Pria itu lantas memperkenalkan dirinya dengan nama Rinto, yang ternyata masih sepupunya mendiang pambakal Dehen. Keterangan itu sontak membuatku dan pak Salundik kaget sekaligus waspada. Rupanya, Rinto adalah calon pambakal bohongan yang diceritakan pak Gerson tempo hari.
Kendati demikian, aku dan pak Salundik berusaha menahan diri dan bersikap biasa. Apalagi Rinto lantas meminta maaf atas kesalah pahaman beberapa malam kemaren.
Katanya, waktu itu dia dan mendiang pambakal Dehen hendak meminta kami untuk hati-hati, karena ada arwah orang mati yang sedang memburu dan hendak membuatku dan pak Salundik celaka.
"Waktu itu, mendiang Dehen merasakan ada kekuatan yang sangat jahat mengintai kalian. Arwah orang mati yang mampu memanipulasi pikiran, sekaligus membunuh secara langsung. Untuk jaga-jaga, kami membawa mandau dan tombak bertatah emas yang sudah dilumuri darah babi muda."
Lelaki itu lantas meringis menahan perih. Ia kemudian mencondongkan badan, bicara hati-hati agar warga lain tidak ikut mendengar. Namun, tingkahnya justru membuat yang lain tambah penasaran hingga ia akhirnya pasrah.
"Berhati-hatilah dengan Ukar. Lelaki muda itu, lebih berbahaya dari yang terlihat," ucapnya lirih.
"Ukar!?" tanya pak Salundik setengah tidak percaya.
Rinto mengangguk, kemudian menatap kami satu persatu. Setelah yakin kami memperhatikan, ia akhirnya buka suara.
"Kemarin pagi, saya, Dehen dan tiga orang lainnya pergi berburu di hutan di kaki bukit telunjuk. Selain mandau dan tombak, kami juga membawa senapan angin. Namun ada yang aneh, hutan hari itu tidak seperti biasanya..."
Rinto menahan kalimatnya sejenak, berusaha mengumpulkan kepingan-kepingan ingatan tentang peristiwa nahas kemarin pagi. Setelah menyeruput kopi dan menyalakan sebatang rokok, kata demi kata lalu mengalir perlahan dari mulutnya.
Pagi itu, sudah lebih dari 2 jam mereka menyusuri hutan, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan seekor binatang pun. Bahkan, burung pipit dan tupai tidak terlihat di ranting-ranting pohon. Hanya terdengar suara burung kedasih yang mengikuti tanpa tahu dimana keberadaannya.
Semakin lama, semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan. Ketika cahaya matahari menelusup di antara celah-celah dedaunan, mereka menyadari sudah terlalu lama di dalam hutan. Anjing-anjing mereka semakin gelisah, sedangkan hewan buruan tak juga didapat.
Petaka pertama dimulai saat mereka hanya berputar-putar saja sewaktu mencari jalan pulang. Hari itu, hutan yang mereka kenal seakan tidak bersahabat.
"Sungguh aneh, hutan yang kami kenal seakan tidak ada ujungnya. Lebih satu jam kami mencari jalan pulang, tapi selalu kembali ke titik yang sama. Saat itulah, kami sadar telah tersesat. Tidak...! Bukan tersesat! Tapi ada yang menyesatkan."
Rinto terdiam dan menunduk lesu. Wajahnya meringis mengingat kejadian mengerikan yang mereka alami.
"Kami memutuskan istirahat di bawah pohon besar. Tapi, anjing-anjing yang kelelahan mulai menggonggong dengan keras.
Mereka selalu melihat ke pohon dango yang penuh akar bakah, seolah ada sesuatu di situ. Ternyata, kejadian buruk baru saja akan dimulai."
Dia lagi-lagi terdiam, menatap kosong ke arah warga yang tengah sibuk menyiapkan upacara kematian. Nafasnya putus-putus, menahan beban yang begitu menghimpit di dada. Setelah keberaniannya terkumpul, lelaki itu kembali bercerita. Warga pun mulai hening, terbawa akan suasana.
Kata Rinto, pambakal Dehen menyuruh dua orang untuk memeriksa ada apa di pohon dango. Semakin dekat dua orang itu dengan pohon dango, semakin kencang anjing menggonggong.
Keadaan itu membuat Dehen dan anak buahnya jadi waspada.
Mereka berdiri dengan mandau di tangan, sembari mengawasi pohon-pohon dan belukar.
Tanpa diduga, seekor anjing tiba-tiba menyerang salah seorang yang memeriksa pohon dango tadi. Dengan beringas, anjing itu merobek tangannya, menyeret tubuhnya ke dalam belukar.
Belum sadar apa yang terjadi, beberapa ekor anjing juga turut menerkam pria malang itu. Seekor anjing merobek lehernya dan menelan dagingnya.
Pria itu terkapar dengan tubuh bersimbah darah. Matanya melotot dan perutnya robek mengeluarkan usus terburai.
Anjing-anjing itu memakan isi perutnya di saat ia masih bernyawa. Pria itu menjerit, suaranya menggema ke seluruh penjuru hutan.
Rupanya, teror belum berhenti sampai di situ. Seorang warga yang membawa senapa angin, berusaha menembak mati anjing-anjing yang menjadi gila itu.
Belum sempat senapannya meletus, seorang warga lainnya mendadak menghunjamkan mandau ke kepala pria tadi.
Mandau itu menancap di batok kepala pria itu, darah segar langsung muncrat bak pancuran air.
Darah mengalir sangat deras hingga wajahnya tidak terlihat, kecuali cairan merah kental yang melumuri kepala hingga dagunya. Pria malang itu tewas seketika dengan mandau bersarang di kepala.
Rinto dan Dehen yang menyaksikan peristiwa mengerikan itu langsung gemetar. Tubuh mereka kaku dan tidak bisa bergerak sebelum menyadari apa yang terjadi. Rupanya, warga yang kesurupan tadi belum usai dengan kekejiannya.
Dengan paksa ia mencabut mandau dari batok kepala pria malang tadi, lalu menebas-nebas leher pria yang tersungkur di depannya hingga hampir putus.
Rinto dan Dehen yang sudah tersadar, dengan segera menebas mandau secara membabi buta ke tubuh warga yang kesurupan itu.
Tebasan mandau Dehen berhasil memotong lengan anak buahnya yang kesurupan. Anehnya, anak buah Dehen itu seketika berdiri sambil menyeringai. Meski tubuhnya penuh luka tebasan dan mandi darah, ia masih bisa melotot dan bergerak tertatih.
Sekali tebasan yang cepat dari Dehen, membuat kepala pria itu terlepas dari tubuh dan akhirnya tersungkur di genangan darah.
Dengan jantung yang berdetak cepat dan tubuh telah basah dengan keringat bercampur darah, Rinto dan Dehen mencoba mengatur nafas.
Belum juga nafas mereka tenang, 7 ekor anjing seketika menyerang mereka dengan brutal. Anjing-anjing itu menerjang dari berbagai sisi, merobek kulit dan mengoyak daging.
Bahkan, seekor anjing dengan ganas merobek kelopak mata pambakal Dehen, mencongkel biji matanya lalu menelannya bulat-bulat.
Pambakal Dehen berontak, mengamuk dan membantai anjing-anjing itu sekuat tenaga.
Sadar tidak akan bertahan, Dehen menyuruh Rinto kabur dan mencari pertolongan.
"Sewaktu terbirit melarikan diri, di saat itulah aku melihat Ukar di antara pepohonan. Aku terus berlari tertatih, melewati Ukar yang hanya berdiri mematung.
Entah apa yang ia lakukan di sana, ia hanya berdiam diri menyaksikan pembantaian itu. Ia seolah menikmati melihat kematian di depan matanya.
Yang kuingat, tubuhnya sangat pucat dengan tatapan kosong. Udara di sekitarnya sangat dingin menusuk tulang.
Setelah cukup jauh berlari, aku akhirnya terjatuh dan pingsan. Aku baru sadar saat beberapa orang peladang menemukan tubuhku. Waktu itu hari sudah senja. Setelah menceritakan apa yang terjadi, warga lalu melakukan pencarian. Sisanya, kalian sudah tahu apa yang terjadi."
Semua yang mendengar menahan nafas dan bergidik ngeri. Bulu kudukku juga seketika merinding, seolah menyaksikan langsung peristiwa berdarah itu. Beberapa pelayat yang tadi duduk dekat kami, perlahan menjauh sebab tidak kuat mendengar cerita Rinto.
"Sudah lapor polisi?" tanya pak Salundik.
Rinto mengangguk pelan.
"Polisi dan tentara dari kecamatan juga turut melakukan pencarian. Aku juga sudah dimintai keterangan. Tidak menutup kemungkinan, aku akan dijadikan tersangka," jawabnya lemah.
"Bagaimana dengan Ukar? Apa kalian sudah ke rumahnya?" Pambakal Bahat ikut bertanya karena penasaran.
"Ukar sudah dua hari lalu pergi dari kampung ini. Aku sendiri yang berpapasan dengannya di dermaga.
Katanya, ia hendak mengurus berkas lamaran kerja di ibukota kabupaten," timpal sekdes memberi penjelasan.
Semua menoleh ke arah pak Sekdes, ingin tahu lebih lanjut.
"Karena itulah, belum bisa dipastikan yang muncul di hutan itu adalah benar-benar Ukar.
Seandainya pun itu benaran Ukar, lalu kenapa? Tidak bisa dibuktikan bahwa dialah yang menyebabkan peristiwa berdarah di tengah hutan kemaren.
Karena itu pula, aku melarang warga untuk menggeruduk rumahnya Gerson. Apalagi, si Bawi juga dalam keadaan memprihatinkan.
Sudah terlalu banyak pertumpahan darah, jangan ditambah lagi," lanjut sekdes seraya terus menggeleng-gelengkan kepala.
Semua yang ada di teras lagi-lagi bungkam. Beberapa orang terlihat gelisah karena merasa tidak nyaman. Mereka saling lirik, lalu pamit untuk segera pulang.
"Sebaiknya aku segera menemui Gerson sekarang. Ada beberapa hal yang harus kutanyakan, demi keselamatan anak-anakku dan warga lainnya," ujar pak Salundik sambil melirik ke arah kami.
"Sekarang aku harus pamit dulu dengan istri mendiang Dehen. Selain itu, ada sesuatu yang ingin kukembalikan."
Pak Salundik bangkit dan masuk ke dalam rumah, diantar Rinto dan pak Sekdes.
Aku yang penasaran juga ikut ke dalam rumah, ingin tahu apa yang dikembalikan oleh pak Salundik.
Dengan hati-hati, pak Salundik mendekati istri mendiang Dehen yang masih terisak. Dengan tubuh terguncang, wanita itu memeluk jasad sang suami yang terbujur kaku tertutup kain.
"Permisi, mina..." ungkap pak Salundik dengan nada sopan.
Istri mendiang Dehen segera duduk lalu menyeka air mata yang berurai.
"Mina, saya ingin mengembalikan barang milik mendiang. Barang ini pasti sangat berharga bagi keluarga mina."
Pak Salundik lantas mengeluarkan mandau mantikai yang sedari tadi ia pegang. Begitu membuka kain kuning pembungkusnya, istri mendiang Dehen tampak terkejut. Ia menggeleng-geleng dengan mata masih berkaca-kaca.
"Ini bukan milik suamiku. Aku tidak pernah melihat mandau pusaka ini. Kau tahu, mandau diwariskan secara turun-temurun. Dan...aku tidak pernah melihat mandau ini sebelumnya."
Pak Salundik hanya terdiam. Ia menoleh ketika pak Sekdes angkat suara.
"Mandau itu milik mendiang Lawit, mertuanya Gerson, ayahnya Ukar," ujar Sekdes lirih.
Sungguh ganjil, kali ini tidak terlihat ekspresi kaget di wajah pak Salundik. Sepertinya ia menyadari sesuatu.
Namun, aku sempat mencuri pandang adanya perubahan sikap Rinto. Wajahnya pucat dan keringat mengucur dari dahi. Lelaki dengan balutan perban itu, tampak gelisah melihat mandau di tangan pak Salundik.
...berkentang...
Sampai jumpa malam senen yak. Tabe ππ
Yang ingin support atau gak sabar ingin tahu kisah selanjutnya, bisa klik link dibawah ya. Bab 23-24 udah tersedia ππ
Dua letusan pistol di belakang kepala, membuat tengkorak sang driver ekspedisi berlubang tembus ke dahi. Lelaki yang mencari nafkah demi anak istri itu tewas bersimbah darah di tangan oknum Polisi kemaruk berpangkat Brigpol.
-Utas-
Rabu siang 27 November 2024, Haryono (37) mengemudikan mobil Daihatsu Sigra melintasi jalan trans Kalimantan Palangkaraya- Kasongan dengan kecepatan sedang.
AC mobil telah disetel full, tapi Haryono tetap saja bercucur berkeringat. Tangannya yang memegang setir gemetar hebat sementara jantungnya berdetak tidak karuan.
Jambri rupanya tak bisa berharap banyak pada aparat kepolisian yang lamban. Dengan segenap tekad, ia bergerak melakukan penyelidikan hingga akhirnya berhasil meringkus pembunuh anak dan cucunya.Β
-Utas-
Kamis (10/10/24) sekira pukul 09.00 WIB, Jambri dilanda gelisah. Sedari pagi, anak perempuannya yang bernama Vina belum juga datang. Pesan whatsapp yang ia kirim hanya centang satu.
Padahal, anak pertamanya itu sudah berjanji akan datang pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya membuat kue. Selain itu, Jambri dan istrinya juga sudah tak sabar hendak bertemu cucu mereka.
Mansur (57) alias Terosman alias Kete membunuh majikannya Dasrullah (45) dengan sadis. Sesudah itu kelamin korban dipotong, diiris-iris, direbus, dikasih garam dan bawang lalu dijadikan lauk makan nasi.
-Utas-
Mansur adalah lelaki yang dikutuk kemiskinan. Keadaan yang demikian membuatnya jadi bengis, sadis dan penuh amarah menyala.
Jauh sebelum jadi pembunuh,-lalu menyantap kemaluan korbannya,- Mansur hanyalah buruh upah tani. Hasilnya pas-pasan.
Sehari makan nasi, dua hari makan angin. Begitulah setiap hari.
Jika ada panggilan, ia membantu menanam atau menuai padi. Jika tidak ada, Mansur menjadi pencuri kelas teri. Apapun ia curi demi mengganjal perut anak dan istri.
Kamis 26 September 2019 adalah hari yang kelam bagi KM (17). Jam menunjukan pukul 07.30 pagi, KM menggali lubang sedalam 30 sentimeter menggunakan cangkul dan linggis di pekarangan pondoknya yang reot.
Di belakang, sang ayah Robendi (43), mengawasi dengan mata merah menyala.
βBarake! Mun jida, ikau ji pateikuh! (Cepat! atau kamu yang kubunuh!)β ancam Robendi dengan suara menggelegar.
Dengan tangan gemetar, remaja pria itu memasukan jasad adik sekaligus keponakannya ke dalam lubang galian.
Sesekali ia meringis, babak belur di sekujur badan akibat gebukan ayah kandung belum sepenuhnya pulih.
Jumat malam 23 September 2022, hujan gerimis mengguyur kota Palangkaraya. Suasana malam terlihat sepi di kawasan Jalan Cempaka, Kelurahan Langkai. Tidak ada lalu lalang kendaraan, tidak pula orang-orang yang berkeluyuran.
Dinginnya cuaca membuat warga memilih tidur lebih awal di balik selimut yang hangat.
Jam menunjukkan pukul 22.30 WIB ketika MY (17) terbangun dari tidur. Suara bantingan keras di kamar sebelah membuatnya terjaga. Seketika ia merinding.
Samar-samar ia mendengar suara rintihan manusia dan tebasan parang mengoyak daging. Remaja putri itu langsung tercekat, terdengar suara jerit kesakitan sang ayah.
MY lantas beranjak dari kasur dengan perasan cemas.
Hantu sandah merupakan salah satu hantu khas kalimantan tapi kurang populer dibandingkan kuyang. Sandah merupakan salah satu jenis kuntilanak dengan ciri khas wajah selebar nyiru.
Konon, wajahnya yang lebar merupakan kutukan karena telah mengguna-gunai / menundukan suaminya dengan cara yang kotor.
Kata orang, semasa hidup hantu sandah memberi makan/ minum suaminya menggunakan minyak perunduk yang dicampur darah haid, pakaian dalam-.