kalong Profile picture
Jun 23 262 tweets 32 min read
A thread

- PETAKA PENDAKIAN -

Dua sahabat bertahan hidup ketika tersesat dalam pendakian.

@bacahorror @IDN_Horor #bacahorror Image
Buat selingan aja, sembari nunggu cerita #rogohnyowo update.

Titip cover buat update besok jam 7 malam ya. Ramaikan dulu dengan rt, like & komen nya. Biar yg lain gak ketinggalan.
Siang itu dua orang sahabat sedang berjumpa, sahabat terbaik semenjak duduk di bangku SMA hingga saat ini. Kepribadian yang dewasa dan enerjik dan bisa di andalkan ketika ia butuh teman jalan atau pun curhat sekalipun.
Sosok perempuan yang lagi bener-bener butuh refreshing karena penatnya hari yang penuh akan kepadatan mata kuliah, mencoba membuka obrolan kepada pemuda berwajah tampan yang berada di hadapannya. Pemuda itu sebentar menyibakan rambutnya.
"Ya udah kebetulan besok ada jadwal mendaki bersama temen-temen ke Bogor" jelas dan padat suara pemuda yang mempunyai rambut belah tengah tersebut.

Perempuan itu mengangguk dan mengiyakan tawarannya.

"Sabtu kita berangkat naik motor biar lebih seru"
Malam sebelum keberangkatan, perempuan lucu dan gemoy yang biasa dipanggil Rina sudah mempersiapkan semua peralatan untuk mendaki.

Singkat cerita, hari yang di nanti pun tiba. Sebelum matahari terbit, Rina bergegas untuk menjemput sahabatnya di rumahnya.
Rina memang anak rumahan yang jarang keluar rumah. Rute biasanya hanya dari rumah ke kampus saja. Kebetulan rumah Rina dan pemuda itu memang tak begitu jauh, karena memang masih satu perumahan hanya saja beda kompleks.
Terlihat pemuda yang akrab di sapa Dio sudah menunggu didepan rumah kemudian berkemas dan berangkat berboncengan.

Dimulailah perjalanan mereka. Perjalanan yang di tempuh berjam-jam membuat mereka cukup kelelahan. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk singgah di sebuah Curug.
"Ayo, Rin mandi"

Rina menggeleng, menolak ajakannya.

Pemandangan para wisatawan sedang menikmati dinginnya air kecuali Rina. Mengeluarkan handphone genggamnya untuk berfoto mengabadikan keindahan alam air terjun yang indah. Keanehan muncul ketika Rina berjalan menuju toilet.
Rina berhenti sejenak mencoba menajamkan pendengaran dengan apa yang ia dengar barusan. Namun ia kemudian menegaskan bahwa tidak ada suara apapun kecuali angin yang berhembus di sela dedaunan.
Untuk sepersekian detik lamanya ia kembali menajamkan pendengarannya, kali ini tidak salah lagi, bahwasannya ia mendengar suara anak ayam. Rina teringat dengan kata-kata Kakeknya, jika ada hal yang tidak sepatutnya di dengarkan, salah satunya adalah suara anak ayam.
Mendengar suara anak ayam seperti pertanda sial bagi siapapun yang mendengarnya, terlebih di tempat seperti ini. Rina memikirkan hal yang menurutnya menyebalkan, sosok itu kuntilanak, meski kalimat itu tidak diucapkan, namun ia mengerti.
Sebuah pertanyaan yang sudah ada jawabannya, menegaskan sesuatu, bahwasannya dia sudah di incar oleh sosok itu. Ia tercekat panik, kemudian bergegas keluar dari toilet.
Degup jantung dan nafas terengah-engah menjelaskan bahwa Rina sudah berlari cukup jauh menuruni jalanan tanah bergelombang, menjauh dari toilet. Ia berfikir kali ini sudah aman. Tiba-tiba ia di kagetkan dengan suara lantang milik Dio, jika ia sedang memanggil namanya.
Saat sampai di bawah, hal yang tidak enak pun terjadi. Mendadak pusing, mual-mual, juga badan terasa berat seperti ada yang menempel di badannya.

"Rin, kamu kenapa kok mau muntah gitu?" tanya Dio berjalan naik kearahnya.
Rina menjawab jika dirinya baik-baik saja, padahal apa yang barusan menimpanya adalah satu pertanda bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.

"Ya sudah kita cari makan siang dulu yok" ajak Dio.
Baru beberapa langkah Rina meninggalkan tempat itu, ia baru sadar, jika sedari tadi ada sosok yang sedang memperhatikan. Sosok yang sering ia dengar ada di hutan pada umumnya, kini setelah melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, ia akhirnya tau, bahwa mereka memang nyata.
Degup jantungnya tak henti berpacu, tubuhnya kini basah karena peluh, wajahnya dipenuhi keringat. Rina mencoba menahan rasa takut, kemudian memberi isyarat kepada Dio untuk berjalan lebih cepat, mengabaikan mereka yang masih berdiri memperlihatkan.
Setelah kejadian itu, Rina lebih sering diam, dan ketika mereka sudah sampai di sebuah warung, lagi-lagi Rina melihat sosok yang tadi ia lihat sebelumnya sedang berdiri di sisi toilet.
Rina memastikan sekali lagi, saat ia menajamkan penglihatannya, ternyata sosok perempuan itu sudah menghilang.

"Rin, kamu kenapa??" tanya Dio.
Rina menggeleng, ia belum bisa menceritkan hal ini kepada Dio, terlebih lagi jika teman-teman yang lain ikut tau, ia tak mau menggagalkan rencana kali ini.

"Kamu kenapa! Makan kok melamun gitu!!" ujar Dio sedikit menekan.
Sekali lagi Rina hanya menggeleng, kemudian memasukkan beberapa suap nasi dan lauk ke dalam mulutnya.

"Ya sudah, setelah ini kita singgah dulu ke rumah nenek ku, istirahat dulu di sana sebelum muncak"
ajak Dio
Setelah meninggalkan Curug, mereka langsung menuju ke rumah neneknya Dio. Namun disepanjang perjalanan, perasaan Rina sedikit tak enak. Ia mendengar suara anak ayam sekali lagi, seperti terus mengikuti.
Tak kuasa menahan sakit kepala dan badan semakin berat, Rina meminta beristirahat menepi ke jalan, saat itulah seketika Rina terjatuh pingsan.
Tentu saja Dio panik dan mengira Rina sakit, namun apa yang sedang di alaminya seperti menggendong beban berat yang mengakibatkan kondisi Rina lemas.

Tak beberapa lama Rina tersadar, aroma kayu putih membuatnya berangsur membaik.
Mata sayu memandangi sekitar, terlihat tak begitu jelas ternyata Dio dan yang lain sedang mengerubungi dengan muka cemasnya.

"Rin, kamu sakit?" tanya Dio khawatir.
Rina menjawab beralasan jika ia hanya kurang tidur saja, karena terlalu semangat jadi semalam belum istirahat cukup.

Di sepanjang perjalanan menuju rumah nenek Dio, tak lupa Rina selalu berdoa hingga suara anak ayam itu menghilang dan merasa baikan.
Sekitar setengah enam petang mereka sudah tiba dirumah nenek Dio.

Rina bersyukur jika sore itu mereka bisa sampai tujuan sebelum maghrib tiba, setelahnya mereka beristirahat sejenak kemudian memutuskan untuk memasak makan malam.
Keanehan mulai terjadi lagi ketika Rina hendak mencuci beras dibelakang. Kebetulan kamar mandi dirumah ini memang terpisah dari rumah, jadi ia harus berjalan beberapa langkah ke belakang baru bisa mengambil air untuk dimasak.
Rina bisa merasakan hawa yang sangat dingin berhembus, membuat bulu kuduknya berdiri. Terlihat persawahan dan kebun pisang disebelah kiri. Saat netranya menyisiri batang batang pisang, diantara pohon itu ada sosok putih yang berdiri dengan muka hitam legam.
Sosok terbungkus yang menyerupai guling dengan warna kontras tengah mengawasinya. Terlihat kepalanya pelan-pelan bergerak, lalu melayang ke arahnya.
Rina berteriak sekuat tenaga, dengan cepat Dio dan beberapa teman yang lain berlari menghampiri Rina yang tengah duduk menyembunyikan wajahnya dalam dekapan tangan.

"Hey, kenapa Rin!!" tanya Dio penasaran.
Rina menjelaskan apa yang ia lihat barusan, sembari tangannya menunjuk kebun pisang.

"Gak ada apa-apa Rin..kamu… " balas Dio yang kemudian di potong oleh neneknya.

"Ajak temanmu masuk, jangan di sini lama-lama!"

"Iya, Nek, ayo masuk, sudah gaada apa2" ucap Dio menenangkan.
Sesampainya di dalam, Dio mengingatkan Rina untuk membaca istighfar dan banyak-banyak berdoa.

Malam berlanjut dan kini mereka terpisah, ruangan wanita di kamar nenek Dio sedangkan yang laki-laki dikamar sebelah yang ditinggali oleh kakek Dio.
"Sudah malam, tidur lah kalian, jangan keluar rumah malam ini" ucap wanita tua yang tak lain adalah Nenek Dio.

Malam sudah larut, Rina terlelap dalam tidurnya, sebelum tiba-tiba ia mencium aroma dari kembang yg sangat wangi, -
aromanya asing tapi rasanya Rina pernah menciumnya, tidak salah lagi. katanya dalam hati. aroma ini adalah aroma dari melati.
Rina pun mulai membuka matanya, ditengah kegelapan kamar, dia merasakan kalau tidak jauh dari tempatnya sedang berbaring terlihat seseorang sedang dalam posisi bersimpuh, sosoknya terlihat tidak begitu jelas tapi ia bisa melihatnya kalau sosok itu adalah seorang wanita.
Rambutnya panjang tergerai sampai menyentuh lantai, posisinya bersimpuh membelakangi Rina, Rina yg masih belum sepenuhnya sadar nampak terhenyak di atas tempat tidurnya, ia memandang pada bagian kepalanya seperti ada sesuatu yg berkilau kekuningan seperti sebuah mahkota.
Mengenakan kebaya dengan hiasan selendang di pinggangnya. Yang anehnya terlihat familiar bagi Rina, anak itu nampak bingung apakah dia sedang dalam kondisi bermimpi atau sudah terjaga, selain itu aroma wangi dari melati nampaknya berasal dari sosok wanita yg ada dihadapannya ini.
Rina pun berusaha bangkit dari tempatnya sedang tidur tapi tiba-tiba sosok yg masih terlihat samar-samar itu berkata dengan suara yg sangat lembut.
Rina bingung, sementara yang lain sudah terlelap dalam tidurnya. Dengan cepat Rina menarik sleeping bag dan menarik resleting hingga menutupi tubuhnya. Tiba-tiba dia merasakan seperti ada yang menyentuh ujung kakinya.
Tangan dingin itu menggerayangi sangat pelan, menyentuh kaki dan jari-jarinya, kuku panjangnya membuat tak nyaman. Setelahnya kini badan Rina terasa berat, membuat tubuhnya terasa kaku, susah bergerak, nafasnya ngap ngapan.
Tujuh kali Rina melantunkan kalimat ayat kursi, ia bersyukur akhirnya terlepas dari rasa berat itu. Hingga Adzan subuh berkumandang, Rina terlelap dan memimpikan sosok Ratu, menuntun dengan tangan lembutnya.
"Ikutlah denganku, akan aku nikahkan kamu dengan adik ku seorang pangeran diistanaku"

Rina mengikuti langkahnya yang terus berjalan membawa dirinya ke sebuah istana yang sangat megah. Beruntung, Rina terbangun dan langsung duduk.
Merasakan heran karena dikerubungi oleh semua orang yang ada di rumah itu, termasuk seorang ustadz.
Dalam keadaan yang belum sadar sepenuhnya, ia menanyakan perihal apa yang sudah terjadi menimpanya, namun tak ada jawaban dari siapapun hingga ia diberikan minuman oleh seorang ustadz.
"Kamu gapapa, Rin??" Dio kemudian duduk di sebelahnya, "Subuh tadi kamu berjalan kearah pos dengan tatapan mata kosong" jelas Dio.

Sempat tak percaya dgn apa yg di ucapkan oleh sahabatnya tersebut, ia kemudian menceritakan rentetan kejadian yang menimpa Rina satu jam yang lalu.
"Untung temen-temen yang lain mengejar tadi, kalau tidak, mungkin kamu sudah di bawa lelembut" jelas Pak Ustadz.
"Di pos masih ada pemuda yang jaga td, saat kamu ditanya, kamu cuma diem saja terus mereka cegah kamu untuk masuk ke kuburan, tapi malah ngamuk karena kesurupan, lalu kakek panggil pak ustadz" Panjang lebar kakek.
Rina mengangguk, ia paham dengan rentetan kejadian itu, namun lagi-lagi ia harus merahasiakan sesuatu yang lain kepada semua orang yang ada di ruangan yang tak terlalu besar itu.

"Syukur alhamdulillah kamu masih baik-baik saja nak, sudah istirahat dulu" pungkas kakek.
Siang itu Rina berbaring merasakan sakit di badan sembari mendengarkan teman-teman diluar yang mengobrolkan tentangnya. Seorang wanita masuk, salah satu teman Dio membawakan makan juga teh panas.

"Mbak, aku boleh nanya, kan?" kata perempuan berlesung di pipi kanannya.
Rina mengangguk.

"Mbak lagi datang bulan ya??"

Ia menggeleng dan menjawab dengan alasan jika dirinya hanya kurang istirahat saja.
"Ya sudah, mungkin mbak besok ga usah ikut muncak karena kondisi seperti ini" Rani hanya tersenyum sembari menyuruhnya untuk makan.
Rani yang seperti mengetahui jika Rina ada sesuatu yang disembunyikan, hanya tersenyum menyikapi Rina yang belum menceritakan keadaannya kepada siapa pun termasuk dengan Dio sahabatnya.

***
Rina duduk disamping Dio yang sepertinya sedang sibuk mencari sesuatu yang ada di dalam carriernya, sedangkan temen-teman yang lain nampak sedang berbaur, mereka berbincang dengan teman lain.
Rina sendiri tidak berhenti melihat pemandangan dari balik kaca sebuah kendaraan yang sedang ia tumpangi sewaktu kendaraan itu terus melaju. Di dalam suasanan yang dipenuhi oleh manusia,-
ada seorang bapak-bapak tua yang sedang memperhatikan Rina, bapak tua yang duduk di samping Dio kemudian berkata dengan nada seperti tak suka.

“orang sakit kok di ajak pergi!” begitulah kira-kira.

Dio yang mendengar lantas menyahuti,”Siapa, Pak yang sakit?”.
“Teman sebelahmu itu kan lagi sakit, Mas. Kok malah di ajak mendaki!” tegas dan jelas suara yang keluar dari mulut bapak tua yang sedari tadi memperhatikan Rina tersebut.

Raut muka Dio nampak kebingungan yang kemudian ia tanyakan perihal itu kepada Rina. “Kamu lagi sakit, Rin?"
Rina menggeleng, memberi isyarat atas jawaban dari pertanyaan Dio namun pandangannya masih mengarah keluar jendela, ia tak berani menghadap ke arah sahabatnya, takut jika ia ketahuan berbohong.
Kendaraan yang ditumpangi oleh Rina akhirnya sampai di tujuan. Dio kemudian memimpin menuju ke tempat dimana mereka harus mengurus surat ijin mendaki.

Setelah semua beres, pukul lima lebih tiga puluh menit mereka bergegas memulai pendakian.
Post pertama di lalui dengan aman sampai mereka berhenti diwarung sembari beristirahat. Rina kembali merasakan kemunculan sosok yang terus mengikuti. Rasa ingin cerita ke Dio bahwa pendakian ini ada yang janggal, teringat jika merasakan keganjilan apa pun harus diam.
Rina masih tersadar akan sesuatu yang mengikutinya. Apa mungkin karena kondisiku saat ini, jadi mereka selalu mengikuti, pikirnya waktu itu. Sebelum sampai puncak, Rina meminta beristirahat di sebuah batu yang sangat tinggi dan bersisikan jurang yang terlihat sangat curam.
"Oke kita istirahat dulu, kalau yang lain mau lanjut kepuncak ga papa tetap hati-hati, sebentar lagi sampai kok" ujar Dio.

Rombongan yang lain akhirnya melanjutkan perjalanan.
Di area yang sangat indah ini, Rina mengabadikan foto hingga tak terasa teman-teman yang lain sudah jalan turun. Sementara mereka berdua masih di posisi yang sama.

"Kalian sudah mau turun??"

"Iya kami duluan ya, takut kemalaman sampai bawah"
“Ohh oke...aku sama Rina naik bentar terus nyusul turun"

Tak lama setelah itu, cuaca yang tadinya cerah mendadak turun hujan, Rina dan Dio berusaha untuk tetap jalan walapun keadaan tanah saat itu mulai basah dan licin,
berkali-kali Rina tergelincir dan mereka memutuskan untuk istirahat lagi dan memakai jas hujan karena hujan turun semakin deras. Diantara suara hujan yang semakin deras, Rina mendengar suara desahan nafas seseorang.
Rina mencoba memberitahukan hal ini kepada Dio, sembari menunjuk kearah asal dimana suara itu terdengar. Namun ia beranggapan kalau Rina saat itu hanya kelelahan.
Tapi sebenarnya Rina cukup yakin kalau itu adalah suara nafas yang sangat jelas datang dari arah semak-semak di sebelah sana. Tapi karena takut dianggap berlebihan, akhirnya ia kembali mencoba berpikir positif.
Ketika hujan mulai mereda, kali ini benar mereka mendengar suara langkah mendekat dan ternyata kelompok lain baru saja tiba di tempat ini.

"Rin, kayanya tadi yang kamu denger, suara nafas mereka ya?" Dio berbisik pelan, ia takut para pendaki itu mendengarnya.
Rina menjelaskan sekali lagi, jika asal suara itu berasal dari rimbunan semak-semak disana. Rina kembali menunjuk ke arah semak-semak.

"Ya udah kalau gitu benar itu hujan" malas berpikir repot Dio akhirnya menyimpulkan untuk tidak membahasnya kembali.
Mereka berkenalan dengan para pendaki. Dan setelah bersalaman, laki-laki yang Rina yakini sebagai pemimpin kelompok yang berisi enam orang itu bertanya kepada Dio.

"Hey kalian berdua aja?"
"enggak Kang, kita ada sebelas orang, tapi yang lain udah turun ketika kita istirahat tadi, memang kenapa Kang?" Dio menjelaskan panjang lebar.

"Gabung aja sama kita? Kalau mau ke puncak kita sama-sama saja"
Belum lama pemimpin kelompok yang bernama Kang Dadang menawarkan ajakannya, salah satu anggotanya membisikkan sesuatu ke Kang Dadang. Walaupun berbisik tapi samar-samar terdengar ucapan keberatan akan tawarannya.
Namun tawaran akan keberatan tersebut ditepis oleh Kang Dadang, yang akhirnya mereka melanjutkan pendakian setelah hujan telah benar-benar berhenti.
Ketika tiba di persimpangan, mereka memilih jalur untuk menuju ke Puncak dan Rina mulai menghela nafas lebih sering bahkan beberapa kali pijakannya terasa goyah, hal ini disadari oleh yang lain, Kang Dadang sebagai orang yang paling tua kemudian berujar,”kita istirahat dulu".
Mendengar itu Dio nampak protes, "Tuh kan udah capek lg kamu Rin! Jangan cengeng lah ayo kita lanjut naik sebelum gelap!"
Kang Dadang yang dari tadi diam akhirnya bersuara dan duduk di sebelahnya. Beliau mengeluarkan sebatang rokok dan mulai membakarnya, menghembuskan asapnya ke arah Rina. Seketika Rina mundur menghindari semburan asapnya.
Setelah beberapa kali hisapan, Kang Dadang mematikan rokok dan mengambil botol minuman, kemudian membuka tutupnya dan mulai mulutnya komat kamit. Setelah itu memberikan botolnya kepada Rina.

"Minum dulu biar kuat jalannya"
Rina menurut dan minum seteguk, dua teguk, lalu menutup botolnya dan menanyakan hal yang dilarang ketika sedang mendaki.

"Sssstt nanti aja di bawah kita bahasnya. Sekarang bagaimana kalau kita jalan lagi?"
Memang benar, pantang sekali untuk membahas hantu ketika pendakian. Akhirnya Rina mengangguk dan mereka kembali berjalan. Hujan mulai turun lagi dan tampaknya cuaca semakin tidak bersahabat,-
tapi Dio memaksa untuk tetap jalan yaitu dengan alasan agar mereka bisa cepat sampai ke pos selanjutnya dan bermalam disana. Entah karena hujan atau memang sudah ketempelan, perjalanan naik gunung ini terasa sangat lama dan semakin berat.
Berkali-kali Rina merasa seperti ada yang mengawasi dibalik lebatnya pepohonan. Belum lagi ketika Rina merasa bukan hanya carrier yang bertambah berat tetapi kakinya juga semakin berat untuk melangkah.
Karena hujan semakin deras, Kang Dadang pun memecah keheningan dan memberi komando.

"Ok kita stay disini, kita bangun tenda, saya kira tempat ini cocok buat kita bermalam di sini"

Selesai mereka membangun tenda, Dio pamit untuk mencari air sebelum gelap.
Menurutnya, mereka telah melewati mata air sewaktu di persimpangan sebelumnya. Kang Dadang nampak keberatan karena menurutnya persediaan air mereka dirasa masih cukup sampai besok tapi menurut Dio, diatas tidak akan ada lagi mata air sehingga ia perlu untuk kembali mengambil air.
Rina juga merasa kurang setuju dengan Dio tapi dia juga tahu betul dengan sikap Dio yang pasti nggak akan nurut sama orang lain.

"Ngapain juga sih ngotot cari air?" Rina setengah dongkol dengan Dio karena dia harus turun lagi untuk mengikuti kemauannya.
"Udah tenang aja aman kok, lagipula nggak jauh juga kok tempatnya paling 10 menitan. Lagian aku pergi sendiri juga gapapa. Kamu disini aja sama mereka”.
Namun setelah berpikir panjang, dan belum terlalu kenal dengan rombongan baru, akhirnya Rina dan Dio bergegas menuju mata air, sesampainya di sana, Dio ijin pamit untuk buang air kecil dan Rina yang akan mengambil air.
Ketika Rina melihat pemandangan sekitar, kabut mulai turun sedangkan jam baru menunjukkan pukul tiga sore tapi karena suasanan yang berkabut menjadi terasa lebih gelap dari yang seharusnya.
Entah kenapa bulu kuduk Rina mulai meremang apalagi ketika dia mendengar suara alam. Walaupun sayup sayup jauh terdengar namun dia merasa mendengar suara geraman dari kejauhan. Saat itulah Rina mulai ketakutan.
Daripada memikirkan hal yang tidak-tidak, Rina memutuskan untuk segera mengambil air. Setelah semua botol terisi air penuh, Rina mencuci muka, ia tiba tiba merasa ada orang dibelakangnya, -
sontak Rina menoleh, dan ternyata ada pendaki lain yang sepertinya ingin mengisi air atau sekedar mencuci muka.

Rina bernafas lega ternyata pendaki lain bukan sosok yang menyeramkan. Namun ketika Rina mencoba memecah kesunyian dan mencoba mengajak mengobrol pendaki itu, -
pendaki itu menengok dengan cara yg sangat pelan, anehnya bagian badannya tidak bergeming atau ikut memutar, hanya kepalanya saja yg kemudian menyeringai melihat Rina dan mulai mengisi botol minumnya dengan air.
"Saya lagi solo tracking" nyaris pelan suara yang keluar dari pemuda tersebut, membuat sedikit terjingkat Rina waktu itu.

"Ya sudah Mas, silahkan dilanjut, saya mau ke teman saya dulu"
baru berapa langkah tercium bau busuk, perasaan Rina mendadak gak enak, baru sadar sepertinya ada yang aneh dengan pendaki itu. Rina menoleh dan benar saja ternyata pendaki itu sudah menghilang.
"Nggak mungkin!!! Baru berapa langkah aku pergi, Mas-mas itu sudah hilang dan tidak ada sama sekali suara langkahnya”.

Buru-buru Rina menyusul Dio.

"Dio!!! Dio!!! Cepetan, ayok kita cabut dari sini!!! Cepat!!!"

"Ngapain sih buru-buru banget?"
"Udah deh! Cepetan! Tadi aku ketemu setan!!!" Rina setengah menyeret Dio menjauh dari tempat itu.

"Mana mungki Rin, ngaco kamu”

"Udah!!! Buruan ayo kita cabut dari sini!!!"

"Nyantai aja sih, gak usah buru-buru!”
"Terserah, tapi plis cepetan deh kita balik ke tenda. Sumpah perasaanku nggak enak banget!"

Dio hanya terkekeh ngeliat ketakutan Rina. Akhirnya dia menurut dan mereka jalan balik ke tenda. Lima sampai sepuluh menit mereka berjalan, Rina kembali merasa aneh.
Kok sudah berjalan cukup jauh tapi nggak sampai-sampai. Belum lagi di sepanjang jalan tadi mencium bau bunga melati. lirih suara Rina sembari melihat sekitar, ia merasa kalau mereka hanya berputar-putar di tempat itu.
"Dio, kayanya kita muter-muter aja daritadi deh! Aku inget, kita udah ngelewatin pohon itu!" Rina mencoba menunjuk pohon besar dengan sulur-sulur panjangnya yang menjuntai.
"Kocak! Semua pohon di hutan sama Rin! Ada-ada aja deh! Paling bentar lagi kita juga sampai kok. Udah nggak usah parno gitu, kamu percaya aja sama aku!" Lagi-lagi Dio merasa selalu benar, tapi mau bagaimana lagi, disini Rina juga baru pertama kali mendaki di gunung ini.
Rina pun diam dan terus lanjut berjalan.

"Rin, kayanya kamu benar. Kok kita dari tadi muter-muter di tempat ini, ya?” Dio mulai merasa bingung dengan keadaan saat itu, karena apa yang dikatakan Rina memang benar,
“Eh tapi, kita coba aja lewat jalan itu, aku tau kok jalannya”. Sambung Dio.

"Dibilangin sih gak percaya, tapi kamu yakin lewat situ ada tembusannya? Nanti kita tambah nyasar lagi!"

"Yakin banget!!! Kan bukan baru sekali aku ke sini!"
Setelah mendengar itu, Rina mencoba untuk memberi tanda di salah satu pohon dengan tali yang sengaja ia bawa.

"Ya udah kali ini aku tandain dulu pohon ini pakai tali, jadi kalau salah kita bisa balik lagi ke jalur ini"

***
Terdengar suara rintikan hujan dengan intens yang masih sama, bersamaan dengan Kang Dadang bermimpi buruk. Tendanya dimasuki ular. Salah satu teman setenda ada yang menjerit, dan Kang Dadang berusaha mengusir ular itu dengan benda asal yang ia gapai di tendanya.
Tapi bukannya takut dan pergi, si ular malah makin menjadi. Dengan lincah, dia menghindari setiap gerakan yang diayunkan. Dan di akhir cerita, ular itu melompat dan kedua taringnya tertancap di kaki Kang Dadang.
Kemudian ia terbangun. Benar-benar terbangun dengan kaget, kepala pening dan sensasi tidak mengenakkan akibat mimpi barusan. "Wah, gawat ini!”
Tiba-tiba saja Kang Dadang teringat sesuatu, kata orang-orang tua dulu bahwa jika bermimpi seekor ular masuk ke dalam rumah, itu bisa berarti akan ada masalah yang datang menghampiri. Apalagi ini, ularnya sampai menggigit kaki.
Sambil berkali-kali mengusap muka agar rasa kantuk hilang sepenuhnya, Kang Dadang mencoba menerka-nerka. Andaikan tafsir mimpi simbah-simbah jaman dulu itu memang valid adanya, masalah macam apa yang akan mampir hari ini?
Belum jg otaknya bekerja dan menemukan jwban, resleting tenda tiba2 terbuka. Matanya langsung teralih ke arah sana, dimana dari balik tenda tubuh kurus salah satu temannya menghambur masuk ke dalam. Wajahnya jelas tampak kebingungan dan matanya berkali-kali melihat ke arah depan.
"Kang, dua orang itu belum juga balik."

Si kurus yang biasa Kang Dadang sapa dengan sebutan ‘cung’ berujar sedikit khawatir, menambah tegang suasana hati Kang Dadang. Belum balik ya? Kang Dadang langsung melirik ke arah jam tangan. Sudah selarut ini, mereka belum juga sampai, -
pada kemana mereka? Atau jangan jangan tersesat atau di sesatkan? Dugaan Kang Dadang langsung mengerucut ke permasalahan mistis, Kalau benar yang saat ini dugaan itu benar, kemana mereka harus mencari?
Belum juga Kang Dadang selesai bergumul dengan pikirannya sendiri, suara si kurus itu masih nerocos.

"Kita udah mencari di sumber air bawah sana, tapi juga gak ketemu, Kang”.
Kini pantat Kang Dadang benar-benar terangkat dari atas alas tenda. Jawaban si cung memang kurang baik, tapi sisanya membuat tambah kebingungan. Kemana mereka? Sampai selarut ini belum juga nyusul.
Sinar bulan yang awalnya muram karena awan hitam, kini nyaris menampakkan kegagahannya, hujan mulai reda, memberikan kenyamanan dari enam orang termasuk Kang Dadang. Lima belas menit berlalu, segelas kopi panas kini tinggal separuh.
Awalnya, Kang Dadang memberi instruksi kepada rombongan untuk mencari di bagi 2 kelompok. Tapi, ketika ia menghubungkan dengan hal yang di luar nalar, Kang Dadang langsung mengurungkan, takut akan menambah masalah, akhirnya di putuskan untuk mencari bersama.
Tapi belum pernah sekalipun Kang Dadang menemui kejadian seperti ini ketika mendaki, rata-rata hanya seperti ketempelan dan semacamnya. Kali ini membuat Kang Dadang harus ekstra berhati-hati.

***
"Ya udah cepet!"

Rina melihat jam, waktu itu menunjukkan pukul setengah lima sore, kabut mulai pekat dan udara bertambah dingin seiring malam hampir menunjukkan pesonanya.
Kurang lebih seratus meter mereka berjalan, suasana mulai gelap dengan semakin rapatnya pepohonan di sana-sini. Dio berjalan di depan dan Rina berjalan mengikuti di belakangnya. Sampai tiba-tiba mereka merasakan ada yang aneh dengan suasana disekitar, -
mendadak riuh ramai seperti di tengah keramaian. Rina yang pertama kali merasakan lantas berbisik kepada Dio, “kamu denger sesuatu gak?”

Dio memberi isyarat untuk berhenti, “Ssssttt … diem, Rin. Jangan bilang seperti itu”
nyaris sama berbisik dengan intonasi yang lebih pelan sembari menunjuk seseuatu yang ada di depan sana.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, sudah terlihat keramaian orang yang sedang melakukan aktifitas layaknya di sebuah pasar.
Mereka berhenti sejenak, menghela nafas panjang, sembari saling menatap. Rina yang sudah mulai ketakutan, tak pernah berhenti melantunan doa yang ia panjatkan, berharap semua yang ia lihat dan rasakan segera berakhir.
Namun tak lebih dari sepuluh detik mereka berdiri, tiba tiba dari arah belakang terdengar suara langkah kaki, Dio yang pertama kali mendengar hal itu, lantas menengok belakang. Dan disaaat yang bersamaan, suara keramaian mendadak menghilang dan menjadi lebih sunyi dan sepi.
Disaat itulah, Dio melihat sosok laki laki tua bertelanjang dada sedang berdiri menatap kearah mereka berdua.

Rina yang semakin ketakutan mencoba untuk menarik paksa lengan Dio, mengajak berlari meninggalkan tempat itu.
Namun ada satu hal yang membuat Rina mengurungkan niatnya untuk berlari, yaitu ketika Dio mengibaskan tangannya, memberi satu isyarat untuk tetap tenang dan menunggu momen yang tepat. Mendadak tubuh mereka tak bisa bergerak ketika sosok laki laki tua itu berjalan mendekat.
Tak lebih dari satu jengkal tangan dewasa jarak wajah dari sosok laki laki tua itu menatap sinis kearah Dio. Walapun ia terbiasa akan hal hal aneh dan menyeramkan, namun untuk kali ini ia sedikit gemetar. Apalagi ketika ia melihat dari jarak paling dekat.
Mulut Dio terkatup rapat, keringat mulai mengucur deras membasahi wajahnya, kala tatapannya beradu dengan bola mata putih rata dari sosok lelaki tua yang berdiri tepat dihadapannya.
Dio semakin gemetar kala lelaki tua itu berbicara dua patah kata sembari menghembuskan asap rokok ke wajahnya. “Mau kemana!” berat suara keluar dari mulut lelaki tua itu.
Dio sedikit terhuyung dan mencoba bertahan untuk tidak terjatuh. Rina yang sedari tadi melantunkan doa, berhasil menyadarkan pikirannya dan segera menarik paksa lengan Dio. “Dio lari!!!” terjingkat Dio setelah mendengar teriakan Rina yang baru saja di lontarkan.
Tak butuh waktu lama, mereka segera berlari menjauhi lelaki tua dan tempat itu walapun dengan kondisi kaki gemetar hebat.

Lari dan lari, itulah yang mereka lakukan waktu itu, mereka berusaha untuk tetap kuat terus berlari menjauh dan menjauh.
Masih tercium sengak aroma kemeyan menyesak ketika Dio mengayunkan kakinya untuk yang kesekian kalinya. Namun tak sampai di situ saja, keanehan lain muncul ketika mereka sampai di sebuah percabangan.
“Sialan! Ini apa lagi Rin, aku blm pernah ketemu percabangan ini!” ucap Dio sembari duduk dan meraih rokok di sakunya.
“Ya mana aku tau. Aku blm pernah kesini juga, Yo!” ketus Rina yg masih merasa waspada, jantungnya tak bisa berhenti bergerak cepat, hingga tanpa sadar tubuhnya merinding.
Dio berdiri, tubuhnya benar-benar merasa menggigil tiba-tiba, Rina kemudian memperhatikan sekitar bahwa dari dekat pohon di sisi belakang Dio, ia melihatnya, dia melihat sosok wanita tua, nenek-nenek sedang membawa kayu dengan kain jarik, anehnya, -
wanita tua itu menyeringai dan melambaikan tangannya, seperti menyuruh untuk mendekat. Rina tentu saja merasa ketakutan, yang kemudian menutup mukanya dengan kedua tangannya, yang membuat Dio merasa penasaran dengan apa yang ada di belakangnya.
Dio termangu cukup lama, wajah nenek-nenek ini sedikit berbeda dari nenek-nenek pada umumnya, alisnya sejajar, dagunya sedikit lancip, dan ujung matanya tertarik keatas. Dia melambaikan tangannya kearah mereka berdua seolah sedang mengajak untuk mendekat.
Untungnya dalam sepersekian detik Rina menepuk bahunya, yg kemudian bertanya kenapa Dio berjalan meninggalkannya.

Dio tergagap dan mulai tersadar, ternyata sosok nenek itu sudah menghilang. Sejenak Dio terdiam sembari menatap kearah depan sebelum melangkah.
Ia terlihat berani, namun saat akan melanjutkan langkahnya, ada sedikit keraguan tersirat dari wajahnya. Namun sesaat ia buang keraguan itu, dan mereka melanjutkan perjalannnya.
Susanan masih gelap, sepi dan sunyi. Mereka terus berjalan untuk menemukan jalan keluarnya, namun baru beberapa langkah mereka menyisiri hutan itu, tiba-tiba mereka melihat wanita tua yang sebelumnya dilihat, -
nenek itu berkata,”ikut simbah, Nduk. Jangan naik lagi, nanti kamu di ambil demit lho!”. Nenek itu kemudian menutup ucpannya dengan senyum dan tawa yang mengerikan. Dio dan Rina pun berlari pergi dari tempat itu.
Mereka berlari, kakinya menapak di atas tanah basah, di depannya sudah menunggu rimbun semak belukar dengan tanah lapang lengkap dengan banyak pohon-pohon hutan, waktu itu mereka tidak berpikir jauh kalau bisa saja mereka terjatuh kearah jurang,
yang terpenting bagi mereka harus pergi. Dio begitu juga dengan Rina masih bisa mengingat dengan jelas sosok wanita tua itu, yang membuat mereka memilih berlari saja.
Sejengkal demi sejengkal, kaki Rina berlari naik turun tanah gunung yg memang tidak rata, yg dia ingat saaat itu, hujan masih turun dan semakin lama semakin deras, tidak hanya itu saja, suhu udara jg bertambanh dingin, tapi Rina terobos semuannya, berharap ada pertolongan datang.
"Rin, sepertinya kita cukup jauh dari jalur"

"Terus gimana sekarang?"

"Kita lewat situ aja, kali aja kita nemu rumah warga di bawah situ"

Sejenak Rina terdiam sembari menatap Dio, walaupun dalam hatinya merasa nggak akan ada perkampungan di daerah ini, -
namun Rina tetap berfikir positif, bisa saja omongan Dio ada benarnya, yang penting mereka bisa selamat dan kembali.

Keanehan lagi lagi terjadi, Rina dan Dio hanya berjalan di area itu dan itu terus, hal itu membuat Rina mengajak untuk istirahat, -
terlepas dari apa yang mereka alami malam itu, Rina memutuskan pasrah. Sampai terdengar suara langkah kaki menghentak, sontak Dio dan Rina terjaga. Dio memandang Rina sebentar, terlihat wajahnya yang mulai ketar-ketir.
Untuk memastika saja, Dio kemudian mengajak Rina untuk mencari dimana asal suara itu, di ikutilah suara ramai itu. Di sanalah, mereka melihatnya.

Orang-orang berjalan berjejeran, seperti anak-anak sedang melakukan kegiatan jurit malam,
seolah ada sesuatu yang sedang mereka kerjakan, sampai matanya tertuju pada barisan paling depan, di sanalah Dio dan Rina baru sadar, beberapa orang sedang membawa keranda mayat. Rina sudah sadar keganjilan itu sebenarnya sudah ia rasakan sedari awal masuk ke dalam hutan.
Mereka hanya diam sembari memandangi rombongan itu semakin jauh, hingga akhirnya kehadiran mereka benar-benar lenyap ditelan kegelapan hutan.
Ditengah perasaaan campur aduk itu, tiba-tiba Dio mendengar suara gamelan.
Hal itu yang membuat Dio tidak berani bicara, karena focus mendengar alunan gamelan yang di pukul. Tidak hanya itu saja, ekpresi dari iringan itu tidak satupun menunjukkan wajah sedih, sebaliknya, wajah wajah itu menatap kosong.
Lalu keranda mayit yang di pinggul pun aneh, tak ada kain penutup selayaknya keranda mayat pada umumnya, yang membuat isi dalam tempat itu terlihat dengan jelas. Kosong tak ada mayat di dalamnya.
Tak mau berlama-lama dalam ketakutan, mereka melanjutkan perjalanan menembus gelapnya hutan. Berjalan mengikuti rombongan dari belakang, berharap akan menemui perkampungan dan meminta bantuan.
Kurang lebih 10 menit dan semakin jauh, rombongan itu sudah lenyap, menyisahkan tanda tanya, bagaimana bisa mereka berjalan santai di medan yang naik turun seperti ini.
Hampir putus asa tapi Dio dan Rina mencoba untuk menyusuri jalanan lagi untuk menemukan bantuan. Mereka berharap segera selesai dan keluar dari area belantara ini.
Rupanya ketika mereka terus berjalan, Dio kaget saat di hadapannya ada sosok nenek-nenek tua, dipunggungnya ia memanggul kayu bakar. Ketika Dio memperhatikan nenek itu, sepertinya itu berbeda dengan nenek yang sebelumnya mereka temui.
Saat itulah baru diketahui bahwa nenek itu adalah warga lokal yang tinggal di desa tak jauh dari tempat mereka berada. Rina sempat tak percaya jika di tengah-tengah hutan seperti ini ada desa yang tersembunyi, namun apa daya baginya,
hanya nenek itulah satu-satunya orang yang bisa di mintai bantuan. Nenek itu lalu menawarkan tempat persinggahan, sekaligus memberitahukan bila apa yang terjadi pada mereka adalah akibat jin penghuni hutan ini.
Ragu dan khawatir awalnya, ketika nenek yang di panggil mbah Nah itu menawarkan Dio dan Rina untuk mengikutinya ke desa tempat tinggalnya. Tapi karena keadaan saat itu benar-benar terpaksa, mereka akhirnya setuju.
Selama perjalanan, nenek bercerita banyak hal, salah satunya mengatakan permisi kalau mau memasuki hutan dimanapun, mereka tidak terlihat belum tentu tidak ada, meskipun hanya sekedar ijin dengan suara berbisik, mereka bisa mendengar.
Benar rupanya, di depan terlihat sebuah desa, namun, desa ini tidak terlalu besar, rumah-rumah masih menggunakan anyaman bambu, berbeda sekali dengan kebanyakan rumah dijaman sekarang. Tepat disudut rumah paling ujung,
gentingnya terbuat dari ranting dengan di tutup daun kelapa kering, dan beralaskan tanah. Nenek itu kemudian mempersilahkan masuk.

Mbok Nah masuk ke dalam ruangan, sedang Dio dan Rina di tinggal di teras rumah, ada dua bangku kecil dan meja yang terbuat dari kayu,
mereka kemudian duduk. Selidik demi selidik, Rina melihat kesana kemari, tatapannya menyapu dari rumah ujung ke ujung, hanya ada sekitar 10 rumah disini, dan sebelumnya ia tidak pernah dengar di daerah ini ada desa.
Namun, pandangannya terhenti ketika ia melihat cahaya lampu petromak yang menerangi ruangan depan, di dalam, tepatnya di ruang tamu, sebuah meja panjang terpasang menyilang dengan seonggok tubuh membujur diatasnya.
Mulut Rina terkatup rapat, keringat mulai merembes membasahi wajahnya, ketika melihat tubuh pucat tanpa nafas tertutupi kain-kain jarik batik, wajah dari sosok wanita muda yang sudah meninggal.
Mbok Nah keluar dengan di tangannya ada nampan berisi dua gelas air putih, “Gak usah takut, Nak. Itu anakku yang meninggal tadi sore. Sekarang diminum dulu. Simbok tau kalian pasti kelelahan”.
Dio memilih untuk diam tak membahas jenazah yang dilihat oleh Rina, lebih baik tidak tahu daripada tambah panjang urusannya. Pikirnya waktu itu. Rina mengangguk setuju.

“Nak, kamarnya sudah simbok siapkan”.
Mbok Nah kemudian masuk setelah mempersilahkan mereka untuk bermalam sebelum mengantar mereka pulang keesokan harinya. Mau tidak mau mereka pun masuk ke sebuah kamar yang asing, tidak ada hal yang menarik selain dua ranjang dengan tikar anyaman sebagai alasnya,
namun Dio berfikir, keganjilan dari semua peristiwa ini seperti menunjuk pada sesuatu.

Sampai di tengah keheningan, ketika mereka sudah saling merebahkan tubuh untuk sekedar membuang lelah, terdengar suara yang tidak asing lagi di telinga mereka.
Suara riuh namun tipis, seperti tempat yang jauh. Suara ayam yang pernah Rina dengar sebelumnya. Untuk kesekian kalinya Rina mendengar suara ini semenjak ia mampir di curug, namun bagi Dio, ia baru kali ini mendengar suara itu disini.
Rina yang pertama bangun, ia melihat kesana kemari untuk memastikan sesuatu, sampai Rina membangunkan Dio.

“Dio, kamu denger gak?” Dio masih diam, mencerna setiap kalimat, sampai akhirnya ia mengatakan.
“Celaka, Rin. Sepertinya kita sedang di awasi!”

Akhirnya Rina menceritakan kejadian yang menimpanya, rahasia yang ia simpan sampai saaat ini belum ia ceritakan kepada sahabatnya itu, bahwasanya dirinya sedang haid.
Mendengar hal itu Dio pun marah besar, kenapa tidak dari awal ia menceritakannya, namun nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi selain kabur dari tempat itu.
Ketika perdebatan itu, tetiba saja mata Dio menatap kearah jendela kamar yang hanya tertutup oleh kain hijau tipis sebagai penyekat antara kamar dan halaman luar, seperti ada wajah yang mengintip dari balik jendela.
“Sssssttt…Rin, karena sudah seperti ini, mau gak mau kita harus pergi dari rumah ini!” nyaris berbisik, namun Rina masih bisa mendengarnya.
Rina penasaran tetiba saja Dio berbicara dengan berbisik, ia kemudian menanyakan apa yang terjadi, kemudian Dio memberi isyarat dengan mengangkat alisnya dan berkata,”di jendela”.
Kaget, saat itu juga Rina mengemasi barangnya diikuti dengan Dio, mereka bergegas keluar dari rumah itu, namun sebelum mereka membuka pintu, mereka sempat saling pandang dan memikirkan hal yang sama, yaitu tentang sosok tebujur kaku tanpa nafas.
Dio menghela nafas panjang dan membuka pintu kamar, “krieeetttt” baru saja membuka pintu kamar, di depannya, tepatnya di sisi meja panjang menyilang, sosok yang terbujur kaku itu sudah tidak ada ditempatnya,-
melainkan sudah berdiri di sisi meja sedang menatap Dio dengan bola mata putih sepenuhnya. Dio seketika terjingkat dan kembali harus beringsut mundur masuk kamar.
Jantungnya berdetak tak beraturan, terlebih lagi ketika samar-samar Dio mendengar suara perempuan, “Mau kemana, Mas?” pelan dan lembut namun tegas suara sosok itu menyapanya. Hal itu langsung merontokkan keberaniannya.
Apalagi ketika matanya beradu pandang dengan bola mata sosok itu, jantungnya seolah berhenti berdetak.

Melihat Dio yg setengah ketakutan, Rina pun memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ketika pintu itu dibuka, di depannya, mbok Nah sudah berdiri dengan wajah menatap Rina.
“Mau kemana, Nduk?” suaranya mendadak berbeda dari sebelumnya, lebih dingin dan mengintimidasi.

“Maaf, Mbah kita mau pulang” balas Rina dengan nada gemetar.

“Pulang kemana?”

“Pulang kerumah, Mbah. Takut orang tua khawatir nyari kita”
Mbok Nah yang awalnya hanya berdiri, kemudian tertawa pelan sembari berkata,”hihihihihi…Nduk, wangimu harum sekali, disini aja sama simbok, ya?”
Mendengar hal itu Dio pun sadar, jika apa yang di maksud Mbok Nah wangi itu adalah darah haid milik Rina.
“Maaf, Mbok. Gak ada yang boleh tinggal disini! Kita mau pamit pulang dulu, terimaksih atas tumpangannya” tegas dan jelas kali ini Dio berkata, walaupun hanya dengan secuil nyalinya.
“hihihihih….dasar anak tidak tau diri! Kalian itu sudah di tolong tapi malah gak sopan! hihihihih”

tatapan matanya lebih sinis dari sebelumnya, perlahan yang awalnya berdiri, nenek itu lalu membungkuk sembari menatap mereka dengan senyum paling menyeramkan.
Saat itulah senyuman buruk rupa menjelma menjadi suara tawa melengking yang membuat Dio dan Rina menggigil karena ngeri, bulukuduk mereka berdiri, dada berdetak tanpa henti.
“Kalian gak bisa pulang!” kata simbok dengan langkah mendekati Rina yang beringsut mundur,”kalian sudah mengotori tempat ini, terutama kamu, Nduk. jadi gak bakal bisa balik lagi, hihihihi”
“Sudah nurut saja sama simbok, dari pada celaka!”

Ditengah ketakutan itu, Rina hanya bisa menjerit ketakutan, sedangkan Dio sudah melantunkan doa, meminta agar sesiapapun bisa menolongnya.
Saat itulah tercium bebauan aroma bunga semboja, ia ingat betul dengan perkataan Bapaknya, jika dalam kondisi yang mendesak, dan mencium bau bunga sembojo, maka ikuti bebauan itu,
maka kamu akan di arahkan untuk keluar dari kondisi itu, tapi jika kamu mencium bau bangkai, maka diamlah dan berdoa.

“Rin … lewat jendela! Teriak Dio, mereka bergegas lari dan melompat jendela kamar. Namun suara lengkingan tawa terus mengiringi langkah mereka berdua.
Yang pertama dilihatnya dari halaman belakang rumah adalah kebun pisang. Aroma sembojo masih tercium menyengat, anehnya, hanya Dio yang menciumnya, dan benar saja semakin mereka berlari mengikuti bebauan itu, langkah mereka perlahan menuju ke sebuah tanah hutan.
Mereka berhenti sejenak, mengatur nafas dan sesekali menenggak air minum, setidaknya memulihkan tenaga yang habis terkuras. Tak lama, mereka baru sadar, di tempat mereka berdiri, ternyata mereka tidak sendirian. Dari balik pohon banyak sepasang mata mengawasi,
dan setelah di perhatikan lagi, itu adalah sosok pocong, tidak hanya satu saja namum hampir ada puluhan pocong, Rina dan Dio terdiam mematung. Keterkejutannya tidak sampai disitu, samar-samar mereka mendengar suara. “Culi” “Culi”
Merek saling pandang, “Kamu denger, Rin?.
Rina mengangguk, tak mau mengeluarkan sepatah katapun.

Setelah mendengar itu, merekapun kembali lagi berlari, membiarkan pocong-pocong itu mengikutinya. Yang paling mengerikan lagi, ketika pocong itu terbang di atas mereka.
Ditengah gelapnya hutan, mereka tak berhenti berlari, mengabaikan sosok sosok itu yang sedang mengikutinya dan mengabaikan jalanan yang tidak rata.
Setelah menembus rimbunan semak belukar dan naik turun di tanah menanjak, Dio menunjuk sebuah gubug satu-satunya. Gubug itu penanda bahwa mereka kembali lagi di gubug Mbok Nah.

***
“Kamu cari di sebelah sana! aku sebelah sini!” tegas suara yang keluar dari mulut Kang Dadang, menginstruksikan kepada lelaki yang lebih muda darinya.

Malam itu juga setelah hujan reda, Kang Dadang dan beberapa rombongannya mencari keberadaan Rina dan Dio,
namun belum menemukan hasilnya. Terlihat jelas dari guratan wajahnya memancarkan keyakinan bahwa Rina dan Dio masih hidup dan baik-baik saja. Berkali-kali mereka menyisiri hutan, namun belum menemukan jejak ataupun tanda-tandanya.
Sempat pasrah dan ingin meminta bantuan, namun menurut penerawangannya, ia yakin kalau mereka tidak jauh dari sekarang Kang Dadang berdiri.
“Kang! Lihat! ada tali di pohon!” teriak Jaka yang sedari tadi bersamanya sembari menunjuk satu pohon besar dimana disalah satu rantingnya ada tali menyimpul.
Mereka segera bergegas mendekat ke arah pohon tersebut, tidak salah lagi kalau ini milik Rina atau Dio, karena dari jalur ini mereka pasti tersesat setelah mengambil air yang tak jauh dari tempat itu.
Kembali Kang Dadang menginstruksikan beberapa rombongannya untuk mencari di area sekitar dan Kang Dadang mencoba untuk bermeditasi, mencari keberadaan Rina dan Dio dalam dimensi lain.
Sampai terdengar sebuah suara tabuhan gamelan, membuat kang dadang tercekat seketika, menandakan sebuah salam kedatangan dari sosok yang belum tau siapa pemiliknya. Tak jauh dari tempat Kang Dadang bersila, muncul sosok lelaki tua dari balik rimbun pepohonan, berjalan mendekat.
”Ada apa anakku?” ucap sosok lelaki tua.

“Sebelumnya, saya minta maaf, Mbah. Saya mau meminta bantuan” pinta Kang Dadang kepada sosok lelaki tua dihadapannya.
Sebentar lelaki tua itu terpejam dan megangguk,

“Mereka ada disana, Nak!” jawabnya sembari menunjuk ke arah rerimbunan pohon, “tapi hati-hati, Nak. Kamu harus waspada dengan yang namanya Mbok Nah!”
“Mbok Nah…?”

“Iya, Mbok Nah. Salah satu penunggu hutan ini. Kamu tau, alasan kenapa teman-temanmu gak bisa keluar dari dimensi ini? Itu karena teman wanitamu sedang haid. -
Bangsaku sengaja menyesatkan mereka karena darah si wanita itu mengundang hasrat!” jelas kakek tua kemudian menghilang bersamaan dengan menghilangnya tabuhan gamelan.
Saat itu juga Kang Dadang sadar kemudian berdiri dan berlari menuju arah dimana kakek tua itu memberi petunjuk. Tak lagi dihiraukan makhluk-makhluk buruk rupa yang sekarang mengikutinya dari belakang, baginya itu sudah menjadi makanan sehari-hari.
Namun ada satu hal yang harus ia waspadai yaitu dengan sosok Mbok Nah.

Setelah beberapa ratus meter Kang Dadang berlari, tetiba saja setelah melewati kabut gelap, ia melihat sebuah pemukiman warga dengan gapura sebagai penanda sebuah desa. Kaget bercampur penasaran.
Namun, sebelum kang dadang masuk lebih jauh, tiba-tiba saja ia di kejutkan oleh sosok kakek tua. Kakek yang pertama kali ditemui oleh Rina dan Dio sebelumnya. Sosok itu kemudian berbalik, “kamu sendirian, mau nyari siapa, Nak?”
Kang Dadang tak bergeming, bagaimanapun sosok yang ada di depannya ini bukan manusia, hanya saja entah kenapa kang dadang merinding sewaktu di dekatnya.

“Nak, kamu mau apa kesini?” sekali lagi kakek tua itu menanyakan kedatangan kang dadang dan tujuannya kemari untuk apa.
“saya mau mencari teman saya, Mbah” kata kang dadang menjawab pertanyaan si kakek.

“Ayo ikut simbah, aku tunjukkan dimana temanmu sekarang”

Kang dadang menurut, dia berjalan dibelakang si kakek, aroma tubuhnya wangi kamboja.
Tapi anehnya, semakin dekat jarak kang dadang dengan si kakek, aroma kamboja itu semakin kuat. Di hadapan Kang Dadang kini terbentang sebuah hutan yang dipenuhi deretan pohon-pohon raksasa yang nyaris semuanya lebat.
Hanya ada beberapa ruang untuk sinar bulan menyinari jalanan gelap malam itu. Dahan-dahannya meliuk, menyeramkan, seakan tampak seperti figur ratusan manusia raksasa yang sedang menari. Dan di antara rapatnya deretan pohon-pohon itu, -
nampak satu jalan kecil yang membelah lebatnya hutan.

Seingatnya, setengah jam lebih.

Kang Dadang mengekor lelaki tua misterius yang tiba-tiba muncul dari balik rimbunan pohon. Memberi bantuan Kang Dadang untuk menemukan dua temannya yang hilang entah kemana.

***
Pasrah. Hanya itu yang bisa mereka lakukan saat ini, namun sebaik-baiknya manusia jika dalam keadaan mendesak sekalipun, jangan lupa untuk berdoa kepada yang kuasa, karena dari-Nya lah pertolongan itu ada.
Tak lama, mereka pun berbalik dan mulai berlari lagi. Puluhan meter, ratusan meter telah mereka lalui. Nafasnya yang sudah tak teratur, seirama dengan degup jantungnya. Tapi, mereka enggan untuk berhenti, walau sebentar.
Dio benar-benar merasakan, jika tak ada lagi bagian dari tubuhnya yang tak terbasahi oleh keringat, begitu juga dengan Rina. Namun tak menyurutkan langkah kakinya yang terus berlari, meski telah meninggalkan jauh gubug untuk yang kedua kalinya,
awal mereka masuk di tempat yang tak ingin mereka masuki lagi.

“Bruukk!”

Rina terjatuh, mengerang pelan sembari memegang lututnya yang bergetar hebat entah karena lelah atau masih bagian dari luapan rasa takut.
Dio yang mendengar erangan Rina lantas berbalik dan segera memapahnya untuk melanjutkan pelariannya. Tapi di balik itu, kelegaan segera menggurat di wajah mereka yang dipenuhi titik-titik air bening kala netranya menatap kedepan,
terlihat kerlipan cahaya dari rumah-rumah warga. Semangat Dio dan Rina akhirnya kembali tumbuh, mereka segera berjalan mendekatinya. Namun lagi-lagi ada satu kejanggalan yang terjadi, semakin mereka berjalan jauh kedepan, -
rumah-rumah itu semakin terlihat jauh, tiba-tiba penglihatan Dio kabur, kakinya tak lagi bisa menahan berat beban tubuhnya, sampai akhirnya Dio pun terjatuh bersamaan dengan Rina.

“Gak kuat lagi! …hah…hah…hah” Dio meringis sembari bernafas tak beraturan,”Capek, Rin!”
“Kita istirahat dulu, aku juga capek!”

Ditengah gelapnya hutan, hanya terdengar suara nafas berat mereka berdua, kebutuhan air yang mereka bawa untungnya masih bisa untuk bertahan. Sekitar lima belas menit, dan setelah dirasa cukup, mereka melanjutkan lagi perjalanannya.
Kali ini langkah kaki mereka lebih lambat dari sebelumnya, entah karena kelelahan atau memang tak mau membuang-buang energi.
Tapi, cobaan nampaknya belum usai sampai di situ. Setelah berbagai macam parade kengerian dan kejadian-kejadian tak masuk nalar yang silih berganti tersaji di hadapan mata mereka, sepuluh meter mereka melangkah, tetiba saja Dio melihat sebuah pertunjukan, dimana pertunjukan itu -
menampilkan sebuah tarian daerah dgn penuh akan penonton yang menyoraki sang penari, namun ada yang aneh, bukan dari pertunjukannya, melainkan mata Dio mengarah kepada sorak sorai penonton dengan pakaian yang mereka kenakan melambangkan dengan jaman yang berbeda dengan sekarang.
Gemericik rintik hujan menghampiri begitu saja. Bersamaan dengan itu desir angin seolah menyambutnya, membawa hawa aneh sekaligus bau anyir, hingga membuatnya mengusap hidung beberapa kali.
Dio terdiam seraya netranya menelisik, menyusuri sunyi, menyajikan pemandangan berupa pertunjukan tarian yang seirama dengan tabuhan gamelan yang mengiringi menjadi batas pandang.

“Dio!”

Sebuah suara memanggilnya, ia menoleh, berbalik ke arah sebaliknya.
Membuatanya dapat melihat wajah dari sosok Rina dengan jelas. Pucat dan pasrah. Itulah yang di lihatnya.

“Itu apa lagi?”
“Aku gak tau lagi, Rin” pelan dan tak bertenaga suara Dio.
Lututnya serasa mati rasa, menghempaskan ke tanah, seraya menutup mukanya dengan kedua tangannya, “Maafin aku, Dio,” Rina menangis, “Gara-gara aku, kita jadi seperti ini!” Rina mulai tak mampu lagi menahan tangisnya manakala rentetan kejadian menyeramkan ini tak kunjung selesai,
ia benar-benar tak habis pikir dengan keegoisannya, membesarkan egonya untuk tetep mendaki ketika ia sedang ada halangan. Namun nasi sudah menjadi bubur. Mereka harus melalui semua ini dengan kepala jernih.
Setelah berpikir lama dan terhanyut oleh tabuhan musik dari pertujukan tarian, mata mereka terpejam seolah music itu adalah penghantar tidur, namun bersamaan dengan itu mereka samar-samar mendengar suara orang memanggil dari kejauhan.
“Rin …”
“Dio …”
“Rina …”
“Dio… “
Suasana mendadak sunyi, namun suara tabuhan gamelan masih mendominasi. Di setiap jeda tabuhan gong ada samar-samar suara orang memanggil nama mereka. Rina tercekat, mencari asal suara itu, namun ada satu keanehan, Rina mengenali suara itu,
suara dari orang yang sebelumnya pernah bertemu sewaktu pendakian ini, ya benar, suara dari Kang Dadang. Rina mencoba sekali lagi menajamkan pendengarannya, ia tak mungkin salah lagi, kalau itu benar-benar suara Kang Dadang,
tapi masalahnya, dimana suara itu berasal, Rina belum tau. Ada guratan semangat yang memancar ketika Rina mendengar suara itu, yang kemudian berdiri mengajak Dio bergegas mencari dimana asalnya.
Yang terjadi berikutnya, mereka berlari secepat babi hutan. Berlari keluar dari area hutan dan kembali masuk area hutan. Beberapa kali Rina dan Dio menemui jalur naik dan turun, melewati pohon demi pohon yang kadang menghalangi,
bahkan terhitung beberapa kali Dio harus terguling ke tanah karena kakinya menabrak akar pohon yang mencuat keluar dan lolos dari pengawasan mata.
Benar-benar seperti sedang diburu waktu, mereka terus masuk jauh lebih dalam. Rina sampai heran dengan dirinya sendiri,
bagaimana bisa dia masih punya energi yang begitu besar setelah apa yang dia lalui sepanjang malam ini. Mereka terpisah dari rombongan Kang Dadang yang sekarang entah berada di mana dan terjebak di suatu tempat yang tak akan pernah mau Rina kunjungi lagi seumur hidup.
Berhadapan dengan entitas dari alam lain yang nyaris membuat Rina menyerah dan pasrah di sana.

Jatuh, bangun, jatuh dan bangun lagi. Itulah yang mereka rasakan malam itu, mereka sudah tak bisa lagi merasakan sakit, yang ada di pikirannya, gimana caranya keluar dari tempat ini.
Puluhan hingga ratusan meter mereka berlari, namun belum juga menemukan dimana asal suara itu. Sampai tiba dimana mereka menemukan tali yang sebelumnya Rina pasang di salah satu pohon. Rina ingat betul dengan warna tali yang ia ikat di pohon itu.
“Huh … Huh …, Dio …. Lihat! itu pohon yang sempat aku tandai!” tunjuk Rina masih dengan nafas tak beraturan.

Mereka mendekat ke arah pohon yang dimaksud, menghempaskan tubuhnya ke tanah, sembari mengatur nafas. Suara nafas yang saling bersahutan, menandakan kelelahan.
Ketika mata mereka terpejam, sembari merasaka rintihan suara binatang malam, tiba-tiba ada suara kaki berjalan, tidak hanya satu, melainkan ada beberapa. Membuat mereka terkesiap, dilihatnya ada beberapa sosok, namun anehnya,
dari beberapa sosok pendaki itu berjalan pelan dengan raut muka pucat pasi, bajunya compang camping, ada yang telanjang dada, ada juga yang memakai pakaian selayaknya bukan di jaman sekarang.
Semakin kalut mereka saat itu, apakah mereka sudah di dunia nyata atau masih berada di dunia mereka, tidak ada yg tau. Rina hampir gila, menjerit kesetanan, menangis sejadinya, namun Dio tetap menenangkan, meyakinkan dirinya untuk tetap bertahan dan berdoa kepada yang kuasa.
***
Hingga seberkas harapan yang tak diduga-duga kembali muncul. Seberkas harapan yang dibawa lelaki tua tak dikenal yang ada di depan Kang Dadang sekarang. Lelaki tua bertelanjang dada memakai ikat kepala hitam yang berjalan tenang dan penuh keyakinan.
Tampak sekali bahwa dia benar-benar menguasai medan. Dia tahu hutan ini, dan yang jelas dia tahu hutan misterius itu. Sampai tiba-tiba, si lelaki tua menghentikan langkahnya secara mendadak. Kang Dadang yang tepat ada di belakang, bahkan nyaris sampai menabraknya.
Apalagi lelaki tua itu kini tampak berlutut, meletakkan satu lututnya di atas tanah. Tanpa buang waktu dia langsung maju mendekat ke arah lelaki tua itu untuk menanyakan sebuah pertanyaan.
Tapi belum juga mulutnya terbuka, lelaki tua itu terlebih dulu mengarahkan telapak tangan kepada Kang Dadang dengan wajah serius, yang selanjutnya mengarahkan jari telunjuk ke arah rerimbunan semak. Kemudian tersenyum kepada Kang Dadang, “Teman-temanmu ada disana, Nak”.
Kang Dadang menoleh kearah dimana lelaki tua itu menunjuk, dan yang sekarang di rasakan oleh Kang Dadang adalah suasana mendadak gelap, kabut tiba-tiba menebal membuat ia tak bisa melihat sekitar, namun tak lama dari situ,
Kang Dadang mendengar suara tangisan seorang perempuan dan suara seorang laki-laki.
Kang Dadang mendekat kearah suara tersebut, namun baru lima langkah, samar-samar ia mendengar suara lelaki tua itu berkata kepada dirinya,
“Nak, titip salam buat yang ada di belakangmu yang sekarang menjagamu, ya. Dari Mbah Mojo”.
Kang Dadang tersenyum lalu mengangguk,”Njih Mbah Mojo. Maturnuwun”
Setelah menyibak rerimbunan semak, yang ia tak habis pikir adalah ketika tubuh Kang Dadang seluruhnya masuk ke rerimbunan semak itu, ia kembali dimana pertama kali salah satu rombongannya memberi tahu tentang pohon yang diikat oleh tali, disana, tepat dibawah pohon,
Kang Dadang melihat dengan jelas dua sosok manusia yang ia kenal sedang terbujur lemas tak berdaya dengan nafas tak beraturan.
Dengan cepat Kang Dadang mendekat kearah mereka berdua. Menyenderkan tubuh dari sosok perempuan di pohon,
dan mengucapkan kalimat syukur atas ketemunya dua teman yang tak lain adalah Rina dan Dio. berkali-kali Kang Dadang tak pernah berhenti berucap syukur kepada Yang Masa Kuasa dan kepada sosok Kakek tua Mbah Mojo yang sudah menuntunnya agar bisa menemukan mereka.
***
Seperti menatap terbitnya sang fajar yg sinar terangnya mengusir kegelapan serta membawakan harapan bagi jiwa-jiwa yg sudah terlampau lama berjalan dalam malam,
Rina yg duduk termangu dengan punggung tersender di pohon itu langsung sadar dari tidurnya dengan wajah berbinar dan senyum terkembang.
"Kang Dadang!!" Dia sebut nama itu dengan teramat bahagia. Bahkan dia sendiri lupa kapan terakhir kali dia merasa sebahagia ini, ucapan syukur tak lupa ia panjatkan ketika dirinya dan Dio berhasil selamat dan berhasil ditemukan oleh Kang Dadang.
Sosok lelaki itu sekarang ada di hadapannya dengan tubuh bermandikan keringat dan wajah lusuh memucat nampak kelelahan yang sedemikian hebat. Tampak rombongan dari Kang Dadang di belakang, yang juga tak kalah berantakan.
Tapi di akhir cerita, semuanya selamat. Semuanya baik-baik saja. Dan terlebih, misi penyelamatan ini telah berakhir. Semuanya terasa lebih dari cukup untuk Kang Dadang. Tanpa membuang waktu, dia dan rombongan kemudian memapah Rina dan Dio untuk turun meninggalkan hutan ini.
Tanpa halangan berarti, mereka akhirnya bisa keluar dari hutan ini tanpa ada yang tertinggal satu barangpun. Awalnya Rina dan Dio ingin pulang sendiri, namun melihat mereka terlalu berantakan, akhirnya Kang Dadang memaksa untuk bareng dengan kendaraanya.
Meninggalkan Gunung S***** dan pengalaman mistisnya jauh di belakang sana. Sedangkan di ufuk timur, matahari perlahan tampak bangun dari tidurnya dengan malu-malu.
Mobil datang semenit kemudian. Dengan penuh keyakinan, Rina menapaki jalanan tanah ini dan di saat tubuhnya masuk ke dalam mobil dia menyadari bahwa kisahnya dengan Gunung ini telah selesai. Sudah cukup semua kenangan buruk yang didapatkan di tempat ini.
Roda-roda mobil perlahan mulai berputar ke depan, berhasil menembus jalanan menurun dan akhirnya bertemu dengan jalan aspal yang lebar dan halus. Membawa mereka semua meninggalkan Gunung S*****.
Dan sblm rumah terakhir hilang dari pandang, Kang Dadang menyempatkan menoleh sekali lagi. Di spion kanan, tampak bayangan sosok kakek tua yg menatap kepergian mereka dari kejauhan.

“Mbah Mojo…”
Terimakasih sekali lagi atas bantuannya. Bisik Kang Dadang dalam hati.

TAMAT

• • •

Missing some Tweet in this thread? You can try to force a refresh
 

Keep Current with kalong

kalong Profile picture

Stay in touch and get notified when new unrolls are available from this author!

Read all threads

This Thread may be Removed Anytime!

PDF

Twitter may remove this content at anytime! Save it as PDF for later use!

Try unrolling a thread yourself!

how to unroll video
  1. Follow @ThreadReaderApp to mention us!

  2. From a Twitter thread mention us with a keyword "unroll"
@threadreaderapp unroll

Practice here first or read more on our help page!

More from @cerita_setann

Jul 2
A thread

PENGALAMAN SEREM PKL DI RUMAH SAKIT.

#bacahorror @bacahorror @IDN_Horor Image
Halo.
Intermezzo lagi ya.

Kebetulan kemarin ada yg kirim email.
Nyeritain pengalaman waktu PKL di salah satu Rumah Sakit di kota pelajaran.

Cerita dari sudut pandang si narasumber, ya. Tapi udah di samarkan namanya.
Sebelumnya, bagi yang tau lokasinya, mohon untuk disimpan sendiri aja, ya.
Read 81 tweets
Jun 27
a thread

-JAGA MAYIT-

@mwv_mystic @bacahorror #bacahorror Image
Saya mulai jam 7 nanti.

bantu RT dan Like biar rame.
nanti saya akan sedikit bawain cerita JAGA MAYIT dari mas @mwv_mystic , ini bener-bener ditunggu kehadirannya karena menyajikan kesan-kesan misteri yang mencekam.

tunggu jam 7 malam nanti.
Read 75 tweets
Jun 8
A thread

-ROGOH NYOWO-
PESUGIHAN & PENGANUT ILMU HITAM

@bacahorror @IDN_Horor #bacahorror #bacahoror #threadhorror Image
Ketika pelaku pesugihan digabung dengan mencari ilmu hitam, tumbalnya pun gak main-main. Hingga memakan banyak korban.
Tapi satu hal yang ingin saya sampaikan di cerita ini, bahwasanya gaib itu benar-benar ada. Semoga para pembaca sekalian bisa mengambil hikmah dan sebagai pembelajaran dari setiap cerita yang di suguhkan.
Read 373 tweets
May 18
Halo selamat malam.
Sembari nunggu tumbal terakhir, ini ada cerita pendek oleh-oleh dari mudik kemarin. Masih tentang pesugihan.

Tentang seorang anak yang mendapatkan pertanda kematian, yang tanpa ia sadari bahwa orang terdekatnya lah adalah pelakunya.
Saya mulai besok malam, ya.
Read 269 tweets
Apr 27
A Thread

TADI MALAM ADA
SPACE HOROR BERUJUNG TEROR

#bacahoror @bacahorror Image
Sebelumnya, jika nanti ada yang merasa mual atau pusing setelah membaca thread ini, jangan lupa sediain air putih dan baca al-fatihah.
SPACE HOROR BERUJUNG TEROR
26 April 2022
Pukul 23:00 WIB

Nah semalam kan Mas wakhid bikin space nih, temanya “Midnight Story”.

Awalnya hanya membahas sewaktu perjalanan pulang dari Gala Premier KKN Di Desa Penari, kemarin.
Read 32 tweets
Apr 25
a THREAD
-LISA-

Sembari nunggu warisan tumbal terakhir rampung, nih ada thread pendek. Masih seputaran pesugihan, ya.

#bacahorror #bacahoror #IDN_Horor
@bacahorror @IDN_Horor Image
Sebuah kisah nyata yg belum lama di alami seorang teman baru, dan atas ijinya untuk di tulis dgn menyamarkan nama serta tempat kejadian. Di cerita ini "Aku" sebagai nara sumber.
Disclaimer : Mohon maaf, jika ada kesamaan nama dan tempat. Karena semua nama tokoh dan tempat sudah di samarkan.
Read 217 tweets

Did Thread Reader help you today?

Support us! We are indie developers!


This site is made by just two indie developers on a laptop doing marketing, support and development! Read more about the story.

Become a Premium Member ($3/month or $30/year) and get exclusive features!

Become Premium

Don't want to be a Premium member but still want to support us?

Make a small donation by buying us coffee ($5) or help with server cost ($10)

Donate via Paypal

Or Donate anonymously using crypto!

Ethereum

0xfe58350B80634f60Fa6Dc149a72b4DFbc17D341E copy

Bitcoin

3ATGMxNzCUFzxpMCHL5sWSt4DVtS8UqXpi copy

Thank you for your support!

Follow Us on Twitter!

:(