Di Hari Perempuan Sedunia 2022 ini, kami ingin mengajak kamu untuk mengisi survei tentang penanganan kekerasan seksual di tempat kerjamu dan akan menjadi sumber informasi untuk serial reportase di Project Multatuli.
Fadiyah Alaidrus saat ditawari menulis tentang kekerasan seksual di lingkup kerja, merasa lelah dan sakit kepala karena kasus KS yang terus bermunculan. Tapi, banyak orang yang merasakan keresahan yang sama, hingga ia menyanggupinya.
Ronna Nirmala, merasa bahwa aduan kerap menjadi bumerang bagi korban. Korban menjadi diasingkan di tempat kerja, dipaksa mundur, atau bahkan dipecat karena dianggap merusak nama baik perusahaan atau oknum tertuduh.
Jurnalis Project Multatuli, Charlenne, menelusuri kisah jual-beli konten intim nonkonsesnsual di internet. Dalam penelusurannya, ditemukan setidaknya 250 folder berisi foto dan video perempuan yang diperdagangkan.
Abby, Lia, Asri adalah korban yang mau bercerita kepada Project Multatuli. Ratusan perempuan lain juga menjadi korban. Bahkan konten yang diperjualbelikan, termasuk di dalamnya data nama dan akun medsos mereka.
Dari hasil penelusuran penulis. Ternyata tak sulit untuk mencari akun-akun yang memperdagangkan konten intim nonkonsensual. Mereka beroperasi di Twitter dan grup Telegram. Harganya juga relatif tidak mahal.
Warga Wadas mengira dengan berlindung di sebuah masjid, mereka akan merasa tenang atau selamat. Tapi, polisi tetap bertindak represif, menangkap paksa warga Wadas penolak tambang.
“Pintu kamar didobrak sampai rusak. Leher saya dipiting. Saya diseret-seret oleh orang banyak. Baju saya sampai robek-robek. Padahal saya tidak ngapa-ngapain,” kisah Nurhadi.
“Awalnya saya ngaji. Didatangi lima laki-laki. Semua tidak berpakaian seragam, badannya besar-besar. ‘Mbak, ayo ikut kami, ayo manut saja daripada dipaksa. Sudah jangan banyak ngomong.’ Akhirnya saya ditarik dari pemakaman ke jalan,” kisah Sriyana.
Usai peristiwa pengepungan oleh aparat di Desa Wadas, Ganjar Pranowo datang untuk meminta maaf. Warga yang menolak tambang menyambut dan menyajikan hasil bumi Wadas, meski sebelumnya polisi-polisi mengepung desa dan menangkap warga.
Aneka hasil bumi diletakkan di tengah serambi masjid, di antara ratusan warga penolak tambang. Durian, rambutan, pete, pisang, kemukus, kopi, gula aren, dll. Menunjukan bahwa mereka sudah kaya dengan hasil bumi, bukan dari tambang.
Suasana haru penuh isak tangis sempat menyelimuti pertemuan itu, ketika mendengar cerita Sriyana tentang dua anaknya yang mencari ibunya yang harus menginap di Polres Purworejo. Sementara suaminya lebih dulu ditangkap sejak pagi hari.
Melalui kekuatan bahasa, mereka yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, mencoba menggeser konflik vertikal antara warga Wadas yang menolak tambang dengan aparat kepolisian, menjadi konflik horizontal antar warga.
Perkara main kata bukan sekadar ceplosan kosong, ini perkara serius. Orde Baru pernah menggunakan dan menguasai bahasa untuk mengukuhkan kekuatan dan tujuannya.
Mulai dari pejabat publik, aparat kepolisian, hingga media massa, melalui bahasanya, mengatakan bahwa pengepungan Desa Wadas pada 8 Februari 2022 lalu sebagai konflik antara warga yang pro dan kontra penambangan. Meniadakan konflik vertikal.
Seperti lazim terjadi dalam bisnis yang melibatkan para pihak dengan posisi tidak setara, eksploitasi manusia atas manusia lainnya, juga berlaku di dalam mata rantai bisnis pertembakauan.
Sekali pun tembakaunya berkualitas, petani tak bisa menikmati hasil maksimal karena harga jual ditetapkan oleh tengkulak. Mereka adalah perantara antara petani dan perwakilan pabrik yang bisa mempermainkan harga dan membuat petani tidak berdaya.
PERINGATAN: Artikel ini mengandung konten eksplisit yang dapat memicu tekanan emosional dan mental bagi pembaca. Kami lebih menyarankan artikel ini dibaca oleh polisi Indonesia.
Bermula dari si sulung yang mengeluh sakit pada Mamaknya, Lydia (bukan nama sebenarnya). Menangis tanpa berurai air mata, hingga akhirnya pengakuan itu keluar dari mulut mungilnya, disambut cerita yang sama oleh adik-adiknya.
Lydia melaporkan mantan suaminya untuk dugaan pemerkosaan pada tiga anaknya yang masih di bawah usia 10 tahun. Mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Luwu Timur, dan Polres Luwu Timur. Berharap mendapat perlindungan.