Langit pada malam itu terlihat begitu hitam kelam, awan-awan bergelayut seolah akan berjatuhan. Suara petir menggelegar, membahana memenuhi angkasa. Suatu sosok terlihat sedang menyusuri garis pantai dengan setengah berlari,
sambil mendekap kepalanya agar topi caping bambu yang dikenakan tidak terbang terhempas angin yang menderu dengan kencang. Seorang lelaki muda terus melangkah dengan mantap mendekati tumpukan batu karang,
sesaat kemudian lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah sekitar seperti ada yang sedang dia cari. Pandangannya terhenti, matanya tertuju pada titik di suatu sudut batuan karang.
Lelaki itu pun beranjak dari tempatnya beridiri, menuju sebuah pintu gua yang terlihat gelap dengan lubang masuk yang tidak terlalu besar.
Lelaki itu masuk dengan mantap sambil membungkukkan badannya.
Sudrat namanya, dia terus menyusuri gua hingga langkahnya terhenti ketika menemukan sebuah batu berbentuk pipih. Dengan tangkas kaki-kaki Sudrat menaiki batu-batu yang terbentuk seperti tangga, di bawah batu besar pipih itu.
Setelah berada di atas batu pipih, Sudrat kemudian bersila dan memejamkan mata, mulutnya komat-kamit dan tidak lama kemudian Sudrat kembali berdiri, matanya kembali beredar mengitari sekeliling, "Hmm … Itu dia." Gumamnya, disusul dengan gerakan kakinya yang menuruni batu pipih.
Setelah berada di bawah batu pipih itu, Sudrat pun kembali melangkah menuju sebuah lubang yang berukuran sebesar tubuh manusia, tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Sudrat kemudian merebahkan badannya dalam posisi tiarap, lalu merayap masuk ke dalam lubang tersebut.
Tidak lama kemudian, Sudrat melihat sebuah titik cahaya yang menandakan ujung dari lubang itu. Sudrat semakin bersemangat, dia mempercepat gerakannnya, hingga akhirnya dia bisa melihat dengan jelas,
sebuah tempat yang luas dengan banyak dupa dan sesaji terjajar dengan rapih di hadapannya. Sudrat berdiri dengan takjub, matanya liar mengedar ke sekeliling. Terlihat sebuah batu hitam dengan ukuran yang besar, dengan persegi empat layaknya layaknya sebuah altar.
"Kamu duduk saja di depan altar itu …" Ujar sebuah suara yang terdengar tiba-tiba mengagetkan Sudrat.
Sudrat segera menoleh ke arah asal suara, dan terlihat seorang laki-laki tua yang kemungkinan adalah seorang juru kunci di gua Raja Naga ini.
"Kamu duduk dan semedi di sini, hingga nanti Nyimas akan datang sendiri untuk menemuimu. Itu tandanya dia berkenan dan menerimamu … Kamu juga harus ingat, jangan sampai lari selama prosesnya atau kamu tidak akan bisa keluar hidup-hidup dari sini …”
Jelas juru kunci itu dengan tatapan yang tajam.
“Kamu lihat itu? Itu adalah bukti dari orang-orang yang tidak mempunyai tekad yang kuat dan tetap nekat untuk datang ke sini, menemui Nyimas."
Lanjut juru kunci sambil menunjuk ke arah gundukan tulang belulang dan tengkorak kepala manusia.
Didampingi oleh juru kunci tersebut, Sudrat kemudian duduk bersila di depan altar, hingga akhirnya sebuah sosok muncul dan membelit tubuh Sudrat secara erat.
"Jangan lari dan jangan bergerak sedikitpun, atau kamu akan mati …!" Bisik juru kunci itu.
Seekor ular besar kini sedang membelit tubuh Sudrat dengan kuat. Mulutnya terbuka, seolah-olah bersiap untuk menelan kepala Sudrat secara bulat-bulat.
Sudrat hanya bisa pasrah dan memejamkan mata, dia sedikitpun tidak berani untuk sekedar mengintip sedikit sosok yang sedang melilitnya itu.
Sampai pada akhirnya ular besar berwarna hitam legam itu pun melonggarkan belitan di tubuh Sudrat dan merayap kembali ke balik batu altar itu, lalu kemudian menghilang.
"Kamu telah lulus dari ujian pertamamu, selanjutnya bersemedilah di sini hingga Nyimas Agung menemuimu. Aku akan meninggalkanmu di sini sendirian, bertahanlah …" Ucap juru Kunci itu.
"Iya, Mbah ..." Jawab Sudrat sambil menganggukkan kepala setengah badannya.
Tak terasa sudah tujuh hari tujuh malam Sudrat bertapa di dalam gua Raja Naga dan tepat pada hari ke sembilan, sebuah sosok yang menyerupai seorang putri yang begitu cantik, muncul dihadapan Sudrat.
"Aku penuhi semua keinginanmu, tapi kamu harus ingat dengan semua perjanjian kita!" Ucap Nyimas.
"Iya Nyimas, akan saya penuhi semua janji-janji saya …" Jawab Sudrat sambil merapatkan kedua telapak tangannya.
Sudrat pun beranjak dari dalam gua dan ketika sudah berada di luar gua, Sudrat langsung berteriak, "Aku kaya …! Aku kaya ...! Tidak ada lagi yang kan menghina diriku!! Hahahaha …
Awas kalian semua, terimalah semua pembalasanku, karena perlakuan kalian selama ini kepadaku …!!" Teriak Sudrat dengan begitu puasnya.
***
Di sebuah dusun di sekitaran pulau Jawa, kini Sudrat terkenal akan kekayaannya. Hamparan ladang dan sawahnya terhampar berhektar-hektar banyaknya, tidak lupa juga dengan usaha penggilingan beras yang terus membesar, membuat pundi-pundi penghasilannya terus menggunung.
Ke empat anak Sudrat pun kini hidup dalam gelimang harta, hingga mereka berumah tangga. Seiring berjalannya waktu, Sudrat kini telah menjadi seorang kakek dari ke empat anaknya, tapi sayang hanya tinggal Murti saja yang masih hidup, sedangkan ke tiga anak Sudrat yang lain,
beserta juga cucu-cucunya meninggal secara tidak wajar.
Murti sendiri menjadi anak satu-satunya yang dimiliki oleh Sudrat, ketika Sudrat sudah tua renta. Dan dari anaknya Murti ini, Sudrat sudah dikaruniai enam belas cucu,
tapi yang aneh adalah setiap anak yang terlahir dari rahim Murti akan meninggal dalam hitungan genap. Semua anak Murti yang meninggal pun dalam keadaan tidak wajar, begitu juga dengan suami Murti, meninggal setelah Murti melahirkan anaknya yang paling kecil.
Semua cerita ini aku dengar dari salah seorang teman yang merupakan cucu dari Sudrat, yang merupakan anak Murti yang ketiga.
"Begitulah kisahnya kurang lebih Mas Wi. Kisah yang terjadi dengan keluargaku saat ini. Apa Was Wi bisa bantu?"
Tanya Haryati. saat berbicara denganku lewat telepon.
"Mohon maaf Mbak. Jujur saja, jika saya harus pergi ke kota Mbak, saya gak ada dananya …" Jawabku berterus terang.
"Kapan Mas Wi siap? Saya langsung kirim tiket." Jawab Haryati yang kutahu usianya tidak berda jauh denganku
"Terserah sampean saja, Mbak."
Setelah percakapan itu, tidak lama kemudian sebuah nada pesan masuk ke dalam handphoneku, dengan tulisan sebuah kode penerbangan ke ibukota untuk esok hari.
Hari kamis, aku sudah menginjakkan kakiku ini di ibukota Jakarta. Baru saja aku keluar dari bandara, seorang wanita dengan gaya yang terlihat tomboy langsung menyapaku, "Mas Wi, Ya?" Sambil mengulurkan tangannya.
Aku segera merapatkan telapak tangan kananku di dada sambil tersenyum dan membalas sapaannya, "Mbak Haryati ya?". Lalu kami berdua pun berjalan ke arah lapangan parkir dan menuju sebuah kota di sekitaran Jakarta.
"Bagaimana ya Mas caranya, agar saya dan keluarga bisa terbebas dari ini semua?" Tanya Haryati malam itu sambil menyodorkan secangkir kopi hitam.
"Hmm ... Hanya ada satu cara, Mbak …" Jawabku sambil menuangkan kopi hitam di piring kecil.
"Apa itu?" Jawab Haryati spontan.
"Memutus perjanjian ghaib yang terjadi di keluarga Mbak." Jawabku sambil memperhatikan isi rumah Haryati yang penuh dengan benda-benda berbau mistis.
"Hmm ... Energi rumah ini begitu mistis dan terasa sangat wingit …" Ucapku dalam batin.
Mataku terus memperhatikan sekeliling, kemudian terpaku sejenak kepada sebuah pajangan wayang kulit yang bergambar seorang buta dan memakai mahkota. Dari arah sanalah energi yang keluar sangat terasa, begitu dingin.
"Ada apa Mas Wi?" Tanya Haryati saat memperhatikanku yang tak lepas memandangi sebuah gambar wayang kulit.
"Eeee ... Gpp, Mbak ..." Jawabku sambil menoleh ke arah Haryati, tapi sudut mataku melihat sebuah pergerakan tangan dari wayang kulit tersebut.
Tangannya seakan bergerak dengan sendirinya dan menunjuk ke arahku.
"Edan ...!" Batinku.
Haryati merupakan sosok wanita yang tangguh, sebagai seorang pengusaha juga ibu angkat dari sekian banyak anak yang terlantar dan beberapa anak yatim piatu hidup bersamanya di rumah yang cukup besar. Kesehariannya yang tomboy,
berbeda jauh dengan kepribadiannya yang begitu welas asih. Hal ini yang membuat aku bersedia untuk membantunya, meski aku tahu bahwa hal ini sangat beresiko untuk diriku sendiri.
Aku hanya berpikir, jika aku menyelamatkan Haryati, maka secara tidak langsung aku juga menyelamatkan kelangsungan hidup semua anak-anak yatim dan juga anak-anak terlantar yang berada di bawah tanggungjawabnya.
Malam itu aku tidur bersama anak-anak yatim yang ditanggung oleh Haryati dan ketika jam menunjukkan tepat jam dua pagi, aku mendengar sebuah suara pintu yang terbuka, kulihat Haryati keluar dari rumah lalu memanaskan mesin mobilnya. Melihat hal itu aku menjadi penasaran,
aku pun bangun dan duduk di kursi panjang di ruangan tengah dan tidak lama kemudian Haryati masuk ke dapur dengan dua cangkir kopi di tangannya.
"Kok Mas Wi sudah bangun, kan ini masih pagi-pagi banget, loh Mas …" Ujar Haryati.
"Hehe … Iya, Mbak ..." Jawabku singkat.
"Hmm, jangan panggil Mbak. Panggil nama aja ya Mas, biar gak kaku, biar akrab." Ujar Haryati sambil menyulut rokoknya.
"Oh, iya Mbak … Eh, Ti ..." Jawabku gugup.
"Nah gitu dong. Ayo Mas Wi, diminum kopinya …" Ucap Haryati mempersilahkan.
Aku segera menuang kopi yang masih mengepul itu ke dalam piring kecil lalu, meneguknya. Melihat hal itu, Haryati pun tersenyum.
"Oh iya, Mas Wi mau ikut kita ke tempat jagal nggak buat jualan besok?" Ajak Haryati.
Aku segera menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Dalam perjalanan menuju tempat jagal hewan sapi, Haryati bercerita bahwa semua saudara-saudaranya adalah orang-orang yang terpandang juga kaya raya,
hanya saja semua saudaranya mengalami nasib yang tidak jauh berbeda dengan dirinya, setiap bersuami, pasti suami dan anaknya meninggal. Begitupun dengan Haryati yang sudah tiga kali menikah dan semua suaminya meninggal, hingga dia trauma dan tidak ingin menikah lagi.
"Aku memilih hidup sendiri karena aku trauma, dan kasihan pada laki-laki yang menjadi suamiku, ujung-ujungnya, gak ada lagi." Ucap Haryati dengan Raut Wajah sedih. Sejenak menarik napas panjang, lalu melanjutkan lagi ceritanya.
"Aku sadar Mas, jika ini semua karena Simbahku yang melakukan perjanjian dengan sosok astral yang memberi semua kekayaan. Jika Mas Wi percaya, aku punya rumah tujuh, juga beberapa kendaraan. Secara materi aku berlimpah dan tidak akan habis oleh anak cucuku,
tapi kenyataannya sedikitpun aku tidak merasa bahagia dengan semua yang kumiliki. Aku hidup sendiri. Begitu juga dengan semua saudari-saudariku, kecuali kakakku yang paling besar karena dia laki-laki. Sementara kami yang perempuan, semua mengalami hal yang serupa.
Aku benar-benar ingin terlepas dari semua ini Mas. Tolong aku, juga saudari-saudariku yang lain. kami semua ingin hidup normal dan bahagia. Ingin punya suami dan anak-anak layaknya wanita normal ..." Jelas Haryati sambil menangis dan menepikan mobilnya.
Aku membiarkan Haryati menangis untuk menumpahkan apa yang dirasakan di dalam hatinya.
"Biar saya saja yang bawa mobilnya." Pintaku.
Sambil menyetir mobil aku kembali mendengarkan semua cerita Haryati. Menurut Haryati, dari semua saudaranya yang berjumlah 16,
kini hanya tinggal enam orang. Dari puluhan tahun silam, entah sudah berapa banyak nyawa yang dijadikan tumbal oleh Mbah Sudirat, Kakeknya. Dan semua nyawa yang menjadi tumbal tidak lain adalah anak, menantu dan cucunya sendiri.
Mbah Sudirat sendiri, kini masih hidup dan berusia 100 tahun lebih. Terkadang Haryati sendiri merasakan hasrat yang begitu menggebu untuk kembali bersuami, begitu juga dengan keempat adik perempuannya.
Tetapi rasa trauma, juga rasa kasihan pada laki-lakilah yang kemudian membuat lima bersaudara itu menahan diri untuk tidak bersuami lagi.
"Mas Wi, bagaimana caranya untuk memutuskan ini semua, agar kami tidak menjadi korban.
Karena aku yakin, suatu saat aku juga akan diambil oleh mereka." Tanya Haryati.
"Masalah ini sangat pelik dan juga banyak memakan korban nyawa. Mas Wi sendiri tidak tahu, bisa atau tidaknya membebaskan dirimu juga saudari-saudarimu dari Tumbal Turunan ini.
Hanya saja, semua harus diawali dari diri sampean, Ti ..." Jawabku.
"Maksudnya Mas?" Tanya Haryati mengernyitkan dahi.
"Nanti aja sepulang dari tempat jagal, kita bahas lagi." Balasku singkat.
Setelah selesai sholat subuh, di sebuah mushola yang terdapat di salah satu pasar,
aku kembali berjalan menyusuri lorong-lorong pasar dan berhenti di salah satu kios tempat orang berjualan daging sapi. Aku segera masuk ke dalam sebuah kios jualan milik Haryati. Beberapa karyawan Haryati menatapku heran.
Haryati duduk di depan laci yang biasa dipakai untuk menyimpan uang. Aku berdiri tidak jauh daripadanya. Saat Haryati membuka laci, sebuah energi yang sangat besar, seakan ingin mengajakku berkenalan.
Aku terus menatap tajam ke dalam laci itu, dimana satu energi negatif menyapaku dengan hangat.
“Hmm … Pantasan, gimana gak kaya, ternyata dia yang bantu ..." Batinku.
Setelah mengambil uang dalam laci, Haryati mengajakku untuk pergi ke tempat usaha yang sama,
dengan pasar yang berbeda. Hal yang sama aku rasakan, begitu juga dengan dua los daging lainnya.
Jam sepuluh siang, aku dan Haryati sudah berada di rumah. Satu tas kresek hitam yang berisi uang jualan hari itu kemudian ditumpahkan oleh Haryati di atas meja.
Uang-uang itu langsung berserakan saking banyaknya.
"Jujur aja Mas, aku bingung dengan semua ini. Setiap kiosnya, aku hanya menjual satu ekor sapi, tapi keuntungannya bisa untuk 4 ekor sapi. Aku semakin takut dengan semua ini. Kalau saja bukan karena Tumbal Turunan,
mungkin karyawanku tidak akan betah kerja ditempatku. Mereka betah kerja denganku karena aku menggaji mereka dengan besar, padahal mereka tidak tahu kalau ini adalah hasil dari persekutuan. Aku hanya mengambil keuntungan yang sewajarnya,
sisanya aku sumbangkan dan sedekahkan sama yang membutuhkan. Aku hanya memakan hakku setelah sampean mengingatkanku pada waktu itu di telepon. Dan hari ini Mas Wi lihat sendiri, kan?" Ujar Haryati.
"Jika suatu saat penghasilannya berkurang, memang sudah siap?" Tanyaku memastikan.
"Jujur Mas, aku lebih memilih rejeki yang berkah dan siap kehilangan semuanya, meskipun nyawa sekalipun. Aku sudah lelah hidup dalam kecemasan dan ketakuran seperti ini." Jawab Haryati tegas.
"Baik kalau gitu. Mulai besok, buang semua yang ada di laci tempat jualanmu." Jawabku.
Aku mengingatkan kepada Haryati, bahwa semua kemewahan dan kekayaannya akan menurun secara drastis, dan tidak menutup kemungkinan kios pasarnya akan tutup dan ditinggalkan oleh pelanggan-pelanggannya.
***
Keesokan harinya, aku kembali datang ke kios milik Haryati dengan niatan untuk membersihkan makhluk yang berdiam di sana. Aku langsung masuk ke dalam kios, kemudian menggelar sebuah kain hitam.
Sebuah energi negatif langsung menyelimutiku, diikuti penampakkan sebuah sosok.
Sosok itu memperkenalkan dirinya sebagai Nyimas Pandan Sari. Nyimas pandan Sari begitu murka, saat semua batu mustika yang ada di dalam laci penyimpanan uang kios, aku bersihkan dengan cara memasukkannya ke dalam sebuah kain hitam.
"Bedebah! Kurang ajar! Berani-beraninya kamu mengusik ketenanganku!" Bentak Nyimas Pandan Sari, seraya mengibaskan selendang hijaunya.
"Apakah salah jika pemilik batu mustika ini sudah tidak ingin lagi ikut dan mengikutimu?" Jawabku sambil kembali menatap balik sorotan mata Nyimas Pandan Sari.
"Kehadiranmu hanya membuat ketenanganku terusik! Cepat tinggalkan tempat ini atau aku akan membawamu dan kujadikan pengikut di alamku!" Hardik Nyimas Pandan Sari.
"Hiduplah kamu di alammu dan biarkan manusia hidup di alam manusia …" Jawabku dengan nada yang datar.
"Jangan kamu ajari aku! Aku memang diturunkan ke dunia untuk menyesatkan umat manusia! Bahkan Tuhanmu telah mempersilahkan aku untuk menyesatkan dan mencari pengikut sebanyak-banyaknya, yang kelak akan menjadi temanku di neraka! Hik ... Hik ... Hik ..."
Ucap Nyimas Pandan Sari dibarengi tawanya yang membuat semua bulu-bulu ditanganku meremang.
"Memang itu tugasmu untuk menyesatkan manusia, tapi ini juga menjadi tugasku untuk menyadarkan manusia dari jalan sesat karena ulahmu."
Balasku dengan tetap tenang dan terus menyebut Asma Gusti Allah dalam hati.
"Kamu urus saja dirimu! Jangan pernah mengurus kehidupan orang lain atau kamu akan berurusan dengan Nyimas Agung penghuni gua RAJA NAGA!"
Kali ini suara Nyimas Pandan Sari begitu menggetarkan gendang telinga, jelas ini menjadi sinyal datangnya sebuah kekuatan yang dikirimkan lewat suara.
Kedua telingaku berdengung dengan kencang disertai rasa sakit yang teramat sangat,
seakan telingaku ditusuki oleh sebuah benda tajam. Sebuah getaran hebat pun begitu terasa di lantai ruko Haryati yang dijadikan sebagai tempat usaha.
"Cepat kembalikan semuanya ke tempat biasa aku berada, atau kamu akan aku bawa sebagai penebus semua kelancanganmu!"
Untuk kesekian kalinya gelegar suara Nyimas Pandan Sari seakan memecahkan kedua gendang telingaku, dan kemudian aku merasakan sebuah cairan hangat yang keluar dari kedua lubang telingku. Dengan cepat jemari tanganku mengusapnya, "Darah ..." Gumamku.
Melihat kedua telingaku yang mengeluarkan darah, Nyimas Pandan Sari pun tertawa mengekeh seraya berucap, "Baru punya ilmu segitu sudah berani mengusik ketenangan dan mencampuri urusanku.
Sekarang kembalikan semuanya ke tempat semula atau aku cabut nyawamu sekarang juga! " Sentak Nyimas Pandan Sari.
Aku yang merasakan kehebatan Nyimas Pandan Sari, tidak ingin gegabah dalam bertindak. Batinku terus mengucap Asma Gusti Allah.
Mulutku merapal doa Jibril dan membentengi diri dengan Hijib Qursi.
Energi dua doa yang kubaca membuat Nyimas Pandan Sari berhenti tertawa dan kemudian menatap wajahku dengan sorot mata marah. Nyimas Pandan Sari terdiam sesaat, lalu mulutnya komat kamit.
Dan sudah tidak bisa dihindari lagi, kini dua kekuatan saling berbenturan. Butiran keringat deras menetes dari kening, seiring bergetarnya tubuhku, Nyimas Pandan Sari pun merasakan hal yang sama.
Dua kekuatan saling mendorong. Aku dan Nyimas Pandan Sari kemudian sama-sama terjajar ke belakang beberapa langkah.
Gerakan tangan dari Nyimas Pandan Sari, mencabut beberapa helai rambutnya, lalu meniup helaian rambut dari telapak tangannya itu ke arahku, "Wissss~"
Helaian rambut itu terbang ke arahku dan berubah wujud menjadi empat ekor ular berwarna hijau.
Aku yang sejak dari awal sudah menyiapkan doa Jibril, dengan segera memukulkan kedua tanganku ke arah datangnya empat ekor ular hijau.
Hawa panas pun kemudian menyebar, membentuk seperti sebuah dinding. Empat ekor ular hijau terus melesat dan menembus doa Jibril. Aku begitu kaget, saat ular ular itu seakan tidak merasakan apa-apa dan terus melesat dengan gigi taringnya yang mengarah langsung tubuhku.
Baru kekuatan dari helaian rambutnya sudah seperti itu, apalagi yang lainya, mengerikan.
Doa Jibril bisa ditembus, ini membuatku tidak ingin mengambil resiko, aku pun segera membaca doa Nabi Musa. Doa Ini dibaca oleh Nabi Musa saat berhadapan dengan tukang sihir Firaun,
ketika merubah tongkatnya menjadi ular.
Empat ekor ular hijau yang melesat itu tiba-iba jatuh ke atas tanah dan berubah menjadi asap tipis yang mengeluarkan bau menyengat seperti rambut yang terbakar.
Melihat hal itu, Nyimas Pandan Sari terkaget, dia menatapku dengan tajam dan sinis.
"Bawalah semua batu mustika itu kalau kamu mampu! Lakukan semaumu, tapi ingat urusan kita belum selesai!"
Seru Nyimas Pandan Sari seraya menghentakan kakinya dan sesaat kemudian tubuhnya berubah menjadi asap, menghilang dari hadapanku.
"Biasanya para pemuja siluman ular atau orang yang melakukan pesugihan siluman ular, akan memberikan sesuatu benda berupa apa saja, termasuk uang, dan uang itu sebagai tanda, bahwa orang yang akan menjadi tumbal adalah pemegang uang itu.
Biasanya uang itu sudah diritualkan terlebih dahulu, lalu memberitahukan pada siluman ular untuk mengambil tumbal yang sudah ditandai dengan uang yang sudah diritualkan tadi, tapi sebelumnya, Mas Wi minta maaf ya Ti." Jelasku.
Halo PWers~
Kita lanjut pelan-pelan ya. Dan untuk yang gak sabaran, bisa langsung baca di karyakarsa, sekalian ngesupport akun ini juga :D
Seorang laki-laki tua berusia satu abad lebih, masih terlihat segar. Sorot matanya tajam dengan telinga yang masih jelas untuk mendengar dan langkah kaki tegap berjalan dengan bantuan satu batang tongkat berkepala seekor ular naga, kini sedang lekat menatap ke arahku.
Setelah membereskan semuanya, dan hanya menyisakan 3 benda pusaka, aku kemudian melakukan sebuah tirakat di dalam kamar itu. Segera aku keluarkan buku yassin dari saku baju dan sebotol air mineral yang sudah aku persiapkan sebelumnya.
Aku membuka tutup botol mineral itu dan segera membaca Yassin tujuh mubbin, dimana di setiap ayat yang ada kalimat mubbinnya di ulang sebanyak tujuh kali. Ini aku lakukan sesuai dengan arahan dari mbah Yai, ketika aku masih mondok di salah satu pesantren di daerah Jawa timur.
Pada suatu hari aku pun memutuskan untuk berpamitan, berhenti bekerja di rumah ini. Pak Kasran menatapku lekat-lekat, begitu juga dengan bu Wandra yang terperangah, saat mendengar kata-kataku untuk berhenti bekerja.
Mereka berdua membujuk dan memintaku untuk tetap bertahan bekerja di rumah ini, minimal sampai keluarga Kasran mendapatkan pegawai pengganti.
Aku yang mengetahui kondisi keluarga ini pun, sedikit mengerti dengan alasan dari bapak dan ibu Kasran,
Melihat raut muka Sinta yang begitu antusias dan terlihat polos, aku pun tersenyum mendengar pertanyaannya.
"Santet itu sudah ada pada jaman Rasul sekali pun, bahkan dalam sebuah hadist diterangkan bahwa pernah satu hari Rasul pernah disihir atau disantet oleh para dukun waktu itu, hingga beliau muntah darah dan malaikat jibril yang berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya.
Aku mencium bau yang tidak asing, saat berada di halaman depan yang ditumbuhi beberapa pohon pisang kipas, sejenis pohon pisang hias dan sebuah pohon mangga yang cukup besar berdaun rimbun.
Sekilas disudut mataku, aku melihat sebuah sosok hitam legam sedang menatapku dengan sorot matanya yg berwarna merah menyala. Segera aku palingkan muka dan berjalan ke arah pintu gerbang untuk menguncinya, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang tidak asing, aku mengenal suara ini.