo adikmu ora bakal slamet!"(Kamu berani menghancurkan Jenggoloku! Nyawamu, Adikmu tidak akan selamat!)
Kolis yg telah selesai segera mendekati tubuh Mbah Waris. Sejenak menatap pd sosok Rahmi dan Ratri yg telah berubah menjadi sosok menakutkan.
"Kang, metuo seko kene! Mlayuo...!"(Kang, keluarlah dari sini! larilah...!)

Belum sempat berucap apapun, Kolis di kejutkan seruan dari arah patung.

Komala, sang Adik terlihat jelas tengah terseok. Tubuhnya tak terbungkus apapun, tetapi juga tak utuh.
"Nduk! Nduk...!"

Teriak Kolis, melihat sang adik berlumur darah. Tak hanya tubuhnya yang tersayat dan tercabik, dari perutnya tersembul memburai isi dalam dan seonggok gumpalan merah kehitaman,
Saat itu Kolis bangkit ingin menolong. Belum sampai lima langkah, Kolis terjengkang. Tubuhnya oleng dan terbanting oleh guncangan aula yang menderak kuat.

Satu persatu atap aula berguguran. Suara retakan dari empat pilar begitu keras membuat Kolis tertatih keluar.
Sebelum sampai di luar aula, Kolis sempat melihat bagaimana tubuh Komala yang telah terkulai tak berdaya di seret paksa oleh Jasmoro dan menghilang bersamaan runtuhnya aula.

Kolis terdiam dalam tangis, menatapi reruntuhan aula menimbun tubuh-tubuh di dalamnya.
Seketika itu juga suasana di tempat itu gelap, sunyi, yang ada hanya kabut-kabut tipis bersliweran.

Akan tetapi, ketika baru saja kaki Kolis kembali tegak, dari arah belakangnya terdengar suara riuh meminta tolong.
Segera ia membalikan tubuh, mendapati bumbungan merah dan suara gemeratak.

Kolis seketika tersadar, saat itu dirinya berada di halaman belakang rumah mewah milik keluarga Rahmi Murti.

Selangkah Kolis beranjak, ia terkesiap. Sebentar diam,
kemudian memalingkan kepala, beradu pandang dengan beberapa sosok yang berada di belakangnya.

Tak hanya wajah mereka yang putih dan sayu, suara rintihan menyayat seakan meminta tolong juga keluar dari mulut mereka.
Antara takut dan iba, Kolis buru-buru melangkah. Mendekat ke arah kerumunan orang yang sedang mencoba memadamkan api.

Tubuh Kolis mematung. Ia seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi, di mana rumah mewah nan megah hunian turun temurun keluarga Murti Rahmi terbakar.
Dalam diamnya Kolis menyadari jika ada keanehan pada kebakaran itu. Api yang begitu besar bisa menyulut rata seluas dan selebar rumah. Meski banyak warga mencoba memadamkan, nyatanya Api semakin berkobar menjilat-jilat.
Tiga puluhan menit dua mobil unit kebakaran tiba di tempat itu. Tetapi tak ada lagi yang bersisa, tak ada lagi yang di padamkan. Semuanya hangus, semuanya hancur. Tembok yang terlihat begitu kuat kokoh berdiri roboh rata dengan tanah.
Yang ada hanya asap-asap tipis mengepul dari beberapa sudut.

Semua barang berharga, mewah, tak satupun yang tersisa. Hanya puing-puing arang tampak memenuhi sekitar, menebar bau hangus dan asap menyesakan.
Entah karena firasat atau ada kekuatan menarik diri Kolis untuk melangkah di sisi kiri bagian bekas rumah. Di susurinya pinggiran tembok yang telah roboh sembari matanya memandang lurus. Mengacuhkan beberapa orang yang di lewatinya,
hingga tiba di ujung, atau tepatnya di bagian batas antara halaman belakang dan rumah.

"Mbah...!"

Pekik Kolis, kala melihat dua tubuh terbaring berlumuran darah. Dari salah satu tubuh, sangat jelas jika itu adalah tubuh Lelaki tua yang berada di sampingnya saat acara ritual.
Teriakan Kolis akhirnya mengundang perhatian banyak orang. Sehingga dalam waktu singkat, dua tubuh lelaki tua yang sudah tak bernyawa setengah tertimbun tembok, dapat di ambil.

Seketika ingatan Kolis tertuju pada sosok adiknya.
Setelah ikut membopong mayat dua lelaki tua abdi dalam Ratri, Kolis bergegas kembali ke puing-puing rumah.

Setibanya ia, rintikan hujan menyambut. Semakin masuk ke dalam,
hujan semakin deras. Beberapa warga dan petugas yg mencoba mencegah serta mengingatkan, dirinya abaikan.

Dalam lebatnya hujan itulah, mata Kolis melihat sepotong kain. Dirinya ingat betul jika kain berwarna merah bermotif bunga mekar, adalah kain yg di pakai Komala.
Hembusan angin di sertai kilat-kilat bersahutan, tak menyurutkan tekat Kolis. Ia berusaha sekuat tenaga dan bersusah payah mendekat dan menarik kain merah.
Saat dirinya berhasil mangambil, saat itu juga sebuah tangisan lirih terdengar di telinganya.

Hawa dingin yang membalut tubuh kuyupnya, tetiba memanas. Mendapati di depannya, tak lebih berjarak lima meter, satu sosok wanita berdiri tertunduk dalam tangisan.
"Nduk Kom! Nduk ... Awakmu ijek urep to....?"(Nduk Kom! Nduk ... Kamu masih hidupkan....?) ucap Kolis begitu yakin jika sosok berambut sepunggung yang menutup bagian separo wajahnya adalah sosok Komala.
Sebentar sosok itu menghentikan isak tangisnya. Perlahan wajahnya terangkat, menyibak rambut hitam yang menutupi pada bagian wajah.

Saat itu, dari kilatan-kilatan tak berpetir, Kolis sedikit jelas melihat wajah hancur milik sosok itu.
Dari dua bola matanya, terlihat mengalir darah. Dua bibirnya terkelupas, membuat deretan gigi putihnya terlihat jelas. Melihat sedikit lama, membuat Kolis merinding dan ragu bila sosok itu benar Komala Adiknya.
Saat akan beringsut mundur, tetiba sosok itu kembali menangis terisak.

"Kang, tolong aku, bebaske aku!"(Kang, tolong Saya, bebaskan saya!) ucap pelan memelas sosok wanita yang semakin Kolis yakini adalah Adiknya.
"Nduk ... Nduk Kom. Tenango, iki wes rampung, awakmu wes bebas. Ayo muleh...."(Nduk ... Nduk Kom. Tenanglah, ini sudah berakhir, Kamu sudah bebas. Ayo pulang....) sahut Kolis bersemangat.
Namun, ucapan Kolis di jawab gelengan kepala sosok Komala. Bahkan isakan tangisnya semakin menyayat, membuat lelehan darah deras mengalir dari bola matanya.
"Aku wes gak iso bali, Kang. Aku pingin bebas seko gon iki. Tolong aku, Kang. Tolong jikok jasadku seng ke kubur nang gon kene. Pindahke seko gon iki, cedakke jasadte Bapak. Ben aku iso lungo bebas." (Saya sudah tidak bisa pulang, Kang. Aku ingin bebas dari tempat ini. -
Tolong Saya, Kang. Tolong ambil jasadku yang terkubur di sini. Pindahkan dari sini, dekatkan dengan jasad Bapak. Supaya Aku bisa pergi bebas.)

Setelah berucap, sosok itu tak lagi terlihat di mata Kolis. Yang ada hanya kabut putih dan guyuran air hujan.
Tubuh Kolis kembali menggigil. Antara dingin juga rasa tegang.

Dua tangan Kolis akhirnya mencoba dan berusaha menyibak sisa atap dan tembok yang hangus, untuk memastikan kebenaran ucapan sosok mirip Komala.
Beberapa lama usaha Kolis tak membuahkan hasil, hingga hujan mereda belum jg dirinya menemukan jasad sang Adik.

Beruntung Kolis terbantu beberapa warga yang ikut mencari. Sampai akhirnya, Kolis sendiri lah yg pertama melihat sebujur tubuh Komala, tertindih reruntuhan atap rumah
Setelah berhasil mengangkat dan memindahkannya, raungan tangis Kolis pecah menggema, menyaksikan tubuh sang Adik membiru dan sebagian hitam hangus terbakar.
Rasa lelah, sedih dan marah, menghantar Kolis pada perasaan gelap. Tanah tempatnya berpijak seakan berputar serta hanya hitam ... hitam ... semakin pekat menghitam.
Mohon maaf kalo agak gantung.
akan ada versi lengkapnya di fisik buku.
"Mas Ilham!" seru Kolis.

"Ilham sukmone ketarik."(Ilham sukmanya ketarik.) ujar Uyut Latip.

"Lek....?"
Uyut Latip hanya diam, seolah tau apa yang di khawatirkan Kolis.
"Sukmone iso mbalek, neng gak iso normal meneh. Mulo bocah iki arep tak gowo, bakal tak ramut."(Sukmanya bisa kembali, tapi tak bisa normal lagi. Karena itu anak ini akan Saya bawa, akan saya rawat.)

-SELESAI-
Ada cerita baru judulnya ROGOH NYOWO
Bisa teman-teman baca di Karyakarsa.
pelan-pelan bacanya.

ini Link nya.
karyakarsa.com/KALONG

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Apr 25
Sebuah kisah tentang ISTRI yang melakukan pernikahan gaib dengan IBLIS demi KETURUNAN !!!

A Thread Horror
"SANG PENGANTIN IBLIS"

#bacahorror @asupanhororrr @IDN_Horor @bacahorror #pengantiniblis Image
September 1999

"Srekkk ... Srekkk ... Srekkk...."

Malam itu, suara langkah Kinanti terdengar mantap ketika menapaki jalanan tanah kering. Wajahnya terlihat datar, matanya menyorot penuh keberanian.
Ia terus saja berjalan menyusuri jalanan, sebelum akhirnya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sebuah rumah tak berpenghuni.

Hening dan gelap suasana di dalam rumah itu, membuat kesan seram begitu terasa. Namun hal itu tak membuat tekadnya goyah.
Read 53 tweets
Mar 11
-WARISAN PENARI-
"SAMPUR & KAWATURIH"

Jujur, banyak sekali DM yang masuk dan pembahasannya menarik semua. Mulai dari Gagar Mayang, Sampur / selendang, dan Kawaturih.

Tapi malam ini kita akan sedikit membahas tentang kengerian warisan sampur & kawaturih.

a thread

#bacahorror


Image
Image
Image
Image
Nah disini saya mau cerita sedikit tentang profesi seorang penari tradisional. Bisa di bilang seperti penari ronggeng atau semacamnya. Di cerita ini si ibu yang sudah terjun bertahun-tahun menjadi penari harus mengalami kengerian.
Di mana, yang seharunya itu di wariskan kepada anaknya, tapi si ibu ini memilih untuk tidak. Kenapa? Karena beliau tahu bagaimana rasanya dan kengeriannya ketika di ambang kematiannya. Beliau tidak mau anaknya akan bernasib sama.
Read 42 tweets
Mar 6
-POCONG CULI-

Sekitaran Demangan - Gejayan

"Tok...tok...tok...." pas di buka pintunya, ada pocong ngomong "...Culi"

a thread

#bacahorror #asupanhorror @asupanhororrr @IDN_Horor @merapi_uncover Image
Bagi teman-teman yang sudah lama tinggal di jogja, khususnya di daerah Demangan, pasti gak asing sama cerita pocong culi.

Menurut beberapa sumber, dulu di tahun 2000an, masyarakat sekitar Demangan di gegerkan sama teror pocong culi.
Ngerinya, pocong culi ini meneror warga sekitar dengan mengetuk pintu dan berteriak “culi...culi...” yang di artikan kalau pocong itu meminta untuk di lepaskan tali pocongnya.
Read 70 tweets
Mar 5
-BEGAL PESUGIHAN JALAN WATES-

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan

a thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Banyak perbincangan tentang jalan propinsi jogja-wates yang terkenal dengan pemasangan BEGAL PESUGIHAN.

Jalanan lurus, ngebut, kecelakaan = minimal rumah sakit dan maksimal kuburan.
Di Kilometer berapa pemasangan pesugihannya, saya juga kurang tau, hanya saja, sepanjang jalan itu sering banget terjadinya kecelakaan. Bahkan kalo pas apes, kadang melihat beberapa kali korban sudah tergeletak di pinggir jalan atau di bawah kolong truk.
Read 22 tweets
Feb 12
THE REAL "SANTET LORO JIWO"

“Lanang menang milih, wedok menang nolak.”

A Thread

#bacahorror @gudangmistery @IDN_Horor Image
Sumatera 2018

Namaku Anis. Aku tinggal di Sumatera. Kejadian ini aku alami setelah menikah. tapi jauh sebelum itu, ketika masih sekolah, ada lelaki yang pernah suka sama aku. Namanya sebut ajaa Bowo.
Awal mula kita deket ketika ibuku jatuh sakit karena kecelakaan. Dikarenakan jarak sekolahan dgn rumahku jauh, aku gak bisa pulang buat jenguk ibuku. Dari sinilah aku meminta tolong Bowo untuk datang ke rumahku untuk melihat kondisi ibuku. Itu dikarenakan rumah kita memang dekat.
Read 58 tweets
Feb 7
“Ya beginilah, niatnya mondok mau cari ilmu agama, malah nemu hal munkar yg udah lama tersembunyi di pesantren. ((Bukan tempatnya)) Tapi ada penghuni di dalam tempat tersebut yg pernah ngelakuin hal biadab dan berusaha ia sembunyikan.”

a thread

#bacahorror Image
“Namanya Marlina. Dia salah satu santriwati di pondok pesantren ini. Dulu ketika mondok, dia menjadi korban bully karena bisu. Hal itu membuat Marlina ini mentalnya down. Sampai suatu ketika, karena kekurangannya itu,
ada salah satu oknum yg jg pengurus pondok sekaligus pemuka agama, melakukan tindakan munkar dan tak bermoral kepada Marlina. Marlina di lecehkan di salah satu ruangan pondok, sesaat setelah di suruh untuk mengembalikan buku hafalan.
Read 64 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(