Kematiannya tragis dan tiba-tiba, meninggalkan duka dan lega bagi warga desa. Kepergiannya hanyalah sebuah awal, awal dimana petaka-petaka itu dimulai.
Cerita ini adalah urban legend dari salah satu daerah yg tak jauh dari tempat kota tempat saya lahir, tentang sebuah teror di sebuah desa yg sangat terkenal kala itu
Bagi yang baru kenal dengan saya, saya ucapkan salam kenal 🙏🏻
Cerita disini saya mulai besok, ya. Malam ini saya sedang cerita di lapak sebelah.
Tapi, yg mau baca duluan bisa melalui @karyakarsa_id pada tautan di bawah ini 🙏🏻
Seluruh nama tokoh dan lokasi pada cerita ini sudah saya samarkan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Apabila ada kesamaan nama itu bukan suatu kesengajaan, dan apabila saya lalai dan menyebutkan lokasi, tidak perlu disebarluaskan. Maturnuwun...
Saya beri sajian 'gedang goreng' sebelum cerita saya mulai. Jangan berebut, semoga cukup 😁🙏🏻
Sekitar tahun 80-90an, merebak sebuah cerita terkenal dari sebuah desa yang bernama Desa Glagah. Sebuah desa yang semula aman, tentram dan asri karena banyak sawah dan perkebunan di sana,
tapi, tiba-tiba semua itu sirna akibat sebuah teror dari demit yang menghantui seluruh warga desa Glagah selama bertahun-tahun lamanya.
Demit apa? mungkin banyak yang bertanya demikian. Jika kamu sudah utas sampai sini, coba kembali ke atas, perhatikan lagi cover cerita yang saya kirim di awal. Sesosok makhluk berwarna hitam yang tengah berdiri di dekat pohon tak berdaun,
kedua matanya merah tajam memperhatikan kamu yang sedang melihatnya.
Sudah tau?
Ya, benar. Pocong hitam. Semua kedamaian Desa Glagah sirna, karena teror darinya selama bertahun-tahun lamanya
STOP❗️
Buat kamu yang sudah membaca sampai disini tapi belum membaca doa, saya ingatkan, baca doa terlebih dulu. Doa apa? apapun, apapun yang kamu bisa. Jika lalai, tanggung sendiri akibatnya
Jika sudah semuanya, saya mulai perlahan...
“Innalillahiwainnailahirojiun…Innalillahiwainnailahirojiun… Innalillahiwainnailahirojiun… telah meninggal dunia, bapak Guntoro, tadi malam pukul 01.00”
Sebuah berita duka keluar dari sebuah suara yang berasal toa musholla dekat rumah Dewi, sesaat setelah dia pulang dari musholla
“Mas Guntoro?” Tanya Dewi dalam hati, ia ragu dengan berita duka yang barusan ia dengar
Dewi mengerutkan dahinya, sambil berjalan keluar rumah dan memperhatikan lagi suara dari musholla
“Benar… Mas Guntoro…” ucap Dewi dalam hati
“Guntoro mati! Guntoro mati! (Guntoro meninggal! Guntoro Meninggal!)” teriak Gofur tetangga rumah Dewi
Hal itu membuat Dewi berjalan ke dalam rumah, mencari ibunya.
“Bu, Mas Guntoro sedo (meninggal)” ucap Dewi pada ibunya yang sedang santai nonton TV di ruang tengah
“Iyo, nduk, ibu wes krungu (Iya, nak, ibu sudah dengar)” jawab ibunya
Dewi kembali keluar rumah, karena banyak tetangganya ramai karena berita yang tiba-tiba ini
Beberapa warga yang juga mendengar berita duka yang diumumkan musholla terlihat keluar dari rumahnya. Mereka kaget dengan berita kematian Guntoro yang tiba-tiba.
“Piye ceritane si Guntoro iso mati? (gimana ceritnya si Guntoro bisa meninggal?)” begitulah pertanyaan yang dilontarkan setiap warga yang keluar dari rumah.
Pasalnya, sehari sebelum berita kematiannya muncul, banyak warga yang masih menjumpainya sedang nongkrong dengan teman tongkongannya di tempat biasa mereka nongkrong.
Banyak orang yang bertanya-tanya, bagaimana Guntoro bisa meninggal tiba-tiba. Tapi, tidak seorangpun mengetahui kronologi kematian Guntoro.
Pagi yang semula tenang, tiba-tiba ramai akibat berita kematian Guntoro.
Hari itu, berita tentang kematian Guntoro cepat menyebar ke seluruh telinga warga desa Glagah. Hal itu disebabkan, karena Guntoro bukanlah seorang warga biasa di Desa Glagah.
Bukan karena jabatan atau sifatnya yang bijaksana, tapi, pemuda yang baru berusia 22 tahun itu, terkenal bajul atau preman di desanya.
Banyak perilakunya yang meresahkan warga desa, sehingga, berita kematiannya banyak menyita perhatian warga.
Banyak kebiasaan Guntoro dengan teman-tean gerombolannya yang sangat mengganggu ketentraman warga desa Glagah. Mulai dari mabuk-mabukan, hingga menjadi depkolektor penagih hutang suruhan orang kaya yang ada di sekitar desa.
Guntoro pun sempat dikurung di balik jeruji besi beberapa bulan karena tertangkap sedang memalak anak-anak yang baru pulang sekolah.
Perilakunya yang banyak menyakiti warga itu, membuat beberapa warga bukannya ikut berbela sungkawa, malah terlihat senang dengan kematian Guntoro. Karena dengan kematiannya, desa akan kembali aman dan tenang dari orang-orang sepertinya.
“Akhire mati kowe, Gun! saiki deso iso dadi aman (akhirnya meninggal kamu, Gun! Sekarang desa jadi aman)” cetus Bambang, yang rumahnya berada di samping tempat Guntoro sering nongkrong
Bambang sudah lama resah, karena keramaian Guntoro dan teman-temannya sering mengganggu Bambang dan keluarganya
“Ora oleh ngono, mbang!” (gak boleh begitu, mbang!)” ujar Gofur
“Iku adzab kanggo uwong sing seneng gawe loro ati wong-wong liyo (itu adzab buat orang yang suka membuat sakit orang banyak)” tandas Bambang
Hari itu, Desa Glagah ramai akibat kematian Guntoro. Suasana rumah Guntoro pun ramai didatangi warga untuk takziah dan mengucapkan bela sungkawa kepada keluarganya.
Tapi, warga yang datang bingung, karena tidak ada jenazah Guntoro di rumahnya, hanya ada ibunya Bu Ngatinah dan dua adiknya di rumah Guntoro, yakni Suraji dan Wawan.
“Lho, Bu Ngatinah… Jenazahe Guntoro ting pundi? (Jenazah Guntoro di mana?)” tanya salah seorang warga yang bernama Bu Ndari kepada Ngatinah (Ibunda Guntoro)
“Teseh ting rumah sakit, bu (masih di rumah sakit, bu)” ujar Ngatinah
“Ngapunten, bu, Guntoro sedanipun kenging punapa, nggeh? (Maaf, bu, Guntoro meninggalnya kenapa, ya?)” Tanya Bu Ndari lagi
Belum sempat Ngatinah menjawabnya, tiba-tiba ia menangis. Ia sangat terpukul dengan kepergian anaknya yang tiba-tiba.
Bu Ndari pun menenangkannya sambil meminta maaf kepadanya karena telah menanyakan hal demikian.
“Mboten, Bu Ndari, mboten nopo-nopo. Kulo nggeh kaget angsal kabar Guntoro sedo (Tida, Bu Ndari, tidak apa-apa. Saya juga kaget mendapat kabar Guntoro meninggal)”
“Wau dalu wonten tiyang mriki, nyukani kabar, menawi Guntoro sedo digebuki warga ing ratan etan deso (tadi malam ada orang ke sini, memberi kabar, kalu Guntoro meninggal dipukuli warga di jalan timur desa)” ucap Ngatinah sambil menyeka setiap air yang keluar dari kedua matanya
“Lho, Guntoro wonten masalah nopo, bu? (Lho, Guntoro ada masalah apa, bu?)” saut salah seorang warga yang ternyata mendengarkan pembicaraan Bu Ndari dan Ngatinah
“Hussss” tegur ibu-ibu yang lain sambil mengalihkan pembicaraan mereka berdua.
Ngatinah masih menangis di atas kursi di depan rumahnya. Menangisi kepergian anak semata wayangnya yang meninggalkannya selamanya.
Tak berselang lama, sirine ambulan terdengar dari kejauhan, suaranya yang semakin mendekat membuat Ngatinah yakin, jika ambulan itu akan ke rumahnya membawa jenazah anaknya.
Dan benar saja, ambulan itu berhenti tepat di depan rumah Guntoro. Tapi, tidak hanya mobil ambulan yang datang, satu mobil lagi datang dengan berisikan dua orang polisi di dalamnya.
Isak tangis keluarga Guntoro pun menyambut kedatangan jenazah Guntoro di rumahnya. Beberapa warga membantu memindahkan jenazah Guntoro yang sudah berada di dalam keranda jenazah.
Dua orang polisi terlihat masih di dalam mobil, menunggu situasi yang tepat untuk menuju rumah Guntoro.
Saat sudah kondusif, dua orang polisi tersebut turun dan berjalan ke rumah Guntoro
“Assalamualaikum….” Ucap salah satu polisi lengkap dengan seragam dinasnya
Ngatinah yang mengetahui kedatangannya pun menghampirinya.
“Walaikumsalam” jawab Ngatinah sambil mempersilahkan mereka duduk
Dalam kedatangan kedua polisi tersebut, ternyata, mereka membawa sebuah kabar kurang mengenakkan tentang kematian Guntoro
Polisi tersebut menjelaskan, jika tadi malam, Guntoro dengan kedua temannya tertangkap warga saat akan mencelakai orang yang sedang melintas di jalan yang ada di timur desa.
Kemudian, karena orang yang akan dicelakainya berteriak dan membunyikan klaksonnya berkali-kali, membuat dua orang warga yang berada tak jauh dari sana memanggil segerombolan warga yang sedang ronda malam tak jauh dari tempat kejadia
Di situ Guntoro dan kedua temannya babak belur dihajar warga. Nahasnya, benturan keras yang menghantam kepala Guntoro, membuatnya tak sadarkan diri seketika. Dan meninggal saat sedang perjalanan ke rumah sakit” ujar polisi tersebut
“Dua temannya dan warga yang memukulinya sudah kami amankan di polsek, bu. Sekali lagi, kami turut berduka cita” tambah polisi tersebut sambil berpamitan pulang
Penjelasan polisi tersebut membuat warga yang ada di rumah Bu Ngatimah pun saling berbisik. Mereka tidak menyangka, jika akhir hidup dari Guntoro si bajul desa berakhir seperti ini.
Di siang menjelang sore hari itu, jenazah Guntoro akan segera dimakamkan. Tapi, ada hal janggal saat beberapa warga akan mengangkat jenazah Guntoro. Pasalnya, darah segar mengalir dan menetes ke tangan salah satu warga yang akan mengangkat jenazah Guntoro
“Sek pak… iki metu getihe (Sebentar, pak. Ini keluar darahnya)”
“Ngandhapke riyen, pak” ujar Ngatinah sambil membuka sedikit penutup di keranda sambil membersihkan darah yang ternyata keluar dari kepala jasad anaknya
“Astagfirullah..” teriak Ngatinah sesaat setelah menyeka kain diatas jasad anaknya. Di situ, Ngatinah melihat wajah anaknya yang penuh dilumuri darah hingga membasahi kain kafannya. Ia buru-buru membersihkan seluruh darah yang masih tersisa di wajahnya.
Walau sudah dimandikan dan dikafani dari rumah sakit, ternyata, luka yang parah yang ada di kepala Guntoro masih mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Setelah Ngatinah beres membersihkan bekas darah di wajah jenazah anaknya, prosesi pemakaman Guntoro mulai dilakukan.
Banyak warga desa mengiringi perjalanan jenazah Guntoro menuju peristirahatan terakhirnya. Bu Ngatinah dengan para saudaranya mengiringi jenazah Guntoro di belakang.
Walaupun banyak warga yang membenci Guntoro semasa hidupnya, tapi, masih banya juga warga yang bersimpati terhadap kemarian Guntoro.
Letak tempat pemakaman umum (TPU) di sana, berada di timur desa, biasanya, TPU disana digunakan untuk pemakaman bagi warga tiga desa yang berada di sekitar sana.
Timur desa? Ya, tidak salah. Artinya, rombongan iring-iringan jenazah Guntoro melewati tempat di mana Guntoro dipukuli warga yang menyebabkannya tewas saat hendak diberi pertolongan di rumah sakit.
Bekas tanah yang digunakan untuk menutupi darah Guntoro pun masih sangat ketara di sana, bahkan, beberapa warga saling bercerita mengenai kematian Guntoro saat melewati jaan itu.
“Ora oleh ngomongke wong sing wes mati, opo meneh wonge iseh neng kene neng ngarepe dewe (Gak boleh ngomongin orang yang sudah meninggal, apalagi orangnya masih berada di sini, di depan kita)” tegur salah satu warga
Sesampainya di area TPU, pemakaman langsung dilakukan. Di akhir pemakaman, Ngatinah menyampaikan banyak rasa terima kasih dan permintaan maaf kepada seluruh warga
Terima kasih telah membantu proses pemakaman anaknya, dan permintaan maaf atas segala kesalahan yang sudah banyak anaknya perbuat semasa hidupnya. Tidak ada kata selain maaf yang bisa dikatakan Bu Ngatinah sambil berlinang air matanya.
Awan mendung datang seiring dengan selesainya pemakaman Guntoro. Para warga berduyun-duyun berlarian kembali ke rumahnya masing-masing agar tidak didahului hujan.
Dalam perjalanannya pulang hingga sampai di rumah, Bu Ngatinah menyesali caranya yang gagal mendidik anaknya hingga dewasa menjadi orang yang sulit diatur dan banyak merugikan banyak orang, bahkan, diakhir hidupnya, anaknya meninggal dengan cara yang tragis seperti itu.
“Ya Allah, maafkan saya, maafkan saya telah gagal mendidik anakku. Ampuni segala dosa-dosa anakku, Ya Allah. Sempoga Engkau mengampuninya” ucap doa seorang Ibu kepada Sang Penciptanya.
Meski semasa hidupnya banyak mengecewakannya, tapi Ngatinah tetap menyayangi anak semata wayangnya itu.
Kini, tidak ada kata selain ’sepi’ yang ada dalam benak Ngatinah. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit saat Guntoro masih SMP. Sekarang, anaknya satu-satunya juga sudah meninggalkannya untuk selamanya
“Wes mbak, sing sabar. Nek sampean ono opo-opo, ngomong wae karo awak dewe, ora usah sungkan. Dewe kan sedulur (sudah mbak, yang sabar. Kalau kamu ada perlu apa-apa bilang saja sama kita, tidak perlu sungkan. Kita kan saudara)” ucap kedua adiknya
Selayaknya warga-warga desa dan sudah menjadi tradisi di sekitar Desa Glagah hingga sekarang, jika ada salah satu warga ada yang meninggal, maka, akan akan dilakukan tahlilan dan Yasinan di rumahnya hingga tujuh hari setelahnya.
Hal itu pun berlaku bagi keluarga Ngatinah. Malam itu, setelah kematian Guntoro, diadakan tahlil dan Yasinan di rumahnya.
Hingga, disuatu malam hari, tepat tujuh hari setelah kematian Guntoro, dan setelah acara tahlil yasinan di rumah Guntoro selesai. Ngatinah, yang masih tidur, tiba-tiba terbangun di tengah malam karena merasa haus.
Dengan langkah gontai, Ngatinah berjalan menyusuri rumah menuju dapur sambil merasakan tenggorokannya yang sudah terasa kering.
Pada rumah pedesaan jaman dulu, bahkan sampai sekarang, biasanya, dapur rumah atau orang sana sering menyebut dengan ‘pawon’, terletak di paling belakang dengan luas yang cukup besar.
Disana, Ngatinah mengambil kendi berwarna coklat berisi air untuk dituangkan ke dalam cangkir.
Setelahnya, belum sempat Ngatinah meletakkan gelasnya, tiba-tiba, dia mendengar suara Suraji, adik laki-lakinya yang kebetulan masih menginap di rumahnya dan tidur di kamar Guntoro tiba-tiba memanggilnya.
“Mbak… mbak….”
Awalnya Ngatinah ragu. Tapi, suara Suraji yang memanggilnya ia dengar lagi. Ngatinah memastikannya sekali lagi, apakah benar Suraji yang memanggilnya atau karena efek ngantuknya saja.
Ternyata benar, suara itu adalah suara Suraji yang berada di dalam kamar Guntoro. Maka, setelah ia meletakkan gelasnya, Ngatinah berjalan ke arah kamar Guntoro yang hanya berjarak dua meter dari pintu kamarnya.
“Mbak… mbak….”
Suara itu muncul lagi dan kedengaran dan agak keras di telinganya. Bu Ngatinah semakin penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Suraji.
“Kenopo ora metu kamar, kok ndadak bengok-bengok ngundang seko kamar (kenpa tidk keluar kamar, kok malah teriak-teriak memanggil dari dalam kamar)” gumam Ngatinah heran
Rasa penasaran Ngatinah bertambah, saat ia berdiri di depan pintu kamar Guntoro, karena hidungnya mencium bau gosong disertai bau amis yang tidak biasanya berasal dari dalam kamar Guntoro.
Ngatinah lantas membuka pintu kamar Guntoro perlahan.
“Surajj…….” ucapannya tiba-tiba terhenti tatkala melihat ke dalam kamar Guntoro, karena yang ia lihat di sana tidak hanya Suraji yang tengah tidur di atas Kasur,
tapi...
tapi, ia juga mendapati seonggok makhluk berbalut kain hitam legam dan berkuncup tengah terlentang di atas kasur tepat di samping Suraji tidur.
Pocong dengan kain kafan berwarna hitam legam dengan banyak bekas darah yang masih basah di kain kafannya berada disana. Bau amis dan gosong barusan bersal dari sana.
Ngatinah berteriak di dalam hatinya, ia pun langsung berlari keluar dan menutup pintu kamar Guntoro dengan keras, langkahnya terbirit-birit lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Dia menutup wajahnya dengan selimut yang biasa ia pakai tidur. Sepi, tidak ada apapun di dalam kamarnya, hanya lampu penerang yang berpijar kuning redup di langit-langit kamarnya.
Sebenarnya Ngatinah sudah biasa dengan suasana seperti itu, tapi, malam itu berbeda dari malam-malam biasanya, itu karena dia dan rumahnya baru saja disambangi pocong hitam yang dia sendiri tidak tau dari mana asalnya.
Ngatinah tidak lagi bisa tidur walau ia berusaha berkali-kali memejamkan matanta. Ngatinah hanya bisa bersembunyi di balik selimutnya sambil menahan rasa takut yang berkecamuk pada dirinya.
"Mbak...mbak...mbak"
Lagi-lagi panggilan itu terdengar lagi di telinga Ngatinah. Kali ini suaranya lebih kerasa, seperti sedang marah kepadanya, lebih menakutkan.
Ngatinah hanya mampu berdoa, berdoa agar kejadian saat itu cepat berlalu.
-Bersambung-
Ngatinah masih dalam ketakutan malam itu.Dia khawatir dengan Suraji di dalam sana ditemani pocong hitam itu
Kisah Ngatinah akan berlanjut pada Part 2 - Kemunculan dan Teror Dimulai
Update lagi kapan? Seperti biasa, saya update setiap 1 minggu sekali antara hari rabu dan kamis. Jangan lupa mampir di platform saya lainnya di @karyakarsa_id , ya. Selain di twitter, saya akan banyak menulis juga disana. Jadi, follow akun saya karyakarsa.com/wahyuariyantn/
Sebelum saya tinggal dan lanjut lagi minggu depan, saya taruh lagi sepiring 'gedang goreng' , jangan berebut semoga cukup 😁🙏🏻
Dia terduduk ketakutan sambil menangis di depan kamarnya, ia mencoba menutupi wajahnya dengan lutut dan kedua tangannya. Dalam takutnya, ia terus berkata "Aku tidak mau Mati"
@bacahorror @IDN_Horor @ceritaht
Selamat malam! Setelah 3 minggu, akhirnya saya bisa kembali menulis lagi 😁 Mohon maaf ya
Untuk part-part sebelumnya bisa lebih dulu dibaca di sini.
“Hallo, Mas Wahyu! Aku ada cerita, yang mungkin bisa untuk diceritakan. Cerita kelam, yang mungkin akan terus teringat entah sampai kapan, karena saat itu aku hampir mati” Ucap seseorang pria yang aku kenal melalui seorang kawan.
Saya menyebut pria ini dengan nama “Santo” . Usianya sekarang baru menginjak kepala tiga, dan saat kejadian kelam ini terjadi, Santo masih berusia 21 tahun dan sedang menjalani semester akhirnya sebagai seorang mahasiswa.
Sosok dibalik tanah ini mulai memperlihatkan eksistensinya. Tubuhnya setinggi langit-langit rumah, wajahnya mengerikan dengan empat taring yang tumbuh di dua rahang mulutnya.
“Paman Sapto, Na. Panggil saja pamanku dengan itu.”
“Di mana tempat tinggal, Paman? Kami sudah kedinginan.” Tanya Sanjaya.
“Di sana, tapi, rumah yang akan kalian tempati nanti tidak di rumah paman. Tempat untuk kalian sudah disediakan oleh juragan.” Tutur paman Sapto sebelum menuntun sepeda untanya mengarahkan Sanjaya dan Kelana.
Mereka ada dimana-mana, mengintai hampir setiap malam. Pengabdian KKN yg diperkirakan lancar, ternyata malah akan merenggut nyawa mereka satu-persatu setelah kutukan desa tempatnya KKN kembali muncul setelah puluhan tahun menghilang
@bacahorror @IDN_Horor
Detik demi detik berputar, tanpa terasa satu persatu dari mereka datang lalu memperkenalkan dirinya masing-masing. Pertemuan itu, akan mereka gunakan untuk membahas susunan tugas serta program bersama yang akan mereka bawa saat terjun di desa.
Namun, sudah tiga puluh menit berlalu sejak orang terakhir datang, ada satu orang yang belum juga terlihat wujudnya. Dia adalah Maya. Bahkan, sejak komunikasi melalui grup whatsapp, Maya pun belum sama sekali merespon.