gil Profile picture
Jun 14, 2022 198 tweets 32 min read Read on X
Kisah ini berlanjut lagi, ketika Sigit si anak yang dulu di inginkan oleh Mbah Gandul sosok Wewe Gombel pemilik kain popok itu sudah menginjak dewasa dan pulang kembali ke rumah masa kecilnya. Rumah dimana Sigit sering kali menghilang di dalam rumah.
Silahkan tinggalkan Like dan RT di tautan ini untuk mengikuti update selanjutnya.

Atau mau mendukung saya dengan membaca langsung cerita ini full di karyakarsa karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Tahun demi tahun berlalu tanpa cerita seram dari sosok Wewe Gombel itu. Usaha Pak Minto juga terlihat biasa saja meski kini tak sebesar dulu. Di bantul Sigit mulai tumbuh dewasa dengan ingatan masa kecilnya yang sudah hilang.
Ia tak tau bahkan juga tak ingat tentang sosok wewe gombel yang dinamai olehnya sebagai Mbah Gandul itu.

Hingga akhirnya sampailah ia di umur 17tahun, tepatnya mungkin sekitar tahun 1991-1992. Pak Minto dan Bu Soekarti yang sudah menua mulai sering ke--
-- Temanggung, bersama Sigit tentunya yang kini juga mulai tumbuh dewasa.

Dan sekitar tahun 1994-1995, keluarga Pak Minto mulai benar-benar menetap dirumah itu lagi. Bersama Sigit yang sudah lulus sekolah, ia sedikit demi sedikit, di ajari oleh Ayahnya untuk meneruskan usahanya.
“Iki Bakal omah mu le, lan iki yo dadi usahamu”.

(ini kelak akan menjadi rumahmu nak, dan ini juga akan menjadi usahamu). Ucap Pak Minto kepada Sigit di suatu sore.

Sejak hari itu, kegiatan Sigit mulai berkutat di Pasar, di toko sembako milik Pak Minto ayahnya.
Tahun berlalu Sigit mulai lihai menjalankan bisnis warisan orang tuanya itu. Sementara Pak Minto yamg sudah mulai sakit-sakitan lebih sering berada dirumah bersama Bu Soekarti sang istri. Dan di toko sembako itu lah Sigit bertemu Sari,--
-- wanita masa depannya, seorang puan manis yang sering mengantarkan ibunya berbelanja di Toko Sigit.

Curi-curi pandang yang berlanjut dengan perkenalan dan berakhir dengan pernikahan. Tepatnya di bulan november tahun 1996.
Sigit dan Sari menikah. Dengan pesta yang megah di kedua belah pihaknya. Namun na’as tak pernah mengenal waktu. Karena tepat sekira 30 hari setelah Sigit dan Sari menikah. Pak Minto sudah tak bisa lagi bertahan dengan penyakit ginjalnya.
Ia meninggal dunia dan lebih na’asnya lagi Bu Soekarti sang ibu juga meninggal sekitar 6 bulan kemudian dengan sebab yang sampai sekarang masih belum diketahui.

Pak Minto dan Bu Soekarti pergi meninggalkan Anak, menantu dan cucu yang saat itu masih berada dalam kandungan.
Kini Sigit dan Sari lah sebagai penerus keluarga Djayusman, tinggal dirumah itu, rumah masa kecil Sigit yang sempat hilang dari ingatannya. Sejak kepergian Ayah dan ibunya, Sigit sebagai anak tunggal seperti tak siap dengan semua ini, kesedihannya tentu cukup mendalam.
Tapi hidup harus terus berjalan apalagi ketika ia melihat Sari sang istri yang perutnya mulai membesar. “Aku kudu kuat!!!”. Ucap Sigit dalam hati. Mau tak mau Sigit harus tampak tegar di Mata istrinya.
Hari pun berlalu, menuju 7 bulan usia kehamilan Sari, mulai timbul keanehan-keanehan yang mungkin belum mereka sadari, Contohnya Sari yang sering “Ngidam” kuliner2 yg sedikit tak lazim seperti Sate, & empedu ular kobra, rica anjing, Sate biawak, rujak mengkudu & lain sebagainya.
Sigit yang sempat heran, akhirnya hanya bisa menuruti saja kemauan istrinya itu. Hingga seiring waktu berlalu keanehan demi keanehan mulai nampak semakin mencolok. Pernah di suatu malam Sigit mempergoki istrinya yang tidur sambil berjalan.
Ia coba ikuti saja dari belakang karena konon, pantang membangunkan orang yang sedang tidur sambil berjalan.

Sigit ikuti langkah demi langkah hingga Sari berhenti di depan sebuah lemari yang berada di kamar mendiang ayah dan ibunya. Kamar itu memang kini kosong.
Tapi yang Sigit heran disitu Seperti ada seseorang yang berbicara dengan Sari, Suaranya seperti berada di balik lemari mendiang Ayahnya itu. Sigit tak tau pasti apa yang sedang Sari bicarakan, karena dialek nya menggunakan bahasa jawa kawi yang tak begitu Sigit mengerti.
Yang jelas Suaranya seperti seseorang yang lemah/sekarat, terdengar dari suaranya yang terbata-bata. Sigit yang memang tergolong orang yang tak kenal takut, langsung bergegas menghampiri dan membuka lemari itu. Namun terkunci dan bersamaan dengan itu, suara itu pun hilang.
Sigit menuntun Sari kembali ke tempat tidurnya dengan penuh tanya yang langsung ia tepis. Satu keanehan lagi yang paling kerap terjadi adalah Sari yg selalu harus duduk di pekarangan belakang rumahnya saat sore hari menjelang magrib sambil tersenyum aneh seraya mengelus perutnya.
Tapi lagi-lagi, ini tak juga mereka sadari. Sampai Akhirnya Pakde Turah datang berkunjung. Beliau yang baru saja masuk ke rumah itu langsung di sambut kemarahan oleh Sari. Ini jelas tak masuk akal karena mereka jarang bertemu.
Sigit yang agaknya malu dengan Pakde Turah tentu langsung memarahi istrinya.

Namun Sang istri merasa tak bisa mengendalikan kemarahannya ketika melihat wajah Pakde Turah, yang jelas Sari juga tak mau melakukan itu. Disini Pakde Turah langsung Paham, bahwa ini ada yg tidak beres.
Dengan langkahnya yang mulai renta, Pakde Turah merangkul Sigit dan mengajaknya berbicara 4 mata di ruang tamu. Dan Dengan terpaksa Pakde Turah menceritakan semua yang selama ini ditutupi. Yaitu tentang sejarah kehidupan mendiang ayahnya yg pernah bersekutu dengan “Wewe Gombel”.
Beliau juga menceritakan alasan kenapa masa kecil Sigit tidak dibesarkan dirumah ini.

“Kowe mbiyen arek di gowo lho ndul”.
(Kamu dulu mau di bawa lho nak). Ucap Pakde Turah.
Antara percaya dan tidak percaya, ketika Sigit mendengar cerita itu.
Yang Sigit tahu ayahnya adalah sosok yang sangat menyayanginya. Meski dulu waktu di Bantul, Sigit hanya bertemu Ayahnya seminggu atau sebulan sekali, tetapi Sigit merasakan betul kasih sayangnya.
“Bapak, mesti mbeto dolanan, nek kondur ting Bantul”.
(Ayah pasti bawa mainan, ketika pulang ke bantul). Ucap Sigit dgn matanya yg mulai berkaca-kaca.

“Pakde mung Samar, nek Anakkmu di incer”.
(Pakde cuman khawatir kalau anakmu di incar). Ucap--
-- Pakde Turah kepada Sigit waktu itu.

“Terus, Pripun niki Pakde, apike?”.
(Terus gimana ini Pakde baiknya). Jawab Sigit.

“Wes mengko tak urusane Pakde, mugo-mugo wae Pakde isih kuat”.
(Sudah, Nanti Pakde urusin, Semoga saja Pakde Masih kuat). Kata Pakde Turah.
Pakde Turah pun menyuruh Sigit untuk membuka lemari mendiang Ayahnya itu. karena kuncinya tak juga di temukan, akhirnya Sigit membuka lemari itu secara paksa. Didampingi oleh Pakde Turah, Sigit mengambil kotak kayu yg di maksud, membawanya ke pekarangan belakang lalu membukanya.
“Wes, Gocek’ono gombal kui”
(Sudah, Peganglah kain itu). Ucap Pakde Turah menyuruh Sigit.
Tercium aroma Minyak melati dari kain lusuh itu yang kini Sigit genggam dengan agak gemetar.
Bersambung -- karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Bersamaan dengan itu Pakde Turah pun mengatakan bahwa kini semua berada dibawah kendali Sigit.

“Kowe kui, “Wadal Wurung”, dadi Wewe Gombel kae mesti luwih nganut karo kowe”.
(Kamu itu, orang yang urung dijadikan tumbal, jadi Wewe Gombel itu pasti lebih nurut sama kamu).--
--Ucap Pakde Turah kepada Sigit di Sore itu.

Sementara Sigit hanya terdiam kebingungan, ia tentu tak tau harus bagaimana. Pesan Pakde Turah hanya sebatas meminta Sigit untuk waspada dan jangan pernah takut bila suatu saat sosok wewe gombel itu muncul dihadapannya.--
--Dan segera mengabari Pakde Turah bila terjadi apa-apa.

Sebut saja Mbah Pik, Dukun beranak yang rutin memeriksa kehamilan Sari, dari awal tampaknya tahu ada sesuatu yang mengancam, tapi mungkin karena beliau sungkan dan merasa ini sudah diluar ilmu--
-- dan kendalinya, Mbah Pik hanya meminta Sari untuk tak keluar rumah pada sore dan malam hari.

Sampai akhirnya Hari pun berlalu, menuju kelahiran anak Sigit & Sari, tepatnya di bulan juli 1997. Waktu itu hampir tengah malam, Sari merasakan kesakitan yg luar biasa pada perutnya.
Sigit yang panik buru-buru membangunkan Margono, Salah satu karyawan tokonya yang memang sudah disiapkan menginap di rumah Sigit untuk membantu kelahiran ini. Margono bergegas menuju rumah Mbah Pik yang memang jaraknya tak terlalu jauh dari desa tempat Sigit tinggal.
Sementara Sigit tengah menyiapkan air hangat di dapur, seraya bolak-balik ke kamar untuk memeriksa istrinya yang sudah tampak merintih kesakitan. Dan bersamaan dengan itu mulai terjadi suatu keanehan, yaitu terdengarnya suara ciak anak ayam yang seperti mengelilingi rumahnya.
Dari Awal Sigit sudah menyadari suara itu. Namun kepanikannya saat ini tentu saja membuat Sigit tak memperdulikannya.

Air hangat sudah siap dan di bawa ke kamarnya. Sigit kini duduk di samping Sari seraya menggenggam tangannya.--
--Ditemani suara ciak ayam yang mulai terdengar merangsek masuk kedalam rumah.

“Kuthuk’e sopo kae mas?”.
(Anak ayam siapa itu mas?). Tanya Sari sambil meringis kesakitan.
“Wes rapopo, sedelo meneh Mbah Pik teko”.
(Sudah, Gak apa-apa, sebentar lagi Mbah Pik Datang). Jawab Sigit yang sudah terlihat kalut.

Intuisinya seperti mengetahui ada sesuatu yang mengancam, dan segera ia mengambil Kain popok wewe yang ia simpan di laci samping ranjangnya.--
--Sigit menggenggam kain lusuh itu seraya berdoa dengan penuh kekhawatiran.

Dan tak selang beberapa lama kemudian Mbah Pik pun datang bersama Margono dan Ratna anaknya yang kebetulan adalah bidan di desa sebelah.
Disini tampaknya Mbah Pik tahu, akan ada kesulitan yang akan terjadi nanti.
Sari Dibantu Mbah Pik dan Ratna saling berjibaku untuk kelahiran si jabang bayi. Dengan Sigit yang tentu masih berada di Samping Sari untuk menguatkan istrinya itu.
Sementara Margono menunggu di depan kamar mulai bosan karena setelah 2 jam berlalu, Anak dari juragannya itu belum juga lahir. Untuk membunuh kebosanannya ia mulai menyalakan sebatang rokok dan berjalan menyusuri setiap ruangan di rumah majikannya itu.
Sampai ketika ia berada di suatu ruangan, dari kejauhan ia melihat sosok yang sedang duduk di atas kursi goyang milik mendiang Pak Minto yang berada Di ruang tengah. Image
Margono terdiam menerawang di tengah suasana ruangan yang agak gelap itu, suara krenyitan kursi yang bergoyang itu seketika menyadarkannya untuk segera menjauh. Dengan gugup Margono berbalik badan dan kembali menunggu di luar kamar Sigit majikannya itu.
Sambil memikirkan siapa yang tengah duduk di kursi goyang itu. “Mesti demit iki!!!”. Ucapnya pelan seiring bulu romanya yang kini berdiri. Namun seketika rasa itu teralihkan setelah beberapa saat kemudian ada suara bayi yang menangis.
Akhirnya setelah perjuangan selama beberapa jam, Bayi itu lahir dengan selamat, berjenis kelamin laki-laki, gemuk dan tampan.

Haru biru suasana di dalam kamar itu, tali pusar telah diputus dan di masukkan kedalam kendi--
--yang sudah di siapkan oleh Sigit jauh hari lalu, kini bayi mungil itu sudah nampak tenang di pelukan Sari sang ibu.

“Allhamdulillah, jabang bayi, sehat, lengkap, selamet”. Ucap mbah Pik.
“Ndi Sapu Sodo, lombok karo bawange nak Sigit?”.
--
--(Mana sapu lidi, cabe dan bawangnya, nak Sigit?). Ucap Mbah Pik kembali.

Segera Sigit langsung keluar mengambil apa yang diminta oleh Mbah Pik, karena memang hal itu juga sudah di siapkan oleh Sigit sebelum kelahiran anaknya itu.
“Mas Mar, tulung jupukke sapu sodo karo lombok sing wes tak dadekke siji ning plastik kae, ning rak dapur”.

(Mas Mar. Tolong ambilkan sapu lidi & cabe yg sudah ku jadikan satu dalam plastik di rak dapur). Ucap Sigit saat keluar dari kamar menyuruh Margono untuk mengambil itu.
Bergegas Margono berjalan menuju dapur. Namun lagi-lagi langkahnya dibuat terhenti oleh penglihatannya akan sesuatu. Yaitu seseorang yang tengah berdiri di pinggir jendela ruangan dapur itu. Image
Ia yang belum sampai di ambang pintu memutuskan untuk berhenti sejenank dan meyakinkan apakah apa yang dilihatnya itu benar karena memang suasana yang minim penerangan. Berkali-kali Margono mengusap matanya, namun memang benar sosok itu masih saja ada di situ.
Berdiri di dekat bungkusan yang harusnya ia ambil. Sementara di ruangan lain Sigit terdengar berkali-kali memanggilnya dan berkata apakah Margono sudah menemukan bungkusan itu.
“Ketemu ra Mas Mar?”.
(Ketemu nggak, Mas Mar?). Teriak Sigit.

“Nggih niki Mas!! Sampun ketemu!..”.
(Iya ini Mas, Sudah ketemu!!). Jawab Margono dengan agak gugup.
“Asss jidor!!!”. Umpat Margono pelan sambil berlari ke dapur dan mengambil bungkusan beserta sapu lidi yang berada di dekat sosok itu seraya memalingkan pandangannya dan kembali berlari keluar menghampiri Sigit.
“Niki Mas”...
(Ini Mas). Ucap Margono sambil memberikan Bungkusan itu dengan nafas yang sedikit terengah-engah.

“Kowe kenopo sih mas Mar?”.
(Kamu kenapa sih Mas Mar?). Tanya Sigit yang melihat gelagat aneh dari Margono.
Bersambung
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
“Ndak Papa kok mas”. Jawab Margono menutupinya.

Singkat cerita, Di dalam Kamar, Mbah Pik pun merangkai sapu lidi itu dengan tusukan-tusukan cabai merah, bawang merah dan bawang putih. Kemudian meletakkannya di dekat si jabang bayi.
Tak lupa Mbah Pik juga berpesan kepada Sigit untuk segera menguburkan Ari-ari dari bayinya itu paling lambat besok malam.

Singkat cerita keesokan harinya Pakde Turah datang,
“Eh Pakde, monggo pinarak”.
(Eh Pakde, silahkan masuk). Ucap Sigit menyambut kedatangan Pakdenya itu.
Dan mereka pun berbincang sewajarnya perihal kelahiran si jabang bayi.

“Wes Ke’i jeneng Git?”.
(Sudah dikasih nama Git?). Tanya Pakde Turah.

“Kulo tasih bingung Pakde, nopo pakde wonten usul?”
(saya masih bingung Pakde, apa pakde ada usul?). Jawab Sigit.
Hingga tak selang beberapa lama Sari pun datang ke ruang tamu. Seraya menggendong bayinya. Terjadi diskusi kecil di antara Pakde Turah, Sigit dan Sari hingga akhirnya tercetuslah sebuah nama untuk bayi laki-laki itu, yaitu “Gugat djayusman”.
Pakde Turah sebagai pengganti orang tua Sigit yang berikrar waktu itu sesuai adat jawa.

“Tak wenehi jeneng, si jabang bayi lanang iki, “GUGAT DJAYUSMAN”. Mugo dadi bocah sing bekti, gangsar rejeki lan migunani gawe nusa lan bangsa”.--
Ucap Pakde Turah Sambil memegang kepala si jabang bayi yang tengah berada dalam pelukan Sari.

Kegiatan pun berlanjut ke penguburan Ari-ari si Gugat. Di temani oleh Margono dan Pakde Turah,--
--Sigit menggali lubang di pekarangan belakang rumahnya dan mememdam Kendi kecil berisi bagian dari Tubuh Gugat saat masih dalam kandungan itu di dalam lubang, menutupinya dengan kurungan ayam dan mendampinginya dengan lentera kecil.

Dan dari sinilah cerita demi cerita dimulai.
Sekira 10 hari usia kelahiran Gugat,
Siangnya Di hari itu tali pusar Gugat terlepas, atau orang jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Puputan”. Dan setelah “Puput” itulah biasanya bayi baru boleh di jenguk.
Orang-orang, tetangga dan kerabat mulai berdatangan menjenguk si kecil Gugat yang tampak lebih sering menangis.

Entah apa penyebabnya. Tapi saat itu mungkin Sigit dan orang-orang masih mewajarkannya. Hingga malamnya, mungkin sekira hampir tengah malam tiba2 Gugat menangis keras.
Sari yang terbangun tentu langsung memberikan Asinya untuk anaknya itu. Tapi entah mengapa Gugat seperti mengindari Asi dari sang ibu dan terus menangis, hingga bersamaan dengan itu.
Terdengar suara ciak anak ayam dari balik jendela. Sari mendengar dengan jelas suara itu meski sedikit tersamarkan oleh suara tangisan Gugat. Sigit yang juga terbangun setelah itu, kini tampak saling pandang dengan istrinya.
Dan betapa anehnya ketika kini suara ciak ayam itu berubah menjadi nyanyian. Dengan suara wanita tua yang serak dan parau namun bernada, jelas sekali dari balik jendela.
“Tak lelo…lelo…lelo ledung…

Cep menenga, aja pijer nangis

Anakku sing Bagus rupane

Yen nangis ndak ilang Baguse

Tak gadhang bisa urip mulya”
Sigit & Sari langsung mengeratkan posisinya mendekat ke Gugat ketika mendengar itu. Namun anehnya Gugat perlahan mulai berhenti menangis & mau menerima Asi dari Sari sang ibu. Sementara suara nyanyian itu masih terdengar seperti berjalan masuk ke dlm rumah & kemudian menghilang.
Gugat kini tampak sudah terlelap, sementara kini Sigit dan Sari hanya bisa terdiam, tak tau apa yang harus mereka bicarakan setelah kejadian aneh yang baru saja mereka alami itu.
Dan bersamaan dengan itu Sari yang terus memandangi jendela, ia melihat temaram api yang sepertinya berasal dari pekarangan belakang rumahnya.

Sigit yang kini menyadari itu langsung memeriksa dari balik jendela.
Dan betapa terkejutnya ketika ia melihat Kurungan Ayam yang menutupi kuburan Ari-ari itu terbakar. Sepertinya ada sesuatu yang menjatuhkan lentera di sampingnya.Buru-buru Sigit keluar dan menghampiri, bermaksud untuk memadamkan api itu.
Ia yang berjalan mendekat kini tampak berhenti. Karena di antara api yang membakar, tampak ada seseorang yang duduk berjongkok.

Sigit takut, tapi ia ingat pesan Pakde Turah, bahwa ia harus berani. Ia mulai berjalan mendekat.
“HEHHHHHH!!!!!! SOPO KOE!!!!”.
(HEHHHHHH!!!! SIAPA KAMU!!!!). Teriak Sigit kepada sosok itu, yang kini tampak menoleh ke arahnya. Image
Sosok itu terlihat seperti tengah memakan sesuatu. Sigit mengambil sebuah batu dan melemparkannya. Seraya berkata “LUNGO KOE!!!” (PERGI KAMU!!!).

Ucap Sigit yang sebenarnya mulai merasa takut itu. Namun untungnya setelah itu sosok itu pun menghilang.
Sigit yang kini sudah benar-benar merasa takut pun, memutuskan untuk Masuk ke rumahnya dan membangunkan Margono. Memintanya untuk menemaninya memeriksa kuburan Ari-ari anaknya itu.
Singkat waktu tibalah Sigit dan Margono memeriksanya. Dan betapa kagetnya ketika mereka berdua melihat. Kuburan ari-ari itu terlihat seperti sudah di bongkar, kendi itu sudah mencuat keluar dari tanah, ari-arinya menghilang dan--
-- hanya tersisa kain putihnya saja serta nyala api dari lentera yang pecah membuat separuh dari kurungan yang menutupnya menjadi terbakar.

Buru-buru Sigit dan Margono mematikan apinya dan merapikan sisanya. Sigit tampak bingung, panik dan marah melihat kejadian itu.
“ASU KOE YO!!!!!! RENE NEK WANI METU!!!!”.
(ANJING KAMU YA!!! SINI KALAU BERANI KELUAR). Teriak Sigit waktu itu yang langsung ditenangkan oleh Margono dan kembali lagi masuk ke dalam rumahnya.
“Ono opo sih mas?”.
(Ada apa sih mas?). Tanya Sari kepada Sigit.

Namun Sigit sepertinya masih enggan untuk bercerita dan langsung menyuruh istrinya untuk beristirahat.

Bersambung - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Singkat waktu beberapa jam kemudian, sekira mungkin pukul 2 dini hari. Sari dan si kecil gugat tampak nyenyak dalam tidurnya. Tapi tidak bagi Sigit yang masih terlihat menerawangi langit-langit sambil memikirkan hal yang tadi ia alami.
Hatinya mulai khawatir, jangan-jangan benar kata Pakde Turah yang takut kalau Gugat ini tengah di incar oleh sesuatu. Yaitu Wewe gombel yang pernah bersekutu dengan mendiang Ayahnya dahulu.
“JIDOR!!! AKU KUDU WANI!!!”.
(BIARIN!!! AKU HARUS BERANI!!!). Batin Sigit seraya beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil Popok Wewe itu.

Sigit keluar dari kamarnya, dan terpaksa Mengetuk kamar Margono. Untung ia juga belum tidur.
Kini berbincanglah mereka diruang tamu sambil menikmati kopi dan rokok kretek.

“Sesok kowe prei wae mas, saiki ngancani aku melekan”.
(Besok Kamu libur aja mas, sekarang temani aku saja begadang). Kata Sigit kepada Margono seraya meletakkan Popok wewe itu di atas meja.
Sigit mulai menceritakan keresahannya kepada Margono. Tentang hal-hal yg cukup mengagetkan hidupnya saat dewasa ini. Perihal “Pesugihan popok wewe” yang di lakukan oleh Ayahnya dan baru saja ia ketahui setelah menikah ini dan ancaman2 yg mungkin menanti dirinya serta keluarganya.
Sigit kini sedikitnya mulai menyalahkan mendiang ayahnya atas semua ini. Margono orang yang sangat mengenal almarhum Pak Minto pun berujar. Bahwa Pak Minto mungkin salah karena telah melakukan persekutuan ini. Tapi Margono tahu, Pak Minto tak mungkin sejahat itu.
Obrolan pun berlanjut semakin emosional. Namun beberapa saat kemudian semua dipecahkan oleh jeritan Sari istrinya. Sigit bergegas menuju kamarnya dan seketika Sigit mematung terkejut setelah membuka pintu.
Terlihat Sari yang menangis dan Si Gugat yang tengah di timang oleh Seseorang, dan ya!!! Seseorang itu jelas bukan manusia.

“Balekkkkno anakkku!!”.
(Kembalikan anakku!!). Ucap Sigit yang terbata. Image
Sosok itu tak bergeming, dan kini malah bersenandung, Sigit agak memundurkan langkahnya, Margono yang penasaran kini tampak ingin memeriksa ke kamar majikannya itu. Namun ia yang hampir sampai di ambang pintu sedikit bertabrakan dengan Sigit yang berlari keluar menuju ruang tamu.
Ternyata Sigit mengambil kain popok wewe itu. Menggenggamnya dan berlari kembali menuju kamar.
“BALEKKNO ANAKKU!!!!”.
(KEMBALIKAN ANAKKU!!!!). Kata Sigit yang menggenggam kain popok wewe itu seraya masuk ke dalam kamarnya.
Namun Sosok itu kini sudah menghilang, tinggal Gugat saja yang tampak menangis dan tergeletak di bawah lantai. Buru-buru Sigit menggendong anaknya itu dan meletakkannya di atas tempat tidur bersama Sari istrinya yang masih tampak syok dan ketakutan.
Sementara itu Margono yang ternyata sempat melihat Sosok wewe gombel itu kini juga tampak tercengang, tubuhnya gemetar setelah melihat lelembut dengan sejelas itu. Sambil menyeret kakinya yang seperti agak kaku Margono berjalan kembali menuju kamarnya.
--------------
Kejadian itu pun berlalu seiring dengan Sigit dan Sari yang mulai sangat khawatir dengan keselamatan anak mereka. Terlebih lagi sejak kejadian itu Gugat tampak tak wajar. Sebagai anak bayi, Gugat kini mulai tak menunjukkan ekspresi apapun, seperti menangis ataupun tertawa,
ini tentu tak beres! Pakde Turah yg harusnya bisa menolong keadaan ini, kini justru malah sakit, entah apa penyebabnya, entah karena lanjut usia atau memang karena sesuatu. Meski begitu Pakde Turah berjanji akan membantu walau lewat arahan2 yg sejatinya kurang Sigit mengerti.
Kalimat yg sering kali di ucapkan oleh pakde adlh.
“Obongo popok kui ing wanci kang tepat” .
(Bakarlah popok itu di waktu yg tepat!!). Ucap Pakde Turah yg terbaring lemah di tempat tidurnya.
Lantas kapan waktu yang tepat untuk membakar popok wewe itu? Sigit tak tau pasti.
Wewe gombel itu memang sudah tak menampakkan dirinya lagi sejak kejadian itu, tapi entah mengapa Sigit seperti masih merasakan hawa kehadirannya terutama saat ia berada di dalam rumah.
Sigit gusar, tampak seperti orang yang hampir gila, setiap malam ia pasti selalu menggenggam popok wewe itu, berharap ia menemukan waktu yang tepat untuk membakarnya.
Sering kali Sigit terlihat mengelilingi setiap sudut rumahnya untuk mencari wewe gombel itu, rasa takutnya sudah hilang, berubah menjadi rasa amarah dan khawatir tentang keadaan anaknya yang tak juga berubah sejak kejadian itu.
“Jupukken aku, ojo anakku!!”.
(Ambilah aku, jangan anakku). Sering kali ucapnya dalam hati.

Hingga tiba pada suatu hari.
-------------- Image
Sejak kejadian itu, Setiap hari memang selalu menjadi hari yang melelahkan bagi Sigit. Tak terkecuali hari ini. Sigit pulang dari Pasar sudah hampir maghrib. Sesampainya di rumah ia langsung mandi dan berlanjut dengan menimang si Gugat yang masih tak menunjukan ekspresi hingga ia
tertidur dalam gendongan Sigit. Diletakkannya Gugat di atas ranjang, kini Sigit ikut merebah dan berbincang dengan Sari istrinya.

“Mau Gugat ngguyu mas, iso nangis meneh”.
(tadi Gugat Tertawa mas, bisa nangis lagi). Ucap Sari dgn ekspresi muka yg justru tampak tak senang.
“Tenane dek!!!”.
(Beneran dek!!!). Jawab Gugat yang sedikit terperanjat dari tempat tidurnya.


Sigit sempat senang mendengar kabar dari istrinya bahwa Gugat sudah bisa menunjukkan ekspresi lagi, tapi ternyata tak seperti yang Sigit harapkan.
Sari pun bercerita, jadi tadi siang setelah ia dari kamar mandi, dari luar kamarnya ia mendengar suara Gugat tertawa. Sari yang buru-buru masuk pun benar melihat Gugat yang tengah riang seperti ada seseorang yang mengajakknya bercanda, kalau istilah jawanya adalah “Ngliling” . Image
Sari tentu senang melihat anaknya sudah kembali mempunyai ekspresi. Buru-buru Sari menggendongnya dengan hati yang gembira. Gugat juga masih tertawa-tawa ketika berada di Gendongan ibunya itu. Namun ternyata itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba tawanya terhenti.
Bersamaan dengan keluarnya cairan hitam dari mulutnya. Sari tentu kaget dan kini Gugat menangis. Keluarlah Sari dari rumahnya dengan panik dan mencoba untuk meminta bantuan kepada tetangganya. Namun sepertinya waktunya tak tepat.
Bersambung karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Karena ia hidup di kalangan yang kebanyakan petani, jadi mungkin di jam itu adalah jam-jam di mana semua orang pergi berladang, sembari menunggu bantuan yang ternyata tak kunjung datang akhirnya Sari pun menenangkan Gugat dengan seadanya dan untungnya itu berhasil,--
-- Gugat pun tenang, terdiam, dan kembali tidur di gendongan sang ibu.

Tapi itu tentu tak cukup membuat Sari merasa tenang, di depan rumahnya berulang kali ia mengusap-usap kepala anakknya itu dengan muka cemas dan mata yang berkaca-kaca.

Dan tiba-tiba.
“IKI DUWEKKU!!!!”.
(INI MILIKKKU!!!). Kata seseorang yang entah siapa itu, membisik keras di telinga Sari.

Sari tentu terkejut mendengar itu, ia menoleh ke kanan dan ke kiri namun ia tak menemukan siapapun.
Dgn ketakutan Sari segera masuk kembali ke dlm rumahnya & tak keluar lagi hingga Sigit sang suami pulang.

Sigit yg tadinya sempat gembira mendengar awalan cerita dari sang istri sekarang tak menunjukan eskpresi itu, rautnya kini sedih & dgn berkaca-kaca Sigit meminta Maaf ke--
--pada istrinya itu.

“Dingapuro yo dek, dadi melu katut ning kahanan iki”.
(Maafkan ya dek, membuatmu ikut terseret dalam keadaan ini). Ucap Sigit kepada Sari.

“Rapopo Mas, ora ono sing salah, sing penting saiki piye carane metu seko masalah iki, njenengan mesti iso mas”.--
--(Gak apa-apa Mas, tidak ada yang salah, yang penting sekarang bagaimana caranya kita keluar dari masalah ini, kamu pasti bisa Mas). Jawab Sari untuk menguatkan Suaminya itu.
Tak selang beberapa lama Gugat pun terbangun, tak menangis, hanya matanya saja yang sesekali melirik ke arah Sigit dan Sari. “Pengen Mimik iki”. Ucap Sari yang mulai terbiasa dan paham dengan bahasa tubuh Si Gugat kecil. Sari pun menyusui Gugat hingga ia ketiduran.
Singkat waktu setelah melihat Anak dan istrinya sudah terlelap, Sigit pun keluar dari kamarnya, duduk diruang tamu Seraya menyesap sebatang rokok dan seperti biasanya, Sigit tampak menggenggam Kain popok wewe itu di tangan kirinya.
Asap mengepul ke atas langit-langit ruang tamunya yg tak begitu terang. Lamunannya masih saja seputar Wewe Gombel itu, sesekali ia meremas kain itu, terlihat raut emosi dari Sigit yg sulit tergambarkan, pikirannya berkecamuk, kecewa, sedih bercampur dlm otakknya.
Tapi Jujur dari dalam lubuk hatinya, Sigit merasa Ayahnya adalah sosok yang terlalu baik untuk disalahkan dalam keadaan ini. Meski nyatanya, beliaulah orang yang membawa Sigit ke dalam masalah persekutuan pelik ini.
Tak selang beberapa lama, Margono masuk dari pintu samping. Dengan jaket tebal dan Sarung yang ia kerudungkan ke kepalanya.

“Seko ngendi mas Mar?”.
(Dari Mana Mas Mar?). Tanya Sigit kepada Margono.
“Niki Mas, saking warung pados obat, awake kok rodo meriang”.
(ini Mas, Dari warung nyari obat, badan kok terasa tak enak). Jawab Margono Seraya melangkah mendekati Sigit.
Setelah sejenak berbincang, Margono pun ijin kepada juragannya itu untuk beristirahat lebih awal karena--
-- badannya yang tidak enak. Sigit memakluminya dan segera menyuruh Margono untuk masuk ke kamarnya.

Sementara di ruang tamu, Sigit kembali merenung dengan lamunan itu. Sampai Entah berapa batang rokok yang sudah ia hisap untuk menenangkan batinnya.
Malam semakin larut. Entah bagaimana matanya tertuju pada kursi goyang mendiang ayahnya yang memang berada di dalam ruangan yang sama. Sigit yang bosan mulai berdiri dan berjalan menuju kursi tua itu. Ia duduk dan kembali melanjutkan lamunannya.
Hingga tak terasa ia terlelap di atas kursi goyang itu. Entah berapa lama Sigit tertidur, yang jelas sekira mungkin pukul 02.00 dini hari, ia terbangun karena ada seseorang yang membelai rambut dan kepalanya. Sigit yang terbangun, perlahan membuka matanya.
Dan seketika Matanya terbelalak karena melihat sosok yang kini berada tepat di hadapannya.
Ya!!! Sosok itu adalah Wewe Gombel itu. Tersenyum menyeringai menatap Sigit yang kini tampak tak bisa bergerak namun matanya tak bisa berpaling dan justru terus menatap sosok itu. Image
“Nang.. Sigit anakku.. Iseh kelingan Aku ora? Sing mbok telahi Mbah Gandul, mbiyen cilik sok tak gendong, saiki malah wani yoo”.

(Nak.. Sigit Anakku, masih ingat aku tidak? Yang sering kamu panggil mbah Gandul. Dulu waktu kecil kamu sering aku gendong,--
-- sekarang malah berani denganku ya). Kata Sosok Wewe Gombel itu dengan suara parau dengan kepalanya yang kini mendekat di depan muka Sigit.

Sigit hanya terdiam, menggumam karena tak ada satu patah katapun yang bisa ia ucap dari mulutnya. Image
Sementara sosok itu masih membelai-belai kepala Sigit seraya bersenandung tak jelas.

Takut bercampur aduk di rasakan oleh Sigit. Dan Sosok Wewe Gombel itu pun semakin mendekat dan mendekat sampai hampir menyentuhkan mulutnya di telinga Sigit.

Sosok itu pun berbisik.
“Mbiyen Pakmu njaluk Anak lan bondo sing akeh, nanging lebar Sugih lan urip penak, Pakmu lali karo bojo enome iki!!! Pakmu lali karo janji-janjine!! Janji ngenehke kowe ning aku, nanging saiki kowe wes gedhe, aku wes ra pengen, saiki aku pengen anakmu dadi gantine!!!”
(Dahulu Ayahmu minta keturunan dan harta melimpah, tapi setelah mendapatkan semua itu dan hidup enak, ayahmu lupa dengan istri mudanya ini!! Ayahmu lupa dengan janji-janjinya, janji akan memberikanmu kepadaku!!!--
-- Tapi Sekarang kamu sudah besar!! Aku sudah tidak menginginkanmu!! Sekarang aku ingin anakmu sebagai gantinya!!!). Bisik sosok wewe gombel itu di telinga Sigit.

Sigit masih terdiam mematung tak bisa bergerak. Ia benar-benar merasakan kehadiran sosok itu begitu nyata. Image
Sosok wewe gombel itu kini berada di belakangnya, meremas pundaknya sambil mendesis. Tangannya dingin meraba-raba tubuh Sigit. Dan kini memegang tangan kiri Sigit yang menggenggam kain Popok wewe itu.
Sigit langsung teringat, “Jangan sampai popok ini direbutnya”. Ucapnya dalam hati. Sigit mulai berdoa, dan berjuang untuk menggerakkan tubuhnya. Hingga akhirnya Sigit berhasil melompat dari kursi goyang itu, meski harus tersungkur ke lantai.
Ia mencoba untuk merayap sambil terus memeluk kain popok itu di balik dadanya.
Sosok itu kini meraung, seperti marah tapi menangis.

“Sigittt anakku!!! Balekno popokku!!!!”.
(Sigit anakku!! Kembalikan popokku!!). Raung sosok wewe itu.

Bersambung - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/… Image
Sigit tak menoleh dan terus merayap menuju pintu keluar. Namun sosok wewe gombel itu kini muncul menghadang di depannya. Seraya terus mengatakan kata-kata yang memohon untuk meminta popok itu kembali. Image
Hingga pandangannya pun gelap, Sigit tak sadarkan diri dlm keadaan tengkurap memeluk kain itu.
Hingga beberapa jam kemudian ia terbangun saat samar2 adzan subuh terdengar di telinganya. “Uuuhh”. Kepalanya terasa sakit namun buru2 ia memeriksa kain yang ia peluk di balik dadanya.
Ahh.. Ternyata kain itu masih ada, dengan sedikit terhuyung-huyung Sigit berdiri, matanya menerawang keseluruh sudut, barang kali makhluk sialan itu masih ada, namun untungnya sudah tak ada tanda-tanda keberadaan si wewe gombel itu.
Sigit pun segera berjalan menuju kamarnya untuk memeriksa si Gugat dan Sari istrinya. Ia mendekati dan mengamati istri serta anaknya yang masih terlelap di atas ranjang, dan ia pun bernafas lega ketika Sigit melihat tubuh Gugat dan Sari masih mengembang dan mengempis.
“isih ambegan!!!”. (Masih bernafas!!). Batin Sigit seraya mengelus dadanya.

Sigit pun kini duduk di kursi samping ranjang itu, sambil menahan kepalanya yang terasa pusing, ia memikirkan kejadian semalam, hingga tak selang beberapa lama, --
--Gugat pun menguap, terbangun di ikuti oleh Sari istrinya yang juga tampak membuka matanya.

“Eh Mas, kok wes wungu, aku jan sewengi turune ambleg tenan”.
(Eh Mas, kok udah bangun, aku semalam nyenyak bener tidurnya). Ucap Sari seraya meraih Gugat ke pangkuannya.
Hingga mentari pun menjelang, terdengar Margono yg mengetuk pintu kamar Sigit, berpamitan untuk berangkat ke Toko terlebih dahulu.

“Lho mas Mar, wes kepenak to awake?”.
(Lho mas Mar, udah enakan to, badannya?). Tanya Sigit yg ingat kalau semalam Margono tidak enak badan.
Margono pun menjawab, kalau sekarang badannya sudah segar kembali. Dan Sigit pun menyuruh Margono untuk segera berangkat ke Toko.

“Yo wes, sukur nek ngono, Sampean Mangkato sek wae Mas, mengko aku nyusul rodo telat, soale meh ono acara disik”.
--
--(Ya Sudah, syukur kalau begitu, Kamu berangkat dulu saja Mas, Nanti Aku nyusul agak telat, soalnya mau ada acara dulu). Jawab Sigit dari dalam kamarnya.

“Meh ono acara opo sih mas?”.
(Mau ada acara apa sih mas?). Sahut Sari sang istri mendengar perkataan suaminya itu.
“Aku, kowe karo Gugat bar iki sowan ning Pakde Turah, ono sing meh tak omongke, karo sekalian tilik, kan Pakde lagi gerah”.
(Aku, kamu sama Gugat, habis ini kita ke Pakde Turah, ada yg mau Mas bicarakan, sekalian jenguk, kan Pakde lagi sakit). Kata Sigit sambil beranjak untuk-
--mandi.

Singkat cerita setelah mereka semua bersiap, berangkatlah Sigit bersama Anak dan istrinya menuju rumah Pakde Turah. Terlihat raut gelisah di wajah Sigit dalam perjalanan menggunakan mobil itu.
Sari sang istri yang sebenarnya penasaran memutuskan untuk diam dan tak banyak bertanya kepada suaminya itu. Hingga sampailah mereka di depan Rumah Pakde Turah, tampak Seno (anak pakde Turah)--
--Menyambut di depan rumah dengan riang, Seno yg mempunyai keterbelakangan mental itu seperti tau kalau sepupunya itu akan datang. Dengan tergopoh-gopoh dan bicaranya yang agak sulit, Seno merangkul Sigit dan Sari masuk menuju rumahnya. Menuntunnya langsung ke kamar Pakde Turah.
“Eh rene mlebu, iki lho Pakde wes nunggu kowe”.
(Eh, Sini masuk, iki lho Pakde wes nunggu kowe). Ucap Bude Yati (istri Pakde Turah) yang baru selesai menyuapi suaminya itu.

Segera Bude Yati, mendekati Sari, dan meraih Gugat dari gendongan istri Sigit itu.
“Eh putuku sing bagus dewe, ndi mbahne ki tak nggendong”.
(Eh cucuku yang paling Ganteng, mana nenek ini mau gendong). Ucap Bude Yati seraya mengajak Sari untuk keluar dari kamar dan membiarkan Sigit dan Pakde Turah berbicara empat mata.
Di kamar, berbincanglah mereka berdua, Sigit tentu langsung menceritakan kejadian yang ia alami semalam dengan cukup rinci dan detil, Pakde Turah yang mendengar itu hanya tersenyum dan berkata.

“Iki wes mangsane!!!”.
(Ini sudah saatnya!!). Ucapnya dengan penuh harapan.
Kurang lebihnya, kata pakde Turah adalah, Saat-Saat ini merupakan waktu yang tepat untuk membakar popok wewe itu, Memutus tali persekutuan ini.
“Ojo sengit karo bapakmu, bapakmu kae sejatine wong apik, kae mung kejebak ning perjanjian sing ra jelas iki!!, bapakmu wes cukup kesikso uripe kudu dipisah karo kowe welasan tahun!!! Kowe kudu ikhlas. Wani!!! Temonono wewe gombel kui!! Obongo ning ngarepe!!”.
(Jangan benci ayahmu, ayahmu itu sebenarnya orang baik, dia hanya terjebak dalam perjanjian yang tidak jelas ini!! Ayahmu juga sudah cukup menderita hidupnya harus di pisahkan denganmu belasan tahun, kamu harus ikhlas!!! Berani!! --
--Temuilah wewe gombel itu!! Dan bakarlah di depannya). Ucap pakde Turah kepada Sigit yang kini mulai tampak menitihkan air mata.

Perbincangan pun berlanjut dengan Pakde Turah yang kini mulai semakin terbuka. Jadi memang benar dulu Almarhum Pak Minto (ayah Sigit)--
-- menikah dengan Wewe Gombel itu untuk melancarkan usahanya dan mendapatkan keturunan. Tapi harusnya itu sudah berakhir karena Pak Minto sudah menceraikan istri JIN nya itu secara ritual ketika Sigit masih kecil dan berada di Bantul.
Usahanya pun sempat bangkrut habis, dan Pak Minto memulainya kembali dari Nol tanpa sepengetahuan keluarga Bu Soekarti (istri Pak Minto). Menurut Pakde Turah ini sudah berakhir, tapi ternyata belum, Karena sang wewe gombel itu kini malah mengincar Gugat.
Berarti Sigit anak Jin?? Tentu itu pertanyaan Sigit ketika mendengar persekutuan ini salah satu alasannya adalah untuk meminta keturunan. Pertanyaan itu langsung di bantah oleh Pakde Turah, karena beliau dan istrinyalah yang tau, dan mengiringi di masa-masa itu.
Pakde Turah juga yang mengantar adiknya (Pak Minto) dan istrinya (Bu Soekarti) untuk periksa ke dokter kandungan. Dan keadaannya juga baik-baik saja, Pak Minto dan Istrinya tak mandul atau apapun. & kelahiran Sigit adalah hasil dari Progam kehamilan yang di sarankan oleh dokter.
“Setan kui akeh ndobose!!!”.
(Setan itu penuh tipu daya!!). Ucap Pakde Turah.

Pada intinya, Pakde Turah seperti menuntun Sigit untuk tak menyalahkan siapapun dalam masalah ini. Singkat waktu pembicaraan pun terhenti oleh tangisan Gugat.

Bersambung - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Kita lanjut nanti agak malem ya..
Sigit yang mendengar itu tentu langsung berlari riang menghampiri anaknya yang tengah di gendong oleh bude Yati itu. Betapa bahagianya, setidaknya kini Gugat sudah menunjukan ekspresi.
Namun ternyata itu tetap saja bercampur kekhawatiran karena kini dengan tiba-tiba saja timbul lebam-lebam yang membiru di sekujur tubuh Gugat. Sari yang sedari tadi bersama bude Yati tentu tampak kebingungan, melihat anaknya itu.
Dan bude Yati pun berkata

“Wengi iki, Kowe karo Gugat, turu kene sek, ben Sigit sing bali ngomah”.
(malam ini, Kamu dan Gugat tidur sini dulu saja, biar Sigit saja yg pulang ke rumah). Kata bude Yati kepada Sari dengan tenang seraya terus menimang Gugat yang masih menangis.
“Niki tingnopo Bude?”.
(Ini kenapa Bude?). Ucap Sigit yang mempertanyakan keadaan anaknya itu.
“Wes, rapopo, saiki kowe ndang nyambut gawe, terus nek bali ning omah, ojo lali pesene pakde!!, bojomu karo anakmu ben turu kene disik!!”.
(Sudah!!! Tidak apa-apa!!, kamu segera berangkat kerja saja, terus nanti kalau kamu sudah pulang kerumah, jangan lupa Pesan pakde!!, istri dan anakmu biar tidur sini dulu saja). Kata Bude Yati kepada Sigit.
Singkat cerita pulang lah Sigit dari rumah Pakdenya itu dan langsung berangkat menuju Tokonya. Meskipun seperti masih ada yang mengganjal dan ragu di hatinya tapi setidaknya kini Sigit tahu apa yang harus ia lakukan.
Sesampainya di Pasar, Sigit yang tadinya ingin menceritakan ini kepada Margono, ternyata tak sempat karena ramainya pembeli di Toko sembakonya itu. Pelanggan demi pelanggan silih berganti berdatangan hampir tanpa jeda, hingga tak terasa sore haripun tiba.
Pulang lah Sigit, bersama Margono yg mengendarai Motor di belakang Mobil Sigit. Dan Sampailah mereka di Rumah. Singkat waktu setelah mandi dan lain-lain. Sehabis Maghrib tampak Sigit yang tengah menyesap rokok di pekarangan belakang Rumah,--
-- Memandangi Gundukan kecil bekas Pohon Sawo yang tadi sempat di ceritakan oleh Pakde Turah.

Tak selang beberapa lama Margono datang dengan membawa dua gelas kopi manis. Merekapun duduk berdua, Mengobrol basa-basi tentang pekerjaannya tadi--
--hingga Sigit memulai topik itu!!! Ya tentang Wewe Gombel itu!!.

“Njenengan wantun, Mas?”.
(Kamu berani mas?). Ucap Margono setelah mendengar Sigit ingin menemui Wewe Gombel itu.
“Yo gelem ra gelem kudu wani mas, wes kepepet”.
(ya mau tak mau harus berani mas, sudah kepepet). Ungkap Sigit Seraya menyuruh Margono agar malam ini tak keluar dari kamarnya walau nanti ia akan mendengar sesuatu.
Margono hanya mengangguk, antara yakin tak yakin, percaya dan tidak percaya, namun inilah yang tengah di alami oleh juragannya itu. Mereka pun terus mengobrol, Margono yang takut mencoba untuk mengalihkannya ke topik yang lain dengan menanyakan keberadaan Sari dan Gugat,--
-- namun percuma, karena pada akhirnya topik pembicaraan itu selalu berujung kepada wewe gombel itu. Mereka masih tak beranjak dari pekarangan belakang rumah itu hingga waktu yang sudah semakin malam, Sigit pun masuk ke dalam rumahnya dan menyuruh Margono untuk beristirahat.
“ojo metu-metu seko kamar yo mas!!”.
(jangan keluar-keluar dari kamar ya Mas). Ucap Sigit kepada Margono.
“Nggih Mas!!”.

(iya Mas, siap!!). Jawab Margono seraya berjalan masuk menuju kamarnya.
Setelah sejenak merebah di ranjangnya, Sigit kembali keluar dan duduk di ruang tamu, wajahnya tampak resah dan gelisah, jujur dalam hati ia sangat takut bila harus bertemu dengan wewe gombel itu. Namun rasa itu terpaksa harus disingkirkan ketika ia mengingat Gugat anaknya.
“Asuuuu!!!! Aku kudu wani!!!”
(Anjinglah!!! Aku harus berani!!). Katanya sambil meremas kain popok yang kini sudah berada di genggamannya itu.
Tangannya yang gemetar, jelas memperlihatkan ketakutannya.
Namun ini harus ia hadapi. Sesuai arahan dari Pakde Turah, Sigit mulai menggelar tikar di ruang tamunya itu, tepatnya di depan Pintu utama rumahnya. Ia mulai merebah dengan kain popok di genggaman tangannya.
Matanya terpejam bersamaan dengan batinnya yang mengucap mantra yang di ajarkan oleh pakde Turah secara berulang-ulang.

“Aku saringan memedhi, arupaning sejatimu Wewe Gombel, metuo ayo pangandikan”.
Entah berapa lama Sigit terpejam dan membaca mantra itu, yang jelas ia rasakan, kini suasana menjadi berbeda, udara dingin dan bau busuk mulai menerpa tubuhnya dan menusuk indera penciumannya.
Suara ciak anak ayam juga sudah terdengar, seperti berpindah-pindah dari sudut ke sudut ruang tamu itu. Kini Sigit membuka matanya sesuai arahan pakde Turah, ia berdiri dan mengambil mangkuk kecil yang ia sembunyikan di balik bajunya.
Sigit mulai membakar kemenyan seukuran jari kelingking yang sudah ia siapkan. Tangannya tentu gemetar menahan ketakutan ini, diiringi oleh suara ciak ayam yang semakin tak beraturan.
Sigit tetap mencoba untuk teguh, dan terus menyelesaikan setiap prosesinya. Hingga ketika kemenyan habis terbakar. Ada sesuatu yang mengejutkannya. Yaitu sepasang tangan besar yang tiba-tiba menutupi wajahnya. Ya!!! Tak salah lagi, wewe gombel itu!!!.
Sigit hanya terdiam, mencoba tenang dengan tidak melakukan banyak gerakan. Tangan itu mulai menggerayangi wajahnya seraya berkata dengan membisik. Image
“Gittt... Sigit!!! Anakku!!! Piye wes lilo anakmu tak gowo!!! Hihihihihi!!”
(Gitt.. Sigit!! Anakku, bagaimana, sudah relakah anakmu aku bawa!! Hihihihi). Suara itu muncul tepat di samping telinga Sigit.
Sejenak suasana menjadi hening. Sigit juga tak lagi merasakan ada yang menggerayangi wajahnya lagi. Namun kini terdengar suara langkah kaki yang di seret, seperti berjalan mengelilinginya, Sigit sama sekali tak berani membuka matanya.
Dengan gemetar ia mengacungkan Kain dan korek api yang ia gengam di masing-masing tangannya. Dengan gugup dan terbata-bata Sigit pun berkata.

“Ora iso!!!!! Anakku yo tetep anakku!! Kowe raiso njupuk!!! Saiki adepono aku!!!”.
(Tidak bisa!!!! Anakku adalah anakku!!!, kamu tidak bisa mengambilnya!! Sekarang hadapilah aku!!). Ucap Sigit sambil perlahan ia membuka matanya.

Dan sosok wewe gombel itu kini sudah berada di depannya, memandang Sigit sambil membuka mulutnya.
Dan bersamaan dengan itu. Muncul juga dengan perlahan sebuah kepala bermuka tua dari dada si wewe gombel itu.

Sigit hanya terdiam, & tetap mencoba teguh . Dinyalakanlah korek api yang ia genggam. Ia dekatkan ke kain popok itu. Sedikit demi sedikit Sigit mulai membakar popok itu. Image
Bersamaan dengan sosok wewe gombel itu yang kini menangis meraung, mengamuk, mengobrak-abrik seluruh ruangan namun tak berani menyentuh Sigit.

“Tego yo kowe karo mbokmu!!!”.
(tega ya kamu dengan ibumu!!!). --
--Teriak Sosok wewe Gombel itu, untuk terakhir kalinya, sebelum ia berlari melesat keluar dan menghilang.

Kain popok itu sudah terbakar setengahnya, menyisakan sedikit bagian yang sepertinya sulit untuk Sigit bakar.
Perasaanya kini sudah bercampur aduk, Sigit pun berteriak, memanggil Margono yang beberapa saat kemudian datang.
Dan bersamaan dengan datangnya Margono, Sigit yang sempat berdiri pun tiba-tiba terhuyung jatuh ke lantai dengan hidung yang berdarah.
Margono yang panik langsung menyeret majikannya itu menjauh dari ruang tamu yang sudah tampak porak-poranda. Berulang kali Margono menepuk-nepuk pipi majikannya itu untuk menyadarkannya, hingga adzan subuh berkumandang, barulah Sigit terbatuk, memuntahkan cairan hitam.
Di papahnya Sigit oleh Margono menuju kamarnya.

Sementara itu, bersamaan dengan ini, di rumah Pakde Turah, Gugat terbangun dari tidurnya, menangis keras, Sari Sigap memberikannya Asi, Bude Yati yang mendengar tangisan Gugat, buru-buru memeriksa.
Dan ia pun tersenyum dan berkata.

“Selamat datang kembali ke dunia cah bagus”.

Bude Yati meraih Gugat yang sudah terlepas dari Asi ibunya. Ia menimang Gugat, dan setelah sekian lama, untuk pertama kalinya Gugat kembali bisa tertawa.
Eh, wes iso ngguya-ngguyu yo saiki.. Uluh..uluh”.
(Eh, sudah bisa ketawa ya sekarang, uluh..uluhh). Timang Bude Yati yang segera di hampiri oleh Sari.

Melihat itu, mata Sari berkaca-kaca, ia terharu bahagia melihat perubahan anaknya itu.
Tak selang beberapa lama, Sigit datang bersama dengan Margono, wajahnya yang kusut seketika berubah menjadi gembira ketika dari luar rumah Pakde Turah, Sigit mendengar Suara bayi tertawa.
Seno sepupunya juga tampak berlari menghampiri Sigit dan memeluknya. Meski dengan bahasa yang sulit dimengerti Sigit tau, bahwa Seno ikut bahagia atas semua ini. Atas kemenangan Sigit melawan wewe gombel itu.

-----------
Waktu pun berlalu, tahun berganti, Gugat tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya, Pintar, riang dan sedikit nakal. Hingga cerita ini di tulis, Gugat sudah tumbuh dewasa, kurang lebih berusia 25 tahun, --
-- ia baru saja lulus dari kuliahnya di salah satu universitas negeri di Semarang dan tengah menata hidupnya ke depan. Begitu juga dengan Sigit yang sampai sekarang masih menjalankan usahanya berjualan Sembako di Pasar.
Gugat yg awalnya tak tahu tentang cerita itu, akhirnya diberitahu, hampir bersamaan dgn di tulisnya cerita ini. Respon awalnya mungkin sedikit syok, namun Gugat tak berubah, ia tetap bangga menyandang marga Djayusman. --
-- Marga dari kakeknya yg tak pernah ia temui seumur hidupnya. Yaitu kakek Minto Djayusman.

Tamat - karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Terimakasih sudah mengikuti cerita ini hingga akhir, apa bila ada salah kata mohon dimaafkan, semoga ada hal baik yang bisa kita petik dari cerita ini, sekian cerita dari ini saya bawakan dengan sederhana, sampai jumpa kapan-kapan.. 🙏
Jangan lupa dukung saya di @karyakarsa_id karyakarsa.com/AgilRSapoetra biar saya lebih semangat buat nulis cerita..

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with gil

gil Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @AgilRSapoetra

Mar 22
GUMBOLO PATI #11

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Bagian sebelumnya di @X :

Selanjutnya di @karyakarsa_id :
11.

12.

13. (Tamat) - ongoing.

*****

GUMBOLO PATI #11

Tiga hari berlalu sudah, sejak ‘Bedhong Mayit’ itu di ambil kembali dari almarhum Pak-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-Broto. & sudah selama tiga hari ini pula Pak Dirja hampir dibuat putus asa, karena teror dari jin kafan yg semakin mengerikan saja.

Bagaimana tidak, semalam ada kejadian yg hampir saja mencelakai Darwis. Cucu mendiang Mbah Gajul atau anak Pak Dirja itu hampir menelungkupkan ke-
Read 71 tweets
Mar 15
GUMBOLO PATI #10

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu. @bacahorror @IDN_Horor @menghorror @ceritaht #bacahorror Image
Part sebelumnya #9

On @karyakarsa_id

10.
11.
12.
13 -Tamat. (On going)

“GUMBOLO PATI” #10.

Sore ini, sekira pukul 16.00.
Tampak Pak Dirja & Darwis sudah berada di dekat mulut-
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
-terminal, di dalam mobil pinjaman dari kantornya, mereka menunggu Pak Sukoco untuk melayat ke tempat Pak Broto.

Sekira 5 menit menunggu, Pak Sukoco pun muncul, dengan pakaian rapinya, ia langsung masuk ke dalam mobil, dan mengajak untuk segera berangkat.

“Ayo berangkat”. Ka-
Read 74 tweets
Feb 23
GUMBOLO PATI #7

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu.

@bacahorror @IDN_Horor @menghorror #bacahorror #menghorror #Idnhorror Image
10.
11.
12.

GUMBOLO PATI #7

Pak Dirja dan Darwis pun baru sampai di huniannya sekira pukul 23.30 malam, ini tentu teramat tak masuk akal, karena dibutuhkan waktu hampir 11 jam untuk mereka sampai di-karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Read 66 tweets
Feb 9
GUMBOLO PATI #4

Bedhong Mayit 2

"Terlambat, kita sudah terlanjur terikat, ku ucapkan selamat datang wahai inangku sekarang, akulah 'GUMBOLO PATI', Sang Gembala Kematian penjaga 'Kain Rombeng' itu.

@bacahorror @IDN_Horor @menghorror #bacahorror #menghorror #Idnhorror Image
9.
10.
11.

GUMBOLO PATI #6

Adzan subuh sudah berkumandang sekira tiga puluh menit yg lalu, namun Pak Dirja & Darwis, masih dalam keadaan yg sama, saling diam, dengan mata terjaga, bahkan dari semalam, ham-karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
karyakarsa.com/AgilRSapoetra/…
Read 77 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(