Pusara Waktu Profile picture
Jun 17, 2022 641 tweets >60 min read Read on X
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA

- HOROR THREAD -

Sebuah kisah kelam berdasarkan kejadian nyata. Terjadi di tahun 80an, bahkan sampai sekarang.

@menghorror @issssss___ @autojerit @Penikmathorror @ceritaht @IDN_Horor @bacahorror

#bacahoror #penikmathoror #horor #KISAHNYATA Image
DILARANG KERAS MEMBAGKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN DI LUAR TWITTER, TANPA SE-IZIN PENULIS!
Hola PWers~
Sambil menunggu rame, boleh minta retweet dan likenya dulu?

Terima kasih :)
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
Bab 1 : Rantau

"Po wes mantep tenan, Das?" (Apa sudah mantap benar, Das?)

Pertanyaan itu sejenak membuat Dasio, lelaki berusia 40-an menunduk. Ada keraguan yang terbersit dibenaknya antara mengiyakan, atau menjawab belum.
Tetapi ketika pikirannya mendalami jauh pada keadaan diri dan keluarganya, anggukkan pelan tersulur penuh keyakinan.

Sang lelaki sepuh yang tak lain adalah orang tuanya, hanya mampu menarik napas dalam-dalam.
Berat baginya melepas anak lelaki satu-satunya di rumah itu, namun dirinya sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa, lantaran keadaan ekonomi keluarga yang sedang sulit.

Sebenarnya tak hanya keluarga Dasio saja yang tergolong hidup dalam keadaan susah.
Hampir separuh lebih, warga Dukuh Tempel berada di bawah garis kemiskinan, yang memungkinkan tawaran untuk bekerja di luar dengan upah yang lumayan, tak mereka sia-siakan.
"Bapak mek pesen, ojo sembrono nang paran. Ojo gawe olo, ojo gawe pitung seng ora pas." (Bapak cuma pesan, jangan sembarangan di perantauan. Jangan buat keburukan, jangan buat perkara yang tidak sesuai.)
"Manuto tatanan seng ono gon paran kui. Mergo bedo panggonan, bedo coro adate." (Ikuti aturan yang ada di tempat itu. Karena beda wilayah, beda cara adatnya.) sambung lelaki sepuh bersuara datar.
Kalimat-kalimat pesan terkandung makna, Dasio resapi dengan seksama. Semangatnya tersulut menggebu, manakala pikirannya melambung kembali, merasai susahnya menghidupi keluarga, dengan kondisi alam yang tak bersahabat, terkhusus di desanya itu.
Keheningan sebentar menjalar di ruangan tak lebih dari tiga meter persegi. Beralaskan tanah tak rata, menjadi penyangga dua kursi panjang dari potongan dan anyaman bambu serta sebuah meja persegi panjang dari papan setinggi perut orang dewasa.
Di ruangan itu, tempat di mana biasa berkumpul seluruh keluarga Dasio menikmati pencahayaan remang dari lampu dimar berbantu minyak tanah, bersumbu sobekan kain bekas,
menjadi saksi terakhir Dasio berbincang dengan Mbah Tomo tanpa ditemani Parti juga Darmono, istri dan anak Dasio yang merasa berat melepas kepergiannya untuk pergi merantau ke tempat yang bisa terbilang jauh.
Sampai akhirnya, mau tidak mau, rela atau keberatan, pagi itu mereka tetap melepas kepergian seorang anak, suami, dan bapak untuk pergi bersama tujuh orang lainnya, berniat untuk mencari penghasilan yang lebih baik di daerah lain nan jauh.
Iringan isak tangis dan jeritan dari anak-anak mereka, menghantar suasana haru di sebuah persimpangan jalan aspal besar lintas antar provinsi. Lambaian tangan dan doa, sesaat mewarnai tempat itu, sebelum sebuah bus panjang merangkak pelan,
pergi melaju meninggalkan Dukuh Tempel menuju ke arah barat, ke tempat di mana bakal menjadi sebuah sejarah kelam nan panjang bagi mereka, sampai kepada anak, bahkan cucu keturunannya.
Antara sedih dan bahagia, tersirat pada masing-masing wajah tujuh orang lelaki, termasuk Dasio di dalam bus. Mereka terdiam, menatapi tepian jalan yang dilewati, terhanyut dalam pikirannya masing-masing.
Tak berapa lama, sekira perjalanan setengah jam, bus berhenti di sebuah toko pinggir jalan. Menghampiri seorang lelaki berperawakan tinggi kurus, berkulit bersih dengan setelan kemeja lengan panjang. Sanusi, Dasio dan teman-temannya memanggil.
Orang yang bakal membawa mereka dan juga menjanjikan pekerjaan dengan upah yang lumayan.

Saling sapa sembari mengecek jumlah orang yang ia bawa, dilakukan oleh Sanusi ketika baru masuk ke dalam bus. Lalu duduk di kursi tepat di sebelah Dasio, kala merasa semuanya telah sesuai.
Obrolan-obrolan ringan menemani perjalanan jauh mereka. Selingan canda tawa, terkadang meramaikan dalam bus, mencerminkan suasana keakraban dari semua penumpang. Sebab perjalanan kali ini bagi mereka adalah sebuah pengalaman pertama.
Bukan saja karena jarak tempuhnya yang menjadi alasan, tetapi juga tempat calon mereka bekerja, menjadi bayang harapan untuk kehidupan layak, masa depan lebih baik bagi keluarga.
Tak tanggung-tanggung, dua hari dua malam mereka lalui di dalam bus, dan hanya diselingi kurang lebih empat jam, saat harus menyebrangi lautan.
Beruntung mereka sampai di tujuan, saat waktu malam menjelang. Membuat mereka langsung bisa mengistirahatkan lelahnya tubuh, menata tenaga dan pikiran untuk bersiap menghadapi hari esok yang panjang penuh perjuangan.
Cahaya penerang sekitar yang menyusup di sela kain tebal pelindung barak, menjadi penghantar awal hari, bagi Dasio dan rekan-rekannya di salahsatu pulau besar wilayah Indonesia.
Udara segar segera terhirup, takkala mereka terbangun dan keluar dari barak panggung yang menjadi pengganti rumah mereka.

Sedikit ramai suasana pagi oleh suara deru-deru mesin alat berat yang tengah dipanaskan operator masing-masing.
Ada ketakjuban terpintas di mata Dasio, melihat luas dan besarnya sebuah lahan yang bakal dibangun oleh mereka. Apalagi saat matanya teredar di sebelah pancang-pancang kayu setinggi lebih lima meter,
hamparan air tenang berwarna jernih kehijauan, seluas matanya memandang seolah tak berujung.

Decak kekaguman tak luput dari rekan-rekan sekampungnya yang ikut memikmati suasana pagi itu.
Mereka seakan mulai menghitung, akan berapa lama mereka bekerja, akan berapa lama semuanya bisa selesai.

Langkah-langkah ringan Dasio kemudian menyusur tanggul selebar empat meteran menuju sebrang, mendekati sebelas pancang kayu bulat tertancap kokoh berjejer.
Sesekali Dasio melihat ke arah bawah, memperkirakan kedalaman sungai yang akan disekat beton, dibendung dengan jembatan bermaterial besi-besi sebesar lengan.
Ada kengerian saat itu dirasa oleh batinnya, melihat sebelas lubang bulat yang terbuka menganga, dalam dan lebar yang bakal menjadi tombak awal pondasi.
Dan dari ke sebelas lubang itu, salah satunya membuat mata Dasio lama menatap. Lubang yang terletak paling tengah, terlihat kering namun tertutup sebuah kain hitam.

Selagi menerka-nerka dalam pikirannya, perhatian Dasio kemudian teralih menuju satu sosok lelaki berambut sebahu,
berpakaian dombor setelan warna hitam, berjanggut tebal, selaras dengan ikat kepala batik mengglambir ke belakang yang mengikuti juntaian rambut panjangnya yang terlihat kusam.
Lelaki yang ia tebak berumur kurang lebih enam puluhan itu, muncul dari balik pondok kecil, bersampingan dengan rumpunan bambu memblukar lebat.
Meski sedikit jauh di sebrang tempatnya berdiri, tetapi suasana pagi yang cerah, membuat mata Dasio begitu jelas melihat jika sosok berwajah hitam berjalan ke arahnya dengan tentengan satu bungkusan di tangan kanan.
Semakin dekat, Dasio merasa jantungnya terpacu, kala sosok lelaki berwajah sangar itu menatapnya datar tanpa sunggingan senyum. Apalagi aroma kemenyan seketika ikut menebar pekat,
berasal dari gumpalan asap rokok gulung terapit jari lelaki itu, semakin membuat Dasio terhenyak kaku.

"Kamu pekerja yang baru datang?" tanya lelaki itu, sambil terus matanya tertuju pada Dasio.

"Iya, Pak." jawab Dasio, gugup.
"Berapa orang temanmu?" tanya kembali lelaki itu seraya mengalihkan pandangan, ke arah barak yang ditempati oleh Dasio, seolah ingin menghitung langsung.

"Kami bertujuh, Pak." jawab Dasio pelan.
"Berani Kalian datang jauh-jauh berjumlah ganjil." sahut lelaki itu, kembali menyorot ke Dasio yang kali ini beriring senyum kecil seperti sebuah sinisan.

"Saya dan teman memang bertujuh satu kampung, maksudnya. Tetapi jadi delapan dengan Pak...."
"Sanusi." potong lelaki itu sembari menggeleng pelan dan sunggingan sinis yang terlihat semakin melebar.

Dasio terheran. Dia merasa aneh dan sangat aneh, ketika ia melihat dengan seksama raut wajah serta senyum Lelaki itu.
Ia masih terus menatapi punggung lelaki yang telah berbalik, melangkah meninggalkannya.
Satu, dua menit Dasio masih terpaku. Semakin dibuat penasaran kala sang lelaki tua itu menapak turun, menyusuri lokasi pancang menuju ke arah salah satu lubang bulat bakal calon pondasi.
Namun keinginannya untuk melihat langsung, urung. Ia harus berbalik dan pergi dari tempat itu, ketika satu teriakan dari Kisman, teman sekampungnya terdengar memanggil.
Ia pun segera melangkah buru-buru saat tahu tak hanya Kisman, tetapi juga Sanusi, orang yang membawanya, seperti sedang menunggu di dalam barak.

"Ndelok i opo, Das?" (Lihatin apa, Das?) tanya Sanusi seraya menerima uluran tangan Dasio guna bersalaman.
"Iku lho, calon bendungane, gedine eram...." (Itu lho, calon bendungannya, besarnya minta ampun....) sahut Dasio diselingi decak kekaguman.
"Yo kui seng arep tak omongke karo koe, Das. Koe sak rombongan, iku tugase ngenam wesi sekalian ngecore. Kiro-kiro sanggup ora ditarget?" (Ya itu yang mau saya bicarakan sama kamu, Das. Kamu serombongan, itu tugasnya merangkai besi sekaligus ngecornya.
Kira-kira sanggup tidak kalau ditarget?) ucap Sanusi sedikit memberi penjelasan.

Sebelum menjawab, Dasio memanggil ke enam teman sekampungnya. Lalu berunding sebentar, kemudian menyanggupi dengan satu syarat boleh bekerja lembur.
Hal itu justru disambut senyum lebar oleh Sanusi. Merasa puas dan tak salah memilih pekerja, sebab mendengar semangat mereka yang begitu menggebu.
Hari itu Dasio beserta rombongan belum memulai pekerjaan. Mereka yang memilih memasak sendiri untuk bekal daripada membeli di kantin proyek, terpaksa harus mengalah mencari peralatan dan kebutuhan di sebuah pasar yang letaknya tak kurang dari delapan kiloan meter.
Lepas petang di hari kedua, tepatnya setelah makan malam bersama dengan lauk seadanya, mereka mulai membagi tugas untuk awal pekerjaan mereka di esok hari.
Gurauan sesekali tersempil dari obrolan mereka, terlebih ketika satu perjanjian menguntungkan disampaikan Dasio yang ia dapat dari Sanusi, menggurat gemuruh semangat dari tiap-tiap wajah yang ada di dalam barak panggung.
Masuk pada suasana alam yang semakin gelap memekat, satu persatu memilih merebahkan tubuh, dan hanya tinggal Dasio yang ditemani oleh Kisman. Keduanya masih terlibat obrolan serius seputar pekerjaan.
Menggantungkan harapan khususnya Kisman, yang berencana bakal menikahkan putri sulungnya.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, akhirnya keduanya mengakhiri obrolan dan memilih menyusul untuk istirahat.
Namun Dasio, meski tubuhnya sudah terlentang, tetapi matanya seolah enggan terpejam.

Bayangan sosok lelaki berpakaian hitam dan sebuah lobang bertutup kain hitam menjadi ganjalan puluhan pertanyaan dalam benaknya.
Ada perasaan tak enak saat pikirannya menelusur hingga sampai pada hal-hal yang di luar nalar.

"Byyuuuurr ... Byyuuurrr ... Byuurrr...."
Seketika Dasio terjingkat, mendengar deburan berombak begitu jelas dari arah Sungai. Sejenak ia melirik ke arah kiri, di mana semua rekannya sudah terlelap pulas.
Sekali dua kali hingga beberapa kali suara itu berulang. Membuat Dasio seperti tak sadar bangkit dan beranjak keluar dari barak.

Gelap dan sunyi ia dapatkan ketika kakinya sudah berpijak di tanah luar barak.
Hanya terlihat kerlipan cahaya lampu jenset di gudang, yang letaknya berdekatan dengan kantin proyek.

Sebentar ia terus berdiri mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu memutuskan kembali masuk, saat tak menemukan hal aneh apapun.
Namun baru saja Dasio naik, kibasan cahaya lampu semprong teplok yang tergantung di tiang besi tengah-tengah barak, tetiba saja mengagetkan dirinya. Sebab jelas kala itu tak ada angin meniup, apalagi cahaya merah dari lampu, terlindungi kaca bulat menguncup ke atas.
Sesaat ia menangguhkan tubuhnya yang akan kembali merebah. Bukan saja hanya goyangan cahaya lampu tak wajar Dasio rasakan, tetapi juga satu aroma pekat, khas, yang sering disebut di kampungnya, GONDORIYO....
Bersambung....

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab I ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa ya, temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Kita lanjut ya temen2....
(*red: Gondoriyo adalah bau khas yang biasa dikeluarkan oleh mayit. Di kampung Dasio, disebut dengan Gondoriyo.)

Aroma anyir sedikit wangi sengak itu masih terus mengganggu penciuman Dasio. Sampai memasuki waktu pertengahan malam, baru lah perlahan memudar dan hilang.
Pagi kedua, semangat tinggi dan harapan yang besar menjadi lecutan Dasio dan ke enam temannya untuk menyongsong. Diawali dengan mengisi perut hasil buah tangan bersama, mereka memulai pekerjaan yang sudah ditentukan oleh Sanusi.
Bermodal dari kebiasaan bekerja berat di kampung, tak membuat mereka kesulitan. Satu persatu tahu dan cekatan dalam bagian masing-masing.
Peluh, lelah, panas tak menjadi pengahalang. Tekun dan serius menjadikan satu hari awal mereka bekerja, sudah terlihat oleh mata hasil yang membuat beberapa pengawas termasuk Sanusi, sang pemborong, tersenyum puas.
Tetapi lain perasaan yang menyumbat Dasio kala malam mulai menjelang. Senyumnya memudar manakala aroma anyir disertai wangi antara kamboja dan kapur barus beradu, lagi-lagi menyusup. Ia terdiam dalam sela tawa rekan-rekannya.
Benaknya diselimuti tanda tanya besar, mengapa bau Gondorio selalu hadir menjelang malam.
Puluhan menit Dasio hanya menyimak obrolan teman-temannya. Telinga mendengar, tetapi batin dan pikirannya terus menyelam ke alam angan-angan.

Berasa ingin membuang hajat kecil, menjadi alasan bagi Dasio untuk pergi ke belakang.
Di mana letak barak bagian ujung menyamping ke sisi kiri sungai dan sebelah pancang pilar calon bendungan.
Sebentar menuntaskan hajatnya, Dasio kembali ingin masuk, namun belum sempat mendekat ambang pintu barak, langkah Dasio dihentikan rasa kaget oleh satu bayangan hitam di area tanggul.
Dasio kemudian menatapi sebentar. Bola matanya mengikuti gerakan bayangan itu, sebelum memutuskan mendekat untuk memastikan siapa dan mau melakukan apa bayangan itu.

Setapak demi setapak langkah Dasio menyusur ke arah tanggul.
Sedikit mulai jelas matanya melihat, jika bayangan itu adalah sesosok lelaki berjubah hitam, berambut panjang di bawah bahu.

Semakin mendekat, tak hanya aroma Gondorio yang menyusup hidung Dasio, tapi juga aroma kemenyan sangat tajam menusuk, merasuk hingga rongga dadanya.
Lurus di pancang ketiga dari tanggul, Dasio berhenti. Ia terdiam dalam rasa tegang, ketika sosok itu turun ke dalam kerukan sungai menuju pancang tengah yang tertutup lembaran kain hitam.
Sorot remang dari cahaya lampu gudang dan kantin, sedikit membantu mata Dasio untuk bebas mengamati langkah-langkah dari sosok itu yang terhenti di tepian lubang bulat berpancang besi melingkar.
Detik demi detik dilalui oleh Dasio dengan terus mengawasi ke arah bawah. Di mana sosok itu hanya terlihat duduk, diam, tanpa melakukan apapun.
Sampai masuk pada hitungan sekitar sepuluh menitan, dari arah ujung tanggul bagian seberang, Dasio dikejutkan oleh beberapa langkah kaki bersepatu boat.
Dasio kemudian sedikit menundukkan tubuhnya untuk menghindari penglihatan tiga bayangan yang baru saja muncul, sembari tak melewatkan gerak langkah mereka menuju ke arah yang sama, pada sosok lelaki yang masih duduk bersila di lubang pancang bagian tengah.
Lagi-lagi aroma baru hadir menambah ketegangan Dasio, tak hanya anyir dan wewangian sakral, kini bau amis darah pun ikut masuk menyesak hidungnya saat tiga sosok lelaki-lelaki dewasa itu sampai dan berdiri di belakang lelaki berambut panjang,
seraya meletakkan tiga bungkusan besar kain hitam di tanah uruk.

Beberapa kali Dasio memasang telinga tajam-tajam agar bisa mendengar percakapan antara tiga sosok lelaki yang baru saja datang dengan sosok lelaki berambut panjang.
Namun tak sedikit pun bisa tertangkap telinga, hanya gerak bibir yang terkadang bersungging senyum aneh, tampak oleh Dasio.

Sampai pada ketika tangan lelaki berjubah hitam itu menunjuk, memerintahkan untuk membuka bungkusan pada tiga lelaki seumuran, mata Dasio terbelalak.
Keringat mengucur deras, menahan rasa terkejut berujung takut, melihat isi dalam bungkusan.

Tak hanya satu, tetapi ada beberapa potongan kepala terdapat di tiga bungkusan. Semuanya masih berlumur darah dengan kondisi mata melotot dengan lidah yang menjulur.
Hampir saja tubuh Dasio terjatuh di atas tanah tanggul. Namun tertahan akan sisa kesadarannya, yang menuntut untuk tetap kuat dalam diam.
Sepintas mata Dasio masih melihat bila potongan kepala-kepala itu di jatuhkan ke dalam lubang pancang yang sudah dibuka penutup lambaran kain hitamnya. Sedikit terlihat lebih dalam dibanding lubang lainnya, juga terlihat banyak taburan aneka bunga.
Kemudian merasa tak mampu lagi, Dasio memilih untuk mundur perlahan. Menahan jejaknya agar tak terdengar, menghindari hal yang sempat tergambar kengerian di benaknya.
Sejarak jauh lima meteran dari tanggul, Dasio terduduk lemah. Jiwa takutnya meronta, kepanikannya menyusup cepat, memikirkan semua yang baru saja ia lihat.

Selagi terpekur dalam pikiran bercampur aduk di gelapnya suasana malam lahan uruk yang sudah padat,
samar telinganya mendengar suara tawa dari arah barak.
Terhitung sekira dua ratusan meter dari tempatnya, suara itu semakin keras terbawa sepoinya angin juga keheningan malam. Dari itu pula, Dasio mengenali semuanya.
Buru-buru ia beranjak dan melangkah sedikit cepat menuju ke arah barak. Ingin saat itu ia langsung membuka suara, menceritakan yang telah dirinya lihat, kala sudah selangkah masuk ke dalam barak.
Tetapi cepat tertahan, saat tatapan salah satu orang yang duduk di tepian paling pinggir panggung barak, Sanusi, seperti memberi kunci pada mulutnya.

"Seko ndi sampeyan, Kang?" (Dari mana sampeyan, Kang?) tanya Kisman heran, mendahului lainnya.
Terlihat gugup Dasio mendengarnya. Sebentar melirik ke arah Sanusi yang masih menatap penuh arti padanya.

"Seko ngisis, Man." (Dari ngangin, Man.) jawab Dasio menutupi.
Entah karena ada kekuatan atau karena rasa takut, Dasio sesapi dari tatapan mata Sanusi. Memaksa lidahnya untuk tak mengatakan yang ia lihat, terpaksa menutupi di hadapan teman-temannya.
"Das, mulai sisok bengi misal wes siap lembur, mesin gensete wes ono. Sisok awan ben di pasangke karo Mas Sodik, seng jogo gudang." (Das, mulai besok malam andai sudah siap lembur, mesin genset sudah ada. Besok siang biar dipasangkan sama Mas Sodik, yang jaga gudang.)
ucap Sanusi pelan pada Dasio.

Saat itu pikiran Dasio masih berkecamuk. Dirinya yang ikut duduk di tepian papan panggung bersebelahan dengan Sanusi ber-gang Kisman, hanya bisa mengangguk pelan, mengikuti kata sanggup dari teman-temannya.
Namun dari semua ucapan-ucapan Sanusi selanjutnya, Dasio merasa ada sesuatu hal berbeda. Sampai pada puncak, saat Sanusi berpamitan pulang, satu liringan tersembul di sudut bibir dengan gelengan kepala pelan,
seakan memberi isyarat jika dirinya tau tentang yang dilihat Dasio, seolah memberi perintah untuk merahasiakannya.
Bersambung....

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab I ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa ya, temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Yuk lanjut lagi, PWers~:D
Sepeninggalan Sanusi, enam temannya memilih untuk beristirahat. Memulihkan tenaga dan semangat, guna menjemput rezeki di esok hari. Tapi Dasio, meski ikut merebahkan tubuh di pinggir bersampingan dengan Kisman, sedikitpun tak mampu melelapkan alam bawah sadarnya.
Pikirannya terus bergelut pada potongan-potongan kepala tergelundung ke dalam lubang. Lototan bola mata pada tiap kepala terpenggal itu menyiratkan kesadisan. Apalagi, dari semua yang ia lihat, kepala-kepala itu berwajah anak-anak.
Gigil kengerian benar-benar menyusup jiwa Dasio yang semakin lama membayangkan, seolah memunculkan satu persatu potongan kepala itu berterbangan di hadapannya. Menjerit-jerit dalam kesakitan, meminta pertolongan.

"Kang ... Kang...!"
Dasio pun terjingkat. Bangkit dan terduduk dalam basuhan keringat kala terbangun paksa oleh panggilan keras suara Kisman.

"Nyebut, Kang ... Nyebut! Kenek opo sampeyan kok nggugruh ngono koyo keweden."
(Istighfar, Kang ... Istighfar! Ada apa sampeyan kok ngeram seperti ketakutan.) ucap Kisman yang juga telah duduk sambil mengusap punggung Dasio.

Sejenak Dasio terdiam menarik napasnya dalam-dalam.
Perlahan memulihkan kesadaran dari rasa takut, membuang bayang-bayang mengerikan yang mengelebat di pikiran.

"Ngombeo sek, Kang." (Minumlah dulu, Kang.) ujar kembali Kisman, yang sudah memegang secangkir air putih dan menyodorkan pada Dasio.
Tak bersisa setetes pun air putih yang ia teguk pemberian dari Kisman. Tak lama setelahnya, ucapan-ucapan lirih dari bibir Dasio keluar menyebut meminta perlindungan.

Selang beberapa puluh detik, Dasio menyandarkan punggungnya pada salah satu tiang besi barak.
Menatap kosong pada keremangan ujung sudut barak, mengabaikan sejenak pertanyaan Kisman yang berulang.
"Kang, Sampeyan gak opo-opo, to?" (Kang, Sampeyan tidak apa-apa, kan?) tanya Kisman pelan yang kali ini membuat wajah Dasio menoleh sambil menggeleng.
"Gak opo-opo, Man. Aku mek ngimpi elek ae." (Tidak apa-apa, Man. Saya cuma mimpi buruk saja.) jawab Dasio juga lirih, seperti menjaga agar temannya yang lain tak terusik.
"Koyok e, lho. Sampeyan ki mau urung turu. Mulo tak pikir kelindihen, cepet-cepet tak tangeni." (Kayaknya tadi, lho. Sampeyan itu belum tidur. Maka saya pikir ketindihan, cepat-cepat saya bangunkan.) ujar Kisman, masih terlihat sisa kecemasan.
Dasio terdiam kembali. Ada keinginan saat itu untuk bercerita, namun mengingat tatapan mata Sanusi, ia pun menjadi ragu dan akhirnya urung.
"Iyo, Man. Paling yo kelindihen aku. Maturnuon wes tok tangeni. " (Iya, Man. Mungkin ya ketindihan saya. Terima kasih sudah membangunkan.) sahut Dasio mengiyakan prasangka Kisman, meski dirinya sendiri tak begitu yakin.
Selesai berucap, Dasio lalu membaringkan tubuhnya yang kemudian disusul oleh Kisman. Keduanya masih terlibat obrolan ringan seputar pekerjaan esok, sebelum akhirnya sepakat untuk saling memejamkan mata.
Beberapa ayat pengantar tidur sempat Dasio lafalkan dalam hati, sebelum ia masuk ke dalam alam mimpi. Ia sekuat mungkin untuk bisa terlelap tanpa gangguan bayang-bayang potongan kepala berlumur darah milik bocah-bocah.
Ia tak mau bila pekerjaan selanjutnya terganggu dengan hal baru sebatas dugaan meski sudah melihat langsung, tetapi belum memastikan yang sebenarnya.
***
Sengatan matahari pagi, mulai menghangatkan kulit tubuh Dasio dan teman-temannya. Di hari kedua bekerja, mereka mulai memasuki salah satu lubang di bagian pinggir tanggul.
Sebentar Dasio yang menjadi kepala rombongan secara tidak langsung, sedikit ragu untuk turun ke dasar sungai yang kering. Matanya beberapa kali melirik ke arah pancang paling tengah, tempat dirinya melihat kengerian semalam.
Dorongan tanggung jawablah, membuat Dasio menepis rasa ragu dan takut. Ia pun segera mengikuti Kisman serta dua orang lainnya yang lebih dulu turun, guna mengenam besi-besi bulat mengulir untuk ditancapkan di dalam lubang.
Sementara tiga orang berada di atas, saling membahu mengulurkan material.

Hari itu sedikit terasa berat bagi Dasio dan yang lainnya. Mereka harus bekerja keras sampai semburat senja mulai menipis, menebarkan sembirit angin sejuk.
Berselang gelap merayap, Dasio membrtikan komando untuk menghentikan sementara pekerjaan. Langsung bahu membahu menyiapkan makanan seperti biasa dilakukan pada jam-jam istirahat.
Beberapa saat setelah selesai, suara mesin genset pun menderu, menandai suasana terang dari beberapa balon bulat panjang menyinar, terbagi antara barak dan tanggul serta lubang calon pondasi yang tengah digarap Dasio dan kawan-kawan.
Memunculkan keberanian dan semangat para pejuang keluarga dari kampung sebrang nan jauh.

Tetapi bagi Dasio, tetap saja batinnya terdegup kekhawatiran, menilik posisinya bekerja dalam suasana malam di sebelah lokasi tertanamnya potongan kepala seperti yang sudah ia lihat.
Namun diam menjadi pilihan Dasio untuk saat itu. Ia menimbang semangat seluruh rekannya bakal runtuh, jika ia bercerita tentang apa yang dirinya lihat.

Selama beberapa saat, Dasio fokus menangani bagian pekerjaan yang diemban sesuai keahliannya.
Tapi belum sampai pada putaran satu jam, Dasio tetiba terdiam dan menghentikan pekerjaan.

"Man, Krungu suoro bocah nangis, ora?" (Man, dengar suara anak kecil menangis, ndak?) tanya Dasio pada Kisman yang berada di sampingnya.
Kisman tak langsung menyahut. Ia pun sebentar ikut terdiam, memasang pendengaran dengan tajam.

"Ora, Kang." (Tidak, Kang.) jawab Kisman singkat.

"Rungon-rungonen paling Sampeyan?" (Salah pendengaran mungkin, Sampeyan?) sambung Kisman setelah nyerah mencari.
"Yo wes, Man." (Ya sudah, Man.) sahut Dasio pelan.

Kisman kemudian meneruskan pekerjaan setelah sebelumnya sempat menggeleng pelan. Ia menduga seolah dirinya tengah dicandai. Sementara Dasio, justru merasa semakin jelas akan suara jeritan yang disertai panggilan menghiba.
"Pak tolongggg, Pak...."

"Ibuuuu, tolong...."

Terus dan terus suara anak kecil bersahutan. Terkadang memekik, menjerit seakan dalam ketakutan. Tetapi Dasio yakin jika hanya dirinya yang mendengar.
Menyadari hal itu, Dasio pun menguatkan batin dan jiwanya. Lebih dari setengah jam Dasio dalam cekaman suara tanpa wujud. Ia sedikit dan sebentar bisa menghirup kelegaan kala suara itu lambat laun menghilang.
Namun tak sampai sepuluh menit, dadanya terasa sesak penuh, tersusup aroma wangi Gondorio bebarengan dengan anyir amis darah.

Satu, dua menit mampu Dasio tahan. Selanjutnya ia terduduk lesu, menahan mual, "Uuuooeekkk ... Uuoooekkkk...."
Tiga sampai empat kali, muntahan berupa air keluar dari tenggorokan Dasio. Membuat Kisman dan tiga orang temannya sejenak saling pandang sebelum kemudian bersama-sama mendekati tubuh Dasio yang lemas bercucur keringat dingin.
"Keneng opo, Kang?" (Kenapa, Kang?" tanya Kisman sedikit panik.

Tak mampu menjawab, Dasio hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali. Ia pun pasrah ketika Kisman dan rekannya memapah naik ke tanggul membawanya menuju barak.

"Nopo Dasio?" (Kenapa Dasio?)
Seruan dari luar barak, sedikit mengagetkan Kisman. Ia yang baru saja membaringkan tubuh Dasio seketika menoleh, mengangguk hormat sejenak, mengetahui jika yang bertanya adalah sang Bos, Sanusi.

"Masuk angin, Pak." jawab Pelan Kisman sambil menunduk.
Sebenarnya bukan pada Sanusi Kisman tertunduk. Tetapi pada sosok lelaki tua berjubah hitam yang berada di samping belakang Sanusi. Kisman tak sanggup bersitatap, menangkal tatapan tajam nan dingin sosok itu.
Ia pun menyingkir manakala Sanusi dan lelaki tua berambut sebahu lebih itu melangkah masuk. Memberi jalan, melonggarkan tempat di mana tubuh Dasio terbaring.
"Ora opo-opo. Sampeyan-sampeyan teruske meneh gaweane. Dasio tak tunggonane." (Tidak apa-apa. Sampeyan-sampeyan teruskan saja kerjaannya.) ucap Sanusi, setelah sebentar melihat kondisi Dasio.
Kisman dan beberapa temannya pun menurut. Mereka kembali ke tanggul, menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda.

"Awakmu ngerti opo, Das?"(Kamu melihat apa, Das?) Lirih pertanyaan Sanusi di telinga Dasio.

Seketika Dasio pun membuka mata dan bangkit dari pembaringan.
"Gak, Pak. Gak ngerti opo-opo Aku." (Tidak, Pak. Tidak tau apa-apa Saya.) jawab Dasio dengan wajah semakin pucat.
"Opo wae seng mbok ngerteni, seng mbok rungoni, ojo tok openi. Penting awakmu nang kene nyambut gawe." (Apa saja yang kamu ketahui, yang kamu dengar, jangan diurusi. Terpenting kamu di sini bekerja.) sahut Sanusi, seolah tau bila Dasio berbohong.
Terasa kaku tubuh Dasio mendengar ucapan Sanusi. Belum lagi tiga tepukan pelan di pundak oleh sosok lelaki tua berjubah hitam, yang pernah ia lihat di lubang pancang, terasa semakin membekukan otot-otot tubuhnya.
"Yang tidak perlu kamu tau, tidak seharusnya jadi urusanmu, jangan ikut campur dan coba cari tau. Ingat itu selama bekerja di sini." ujar lelaki tua dengan suara pelan tegas, berlogat daerah setempat.
Dasio mendengar, tetapi hanya bisa mengangguk dan diam. Dirinya baru yakin, bila semua yang ia lihat, alami, diketahui oleh Sanusi dan lelaki tua yang berwajah hitam sangar itu.
"Iki jenenge Mbah Sakar, sesepuh yo salah sijine tetua adat nang ndeso sebelah. Mbah Sakar seng ngawak i proyek iki. Mergo gon kene kudu di jogo, supoyo kelaksanan iso rampung gawenan gede iki."
(Ini namanya Mbah Sakar, sesepuh juga salah satu tetua adat di desa sebelah. Mbah Sakar yang memagari proyek ini. Karena tempat ini harus dijaga, supaya terlaksana bisa selesai pekerjaan besar ini.)
sahut Sanusi, memperkenalkan sosok lelaki tua, serta menjelaskan singkat siapa sosok yang disebut Mbah Sakar.

Dasio kemudian mengulurkan tangan guna menyalami. Ia beberap kali hanya terangguk saat diulang kalimat pesan dari sosok Mbah Sakar.
Bersambung, InsyaAlllah saya lanjut besok/lusa :D

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab I ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa ya, temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Lanjut yuk temen2 :D
Obrolan seputar pekejaan kemudian mengalir tanpa menyinggung lagi hal-hal lain. Bahkan mampu sedikit melumerkan rasa takut Dasio pada Mbah Sakar. Ia pun bertekad dalam hati, untuk tak perduli pada apapun yang mengganggunya ke depan, sesuai pesan dari Sanusi dan Mbah Sakar.
Hampir waktu masuk tengah malam, Kisman dan ke lima temannya mengakhiri pekerjaan dan pulang ke barak, tepat setelah kepergian Sanusi dan Mbah Sakar.
Bersih-bersih sekenannya, mereka bersegera untuk istirahat. Alam sekitar kembali pada nuansa gelap pekat, setelah deru genset terhenti. Kembali pada cahaya remang lampu teplok tergantung di tiang barak.
Dasio yang sudah pulih, sejenak berbasa-basi serta tak lupa menyematkan kalimat maaf pada seluruh temannya. Ia beralasan bila hanya masuk angin biasa dan sudah kembali bugar. Namun ucapan itu seperti tak begitu saja dipercaya oleh Kisman.
Dasio melihat raut wajah orang paling dekat dirinya itu, menunjukan guratan berbeda dari teman lainnya.

Dengkuran demi dengkuran mulai bersahutan di dalam barak. Menandakan para penghuni terpulaskan oleh ayunan rasa lelah dan larutnya malam.
Hanya dua pasang mata saat itu masih terjaga, Dasio dan Kisman. Hening alam luar, seperti membuat keduanya diam dalam alur pikiran masing-masing.

Kerlipan lampu teplok membayang pada tubuh Kisman saat miring menghadap Dasio.
Bersuara lirih setengah membisik, Kisman mendekatkan wajahnya.

"Jujur aku ngroso awet Sampeyan muni ono tangisan bocah, dadi ra kepenak perasaanku, Kang. Masio aku gak krungu dewe, tapi ndelok sampeyan terus ngunu kui, njur wedi aku, Kang."
(Jujur Saya merasa sejak Sampeyan bilang ada tangisan anak, jadi tak enak perasaanku, Kang. Walaupun saya tak mendengar sendiri, tapi melihat sampeyan seperti ini, jadi takut saya, Kang.) ucap Kisman.
"Ra opopo, Man. Aku wes kepenak. Paling aku mau salah rungon ae." (Ndak apa-apa, Man. Saya sudah baikan. Mungkin saya tadi cuma salah dengar saja.) sahut Dasio yang juga lirih.
"Neng aku mau yo kroso banget sak bare Sampeyan ngunu kui, koyo enek akeh seng ngawasi gon kerjanan, Kang." (Tapi saya tadi juga merasa sekali setelah Sampeyan mengalami itu, seperti ada banyak yang mengawasi di tempat kerja, Kang.) timpal Kisman dengan raut cemas.
"Lha seng karo Pak Sanusi mau sopo, Kang?"(Lha yang sama Pak Sanusi tadi siapa, Kang?) tanya Kisman, menyambung ucapannya yang tak langsung direspon Dasio.

"Mbah Sakar, sesepuh kene." (Mbah Sakar, sesepuh sini.) jawab Dasio singkat.
Keduanya sebentar saling diam. Kisman kembali terlentang dengan wajah menatap ke atas, sama seperti Dasio. Belum sampai lima tarikan napas, kembali Kisman memiringkan tubuhnya menghadap Dasio, saat satu suara langkah terdengar menapak di luar, seperti berjalan menyamping ke barak
Ketegangan kemudian menjalari Kisman dan Dasio, sebab langkah itu, berhenti persis di luar barak, tepat di bagian atas kepala mereka.

Satu menitan langkah kaki itu berhenti, kemudian terdengar kembali menjauh menuju arah sungai.
Hal itu membuat Kisman dan Dasio bangkit, duduk saling pandang seperti sama-sama saling menerka.

"Sampeyan krungu to, Kang?" (Sampeyan dengar kan, Kang?) tanya Kisman, memastikan.
Dasio mengangguk. Lalu kembali berbaring tanpa berucap. Kisman yang mulai merinding lalu menyusul dan mengatupkan matanya, ingin cepat-cepat bertemu pagi.

***
Siutan angin malam, semakin menyejuk dan menyejuk hingga menebar hawa dingin. Terbias memudar, kala selongsong cahaya dari sang penumbuh hawa panas nan terang, menelusup dari balik celah dedaunan.

Hal itu menandai, bahwa aktifitas mulai kembali bergeliat dari dalam barak.
Beberapa orang, termasuk Kisman dan Dasio yang telah pulih, terlihat duduk berjejer menikmati segelas kopi, sebelum mulai bergelut dengan material dan kubangan tanah.
Sekilas tampak biasa saja. Kisman maupun Dasio tergelak saling melempar tawa bersama lima teman lainnya, seperti menunjukan tak ada yang mereka khawatirkan.

Lepas mengisi perut sebagai bekal tenaga dengan lauk seadanya, mereka serentak bergegas menuju tanggul,
membagi dua kelompok di atas dan bawah. Pekerjaan yang sudah diambil secara borongan, lebih menumbuhkan semangat menggelora. Oleh sebab mereka rata-rata sudah terbiasa bekerja berat dan keras, tak perduli dengan jenis pekerjaan apapun.
Tepat saat matahari di atas kepala, mereka beristirahat. Saat itu suasana proyek sedikit ramai dengan kedatangan beberapa alat bantuan dan enam orang baru sebagai operator sekaligus penjaga.
Dasio yang paling belakang naik ke atas tanggul, sebentar menyimpang jalan, menghampiri ke arah sebuah pondok kecil, tempat biasa para pekerja istirahat makan dan minum. Kantin proyek mereka menyebut, dengan seorang wanita berumur 50-an tahun sebagai penjaganya.
Mak Nap, orang memanggil. Penduduk asli setempat, yang mendapat izin berjualan untuk memenuhi kebutuhan pekerja.

"Kamu orang baru?" sapa Mak Nap, ketika melihat kedatangan Dasio.
"Iya, Mak." sahut Dasio, menirukan panggilan pada Mak Nap, yang ia tau dan dengar saat orang-orang menyebut.

"Dari Jawa?" tanya Mak Nap kembali, seraya menatap lekat Dasio.

"Benar, Mak. Jawa Tengah." jawab Dasio.
"Pantes, pada mau masak sendiri." ujar Mak Nap dengan sunggingan senyum tipis.

Dasio membalas senyuman Mak Nap, meski ada bersitan rasa tak enak, oleh karena wanita yang sedang berbicara dengannya, seorang penjual makanan untuk para pekerja proyek.
"Berapa orang temannya, Dek?" tanya Mak Nap, setelah mempersilahkan Dasio duduk di bangku papan triplek, dengan kaki-kaki dari bambu sebesar paha.

"Tujuh, Mak." jawab Dasio.
Mendengar jawaban Dasio, wajah Mak Nap seketika berubah. Kerlingan menyipit dari sudut bola matanya, menyiratkan ada hal yang membuatnya terkejut.

"Benar kamu bertujuh?" ucap Mak Nap seakan ingin meyakinkan.
Dasio yang terheran oleh perubahan sikap Mak Nap pun hanya mengangguk. Rasa herannya semakin bergumpal, saat Mak Nap menggelengkan kepala seraya mengelus dada, setelah melihat anggukan dirinya tanda mengiyakan.
"Memangnya kenapa, Mak?" tanya Dasio mencoba mencari jawaban atas rasa herannya.

Namun Mak Nap hanya diam, sebentar kemudian berjalan ke belakang pondok, meninggalkan Dasio yang tertegun.
Hampir lima menitan Dasio duduk sendiri di bangku kantin. Sampai akhirnya Mak Nap muncul, masih dengan raut yang sama. Bahkan kali ini sikap wanita bertapi kain sarung itu berbeda, ia terlihat acuh, seolah menganggap Dasio tak ada.
Dasio yang bingung pun berdiri dan ingin bertanya, namun tertahan oleh seruan dari arah tanggul, memanggil namanya keras. Dasio hanya menjulurkan tangan memberi isyarat menjawabi seruan dari Kisman, yang memintanya kembali ke barak, untuk bersantap siang.
Kemudian ia berpamitan pada Mak Nap, tanpa lagi ingin bertanya.

Satu langkah keluar dari pondok kantin, Dasio terhenyak, manakala mendengar suara Mak Nap dari belakang.

"Dek, kamu harus hati-hati. Jangan sekali-kali mandi di sungai itu kalau waktu sudah petang." ucap Mak Nap.
Sejenak Dasio menoleh, tetapi Mak Nap sudah berpaling tak lagi melihat ke arahnya. Hampir saja Dasio kembali ingin menemui dan berbicara pada Mak Nap. Namun tak ia lanjutkan, ketika mendapati beberapa orang lelaki bersepatu kulit berwarna coklat, datang dari sisi kanan kantin.
Langkah-langkah kaki Dasio menuju barak terlihat gontai, selaras pikirannya yang mengambang. Sekeras apapun ia menebak, tetap saja tak mampu mengartikan sebuah kalimat peringatan yang diucapkan oleh Mak Nap.
Kilas balik beberapa hal aneh pun kembali bermunculan di benaknya. Kemudian ia berusaha mengaitkan dengan ucapan Mak Nap, tentang sungai dan kengerian yang ia telah rasakan.
Lesu, tetiba menggelayuti Dasio dalam bekerja hari itu. Semakin putaran waktu merangkak sore, semakin ia merasakan hawa berbeda.

Beberapa kali dirinya coba mengusir perasan aneh yang mengerubung di sekitaran tempat itu.
Tetapi waktu yang telah masuk surup, malah menebarkan hawa yang biasa dirinya rasakan adalah “hawa duka”, semakin membungkus alam sekitar proyek.
"Bengi iki rasah lembur, yo." (Malam ini tidak usah lembur, ya.) ucap Dasio tetiba pada rekan-rekannya.

Tak satupun saat itu yang menyahuti ucapannya. Tampak mereka saling lempar pandang, seakan meminta persetujuan pada lainnya.
Kisman yang ikut mendengar dan sedang menyeret besi ulir sebesar jari dari atas tanggul, perlahan meletakkan besi di atas tanah lalu mendekati Dasio. Kemudian, ia bertanya alasan Dasio meminta untuk tak bekerja lembur.
"Ra penak awakku rasane." (Tidak enak badanku rasanya.) jawab Dasio singkat.

Kisman memaklumi. Lalu dirinya mendekat kepada enam temannya yang lain untuk berunding dan mencari kesepakatan.
Belum sempat terjalin kata setuju, mereka semua memilih istirahat serta pulang ke barak, mengingat waktu yang sudah semakin gelap.

Dasio ikut naik ke atas dan berjalan paling belakang. Sesekali matanya melirik ke tanggul sebrang, tepatnya di rerumpunan bambu menjulang,
bersebelahan dengan sebuah pondok panggung kecil. Sebab dari tempat itulah, awal munculnya rasa takut dan ngeri.
Bersambung, InsyaAlllah saya lanjut besok :D

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab I ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa ya, temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Lanjuuuuuut~
Rembuk urun rembuk selepas bersantap, akhirnya disepakati bila Kisman dan yang lainnya tetap akan bekerja lembur dengan tanpa Dasio.
Hal itu spontan menimbulkan rasa tak enak dalam hati Dasio, tetapi di lain sisi ia juga merasa bila fisik tubuhnya benar-benar tak mampu, sehingga ia terpaksa menyetujui.

Beberapa pesan disempatkan Dasio kepada Kisman, sesaat sebelum mereka beranjak dari barak.
Kisman yang sedikit mulai tahu serta percaya, mendengar seksama dan berjanji akan mengingat pesan dari Dasio. Rasa sepi pun menjalari Dasio yang kini berada sendirian di dalam barak. Terselip keinginan untuk keluar, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit.
Lama terbaring, sedikit demi sedikit matanya terkatup oleh siuran angin tipis yang masuk melalui pintu barak. Sampai akhirnya membuat ia terlegakan ketika mampu tenang dalam pulas.
Entah berapa jam Dasio terlelap, yang pasti sedikit puas, sebelum terjaga oleh suara Kisman dan lainnya yang baru saja pulang dari kerja lembur.

Bangun dari pembaringan dan duduk dalam keremangan cahaya lampu teplok, Dasio samar melihat ada hal aneh pada tiga orang temannya itu.
Mulai dari rambut-rambut mereka yang basah serta tubuh bersih, namun menebar aroma anyir. Seketika Dasio pun bangkit mendekati Kisman, bertanya pelan tentang apa yang dilakukan oleh ke tiga temannya.
Ketegangan langsung menyirat jelas di wajah Dasio. Dadanya bergemuruh, matanya nanar menatap tiga temannya yang telah berbaring istirahat.

Dengus napasnya terburu amarah, saat tahu tentang apa yang telah mereka lakukan dari Kisman.
"Aku gak iso nglarang, Kang. Ngerti dewe watekke Kang Rowi Sampeyan." (Saya tidak bisa melarang, Kang. Tau sendiri wataknya Kang Rowi Sampeyan.) ucap Kisman pelan terkandung penyesalan.
"Aku yo wes ngandani, neng gor diguyu, dadi aku wegah ribut karo Kang Rowi." (Saya juga sudah menasehati, tapi cuma ditertawakan, jadi saya tak mau ribut sama Kang Rowi.) sambung Kisman membela diri.
Terima tak terima Dasio hanya bisa pasrah mendengar penjelasan dari Kisman. Ia pun tak bisa menyalahkan Kisman, sementara dirinya juga tau, hapal dengan watak dari salah satu rekan sekampungnya, Rowi.
Selain dikenal pemberani, Rowi sangat gampang tersulut emosi, sehingga menganggap wajar bila Kisman tak mampu mencegah kemauan Rowi serta dua temannya.

"Bakal enek opo, Kang, nek wes kadung ngeneki?" (Akan ada apa, Kang, kalau sudah terlanjur seperti ini?) tanya Kisman.
"Aku dewe gak ngerti, Man. Aku gor pingin dewe kerjo asil, sehat, selamet kabeh. Mulo opo seng gak oleh di lakoni, ojo ngasi dewe nglanggar. Dewe kudu sadar, dewe golek pangan nang lemah, wilayah e uwong, seng nduwe tatanan dewe."
(Saya sendiri tidak tau, Man. Saya hanya ingin kita kerja mendapat hasil, sehat, selamat semua. Makanya apa yang tidak boleh dilakukan, jangan sampai kita langgar. Kita harus sadar, kita mencari makan, rezeki di tanah, wilayah orang yang punya aturan sendiri.)
sahut Dasio dengan suara lemah, tersusup pesan.

Hening dan sunyi. Kisman tertunduk seperti menyadari dan tak mampu membantah perkataan Dasio. Namun semua sudah terlambat untuk menyesalinya.
Sebab Rowi dan dua rekannya sudah menyepelekan pesan dari Dasio yang sempat ia sampaikan, bahwa tak boleh mandi di sungai ketika malam menjelang.

"Mugo-mugo ae, Kang. Gak enek opo-opo." (Mudah-mudahan saja, Kang. Tidak ada apa-apa.) ujar Kisman sambil membaringkan tubuh.
Ucapan Kisman sebenarnya diamini oleh Dasio. Tetapi, ia juga tak menampik rasa cemas yang masih terus bertengger dalam benak. Apalagi, aroma anyir masih terus tercium hangat dari tubuh Rowi dan dua temannya,
membuat Dasio tak mampu untuk meneruskan kembali rengkuhan alam mimpi seperti sebelum mereka pulang ke barak.

Lagi-lagi liringan angin kencang menjadi awal degup jantung Dasio terpacu. Meski sebentar lalu dan hanya menggoyang cahaya lampu teplok,
namun tak lama setelahnya berganti deburan air beriak keras dari arah sungai.

Satu persatu jeritan memohon, menghiba meminta tolong dari suara anak-anak, turut andil memecah keheningan alam sekitar proyek.
Sejenak Dasio melirik ke arah Kisman, berharap rekan dekatnya itu masih terjaga. Tetapi hanya dengkuran yang ia dengar, menandakan jika Kisman sudah jauh terlelap.
Di sela ketakutan yang hadir menyelimuti, Dasio menyempatkan diri untuk bangkit, saat suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah barak. Semakin lama, suara gemresek tapak-tapak menyentuh dedaunan kering, semakin jelas.
Tepat dugaan Dasio, bila langkah kaki itu berhenti di bagian luar barak, bagian atas kepala, sama seperti yang ia dengar bersama Kisman sebelumnya.
Kali ini, dengan sisa keberanian, Dasio mencoba membuka celah kain tebal penutup tenda dari dalam, untuk sekedar ingin tau siapa pemilik langkah kaki itu.

Picingan bola mata Dasio terus mengedar, menatapi sekitar tempat asal berhentinya suara langkah kaki.
Tetapi tak ada apapun, tak ada sosok siapapun yang tertangkap matanya. Membuatnya kembali menutup celah dan tertegun sendiri. Sebentar Dasiopun membaringkan tubuhnya, memaksa matanya untuk terpejam, mengurai rasa takutnya agar menghilang.
"Sreeekkkk ... Sreekk ... Sreeek ... ssreekkk...."
Lagi-lagi Dasio harus membuka mata, manakala langkah kaki itu kembali mengganggu. Bahkan lebih jelas lagi sekarang, bila seperti menapak ke arah pintu barak.
Jingkatan tak dapat dielak tubuh Dasio. Bukan hanya karena suara langkah kaki saja, tetapi aroma Gondoriyo yang tiba-tiba datang menyengat, yang sempat membuatnya mual muntah tak berdaya.
Tiba di ambang pintu tak berdaun, langkah itu berhenti. Tak sampai satu menit, tepat kala Dasio yang membulatkan keberanian untuk bangkit melihat, suara gemresek jejak kaki terdengar bergerak menjauh.
Ketika telah tegak berdiri, Dasio hanya melihat klebatan bayangan satu sosok tersorot cahaya lampu teplok. Bayangan itu berjalan pelan, memperlihatkan bagian belakang tanpa tahu raut wajahnya.
Iringan aroma wangi anyir Gondoriyo pun berangsur memudar, bersama semakin lirihnya suara gemresek yang ternyata bukanlah dari tapak kaki. Melainkan, dari lengsrehan rambut hitam menjuntai dari sosok itu.
Dingin, Dasio rasakan di seluruh bagian tubuhnya. Takut, khawatir, silih berganti menaungi benak. Terutama pada Rowi dan dua temannya. Sampai waktu menyentuh pagi, hampir-hampir Dasio tak bisa menenangkan pikiran.
Dirinya yakin jika kemunculan sosok berambut sangat panjang itu, bukan sekedar ingin mengganggu. Bahkan kemudian ia merangkai seluruh kejadian yang ia alami, mulai dari aroma Gondoriyo yang dibawa sosok itu, juga hawa duka yang dirasakannya petang tadi.
Semua itu memunculkan rasa takut tersendiri dalam batin Dasio. Tetapi ia pun tak tau harus berbuat apa, jika dugaannya bakal benar terjadi. Sempat terbersit untuk kembali ke kampung, namun dirinya yakin seluruh temannya bakal menolak.

"Kopine, Kang." (Kopinya, Kang.)
Suara sapaan dari arah samping, seketika menyadarkan Dasio. Sejenak ia pun terkejut, melihat seluruh temannya sudah terbangun, bahkan telah selesai menghidangkan tujuh larik gelas berisi kopi.
Dasio segera bangkit dan berjalan ke arah belakang untuk sekedar mencuci wajah. Sekembalinya, semua terlihat wajar seperti biasa, kecuali raut wajah Rowi dan kedua temannya.
Tiga wajah temannya pagi itu sangat berbeda di mata Dasio. Selain memucat, juga seperti terdapat lingkaran hitam di bagian luar kulit mata. Aroma anyir pun masih terus membaui dari tubuh ketiganya, menghadirkan rasa was-was akan hal buruk, seperti terambang bakal menimpa.
"Sampeyan nopo, Kang? kok koyo sepaneng temen. Po urung sehat?" (Sampeyan kenapa, Kang? Kok seperti tegang sekali. Apa belum sehat?)

Dasio menarik napas dan menyunggingkan senyum tipis ketika mendengar ucapan Kisman.
Kemudian menggelengkan kepala pelan, sebelum tangannya meraih segelas kopi dan meminum satu tegukan.

"Fuuuiiihhhh...."

Semua mata seketika beralih ke arah Dasio yang baru saja memuntahkan kopi yagn baru saja tersruput dari mulutnya.
Tak perduli, Dasio pun segera beranjak ke belakang, sebentar kembali dan meneguk air putih dalam sebuah galon.

"Ngopo, Kang? Enek apane kopimu?" tanya Nanang, salah satu temannya yang berusia pailng muda.
"Pait ... Pait banget rasane kopiku." (Pahit ... Pahit sekali rasanya kopiku.) jawab Dasio setelah puas meneguk air putih sebagai penawar.
Satu persatu temannya tanpa berucap mendekati gelas berisi kopi milik Dasio. Bergantian mencicipi, kemudian saling tatap dengan raut penuh keheranan.
"Opo ilate Sampeyan ki wes mati to, Kang. Lha rumangsaku ki legi ngene lo kopine." (Apa lidah Sampeyan itu sudah mati rasa to, Kang. Lha perasaan saya ini manis lo kopinya.) Rowi, yang terakhir ikut mencicipi, berbicara dengan logat kasarnya.
Semua teman, termasuk Kisman hanya terdiam. Mereka yang juga sudah ikut merasakan, tak membantah ucapan Rowi. Dasio sendiri akhirnya kembali menyambar gelas kopinya yang tinggal separuh. Kemudian menjulurkan lidah, mencoba lagi rasa kopi yang awal terasa pahit mencekik.
Aneh, begitulah ucap dalam hati Dasio. Begitu mendapati rasa kopinya terasa manis bahkan sedikit wangi. Sadar ada keganjilan Dasio memilih diam meski beberapa kali Rowi mengguraui lewat ejekan.
Ia tak ingin memperpanjang, toh baginya tak akan ada yang percaya, malah bakal menimbulkan perdebatan.
Bersambung...

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab I ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa ya, temen2 :))

Thank You~
karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Yok lanjut, maaf kemaren banyak urusan, belum sempet update :D
Kebersamaan dalam bekerja tetap terjaga oleh ke tujuh pekerja yang datang dari satu kampung yang sama itu. Meski sering terjadi perbedaan pendapat, tetapi mereka bisa saling mengerti, terutama Dasio.
Seperti yang terjadi siang itu, di hari ke empat bekerja, setelah Dasio dari malam hingga pagi terus mengalami hal aneh bahkan menakutkan. Takkala tengah berundung cuaca panas, Rowi yang mengajak berhenti sebelum waktu biasanya, tetiba emosinya meluap saat kemauannya dibantah.
Hingga akhirnya Dasio pun mengalah, ia memberikan komando, memberi isyarat agar semua temannya berhenti dan naik ke atas tanggul.

Tak sampai di situ, kelakuan aneh Rowi pun menjalar pada kemauannya yang tiba-tiba ingin pergi ke kantin.
Lagi-lagi Dasio dan lainnya hanya bisa pasrah mengikuti, meski dongkolan tersusup di dada masing-masing.

Tiba di kantin, sambutan aneh dari Mak Nap pertama dirasakan oleh Dasio.
Senyum ramah berkembang awal melihat kedatangan mereka, berganti raut tegang, manakala tatapannya bertaut lekat pada Rowi.

Sekilas kegusaran dan ketakutan tercermin dari wajah Mak Nap. Namun demikian, tangan tuanya masih tetap melayani pesanan dari Dasio dan teman-temannya.
"Kang, misal sisok enek seng rencana arep muleh tilek, aku nitip yo. Soale Aku koyone krasan nang kene." (Kang, misal besok ada yang punya rencana mau pulang sambang, saya titip ya. Soalnya saya sepertinya betah di sini.)
ucap Rowi di sela mulutnya mengunyah jajanan yang disediakan Mak Nap.

Semua rekannya menyahuti dan mengiyakan dengan bermacam kalimat. Tetapi Dasio, ia hanya diam, bahkan merasa aneh dengan ucapan Rowi.
Lima menitan Dasio menjadi pendengar gelak tawa canda dari rekan-rekannya, terutama Rowi. Ia terlihat paling banyak berbicara serta bersemangat bergurau, sangat berbeda dari menit-menit sebelumnya.
Dasio hanya sesekali ikut menyungging senyum tipis, ketika Rowi atau Kisman menyebut dirinya. Perasaannya saat itu begitu gelisah, mendapati keanehan sikap Rowi, terlebih tanda hitam pada bola matanya yang semakin melebar.
Ingin ia bertanya pada Kisman yang duduk di sampingnya, apakah melihat atau tidak tanda itu. Namun baru saja menggeser tubuh mendekat dan belum sempat berbisik, satu senggolan di pundak menahannya.

"Tolong ikut sebentar, Dek. Bantuin Emak."
Dasio pun langsung bangkit mengiyakan permintaan Mak Nap dan berjalan mengekor. Sampai di belakang, di ruangan kecil tempat Mak Nap memasak, Dasio tertegun melihat Mak Nap langsung duduk di kursi panjang, dengan raut pucat berkerut kecemasan.
"Kamu masih ingat tentang omongan saya tempo hari?" ucap Mak Nap pelan.

"Ingat, Mak." jawab Dasio.

"Apa kamu tak memberi tau teman-temanmu?" tanya Mak Nap kembali, seraya menatap lekat.

Kali ini Dasio terdiam. Berpikir keras untuk menjawab.
"Saya yakin kamu melihat tanda di wajah temanmu, dan asal kamu tau, temanmu yang sudah bertanda itu, tak bakal bisa lepas!" sambung Mak Nap, menjelaskan.

Dasio tersentak kaget mendengar ucapan wanita penjaga kantin itu.
Tak menyangka jika ternyata Mak Nap juga melihat tanda di wajah Rowi yang terlihat paling mencolok dibanding dengan dua temannya yang lain. Tetapi yang tetiba memunculkan kegusaran, adalah kalimat terakhir Mak Nap, seperti terkandung sebuah ancaman yang sangat serius.
"Saya minta maaf sebelumnya, Mak. Tapi saya rasa teman saya tak sengaja mandi di sungai waktu tengah malam. Mungkin karena gerah setelah bekerja lembur." ujar Dasio, mencoba memberi alasan.
"Bukan hanya soal melanggar pantangan mandi tengah malam saja! Melihat tanda itu, pasti ada hal lain yang lebih berani dilakukan oleh temanmu itu." timpal Mak Nap, meninggikan tekanan suaranya.
Dasio kembali tertunduk. Ia bingung untuk kembali menjelaskan oleh karena dirinya saat terjadi hal itu, tak melihat langsung.

"Hari ini, setelah satu tahun yang lalu, sungai ini kembali akan ada penghuni baru." gumam Mak Nap lirih, namun terasa menyengat di telinga Dasio.
"Maksudnya apa, Mak? Tolong, Mak. Kalau ada salah dari saya maupun teman saya, mohon untuk dimaafkan!" sahut Dasio bersuara pelan menghiba.
"Aku tidak bisa apa-apa, Dek. Mak cuma tau tapi tak bisa mencegah. Dan Mak juga hanya bisa mendoakan, semoga hal buruk tak menimpa kamu serombongan. Terkhusus buat temanmu itu, mudah-mudahan bisa selamat." jawab Mak Nap lemah.
Setelah berucap, Mak Nap bangkit mendekati Dasio. Menepuk pelan pundak kekarnya, sebelum lebih dulu berjalan keluar.

Enam teman Dasio masih tampak ceria tak henti bercanda. Apalagi Rowi, ia sangat terlihat sumringah mengumbar tawa,
seolah merasakan satu kebahagiaan yang sangat, yang belum sekalipun Dasio lihat sebelumnya.

Namun di balik itu, hati Dasio memipis rasa perih. Ia tahu dan yakin bila ucapan Mak Nap bukanlah sebuah lelucon.
Terlebih satu tanda membulat di bagian luar mata Rowi, semakin lama terlihat, semakin menyembul dan menghitam legam.

Lebih dari satu jam Dasio dan teman-temannya berada di kantin Mak Nap. Mereka baru beranjak pergi ketika waktu istirahat siang bagi pekerja harian telah habis.
Bertepatan juga, saat itu mereka melihat kedatangan Sanusi bersama seorang lelaki berkemeja lengan pendek polos, berkulit putih dan berkacamata bening.

Dari sikapnya, Dasio menduga, bila lelaki yang berusia lebih tua sedikit dari Sanusi itu, bukanlah orang sembarangan.
Apalagi melihat kendaraan yang ditumpanginya, yang terpakir gagah di depan barak, adalah jenis kendaraan roda empat kelas mewah.

Sikap hormat langsung ditunjukan oleh Dasio beserta teman-temannya, manakala sudah berjarak dekat dengan Sanusi dan lelaki bermata sedikit sipit.
Sejenak suasana terasa canggung, saat Sanusi berbicara menjelaskan tentang asal tempat dan pekerjaan yang sudah diambil Dasio dengan sistem borongan, kepada lelaki itu.

Tampak beberapa kali lelaki itu hanya manggut mengangguk.
Tak sepatah pun kalimat terucap dari mulutnya, sebelum ia beranjak pergi menilik ke arah lubang pancang.

Awal-awal Dasio memaklumi dan biasa saja.
Tetapi setelah kepergian sosok berwibawa lelaki tua yang diekor penuh hormat oleh Sanusi, Dasio merasakan satu sesakan menggumpal di dada.
Ada ketakutan tersendiri yang tiba-tiba muncul dalam hati Dasio, kala sosok lelaki itu berjalan membelakangi posisinya berdiri. Salah satunya, aroma wangi semerbak tersebar dari tubuh lelaki itu, yang sudah beberapa kali hidung Dasio sesapi.
"Iku seng nduwe proyek iki yo, Kang?" (Itu yang punya proyek ini ya, Kang?) tanya Kisman pelan.

"Koyone iku pemboronge. Nek proyek iki, seng nduwe negoro, Man." (Kayaknya itu pemborongnya. Kalau proyek ini, yang punya negara, Man.) jawab Dasio menjelaskan.
Anggukan Kisman tanda mengerti, bertepatan dengan berakhirnya kunjungan Sanusi bersama lelaki berwibawa itu. Keduanya berlalu dengan acuh, saat melewati rombongan Dasio menuju ke depan barak, di mana mobil berwarna hitam mengkilap terpakir.
Saat bersamaan pula, Dasio menangkap sikap aneh yang ditunjukan oleh Rowi. Keceriaan yang menggurat tetiba memudar, berganti lototan tajam mengarah pada Sanusi dan sosok sang Bos.
Entah karena alasan apa, Rowi sepertinya begitu marah. Bola matanya merah menyala, bersanding rahang mengencang, menonjolkan urat lehernya.
Tetapi sekali lagi, semua itu hanya Dasio seorang yang melihatnya. Sedangkan Kisman serta yang lain tampak biasa, bahkan terkesan bahagia mendapati pekerjaan mereka tak mendapat teguran, yang artinya sudah sesuai dan diterima.
Sejuk nuansa alam sekitaran proyek saat masuk waktu siang menjelang sore. Langit yang meredup dengan tertutupnya sang matahari, menjadikan kesempatan bagi sebagian orang untuk berlama-lama dalam beraktifitas.
Suasana itu pula sebenarnya ingin dimanfaatkan oleh Dasio beserta yang lainnya. Namun harus terhalang oleh karena suatu musibah, yang menjadi awal malapetaka berkepanjangan.
Rowi, sekitar pukul tiga sore, mengeluh merasakan sakit pada perutnya. Hal itu langsung membuat Dasio dan yang lain terpaksa menghentikan pekerjaan. Mereka pun akhirnya sepakat untuk membawanya berobat, dikarenakan rasa sakit yang mendera Rowi semakin terlihat parah.
Dasio dan Kisman kemudian disibukkan dengan mencari informasi tempat serta kendaraan. Sebab bukan hal mudah saat itu untuk mencari seorang Dokter,
menilik lokasi mereka bekerja lumayan jauh dari pedesaan, juga saat itu sangatlah jarang tempat-tempat yang menyediakan layanan kesehatan.

Menjelang waktu senja, usaha Kisman dan Dasio membuahkan hasil.
Selain mendapat informasi seorang Dokter, juga mendapat kelonggaran salah satu pengawas yang bersedia mengantar.

Tetapi belum sempat semua terlaksana, Dasio dan yang lainnya memutuskan untuk menunda oleh karena keadaan.
Langit sore yang awalnya hanya bertutup mendung tipis, tetiba saja menggulung menyatukan gumpalan awan hitam, menumpahkan tetesan air yang sangat deras mengguyur bumi.
Keadaan itu berlangsung hingga petang menyambang. Membuat kecemasan serta rasa iba tersirat pada wajah Dasio dan ke lima temannya, melihat tubuh Rowi semakin lemah, menggigil menahan sakit.
Hanya rintihan lirih, yang sesekali dibarengi dengan lenguhan memohon pertolongan terucap dari mulut Rowi. Wajahnya pucat pasi, kontra dengan bola matanya yang semakin memerah.
Selagi dalam kepanikan, Dasio tiba-tiba terkejut. Tubuhnya terjingkat bangkit, mendapati satu sosok muncul dari arah luar. Kali ini bukan saja dirinya yang melihat, tetapi semua temannya pun ikut kaget, oleh sosok yang setengah berlari menuju ke arah barak mereka.
Di tengah terpaan air hujan dan kilatan bersahut, sosok itu terus menerjang hingga sampai di ambang pintu barak. Rasa tegang dari wajah-wajah penghuni barak seketika memudar saat tau bila sosok itu adalah Mak Nap.
Mereka kemudian memberi tempat untuk wanita pemilik kantin itu. Namun bukan langsung duduk, Mak Nap justru menarik lengan Dasio menuju ke ujung sudut barak.
"Ini yang saya khawatirkan sedari tadi. Kalau kamu ingin menolong temanmu, jangan bawa dia ke Dokter atau apapun. Datanglah ke Desa Rangin, temui Datuk Asnawi." ucap Mak Nap tegas.

Dasio sejenak tertegun. Lalu menoleh ke arah lima temannya yang juga sedang menatap ke arahnya.
"Di mana desa itu, Mak? Dan kami pun belum tau rumah Datuk Asnawi." sahut Dasio pelan menyirat kecemasan.

"Kamu ikut aku. Yang lain jaga di sini." jawab Mak Nap sambil membalikkan tubuh sepuhnya, mengajak Dasio untuk beranjak.
Sedikit ragu saat itu Dasio untuk menuruti ucapan Mak Nap. Namun melihat keadaan Rowi dan ingin bisa menolongnya, ia pun akhirnya mengikuti langkah Mak Nap, beriring doa serta harapan dari teman-temannya yang lain.
***
Bersambung. InsyaAllah saya lanjut besok ya temen2 🙏
Hawa dingin sangat menusuk menjalari seluruh tubuh Dasio yang berjalan di belakang Mak Nap. Walau hujan mereda, tetapi hembusan angin sangatlah berasa bagai tersusup bengkohan batu es.
Setapak demi setapak jalan tanah becek harus dilalui Dasio. Meski dibantu cahaya sebuah senter batu batere, tetapi tak membuat kakinya mulus menginjak tanah rata.
Beberapa kali kakinya harus terjerumus masuk ke dalam kubangan lumpur. Beberapa kali juga Mak Nap harus berhenti sekedar menunggui dirinya yang tertinggal jauh di belakang.
Setengah jam lebih perjalanan sudah dilalui Dasio dan Mak Nap. Melewati jalan tanah berlumpur, menembus beberapa kilo meter semak belukar, sampai bertemu jalan hitam aspal.
Sebuah gapura kecil dari ukiran kayu legam, menandai masuknya Dasio dan Mak Nap ke Desa Rangin. Sebuah desa yang masih terlihat sepi, tercermin dari bangunan rumah-rumah penduduk yang jarang.
Kesunyian desa atau yang lebih cocok disebut pemukiman itu, semakin kentara oleh penerangan pada tiap rumah yang dilalui oleh Dasio, masih menggunakan obor bambu. Juga jalanan yang begitu lengang dan gelap, menjadi keanehan tersendiri.
Gidikan merinding sebentar kemudian menggagahi tubuh Dasio, menyadari bila tanah yang ia pijak, kering tak tersentuh air hujan. Padahal, dari mulai berjalan keluar barak hingga jalan hitam aspal, ia merasakan rintikan gerimis.
Apalagi, saat terhitung jarak antara jalan besar aspal dengan gapura masuk ke desa hanya berjarak sebuah sungai kecil.

"Kamu ndak usah takut. Desa ini memang masih jarang penduduk." ucap Mak Nap tiba-tiba, seperti tahu pikiran Dasio.
Anggukkan pelan mewakili jawaban Dasio. Walau dalam hati masih terbait beberapa pertanyaan, namun tak ada keberanian untuk mengungkapkannya.

Tiba di depan sebuah rumah panggung besar berhalaman luas, Mak Nap berhenti sejenak.
Menatap sekeliling, sebelum mendekati tangga-tangga kayu sebagai jalan menuju pintu rumah Agung. Dasio yang sedari awal terdiam, lalu mengikuti menapak satu persatu tangga dengan pilar kayu kokoh.
Wewangian semerbak, seketika menjejali penciuman Dasio ketika sampai di depan pintu berukir, "khas" adat setempat. Tapi tidak seperti biasa, aroma yang tercium kali ini dirasa sangat berbeda, rebakannya begitu harum dan menyejukan.
Sekian detik berdiri, terdengar ucapan salam dengan bahasa logat yang tak dimengerti oleh Dasio terlontar dari bibir Mak Nap.
Keanehan justru dirasa Dasio, ketika berucap Mak Nap tak mengetuk daun pintu, tetapi justru menautkan dua telapak tangan, layaknya seseorang memberi hormat.
Tiga kali berulang, dari arah dalam terdengar jejak menapak mendekat. Krietan terdengar mengawali daun pintu terbuka, menandai satu sosok lelaki bertubuh tinggi, muncul dengan penuh wibawa.
Kharisma dari sosok itu benar-benar dirasakan Dasio. Wajahnya terlihat lembut ketika tebaran senyum mengembang sebagai sambutan atas kedatangannya. Belum lagi tubuhnya yang berbalut kain budaya, dengan penutup kepala menguncup, menebar harum yang menentramkan.
"Datuk, maaf mengganggu." ucap Mak Nap pelan seraya menunduk.

"Tak apa, Mak. Mari masuk." sahut lelaki yang biasa dipanggil Datuk, sambil melebarkan tangan isyarat mempersilahkan.
Dasio yang masih tetap berada di belakang Mak Nap, kemudian ikut masuk ke dalam rumah yang dipenuhi cahaya kuning bernuansa keramat.
Sampai di dalam, Dasio tak melihat adanya kursi ataupun sepotong meja. Yang ada hanya hamparan kain tebal sebagai alas lantai, dengan sebuah bejana terbuat dari tanah liat sebagai obor penerangan terletak di tengah.
Mengikuti Mak Nap yang duduk bersimpuh, Dasio hanya tertunduk. Tak sanggup ia beradu, bersitatap, dengan sosok Datuk Asnawi.

"Saya sudah tau maksud Mak Nap dan adek dari perantauan ini datang kemari. Jujur Saya ingin menolongnya, tapi kehendak kuasa tak mengijinkan saya."
ujar lelaki pemilik rumah, yang dikenal sebagai sesepuh Agung, sebelum Mak Nap maupun Dasio berbicara.
"Artinya anak itu tak tertolong?" tanya Mak Nap, menyahuti.

"Mak Nap pasti tau, apa artinya kalau “Timbe Amber” sudah kebuka?" sahut Datuk Nawi.
Ketegangan di wajah Mak Nap pun melesu mendengar kalimat itu. Dasio pun sama, meski tak banyak mengerti, namun ucapan tak sanggup menolong Rowi, ia tangkap dari perkataan Datuk Nawi.
"Kalu boleh saya sarankan, buat adek serombongan, pulanglah. Proyek itu bukan tempat aman mencari rezeki." sambung Datuk Nawi, memberi nasehat tertuju pada Dasio.
"Itu juga Mak, kenapa saya larang warga sini untuk ikut bekerja, selain dibukanya lagi Timbe Amber, sudah banyak lagi penghuni baru didatangkan. Tak lagi sedikit nyawa yang bakal jadi cenayang." ujar kembali Datuk Nawi menjelaskan.
Merah bertaut ngeri seketika tergurat dari wajah Dasio. Tak terbayang olehnya, bila tempat yang menjadi harapan mengais rezeki ia bersama enam temannya yang datang jauh dari kampung, menyimpan begitu banyak kesadisan.
Dirinya pun tersadar mengapa selama ini tak mengenal satupun pekerja proyek baik dari buruh maupun pengawas serta operator yang berasal dari warga sekitar. Dan saat itu juga,
ia bisa mengerti tentang semua kejadian aneh menakutkan yang beberapa kali dialami, ada keterkaitan dengan cerita singkat dari Datuk Nawi.
"Kalu masih ingin tetap bekerja, saya hanya bisa sarankan untuk adek supaya berlaku sopan. Jangan berucap tak elok, jangan langgar pantangan, dan terpenting, tutup mata tutup telinga."

Lepas mengucap pesan-pesan, Datuk Nawi mempersilahkan Mak Nap dan Dasio untuk pulang.
Gelengan kepala lagi-lagi terantuk, saat Mak Nap menanyakan keselamatan Rowi, sebelum melangkah pergi dari Rumah Agung milik Datuk Asnawi.
Bersambung ke Bab.II
Hallo Temen2~

Untuk Bab.II kisah "Sewu Ndas" sudah ada di karyakarsa ya. Buat kalian yang gak sabar mau baca duluan atau mau support akun ini, bisa langsung kunjungin link di bawah. Jangan lupa di follow juga :D

Tahank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Kita Lanjut yaa~
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.II : Janji Image
...

"Kalu masih ingin tetap bekerja, saya hanya bisa sarankan untuk adek supaya berlaku sopan. Jangan berucap tak elok, jangan langgar pantangan, dan terpenting, tutup mata tutup telinga."

Lepas mengucap pesan-pesan, Datuk Nawi mempersilahkan Mak Nap dan Dasio untuk pulang.
Gelengan kepala lagi-lagi terantuk, saat Mak Nap menanyakan keselamatan Rowi, sebelum melangkah pergi dari Rumah Agung milik Datuk Asnawi.

***
Bias kecemasan bersanding putus asa sangat kentara mencentang di wajah Dasio. Tak lagi ia perdulikan hal aneh sewaktu melangkah pulang, di mana salah satunya adalah waktu tempuh yang begitu singkat dibanding saat datang.

Tiba di depan barak, Mak Nap menghentikan langkah.
Wajahnya tegang, matanya terlihat tajam menyorot ke dalam barak bercahaya remang.

"Ada apa, Mak?" tanya Dasio terheran melihat sikap Mak Nap.

Diam, diam dan diam, yang dilakukan Mak Nap, meski Dasio beberapa kali mengulangi kalimatnya.
Rasa bingung pun menuntun Dasio untuk melangkah masuk mendahului, namun tertahan oleh tangan Mak Nap yang menarik lengan bajunya.

"Tahan, Dek!" seru Mak Nap.

Dasio yang belum paham hanya bisa mengikuti. Ia terdiam di samping Mak Nap yang masih terus menatap ke arah dalam barak.
Lima hingga sepuluh lebih tarikan napas tegang terhempas lirih. Terasa menyesak saat Mak Nap menggeleng dengan raut pucat datar, menandai hilangnya sebuah harapan.
"Maaf, Dek. Mak gak bisa masuk. Satu pesan Mak, jaga temanmu itu malam ini, jaga betul-betul." ucap Mak Nap dengan nada lemah.

Dasio hanya termangu tanpa sempat berucap. Sejenak menatapi punggung Mak Nap yang berlalu, meninggalkan pesan aneh terarti satu keseriusan.
Sampai akhirnya hilang tertelan kegelapan malam sosok Mak Nap, Dasio masih mematung. Kemudian tersadarkan oleh suara Kisman yang terdengar memanggil.

Cepat-cepat Dasio melangkah masuk menuju ke tengah hamparan panggung barak, tempat di mana tubuh Rowi kini terbaring.
"Piye, Kang?" (Bagaimana, Kang?) tanya Kisman spontan, mewakili teman lainnya.

Bingung untuk menjawab, Dasio pun menatapi satu persatu wajah temannya bergantian. Lalu beralih kembali pada tubuh lemah Rowi sambil menggeleng.
"Rowi ora masuk angin, lorone gak ono obate. Dewe gor kon dongakne, karo njogo sewengi iki." (Rowi bukan masuk angin, sakitnya tak ada obatnya. Kita cuma disuruh mendoakan, sekalian menjaga semalam ini.) jawab Dasio lirih.
Kisman dan yang lainya sebentar saling tatap mendengar penjelasan Dasio, lalu serentak terduduk lesu di tepian panggung, bingung dengan apa yang terjadi.

"Tolongggg ... Kang, tolonggggg...!!" Pelan, serak suara yang keluar dari mulut Rowi.
Rintihannya yang begitu memelas, membuat Dasio dan lainnya hanya bisa menitikkan air mata, tanpa tahu harus berbuat apa.

Jiwa-jiwa mereka kini terundung ketakutan bercampur kesedihan. Tak ada yang mengira, jika salahsatu teman mereka bakal mengalami hal seperti itu.
Diantara semuanya, dua wajah terlihat paling memucat. Gurat ketakutan begitu sangat jelas, tertanda pada Salim dan Nadir setelah singkat Dasio menjelaskan muasal dari sakitnya Rowi.
"Artine aku yo bakal ciloko, Kang." (Artinya saya juga akan celaka, Kang.) parau suara Salim, mengingat ia juga melakukan hal yang sama bersama Rowi.
"Ojo ngunu, Lim, Dir. Awak-awakmu kudu ndungo, yakin bakal slamet." (Jangan begitu, Lim, Dir. Kamu-kamu harus berdoa, yakin akan selamat.) sahut Dasio mencoba menguatkan Salim dan Nadir.
Tak hanya Dasio, Kisman bersama yang lain pun ikut menguatkan. Menjadikan suasana dalam barak berselimut keharuan di samping kesedihan akan keadaan Rowi.
Hal itu berlangsung sampai beberapa saat lamanya dan harus berubah menjadi sebuah kepanikan manakala Rowi menjerit keras, ketika berusaha untuk bangkit.

Mampu berposisi duduk sebentar, Rowi kemudian memelototkan bola matanya, sebelum mulutnya menyemburkan air beraroma busuk.
Lalu kembali roboh setelah seluruh pakaian yang melekat pada tubuhnya, terbasahi oleh muntahannya sendiri.

Lagi-lagi hanya kepanikan yang terlihat oleh Dasio beserta yang lainnya.
Hanya lantunan doa sebisanya dan ucapan-ucapan yang menguatkan, menjadi salah satu yang bisa dilakukan.

Hal itu dirasa berhasil melegakan Dasio dan lainnya, oleh sebab beberapa menit kemudian,
tepat setelah Rowi memuntahkan air berwarna hijau kental beraroma busuk bangkai, ia terdiam dari rintihan.

Wajah Rowi kemudian berpaling ke samping kanan dan kiri, menatapi satu persatu teman-temannya dengan seutas senyum kecil.
"Aku ojo di tinggal dewe nang kene, ojo ... ojo...." (Saya jangan ditinggal sendiri di sini, jangan ... jangan....)
Kalimat permintaan yang terucap dari mulut Rowi sangat jelas di telinga Dasio dan yang lain, tanpa tahu makna sesungguhnya. Mereka bersamaan mengiyakan, tanpa sadar berjanji untuk mendampingi.
Senyum kecil yang pada awalnya tersungging dari sudut bibir Rowi, kemudian setengah melebar. Membuat lelehan air kental berwarna hijau kembali mengucur deras keluar.
Rasa mual memusingkan kepala sebenarnya telah dirasakan oleh Dasio, Kisman dan yang lainnya sejak pertama Rowi memuntahkan air yang aneh itu. Tetapi mereka tahan kuat-kuat, demi keadaan Rowi.
Sepintas semua merasa lega melihat Rowi mampu untuk tersenyum. Apalagi sempat meminta segelas kopi, menandakan seakan dirinya telah sehat dan pulih dari sakit.

Rasa tak nyaman kembali dirasakan oleh Dasio setelah Rowi menghabiskan segelas kopi buatan Nanang.
Berawal dari suara gemuruh pelan dari arah luar, serentak dengan tapak-tapak kaki menjejak menuju arah barak. Saat itu hanya Dasio yang beranjak berdiri, sementara lima temannya masih duduk di samping tubuh Rowi.
Berdiri tegak, Dasio merasa ragu untuk melangkah menuju ambang pintu barak. Tetapi terdorong oleh rasa ingin tau, kakinya pun terayun maju dengan terpaksa.
Gelap berselimut kabut tipis suasana di luar. Angin malam yang berhembus menerpa, membawa hawa dingin lain yang tercampur riuhan aneh.
Sekilas tak ada yang bisa Dasio lihat, namun tak berselang lama, ketika gemuruh dan derap kaki kembali menyusup, matanya menangkap beberapa bayangan hitam berjalan menembus kabut malam.
Dasio membeku, Jiwanya luruh oleh pemandangan yang tersuguh di hadapannya. Pada empat sosok berjubah hitam tanpa bola mata, memanggul sebuah keranda.
Sekuat mungkin Dasio mundur menyandarkan tubuhnya pada tiang besi barak. Lalu terduduk gemetar, di sisi pinggir panggung tempatnya biasa istirahat.
Kala itu hanya Kisman yang melihat dirinya sangat ketakutan. Tetapi lagi-lagi, Kisman tak ikut mendengar apalagi melihat, jika empat sosok bertutup seluruhnya dengan kain hitam itu telah berdiri tepat di ambang depan barak, meletakkan keranda dari kayu di tanah.
"Sampeyan kenopo, Kang?" (Sampeyan kenapa, Kang?) tanya Kisman yang terus melihat sikap ketakutan Dasio.

Ingin sekali Dasio berucap, berteriak menjawab pertanyaan Kisman. Tapi untuk terbuka sedikit saja, bibirnya tak kuat, seperti terkunci.
Dan ketika semua temannya sadar akan keadaanya, saat itu juga empat sosok berbola mata bolong menghilang.

Meninggalkan seonggok keranda berbau anyir paduan aroma Gondoriyo, tergeletak lurus membujur antar ujung sudut pintu barak.
"Rowi! Rowi piye keadaane?" (Rowi! Rowi bagaimana keadaannya?)

Entah karena apa, tetiba Dasio merasa pikirannya dipenuhi oleh bayangan Rowi. Walaupun ia sendiri sudah tau bakal apa Rowi selanjutnya, namun tetap saja ia tak kuasa menahan kecemasan.
Bingung dan bingung Kisman beserta yang lain, ketika melihat keadaan Dasio. Mereka seolah dipacu dengan keadaan malam itu, oleh sebab yang belum mereka ketahui.
Segelas air putih sedikit menenangkan Dasio, ditambah dengan menghilangnya wujud keranda secara perlahan dari penglihatannya, menjadikan tubuh lemasnya bisa terdiam dalam pembaringan.
Tarikan napas Dasio memelan, seiring matanya terasa berat untuk terjaga. Kemudian terkatup rapat, menyeiring desiran rasa letih menuntunya untuk masuk ke alam mimpi.
***
Satu sentuhan kasar pertama dirasakan oleh Dasio sebelum membuka mata. Lirih-lirih suara tangisan di sela satu suara memanggil namanya, menghentak kesadaran dan tubuhnya untuk kembali terbangun.
Sembab memerah pertama di lihat Dasio pada wajah Kisman yang berada di sampingnya. Lalu beralih pada rekannya yang lain, yang sedang tersengguk di sisi tubuh Rowi.

"Nopo, Man?"(Kenapa, Man?) tanya Dasio bingung.
"Kang Rowi ra ono, Kang!" (Kang Rowi meninggal, Kang!) jawab Kisman dengan suara berat.

Dasio tersentak dan langsung mendekat menuju samping. Terpaku lesu, menatapi tubuh Rowi sudah membiru tanpa nyawa.
Kegaduhan segera menghingar di dalam barak pagi itu. Hampir seluruh pekerja dari bagian atas sampai bawah, sepakat menghentikan aktifitas, untuk menghormati suasana berkabung Dasio dan seluruh rekannya.
Satu persatu mereka berbahu mengiring rasa duka cita, dan ikut mengurus jenazah Rowi.

Sedikit kebingungan berujung pada perdebatan antara Dasio dan ke lima temannya, tentang pemakaman dan keluarga Rowi yang sudah tentu belum mengetahui.
Tetapi kemudian semuanya tersadar, bahwa bukan hal murah dan mudah pada kondisi saat itu bila ingin membawa pulang jenazah Rowi untuk dikubur di kampung halaman.
Atas saran dan kesanggupan dari Sanusi, akhirnya disetujui bila Rowi akan dikuburkan di tanah sisi sungai yang masih termasuk dalam wilayah proyek. Sanusi juga berjanji, bakal mengabari keluarga Rowi di kampung halaman, sekaligus memberikan santunan.
Acara kecil-kecilan pun di gelar di dalam barak oleh Dasio dan kelima temannya. Namun tak seperti biasa yang mereka lakukan di kampung, acara keagamaan untuk mengenang dan mendoakan Rowi hanya sekali berlangsung.
Sampai pada hari ketiga, duka mendalam masih menyelubungi di dalam barak. Tetapi tak ingin berlarut, mereka sepakat untuk kembali bekerja, dan mempercayakan urusan kematian Rowi yang dianggap karena sakit akut, kepada Sanusi.
Empat sampai ketujuh hari kemudian, keadaan sudah tampak biasa. Mereka semua sudah mulai menerima kenyataan bahwa telah kehilangan seorang teman yang sudah dianggap saudara di tanah perantauan, kecuali Dasio.
"Kabeh melu ngrasakne, Kang. Arep piye-piye, Kang Rowi podo karo sedulure dewe. Neng karangane saiki wes ra ono, digetuni tangisono yo ra kiro mbalek, dadi di ikhlasno ae."
(Semua ikut merasakan, Kang. Mau gimana-gimana, Kang Rowi sama dengan saudara sendiri. Tapi karena sekarang sudah tidak ada, disesali tangisi pun tak mungkin bisa kembali, jadi diikhlaskan saja.)
Kisman mencoba untuk menegarkan jiwa Dasio, yang terlihat masih berundung murung tiap-tiap sore setelah bekerja. Tetapi lain yang dirasakan oleh Dasio, bukan hanya sekedar kehilangan Rowi saja.
Namun lebih pada itu, kemurungan Dasio tak lepas dari kecemasan akan tempat yang saat itu menjadi rumah bagi mereka. Terlebih, dua temannya, Salim dan Nadir yang ikut melanggar larangan, masih menampakkan tanda membulat hitam di bagian luar mata.
"Man, tutugne utange dewe karo Pak Sanusi, bar iku dewe muleh kabeh." (Man, rampungkan hutang kita sama Pak Sanusi, setelah itu kita pulang semua.)
Ucapan itu tiba-tiba meluncur dari mulut Dasio, akibat dari rasa takut oleh buah melayang pikirannya sendiri, membuat Kisman terdiam di sampingnya, menunduk seakan menimbang.
Tak menunggu jawaban Kisman, Dasio kemudian berdiri menengadahkan wajahnya ke atas. Menatapi gumpalan-gumpalan awan tipis berserak, memupus senja sore berkilauan di ujung langit.
"Aku ngerti nek dewe butuh gawean. Aku yo paham karo kebutuhanmu kanggo ngijabno anakmu, neng gon gawean kene ngeres, mulo gak ono wong asli kene seng gelem melu megawe."
(Saya tau kalau kita butuh pekerjaan. Saya juga paham dengan kebutuhanmu buat menikahkan anakmu itu, tapi tempat pekerjaan ini angker, makanya tidak ada orang pribumi sini asli yang ikut bekerja.) ucap Dasio kembali memberi penjelasan.
"Nek perkoro ngeres, tak kiro kabeh nggon gawean model ngene iki roto-roto mesti, Kang. Kari awak e dewe le nganggonke. Masalah rembuk iki, yo mengko bengi di omongke bareng-bareng wae."
(Kalau perkara angker, Saya kira semua tempat pekerjaan model seperti ini rata-rata pasti, Kang. Tinggal kitanya yang menempatkan. Masalah rencana ini, ya nanti malam dibicarakan bersama-sama saja.)
Ujar Kisman menyahuti sambil berdiri, ikut menatap langit sebentar, sebelum membalikan tubuh lalu melangkah menuju barak.

Dasio yang sempat mengangguk, masih tegak di tempat biasa dirinya habiskan menunggu petang setelah bekerja sejak kematian Rowi.
Tempat yang berada di sisi kiri barak, berhampar tanah urukan rata, lurus ke kantin milik Mak Nap.

Ia baru beranjak setelah gugusan awan hitam di langit saling berkejaran dan menyatu, membentuk gumpalan tebal, mempercepat suasana alam menjadi gelap.
Sampai di barak, Dasio mendapati semua temannya telah selesai bersantap dan tengah bersantai dengan gelas berisi kopi mengepul, terhidang di hadapan masing-masing.
Sapa menawarkan sempat terucap dari mereka. Dasio yang mengiyakan langsung menuju papan tempat menyusun piring dan gelas, lalu berjongkok untuk mengeruk nasi bagiannya.
Sedikit lama Dasio terdiam sambil terus menatap pada kuali (priuk) tempat memasak nasi, membuat Kisman yang kebetulan memperhatikannya tertegun heran.

"Opo entek segone, Kang?" (Apa habis nasinya, Kang?) tanya Kisman, mengira Dasio tak kebagian jatah nasi.
"Iseh, Man. Neng kapan le masak iki, kok wes mambu?" (Masih, Man. Tapi kapan masaknya ini, kok sudah basi?) jawab Dasio mengernyit heran.

Sontak ucapan Dasio menarik perhatian Kisman serta yang lain untuk mendekat.
Mereka semua penasaran, sebab belum sampai dua jam memasak dan baru setengah jam yang lalu mereka menyantap. Namun semuanya kemudian diam,
bingung, saat membuktikan sendiri bila nasi dalam priuk yang semestinya masih hangat untuk Dasio, benar bertumpang bau basi, bahkan telah sampai pada berlendir.
Hal itu menjadikan hening bertaut tegang bersendu suasana dalam barak. Gurat mempias seketika tergambar jelas pada wajah Salim dan Nadir, terselubung ketakutan tersendiri.
"Mugo-mugo ra ono opo-opo."(Moga-moga tidak ada apa-apa.) Ucap Dasio memecah ketegangan yang semakin terasa menyelimut tebal.

Namun semua itu tak cukup menentramkan jiwa Salim serta Nadir. Keduanya sesaat saling tatap, seolah melempar rasa khawatir begitu mendalam.
"Iki tondo lelayu. Opo kanggo Aku karo Salim mergo tau bareng Kang Rowi ados wengi nang kali seng kudune dadi pantangan?" (Ini tanda duka cita. Apa untuk Saya dan Salim karena pernah bersama Kang Rowi mandi malam di sungai yang seharusnya jadi pantangan?)
ujar Nadir, diiringi sesenggukan berucap dengan kalimat yang membuat seluruh rekannya terperanjat.

Sambutan muram keputusasaan juga langsung terlihat pada wajah Salim. Lenguhan napasnya terasa sangat lirih, bertolak dengan gerakan dadanya naik turun sangat cepat.
"Ojo muni ngunu, Kang. Dewe kabeh ndungo bareng-bareng, sampeyan karo Kang Salim tetep sehat, selamet." (Jangan bicara begitu, Kang. Kita semua berdoa bersama-sama, Sampeyan dan Kang Salim tetap sehat, selamat.) Timpal Kisman yang di-amini semua rekannya.
Dasio sendiri yang sedari awal hanya diam mendengarkan, kini beranjak mendekati Nadir dan Salim bergantian. Mengusap pelan pundak keduanya, sembari mengucapkan kalimat-kalimat penyemangat, sebelum berjalan keluar.
Bersambung....

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab II ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa, dan jangan lupa di follow juga ya temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Yok lanjut~
Cahaya mengerlip masih tampak dari kejauhan, tertangkap mata Dasio. Ia pun bergegas mengayunkan kaki, menuju kilauan cahaya lampu berasal dari Kantin Mak Nap.
Selain rasa lapar, ada hal penting lain menyangkut dengan apa yang baru saja ia dan rekan sekampungnya alami. Untuk itulah ia bergegas tanpa berpamitan pada Kisman dan yang lain.
Gerak langkah mengayun cepat dilakukan oleh Dasio manakala rintikan air hujan mulai berjatuhan, tepat ketika buliran air yang jatuh membesar dan deras, ia sampai di pintu depan kantin.
Sepi menghenyak suasana dalam kantin saat Dasio melangkah masuk. Tak terlihat sosok Mak Nap yang biasa mulai berkemas setelah lantunan Adzan Isya, atau kala semua pekerja selain rombongan Dasio selesai bersantap malam.

"Mak, Mak!"
Seruan memanggil beberapa kali diteriakan oleh Dasio bersela kratakan suara air hujan yang mengguyur atap. Berulang dan diulangi lagi sampai terdengar sahutan dari ruang belakang.

"Masuklah...!"
Tersisip ragu Dasio untuk melangkah masuk saat itu meski tahu jika sahutan itu adalah suara milik Mak Nap. Bukan karena keberadaan Mak Nap yang belum ia tahu, tetapi pada ruang dalam kantin yang tiba-tiba berselimut sliweran asap tipis membawa aroma wewangian khas acara pemujaan.
Sedikit lama Dasio berdiri terdiam dalam bimbang, sebelum kembali tersentak oleh suara Mak Nap yang kembali mempersilahkannya untuk masuk.
Hanya butuh sepuluhan langkah untuk Dasio mencapai ruang beralas tanah tak berpintu bagian belakang. Remang pencahayaan di tempat itu, tempat di mana Dasio melihat Mak Nap tengah duduk berlampit selembar tikar anyaman.

"Duduklah, Dek."
Tanpa menjawab, Dasio memberanikan diri masuk menuruti perintah Mak Nap, menghenyak di belakang.

"Mak...." panggil Dasio pelan.

"Tunggu sebentar lagi!" sergah Mak Nap tanpa menoleh, memotong ucapan Dasio.
Kernyitan di kening Dasio segera mengendur, tertunduk menunggu, menahan rasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Mak Nap.
Bait-bait beraksara logat khas daerah, sesekali terdengar telinga Dasio memecah keheningan. Membuatnya terkadang mengangkat kepala, menatap pada sosok Mak Nap yang duduk membelakanginya.
Jelas sekali bagi Dasio bahwa saat itu Mak Nap tengah melakukan satu ritual penting. Dirinya teryakini bukan hanya pada pakaian yang dikenakan berbeda dari biasanya,
tetapi lebih kepada aneka bunga yang tertumpuk di atas nampan tanah, bersanding dengan alas genting tempat kerlipan bara api arang bercampur kemenyan, mengeluk asap tebal membumbung.

"Kamu harus tau, bekerja di sini bukan cuma modal tenaga dan berani."
Menengadah seketika kepala Dasio mendengar ucapan Mak Nap. Bersitatap sejenak, menyelami sorot tajam dari bola matanya.
"Sesuai pesan Datuk Nawi, kamu dan temanmu masih bisa selamat, asal meninggalkan tempat ini, kecuali dua temanmu." Sambung Mak Nap, sambil merapikan perapian di laman genting.
"Untuk itu saya ingin bicara sama, Mak. Bagaimana caranya kami semua bisa pulang dengan selamat. Cukup satu teman kami yang jadi korban." Jawab Dasio.
"Apa kalian sudah terikat perjanjian dengan Pak Sanusi?" tanya Mak Nap dengan memicingkan wajah, seraya menggerai kain sulam menyilang penutup kepala.
Dasio terdiam berpikir. Mengingat kembali pertemuannya dengan Sanusi saat berunding mengenai pekerjaan yang sedang ia bersama temannya kerjakan.

"Seingat saya, kami hanya terikat oleh pekerjaan, Mak. Tak ada yang lain." Jawab Dasio.
Giliran Mak Nap saat itu langsung memalingkan wajah, manatap ke arah dinding papan penutup ruang belakang Kantin.

"Saya yakin bila di antara kalian sudah bersepakat. Untuk itu ketenangan sungai ini bergolak, menuntut kembali." Lirih suara Mak Nap.
"Apa hubungannya dengan kami, Mak?" timpal Dasio tegang.

"Bukan pada kaliannya, tapi pada Sanusi." ucap Mak Nap, kembali menyahuti.
Ingin Dasio saat itu mengejar beberapa pertanyaan lagi sebagai ungkapan rasa penasaran. Terutama akan sosok Sanusi, orang yang membawanya bersama ke enam temannya untuk bekerja di tempat itu.
Apalagi, beberapa kali nama itu disebut oleh Mak Nap, menjadikan praduga tertanam di benak Dasio akan keterlibatannya dengan semua kejadian yang tengah dialaminya.
Tetapi, semua itu harus Dasio tahan. Belum sempat ia berucap, Mak Nap yang sudah bangkit menempelkan jari telunjuk di mulut.
"Kamu ke sini dalam keadaan lapar, sekarang makanlah. Semua keingintauanmu akan terjawab sendiri. Mak gak mau ketarik jauh dengan masalah ini." Ujar Mak Nap.
Sepiring nasi dan lauk kemudian tersaji di atas meja kecil hasil olah cekatan tangan Mak Nap. Tak berani membantah, Dasio pun segera mendekat serta melahap sajian hidangan itu.
Setelah memindahkan nasi dan lauk dari piring ke dalam perutnya, Dasio kemudian kembali ke depan, menghampiri Mak Nap yang mulai berkemas. Membantu sampai rapi, sebelum akhirnya Dasio berpamitan.
Siur-siur derit gesekan antar batang bambu menemani langkah Dasio menuju barak. Sesekali tangannya bersedekap, menghadang hembusan angin dingin bercampur kabut tipis sisa dari turunnya rahmat Tuhan.
Gerak langkah kaki Dasio dipercepat kala menyadari kantin Mak Nap sudah gelap. Menandakan jika sosok Wanita itu sudah menutup dan pulang ke dusun.
Tiba di area tanah becek berjarak seratusan meter dari barak, rasa was-was tetiba menyergap benak Dasio, manakala matanya menangkap satu sosok yang tengah berdiri.
Berhenti sebentar, Dasio terus memperhatikan sosok yang membelakanginya itu, kemudian selangkah demi selangkah pelan ia maju mendekat, memastikan sosok yang seperti tak asing baginya.
Dari rasa was-was, sedetik kemudian berubah menjadi pacuan degup jantung saat tinggal beberapa langkah jarak Dasio dengan sosok itu.

Mulai postur tubuh hingga pakaian yang dikenankan, sangat membekas diingatan Dasio jika pemiliknya adalah Rowi.
Hanya saja, aroma dari tubuhnya saat itu yang berbeda, tersusur wangi menghempas, kembang Kamboja.

Berselang beberapa tarikan napas, rasa beku menjalari kedua kaki dan tengkuk Dasio ketika sosok itu membalikkan badan.
Memperlihatkan seraut wajah yang memang dikenal Dasio namun tak sesempurna sewaktu hidup.

"Rowi!"

Lirih suara Dasio menyebut nama Rowi, tertahan oleh keterkejutan berujung pada ketakutan.

"Aku ora lilo, Kang! Aku ora lilo...." (Saya tidak rela, Kang! Saya tidak rela....)
"Aku pingin muleh ... Muleh ... Muleh...." (Saya ingin pulang ... Pulang ... Pulang....)
Dingin, seluruh persendian tulang Dasio mendengar suara rintihan dari sosok Rowi. Ia pun tertunduk, tak sanggup menatap wajah yang dulu sangar, kini terlihat mengembung pucat pasi dengan bola mata melotot terleleh darah kental.
"Bukkk...!" Tak kuasa lagi menopang tubuhnya, Dasio pun jatuh terduduk.
Cukup lama ia terdiam, mengabaikan tanah becek yang mengotori pakaiannya. Sedikitpun tak ada keinginan untuk menengadahkan wajah, selagi dengus napas berbau kembang Kamboja masih tersesap hidung pertanda sosok Rowi masih mengubang di hadapannya.
"Sampean ngopo ndoprok nang kene, Kang?" (Sampeyan mengapa duduk di sini, Kang?)

Seketika Dasio pun terjingkat. Diangkat wajah pucatnya, lalu menarik napas lega, ketika sadar bahwa sosok Rowi sudah menghilang.
Enam pasang tangan kemudian meraih tubuh Dasio dan memapahnya berjalan menuju barak. Mendudukkan di atas panggung papan bersusun, meneguk segelas air putih yang diulurkan Kisman.
"Enek opo Sampeyan njagong karo nangis nang ngarep kono, Kang?" (Ada apa Sampeyan duduk sambil nangis di depan situ, Kang?) kembali, Kisman yang sudah menyadarkan dan memapah Dasio bersama dua temannya bertanya.
"Aku ... Aku mau dicetuk i arwah e Rowi, Man." (Saya ... Saya tadi ditemui arwahnya Rowi, Man.)
Bergetar Dasio menguatkan jiwanya menjawab pertanyaan Kisman, membuat semua orang di dalam barak yang mendengar ucapannya, sejenak terdiam sebelum akhirnya saling mendekat kepada Dasio.
Sebenarnya enggan bagi Dasio saat itu untuk menceritakan kejadian yang baru beberapa puluh menit berlalu, mengingat bagaimana ngeri dan rasa takutnya saat melihat sosok Rowi yang baru memasuki hari ketujuh dikuburkan.
Namun, desakan dari beberapa temannya, membuat Dasio pun terpaksa merangkai kalimat, menggambarkan bertemunya ia dengan sosok Rowi.
Antara percaya dan merasa kurang yakin, menjadikan sedikit riuh suasana dalam barak. Nanang, orang paling muda di antara lainnya, satu-satunya yang tak yakin bila sosok Rowi yang sudah tertanam dalam tanah bisa bangkit.
"Aku percoyo enenge alam liyo, neng aku ora yakin nek arwah e Kang Rowi iso nyetuk i, Kang." (Saya percaya adanya alam lain, tapi saya tidak yakin kalau arwahnya Kang Rowi bisa menemui, Kang.) Ujar Nanang memberi alasan.
"Percoyo karo ora iku hakmu, Nang. Neng omonganku pisan iki tolong digugu, dewe kudu muleh." (Percaya dan tidak itu hakmu, Nang. Tapi ucapanku sekali ini tolong dipercaya, kita harus pulang.)
Lagi-lagi ucapan Dasio memantik keheranan dari wajah rekan-rekannya, terutama Nanang dan Kisman, sedangkan raut menyetujui tersirat dari wajah Salim dan Nadir.
"Ojo keburu ngunu, Kang. Dewe lagek kerjo pirang dino gek yo akeh utang karo Pak Sanusi." (Jangan terburu begitu, Kang. Kita baru kerja berapa hari dan masih banyak hutang sama Pak Sanusi.) Kisman, yang tadinya hanya menyimak angkat bicara.
"Iki urusane nyowo, Man. Ora guyon perkoro iki!" (Ini urusannya Nyawa, Man. Tidak main-main perkara ini!) sahut Dasio menyeru tegas.
Bantahan demi bantahan, alasan serta perbedaan pikiran akhirnya menjadi ajang perdebatan antara Dasio dengan Kisman dan Nanang. Sedang yang lain hanya mendengar tanpa berani memihak.
Tak berujung kesepakatan, mereka pun terhenti dengan sendirinya. Menjadikan suasana hening, terlepas semua penghuni barak terhanyut oleh kukuhan pendapat masing-masing.
"Dipikir neh jeru-jeru urusan iki, aku yo wes gak arep mekso sopo wae supoyo percoyo." (Dipikir lagi dalam-dalam urusan ini, saya juga sudah tidak akan memaksa siapa pun untuk percaya.) Ucap Dasio setelah menghempas napas berat, mengakhiri perdebatannya.
Berbaring dengan kepasrahan, Dasio kembali terbayang sosok arwah Rowi. Kalimat rintihan pun bersliweran dalam kepala, membuat matanya enggan mengatup.
Berkali-kali ia mencoba mengistirahatkan tubuhnya agar terbebas dari pintasan kejadian itu, tetapi bukannya menghilang, justru suara lirih memilukan dari sosok Rowi semakin santer terdengar lirih di telinga.
Merasa tersiksa, Dasio kemudian memilih bangkit dan duduk menyandar pada tiang sudut pingir barak. Matanya lurus menatap pada lima tubuh rekannya yang kini terbaring, membuat sejenak melupakan bayangan arwah Rowi.
Di tengah lamunan melambung ke banyak hal, Dasio tetiba tersentak akan dua tubuh rekannya yang terbangun. Menatap heran pada dua wajah yang saat itu juga tengah memandang ke arahnya, dengan siratan penuh ketakutan.
Pelan Dasio kemudian mendekati ke dua rekannya yang tak lain Salim dan Nadir. Melewati tiga tubuh temannya, sebelum sampai di hadapan dua rekannya itu.
Baru saja mendekat, Dasio terkejut. Matanya terbelalak, mendapati wajah Salim dan Nadir berhias lingkaran hitam pada luar mata. Tak hanya itu, kulit mereka pun sama, membiru, kontras dengan bibir yang pucat sayu.
"Kang, opo aku karo Nadir wes arep mati tenan? Ket mau koyo diceluk i Kang Rowi terus." (Kang, apa saya dan Nadir sudah akan mati? Dari tadi seperti dipanggil Kang Rowi terus.)
Terhenyak tubuh Dasio mendengar ucapan Salim. Kebingungan seketika tak dapat ia sembunyikan, menggurat jelas pada wajahnya.

"Ojo muni ngunu, sisok dewe muleh. Tenango!" (Jangan bicara seperti itu, besok kita pulang. Tenanglah!) sahut Dasio menenangkan.
"Aku wedi, Kang. Wedi ... Wedi ... Wedi...."(Saya takut, Kang. Takut ... Takut ... Takut....)

Parau menghiba suara yang keluar dari tenggorokan Nadir. Berkali-kali Dasio mencoba menguatkan, namun tetap tak merubah apapun.
Sampai waktu menjelang subuh, Dasio, Nadir dan Salim masih dalam kungkungan rasa tegang. Baru setelah munculnya semburat merah tipis dari ujung langit, Nadir dan Salim sedikit terlegakan.
Keduanya kemudian berkemas, memantapkan diri untuk kembali ke kampung halaman mereka meski tanpa hasil.

Dasio yang mendukung dan juga berencana untuk ikut pulang, sejenak berunding kembali dengan Kisman dan rekan lainnya.
Akan tetapi semua tetap bersikeras untuk melanjutkan bekerja, walau tanpa dirinya, Nadir dan Salim. Ketika saatnya mereka akan berangkat, sebentar tertunda dengan kehadiran Sanusi.
Entah dari mana ia tahu, tapi sangat jelas kedatangannya sepagi itu memang disengaja untun datang ke barak.

Secara singkat Dasio menjelaskan alasan ia dan Nasir serta Salim berkeinginan pulang.
Tak semua ia ceritakan, sebab dalam batinnya masih menyimpan tanda tanya besar, tentang keterkaitan sosok lelaki yang duduk berhadapan dengannya saat itu.
"Aku gak nglarang sopo ae seng arep muleh. Kecuali awakmu, Das. Mergo isone do teko kene iki kesepakatane dewe. Awakmu iseh nduwe tanggung jawab. Mulo, nek Salim, Nadir, arep muleh monggo, neng Awakmu tetep gon kene sampek rampung gawean iki."
(Saya tidak melarang siapa saja yang mau pulang. Kecuali Kamu, Das. Karena bisanya mereka sampai di sini itu kesepakatannya kita. Kamu masih mempunyai tanggung jawab. Untuk itu, kalau Salim, Nadir, mau pulang silahkan, tapi samu tetap di sini sampai selesai pekerjaan ini.)
Tanggapan dari Sanusi spontan menghenyak diri Dasio. Antara bingung dan marah, membaur menjadi satu muncul ke permukaan wajahnya. Ia merasa telah terjebak, tetapi mau tidak mau harus diakuinya, bila memang dirinyalah sejak awal yang dilimpahkan semua tanggung jawab rombongannya.
"Salim, Nadir gak perlu nyaur utange. Awakmu oleh ngeterke teko terminal Das, sak bare kudu mbalek." (Salim, Nadir tak perlu membayar hutangnya. Kamu boleh mengantar sampai terminal Das, setelahnya harus kembali.)
Ingin Dasio saat itu membantah semua ucapan Sanusi, tetapi rangkaian kalimat bantahan tak mampu ia kemukakan. Ia sendiri bingung, merasa pupus keberaniannya terkebiri ketika bersitatap dengannya.
Dengan paksaan jiwa yang separuh merelakan, Dasio akhirnya mengantar Nadir dan Salim menuju sebuah terminal satu-satunya di wilayah itu dengan berbantu mobil atas perintah Sanusi.
Bersambung. InsyaAllah saya lanjut lusa ya temen2 :D

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab II ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa, dan jangan lupa di follow juga ya temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Kita mulai lagi ya~
Sedari awal berangkat, Dasio seperti merasakan hal lain. Mobil yang ditumpangi seakan bermuatan berat, padahal di dalam hanya terdapat dirinya, Salim, Nadir serta seorang sopir yang diperintahkan oleh Sanusi.
Semakin memasuki area jalan berhias semak belukar di kanan kiri, rasa tak nyaman semakin melekat kuat. Kilauan cahaya matahari yang mulai memanaskan bumi, seharusnya mampu membuat tubuhnya tak merasai hawa anyep dan lembab.
Namun nyatanya, hal itu tak berlaku, bahkan perlahan merubah menjadi hawa duka pembawa kematian.
"Sampeyan ati-ati nang kene, Kang. Kudu iso muleh slamet." (Sampeyan hati-hati di sini, Kang. Harus bisa pulang selamat.) Lirih membisik ucapan dari Salim, saat mobil mulai memasuki jalan hitam aspal.
Awalnya Dasio hanya diam tak menanggapi kalimat pesan itu, sebelum sudut matanya memicing ke arah Salim dan Nadir yang duduk bersebelahan, menangkap bulatan menyembul berwarna merah kehitaman pada luar mata keduanya.
Hal itu seketika mengingatkan pada sosok Rowi sebelum meninggal. Sama persis, termasuk aroma yang keluar dari tubuh mereka.
Gusar tak menentu batin Dasio, ketika harus membayangkan hal buruk akan menimpa Salim dan Nadir, sampai dirinya tak sadar jika mobil yang sedang ditumpanginya itu sudah berhenti.
Keramaian hilir mudik orang-orang di tempat itu sekali lagi tak mampu menghapus jejak gelisah dalam hati Dasio. Apalagi kala waktunya ia harus kembali, meninggalkan Salim dan Nadir di sebuah loket, bisikan perpisahan menggaung jelas di telinganya.
Iringan bait saling mendoakan serta uluran jabat tangan, menjadi salam perpisahan antara Dasio dan dua rekannya itu. Setelahnya, Dasio harus kembali menapak jalanan hitam aspal sebelum masuk jalan tanah menuju barak.
Tetapi ketika sampai di titian pertigaan yang sempat dilewati kala berangkat, mobil tak membelok ke arah kanan, tetapi tetap melaju lurus, menyimpang dari jalan yang seharusnya dilewati ke arah barak.
Saat itu Dasio hanya terdiam, ia berpikir bila sang Sopir ingin melalui jalan lain, namun memasuki hampir satu jam perjalanan, Dasio mulai merasakan sebuah keganjilan.

"Kita mau kemana ini, Pak?" tanya Dasio yang sudah tak dapat menahan keingintahuannya.
Sang sopir hanya terdiam membisu dan mengacuhkan ucapan Dasio. Diulang hingga ke tiga kali tetapi sama saja, membuat Dasio mulai sedikit mewaspadai akan satu hal buruk bakal terjadi.
Tiba di sebuah sungai selebar empat meteran dengan bertalut miring, sang Sopir kemudian membelokkan kemudinya ke arah kiri, melewati jembatan selebar tiga meteran berdinding besi bulat sebagai penyangga, mendekati sebuah gapura tinggi bertuliskan sebuah nama desa.
Setelah memasuki gapura bersusun tiga kuncupan meruncing ke atas, mobil kembali berbelok ke arah kanan, menyusur jalanan berkerikil sejauh lima ratusan meter, sebelum memasuki hamparan halaman berumput nan luas.
"Pak Dasio sudah ditunggu oleh Pak Sanusi."

Sepanjang perjalanan, baru kali ini Dasio mendengar suara dari lelaki berkulit bersih, berumur di bawahnya sedikit yang mengemudi. Tanpa senyum, berwajah serutan datar.
"Silahkan Pak Dasio masuk." Kembali sang Sopir berucap, tanpa memalingkan kepalanya.

Dasio sejenak tergagap, kemudian segera turun, menatap ke arah depan, pada sebuah bangunan rumah mewah bernuansa adat jawa kuno.
Sirat kekaguman menghampiri batin Dasio yang masih berdiri mengitari seluruh sudut rumah bagian luar dengan matanya. Baginya, suatu hal luar biasa pencapaian seorang Sanusi yang dikenalnya sejak dulu, meski berbeda desa.
Dasio tahu bila Sanusi memang sudah lama merantau, namun baru kali ini ia melihat langsung keberhasilannya, yang mana sebelumnya ia hanya mendengar dari mulut ke mulut saja.

"Reneo, Das!"
Satu panggilan segera menyadarkan Dasio. Suara khas yang ia kenal dari sosok yang berdiri di ambang pintu kayu lebar bercorak tatahan mengukir.

Menapak pelan menuju rumah tinggi, menyisakan kesungkanan dalam diri Dasio.
Kesan lebih mewah dari bagian luar, sangat tampak kala Dasio menjejak di lantai marmer teras. Kilauan gemerlap kekuningan memantul dari dalam, membuat sejenak Dasio tergugup dalam kekaguman.
Namun, perasaan lain langsung menggerus anggapan Dasio, saat masuk mengikuti perintah Sanusi. Anyep dan terasa hampa hawa menerpa kulit tubuhnya, berhantar aroma aneh yang belum pernah sekalipun dirinya baui sebelumnya.
"Koyo ngenekilah gubukku, Das." (Seperti inilah rumahku, Das.) ucap Sanusi setelah mempersilahkan duduk Dasio.

"Gubuk e wong sugeh iki, Pak." (Rumahnya orang kaya ini, Pak.) sahut Dasio membalas basa-basi Sanusi.
Deretan gigi putih sepintas menghiasi wajah Sanusi, kala tertawa menanggapi ucapan Dasio, sebelum kemudian bangkit mendekat.

Tiga kali tepukan pelan mendarat di pundak, membuat Dasio menunduk segan.
"Awakmu iso gawe omah ngene iki, bahkan iso luweh apik. Asal gelem melu aku ngrampungke proyek iku." (Kamu bisa membuat rumah seperti ini, bahkan bisa lebih bagus. Asal mau ikut saya menyelesaikan proyek itu.)
Lirih seperti berbisik suara Sanusi. Tetapi sanggup membuat Dasio terjingkat, seakan tak percaya.

"Ojo kuwater, tak jamin awakmu sukses. Iso gowo keluargamu mrene, nduwe hak milik dewe."
(Jangan khawatir, saya jamin kamu sukses. Bisa bawa keluargamu ke sini, mempunyai hak milik sendiri.) sambung Sanusi yang semakin membuat mata Dasio terbuka lebar.

"Aku urung paham, Pak?" (Saya belum paham, Pak?) tanya Dasio pelan, bersusup harapan.
"Penting awakmu sanggup. Karo mlaku, mengko awakmu ngerti lan paham." (Penting kamu sanggup. Sambil jalan nanti kamu tau dan paham.) jawab Sanusi dengan sunggingan senyum tipis.
Tak menjawab ataupun mengangguk, Dasio masih tertunduk dalam rajutan angan-angan. Kemudian sebentar mengembangkan senyum terpaksa, saat Sanusi mengangguk sebagai isyarat untuknya menerima.
"Saiki arep muleh nang kem monggo, arep istirahat kene disek yo rapopo, Das." (Sekarang mau pulang ke barak silahkan, mau istirahat di sini dulu juga tidak apa-apa, Das.) ujar Sanusi, setelah sekian lama berbincang.
"Muleh ae, Pak." (Pulang saja, Pak.) sahut Dasio sebelum bangkit dari tempat duduknya dan menyalami sang pemilik rumah.

Jangkahan kaki Dasio terlihat mantap mengayun manakala keluar dari rumah mewah Sanusi.
Wajah kerasnya pun melentur, terkukup oleh harapan membentang cerah, tanpa tahu seperti apa jalan yang bakal ia tapaki selanjutnya.
Lagi-lagi sepi, tak ada percakapan dari dalam mobil. Dasio dan sang Sopir hanya saling diam sejak putaran roda empat menggulir meninggalkan rumah Sanusi. Laju mobil pun semakin mengencang setelah menapak di jalanan aspal.
Sang sopir terus fokus menatap ke arah depan, sementara Dasio memandang ke samping terantuk angan-angan tentang tawaran Sanusi.

Tiba di jalan yang rusak penuh lubang dengan pemandangan kanan kiri semak belukar, Dasio mulai merasakan sebuah keganjilan.
Dari mulai membaui wewangian yang sama persis dengan yang tercium di rumah Sanusi, juga beberapa penampakan sosok yang terlihat sekilas berada di belakangnya.
Sesampainya di tempat tujuan, barak terlihat sepi. Dasio yang turun dari mobil hanya melihat tumpukan piring-piring kotor dan gelas yang berserakan.
Belum sempat mengucapkan kalimat apapun, mobil kembali pergi melaju, menjauh dari halaman barak dan hanya meninggalkan Dasio, juga aroma wangi khas yang ikut tersisa.
Dasio kemudian melangkah masuk ke dalam barak, bersikap biasa meski dirinya merasa bila masih diikuti oleh sesuatu. Rasa lelah akhirnya menuntun tubuhnya berbaring. Bersanding dengan bayang lolongan beberapa pasang mata yang terasa mangawasi, menghantarnya terlelap.
Menjelang sore, Dasio pun terbangun dengan tersentak. Napasnya memburu bersamaan kucuran keringat.
Sangat jelas dan seolah nyata dengan apa yang baru saja ia lihat dalam tidur, yang dibarengi dengan teriakan-teriakan menyayat dari Salim dan Nadir, masih tersisa dalam rongga pendengarannya.
"Ono kedaden opo iki!?" (Ada kejadian apa ini!?) gumam Dasio pada dirinya sendiri.

Bergegas bangkit, Dasio berjalan menuju tempat kerja Kisman dan rekannya yang lain, tepat ketika itu, lima temannya baru saja selesai bekerja dan bersiap pulang.
Sebentar saja Dasio berbincang dengan Kisman, lalu ia meneruskan langkah menuju ke kantin Mak Nap.

Sepi ketika Dasio sampai. Tanpa basa-basi lagi, ia pun masuk dan duduk di hadapan meja panjang tempat hidangan tersaji.
Dan tak berapa lama, seraut wajah yang mulai dihinggapi keriputan muncul dari arah belakang, menatap sendu tanpa senyuman pada Dasio.

"Kamu yakin temanmu selamat?" ucap Mak Nap tiba-tiba.

Dasio tertegun sejenak, lalu menggeleng seperti tak yakin untuk menjawab.
Mak Nap kemudian duduk sebentar di hadapan Dasio, lalu bangkit berniat membuatkan segelas kopi. Tetapi baru saja ia berdiri, wajahnya seketika berubah.

"Apa kamu menyanggupi sesuatu? Apa kamu menjalin perjanjian?" tanya Mak Nap tegas, membuat Dasio terbengong.
"Maksud, Mak?" sahut Dasio bingung.

"Tak mungkin mereka mengikutimu kalau tak ada perjanjian." sahut Mak Nap lirih sambil berlalu.

Dasio akhirnya mulai sedikit mengerti mengapa Mak Nap bertanya seperti itu.
Tetapi ganjalan dalam pikirannya, ia tak pernah mengikat perjanjian apapun, atau dengan siapapun.

Sebentar menunggu, Mak Nap kembali dengan segelas kopi hitam yang masih mengepul, dan meletakkan tepat di hadapan Dasio dan mempersilahkannya.
"Rupannya dugaanku benar, kamu orang yang dipilih." ujar Mak Nap setelah kembali duduk di depan Dasio, bersekat meja.

"Saya benar-benar tak mengerti, Mak? Tolong jelaskan tentang yang Mak tau?" sahut Dasio.
"Sulit, Dek. Ada batasan yang harus dijaga. Sebentar lagi kamu akan mengerti semuanya." ujar Mak Nap, setelahnya langsung berdiri.

"Prannggg ... Prangggg...!!"

"Pulang ke barakmu, Dek! Cepat...!!"
Dasio terpaksa bangkit dengan kebingungan. Bukan hanya karena suara Mak Nap yang tegas mengusir, tetapi juga suara layaknya pecahan kaca dari arah belakang yang terdengar begitu nyaring.
Terburu langkah Dasio keluar dari dalam kantin. Sebelum jauh, ia menyempatkan menoleh sebentar, namun hanya kosong tak terlihat sosok Mak Nap. Ia pun kembali bergegas melangkah lebih cepat. Berburu dengan waktu yang ternyata telah beranjak dan mulai memasuki waktu surup.
Sampai di pertengahan jalan, Dasio melambatkan ayunan kaki. Dia sempat terhenti, ketika dari seberang sungai dari atas tanggul lurus ke arah pondok kecil, melihat sesosok wanita bergaun putih.
Sosok itu berdiri tegak menatap ke arah hamparan air sungai. Tak bergerak, hanya diam terpaku.

Dasio terlihat ragu antara meneruskan pulang ke barak atau menghampiri sosok itu.
Ia pun menimbang beberapa kali, sampai akhirnya memutuskan untuk sebentar menghampiri sosok wanita berambut sepinggang.
Sapuan angin petang mengiring kaki Dasio untuk menapaki tanah uruk tanggul yang becek bekas guyuran air hujan, dan sesampainya di tengah, atau tepatnya di pancang yang masih tertutup kain hitam, Dasio berhenti.
Ia terlihat ragu untuk meneruskan, sebab kini sosok itu bergerak, melangkah maju menuju rerimbunan rumpun bambu.
Dasio terus berdiri sembari matanya tetap lekat menatapi sosok yang terlihat begitu ringan berjalan. Menggerai rambutnya yang hitam kelam, tersiur ayunan kaki serta terpaan angin.
Lima menitan kemudian, setelah sosok itu menghilang tertutup rimbunan belukar bambu, Dasio pun berbalik untuk kembali ke barak.
Namun, ketika satu langkah kaki kanannya baru berayun, tiba-tiba dari arah bawah sungai, dari pancang paling tengah yang belum terpasang pilar besi, sahut menyahut jeritan suara bocah, menghentak jiwa Dasio.

"Tolong ... Tolong ... Tolonggg...!!"
Sebentar saja suara jeritan itu kemudian berubah menjadi rintihan memilukan yang meminta tolong, membuat batin Dasio tak sanggup mendengar, dan lebih memilih untuk berlari meninggalkan.
Tiba di tanah menghampar yang biasa dijadikan tempat untuk memarkir mobil para petinggi proyek, Dasio tersujud mengatur napasnya.
Lututnya terasa ngilu, tubuhnya dingin dan sedikit gemetar. Tak sampai lima menit, ia kembali tegak. Tanpa menoleh lagi, cepat-cepat Dasio menuju barak.
Lampu teplok yang sudah beberapa hari menjadi penerang barak, pertama menyambut Dasio. Tak ada sosok siapapun yang ia temui, membuatnya terheran bingung.
Tak cukup bertanya dalam hati, ia pun memanggil dengan suara sedikit keras sambil mengitari area samping barak. Berkali-kali suaranya menggema, namun hanya bersahut binatang malam yang lebih nyaring.
Merasai lelah tanpa hasil, Dasio lalu memilih masuk ke dalam barak. Baru saja ia membaringkan tubuhnya, kini terdengar suara derap langkah yang memaksa dirinya kembali harus bangun.
Pelan namun pasti, tapakan bersentuh tanah becek mendekat ke arahnya. Kemudian Dasio merasa aneh dan seolah tak percaya, saat tahu siapa pemilik langkah yang sempat membuat dadanya berdebar.

"Pak Sanusi?" gumam Dasio.
"Iyo, Das. Arep rene ket sore mau malah mobile mlebu joglangan ra iso menyat." (Iya, Das. Mau ke sini dari sore tadi malah mobilnya masuk kubangan lumpur tak kuat naik.) jawab Sanusi sambil menghenyakkan pantat di sisi Dasio.
"Untung Kisman karo laine podo urung sido kerjo lembur." (Untung Kisman dan yang lain belum jadi kerja lembur.) sambung Sanusi.
"Berarti saiki Kisman karo liane do ngrewangi nangekno, Pak?" (Berarti sekarang Kisman sama lainnya sedang bantu mengangkat, Pak?) tanya Dasio penuh harap.

"Iyo, koyone jeh suwe, mulo aku rene disek." (Iya, sepertinya masih lama, makanya saya kesini dulu.) jawab Sanusi tenang.
Hempasan lega juga keluar dari dada Dasio, setelah mengetahui keberadaan rekan-rekannya itu. Namun semua itu tak berlangsung lama, oleh karena aroma Gondoriyo yang tiba-tiba masuk menusuk ke dalam hidung.
Dasio meyakini bahwa bau itu bersangkutan dengan sosok hitam berambut panjang melebihi ukuran tubuhnya yang sudah dua kali ia lihat.

Semakin lama, wangi Gondoriyo semakin tajam. Bahkan, seolah tak jauh dari tempatnya duduk.
Beberapa kali ia pun melirik dan ingin bertanya kepada Sanusi tentang wewangian khas itu, namun selalu urung terdahului oleh berbagai macam ucapannya.

Panjang lebar Dasio mendengarkan cerita-cerita dari Sanusi. Berbalas anggukan dan terkadang gelengan, sebagai tanggapan.
Keduanya baru berhenti ketika dua sorot cahaya putih menerobos serpihan kabut tipis menerangi plataran barak. Berputar sebentar, mobil mewah milik Sanusi kini terparkir tepat di depan pintu masuk barak.
Lima orang kemudian segera turun, kala sang Sopir mematikan deru mesin tanpa turut keluar dari kursi kemudi. Berbasa-basi sambil menyerahkan beberapa lembar mata uang bergambar wajah Presiden saat itu, Sanusi kemudian pamit.
Meninggalkan jejak aneh dalam batin Dasio, tentang tujuan sebenarnya datang ke Proyek.
Deru mesin mobil kembali menyala, setelah sang Bos masuk dan duduk di kursi depan. Bersamaan dengan itu, tepat ketika roda mobil mulai berputar, dari kursi belakang Dasio melihat sesosok wanita tua berambut putih acak-acakan.
Sosok wanita tua itu terekam oleh mata Dasio sampai beberapa saat. Terlihat aneh dengan hanya diam menatap lurus ke depan.
Hal aneh lain pun dialami Dasio. Aroma Gondoriyo yang tadinya sangat pekat, perlahan memudar dan hilang bersama dengan menjauhnya mobil Sanusi yang meninggalkan halaman barak.
***
Bersambung. InsyaAllah saya lanjut hari sabbtu/minggu ya temen2 :D

Buat yang mau support atau gak sabar pengen baca Bab II ini sampai selesai, bisa langsung ke karyakarsa, dan jangan lupa di follow juga ya temen2 :))

Thank You~

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…
Nyok Lanjut~
"Yohhh, Kang. Le mu ndelokne bojone Pak Sanusi kok ngasi mlompong ngunu...." (Yuhhh, Kang. Caramu melihat Istrinya Pak Sanusi kok sampai bengong begitu....)

"Padahal bar dolan runu, po gak ketemu, Kang?" (Padahal habis main ke sana, apa tak ketemu, Kang?)
Kaget barang tentu saat itu Dasio mendengar ucapan bernada candaan dari Nanang yang disahuti Kisman. Sangat aneh baginya bila sosok wanita yang berada di jok belakang adalah Istri Sanusi. Melihatnya dari kejauhan saja sudah menakutkan apalagi bila dekat.
Namun, bagi Kisman dan Nanang yang menggodanya, seolah melihat wanita cantik nan seksi.

"Opo bener iku mau bojone Pak Sanusi, Man?" (Apa betul itu tadi Istrinya Pak Sanusi, Man?)
Sungguh, Dasio yang benar-benar belum yakin akhirnya bertanya pada Kisman saat mereka tinggal berdua di dalam barak, sementara temannya yang lain, pergi ke belakang membersihkan diri.
"Iyo, Kang. Mosok to Sampeyan ki urung weruh?" (Iya, Kang. Masak sampeyan itu belum tau?) jawab Kisman terheran.

"Sak ngertiku biyen, bojone Pak Sanusi ki jek nom, seumuranku. Neng iki mau kok koyo wes tuo men, Man."
(Setauku dulu, Istrinya Pak Sanusi itu masih muda, seusiaku. Tapi ini tadi kok seperti sudah tua sekali, Man.) ujar Dasio menjelaskan alasan pertanyaannya.

"Tuo piye to Kang? Lha iku mau nek perkiraanku yo munggah medune patang puluh taunan. Gek yo jek ayune moblong-moblong."
(Tua gimana to Kang? Lha itu tadi kalau menurutku ya kurang lebihnya empat puluh tahunan. Dan juga cantiknya sangat mencolok.) sahut Kisman dibarengi rengesan bersungging, dari sudut bibirnya.
Bagi Dasio sendiri sangatlah membuat terkejut penjelasan dari Kisman itu. Ia tau dan yakin bila Kisman berkata apa adanya. Tetapi di matanya, sangatlah berbeda jauh. Bukan terlihat sosok cantik bak bidadari, namun tak lebih dari sesosok wanita tua yang menyeramkan.
Sampai larut malam pikiran Dasio terus berkecamuk, tak lepas dari sosok Istri Sanusi yang bagi rekannya adalah wanita ayu, namun lain bagi dirinya. Ditambah soal aroma Gondoriyo seperti berasal dari wanita itu, semakin membuncahkan puluhan pertanyaan dalam benaknya.
Menjelang pagi dan beberapa hari selanjutnya, tidak ada yang berubah, semua berjalan seperti biasa. Bekerja dari pagi hingga sesekali lembur malam.
Semangat menggelora dalam jiwa mereka mencerminkan bila telah lupa akan kejadian meninggalnya sosok Rowi dan pulangnya Nadir serta Salim.

Hal itu tak lepas dari buah pribadi Sanusi yang murah hati terhadap pekerja, khususnya kelompok Dasio.
Bukan hanya soal pekerjaan dan upah, tetapi juga fasilitas yang diberikan untuk mereka bekerja selalu diutamakan.

Sikap itu juga berlaku untuk Dasio, yang kini telah resmi ditunjuk sebagai seorang mandor lapangan.
Tentu saja hal itu langsung merubah jalan pikiran Dasio, di mana ia lupa akan rasa penasarannya tentang siapa sosok Sanusi sebenarnya, dan ada hubungan apa dengan semua kejadian yang pernah ia alami selama ia bekerja
Segan dan patuh lebih ditunjukan Dasio pada Sanusi mulai saat itu dan hari-hari selanjutnya. Sedikit demi sedikit, Dasio pun tak lagi menaruh curiga, bahkan selalu percaya dan tak pernah membantah dengan apa yang diucapkan maupun diperintahkan.
Seperti halnya sore itu, ketika Sanusi datang melihat seluruh pekerjaan proyek, kemudian berniat pulang dengan mengajak Dasio, tanpa membantah apapun Dasio langsung menyanggupi. Tak ada alasan baginya untuk menolak, meski belum tahu untuk apa dirinya harus ikut ke rumah sang Bos.
Berposisi duduk di belakang sang Sopir, atau kursi tengah antara bagian kemudi dan jok belakang, tetiba merekam ulang sebuah bayangan dalam memori kepalanya. Di mana ia teringat akan sosok wanita tua bersorot mata tajam nan dingin, duduk persis di kursi yang saat itu ia tempati.
Untuk bertanya saat itu Dasio tak punya keberanian, apalagi sejak mobil melaju meniggalkan proyek, suasana di dalam mobil terasa sunyi sama seperti saat ia mengantar Nadir dan Salim ke terminal untuk pulang.
Hanya desahan napas yang kadang bersama deheman batuk ringan menjadi satu-satunya suara yang terdengar, selain deru halus mesin mobil yang terletak di depan.

Tiba di rumah Sanusi, nuansa alam sudah terbalut senja petang.
Deretan lampu di atas tembok pagar dan beberapa di halaman tampak menyilau samar berbungkus kaca buram. Dan di antara semua bagian luar rumah, ada satu pemandangan yang menarik perhatian Dasio.
Sebuah patung berbentuk sesosok wanita yang tergambar bermahkota, terlingkar memanjang seekor ular besar.

Dasio mengernyitkan keningnya sejenak, mengingat saat pertama kedatangannya ia merasa tak melihat patung itu, atau kebetulan tak sempat melihatnya.
"Arsiteke wong jowo iku, Das."

Tersentak kaget Dasio mendengar suara di belakangnya. Entah sejak kapan, sang tuan rumah sudah berdiri dengan derai senyum mengembang.
"Mbisuk, nek koe wes nduwe omah dewe, gaweo." (Kelak, kalau kamu sudah punya rumah sendiri, buatlah.)

Dasio mangangguk pelan. Tertunduk sungkan mengiyakan, meski belum mengerti makna di balik ucapannya itu.
Sisipan sebuah isyarat, menuntun Dasio untuk meninggalkan patung yang terletak di sisi kiri taman, bersebelahan dengan sebuah pohon tinggi menjulang. Mengulang kembali memasuki rumah mewah nan indah, berkilau cahaya remang kuning ke emasan.
Tetapi langkah ringan Sanusi tak membawanya ke ruang tamu, namun terus masuk ke dalam melewati ruang-ruang yang juga terpampang patung-patung berukuran sedang, terletak hampir di tiap-tiap sudut ruangan.
Setelah melalui gang kecil sepanjang tiga meteran, Dasio memasuki bagian belakang rumah yang ternyata juga terdapat sebuah taman dengan pencahayaan redup lampu kecil.
Lagi-lagi sebuah patung ular melingkar menegakkan kepala menghias di tengah taman. Bersanding gemericik suara air mengalir, menjadikan pembeda antara patung ular di depan dengan yang tengah berada di hadapannya, sebuah patung dengan sosok wanita berparas ayu.
Sepintas bentuk tubuh patung ular itu sama besarnya dengan yang melingkari sosok wanita di taman depan. Hanya saja keangkeran yang dirasakan oleh Dasio sangatlah menyeramkan ketika tengah ia tatap.
Sebab saat itu, kala matanya lekat memandang bagian kepala, mata dari patung ular yang ada di depannya seolah hidup menatap buas kepadanya.

"Reneo, Das." (Kesini, Das.)
Tersadar saat itu Dasio dari ketegangan, oleh suara panggilan Sanusi. Buru-buru ia alihkan pandangannya, tertuju ke depan tempat Sanusi berdiri.

Tak menunggu kedua kali, Dasio kemudian menapak taman bertanah pasir dengan tanaman kembang berjejer memberi ruang.
Melewati patung ular berjengger, menuju sebuah bangunan dari ukiran kayu berwarna coklat kehitaman mengkilap.

Sampai di emperan teras, Dasio berhenti sejenak. Menyesapi aroma Gondoriyo yang kembali hadir menebar, kali ini seperti berasal dari bangunan itu.
"Mlebuo rene, opo seng tak omongke, tak janjekne koe, wengi iki bakal tak laksanakno." (Masuklah ke sini. apa yang saya ucapkan, saya janjikan ke kamu, malam ini akan saya tepati.) ucap Sanusi mengajak Dasio untuk ke dalam.
Sedikit ragu sebenarnya Dasio untuk mengikuti ucapan Sanusi, namun rasa penasaran yang sempat terpupus, tetiba saja kembali menggumpal saat itu, menutup kesadarannya akan bahaya yang tengah menunggu.
Sepuluh pijakan kaki Dasio berayun, sampai di depan pintu, bersanding lengan dengan posisi Sanusi. Sekilas matanya melirik, menunggu Sanusi yang kini sedang tertunduk dengan bibir bergerak tanpa suara.
Semenit berlalu dalam keheningan. Kemudian terhentak krietan daun pintu kayu berukir pahatan membentuk sisik ular, bertinta kuning ke-emasan.
Hawa lembab seketika menyapu kulit tubuh Dasio ketika menjangkah masuk, mengikuti Sanusi. Ruang selebar 4x4 pertama yang menyambutnya, memberikan kesan merinding tersadur aroma Gondoriyo bercampur wangi dupa.
Tak berhenti di ruangan itu, Sanusi terus berjalan masuk dan baru menghentikan langkahnya di depan sebuah ruangan kecil yang berukutan tak lebih dari dua meteran, bertutup selembar kain hitam sebagai penyekat pintu.
Dasio yang terus mengikuti dan baru saja tegak di belakang Sanusi, seketika terhenyak, kala mendengar suara wanita dari ruangan kecil seperti tengah menembang.
Meski lirih, tetapi jelas di telinga Dasio, jika tembang yang dilantukan itu beraura mistis, membuat tiap jengkal pori-pori di kulitnya, mengangkat seluruh bulu-bulu tipis berdiri.
Sekian detik menunggu, Sanusi kemudian masuk, tepat setelah suara wanita dari dalam berhenti. Dasio yang mendapat isyarat untuk tak mengikuti, memilih mundur dua langkah lalu terdiam.
Sekira tiga kali hisapan rokok, Sanusi keluar. Berjalan menghampiri Dasio, menariknya untuk kemudian ikut masuk ke dalam.
Rasa sesak tak lama mendera dada Dasio, merasai gumpalan asap membumbung dari beberapa buah dupa yang terbakar di atas sebuah bejana bulat, terletak di tengah ruangan.
Tetapi yang lebih menyesakkan bagi Dasio, adalah apa yang sedang dilakukan oleh sosok wanita berambut putih tergerai acak-acakan.
Meski posisinya duduk membelakangi, namun berbantu cahaya remang lampu dimar, Dasio melihat tangan sang Wanita meraup kembang warna-warni, menyuapkan ke dalam mulutnya.
Bersambung. InsyaAllah saya lanjut hari kamis/jumat ya temen2.

Jangan lupa juga buat follow juga akun ini di karyakarsa. Terima kasih :D
Yuk lanjut, sampai selesai bab II nya :D
Berulang-ulang hal itu dilakukannya, bahkan sampai tumpukkan kembang yang terhampar di atas tampir bersama sebuah guci hitam terbuat dari tanah liat tak bersisa. Kemudian setelahnya, ia meraih guci cerek dan menuangkan ke dalam mulut, meneguk habis isi di dalamnya.
Sebentar saja suasana ruangan itu berubah. Tak hanya lembab dan beraroma wangi dupa dan Gondoriyo, tetapi kini bertambah dengan amis darah dan juga hawa sejuk anyep.
Kejadian demi kejadian yang dilakukan sosok wanita itu begitu cepat berlalu, namun mampu dengan jelas terekam dalam pikiran Dasio. Membuatnya merasai kengerian yang hampir merajai.
Hal yang paling ditakutkan oleh Dasio tak lama benar-benar terjadi. Manakala sosok itu berpaling dari posisi duduknya dan manghadapkan wajah, memperlihatkan lelehan darah kental dari sudut bibir keriputnya, bersama sunggingan ngikik melengking.
"Ora opo-opo, Das. Iku seng dadi dalan nulungi aku, yo dalanmu barang mulai wengi iki." (Tidak apa-apa, Das. Itu yang jadi jalan penolongku, dan juga jalanmu sekalian mulai malam ini.)
Dasio sebentar berpaling, menatap Sanusi yang sudah berdiri di belakangnya. Senyum mengulum terumbar yang ia lihat dari mulut Sanusi, seakan menjadi tanda sebuah restu paksa bagi dirinya.
"Panguren sak iket rambutmu, Le. Buntelen nganggo gombal iki." (Potong seikat rambutmu, Nak. Bungkus dengan kain ini.)
Belum sempat Dasio membalas ucapan Sanusi, suara berat dari sosok wanita tua berkain kebaya putih lusuh itu terdengar memberi perintah kepadanya. Lalu ia pun memalingkan wajah kembali, ingin memperjelas kalimat perintah yang dilontarkan padanya.
"Iki maksudte opo, Pak." (Ini maksudnya apa, Pak.) ucap Dasio bertanya dengan suara bergetar.

"Koe gak usah wedi, Das. Seng penting keluargamu mbisok iso urep kepenak, tanpo rekoso meneh."
(Kamu tidak usah takut, Das. Yang penting keluargamu kelak bisa hidup enak, tanpa sengsara lagi.) sahut Sanusi masih dengan senyum tipis.
"Aku ra wani, Pak. Aku moh nglakoni ngene iki!" (Saya tak berani, Pak. Saya tidak ingin melakukan cara seperti ini!) seru Dasio parau, menolak dengan apa yang ditawarkan kepadanya.
"Koe wes gak nduwe pilihan meneh, Das. Gelem ora gelam kudu mbok trimo!" (Kamu sudah tak punya pilihan lagi, Das. Mau tidak mau harus Kamu terima!) timpal Sanusi, kali ini bersuara tegas.

"Maksudte, Pak?" (Maksudnya, Pak?)
"Koe tetep kudu neruske ritual iki. Sopo wae seng wes kadung ketemu Nyi Gambir, di anggep danyang cenayange Ndoro Agung. Nek sampek nolak, ngerti kan Koe isine njero guci kui mau!?"
(Kamu tetap harus meneruskan ritual ini. Siapa saja yang sudah terlanjur bertemu Nyai Gambir, dianggap Abdi luarnya Ndoro Agung. Kalau sampai menolak, tau kan kamu isinya di dalam Guci itu tadi!?)
Berdenyit sakit seketika dada Dasio, mendengar penjelasan dari Sanusi. Gemuruh amarah pun menggelora, namun hanya mampu sebatas matanya saja yang memerah.
Sedikit lama Dasio diam berpikir panjang dengan keadaannya saat itu. Dirinya yakin, bila semua ucapan Sanusi bukan hanya menakut-nakuti, tetapi untuk merelakan dirinya jatuh dalam ikatan Iblis, batinnya sangat menolak keras.

"Wuss ... Creesss...."
Sangat cepat, gerakan tangan sosok wanita tua menyambar kepala Dasio. Menebas sejumput rambut hitamnya, dengan kuku-kuku tajam berwarna mengkilat putih, sebelum ia sempat menjawab penjelasan Sanusi.
Hal itu membuat tubuh Dasio goyah terkejut, kemudian jatuh tersimpuh, meski tanpa rasa sakit.

"Mulai saiki koe dadi cenayange Ndoro Agung, Le. Baktimu bakal oleh balesan. Podo karo ndungsalmu, yo oleh balesane."
(Mulai sekarang kamu jadi cenayangnya Ndoro Agung, Le. Baktimu akan dapat balasan. Sama juga dengan mbalelomu, bakal mendapat balasan.)
Tak terpikir lagi saat itu untuk Dasio menjawab ucapan sosok tua, Nyi Gambir.
Penyesalan bertumpang tindih dalam hatinya, lebih dalam, lebih ngeri membayang daripada sosok buruk wanita itu sendiri.
Bangkit dari simpuhan di lantai kayu, Dasio berjalan pelan keluar dari ruangan itu. Mengabaikan kekehan tawa Nyi Gambir, juga aroma Gondoriyo bersama dupa yang menyengak.
Sampai di halaman bertaman, Dasio harus kembali terkejut dengan alam sekitar. Di mana patung ular berkepala jengger yang melingkar sebagai wadah air taman, lenyap. Tak ada lagi untaian tanaman bunga berjejer. Yang ada kini hanya serakan gundukan-gundukan tanah, bernisan batu.
Tak ingin berlama-lama dalam cekaman rasa ngeri, Dasio meneruskan langkah, berniat mencari Sanusi yang pergi lebih dulu setelah rambutnya terpotong oleh kuku Nyi Gambir.
Ia yakin, hanya Sanusi saat itu yang tahu akan seperti apa nasibnya ke depan, dengan keadaan tercengkram satu perjanjian tanpa kemauanya sendiri.
Masuk di gang selebar dua meter yang menjadi panyambung rumah utama dan bangunan tempat Nyi Gambir bersemayam, jeritan-jeritan lirih menyambut dari beberapa bayangan yang melambai di tembok berdinding beton.
Semua bayangan itu seperti begitu kesakitan, ingin lepas, menjebol tembok berkekuatan besi. Tak tahan dengan kengerian itu, Dasio cepat-cepat melangkahkan kakinya menuju depan.
Sampai di ruang bercahaya kuning gemerlap, kembali ia harus terantuk pemandangan ganjil. Di mana terdapat sesosok wanita muda tengah membelai juntaian rambut hitam sangat panjang dari sesosok wanita tua.
Pandangan aneh tersirat pada wajah Dasio saat itu. Oleh karena sang wanita yang berdiri di belakang sosok wanita tua, adalah Istri Sanusi.
Perlahan Dasio mendekat, menapak pelan seakan jejaknya enggan untuk didengar. Namun ketika tiba di samping sisi kanan,
tiba-tiba wanita tua berambut sangat panjang itu memberi isyarat agar Istri Sanusi menghentikan belaiannya, kemudian ia memalingkan wajah, menatap tajam pada Dasio.
Dasio sendiri langsung terkesiap saat itu, saat di mana bola matanya beradu pandang dengan sosok yang ternyata hanya berbola mata putih rata.

"Abdi Pancer...!"
Dua kalimat itu terucap dari bibir wanita tua yang tak hanya menakutkan dari bola mata saja, tetapi juga dari kulitnya yang hangus mengelupas. Tak mengerti, Dasio berangsur melangkah maju. Memaksa kedua kakinya yang terasa berat, ingin segera meninggalkan tempat itu.
Satu lirikan sempat Dasio lempar tertuju pada sosok Istri Sanusi. Berbalas gelengan kepala ringan, seperti memberi sebuah isyarat.

Sampai di ambang pintu, Dasio mempercepat langkahnya menuju ke tempat Sanusi yang berdiri di halaman sisi kanan, menyamping patung wanita bermahkota
Berjarak tinggal lima meteran, keberanian Dasio mengendur dan langsung menarik mundur tubuhnya, demi menghindari puluhan ekor ular berwarna batik hitam putih yang mengelilingi Sanusi.
Beberapa saat Dasio terdiam setelah menjauh, kemudian tersadar dengan adanya suatu keanehan, di mana semua ular itu hanya diam, tak mendesis atau pun bergerak mengejar, layaknya seekor ular berbisa bila merasa terganggu.
Selagi dalam tatapan heran, sekelebat bayangan gerak jari Sanusi terlungsur menunjuk ke satu arah. Hal itu langsung memandu ular-ular sebesar tangan bayi itu bergerak pelan menyamping, seolah membuka jalan dan mempersilahkan untuk Dasio mendekat.
"Ingon-ingon iki ra kiro gelem nglarani Koe, Das. Mergo saiki Koe wes nduwe tenger, dadi abdine Ndoro Agung." (Peliharaan-peliharaan ini tidak mungkin akan menyakiti kamu, Das. Karena sekarang kamu sudah bertanda, menjadi Abdi Ndoro Agung.)
Pias wajah Dasio. Keinginannya untuk bertanya tentang hal itu, langsung terjawab sebelum ia sempat berucap. Tanpa sadar ia pun maju mendekati Sanusi yang berdiri membelakangi.
Gidikan ngeri tiba-tiba menyergap Dasio, kala harus melewati puluhan ular-ular hitam pekat dengan batikan hitam putih, yang saat itu bergerak pelan mengangkat sedikit kepalanya.
Tetapi sampai dirinya berada tepat di belakang Sanusi, tak ada gerak apapun lagi, terkesan yang dilakukan ular-ular itu seolah wujud sebuah penghormatan.
"Aku gak pingin dadi koyo ngene. Aku pingin urep tentrem, ayem. Piye carane aku kudu metu seko perkoro iki, Pak?" (Saya tidak ingin jadi seperti ini. Saya ingin hidup tentram, damai. Bagaimana caranya saya harus keluar dari masalah ini, Pak?)
Parau suara yang keluar dari tenggorokan Dasio, mencerminkan suatu kepanikan dengan semua kengerian-kengerian yang tersimpan dalam perkara itu.
"Das, aku butuh koe kanggo ngewangi proyekku. Proyek seng bakal gawe dewe sugeh pitung turunan asal iso nyukupi syarate." (Das, saya butuh kamu untuk membantu proyekku. Proyek yang akan membuat kita kaya tujuh turunan asal bisa mencukupi syaratnya.)
"Dudu mok proyek bendungan iku tok, Das. Neng ono seng luweh gede seko kui, BONDO MANTEN!" (Bukan saja proyek bendungan itu saja, Das. Tapi ada yang lebih besar dari itu, BONDO MANTEN! (Harta beranak pinak))"
"Aku ngerti Sampeyan muja, Pak. Aku moh dadi pengikute setan. Aku moh ngorbanke keluargaku!" (Saya tau kalau Sampeyan bersekutu, Pak. Saya tidak mau jadi pengikut Iblis. Saya tidak mau menumbalkan keluargaku!) sahut Dasio lantang.
"Tak jamin keluargamu utuh, Das. Awale aku yo koyo koe, aku dudu seng ngawali iki, neng kadong njegor. Aku gak iso mentas."
(Saya jamin keluargamu utuh, Das. Awalnya saya juga seperti kamu, saya bukan yang mengawali ini, tapi sudah terlanjur masuk. Saya tak bisa keluar.) timpal Sanusi dengan suara dingin.
"Aku pingin neruske lakon iki, neruske seng wes dadi bendolone urepku, mergo ra ono pilihan liyo. Ayo Das, dewe bareng-bareng ndadekne perkoro iki rampung."
(Saya ingin meneruskan jalan ini, meneruskan yang sudah menjadi garis hidupku, karena tidak ada pilihan lain. Ayo Das, kita bersama-sama melanjutkan urusan ini sampai selesai.) sambung Sanusi seraya membalikkan tubuh, menatap datar pada Dasio.
Nalar Dasio sendiri seolah mati tak bereaksi ketika bola matanya beradu pandang. Jiwanya beku seperti halnya keberanian yang terkebiri setiap berhadapan dengan Sanusi.
"Opo seng kudu di lakoni kanggo ngrampungke, Pak?" (Apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikannya, Pak?)
Pelan melunak pertanyaan yang terlontar dari mulut Dasio seketika. Memoles kembali senyum tipis dari bibir Sanusi, sebelum mendekat dan berbisik mengucapkan sebuah kalimat yang langsung memucatkan seluruh tubuh Dasio.

"SEWU NDAS...!"
Bab II selesai ya temen2. InsyaAllah kita lanjut lagi nanti di Bab III.

Dan buat temen2 yang mau langsung baca bab III sekaligus mensupport akun ini, bisa langsung baca di karyakarsa ya :))

karyakarsa.com/pusarawaktu/se…

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with Pusara Waktu

Pusara Waktu Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @pusara_waktu

Aug 4, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.IV : Tumbal Pertama

@IDN_Horor

@bacahorror

#bacahorror #horor #KISAHNYATA Image
***
Satu jam lebih riuh suara kebahagiaan di dalam Barak menggema, sebelum malam memasuki kata larut. Lantaran kedatangan Dasio beserta keluarga kecilnya, menjadi satu obat tersendiri bagi Kisman, Nanang dan beberapa teman yang lainnya.
Read 398 tweets
Jul 19, 2022
SEWU NDAS - TUMBAL SERIBU KEPALA
BAB.III : Keluarga Yang Terusir

@IDN_Horor @bacahorror
#bacahorror #horor #KISAHNYATA
Yuk Lajut lagi~
...

Kegusaran begitu dirasa menusuk relung batin Dasio, setelah tahu siapa sosok Sanusi sebenarnya. Bayang-bayang kematian pun tetiba menghimpit pikiran, bersama dengan kengerian-kengeriannya.
Read 150 tweets
Jun 13, 2022
"DILARANG MENYEBARKAN KISAH INI DALAM BENTUK APAPUN, TANPA SEIZIN PENULIS!"
Yuk kita mulai berkisah lagi, PWers~
Read 83 tweets
Jun 9, 2022
Sebelum aku menceritakan kisah ini, aku ingin meminta maaf bukan maksudku untuk membongkar aib orang yang sudah meninggal,
tapi tujuanku menceritakan kembali kisah ini adalah supaya kalian yang membaca kisahku ini bisa mengambil pelajaran dari Almarhum, khususnya untuk kaum Laki-Laki.
Read 73 tweets
May 26, 2022
JAREK TANGKUP
(Tolakan Pengundang Bala)

- HOROR THREAD -

@issssss___
@autojerit
@Penikmathorror
@ceritaht
@IDN_Horor

#horor #kisahnyata #bacahoror Image
Hallo PWers~
Kita mulai berkisah lagi ya :D

Oh ya sebelumnya, kisah ini akan sedikit slow updatenya, bahkan malam ini pun, baru sebatas teaser dulu sampai agak senggang waktuna nanti :D

Yuk langsung mulai~
"Sampeyan wes roh, Yu. Kang Sakir muleh?" (Kamu sudah tau, Yu. Kang Sakir pulang?)

"Sopo seng ngabari?" (Siapa yang memberi tau?) Ucap Menik, seorang wanita berumur 43 tahunan, balik bertanya kepada Asti, tetangganya.
Read 81 tweets
May 19, 2022
Kita lanjut yaa temen2 :D
Nenek bongkok ini sudah tidak tanggung-tanggung. Tiga kiriman langsung menggempur, dia kirimkan. Aku yang sudah bersiap-siap, dan membentengi rumah dengan Yasin Tujuh Mubbin sebelumnya, segera menuju lahan kosong sebelah rumah.
"Ayo Nek, kita main di sini saja. Biar lapang dan leluasa." Tantangku, sambil terus menatap banaspati berputar-putar.

Banaspati adalah sosok bola api yang sering dijadikan sebagai media untuk mengirim santet kelas tinggi.
Read 167 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us!

:(